Anda di halaman 1dari 14

Kuasi- reorganisasi

Kuasi-reorganisasi biasanya dilakukan dalam hal terjadinya suatu defisit. PSAK No. 51
pasal 9 mendeskripsi pengertian kuasi-reorganisasi sebagai berikut :

" Kuasi-reorganisasi adalah reorganisasi, tanpa melalui reorganisasi secara hukum yang
dilakukan dengan menilai kembali akun-akun aktiva dan kewajiban pada nilai wajar dan
mengeliminasi saldo defisit".

Selanjutnya ditegaskan bahwa kuasi-reorganisasi merupakan prosedur akuntansi yang mengatur


perusahaan untuk merestrukturisasi ekuitasnya dengan menghilangkan defisit dan menilai
kembali seluruh aset dan kewajibannya, tanpa melalui reorganisasi secara hukum. Paton dan
Littleton (1970) menyebutkan bahwa kalau terjadi defisit, tia tidak perlu segera diserap oleh
modal setoran. Defisit dapat dianggap sebagai kontra jumlah modal setoran dengan harapan
operasi perusahaan dimasa mendatang dapat menutup atau menghilangkan desisit tersebut. Akan
tetapi, kalau defisit tersebut berkelanjutan dan perusahaan terus mendapat rugi, tidak ada jalan
kecuali mengadakan kuasi-reorganisasi agar secara yuridis perusahaan dianggap seat dan dapat
membagikan dividen. Proses kuasi-reorganisasi biasanya terdiri atas langkah-langkah berikut :

1. Aset dan kewajiban perusahaan dinilai kembali atas dasar nilai pasar atau nilai wajar
pada saat reorganisasi.
2. Modal setoran lain atau agio saham (paid-in capital in excess of par) harus ditentukan
jumlahnya sehingga cukup besar untuk menutup defisit. Bila sudah cukup besar maka
defisit dapat lansung dikompensasi dengan modal saham ini. Kalau tidak cukup, nominal
saham atau nilai yuridis saham harus diturunkan atau dimintakan kesediaan dari
pemegang saham untuk menutup defisit dengan mendonasikan sebagian modal sahamnya
(ini berarti sebagian modal saham dilikuidasi tanpa kompensasi apapun kepada pemegang
saham).
3. Saldo debit laba ditahan (defisit) dieliminasi dengan cara mendebit agio/premium modal
saham.

Setelah kuasi-reorganisasi, laba ditahan tentunya akan bersaldo nol dan mungkin terdapat
sisa agio modal saham. Laba ditahan sebelum reorganisasi tidak dapat diteruskan lagi dan laba
ditahan dalam neraca setelah reorganisasi harus diberi tanggal. Artinya, harus ditunjukkan bahwa
kalau terjadi laba ditaha, maka laba ditahan tersebut terbentuk setelah tanggal reorganisasi.
Accounting Research Bulletin (ARB) No. 46 paragraf 2 menyebutkan bahwa pemberian tanggal
tersebut harus berlangsung paling tidak 10 tahun kecuali keadaan menjustifikasi untuk
mengungkapkan hal tersebut kurang dari waktu tersebut.

Dewan Standar Akuntansi menegaskan bahwa kuasi-reorganisasi bukan sekadar cara


untuk menyajikan kembali posisi keuangan yang lebih baik tetapi juga cara untuk
menyelamatkan perusahaan yang terbebani defisit yang material padahal perusahaan tersebut
memiliki prospek yang baik. Kalau prospek memang tidak baik, defisit merupakan kegagalan
perusahaan dan kepailitan merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, Dewan
Standar Akuntansi menetapkan syarat-syarat perusahaan yang dapat melakukan kuasi-
reorganisasi yaitu (PSAK No. 51, Pasal 11) :

a) Perusahaan mengalami defisit dalam jumlah yang material.


b) Perusahaan harus memiliki status kelancaran usaha dan memiliki prospek yang baik pada
saat kuasi-reorganisasi dilakukan.
c) Perusahaan tidak sedang menghadapi permohan kepailitan.
d) Tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku.
e) Saldo ekuitas sesduah kuasi-organisasi harus positif.

Pengaruh Defisit Terhadap Kreditor

Setiap defisit akan mengurangi batas perlindungan (margin of protection) yang


sebelumnya dinikmati oleh kreditor perseroan dan tingkat pengurangan ini akan menjadi makin
berpengaruh kalau defisit semakin besar. Kalau laba ditahan jumlanya cukup untuk menyerap
rugi tertentu maka tidak akan timbul defisit ditinjau dari segi neraca meskipun posisis kreditor
menjadi kurang terjamin dibandingkan dengan posisi sebelum terjadinya rugi. Kalau rugi
melebihi laba ditahan jaminan kreditor mula-mula yang berupa ekuitas pemegang saham telah
disisihkan sebagai agio saham cukup untuk menyerap sisa rugi, maka jaminan penyangga bagi
auditor akan terpengaruh juga. Kalau modal saham yuridis harus dikurangi untuk membentuk
agio yang cukup untuk menyerap defisit maka jelaslah ada pengerutan elemen jaminan
penyangga total mula-mula (original margin) yang menjadi dasar utama kepercayaan kreditor
dalam menanamkan dananya.

Proses pengurangan modal saham yuridis untuk menyerap defisit akan mendekatkan
posisi perusahaan padaa garis batas yang menandai timbulnya hak kreditor yaitu hak yang
berkaitan dengan kesulitan keuangan (insolvency) debitor. Arti pentingnya proses kuasi-
reorganisasi akan sangat berpengaruh terhadap kreditor bilamana ada petunjuk bahwa defisit
secara beransur-ansur menjadikan jaminan penyangga bagi kreditor habis. Itulah sebabnya
Dewan Standar Akuntansi menetapkan bahwa hanya perusahaan yang prospeknya baik dapat
melakukan kuasi-reorganisasi.

Kuasi-reorganisasi yang memenuhi syarat tidak dengan sendirinya merugikan kreditor.


Seperti juga pemegang saham, kreditor akan lebih dirugikan oleh adanya rugi daripada oleh
fleksibilitas penyesuaian modal. Akan tetapi, sebagai mana ditegaskan oleh Paton dan Littleton
(1970), yang jelas bahwa dengan cara pengungkapan yang bagaimanapun, membiarkan laba
ditahan tetap utuh sementara rugi diserap dengan modal setoran merupakan perlakuan yang
menyesatkan bagi semua pihak yang berkepentingan.

Penyajian Modal Pemegang Saham


Urutan penyajian kewajiban dan modal pemegang saham dalam neraca sebenarnya
menggambarkan urutan perlindungan dalam kondisi perusahaan mengalami defisit dan dalam
kondisi perusahaan likuidasi. Dalam terjadi defisit, urutan penyajian menggambarkan urutan
penyerangan rugi (sequence of charges) sedangkan dalam kondisi likuidasi urutan penyajian
menggambarkan urutan perlindungan yuridis (legal sequence of protection) bagi para penyedia
dana dalam hal terjadi likuidasi. Jadi, berbagai hak atas aset disajikan atas dasar urutan siapa
dahulu yang memikul rugi dalam hal terjadi defisit dan siapa dahulu menerima distribusi aset
dalam hal terjadi likuidasi.

 Urutan Penyerapan Rugi


Secara umum kos yang telah dikorbankan (expired) menjadi biaya akan diserap
melalui aliran pendapatan kotor. Hal ini berkaitan pada umumnya dengan pengakuan
biaya atas dasar konsumsi manfaat (consumption of benefit) dalam kondisi operasi
normal. Dalam hal terjadi pengorbanan kos akibat hilangnya manfaat menjadi rugi, rugi
tersebut akan diserap dahulu melalui laba bersih dan hanya dalam keadaan yang sangat
khusus maka kos tersebut dapat diserapkan oleh kelompok modal pemegang saham. Jadi,
urutan penyerapan biaya, rugi, dan rugi luar biasa (sequence of charges) dapat
digambarkan sebagai berikut :
1. Pendapatan kotor. Pos ini menyerap semua biaya dan rugi dan debit/beban (changes)
yang berasal dari transaksi nonpemilik.
2. Laba bersih. Hal ini akan terjadi pendapatan kotor tidak cukup untuk menutup semua
kos terhabiskan (expired cost) baik yang berasal dari konsumsi manfaat maupun
hilangnya manfaat (misalnya rugi luar biasa).
3. Laba ditahan. Hal ini hanya dapat dilakukan apabila laba bersih perioda berjalan
tidak cukup untuk menyerap suatu rugi tertentu atau rugi luar biasa.
4. Premium modal saham. Bagian modal ini baru dapat menyerap rugi kalau laba
ditahan dan laba ditahan telah habis untuk menyangga suatu rugi.
5. Modal Saham. Bila ketentuan modal yuridis telah terpengaruh secara substansial,
kebijakan untuk melakukan kuasi-reorganisasi atau bahkan likuidasi perusahaan mungkin
diperlukan.

Urutan penyerapan rugi diatas sebenarnya merupakan asumsi atau tradisi semata-
mata walaupun hal tersebut dapat dikuatkan dalam bentuk standar akuntansi. Hal ini
didasarkan pada pikiran bahwa berbagai dana yang ditanamkan menjadi aset perusahaan
akan lebur manjadi begitu lumutnya menjadi satu kesatuan aset. Jika demikian, rugi
timbul akbiat keseluruhan kegiatan yang didanai dari berbagai sumber. Oleh karena itu,
sebenarnya tidak mungkin lagi menyatakan bahwa rugi berkaitan dengan sumber dana
tertentu.
Walaupun demikian, atas dasar sifat pendanaan (financing) dan operasi
perusahaan serta penekanan konsep kontinuitas, cukup validlah untuk menganggap
bahwa dalam kelompok modal pemegang saham , modal saham atau yuridis adalah
bagian terakhir (residual) dalam kaitannya dengan penyerapan rugi.
Penempatan laba bersih di atas laba ditahan untuk menyerap rugi dilandasi oleh
alasan untuk mencegah kecenderungan manajemen untuk melaporkan rugi secara
terpisah dari statamen laba-rugi dan langsung membebankan ke kelompok modal
pemegang saham. Alasan tersebut juga menjadi argumen untuk memmunculkan konsep
laba komprehensif. Dengan konsep ini, semua rugi dalam bentuk dan jenis apapun
dimasukkan dalam statemen laba-rugi tahun terjadinya atau tahun dapat diakuinya rugi
tersebut.

 Urutan Menerima Distribusi Aset


Urutan perlindungan menunjukkan siapa yang harus didahulukan dalam
menerima distribusi aset atau siapa yang menanggung segala akibat dalam kasus
perushaan dilikuidasi. Urutan ini menjadi basis penyajian untuk kewajiban dan ekuitas
pemegang saham. Ditinjau dari segi ini, urutan perlindungan dapat dikemukakan sebagai
berikut :
1. Karyawan dan pemerintah. Pihak ini dapat dipandang sebagai kreditor yang
diprioritaskan yaitu karyawan dengan hak atas gaji dan pemerintah dengan hak atas pajak
terhutang.
2. Kreditor berjaminan (guaranteed creditors). Pihak ini adalah pemegang obligasi atau
kreditor lain yang haknya dijamin dengan hak sita atau aset tertentu.
3. Kreditor takberjaminan (unguaranteed creditors). Pihak ini terdiri atas para kreditor
yang tidak dijamin yang terrefleksi dalam utang usaha atau utang wesel baik jangka
pendek maupun jangka panjang.
4. Pemegang saham prioritas. Pihak ini dilindungi oleh laba ditahan sebagai penyangga
modal saham atau yuridis.
5. Pemegang saham biasa. Pihak ini merupakan pemegang hak atas sisa kekayaan
(residual interest) yang berarti bahwa pemegang saham biasa harus menanggung lebih
dahulu rugi atau defisit.
Dengan urutan perlindungan seperti di atas, pemegang modal saham biasa adalah
yang paling akhir dilindungi alias tidak ada perlindungan sama sekali. Modal saham biasa
ini merupakan hak atas kekayaan yang terbuka terhadap risiko dan paling terpengaruh
terhadap hasil kegiatan perusahaan, baik hasil yang menguntungkan maupun yang
merugikan. Meskipun demikian, dalam perusahaan yang besar yang pemegang saham
biasanya berkedudukan sebagai kreditor yaitu menyediakan dana tanpa mengurus
lansung penggunaan dana tersebut, tentu saja cukup beralasan untuk menganggap bahwa
ada semacam "perlindungan" berupa prospek perusahaan yang cerah di samping
tanggung jawab yang terbatas pada modal di setor. Tanpa harapan atau "perlindungan" ini
tentunya akan sedikit yang bersedia menjadi pemegang saham biasa.
Perincian Laba Ditahan

Bila komponen-komponen tertentu yang berasal dari transaksi operasi dilaporkan lansung
kelaba ditahan, laba ditahan dapat disajikan dan dirinci atas dasar sumber. Terdapat pula
kebiasaan bahwa laba ditahan disajikan dengan memerincinya atas dasar tujuan (by purposes)
dengan cara yang disebut apropriasi (appropriation) dan pembatasa (restriction) . Masalah
teoritisnya adalah apakah rincian yang diajukan tersebut benar-benar bermanfaat kalau ditinjau
dari sudut pandang pemakai statemen keuangan umum ?

 Perincian Atas Dasar Sumber


Dengan dasar ini, laba ditahan dapat dirinci menjadi laba ditahan yang berasal
dari operasi normal atau rutin yang berasal dari laba luar biasa. Dapat saja pembedaan
antara kedua sumber laba ditahan tersebut dipertajam. Namun, sebenarnya tidak cukup
beralasan untuk memecah kembali jumlah rupiah bersih laba periodik atas dasar
klasifikasi sumber bilamana statemen laba rugi telah memuat semua faktor yang
menentukan laba bersih (pendekatan laba komprehensif) dan laba komprehensif ini telah
ditransfer ke laba ditahan menjadi bagian dari ekuitas pemegang saham. Jadi, bila
perubahan akibat transaksi operasi dipisahkan secara tegas dengan transaksi modal,
statemen laba-rugi telah merefleksi sumber laba ditahan sehinggan perincian laba ditahan
akan percuma.
 Perincian Atas Dasar Tujuan Penggunaan
Dalam praktik, perincian ini ditunjukkan dengan adanya pos cadangan jaminan
sosial, laba ditahan terbatas (restricted retained earnings), dan cadangan umum.
Perincian semacam itu sebenarnya sama saja dengan mengaitkan laba ditahan dengan
aset tertentu. Artinya, dalam aset apa saja laba diatahan terikat. Klasifikasi ini
mendasarkan pada tujuan penggunaan laba ditahan sebagaimana ditunjukkan oleh
komponen aset yang terkait.
Dalam hal tertentu mungkin ada petunjuk untuk mengatakan bahwa laba ditahan
terikat dalam aset lancar. Misalnya saja, dalam suatu perioda telah terjadi kenaikan modal
kerja neto dan tidak terjadi transaksi lain kecuali transaksi operasi yang menimbulkan
laba dalam periode tersebut. Dalam hal ini, terdapat cukup alasan untuk mengatakan
bahwa laba ditahan pada saat itu tertanam dalam tambahan modal kerja. Dalam kasus lain
mungkin dapat dibuktikan bahwa jumlah rupiah laba ditahan terikat dalam kas atau pos
aset lancar lain. Sejalan dengan pikiran tersebut, kalau terjadi tambahan fasilitas fisis
tanpa diimbangi dengan terjadinya pimpinan baru, modal baru, atau berkurangnya modal
kerja, terdapat pula cukup alasan untuk menyatakan bahwa laba ditahan telah tertanam
dalam aset tetap.
Ada kalanya, dalam rangka kebijakan deviden, perusahaan yang mempunyai
rencana membagi deviden menyisihkan laba ditahan menjadi "cadangan pembagian
dividen" sebelum mengumumkan dividen. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa
dividen tersebut harus dibayar dengan kas. Penyisihan tersebut sebenarnya tidak
menjamin bahwa kas tersedia untuk keperluan tersebut. Contoh yang sangat popular
adalah banyaknya perseroan Amerika yang mampu membayar dividen selama perioda
depresi pada awal-awal tahun tigapuluhan karena adanya akumulasi laba selama perioda
ledakan (bom) kegiatan ekonomi pada tahun-tahun duapuluhan. Jadi, sebenarnya tidak
benar untuk beranggapan bahwa dividen yang dibayar pada perioda berjalan adalah
berasal dari laba yang diperoleh pada perioda tersebut. Oleh karena itu, Paton dan
bLittleton (1970) menegaskan bahwa penyisihan laba ditahan sebenarnya tidak bermakna
(meaningful).
Penyisihan laba ditahan sebagai cadangan khusus akan cenderung memberi
gambaran yang menyesatkan kepada para pembaca statemen keuangan. Istilah
"cadangan" memberi kesan sebagai dana kas atau semacamnya yang disihkan (dihimpun)
untuk tujuan khusus. Pada kenyataannya, biasanya tidak ada dana (kas dan aset lainnya)
yang benar-benar dipisahkan yang jumlahnya sama dengan jumlah "cadangan" laba
ditahan yang dibentuk bahkan kadang-kadang tidak pernah atau akan terjadi investasi
atau pengeluaran dana seperti yang disebut dengan nama cadangan laba ditahan tersebut.
Jadi, pencadangan semacam itu akan percuma saja.
Pato dn Littleton beragumen bahwa tidak diperlukannya perician laba ditahan
adalah bahwa laba ditahan pada dasarnya tidak lebih daripada sebagai bagian hak
pemegang saham atas dana yang tertanam dalam seluruh aset sebagai kesatuan. Jumlah
rupiah laba ditahan tidak dapat diidentifikasi atas dasar ke jenis aset apa jumlah rupiah
tersebut terikat. Seperti juga modal setoran, laba ditahan terikat dalam aset sebagai satu
kesatuan. Ini berarti bahwa setiap bentuk klasifikasi laba ditahan atas dasar untuk apa
jumlah rupiah laba ditahan digunakan dalam perusahaan adalah bersifat hipotesis belaka
dan sama sekali tidak bermakna.
Bentuk lain penyisihan adalah untuk tujuan penyerapan kemungkinan rugi atau
ketidakpastian lainnya (contigencies). Penyisihan ini juga tidak bermakna karena pada
dasarnya total jumlah rupiah laba ditahan dapat dipandang sebagai penyangga atau
cadangan umum (general purpose buffer). Kalau memang terdapat suatu tuntutan ganti
rugi atau klaim yang suatu saat memang harus dipenuhi maka jumlah rupiahnya (bila
perlu ditaksir) harus ditunjukkan sebagai kewajiban. Kalau ketidakpastian tersebut tidak
lebih dari sekadar kemungkinan dan khusunya apabila jumlah rupiah kerugiannya tidak
dapat ditentukan maka suatu catatan kaki akan cenderungan lebih informatif daripada
penyisihan laba ditahan.

Laba Komprehensif

Pos-pos operasi dalam arti luas sebagai lawan pos-pos transaksi nonpemilik meliputi pos-
pos operasi utama, pos-pos tambahan, dan pos-pos yang sifatnya khusus atau luar biasa tetapi
berasal dari transaksi nonpemilik. Masalah teoritis dalam hal ini adalah pos-pos mana saja yang
disajikan melalui statemen laba-rugi dan pos-pos mana saja yangdilaporkan melalui statemen
laba ditahan. Dalam hal ini, ada dua pendekatan yang dapat dianut yaitu kinerja sekarang atau
normal (current atau normal performance approach) dan semua-termasuk atau surplus bersih
(all-inclusive atau clean surplus approach).

 Laba Kinerja Sekarang


Pendekatan ini hanya memasukkan ke dalam statemen laba-rugi pos-pos operasi
yang dianggap bertalian dengan tahun berjalan dan penggunaan aset (sumber ekonomik)
untuk mencapai tujuan utama. Pendekatan ini menekankan makna perioda sekarang atau
berjalan (current) dan operasi (operating) dalam arti sempit. Pendukung pendekatan ini
mengajukan beberapa argumen sebagai berikut :
1. Laba harus mengukur efisiensi penggunaan sumber ekonomik untuk perioda berjalan
sehingga laba harus bebas dari hal-hal yang mengaburkan efisiensi. Efisiensi, yang
diukur atas dasar kembalian atas aset (return on assets), merupakan angka penting untuk
memprediksi kemampuan melaba masa datang.
2. Laba merupakan pengukur kinerja manajemen. OLeh karenanya, laba haruslah angka
yang benar-benar merupakan hasil penggunaan sumber ekonomik yang ada dalam batas-
batas pengendalian manajemen. Faktor-faktor yang terjadi di luar kendali manajemen
harus dikeluarkan dari perhitungan laba. Ini berarti, laba yang harus disajikan dalam
statemen laba-rugi adalah laba yang berasal dari operasi normal.
3. Laba harus dapat digunakan untuk melakukan perbandingan antarperioda dan
antarperusahaan secara bermakna. Hal ini hanya dapat dilakukan kalau angka laba hanya
berisi pos-pos yang bersifat operasi dan rutin.
4. Karena fiksasi fungsional (functional fixation) pembaca statemen laba-rugi yang hanya
melibat angka akhir, pemasukan pos-pos luar biasa dalam statemen laba rugi dapat
menyesatkan pemakai.

 Laba Semua-Termasuk
Pendekatan ini menekankan pemisahan secara tegas transaksi operasi dalam arti
luas dan transaksi modal. Dengan kata lain, yang diperhitungkan sebagai laba dan
disajikan melalui statemen laba-rugi adalah semua pos akibat transaksi nonpemilik.
Pendekatan ini dilandasi oleh konsep dasar kontinuitas usaha yang memandang statemen
laba-rugi merupakan penggalan aliran operasi (pendapatan dan biaya) dalam jangka
panjang. Untuk dapat memprediksi kemampuan melaba jangka panjang, statemen laba-
rugi tidak dapat berdisi sendiri tetapi harus disajikan sebagai serangkaian statemen laba-
rugi sepanjang umur perusahaan. Dengan demikian, laporan laba-rugi periodik (tahunan)
harus memuat pos-pos yang tidak normal (reguler) atau luar biasa. Tidak ada pos selain
yang berasal dari transaksi pemilik lansung masuk atau menerobos ke statemen laba
ditahan.
Sebagai contoh, pengaruh kumulatif perubahan akuntansi misalnya tidak
selayaknya dilaporkan sebagai penyesuai laba ditahan. Paton dan Littleton (1970)
berkeberatan terhadap perlakuan seperti itu. Memang sebagian atau seluruh pengaruh
tersebut sebenarnya telah "terhimpun" beberapa perioda sebelumnya dan baru diketahui
akibatnya dalam perioda berjalan sehingga kelihatan logis bahwa jumlah tersebut sesuai
terhdap laba ditahan. Akan tetapi, perlakuan semacam itu sama saja dengan
menyembunyikan riwayat tentang kemampuan perusahaan menghasilkan laba jangka
panjang.

 Alasan Mendasar
Paton dan Littleton (1970) mengajukan argumen mendasar dalam mendukung
pendekatan laba semua-termasuk yaitu konsep pemanfaatan aset (aset utilization).
Konsep ini memandang bahwa manajemen mengelola aset sebagai suatu kesatuan. Dari
segi pemanfaatan , sebenarnya tidak dapat dipisahkan antara aset keuangan dan aset tetap
sehingga keduanya mempunyai pengaruh yang sama terhdap laba. Lawan dari konsep
pemanfaatan aset adalah konsep aset kapital . Konsep ini membedakan aset kapital (yang
terdiri dari aset tetap fisis) dan aset lainnya sehingga pengaruh transaksi aset kapital
(terutama yang luar biasa) terhdap laba harus berbeda dengan transaksi aset lainnya.
Berikut ini dibahas argumen Paton dan Littleton mengenai pemanfaatan aset.
a. Konsep Pemanfaatan Aset
Statemen laba-rugi harus menyajikan secara efektif semua akibat dari
pemanfaatan aset yang diserahkan sepenunya kepada manajemen. Pemisahan laba
menjadi normal dan tidak normal dalam dua statemen akan cenderung mengalihkan pusat
perhatian pemakai secara tidak semestinya kelaba normal dan dengan demikian secara
tidak sadar mengurangi perhatian pembaca akan keefektifan manajemen secara
keseluruhan. Misalnya saja, kalau laba normal yang dilaporkan melalui statemen laba-
rugi sudah memuaskan, kemungkinan pembaca akan melalaikan sama sekali arti
pentingnya penghapusan fasilitas fisis yang sudah ketinggalan jaman sebelum waktunya
dihentikan yang lansung dibebankan ke dalam laba ditahan.
Manajemen mengelola aset yang dipercayakan kepadanya. Memang ada berbagai
cara untuk memanfaatkan aset. Penggunaan aset yang utama untuk menghasilkan barang
atau jasa untuk mendatangkan laba. Dalam hal ini, aset atau sumber ekonomik akan
berkurang dengan terjadinya kos produksi, biaya, dan rugi serta akan bertambah dengan
terjadinya pendapatan, laba dan untung luar biasa. Penggunaan aset yang kedua adalah
untuk dijadikan jaminan kontrak utang atau pendanaan dan untuk alat pelunasan kontrak
tersebut. Dalam hal ini, aset akan berkurang dengan dibayarnya utang dan
dikembalikannya modal dan akan bertambah dngan adanya pinjaman atau modalbaru.
Karena perbedaan mendasar ini, perubahan akibat pemanfaatan aset untuk tujuan yang
berbeda ini harus dipisahkan dengan tegas dan jelas tetapi harus tetapi harus tetap dalam
kategori perubahan akibat transaksi operasi (nonpemilik). Dengan kata lain, perubahan
tersebut harus dilaporkan melalui statemen laba-rugi.
Membatasi statemen laba-rugi hanya menyajikan laba normal sama saja dengan
mengeluarkan sebagian perubahan akibat pemanfaatan aset untuk tujuan produktif.
Pemisahan tersebut mempunyai akibat pembebanan lansung ke laba ditahan perubahan
aset yang sebenarnya merupakan transaksi operasi yaitu transaksi pemanfaatan aset untuk
tujuan produktif. Pemisahan tersebut mengurangi manfaat pelaporan yang menunjukkan
keefektifan manajemen dalam memanfaatkan aset dan berkuranglah fungsi statemen
laba-rugi yang sebenarnya.
Memang ada perbedaan antara biaya dan rugi (expense and losses), dan antara
laba dan untung luar biasa (income and special gains) tetapi juga ada kesamaan yang
mendasar yaitu semuanya merupakan perubahan akibat pemanfaatan aset untuk tujuan
produktif. Bagi statemen keuangan, justru kesamaan mendasarlah yang lebih penting
daripada perbedaannya. Kemungkinan kesalahan interpretasi akan lebih besar dalam
pelaporan terpisah daripada pelaporan komprehensif.

b. Konsep Aset Kapital


Sebagai lawan konsep pemanfaatan aset, konsep ini membedakan fungsi aset
lancar dan aset tetap. Dengan demikian, perubahan aset tetap karena penjualan atau
penghentian berbeda dengan perubahan karena pemanfaatan aset untuk menciptakan aset
untuk menciptakan laba (melalui depresiasi) sehingga laba atau rugi pemberitahuan aset
harus dilaporkan terpisah sebagai penyesuaian laba ditahan. Laba atau rugi ini dipandang
sebagai transaksi modal karena dianggap modal pemegang saham tertanam dalam aset
tetap. Ini berarti jenis aset fisis tertentu sebagai potensi jasa dianggap berbeda dengan
aset lainnya sehingga rugi atau laba yang melekat pada jenis aset tertentu dapat
dilaporkan terpisah dari perubahan aset yang berkaitan langsung dengan biaya dan
pendapatan.
Paton dan Littleton menyangkal konsep diatas. Secara konseptual , laba atau rugi
yang berkaitan dengan pemanfaatan aset tetap tidak berbeda dengan laba atau rugi yang
berkaitan dengan pengelolaan aset lancar. Dengan kata lain, jumlah rupiah dana melekat
dan campur jadi satu (commingled) dan aset secara keseluruhan. Dengan dasar pikiran
ini, tidaklah dapat dibenarkan untuk menggolongkan laba atau rugi tertentu sebagai "rugi
kapital" (capital loss) yang sebenarnya tidak lebih daripada laba atau rugi biasa lantaran
pemanfaatan aset.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa atas dasar konsep kontinuitas usaha, fluktuasi
periodik dalam pendapatan, biaya, dan laba bersih tidak dapat dihilangkan atau diratakan
atas dasar kehendak manajemen walaupun sampai tingkat tertentu fluktuasi tersebut dapat
diantisipasi oleh manajemen yang tajam dalam melihat masa depan. Apapun jadinya,
manajemen hanya dapat mengharapkan untuk berbuat lebih baik dimasa mendatang.
Namun, kenyataan yang merefleksi kebijakan pada masa yang lalu harus tetap
ditunjukkan dengan jelas seperti apa adanya kepada pemakai yang menggantungkan diri
pada statemen keungan.
Berikut adalah argumen yang diajukan oleh Hendriksen dan van Breda (1992,
hlm. 327) dan sumber lainnya mendukung pendekatan laba semua-termasuk dalam
menyajikan statemen laba-rugi:
1. Secara teknis, penggunggungan laba tahunan selama umur perusahaan harus sama
dengan laba total perusahaan. Bukti empiris menunjukkan bahwa rugi-rugi luar biasa
yang terjadi sepanjang umur perusahaan pada umumnya melebihi untung-untung luar
biasa. Oleh karena itu, bila pos-pos luar biasa dikeluarkan dari perhitungan laba tahunan ,
akan terjadi penyajian lebih (overstatement) laba tahunan sepanjang beberapa tahun.
2. Pengeluaran pos-pos nonpemilik dari perhitungan laba memberi kesempatan kepada
manajemen untuk melakukan manipulasi atau manajemen laba. Bukti empiris
menunjukkan bahwa karena berbagai alasan manajemen memang melakukan manajemen
laba (earnings management).
3. Tidak selalu mudah untuk menentukan apakah suatu pos bersifat operasi atau
nonoperasi, reguler atau takreguler, normal atau taknormal, dan biasa atau luar biasa.
Dalam banyak hal pemisahan hal tersebut lebih didasarkan pada pertimbangan subjektif
dan arbitrer. Dengan pendekatan semua-termasuk, penentuan laba periodik akan menjadi
lebih objektif karena tidak diperlukan pertimbangan personal (personal judgments) untuk
menentukan pos-pos mana masuk statemen laba-rugi dan pos-pos mana masuk statemen
laba ditahan.
4. Dengan memasukkan semua pos-pos yang berasal dari transaksi nonpemilik dan
dengan pengungkapan yang layak, pemakai laporan mempunyai keleluasaan untuk
mereklasifikasi dan menentukan sendiri laba antara yang dianggap berpaut dan
bermanfaat untuk pengambilan keputusan.
5. Berkaitan dengan argumen 3, pengertian operasi perusahaan harus diinterpretasi dalam
perspektif yang luas tidak terbatas pada kegiatan produksi dan penjualan produk utama.
Apa yang dianggap sebagai nonoperasi atau luar biasa untuk perusahaan yang satu dapat
menjadi hal yang rutin atau biasa bagi perusahaan yang lain. Bila jumlah rupiah dipakai
sebagai dasar untuk memisahkan antara operasi/biasa dan nonoperasi/ luar biasa, dapat
terjadi suatu pos yang dilaporkan sebagai operasi untuk perioda tertentu (masuk statemen
laba-rugi) akan menjadi nonoperasi untuk perioda lainnya (masuk statemen laba ditahan).
Jadi, pemisahan semacam itu akan menimbulkan inkonsistensi pelaporan laba.

Penyajian Laba Komprehensif

Komponen-komponen pembentukan statemen laba rugi adalah sebagai berikut :

1. Seksi operasi utama (major operating activities section):

a) Penjualan atau pendapatan (sales or revenues)


b) Kos barang terjual (cost of goods sold)
c) Biaya penjualan (selling expenses)
d) Biaya administrasi atau umum (administrative or general expenses)

2. Seksi operasi tambahan (secondary or auxiliary activities section) :

a) Pendapatan lainnya dan untung (other revenues and gains)


b) Biaya lainnya dan rugi (other expenses and losses)

3. Pajak penghasilan (income taxes)

4. Operasi hentian/taklanjutkanan (discontinued operations)

5. Pos-pos luar biasa/ ekstraordiner (extraordinary items)

6. Pengaruh kumulatif perubahan prinsip akuntansi (cumulative effects of changes in accounting


principles)

7. Pengaruh kumulatif perubahan estimat/taksiran (cumulative effects of changes in accounting


estimates)

8. Perubahan ekuitas nonpemilik lainnya (other nonowner changes in equity) termasuk pos-pos
penerobos.

Dengan pendekatan semua-termasuk, FASB memperluas cakupan laba yang meliputi


pula apa yang sebelumnya disebut dengan pos-pos penerobos (bypassing items). Pos-pos
penerobos adalah pos-pos yang diaporkan lansung dalam statemen laba ditahan tanpa melalui
statemen laba-rugi. Contoh pos-pos ini antara lain adalah laba menahan/penahanan atau laba
fluktuasi harga belum terealisasi (unrealiazed holding gains) dan penyesuaian penjabaran mata
uang asing (foreign currency transaction adjustments). Selain kedua pos ini , FASB juga
mengantisipasi adanya pos-pos lain yang merepresentasi perubahan ekuitas nonpemilik yang
harus dilaporkan melalui statemen laba-rugi.

Komponen (6) dan (7) dikategorikan sebagai komponen perubahan ekuitas nonpemilik
dan keduanya disebut pengaruh kumulatif perubahan akuntansi atau penyesuaian kumulatif
akuntansi sehingga pos-pos selain masuk dalam kategori ini disebut dengan perubahan ekuitas
non pemilik lainnya (other nonowner changes in equity). Karena komponen (1) dan (8)
semuanya masuk dalam statemen laba-rugi , angka bersih yang diperoleh disebut FASB dengan
laba komprehensif (comprehensive income). Tujuan dimasukkannya komponen (8) dalam
statemen laba-rugi adalah untuk mencegah penyembunyian atau penghilangan (omissions) secara
diekresioner pos-pos laba atau rugi tertentu dari statemen aba-rugi. Dengan kata lain, tujuannya
adalah mencegah penyalahgunaan (abuse).

Sebelum SFAC N0.6 diterbitkan, komponen yang masuk dalam statemen laba-rugi
semua-termasuk hanyalah komponen (1) sampai (7) dan angka bersihnya disebut laba bersih (net
income). Dalam SFAC No. 6, komponen (6) dan (7) dikeluarkan dari laba bersih dan dilaporkan
sebagai perubahan ekuitas nonpemilik dan angka bersih yang diperoleh dari komponen (1)
sampai (5) disebut dengan laba perioda (earnings) dan laba perioda setelah komponen (1) sampai
(5) disebut dengan laba perida bersih (net earnings) atau tetap laba bersih. Bila terjadi rugi laba
komprehensif menjadi rugi komprehensif. Laba komprehensif dapat disebut pula perubahan
ekuitas nonpemilik total (total nonowner changes in equity).
Terdapat dua pendekatan penyusunan statemen laba-rugi untuk menyajikan komponen
(1) sampai (8). Pendekatan satu-statemen (one-statement approach) menyajikan kedelapan
komponen tersebut dalam satu statemen yang diberi judul statemen laba-rugi dan laba-rugi
kompreensif (statement of income and comprehensive income). Pendekatan dua-statemen
memisahkan pelaporan komponen (1) sampai (7) dalam statemen laba-rugi (statement of income)
dan menyajikan pengaruh komponen (8) terhadap laba perioda bersih dalam statement laba-rugi
komprehensif (statement of comprehensive income). Contoh penyusunan statemen laba-rugi
dengan pendekatan dua-statemen.

PT.ABC
Statemen Laba Rugi
untuk Tahun Berakhir 31 Desember 200X

Pendapatan/penjualan Rp 51.680.000
Kos barang terjual (28.430.000)
Laba kotor penjualan Rp 23.250.000
Biaya penjualan dan administratif (12.500.000)
Laba operasi utama Rp 10.750.000
Pendapatan lainnya dan untung Rp 1.630.000
Biaya lainnya dan rugi (795.000) 835.000
Laba dari operasi berlanjut, sebelum pajak Rp 9.915.000
Pajake penghasilan (2.225.000)
Laba dari operasi berlanjut (income from continuing operations) Rp 7.690.000
Operasi hentian, setelah pajak (290.000)
Laba sebelum pos ekstraordiner dan pengaruh
kumularif perubahan ekuitas Rp 7.400.000
Pos-pos ekstraordiner, setelah pajak 150.000
Laba perioda (earnings) Rp 7.550.000
Pengaruh kumulatif perubahan akuntansi, setelah pajak
365.000
Laba perioda bersih (net eranings)/laba bersih Rp 7.915.000

PT ABC
Statemen Laba-Rugi Komprehensif
untuk Tahun Berakhir 31 Desember 200X
Laba perioda bersih Rp 7.915.000
Perubahan ekuita nonpemilik lainnya :
Penyesuaian penjabaran mata uang asing Rp 314.000
Untung belum terrealisasi atas sekurita 56.000 371.000
Laba komprehensif Rp 8.286.000
Biaya bunga (interest expenses) dimasukkan dalam komponen biaya lainnya dan rugi.
Angka bersih setelah biaya lainnya dan rugi serta pajak penghasilan disebut laba dari operasi
berlanjut (income from continuing operations). Jadi komponen (1) sampai (3) disebut komponen
operasi (dalam arti luas) dan membentuk laba dari operasi berlanjut. Hal ini berarti bahwa pos-
pos dalam komponen pendapatan lainnya dan untung atau biaya lainnya dan rugi tidak
dipandang sebagai pos-pos nonoperasi. Oleh karena itu, pos-pos dalam komponen (4) sampai (8)
sering disebut pos-pos tak reguler atau takteratur. Pengertian takreguler menjadi masalah bila
dikaitkan dengan makna tekumum atau takbiasa (unusual) dan luar biasa atau ekstraordiner
(extraordinary). APBO No.30 (prg 20-24) mendeskripsi kriteria untuk mengklasifikasi suatu
kejadian atau transaksi yang membentuk pos-pos luar biasa yaitu :

a) Ketakbiasaan (unusual nature).


b) Ketakseringan keterjadian (infrequency of occurrence).
c) Materialitas (materiality).

Untuk mengkategori suatu kejadian atau transaksi ke dalam pos luar biasa, kegiatan
karakteristik tersebut harus dipenuhi. Ketakbiasaan berarti bahwa kejadian atau transaks yang
melandasi suatu pos mempunyai tingkat keabnormalan yang tinggi dan harus jelas-jelas
merupakan jenis yang sama sekali tidak berkaitan secara insidental dengan kegiatan perusahaan
dalam konteks lingkungan beroperasinya perusahaan.

Ketakseringan keterjadian/terjadinya berarti bahwa kejadian atau transaksi yang


melandasi suatu pos merupakan jenis yang bukan harapan umum atau yang tidak diantisipasi
akan terjadi dimasa datang dalam konteks lingkungan beroperasinya perusahaan. Materialitas
berarti bahwa kejadian atau transaksi yang melandasi suatu pos haru diklasifikasi secara terpisah
sebagai pos luar biasa hanya kalau jumlah yang terlibat material dalam kaitannya dengan atau
relatif terhadap angka laba sebelum pos luar biasa, kecenderungan laba perioda sebelum pos luar
biasa , atau ukuran materialitas yang lain.

Contoh pos-pos yang dapat dimasukkan dalam kategori ini misalnya adalah penghapusan
piutang, serta kos riset dan pengembangan; untung atau rugi penjabaran valuta asing termasuk
akibat devaluasi atau revaluasi; untung atau rugi pelepasan segmen bisnis; untung atau rugi
penjualan aset fisis; efek pemegokan; dan penyesuaian akrual atas kontrak jangka panjang.
Intinya pos-pos material yang takbiasa atau taksering , tetapi tidak keduanya masuk dalam
kategori ini.

Dalam PSAK No.1, Dewan Standar Akuntansi menetapkan bahwa statemen laba-rugi
harus disajikan sedemikian sehingga mengungkapkan berbagai unsur kinerja keuangan yang
bermanfaat bagi pemakainya. Oleh karena itu, statemen laba-rugi minimal harus menyajikan dan
menonjolkan hal-hal berikut (pasal 56):

a) Pendapatan
b) Laba atau rugi usaha
c) Biaya pinjaman
d) Bagian dari laba atau rugi perusahaan terafiliasi dan terasosiasi yang diperlakukan
dengan metoda ekuitas
e) Pajak penghasilan
f) Laba atau rugi dari aktivitas normal perusahaan
g) Pos luar biasa
h) Hak minoritas
i) Laba atau rugi bersih perioda berjalan.

Ketentuan tersebut bersifat umum dan berlaku untuk perusahaan jasa, perdagangan,
maupun pemanukfaturan. Butir (b) sebenarnya adalah laba antara setelah pendapatan atau butir (a)
dikurangi dengan biaya-biaya usaha. PSAK No. 1 menetapkan bahwa penyajian biaya-biaya usaha dapat
menggunakan klasifikasi (format) atas dasar sifat biaya atau fungsi biaya.

Anda mungkin juga menyukai