Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dukungan

1. Pengertian Dukungan

Menurut Hudak dan Gallo (1997, dalam Indriyani, 2013) dukungan dapat

digambarkan sebagai perasaan memiliki bahwa seseorang merupakan

peserta aktif di dalam kehidupan sehari-hari. Dukungan keluarga adalah

sikap tindakan dan penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit

(Indriyani, 2013). Sukardi (2002, dalam Indiyani, 2013) mengatakan

keluarga terdiri atas suami, istri dan anak atau individu yang dapat meluas

mencakup saudara dari kedua belah pihak.

2. Sumber Dukungan

Menurut Gallo dan Reichel (1998, dalam Indriyani, 2013) terdapat tiga

komponen sumber dukungan, yaitu:

a. Sistem pendukung informal meliputi kelurga danteman-teman.

b. Sistem pendukung formal meliputi tim keamanan sosial setempat,

program-program medikasi, dan kesejahteraan sosial.

c. Sistem pendukung semiformal meliputi bantuan-bantuan dan interaksi

sosial yang disediakan oleh organisasi lingkungan sekitar.

3. Fungsi Pendukung

Menurut Friedman (1998, dikuti dalam Indriyani, 2013) ada delapan

fungsi suportif keluarga, empat diantaranya sebagai berikut:

a. Dukungan Informasiona

8
9

Keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan desiminator

(penyebar) informasi tentang dunia.

b. Dukungan Penilaian

Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik,

pembimbing dan menengahi pemecah masalah dan sebagai sumber

validator identitas anggota.

c. Dukungan Instrumental

Keluarga merupakan sumber pertolongan praktis dan konkret.

d. Dukungan Emosional

Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan

pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi.

B. Konsep Interaksi Sosial

1. Pengertian

Interaksi sosial merupakan proses dimana seseorang menjalin

kontak dan komunikasi dengan orang lain, berinteraksi merupakan hal

yang tidak bisa terlepas dari kehidupan manusia, adanya rasa memerlukan

bantuan dari orang lain maka manusia akan melakukan kontak ataupun

komunikasi satu sama lainnya, dengan interaksi tersebut semua manusia

hidup sebagai makhluk sosial. Setiap manusia cenderung berkomunikasi

dan berinteraksi dengan manusia lainnya. Apabila dua orang bertemu

maka interaksi sosial dimulai pada saat itu, mereka saling menegur,

berjabat tangan, saling bicara, atau mungkin berkelahi (Nuraini, 2015).


Interaksi menurut H.Bonner dalam bukunya “Sosial Psikologi”,

yang dalam garis besarnya berbunyi sebagai berikut, interaksi sosial

adalah suatu hubungan antar dua individu atau lebih. Individu manusia

dimana kelakuan individu yang selalu mempengaruhi, mengubah atau

memperbaiki kelakuan individu lain atau sebaliknya.

Menurut (Mirza Maulana, 2010) Interaksi sosial diartika dalam

penelitian ini sebagai hubungan, keterlibatan, ketertarikan timbal balik

personalitas anak berkebutuhan khusus terhadap sesuatu yang ada di

sekelilingnya dengan menggunakan simbol-simbol tertentu atau gerakan-

gerakan untuk mengutarakan kepada orang lain. Pada interaksi sosial ini

anak berkebutuhan khusus tidak mampu menjalin hubungan dengan baik,

dengan menunjukkan suatu perilaku atau ciri khusus, seperti kontak mata

sangat kurang, ekspresi wajah kurang hidup, gerak gerik yang tertuju,

menangisatau tertawa tanpa sebab, tidak bisa bermain dengan teman

sebaya, tidak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain kurangnya

hubungan sosial dan beradaptasi dengan lingkungan, maupun keterlibatan

secara emosional secar timbal balik.

2. Faktor-faktor Interaksi Sosial

Menurut Herabudin (2015 : 215) pada interaksi sosial terdapat faktor-

faktornya, yakni proses meniru, skala sikap, dan dorongan untuk berubah.

Pada proses meniru, terdapat dua faktor, yakni imitasi dan identifikasi.

a. Imitasi ialah proses interaksi dengan cara meniru atau mengikuti

sebagian dari perilaku orang lain dan sifatnya tidak permanen.


Peniruan itu meliputi peniruan sikap, penampilan, tingkah laku,

hingga gaya hidup.

b. Identifikasi adalah proses berinteraksi dengan cara meniru atau

mengikuti hampir sama seluruh dari perilaku orang lain, penampilan

fisik, dan sifatnya lebih permanen. Contohnya seperti operasi plastik.

Pada skala sikap terdiri dari dua hal, yakni simpati dan empati.

Simpati adalah suatu perasaan ikut larut merasakan kesedihan mereka

yang tertimpa musibah. Sedangkan, empati adalah kelanjutan dari

rasa simpati yang berupa perbuatan nyata untuk mewujudkan rasa

simpatinya.

c. Faktor dorongan untuk berubah terdiri dari dua hal, yakni sugesti dan

motivasi. Sugesti berupa pengaruh psikis pada seseorang yang

berasal dari diri sendiri ataupun orang lain karena adanya

kepercayaan terhadap sesuatu hal dari orang yang dipercayai.

Sedangkan, motivasi merupakan dorongan yang mendasari seseorang

untuk melakukan perbuatan berdasarkan pertimbangan rasionalistis.

3. Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial

Menurut Herabudin (2015 : 214) interaksi sosial memiliki bentuk-bentuk

sebagai berikut:

a. Kerjasama(cooperation)

Kerjasama merupakan suatu usaha bersama antar individu atau

kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Akomodasi merupakan


proses penyesuaian sosial dalam interaksi antar individu dan antar

kelompok untuk meredakan suatu pertentangan.

b. Akomodasi(accommodation)

akomodasi merupakan suatu cara guna menyelesaikan

permasalahan tanpa menghancurkan pihak lawan sehingga pihak

lawan tersebut tidak kehilangan kepribadiannya. Akomodasi adalah

salah satu bagian dari bentuk-bentuk interaksi sosial asosiatif.

Proses sosial asosiatif ialah proses sosial yang menuju terbentuknya

integrasi sosial atau persatuan dan mendorong terbentuknya

pranata.

c. Asimilasi(assimilation)

Asimilasi merupakan sebuah proses ke arah peleburan kebudayaan

sehingga setiap pihak bisa merasakan kebudayaan tunggal sebagai

kepunyaan bersama..

d. Akulturasi(acculturation)

Akulturasi merupakan proses yang timbul dari suatu kebudayaan

untuk menerima kebudayaan asing tanpa menghilangkan

kebudayaan sendiri.

e. Disosiatif(dissociation)

Interaksi sosial disosiasif terdiri dari persaingan (competition),

kontraversi, dan pertentangan. Persaingan merupakan proses sosial

yang melibatkan individu atau kelompok dalam hal berlomba dan

berbuat sesuatu untuk mencapai kemenangan tertentu. Kontraversi


merupakan suatu pertentangan atau perbedaan pendapat, sikap yang

biasanya berupa perdebatan terhadap suatu masalah yang

bertentangan dan mempunyai dua sisi berlainan. Dan, pertentangan

merupakan suatu keadaan berupa konflik sosial. (AHA, 2017).

C. Konsep Anak Berkebutuhan Khusus

1. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus

Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) diartikan sebagai individu-

individu yang mempunyai karakteristik yang berbeda dengan individu

lainnya yang dipandang normal oleh masyarakat pada umumnya. Secara

lebih khusus anak berkebutuhan khusus menunjukkan karakteristik fisik,

intelektual, emosional yang lebih rendah atau lebih tinggi dari anak

normal sebayanya atau berada di luar stadart normal yang berlaku di

masyarakat. Sehingga mengalami kesulitan dalam meraih kesuksesan baik

dari segi sosial, personal, maupun aktivitas pendidikan (Bachri, 2010).

Menurut (Semiawan dan Mngunson, 2010) Anak Berkebutuhan

Khusus (ABK) merupakan anak yang secara siginifikan berbeda dalam

beberapa dimensi yang penting dari fungsi kemanusiaannya. Mereka yang

secara fisik, psikologis, kognitif, atau sosial yang terlambat dalam

mencapai tujuan-tujuan atau kebutuhan dan potensinya secara maksimal,

meliputi mereka yang tuli, buta, gangguan bicara, cacat tubuh, retardasi

mental, gangguan emosional, juga anak-anak berbakat dengan inteligensi

tinggi termasuk dalam kategori anak berkebutuhan khusus karena

memerlukan penanganan dari tenaga professional terlatih.


Penyimpangan yang menyebabkan ABK berbeda terletak pada

perbedaan ciri mental, kemampuan sensori, fisik dan neuromuskuler,

perilaku sosial dan emosional, kemampuan berkomunikasi, maupun

kombinasi dua atau tiga dari hal-hal tersebut (Mangunsong, 2009).

Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menunjukkan keadaan

anak berkebutuhan khusus. Istilah anak berkebutuhan khusus merupakan

istilah terbaru yang digunakan secara luas di dunia internasional. Ada

beberapa isitilah lain yang digunakan untuk menyebut anak berkebutuhan

khusus, antara lain anak cacat, anak tuna, anak berkelainan, anak

menyimpang, dan anak luar biasa. Selain itu, WHO juga merumuskan

beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut anak berkebutuhan

khusus, yaitu:

a. Impairement: merupakan suatu keadaan atau kondisi dimana individu

mengalami kehilangan atau abnormalisasi psikologi, fisiologi atau

fungsi struktur anatomi secara umum pada tingkat organ tubuh.

Contoh seorang yang mengalami amputasi kaki, maka ia akan

mengalami kecacatan kaki.

b. Disability: merupakan suatu keadaan dimana individu menjadi

“kurang mampu” melakukan kegiatan sehari-hari karena adanya

keadaan impairement, seperti kecacatan pad organ tubuh. Contoh,

pada orang yang cacat kaki, ia akan merasakan berkurangnya fungsi

kaki untuk mobilitas.


c. Handicapped: merupakan suatu keadaan dimana individu mengalami

ketidak mampuan dalam bersosialisai dan berinteraksi dengan

lingkungannya. Hal ini dimungkinkan karena adanya kelainan dan

berkurangnya fungsi organ individu. Contoh, orang yang mengalami

amputasi kaki, dia akan mengalami masalah mobilitas sehingga dia

memerlukan kursi roda (Purwanti, 2012).

Anak berkebutuhan khusus berbeda dengan anak-anak pada uumnya.

Mereka berproses dan tumbuh tidak dengan modal fisik yang wajar.

Karenanya mereka cenderung defensive (menghindar), rendah diri

atau mungkin agresif, serta memiliki semangat belajar yang rendah

(Purwanti, 2012).

2. Etiologi Anak Berkebutuhan Khusus

Menurut Irwanto, Kasim, dan Rahmi (2010) secara garis besar faktor

penyebab anak berkebutuhan khusus jika dilihat dari masa terjadinya

dapat di kelompokan dalam 3 macam, yaitu:

a. Faktor penyebab anak berkebutuhan khusus yang terjadi pada pra

kelahiran (sebelum lahir), yaitu masa anak masih berada dalam

kandungan telah di ketahui mengalami kelainan dan ketunaan.

Kelainan yang terjadi pada prenatal berdasarkan periodisasinya dapat

terjadi pada periode embrio, periode janin muda, dan periode aktini

(sebuah protein yang penting dalam mempertahankan bentuk sel dan

bertindak bersama-sama dengan mioin untuk menghasilkan gerakan

sel) (Arkhanda, 2006).


b. Faktor penyebab anak berkebutuhan khusus yang terjadi selama

proses kelahiran. Anak mengalami kelainan pada saat proses

melahirkan. Ada beberapa sebab kelainan saat anak dilahirkan, antara

lain anak lahir sebelum waktunya, lahir dengan bantuan alat, posisi

bayi yang tidak normal, premature.

c. Faktor penyebab anak berkebutuhan khusus yang terjadi setelah

proses kelahiran yaitu masa dimana kelainan itu terjadi setelah bayi

dilahirkan, atau saat anak dalam masa perkembangan. Ada beberapa

sebab kelainan setelah anak dilahirkan antara lain infeksi bakteri

(TBC/virus); kekurangan zat makanan (gizi, nutrisi), kecelakaan dan

keracunan.

3. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus

Klasifikasi gangguan anak berkebutuhan khusus menurut Davidson,

Neale dan Kring (2006) terdiri dari gangguan pemusatan perhatian atau

hiperaktive, ganguan tingkah laku, disabilitas belajar, retardasi mental,

dan gangguan autistic. Sedangkan Syamsul (2010) mengklasifikasikan

anak berkebutuhan khusus apabila termasuk kedalam salah satu atau lebih

dari kategori berikut ini.

a. Kelainan sensori, seperti cacat penglihatan atau pendengaran.

b. Deviasi mental, termasuk gifted retardasi mental

c. Kelainan komunikasi, termasuk problem bahasa dan ucapan

d. Ketidak mampuan belajar, termasuk masalah belajar yang serius

karena kelainan fisik


e. Perilaku menyimpang, termasuk gangguan emosional

f. Cacat fisik dan kesehatan, termasuk kerusakan neurologis, ortopedis

dan penyakit lainnya seperti leukemia dan gangguan perkembangan.

4. Jenis Anak Berkebutuhan Khusus

Adapun anak berkebutuhan khusus yang paling banyak mendapat

perhatian guru menurut Kauff dan Hallahan (dalam Bandi, 2006), antara

lain tunagrahita, kesulitan belajar (lerning disability), hiperaktive (ADHD

dan ADD), tunalaras, tunawicara, tunanetra, autis, tunadaksa, tunaganda

dan anak berbakat.

a. Tunagrahita atau retardasi mental

Menurut PP No.72 tahu 1991, anak tunagrahita diartikan sebagai

anak-anak yang memiliki kecerdasan di bawah rata-rata anak pada

umumnya. Secara lebih lengkap mendefinisikan tunagrahita

sebagai individu yang mememiliki intelegensi yang signifikan

berada dibawah rata-rata dan disertai dengan ketidak mampuan

dalam adaptasi perilaku, yang muncul dalam masa perkembangan

(Bandi, 2010).

b. Kesulitan belajar (learning disability)

Kesulitan belajar adalah kesulitan dalam memproses informasi,

khususna dalam matematika dan konsep kebahasaan. Kesulitan

belajar tidak ada kaitannya dengan intelegensi yang rendah, tapi

banak orang yang salah dalam memahaminya. Kesulitan belajar

dibagi menjadi 2, yaitu kesulitan belajar umum (learning


disability) dan kesulitan belajar khusus (specific learning

disability). Kondisi kelainan ini bisa disebabkan oleh hambatan

persepsi (perceptual handicaps), luka pada otak (brain injury),

ketidak berfungsian sebagian fungsi otak (minimal brain

dysfungsional), disleksia atau afasia perkembangan (development

aphasia) (Purwanti, 2012).

c. Hiperaktif (ADHD/ADD)

Hiperaktivitas adalah salah satu aspek dari Attention Deficit

with/without Hyperactivity Disorder (AD/ADHD) atau yang di

kenal dengan istilah Gangguan Pemusatan Perhatian dan

Hiperaktivitas (GPPH). ADHD/ADD mencangkup gangguan pada

tiga aspek, yaitu sulit memusatkan perhatian, hiperaktif, dan

impulsivitas. Hiperaktif adalah gangguan belajar yang sifatnya

umu pada anak maupun orang dewasa. Umumnya ditemukan pada

usia TK sampai SD kelas pemula, serta terus dimilikinya sampai

usia remaja, bahkan terkadang sampai usia dewasa (Semiawan dan

Mangunsong, 2012)

d. Tunalaras

Tunalara adalah individu yang mengalami hambatan dalam

mengendalikan emosi dan kontrol sosial. Individu tunalaras

biasanya menunjukkan perilaku menyimpang yang tidak sesuai

dengan norma dan aturan yang berlaku disekitarnya. Ada tiga

perilaku utama yang tampak pada seorang anak dengan kelainan


perilaku menyimpang, yaitu: agresif, suka menghindar diri dari

keramaian, dan sikap bertahan diri (Magunsong, 2010). Kurang

mampu dalam belajar, ketidakmampuan ini bukan karena faktor

intelektual, sensori, atau faktor kesehatan, tidak mampu

membangun atau memelihara hubungan interpersonal yang baik

dengan guru atau teman sebaya. Seringkali menampakkan perilaku

yang tidak sopan (Slavin, 2006).

e. Tunarungu

Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam

pendengaran baik permanen maupun tidak permanen. Klasifikasi

tunarungu berdasarkan tingkat gangguan pendengaran. Gangguan

pendengaran sangat ringan (15-40dB), tidak dapat mendengar

percakapan berbisik dalam keadaan sunyi pada jarak dekat.

Gangguan pendengaran sedang (40-60dB), tidak dapat

mendengarkan percakapan normal dalam kedaan sunyi pada jarak

dekat. Gangguan pendengaran berat (60-90dB), tidak dapat

mendengarkan percakapan yang keras pada jarak dekat seperti

vakum cleaner. Gangguan pendengaran ekstrem/tuli (diatas 90dB),

hanya dapat mendengarkan suara yangsangat keras seperti suara

gergaji mesin dalam jarak dekat (Alexander Graham Bell

Asociation for the Deal and Hard of Hearing, 2011 dalam Slvina,

2006).
Setiap anak yang mengalami gangguan pendengaran seringkali

mengalami beberapa masalah lain, seperti gangguan bahasa.

Walaupun memeliki potensi yang sangat tinggi dan cara berfikir

kreatif visualnya tinggi apabila kemampuan berbahasanya kurang,

maka perkembangan kognitif, prestasi akademik, dan kemampuan

sosialpun akan berpengaruh (Semiawan dan Mangunsong, 2011).

f. Tunanetra

Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam

penglihatan. Tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam dua

gulongan yaitu; buta total (Blind) dan low vision. Tunanetra

menurut Kaufman dan Hllahan (2006) adalah individu yang

memiliki lemah penglihatan atau akurasi penglihatan kurang dari

6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki penglihatan.

g. Autis

Mayoritas gangguan autisme di sebabkan karena abnormalitas di

otak (Coleman dan Ormord, 2008). Krakteristik umum dari

gangguan ini ditandai dengan adanya gangguan dalam kognisi

sosial (misalnya kemampuan mempertimbangkan perspektif orang

lain), kemampuan sosial, dan interaksi sosial (Baro, 2008). Anak-

anak dengan autisme seringkali menunjukkan diafat-sifat kelainan

yang bisa diidentifikasi seja umur 3 tahun (mangunsong, 2010),

diantaranya tidak tanggap terhadap orang lain, gerakan diulang-

ulang seperti bergoyang, berputar, dan memilih tangan.


Menghindari kontak mata dengan orang lain, tetap dalam

kebiasaan (Smith, 2006).

h. Tunadaksa

Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang

disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang

bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan, termasuk cerebral

palsy, amputasi, polio, dan lumpuh. Tingkat gangguan pada

tunadaksa, ringan yaitu memiliki keterbatasan dalam melakukan

aktivitas fisik tetap masih dapat ditingkatkan melalui terapi.

Sedang yaitu memiliki keterbatasan motorik dan mengalami

gangguan koordinasi sensorik. Berat yaitu memiliki keterbatasan

total dalam gerakan fisik dan tidak mampu mengontrol gerakan

fisik (Haris, 2016).

i. Tunaganda

Istilah ini digunakan untuk menyebut anak-anak yang mengalami

cacat ganda atau lebih dari satu. Misalna seorang anak yang

mengalami kelainan penglihatan ringan, mungkin jga memerlukan

bantuan khusus yang berkaitan dengan penyesuaian sosial dan

intelektual (Syamsul, 2010).

j. Anak berbakat

Istilah gifted digunakan untuk menyebut anak-anak berbakat

dengan IQ diatas 135 dengan kreativitas, motivasi dan ketahanan

kerja yang tinggi. Sementara Winner (2013) mendefinisikan gifted


sebagai kemampuan atau bakat yang sangat tinggi dalam salah satu

atau lebih pada bidang tertentu, seperti music, matematika,

sedemikian rupa sehingga membutuhkan pelayanan pendidikan

khusus agar dapat mengembangkan potensi itu sepenuhnya.

D. Konsep Saudara Kandung

1. Pengertian Saudara Kandung

Saudara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai orang

yang seibu dan seayah ataupun hanya seibu atau seayah baik itu kakak

maupun adik (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2013).

Memiliki saudara kandung adalah berkat tersendiri dalam

kehidupan. Saudara kandung yang disebut sibling, dapat menjadi teman

sepanjang hidup karena rentang usia yang dekat antar sibling. Hal ini

berbeda dengan hubungan orang tua-anak yang berakhir lebih cepat

karena rentang usia yang jauh. Pada umumnya orangtua akan mendorong

anak yang berusia lebih besar untuk membantu orangtua dalam berbagai

kegiatan sehari-hari, termasuk mengasuh adiknya seperti menyuapi dan

mandi bersama, menjaga adiknya saat bepergian ke tempat umum atau

dalam kegiatan bermain, serta untuk menyayangi dan mengungkapkan

kasih sayangnya kepada adiknya dengan mengusap kepala, memeluk,

atau mengucapkan kata-kata sayang. Orangtua pada umumnya juga akan

mendorong anak yang berusia lebih kecil untuk menghormati dan

mencontoh perilaku kakaknya, menemani dan bila perlu membantu

kakaknya dalam berbagai kegiatan sehari-hari atau dalam kegiatan


bermain, dan juga mengungkapkan kasih sayangnya kepada sang kakak

(Neff, 2011).

Memiliki saudara dengan berkebutuhan khusus dapat memberikan

tantangan emosional dan perilaku (Aytekin, 2016). Hadirnya saudara

dengan disabilitas dapat memberikan pengaruh yang positif maupun yang

negatif bagi anak yang tidak menyandang disabilitas intelektual. Respons

dan perasaan yang ditunjukkan oleh anak terhadap saudaranya yang

disabilitas bukan merupakan sesuatu yang bersifat statis melainkan

dipengaruhi oleh usia dan tingkat perkembangannya (NICHCY, 2017).

McHale dan Gamble (dalam NICHCY, 2017) menyatakan bahwa

anak usia sekolah hingga remaja awal memiliki respons dan dampak yang

lebih positif. Sementara bagi usia yang lebih besar, respons dan

perasaannya cenderung cemas pada masa depan, seperti akan menjadi apa

saudara mereka yang menyandang disabilitas, bagaimana pandangan

orang-orang terdekat mereka dalam hal ini teman dan pacar, akankah

orang lain dapat menerima kondisi saudaranya yang menyandang

disabilitas dan mereka mencemaskan mengenai tanggung jawab mereka

untuk mengurus saudaranya yang menyandang disabilitas.

Stres yang dirasakan oleh saudara kandung dari anak dengan

disabilitas intelektual biasanya lebih tinggi, bukan saja karena tingkah

laku dari saudaranya yang berkebutuhan khusus, tetapi juga perbedaan

pola pengasuhan orangtua dan adanya tanggung jawab tambahan yang

dibebankan kepada mereka (NICHCY, 2017).


Saudara kandung akan memiliki beragam pengalaman emosional

dan interaksi sosial ketika mengetahui bahwa ada seorang anak

“bermasalah” di dalam keluarganya (Paternotte dan Buitelaar, 2010).

Sulit bagi saudara sekandung membentuk hubungan yang memuaskan

dengan saudara autisnya. Hal ini juga dapat menimbulkan rasa frustasi

bagi saudara sekandung dalam melakukan suatu kegiatan dengan saudara

autisnya (Ambarini, 2006).

Beberapa kesulitan lain bagi saudara kandung muncul dari

tuntutan kondisi anak. Misalnya, pada waktu diagnosis, anak yang

memiliki kebutuhan khusus perlu menjadi fokus perhatian dan

keprihatinan orang tua. Hospitalisasi atau kunjungan yang sering ke

dokter atau klinik dapat mengganggu rutinitas keluarga. Saudara kandung

dikesampingkan, seringkali ditinggal di rumah dan di rumah teman.

Saudara kandung menjadi marah karena adanya gangguan ini yang

seringkali menuntut pengorbanan diri. Orang tua mereka mungkin tidak

dapat menghadiri pertemuan sekolah, pertandingan bola, atau aktivitas

lain dan suatu saat mungkin orang tua tidak ada di dekat mereka baik

secara fisik maupun emosioal. Sumber keuangan dan emosional keluarga

mungkin ditujukan untuk anak yang memiliki kebutuhan khusus. Apabila

hal ini terjadi, seringkali tidak hanya aktivitas normal keluarga yang

menurun, tetapi juga terjadi penurunan dalam pemenuhan kebutuhan

barang-barang pribadi untuk anak lain (Wong, 2008).


Perlakuan orang tua yang istimewa kepada anak yang memiliki

kebutuhan khusus, saudara kandung dapat merasa marah dan cemburu –

perasaaan yang seringkali dialihkan oleh rasa kehilangan dan kepritahinan

dalam diri mereka sendiri (Wong, 2008). Saudara kandung yang lebih tua

secara khusus dapat marah karena mereka menjadi orang tua pengganti

untuk saudara kandung laki-laki dan perempuan mereka yang lebih muda

(Nurmaningtyas, 2013).

2. Faktor-faktor Saudara Kandung

Pada seseorang akan meningkat sejalan dengan meningkatnya usia

tetapi pada setiap usia akan berbeda-beda. Walker (2010, 85-86) adanya

persamaan jenis kelamin pada anak dan perbedaan usia anak yang terlalu

dekat.

Faktor-faktor yang tumbuh dan berkembang dari dalam diri anak itu

sendiri seperti:

a. Temperamen

Pada umumnya temperamen yang dirasakan ataudi ungkapkan

seseorang melalui amarahnya berbeda-beda. Secara umum

temperamen di bagi menjadi beberapa macam antara lain,

sanguine adalah amarah yang diungkap seseorang dengan

berusaha menyenangkan diri sendiri ataupun orang lain.

Melankolis adalah amarah yang di ungkap seseorang dengan

menjadi pemurung dan sensitif. Kolerik adalah amarah yang

diungkapkan seseorang dengan menjadi agresif ataupun kata-kata


sarkatis, sedangkan Flekmatik adalah amarah yang diungkap

seseorang dengan menjadi lebih pendiam, penurut, dan tidak

menuntut orang lain.

b. Sikap Anak dalam Mencari Perhatian Orang Tua.

Anak pertama adalah curahan kasih sayang dan pusat perhatian

keluarga. Seorang anak merasa kehilangan kasih sayang dan

perhatian orang tua ketika memiliki adik atau saudara kandung

yang membuat seorang anak berusaha mempertahankan perhatian

orang tau yang pernah didapatnya dengan cara yang

menyenangkan ataupun dengan cara yang menjengkelkan orang

tua.

c. Perbedaan Usia / Jenis Kelamin.

Peraturan atau tugas yang diberikan orang tua kepada anak,

membuat anak merasa ada perbedaan antara anak yang satu

dengan yang lainnya. Adakalanya tradisi mengalah yang

diterapkan orang tua kepada anak yang usianya lebih besar

membuat dirinya merasa dinomor duakan oleh orang tuanya,

namun adakalanya jenis kelamin membuat anak merasa di

bedakan karena pembagian tugas yang berbeda.

d. Ambisi Anak Untuk Mengalahkan Anak yang Lain

Terkadang seorang anak berusaha menjatuhkan adiknya dihadapan

orang lain agar dapat mengembalikan perhatian yang pernah di

dapat sebelum kehadiran seorang adik (Priatna & Yuliana, 2006).


E. Penelitian Terkait

1. Hastings (2003) mengatakan bahwa saudara kandung dari anak dengan

berkebutuhan khusus memiliki tingkat penyesuaian diri yang lebih rendah

dibandingkan dengan anak normal, selain itu juga lebih sedikit mengikuti

aktivitas pro-sosial, memiliki masalah emosional, masalah tingkah laku,

dan masalah dengan teman sebaya yang lebih banyak dibanding

kelompok normal. Cox, Marshall, Mandleco, & Olsen (2003) juga

mengatakan bahwa pada hubungan saudara dengan disabilitas dapat

memunculkan tekanan yang bersifat terus menerus dari disabilitas itu.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Angell, Meadan dan Stoner (2012)

menunjukkan bahwa saudara kandung dari anak berkebutuhan khusus

memiliki perasaan yang berubah-ubah terhadap saudara berkebutuhan

khusus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna pengalaman

saudara sekandung yang memiliki saudara berkebutuhan khusus. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa saudara kandung dari anak

berkebutuhan khusus mengalami frustasi, malu, marah dan cemburu

terhadap saudaranya yang autis. Mereka merasa tidak tahan dengan

perilaku aneh yang dimiliki saudara berkebutuhan khusus. Sementara itu,

ada juga saudara kandung yang melaporkan bahwa mereka mampu

menyesuaikan diri dengan saudara berkebutuhan khusus, bahkan mereka

ikut terlibat dalam terapi dan senang hati mengajari saudara berkebutuhn

khusus. Dari hasil penelitian ini terlihat bahwa saudara sekandung


membutuhkan arahan dan pemahaman dari orang tuanya agar mereka

mengerti dengan kondisi saudara berkebutuhan khusus.

3. Menurut Herabudin (2015 : 205) berpendapat bahwa interaksi sosial

adalah “proses komunikasi antar orang untuk saling mempengaruhi

perasaan, pikiran, dan tindakan”. Menurut Astuti (2016 : 12) interaksi

sosial asosiatif adalah “interaksi sosial yang bersifat positif artinya

mendukung seseorang atau kelompok manusia untuk mencapai tujuan

tertentu”. Menurut Herabudin (2015 : 214) bentuk-bentuk interaksi sosial

asosiatif adalah “kerja sama, kerukunan, bergaining,

kooptasi(cooptation), koalisi (coalition), joint venture, dan akomodasi

Sejalan dengan pendapat Herabudin, Sulistyowati dan Soekanto (2015 :

65) mengatakan bahwa bentuk- bentuk interaksi sosial asosiatif adala

“kerja sama, kerukunan, bergaining, kooptasi(cooptation), koalisi

(coalition), jointventure dan akomodasi. Adapun bentukbentuk

akomodasi yaitu coercion, compromise, arbitration, mediation,

conciliation, toleration, stalemate, dan adjudikasi.

4. Pada penelitian yang telah dilakukan oleh (Pramashanti, Rakhman, &

Endriyani, 2016) tentang Dukungan Kelurga Berhubungan Dengan

Asupan Energi Anak Retardasi Mental Di SLB Negeri 01 Kabupaten

Bantul dengan jumlah 66 subjek penelitian. Hasil Penelitian didapatkan

bahwa subjek yang mempunyai dukungan keluarga yang baik dan asupan

energi yang cukup 27 subjek (40%), subejk yang mempunyai dukungan

kelurga cukup dan asupan energi sukup berjumlah 13 subjek (19.7%),


sedangkan dukungan keluarga cukup danasupan energi yang kurang

sebanyak 10 subjek (15,2%). Berdasarkan analisis Kendal Tau diperoleh

nilai p-Value 0,001 (>0,05) yang berarti ada hubungan yang signifikan

antara dukungan keluarga dengan asupan energi pada anak retardasi

mental di SLB 01 Kabupaten Bantul.

5. Pada penelitian yang telah dilakukan oleh (Sidik, 2014) tentang

Gambaran Dukungan Keluarga Yang Memiliki Anak Berkebutuhan

Khusus di sekolah khusus Kota Tangerang Selatan dengan jumlah 60

anak berkebutuhan khusus diantaranya 34 anak tunagrahita, 4 anak

tunarungu dan 22 anak autis. Berdasarkan dukungan keluarga pada anak

tunagrahita dalam kategori bai 32 orang (94,1%), kategori cukuo (0,0%),

dan kategori kurang 2 orang (5,9%). Dukungan keluarga pada anak

tunarungu dalam kategori baik 4 orang (100%). Dukungan keluarga pada

anak autis dalam kategori 5 orang (22,7%),kategori cukup (45,5%) dan

kategori kurang 7 orang (31,8%).

6. Pada penelitian ini yang telah dilakukan oleh (Pawiono, Latri, &

Rosmaharani, 2016) tentang Hubungan Dukungan Keluarga dengan

Tingakt Depresi Keluarga dalam Merawat Anak Retardasi Mental dengan

jumlah sampel 36 orang tua dengan anak retardasi mental. Berdasarkan

hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa sebagian

besar (55,6%) keluarga yang merawat anak retardasi mental menerima

dukungan dari kelurga dan hamper seluruhnya (31,6%) keluarga yang

merawat anak retardasi mental mengalami depresi ringan dan sedang dari
hasil uji statistic spreaman’s rank menunjukan bahwa terdapat hubungan

yang kuat (r= ,0675) antara dukungan kelurga dengan tingkat depresi

keluarga dalam merawat anak retardasi mental di SDLB Negeri

Balongsari Mangaluh Kabupaten Jombang, dengan nilai p value= 0,000

dimana nilai p value < α (0,05).

7. Pada penelitian yang telah dilakukan oleh (Ariani, 2016) tentang

Gambaran Kemampuan Perawatan Diri (Self Care Agency) pada anak

disabilitas (Tunagrahita dan tunanetra) di SLB Bantul dengan jumlah

sampel 85 anak disabilitas (tunagrahita dan tunanetra) berusia 16-18

tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan perawatan diri

(self care agency) anak disabilitas (tunagrhita dan tunanetra) terbanyak

berada pada kategori cukup sebanyak 38 anak (44,7%). Gambaran

kemampuan perawatan diri karateristik responden, sebanyak 29 anak

(42,6%) dari kelas anak tunagarhita dalam kategori baik, sebanyak 24

anak (49%) berjenis kelamin laki-laki,dengan kategori cukup sebanyak 18

anak (28,6%).

Anda mungkin juga menyukai