Anda di halaman 1dari 48

BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Turbellaria
2.1.1 Morfologi Turbellaria
Planaria termasuk kedalam Filum Platyhelminthes bentuk tubuhnya pipih
dan simetri bilateral. Planaria hidup pada habitat daerah bersuhu 18–24°C dengan
ketinggian antara 500–1500 mdpl. Cacing planaria memiliki tubuh yang bersifat
fleksibel atau dapat memanjang, memendek atau membelok dalam tiap arah.
Kepala cacing ini berbentuk segi tiga, memiliki dua titik mata dan tiga benjolan
yang disebut auriculata. Suhardi, (1981) menyatakan bahwa mulut cacing planaria
terdapat di bagian perut .

Gambar 1. Turbellaria sp

Turbellaria atau cacing berbulu getar merupakan cacing yang hidup bebas.
Contohnya adalah Planaria. Jordan dan Verma (1979) menyatakan bahwa
klasifikasi planaria adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Platyhelminthes
Class : Turbellaria
Ordo : Tricladida
Sub Ordo : Paludicola
Famili : Planariidae
Genus : Euplanaria
Species : Euplanaria sp

3
4

Tubuh cacing planaria tersusun atas tiga bagian, yaitu cranial, trunchus, dan
caudal. Pada bagian cranial terdapat kepala dengan sepasang eye spot dan sepasang
auricle yang terletak dibagian lateral tubuh pada bagian cranial. Dasheiff &
Dasheiff, (2002) menyatakan bahwa sepasang eye spot yang memiliki cacing
planaria memiliki fungsi sebagai fotoreseptor. Planaria merupakan hewan
triploblastik aselomata, yang tubuhnya tersusun solid tanpa adanya coelom. Semua
ruangan yang terletak di antara organ viseral, tersusun oleh mesenkim, atau lebih
dikenal dengan sebutan parenkim (Kenk, 1972; Hyman, 1951 dalam Reddien &
Alvarado, 2004).

Gambar 2. Morfologi Turbellaria sp

Morfologi planaria (Radiopoetro, 1990)


Keterangan : A = anterior 1 = titik mata
P = posterior 2 = auricula
D = dorsal 3 = lubang mulut
V = ventral 4 = pharynx
C = Caput 5 = porus genitalis
Kastawi dkk (2001) menyatakan bahwa ciri khas yang terdapat pada cacing
planaria adalah terdapat kelenjar-kelenjar adesiv yang terletak pada bagian ventral,
yaitu merupakan kelenjar-kelenjar yang berhubungan dengan serabut-serabut otot.
Sekresi dari kelenjar ini berfungsi memudahkan cacing planaria untuk berpegangan
pada substrat pada waktu berjalan atau menangkap mangsa.

2.1.2 Siklus Hidup Turbellaria


Khasanah (1999) menyatakan bahwa cacing planaria dapat memperbanyak
diri baik secara monogami ataupun secara amphigoni. Cacing planaria akan
membelah secara monogami jika mendapat cukup makanan. Prosesnya diawali
dengan badannya yang akan memanjang, kemudian pada bagian posterior faring
5

terdapat penyempitan dan meregang, dan pada akhirnya akan putus. Setelah itu dari
bagian posterior maupun dari bagian anterior akan terbentuk individu muda baru.

Gambar 3. Reproduksi Aseksual Planaria


reproduksi aseksual planaria (kastawi, dkk. 2001)
Keterangan : a. induk, b. pemanjangan, c.hewan muda hasil pembelahan

Kastawi (2001) menyatakan bahwa pada saat membelah, bagian posterior


tubuh cacing planaria dilekatkan pada substrat secara kuat. Setelah itu, bagian
depan tubuh ditarik ke arah depan sehingga tubuhnya putus menjadi dua di belakang
faring. Sisa tubuh pada bagian depan akan membentuk bagian ekor yang hilang,
dan pada bagian posterior, tubuh yang terputus akan membentuk kepala baru.
Radiopoetro (1990) menyatakan bahwa pada bebrapa percobaan, menunjukkan
hasil bahwa potongan anterior memiliki daya regenerasi yang lebih cepat
dibandingkan dengan bagian posterior . Oleh sebab itu, cacing planaria memiliki
daya fragmentasi yang tinggi (Kastowo, 1982).

Gambar 4. Proses Kopulasi Cacing Planaria

Selain monogami, cacing planaria bereproduksi secara amphigoni. Sistem


reproduksi majemuk karena bersifat hermaprodit. Brotowidjoyo (1994)
menyatakan bahwa cacing planaria dapat melangsungkan pembuahan sendiri. Pada
tubuh seekor cacing planaria terdapat kelenjar kelamin jantan maupun kelenjar
kelamin betina. Radiopoetro (1990) menyatakan bahwa jika kelenjar kelamin jantan
maupun kelenjar kelamin betina sudah matang, maka akan terjadi proses fertilisasi.
6

Fertilisasi tersebut berlangsung dengan cara saling menempelnya dua ekor cacing
planaria pada permukaan ventralnya, sehingga masing-masing porus genitalnya
saling berhadapan dan terjadilah kopulasi.

2.1.3 Penyakit yang ditimbulkan


Turbellaria atau juga disebut cacing berambut getar adalah kelas dari
anggota hewan tak bertulang belakang yang termasuk dalam filum Platyhelminthes.
Salah satu contoh Turbellaria adalah Planaria sp. Cacing pipih atau Planaria sp
pada dasarnya tidak berbahaya. Namun apabila jumlahnya terlalu banyak didalam
akuarium maka akan menggangu estetika akuarium. Planaria sp juga akan
memakan telur ikan yang di akuarium. Planaria sangat umum hidup di Aquarium
air tawar terutama aquarium Udang.

2.1.4 Gejala klinis penyakit


Planaria sp adalah cacing pemakan bangkai. Ketika pada suatu akuarium
terdapat udang yang mati makan Planaria sp akan dengan cepat memakan bangkai
udang tersebut. Alasan utama muncul planaria adalah karena seringnya makanan
yang berlebihan atau pemberian makanan yang over.

2.1.5 Cara Penanggulangan


Terdapat beberapa cara untuk menanggulangi Planaria sp. Cara yang
pertama adalah memeberikan cahaya tambahan atau dengan menempatkan lampu
neon dalam aquarium akan mengusir Planaria sp dengan sendirinya. Planaria sp
dapat merasakan cahaya yang terang. Cacing planaria sangat sensitif terhadap
cahaya dan akan mencari tempat perlindungan di area yang lebih gelap di akuarium,
seperti didalam substrat atau juga bersembunyi di filter. Cara yang kedua dengan
memasang perangkap planaria, perangkap planaria akan bekerja menjebak cacing
planaria dengan menaruh pakan di dalam perangkap. Maka planaria akan
berkumpul di perangkap, menjebak planaria harus dilakukan secara berulang
sampai populasi cacing planaria berkurang. Cara yang ketiga adalah dengan
memelihara predator alami planaria. Contohnya seperti ikan-ikan yang akan
memakan planaria misalnya ikan goby, ikan botia, dan ikan sepat.
7

2.2 Gyrodactylus
2.2.1 Morfologi Gyrodactylus
Gyrodactylus memiliki bentuk tubuh yang kecil, bulat memanjang atau
oval dan pipih. Salah satu ujung yang lebih besar (posterior) yang merupakan
tempat menempel pada inang. Bagain posterior terdapat ophisthaptor yang
memiliki 16 kait (hook) tepi yang mengelilingi ophisthaptor dan sepasang kait
tengah (anchor) yang menyerupai kuping. Ophisthaptor yang fungsinya untuk
menghisap darah dan memakan jaringan hospes. Gyrodactylus tidak memiliki
bintik mata. Bagain anterior berbentuk seperti 2 tonjolan atau cuping.

Gambar 5. Gyrodactylus sp

Klasifikasi Gyrodactylus sp adalah sebagai berikut :


Kingdom : Animalia
Phylum : Platyhelminthes
Class : Trematoda
Ordo : Monopisthocokylea
Family : Gyrodactylidae
Genus : Gyrodactylus
Spesies : Gyrodactylus sp. (Kabata 1985)
Dalam siklus hidupnya, Gyrodactylus tidak memerlukan inang perantara,
artinya setelah keluar dari embryo induk, larva akan langsung mencari inang baru.
Hewan ini berukuran 0,5 – 0,8 mm. Cacing dewasa dapat melekat pada kulit hospes
karena dilengkapi serta tidak memiliki vitelaria atau bersatu dengan ovary.
8

2.2.2 Siklus Hidup Gyrodactylus


Siklus Gyrodactylus sp. dari larva hingga menjadi dewasa membutuhkan
waktu kira-kira 60 jam. Itu terjadi pada suhu 25 – 27 O C (Anonim, 2009).
Gyrodactylus sp. ini sering ditemukan menginfeksi ikan-ikan air tawar seperti Ikan
Mas (Cyprinus carpio), Betutu (Oxyeleotris marmorata) Nila (Oreochromis
niloticus) dan lainnya. Pada umumnya berkumpul/bergerombol di sekitar kulit dan
sirip ikan, meskipun kadang-kadang juga ditemukan di insang (secara umum
Dactylogyrus lebuh menyukai insang) (Dedi, 2010).

Gambar 6. Siklus Hidup oviparous monongenea (Dactylogyrus) dan viviparus


monogenea (Gyrodactylus)

Monogenes ovipar (yaitu Dactylogyridae) melepaskan telur ke dalam kolom


air yang menetas dan dewasa sebelum mencari host baru. Monogenes vivipar (yaitu
Gyrodactylidae) mengeluarkan larva hidup yang segera dapat menempel ke
jaringan host. Ada dua genera umum di air tawar, Gyrodactylus dan Dactylogyrus,
yang berbeda nyata dalam strategi mereka bereproduksi serta cara mereka
menempel pada ikan inang. Gyrodactylus umumnya ditemukan pada tubuh dan
sirip ikan. Mereka vivipar yang berarti bahwa mereka melahirkan larva muda.
Parasit dewasa membawa embrio yang identik dengan induknya yang diwariskan
pada generasi berikutnya. Oleh karena itu, setiap individu parasit dapat mewakili
beberapa generasi. Strategi reproduksi ini memungkinkan populasi Gyrodactylus
untuk memperbanyak diri sangat cepat, terutama dalam sistem air tertutup.
9

2.2.3 Penyakit yang ditimbulkan


Ikan yang terserang Dactylogyrus sp.akan menunjukkan gejalakesulitan
berenang,lemas,dan tidak suka bergerak karena pernapasannya terganggu. Pada
intensitas tinggi, ikan yang terserang parasit ini mengalamipendarahan pada insang
(Kordi& Ghufran 2004).Selain itu,kulitikan terlihat berlendir dan Berwarna pucat
karena infeksi yang terjadi akan merangsang sekresi mucus yang berlebihan.

2.2.4 Gejala klinis penyakit


Penularan parasit ini melalui kontak langsung dengan ikan yang sakit
dengan ikan yang sehat, atau antara ikan dengan lingkungannya. Apabila terserang
parasit ini, biasanya menunjukkan ciri-ciri sebagai berikut :
 Bintik-bintik merah pada beberapa bagian tubuh
 Kulit berwarna putih keabu-abuan
 Produksi lendir (muskus) tidak normal, biasanya berlebih dengan lendir
yang kental sehingga kulit ikan terlihat kusam
 Sisik dan/atau kulit terkelupas, biasanya akan diikuti luka
 proses osmoregulasi dan respirasi terganggu
 ikan sering menggosok-gosokkan badan pada jaring atau diding dan dasar
kolam
 Sel darah putih meningkat (dilihat melalui pengamatan sel darah)
 Nafsu makan rendah dan gerakan lamban sehingga pertumbuhan ikan
menjadi terganggu

2.2.5 Cara Penanggulangan


Cara pengangulangan ikan yang terserang penyakit ini adalah dengan cara
berikut:
 Methylene Blue
Pemberian dilakukan dengan perendaman dengan dosis 3 ppm selama 24
jam atau lebih, jika larutan yang tadinya berwarna biru berubah menjadi biru
terang, maka larutan perlu diganti dengan yang baru
 Larutan ammonium
10

Perendaman dilakukan dengan larutan ammonium 1:2000 selama 5-15


menit.umunya dalam jangka waktu tadi kedua monogenia di atas sudah
dapat diberantas. Untuk mendapatkan larutan ammonium 1:2000, dilakukan
dengan membuat larutan dengan perbandingan ammonium dengan air 1:9.
Kemudian dari campuran tadi, diambil sekitar 5% untuk dicampurkan
dengan 1 liter air sehingga didapat larutan ammonium 1:2000
 Formalin atau MGO
Menggunakan dosis 15-50 ppm atau dengan MGO 0,1ppm selama 24 jam.
Perendaman dilakukan 3x selama seminggu untuk memastikan ikan
terbebas dari parasit
 Garam dapur
Garam merupakan yang paling mudah didapat dan cukup efektif.
Perendaman dilakukan dengan dosis 100-500 ppm dan dapat dilakukan
dalam jangka panjang, atau 1-2% selama 30menit. Perendaman dapat
dilakukan dengan melarutkannya dalam air terlebih dahulu atau langsung
ditebar di kolam

2.3 Dactylogyrus
2.3.1 Morfologi Dactylogyrus
Dactylogyrus sp. merupakan ektoparasit pada insang ikan. Dactylogyrus
sp.sering menyerang ikan yang berada di kolam dengan kepadatan tinggi dan ikan-
ikan yang kurang makan lebih sering terserang parasit ini dibanding yang makannya
cukup. Parasit cacing ini termasuk parasit yang perlu diperhatikan, karena dapat
merusak filament insang, dan relatif lebih sulit dikendalikan. Penyakit ini sangat
berbahaya karena biasanya menyerang ikan bersamaan dengan parasit lain (Sachlan
1952).
Penyakit Dactylogyriasis disebabkan oleh cacing dari klas Trematoda
Monogenea yaitu Dactylogyrus sp.. Ektoparasit ini menginfestasi kulit dan insang
dari berbagai ikan air tawar dan ikan air laut. Contoh ikan yang diserang oleh parasit
ini adalah ikan mas (Klinger and Floyd, 2013).
11

Menurut Kabata (1985) dalam Yuli dkk (2017) klasifikasi Dactylogyrus


sp. adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia
Domain : Eukaryota
Phylum : Platyhelminthes
Class : Trematoda
Ordo : Monogenea
Family : Dactylogyridae
Genus : Dactylogyrus
Spesies : Dactylogyrus sp.

Gambar 7. Dactylogyrus sp

Menurut Yudhie (2010) dalam Yuli dkk (2017) Dactylogyrus sp adalah


monogenea yang bertelur dan memiliki dua pasang jangkar. Pada bagian tubuhnya
terdapat posterior Haptor. Haptornya ini tidak memiliki struktur kutikular dan
memiliki satu pasang kait dengan satu baris kutikular, memiliki 16 kait utama,
satu pasang kait yang sangat kecil. Dactylogyrus sp. mempunyai ophishaptor
(posterior sueker) dengan 1-2 pasang kait besar dan 14 kait marginal yang
terdapat pada bagian posterior. Kepala memiliki 4 lobe dengan dua pasang
mata yang terletak di daerah pharynx. Dactylogyrus sp. diidentifikasi
berdasarkan dua pasang bintik mata yang terdapat dibagian, memiliki empat
tonjolan pada bagian anterior dan 14 kait marginal.
12

Gambar 8. Anatomi Dactylogyrus sp

Keterangan : (1) Organ peraba, (2) Kepala, (3) Mulut, (4) Pharynx, (5) Embryo, (6) Mata,(7) Usus,
(8) Testis, (9) Ovary (10) Posterior haptor.

Cacing dewasa bisa mencapai ukuran 2 mm dan lebar tubuh 400 um dan
mempunyai 2 pasang eye spots pada ujung anterior. Mulut terletak dekat ujung
anterior tubuh. Pada ujung posterior tubuh terdapat alat penempel yang terdiri
atas dua pasang kait besar (anchors) yang dikelilingi 14 kait lebih kecil
disebut opisthaptor (Reed et al 2012 dalam Kumalasari. 2016).
Menurut Soulsby (1986) cacing dewasa dapat berukuran 0,2-2 mm.
Mempunyai dua pasng bintik mata pada ujung anteror. Memiliki sucker yang
terletak dekat ujung anterior. Pada ujung posterior tubuh terdapat alat penempel
yang terdiri dari 2 kait besar yang dikelilingi 14 kail kecil yang disebut Opisthaptor.
ini merupakan parasit dari golongan monogenea yang menginfeksi ikan.
Dactylogyrus ini merupakan jenis cacing tingkat rendah, bentuk tubuh dari
Dactylogyrus sp. secara umum yaitu memanjang pipih dengan mempunyai eye
spots pada ujung anterior, dengan sucker pada bagian ujung anterior. Dactylogyrus
jungan mempunyai dua kait besar yang dikelilingi 16 kait lebih kecil yang disebut
opisthaptor yang fungsinya sebagai alat penempel pada inangnya. Ukuran dari
Dactylogyrus ini tak dapat dilihat dengan mata telanjang sehingga untuk melihatnya
menggnakan bantuan mikroskop. Dactylogyrus sp. diidentifikasi berdasarkan dua
pasang bintik matayang terdapat dibagian anterior, memiliki empat tonjolan pada
bagian anterior dan 14 kait marginal.
13

2.3.2 Siklus Hidup Dactylogyrus


Habitat hidup dari Dactylogyrus sp. berada pada bagian insang ikan,
penyebaran dari Dactylogyrus sp. yaitu menyerang ikan air tawar, ikan air payau dan
ikan air laut. Sifat Biologis dari Dactylogyrus sp yaitu hermaprodit, sebagian besar
parasit monogenea seperti Dactylogyrus sp bersifat ovivarus (bertelur) (Anshary, 2008
dalam Yuli dkk, 2017) . Dactylogyrus sp. menginfeksi kulit, insang dan sirip. Pada sirip
ikan yang terinfeksi menyebabkan bintik-bintik putih. Cacing ini juga disebut gill flukes
dikarena sering menyebabkan kerusakan pada insang (Helen, 2009 dalam Puspitasari,
2013)
Siklus Hidup Dactylogyrus sp secara langsung yang melibatkan satu inang.
Dactylogyrus sp yang sudah dewasa dapat melepaskan telur ke lingkungan. Telur
akan berkembang menjadi oncomirasidia yang dilengkapi dengan kait–kait halus
sehingga oncomirasidia dapat melekat pada bagian tubuh ikan terutama insang.
Oncomirasidia tumbuh dewasa di tubuh inang dan kembali menghasilkan telur (Noga,
1996 dalam Yuli, 2017). Telur akan menetas menjadi larva yang berenang menggunakan
cilia. Pada fase ini, larva hanya memiliki waktu sebentar untuk bertahan hidup, yaitu sekitar
10-20 jam sampai menemukan inang yang baru dan berkembang biak menjadi dewasa
(Prasetya 2011)

Gambar 9. Siklus Hidup Dactylogyrus

Adapun menurut (Noga 1996 dalam Saefudin dkk 2017) siklus hidup dari
Dactylogyrus melibatkan satu inang. Dactylogyrus sp dewasa akan melepaskan
telur ke lingkungan kemudian telur akan berkembang menjadi oncomisidia yang
dilengkapi kait-kait halus sehingga dapat melekat pada ikan terutama pada bagian
14

insang ikan. oncomirasidia ini akan berkembang dewasa didalam tubh inang dan
kembali menghasilkan telur.
Siklus hidup Dactylogyrus sp adalah secara langsung. Telur menetas
kemudian menjadi larva bersilia yang disebut oncomiracidium, yang menyerang
hospes atau hanya hidup bebas di air sebelum menempel pada
hospes. Oncomiracidium menyerang hospes melalui organ posteriornya yang
disebut opisthaptor. Telurnya sangat tahan terhadap senyawa kimia atau
desinfektan sehingga untuk pemberantasan memerlukan tindakan yang bertahap
dengan menggunakan lebih dari satu metode atau agensia pengendali parasit.

2.3.3 Penyakit yang ditimbulkan Dactylogyrus


Penyakit Dactylogyriasis disebabkan oleh cacing dari klas Trematoda
Monogenea yaitu Dactylogyrus sp.. Ektoparasit ini menginfestasi kulit dan insang
dari berbagai ikan air tawar dan ikan air laut. Contoh ikan yang diserang oleh parasit
ini adalah ikan mas (Klinger and Floyd, 2013).

Gambar 10. Ikan yang terserang Dactylogyrus sp

Ikan yang terinfestasi ektoparasit ini biasanya ikan berenang di permukaan


air agar mudah mendapatkan oksigen, terjadi kekurusan dan respirasi meningkat
serta sesak nafas. Filamen insang menonjol keluar dari tutup insangnya atau
terjadi peregangan penutup insang sehingga terjadi kerusakan berat pada insang.
Mukosa insang berwarna gelap dan menutup insang, sehingga insang tampak
seperti tertutup lumpur. Kulit berwarna gelap dan pada infeksi berat menyebabkan
ikan diam di dasar kolam dan lama kelamaan akan mati (Reed et al., 2012 dalam
Kumalasari, 2016).
15

2.3.4 Gejala Klinis Penyakit


Adapun beberapa gejala klinis bila terinfeksi ektoparasit Dactylogyrus
sp yang dapat digunakan sebagai presumtif diagnosa (Gusrina, 2008 dalam Yuli
dkk, 2017).
 Ikan terlihat lemah, tidak nafsu makan, pertumbuhan menjadi lambat
 Tingkah laku tidak normal, ikan akan menggosok-gosokan tubuhnya
kedasar kolam atau kepada benda keras lainnya dan menghasilkan produksi
lendir yang berlebihan.
 Insang terlihat pucat dan membengkak, sehingga operculum terbuka.
Kerusakan pada insang mengakibatkan ikan sulit bernafas, sehingga
tampak megap-megap seperti gejala kekurangan oksigen. Insang ikan
rusak, luka dan timbul perdarahan serta lendir yang berlebih (stadium
awal). Dalam keadaan serius filamen insang akan rusak dan operkulum
ikan tidak tertutup dengan sempurna mengakibatkan kesulitan bernafas.
 Secara mikroskopis terrlihat nekrosis pada insang biasanya insang berwarna
kuning atau putih.

2.3.5 Cara Penanggulangan


Menurut (Sumantadinata 1981) dalam (Fitri Dinar R dkk 2013),
pengendalian penyakit parasitik yang efektif masih sulit dilakukan. Hal ini
dikarenakan habitat air seperti sawah, rawa atau daerah yang basah merupakan
daerah yang sangat rentan terserang penyakit cacing parasitik terhadap satwa
akuatik khususnya ikan. Adapun cara pencegahan yang dapat dilakukan antaralain
dengan pencegahan secara preventif maupun kuratif. Pencegahaan preventif dapat
dilakukan dengan menjaga salinitas kolam dan kualitas air tetap bersih, pemberian
pakan yang cukup, serta kepadatan populasi yang optimal. Pencegahan kuratif yang
efektif dapat dilakukan dengan memberikan garam ke kolam baik dengan cara
ditabur maupun dilarutkan. Hal ini dikarenakan cacing parasitik monogenea tidak
dapat memberikan toleransi adanya garam didalam tubuhnya.
5

Menurut Rokhmani (2014) dalam Yuli dkk (2017), cara pengendalian


yang dapat dilakukan yaitu dengan cara metode perendaman, berikut ini adalah
beberapa cara menggunakan metode perendaman :
 Ikan direndam dalam larutan formalin dengan dosis 250 cc/m 3 air selama
15 menit,
 Ikan direndam dalam larutan Methyline Blue 3 ppm selama 24 jam,
 Ikan direndam dalam larutan Kalium Permanganat (KMnO4) 0,01 %
selama ± 30 menit,
 Ikan direndam dalam larutan NaCl 2 % selama ± 30 menit dan Ikan
direndam dalam larutan NH4OH0,5% selama ± 10 menit.

2.1 Diplozoon sp.


Diplozoon termasuk kelas Trematoda dari Ordo Monogenea, dikenal
sebagai cacing kembar atau twin worm karena dua individu bergabung menjadi
satu. Parasit ini sebagai penyebab penyakit diplozoonisiasis. Hewan ini termausk
ektoparasit pada ikan air tawar, umumnya menyerang organ insang (Rosidah 2017).
Menurut Costello et al (2001) klasifikasi dari Diplozoon paradoxum ialah :
Kingdom : Animalia
Phylum : Platyhelminthes
Subphylum : Rhabditophora
Kelas : Monogea
Subkelas : Polyopisthocotylea
Ordo : Mazocraeidea
Famili : Diplozoidae
Genus : Diplozoon
Spesies : Diplozoon paradoxum

Gambar 1. Diplozoon paradoxum


6
2.1.1 Ciri Morfologi
Diplozoon adalah salah satu spesies dari subsclass Monogenea yang biasa
ditemukan diperairan tawar. Parasit ini sering ditemukan di insang ikan air
tawar. Diplozoon berukuran 0.7 cm (kira – kira seukuran kuku manusia). Memiliki
beberapa kait di mulutnya yang digunakan untuk mengaitkan dirinya ke insang
ikan. Dari pengait itu digunakan untuk menghisap darah dari inangnya. Diplozoon
paradum memiliki bentuk simetri bilateral dan menunjukkan variasi musim yang
kuat dalam bereproduksi. Diplozoon memiliki karakteristik opistohaptor yang
berbentuk persegi panjang dengan terminal berbentuk konkaf. Di opistohaptor
terdapat 4 pasang klem yang terletak di posterior rongga mulut. Tubuh ditutupi
dengan bintik-bintik berpori yang timbul dan berduri dari anterior hingga posterior.
Kedua prohaptor dan opisthohaptor menonjol.
Ciri khusus dari Diplozoon ini yaitu memiliki tubuh yang berbentuk seperti
huruf X. Diplozoon sebenarnya terdiri dari dua ekor cacing dewasa yang bersatu
sehingga juga di kenal sebagai “Twin Worm” atau cacing kembar siam. Ukuran
tubuhnya antara 4-11 mm, sehingga masih dapa terlihat tanpa bantuan
mikroskop. Diplozoon bersifat hermaprodit. Fertilisasi terjadi secara cross
fertilization (Fertilisasi Silang). Telur berekor panjang seperti benang dan larva
dewasa di sebut diporpa, jiks tidak mendapatkan pasangannya aka mati. Diplozoon
menyerang pada ikan air tawar.
Diplozoon paradoxum adalah monogenoidea yang ditemukan di ikan air
tawar di Asia dan Eropa yang diketahui telah lengkap monogaminya. Parasit ini
bersifat ektoparasit karena menyerang insang ikan Cyprinid (Yamaguti 2007).
Parasit ini memiliki kait pada mulutnya yang akan digunakan untuk menempel pada
insang ikan. Kait tersebut berguna untuk mengisap darah dari insang Cyprinid. Ikan
Cyprinid adalah ikan kecil yang mencakup ikan mas. Diplozoon paradoxum
memiliki tubuh simetri bilateral.

Gambar 2. Morfologi Diplozoon sp.


7

2.1.2 Siklus Hidup Diplozoon sp.


Tidak seperti kebanyakan parasit pada umumnya yang memproduksi gamet
sepanjang tahun, gamet Diplozoon diproduksi terutama pada musim semi,
produksi tertinggi di bulan Mei sampai bulan Juni hingga sisa musim panas. Telur
dari Diplozoon diletakkan di insang ikan air tawar dan akan berada di insang ikan
hingga telur menetas hingga ke tahap larva (diporpa). Diplozoon akan tetap dalam
stadia larva hingga dua larva Diplozoon bertemu. Kemudian kedua larva tersebut
akan bermetamorfosis dan berfusi atau menyatu (Kagel dan Taraschewski 1993).
Siklus hidup diporpa dapat bertahan dengan sendirinya, tapi akan mati jika
tidak berfusi dengan diporpa lainnya Ketika bertemu dengan diporpa lain,
juvenil tersrbut akan bermetamorfosis dan menyatu dengan baik. Juvenil
tersebut akan melakukan fertilisasi silang dan menghasilkan gonad. Diplozoon
bereproduksi dengan monogami artinya hanya kawin dengan satu pasangan saja.
Siklus hidup Diplozoon paradoxum dimulai ketika meletakkan telur pada
insang ikan dari Cyprinid. Larve akhirnya akan menetas dan diporpa lahir.
Diporpa muda bisa hidup selama beberapa bulan, tetapi dapat mengembangkan
lebih lanjut sampai bertemu diporpa lain, kecuali jika hal ini tidak terjadi, diporpa
biasanya akan mati. Ketika satu diporpa menemukan diporpa yang lain, masing-
masing menempelkan pengisap terhadap papila satu sama lain. Hal ini
menyebabkan Diplozoon memiliki tubuh seperti huruf X (Kagel dan
Taraschewski 1993). Penggabungan ini memicu fertilisasi. Duktus genital jantan
akan menempel pada saluran kelamin betina, sehingga terjadi pembuahan silang.
Lalu telur akan dihasilkan dan begitu seterusnya. Reproduksi Diplozoon
paradoxum bersifat musiman, yaitu terjadi pada musim semi hingga musim panas
(Heckmann et al 2013).
8

Gambar 3. Siklus Hidup Diploozon sp.

2.1.3 Dampak yang Ditimbulkan oleh Diplozoon Sp.


Kerugian akibat infeksi ektoparasit pada ikan tidak sebesar kerugian akibat
infeksi organisme patogen lain seperti virus dan bakteri, namun menurut Scholz
(1999) dapat menjadi salah satu faktor predisposisi bagi infeksi organisme patogen
yang lebih berbahaya. Kerugian non lethal lain dapat berupa kerusakan organ luar
(Handayani et al., 1998) pertumbuhan lambat, penurunan nilai jual, dan
peningkatan sensitivitas terhadap stressor. Tingkat infeksi ektoparasit yang tinggi
dapat mengakibatkan kematian akut dalam yaitu mortalitas tanpa menunjukkan
gejala terlebih dahulu (Sommerville 1998).
Pada sistem budidaya (baik air tawar maupun air laut) dimana ikan berada
pada lingkungan yang padat dan terbatas, monogenea seringkali menjadi patogen
karena mereka menyebar dengan cepat dan berpindah-pindah diantara ikan-ikan
(Thoney and Hargis, 1991). Infeksi monogenea termasuk diplozoon sp. yang berada
di dalam sistem budidaya akan menimbulkan tingkat kerentanan dan kematian ikan
yang tidak terkontrol. Jika dibiarkan akan berujung pada kerugian ekonomi bagi
petani ikan. Infeksi yang menyebar dapat disebabkan oleh kerentanan ikan, yang
dipengaruhi kondisi lingkungan yang buruk (Harris et al., 2000).
9

Infeksi dari parasit diplozoon adalah kondisi ikan berupa adanya


kemerahan, beberapa atau seluruh bagian sisik lepas, dan tak jarang muncul luka
yang melebar. Selain itu menyebabkan insang berdarah karena mampu merobek
pembuluh darah yang menyebabkan insang tampak menggumpal dan lengket
(Hardi 2015).

2.1.4 Gejala Klinis


Ikan yang terkena parasit dari Diplozoon sp. tampak lemah, tidak nafsu
makan, pertumbuhan lambat, tingkah laku dan berenang tidak normal disertai
produksi lendir yang berlebihan. Disamping hal tersebut ikan sering terlihat
mengumpul di sekitar air masuk, karena pada daerah ini kualitas air terutama kadar
oksigen lebih tinggi. Pada kondisi yang parah ikan sering mengapung dipermukaan
air. Gejala klinis eksternal pada kondisi awal infeksi adalah pada insang terdapat
lendir yang berlebihan. Pada tahap yang lebih lanjut insang tampak pucat dan
membengkak, sehingga operkulum terbuka. Kerusakan pada insang menyebabkan
sulit ikan bernafas, sehingga tampak gejala seperti kekurangan oksigen (Reed,
2012).

2.1.5 Cara Penanggulangan


Penanggulangan ikan yang terkena parasit Diplozoon sp. Adalah sebagai
berikut :
1. Perendaman dengan air tawar selama 15 menit, kemudian untuk mengantisipasi
adanya infeksi sekunder direndam Acriflavin 10 ppm selama 1 jam (Zafran et
al. 2000)
2. Penyebab parasit ini adalah akibat dari buruknya kolam pemeliharaan oleh
karena itu kebersihan bak dan pengelolaan kualitas air yang baik dengan sistem
filtrasi mekanik, biologi serta kimiawi yang dilengkapi dengan perlakuan UV
ultraviolet dan ozon dapat mengurangi kemungkinan keberadaan parasit didalam
media pemeliharaan
10

2.2 Diplectanum sp.


Klasifikasi Diplectanum sp menurut Woo (2006), dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :

Filum : Plathyhelminthes
Kelas : Mongonea
Ordo : Dactylogridea
Family : Diplectenidea
Genus : Diplectanum
Spesies : Diplectanum sp.

Gambar 4. Diplectanum sp
(Sumber: www.google.com)
2.2.1 Ciri Morfologi
Diplectanum sp. merupakan parasit yang menyerang bagian luar tubuh ikan
(ektoparasit) yang dikenal sebagai parasit monogenetik trematoda insang. Parasit
Diplectanum disebut juga cacing insang, parasit ini cukup berbahaya dan sering
ditemukan pada ikan laut. Beberapa jenis parasit insang dapat menyebabkan
kematian yang cukup serius pada ikan. Parasit ini memiliki bentuk tubuh yang
simetris bilateral dan pipih dengan ukuran berkisar 1- 1,5 mm. Bagian kulit luar
Diplectanum adalah kutikula. Diplectanum mempunyai kekhasan yang
membedakannya dari spesies lain dalam Ordo Dactylogridea yaitu mempunyai
squamodisc (satu di ventral dan satu di dorsal), dan sepasang jangkar yang terletak
berjauhan (Chong & Chao, 1986 dalam Johnny dkk, 2002).
11

2.2.2 Siklus Hidup Diplectanum sp..


Diplectanum sp memiliki siklus hidup langsung, artinya tidak melibatkan
inang antara. Siklus hidupnya dimulai dari telur yang dilepaskan diperairan, lalu 2-
3 hari akan membentuk larva bersilisa (oncomirasidium). Oncomirasidium
bergerak bebas di alam (perairan) selama 6-8 jam maksimal 24 jam, kemudian
mencari inang yang tepat. Oncomirasidium akan menempel pada insang dan
berkembang menjadi dewasa (Grabda 1991).

2.2.3 Dampak yang Ditimbulkan oleh Diplectanum sp.


Diplectanum sp merupakan jenis ektoparasit yang biasa menyerang di
lamella insang ikan laut (krapu, kakap, napoleon, bawal). Parasit Diplectanum
termasuk Ordo Dactylogyridea, Famili Diplectanidae karena sering ditemui
menyerang insang parasit ini juga sering disebut sebagai cacing insang. Pada
beberapa kasus serangan parasit insang bisa menyebabkan kematian pada ikan yang
cukup banyak, ikan yang terserang akan mengalami gangguan dalam proses
pernafasan, selain itu luka yang ditimbulkan bisa menyebabkan terjadinya infeksi
sekunder oleh bakteri.
Beberapa peneliti melaporkan bahwa parasit dari golongan Monogenea,
Famili Diplectanidae telah menyebabkan penyakit pada kerapu. Hartono dkk.,
(2005) melaporkan hasil pemeriksaan terhadap 234 sampel ikan groupers yang
dibudidayakan pada keramba jaring apung di Lampung, 25 % telah terinfeksi oleh
parasit Diplectanum sp.
Parasit Diplectanum disebut juga cacing insang yang merupakan parasit
yang cukup berbahaya dan sering ditemukan pada ikan laut. Diplectanum
merupakan parasit yang hidup pada insang ikan. Salah satu contoh ikan yang
terinfeksi adalah ikan kerapu. Ikan kerapu yang terinfeksi Diplectanum terlihat
bernapas lebih cepat dengan tutup insang yang selalu terbuka. Infeksi Diplectanum
mempunyai hubungan erat dengan penyakit sistemik seperti vibriosis. Insang yang
terinfeksi biasanya berwarna pucat dan produksi lendirnya berlebihan (Yuniar,
1999). Serangan berat dari parasit ini dapat merusak filament insang dan kadang-
12

kadang dapat menimbulkan kematian karena adanya gangguan pernapasan.Warna


insang ikan yang terinfeksi terlihat pucat.
2.2.4 Gejala Klinis
Pertumbuhan ikan mengalami keterlambatan dan penurunan berat badan
serta nafsu makannya berkurang, tingkah laku berenangnya abnormal dipermukaan
air karena terjadi gangguan pernafasan, warna tubuhnya pucat (Subekti dan Masri
2010)
2.2.5 Cara Penanggulangan
Ikan yang terserang parasit ini biasanya akan mengalami pelepasan sisik,
terdapat bintik merah pada kulit, serta insang ikan berwarna kehitam-hitaman,
operkulum membuka dan tidak menutup secara sempurna, selain itu menyerang
organ lain seperti sirip dan jaringan dekat mata. Akibatnya, terjadi kelainan bentuk
insang, penyempitan pembuluh darah, kematian jaringan insang dan jaringan tubuh
serta dapat mengakibatkan tingginya mortalitas pada ikan (Walker 2005).
Cara penangulangannya dengan perendaman dalam larutan formalin 100-
200 ppm selama 0,5-1 jam. Perendaman dengan formalin biasanya menyebabkan
ikan stress dan sering menyebabkan kematian pada serangan yang parah. Untuk
mengurangi stress karena pengobatan dapat dilakuakn dengan perendaman kadar
garam tinggi 60 ppt selama 10-20 menit.

2.3 Benedenia Sp.


Benedenia sp. termasuk dalam kelas Monogenea ordo Dactylogyrida dan
famili Capsylidae. Benedenia sp. merupakan jenis organisme ektoparasit yang
sekaligus penyebab benedeniasis pada ikan kerapu (hospes definitive). Organisme
ini hidup menginfeksi bagian kulit, mata, rongga hidung, dan insang ikan kerapu.
Akan tetapi, bagian utama dari ikan kerapu yang sering diinfeksi adalah bagian
insang dan permukaan tubuh ikan. Benedenia sp
Klasifikasi Benedenia sp. menurut Kabata (1985), adalah :
Phylum : Platyhelminthes
Classis : Trematoda Monogenea
13

Ordo : Dactylogyridea
Familia : Capsylidae
Genus : Benedenia
Spesies : Benedenia sp.

Gambar 5. Benedenia sp.


(Sumber: Asnita 2011)

Benedenia sp. merupakan ektoparasit kulit yang memakan jaringan epitel


serta mucus atau lendir ikan untuk bertahan hidup. Monogenea dapat berkembang
sangat cepat jika sanitasi perairan yang kurang baik seperti kadar amonia yang
tinggi, polusi, dan rendahnya kadar oksigen. Salinitas sangat menentukan periode
embrionase Benedenia sp., dimana inkubasi embrio Benedenia sp. terjadi pada
kisaran salinitas 20 ‰, 30 ‰ dan 35 ‰ sementara inkubasi fase telur terjadi pada
salinitas 20 ‰ dan 50 ‰. Dalam siklus hidupnya, Benedenia sp. tidak memerlukan
inang perantara (intermediet host). Siklus hidup dimulai dari telur parasit yang
menetas dalam waktu 4-7 hari menjadi parasit muda (oncomiracidium) yang
berenang.

2.3.1 Ciri Morfologi


Benedenia sp. termasuk dalam kelas Monogenea ordo Dactylogyrida
dan family Capsylidae. Parasit ini mempunyai bentuk tubuh pipih dan
memiliki sepasang sucker pada bagian anterior tubuh serta opisthaptor yang
14

membulat pada bagian posterior tubuh dengan diameter rata-rata 0,19 mm


(Zafran et al . 1998). Jithendran et al . (2005) mengatakan bahwa parasit
memiliki ukuran tubuh 2,05-3,29 x 0,66-1,33 mm dan memiliki dua pasang
bintik meta pada bagian anterior dan posterior. Bintik mata bagian anterior
memiliki ukuran lebih kecil daripada posterior.
Benedenia sp. panjang 1,4-2,7 mm, bentuk pipih agak oval, bagian
anterior terdapat sepasang alat penempel, sedangkan pada bagian posterior
terdapat haptor yang dilengkapi dengan sepasang alat pengait (Zafran et al.,
1998). Parasit ini mempunyai alat penghisap besar (bowl-like sucker) di
kepala. Parasit ini berwarna transparan dan aktif bergerak, berwarna putih,
dan meninggalkan inang (ikan) jika ikan direndam dalam air tawar.
Parasit ini bersifat ektoparasit yang umunya dijumpai dijumpai pada bagian
kulit, mata, rongga hidung dan insang (Subekti dan Gunanti 2010).
Leong (1994) melaporkan infeksi parasit pada ikan kerapu dan ikan
kakap telah dilaporkan oleh di Malaysia dari spesies Benedenia. Di
Indonesia infeksi oleh parasit Benedenia, Neobedenia, Diplectanum,
Pseudorhabdosynochus, Haliotrema, Trichodina, Lepeophtheirus, dan
Cryptocaryon irritans pada ikan kerapu dilaporkan Zafran et al. (1997).
Infeksi Benedenia sp. menyebabkan pertumbuhan ikan terhambat, nafsu
makan berkurang, luka pada permukaan kulit, dan infeksi sekunder oleh
bakteri. Infestasi yang parah akan menyebabkan kematian pada ikan jika
berada dalam jumalh banyak (Rahayu 2009).

Gambar 6. Anatomi Benedenia sp.


15
2.3.2 Siklus Hidup Benedenia Sp
Adapun siklus hidup dari Benedenia sp. yakni telur hasil fertilisasi
dikeluarkan oleh Benedenia sp. betina di perairan. Siklus hidupnya dimulai dari
telur parasit yang menetas, dalam waktu 4-7 hari menjadi parasit muda
(oncomiracidium) yang berenang. Oncomiracidium merupakan tahap larva
Benedenia sp. yang memiliki cilia sebagai alat gerak. Larva oncomiracidium
berenang di perairan, di perairan larva tersebut akan berkembang menjadi
Benedenia sp. dewasa. Infestasi parasit ini akan mengakibatkan nafsu
makan ikan berkurang, luka pada permukaan kulit dan kerusakan pada epitel
insang. Infestasi yang parah akan menyebabkan kematian pada ikan jika berada
dalam jumlah banyak (Rahayu 2009)

Gambar 7. Larva Oncomiracidium

Saat menjadi Benedenia sp. dewasa barulah parasit ini menginfeksi bagian
permukaan kulit dan insang ikan. Benedenia sp. dewasa menempel ke inang oleh
haptor dengan dua pasang jangkar pada akhir posterior dan sepasang pengisap pada
akhir anterior.

2.3.3 Dampak yang Ditimbulkan oleh Benedenia Sp


Benedenia sp. merupakan ektoparasit kulit (menginfeksi hanya pada
permukaan tubuh ikan seperti sirip, operculum, dan permukaan tubuh) yang
memakan jaringan epitel serta mucus atau lendir ikan untuk bertahan hidup. Hal ini
disebabkan lendir ikan mengandung zat karbohidrat. Namun fungsi lendir pada ikan
salah satunya adalah untuk perlindungan diri dari mikroorganisme karena
mengandung zat antibodi. Menurut Irianto (2005), lendir yang menyelimuti
permukaaan tubuh ikan, insang, dan lapisan mukosa usus berperan sebagai
perangkap patogen secara mekanik dan mengeliminasi secara kimiawi dengan
lisosim dan enzim proteolitik lainnya.
3

2.3.4 Gejala Klinis


Gejala klinis ikan yang terserang parasit Benedenia sp. menunjukkan
abnormalitas dalam berenang, nafsu makan berkurang (hilang), luka pada kulit, dan
kerusakan pada epitel insang yang pada akhirnya mempengaruhi respirasi ikan.
Infeksi yang parah akan menyebabkan luka atau ulcer (cairan seperti nanah) pada
kulit yang akhirnya akan menyebabkan infeksi sekunder oleh bakteri dan jamur.
Infeksi oleh parasit dan infeksi sekunder oleh bakteri dan jamur dapat menyebabkan
kebutaan pada ikan kerapu.
Menurut Ghufron dan Andi (2010), gejala klinis yang ditimbulkan oleh
infeksi Benedenia sp. (Ordo: Dactylogyridea, Family: Capsalidae) umumnya yaitu
ikan menghasilkan lendir atau mucus yang berlebihan, luka pada kulit, memediasi
infeksi sekunder oleh bakteri serta menghambat pertumbuhan ikan budidaya.

2.3.5 Cara Penanggulangan


Jenis penyakit parasitik yang paling sering dijumpai adalah dari kelompok
trematoda insang, trematoda kulit dan Protozoa. Dimana Benedenia sp. Merupakan
trematoda insang yang mengakibatkan luka pada ikan sepereti kemerahan pada
ujung sirip. Pencegahan dapat dilakukan dengan menerapkan pengelolaan
kesehatan ikan secara terpadu, antara lain menggunakan benih bebas penyakit, bagi
para pembudidaya sebaiknya membeli benih yang telah diuji di laboratorium
dibuktikan dengan laporan Hasil Uji atau sertifikat.
Pengamatan Benedenia sp pada ikan sangat sulit karena parasit yang aktif
berwarna transparan, sehingga dilakukan perendaman ikan dengan air tawar selama
10 menit agar parasit Benedenia sp terlihat jelas. Perendaman ikan dengan air tawar
ini baiknya dilakukan bersamaan dengan pergantian jaring atau melihat kondisi
ikan pada saat itu.
Adapun pengobatan trematoda kulit, dapat dilakukan dengan cara
perendaman dengan air tawar selama 10 menit atau tergantung jenis ikan dan
ukurannya, selama perendaman diamati. Bila ikan terlihat megap-megap segera
pindahkan ke air laut.dapat pula di lakukan cara lain, seperti merendam dengan
formaldehyde dengan dosis 150 ppm selama 10-30 menit atau sesuai dengan
aturan produk.
4

Gambar 8. Ikan yang terinfeksi Benedenia sp. setelah direndam di air tawar

2.1 Transversotrema sp.

Gambar 1. Transversotrema sp.

Klasifikasi Transversotrema sp. menurut Witenberg (1944) adalah sebagai


berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Platyhelminthes
Subphylum : Rhabditophora
Superclass : Neodermata
Class : Trematoda
Subclass : Digenea
Order : Plagiorchiida
Suborder : Transversotremata
Superfamily : Transversotrematoidea
Famili : Transcersotrematidae
Genus : Transversotrema
Species : Transversotrema sp.
5
Ciri Morfologi
Transversotrema sp memiliki tubuh pipih, panjang melintang, berbentuk
lanset, panjangnya kurang lebih 700μm-1200μm dan lebarnya kurang lebih
400μm-700μm.Panjang mulut sekitar 160μm-200μm dari tepi anterior tubuh.
Bentuk permukaannya ventral dan sedikit cekung, bagian punggungnya sedikit
cembung. Dan keduanya ditutupi duri pendek.Mulut memiliki bentuk celah
memanjang di tengah tubuh, dan membuka bulat sampai ke faring.

Gambar 2. Morfologi Transversotrema sp.

2.1.1 Siklus Hidup


Transversotrema bersifat inang spesifik, memiliki umur hidup yang lama
dan membutuhkan waktu yang lama dalam proses perkembangannya (Woo 1995)
dan dalam hidupnya memerlukan lebih dari satu inang (kabata 1985).
Transversotrema umumnya hidup pada ikan dari family Cichlidae (Woo 1995).
Transversotrema termasuk dalam Digenea yang memiliki siklus hidup
dimulai dari telur yang hidup bebas di perairan, lalu menetas melalui terbukanya
operkulum menjadi mirasidium dan kemudian menembus permukaan kulit inang
antara pertama (siput maupun moluska) yang akan berkembang di tubuhnya
menjadi serkaria dan lepas ke perairan menuju inang antara kedua (ikan, krustasea)
dan berkembang menjadi metaserkaria dalam tubuhnya.
Bila ikan atau krustasea ini dikonsumsi oleh satwa lain seperti burung atau
anjing, atau bahkan oleh manusia dalam kondisi mentah atau kurang matang, dapat
pula mengakibatkan kecacingan karena perkembangan metaserkaria yang tumbuh
menjadi stadium dewasa dalam tubuh inang definitife. Digenea pada ikan biasanya
bersifat hermafrodit untuk menyesuaikan kondisi siklus hidupnya yang banyak
6

berpindah tempat atau inang antara sehingga sedikit yang mampu mencapai inang
definitif.

Gambar 3. Siklus hidup Transversotrema sp.

2.1.2 Dampak Kerugian


Dampak kerugian bagi ikan yang terkena parasit ini Sebagian besar akan
mengalami kerusakan pada jaringan kulit dan dapat menyebabkan stress pada saat
stress ikan akan mengalami susah makan dan jika dibiarkan akan mengalami
kematian , Transversotrema sp. merupakan parasit ektoparasit , yang biasanya
menyerang ikan kakap (Lates calcafier) , ikan blanakan (Mungil Sp.), ikan Mujair
(Tilapia mossambica). Transversotrema sp. merupakan HPIK golongan 2 yang bisa
diatasi secara langsung.

2.1.3 Gejala Klinis


Gejala Klinis ikan yang terserang oleh parasit Transversotrema sp. yaitu
kerusakan jaringan kulit, peradangan kulit, dan timbulnya stress pada ikan. Parasit
menyerang ikan Kakap (Lates clacafier), ikan belanak (Mugil sp.), dan ikan mujair
(Tilapia mossambica). Transversotrema sp merupakan HPIK 2 yang bisa diatasi
secara langsung.

2.1.4 Cara Penanggulangan


Parasit ini termasuk ke dalam HPIK Golongan II, dalam upaya pengendalian
parasit Transversotrema sp. dapat dilakukan dengan perendaman 250 ppm formalin
7

selama 1 jam atau perendaman dalam air laut salinitas tinggi yaitu 60 ppt selama 15
menit (Koesharyani et al. 2001). Selain menggunakan formalin, pengobatan ikan
yang terserang parasit Transversotrema sp. yaitu dengan CuSO4, 2 ppm selama
24 jam.

2.2 Clinostomum sp.

Gambar 4. Clinostomum sp.

Klasifikasi dari Clinostomum sp. menurut Leidy (1856) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Platyhelminthes
Subphylum : Rhabditophora
Superclass : Neodermata
Class : Trematoda
Subclass : Dignea
Order : Diplostomida
Suborder : Diplostomata
Superfamily : Schistosomatoidea
Family : Clinostomatidae
Genus : Clinostomum
Spesies : Clinostomum sp.
8

2.2.1 Ciri Morfologi


Ciri morfologi dari parasit ini terdapat 2 fase yaitu telur dan cacing dewasa.
Pada fase telur ciri morfologinya yaitu ukuran telur 105 -146 x 65 –75. Fase
cacing dewasa ciri morfologinya yaitu ukurannya3-10 x 2-3 mm, tubuh pipih,
bagian lateral konkaf, tidak mempunyai faring, caecum sangat panjangdan
ovarium kecil, terletak diantara testis yang terletak tandem.

Gambar 5. Morfologi Clinostomum sp.

2.2.1 Siklus Hidup


Daur hidup Clinostonum sp terdiri dari beberapa fase yakni pertama yaitu
fase telur (dalam air), kedua fase miracidium, sporocyst dan redia (dalam siput),
ketiga fase cercaria dan kista/metacercaria (dalam air), serta keempat fase dewasa
(dalam hewan vertebrata, ikan, ternak, burung, dan manusia).
Clinostomum sp membutuhkan dua inang antara (siput dan ikan atau katak)
dan satu inang defenitif (burung) agar siklus hidupnya lengkap. Siklus hidup
dimulai ketika telur menetas di air. Miracidia berenang dan menyerang kaki siput
dari genus Helisoma . Mereka akan mati dalam beberapa jam jika mereka tidak
dapat menemukan inang siput. Sementara di dalam siput, miracidia mengalami
beberapa reproduksi aseksual dan larva akhirnya menjadi serkaria. Bentuk serkaria
keluar dari siput dan berenang bebas di air, untuk mencari inang ikan yang
pas. Mereka bersembunyi di dalam inang ikan atau katak, dan encista serkaria dan
melanjutkan tahap larva berikutnya, yang dikenal sebagai "metacercariae", yang
merupakan belatung kuning.
Belatung dapat hidup di dalam inang selama beberapa tahun sampai
dimakan oleh inang. Ketika inang yang diparasit dimakan, grub matang di
tenggorokan burung. Telur-telur parasit yang dikenal sebagai metacercaria
kemudian dilepaskan ke dalam air melalui mulut burung ketika memberi makan
dan menjadi cacing dewasa. Ini melengkapi siklus hidup.

Gambar 6. Siklus Hidup Clinostomum sp.

2.2.3 Dampak Kerugian bagi Ikan


Dampak kerugian bagi ikan yang terkena parasit ini perubahan tingkah laku,
iritasi pada kulit, sekresi mukus berlebihan, kehilangan napsu makan, frekuensi
berenang berkurang, warna tubuh pucat, pergerakannya menjadi lambat dan pada
infeksi berat dapat menyebabkan kematian ikan budidaya (Mwita dan Nkwengulila,
2008). clinostomum sp. adalah parasit yang ada pada burung pemakan mamalia dan
ikan (Beaver dkk. 1984) dan Menurut Dias dkk. (2003) Clinostomum memilih
moluska sebagai inang antara I dan ikan merupakan inang antara II bagi
Clinostomum. clinostomum sp.merupakan HPIK golongan 2 yang bisa diatasi
secara langsung.

2.2.4 Gejala Klinis


Clinostomum sp. merupakan suatu jenis cacing parasitik penyebab penyakit
clinostomumiosis yang dikelompokkan ke dalam Nematoda. Pada umumnya,
cacing ini menyerang ikan air tawar jenis gurami, nilem, dan tawes dimana organ
yang diserang antara lain adalah kepala, mata, operkulum, serta bagian sebelah
dalam otak dan perbatasan kedua operkulum. Gejala klinis dari serangan tersebut
antara lain tempat yang diserang berbentuk gondok, pertumbuhan ikan terhambat,
dan terjadi kerusakan organ internal.
2.2.5 Cara Penanggulangan
Parasit ini termasuk HPIK Golongan II dikarenakan telah ditemukan
penanggulangan yang dapat dikuasai berupa pemberian Pemberian desinfektan
yaitu pada alcohol 30 %, mercurochrome dan gentian violet 1%. Public helath
dengan cara memasak ikan secara sempurna.
Cara pemberantasannya adalah dengan memutus mata rantai/ siklus
hidupnya, antara lain :
 Membunuh stadia telur dan mirisidia dari dalam perairan dengan
menggunakan pestisida.
 Membunuh siput-siput air yang menjadi induk semang dari sporocyst dan
redia
 Membunuh stadia cercaria setelah keluar dari badan siput
Pengeringan kolam merupakan tindakan yang terbaik dalam usaha
pencegahan, selanjutnya kolam ditaburi dengan kapur atau garam dapur. Obat
pemberantasan yang dapat dipergunakan antara lain : Formalin 25 ppm, Kalium
Permanganat 5-10ppm dan Dipterex 90 0,25 ppm.

2.3 Opecoelus lobatus

Gambar 7. Opecoelus lobatus

Klasifikasi dari Opecoelus lobatus menurut Ozaki (1925) adalah sebagai


berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Platyhelminthes
Subphylum : Rhabditophora
Superclass : Neodermata
Class : Trematoda
Subclass : Digenea
Order : Plagiorchiida
Suborder : Xiphidiata
Superfamily : Allocreadioidea
Family : Opecoelidae
Subfamily : Opecoelinae
Genus : Opecoelus
Species : Opecoelus lobatus

2.3.1 Ciri Morfologi


Memiliki tubuh bulat panjang, bagian posterior bulat dan anterior lonjong,
oral sucker berkembang baik dan berbetuk oval, panjang acetabulu 2 kali oral
sucker, papila tidak berkebang, faringnya berbenruk oval, dan Hospes definitif :
Ikan tawes (Puntius javonicus),dan Ikan Lele (Clarias batrachus)(Kabata 1985).

Gambar 6. Morfologi Opecoelus lobatus

2.3.2 Siklus Hidup


Opegaster dewasa atau serkaria akan menghasilkan ribuan telur yang
dimigrasikan ke feses inangnya. Telur ini memiliki mirasidium bersilia tertutup
untuk menetas dan menembus ke dalam moluska. Siklus hidup dari opeocolus
produksi dari sporokista betina oleh sporocyst induk ketika ukuran betina
seperempat dari ukuran induknya dan pengebangan lebih lanjut dari metaserkaria
dalam hospes perantara kedua setelah menjadi infektif ke hospes definitif.
Opegaster dewasa atau serkaria akan menghasilkan ribuan telur yang
dimigrasikan ke feses inangnya. Telur ini memiliki mirasidium bersilia tertutup
untuk menetas dan menembus ke dalam moluska. Pada saat telur ini berpindah dan
masuk ke dalam inang, ia akan menetas dan memungkinkan mirasidium untuk
mencari dan menembus bagian - bagian spesifik dari inangnya seperti usus.
Mirasidium tersebut kemudian akan kantung spora dalam jumlah besar dan kembali
menghasilkan serkaria. Opegaster ini biasanya hidup pada jenis mollusca atau
hewan laut lainnya (Paperna 1975 dan Overstreet 1981).

2.3.3 Dampak Kerugian


Opecoelus sp. termasuk kedalam parasit Diginea. Digenea adalah trematoda
endoparasit yang memiliki siklus hidup kompleks yang melibatkan satu atau lebih
inang . Organ yang diserang pada inang akhir adalah organ internal seperti saluran
gastrointernal dan organ yang berdekatan seperti hati dan empedu, paru-paru,
gelembung renang serta saluran darah. (Buchmann & Bresciani 2001). Opecoelus
sp. merupakan HPIK golongan 2 yang bisa diatasi secara langsung.

2.3.4 Gejala Klinis


Opecoelus termasuk kedalam parasit Diginea. Digenea adalah trematoda
endoparasit memiliki siklushidup kompleks yang melibatkan satu atau lebih
inang.Parasit inimemperlihatkan inang spesifisitas yang tinggi terutama pada inang
antara yang pertama dan pada inang akhir. Organ yang diserang pada inang akhir
adalah organ internal seperti salurangastrointernal dan organ yang berdekatan
seperti hati dan empedu, insang, gelembung renangserta saluran darah. (Buchmann
& Bresciani 2001).

2.3.5 Cara Penanggulangan


Upaya pengendaliannya yaitu dengan menggunakan larutan acriflavin 100
ppm dalam air tawar selama 1 menit atau acriflavin 10 ppm selama 60 menit
(Buchmann dan Bresciani 2001).
2.1 Bothriocephalus sp.
2.1.1 Klasifikasi Bothriocephalus sp.
Klasifikasi Bothriocephalus sp. menurut Yamaguti (1934) sebagai berikuti:
Filum : Plathyhelminthes
Kelas : Cestoda
Ordo : Pseudophyllidea
Famili : Bothriocephalidae
Genus : Bothriocephalus
Spesies : Bothriocephalus cuspidabus, Bothriocephalus clavice
Gambar 1. Bothriocephalus sp.
2.1.2 Ciri Morfologi Bothriocephalus sp.
Bothriocephalus sp. mempunyai skolek berbentuk lonjong dan terkadang bulat serta membesar di
bagian posterior, namun pada bagian tepi berbentuk cembung. Botria memanjang seperti celah di
skolek dan tidak berleher. Tubuh terdiri atas segmen-segmen (proglottid) yang hermaprodit.
Proglotid muda yang terletak di dekat kepala yang bentuknya kampanulatus atau anapolitik.
Ovariumnya kompak, tidak berseminal reseptakel, dan kelenjar vitelin terdapat di seluruh tepi
proglottid. Kelenjar vitelin sendiri berfungsi untuk memberikan substansi pada pertumbuhan
telur dan pembentukan kulit telur. Uterus terdapat di tengah. Testis terletak di laberal medulla.
Mempunyai alat sensor (sirus) yang dikelilingi oleh kelenjar prostat testis. Telur berdinding tipis,
beroperkulum, dan tidak berembrio. Parasit Cestoda pada ikan bisa didapatkan dalam bentuk
dewasa misalnya Bothriocephalus mempunyai final host yaitu “flatfish” atau dalam larva dan
mempunyai final host pada mamalia misalnya Diphylobothrium latum (Möler dan Anders 1986).

2.1.3 Siklus Hidup Bothriocephalus sp.


Telur yang ditaruh di air akan menetaskan corgsidium, dan bila dimakan Copepoda akan tumbuh
menjadi procercoid lalu bila Copepoda dimakan ikan akan tumbuh menjadi dewasa di usus ikan.
Selain Copepoda, ikan kecil dapat juga menjadi pembawa procercoid. Hewan dewasa terdapat
dalam intestinum ikan dan larva procercoid terdapat di Copepoda dan ikan kecil dapat juga
menjadi carrier (Hoffman 1967).
Gambar 2. Siklus Hidup Bothriocephalus sp.

2.1.4 Gejala Klinis dari Bothriocephalus sp.


Pada ikan, Bothriocephalus sp. sebagai parasite dan apabila ikan sudah terserang akan terlihat
gejala klinis seperti pergerakan lambat, tubuh kurus, dan pertumbuhannya yang lambat
dikarenakan kerusakan saluran pencernaan pada usus sehingga proses penyerapan makanan dalam
usus terganggu dan kemungkinan juga terjadi infeksi sekunder oleh bakteri (Anshary, 2008).
Bothriocephalus sp. dapat menyerang ikan Cassius auratus, Anguilla rostrata, dan Microptaerus
dolomieui.

2.1.5 Cara Penanggulangan dari Bothriocephalus sp.


Adapun penanggulangannya menurut Koesnandar (2011) adalah sebagai berikut:
1. Kamala 1,5-2 % dalam makanan selama satu minggu dan diulang kembali minggu
berikutnya. Selain itu juga, dapat dengan menggunakan kapsul 180-220 mg/pon
(1/2 kg) berat ikan yang dimasukkan ke dalam perut ikan selama 3 hari berturut-
turut.
2. Dinbutylzinc oxide 0,3% dalam makanan selama 1 hari atau 500 mg/kg berat
badan ditambahkan dalam pelet selama 3 hari dengan dosis 1/3 per hari.
3. Larutan jenuh chlorometaxylon (chloroxylelol) yang diberikan bersama makanan
ikan yang dicelup ke dalam larutan ini dan dikombinasi dengan perlakuan
pencelupan 10cc larutan stok dalam 1 liter air.
4. Phenoxethol 1% digunakan untuk makanan yang dicelup ke dalam larutan ini, lalu
dalam akuarium ditambahkan 10cc larutan phenoxetho.

2.2 Diphyllobothrium sp.


2.2.1 Klasifikasi Diphyllobothrium sp.
Klasifikasi Diphyllobothrium sp. menurut Chullarson et al. (2008) sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Platyhelminthes
Class : Cestoda
Ordo : Pseudophyllidea
Family : Diphyllobothriidae
Genus : Diphyllobothrium
Species : Diphyllobothrium latum

2.2.2 Ciri Morfologi Diphyllobothrium sp.


Cacing ini memiliki ciri-ciri bentuk tubuh panjang dan pipih seperti pita sehingga disebut cacing
pita, dimana bagian tubuhnya memiliki garis yang menyerupai sekat-sekat dan memiliki ujung
yang runcing memiliki bentuk tubuh memanjang seperti pita yang terdiri dari segmen-segmen
yang disebut proglotid. Bagian kepala disebut skoleks yang kecil dan berbentuk seperti sendok,
dengan ukuran 2-3 x 1 mm. Di belakang scolex terdapat leher Chambers (2011).
Diphyllobothrium latum memiliki alat isap (sucker) dengan kait (rostelum) terbuat dari kitin.
Pembentukan segmen (segmentasi) pada cacing pita disebut strobilasi. Bagian tubuh disebut
strobila, setiap segmen yang menyusun strobila mengandung alat perkembangbiakan berupa
testes dan ovarium. Karena tidak memiliki mulut, cacing ini menyerap nutrisi dengan
menggunakan permukaan tubuhnya yang dilengkapi alat reproduksi (jantan dan betina) pada
setiap proglotid (segmen) (Nureynurey 2011).

Gambar 3. Diphyllobothrium sp.

2.2.3 Siklus Hidup Diphyllobothrium sp.


Siklus hidup terdiri dari telur – larva bebas (coracidium) – procercoid – plerocercoid – cacing
dewasa. Siklus hidup cacing parasit ini memiliki tiga inang berbeda yaitu Cyclops sp. sejenis
Crustacea, ikan, dan karnivora yang memakan ikan tersebut (Rai et al. 1996).
Menurut Kridanta (2016) Cacing dewasa yang keluar dari usus manusia berwarna gading,
panjang mencapai 10 m, terdiri atas 3000 – 4000 buah proglotid; tiap proglotid memiliki alat
kelamin jantan dan betina yang lengkap. Telur mempunyai operkulum, dikeluarkan melalui
lubang uterus proglotid gravid, dan dapat ditemukan dalam tinja. Telur menetas dalam air,
mengeluarkan larva yang disebut korasidium, dan dimakan oleh hospes perantara pertama, yaitu
kelompok Copepoda seperti Cyclops dan Diaptomus. Dalam hospes ini larva tumbuh menjadi
proserekoid, kemudian Cyclops dimakan hospes perantara kedua yaitu ikan salem, dan proserkoid
berubah menjadi larva pleroserkoid, disebut juga sparganum.

Bila ikan dimakan hospes definitif, misalnya manusia, sedangkan ikan tidak dimakan dengan
baik, maka sparganum di rongga usus halus dapat tumbuh menjadi cacing dewasa.

Gambar 4. Siklus Hidup Diphyllobothrium sp.

2.2.4 Peran Diphyllobothrium sp. Bagi Ikan


Diphyllobotrium latum merupakan endoparasit yang menyerang organ dalam tubuh inangnya
(Diba 2009). Diphyllobothrium latum menginfeksi beberapa jenis ikan seperti pike, perch dan
turbot pada perairan Baltic sea dan dapat menginfeksi manusia (Sinderman 1990).
Diphyllobothrium sp. juga ditemukan di usus ikan kerapu macan (Musyaffak dkk. 2010).
Diphyllobothrium sp. juga dapat hidup pada usus manusia dan menyebabkan penyakit
diphyllobothriasis (Yamane et al. 1986 dalam Latama 2006). Setelah dikonsumsi, plerocercoids
menempel pada mukosa dari usus kecil, dimana mereka menjadi cacing dewasa (ukuran panjang
mencapai 5-10 m).
Gambar 5. Parasit Diphyllobothrium sp
2.2.5 Gejala Klinis dari Diphyllobothrium sp.
Ikan yang terinfeksi jenis cacing ini akan memperlihatkan gejala klinis seperti berkurangnya
nafsu makan, pergerakannya lambat, pertumbuhan lambat dan terjadi perubahan warna tubuh.
(Nureynurey 2011).

2.2.6 Cara Penanggulangan dari Diphyllobothrium sp.


Pengendalian yang efektif untuk infeksi cestoda adalah dengan melakukan perendaman
praziuantel dengan dosis 10 mg/l selama 1-3 jam. Namun tidak ada perlakuan yang dapat
digunakan untuk pengendalian plerocercides. Selain itu dapat juga dilakukan desinfeksi kolam
untuk menghilangkan inang perantaranya yaitu copepoda (Kridanta 2016).
2.3 Marsipometra sp.
2.3.1 Klasifikasi Marsipometra sp.
Klasifikasi Marsipometra sp. menurut Kabata (1985) adalah sebagai berikut:
Filum : Helminthes Subfilum : Platyhelminthes Kelas : Cestoda
Ordo : Pseudophyllidea
Famili : Amphicotylidae
Genus : Marsipometra
Spesies : Marsipometra confuse
2.3.2 Ciri Morfologi Marsipometra sp.
Cacing Marsipometra sp. mempunyai tubuh yang beruas-ruas, berskolex seperti anak panah
dengan dua buah botrium sebagai alat pelekat. Segmen dekat skolex kecil jika dewasa besar dan
segmennya adalah hermaprodit. Uterus terdapat dibagian tengah segmen, ovarium letaknya di
bagian postarium. Kelenjar vitelin terdapat di kedua sisi segmen. Larva stadium procercoid
terdapat dalam tubuh Cyclops, stadium clerocercoid terdapat dalam otot daging ikan. Dewasanya
terdapat dalam usus. Segmen tubuh disebut stobilus (Hoffman 1967).

Gambar 6. Morfologi Marsipometra sp.


2.3.3 Siklus Hidup Marsipometra sp.
Cacing Marsipometra sp. betina akan membentuk dua buah kantung telur dibagian belakang
tubuhnya, telur akan lepas kedalam air, menetas, dan bermetamorfosis beberapa kali, melalui
tahapan larva yang berenang bebas dan tahapan parasit yang umumnya akan menjangkit insang
ikan (Hoffman 1967). Cestoda pada ikan mempunyai siklus hidup yang melibatkan inang lainnya.
Ikan mungkin dapat berfungsi sebagai inang tetap atau inang antara bagi cestoda. Semua cestoda
bertelur dan telur keluar melalui feses pada inang tetap atau tidak mungkin menetas di dalam air
untuk melepaskan larva yang berenang bebas. Pada ordo pseudophyllidea dan trypanorhynchidea
larva ini diketahui seperti korasidium yang harus termakan oleh inang antara invertebrate yang
sesuai, ini sering pada copepod (Robert 1989 dalam Nurcahyo 2018).
Pada kelompok cestoda ikan yang lain, telur harus dimakan oleh inang antara dan menetas di
dalam usus. Apakah tercerna sebagai korasidium atau larva, cestoda menembus melalui dinding
usus pada inang dan mengalami perkembangan lebih lanjut dalam rongga tubuh ke tahap yang
mampu menginfeksi inang ikan. Pada kebanyakan cestoda pada tahap ini diketahui sebagai
pleserkoid (Robert 1989 dalam Nurcahyo 2018).
Jika prosercoid tercerna oleh inang ikan yang sesuai menembus melalui dinding usus dan encyst
di organ dalam atau otot-otot tempat berkembang menjadi tahap pleserkoid. Pada tetraphylidea,
perkembangan ini terjadi pada lumen usus pada inang ikan. Ikan pada tahap pleroserkoid
bertindak sebagai inang antara kedua. Siklus hidup pada kelompok cestoda berakhir jika ikan
yang terinfeksi termakan oleh inang tetap yang sesuai, mungkin oleh ikan lainnya, burung atau
mamalia, di dalam usus tempat cestoda berkembang menjadi dewasa.

Gambar 7. Siklus Hidup Marsipometra sp.

2.3.4 Gejala Klinis dari Marsipometra sp.


Kehadiran parasit ini akan menimbulkan iritasi sehingga ikan yang terjangkit akan tampak
berusaha membebaskan diri dengan menggosok-gosokkan badannya, serta sering dijumpai ikan
meluncur dengan cepat kesana kemari. Ikan kecil yang terjangkit biasanya akan sangat lemah.
Ikan yang terjangkit hendaknya diisolasi untuk mencegah telur yang dikandung parasit tersebut
terlepas dan menetas.
2.3.5 Cara Penanggulangan dari Marsipometra sp.
Penanggulangan Marsipometra sp. ini dengan cara perendaman dengan bahan kimia tertentu
dapat dilakukan untuk memusnahkan larva parasit trichlorfon dan senyawa organofosgat
diketahui efektif pada dosis 0,2-0,3 mg/l. Perendaman dalam larutan garam atau bahan kimia
pencegah parasit komersial juga diketahui efektif. Perendaman jangka panjang dapat
dilakukan dengan dichlofention (Bromex) pada konsentrasi 0,12 ppm/liter air (Meyer 1960).
2.1. Camallanus sp.
Menurut Subandi (2010), cacing Camallanus merupakan cacing nematode yang berukuran
panjang 16,5 mm untuk cacing jantan dan 18,1 mm untuk cacing betika serta memiliki bentuk
tubuh silindris memanjang. mereka memiliki ciri khas yakni adanya rongga kapsul yang terbuat
dari dua katup lateral, cincin basal dan dua trident. Betina gravid berisikan larva motil kira-kira
panjangnya 0,5 mm. Camallanus sp. ini memiliki kebiasaan menghisap darah sehingga
menyebabkan anemia. Perlekatan dengan rongga kapsulnya menyebabkan erosi pada mukosa.

2.1.1. Klasifikasi Camallanus sp.


Klasifikasi Camallanus sp. adalah sebagai berikut:
Filum : Nemahelminthes
Kelas : Nematoda
Ordo : Camallanoidea
Subordo : Camallanidae
Famili : Camallaninae
Genus : Camallanus
Spesies : Camallanus sp.

Gambar 1. Camallanus sp.

2.1.2. Morfologi Camallanus sp.


Camallanus Sp. tubuhnya ditutupi oleh lapisan kutikula halus yang melintang mulai dari ujung
anterior sampai ujung ekor berwarna oranye sampai coklat. Bagian ujung kepalanya membulat
sedangkan bagian akhir ekor meruncing. Bagian mulut terdapat celah sempit yang terbuka dengan
sudut yang membulat. Terdapat delapan papilla cephatic yaitu empat bagian papilla terletak lebih
dekat dengan mulut dan empat bagian papilla lainnya terletak dibagian luar mulut dan berbentuk
bulat besar.

Gambar 2. Morfologi Carmallanus sp. Keterangan : A) cacing dewasa, B) ujung anterior terlihat
lateral, C) posterior terlihat lateral, D) posterior ekor jantan

Parasit ini memiliki ciri khas yaitu memiliki suatu buccal kapsul yang dilapisi kutikula yang tebal
dan sepasang lekukan pada buccal kapsul. Mulutnya seperti penjepit yang kuat, berbingkai yang
dikelilingi oleh buku-buku semacam tanduk. Bentuk seperti ini akan membuat parasit ini dapat
memegang dengan kuat ke dinding usus dan tidak dapat lepas. Tempat berkaitnya cacing ini pada
usus dapat terjadi pendarahan. Mulut sampai esofagus memiliki dinding otot yang tebal, biasanya
esofagus dilapisi kutikula (Yolanda 2013).
Camallanus banyak menyerang Poecilidae dan jenis ikan ovipar lain sebagai inang akhir
(Yolanda 2013). Parasit ini akan kelihatan keluar dari anus dan berwarna merah jika ikan diam
tidak bergerak. Saat ikan mulai bergerak cacing masuk lagi ke dalam usus sehingga anus akan
terlihat menonjol. Cacing betina panjangnya dapat mencapai 10 mm, sementara cacing jantan
mencapai 3 mm.
Infeksi Camallanus sering diakibatkan oleh inang perantara lain seperti burung, krustasea atau
larva serangga. Namun kemungkinan besar infeksi terjadi melalui pakan alami. Camallanus sp
menginfeksi saluran pencernaan cychlids, guppies dan swordtails serta spesies lain ikan air tawar.
Biasanya infeksipertama ditandai warna merah dan cacing menonjol dari anus ikan.

Gambar 3. Bagian Tubuh Camallanus sp


2.1.3. Siklus Hidup Camallanus sp.
Siklus hidup parasit ini yakni cacing dewasa Rongga kapsul Kelenjar esofagus Usus Otot
esofagus berkopulasi di ikan kemudian betinanya membawa larva menuju lumen usus.
Camallanus sp. ini merupakan cacing vivipar. Larva akhirnya berada di air. Larva akan termakan
kopepoda yang akan terinfeksi pada hemocoelnya. Kopepoda sebagai inang antara yang berisi
larva stadium ketiga (L3) dari Camallanus sp. tersebut akan dimakan oleh inang akhir yakni ikan.
Melalui ingesti dan digesti kopepoda, larva cacing melekat pada mukosa dan berkembang menuju
stadium dewasa pada ikan sebagai inang akhir. Inang paratenik mungkin termasuk dalam siklus
parasit ini, dengan cara ini beberapa ikan membawa sejumlah besar larva dan akan berakhir pada
saluran pencernaan ikan.Adapun gejala yang ditimbulkan yaitu kematian, cacat dan anemia pada
ikan.

Gambar 4. Siklus Hidup Camallanus sp.

Camallanus sp. berkembang melalui keberadaan inang antara. Kebanyakan larvanya dapat hidup
bebas di air selama 12 hari. Larva parasit ini menjadi makanan oleh cyclop krustasea dan
berkembang dalam saluran pencernaan, cyclop ini menjadi inang antara bagi Camallanus sp.,
kemudian cyclop akan termakan oleh ikan. Disini ikan akan menjadi inang definitif bagi
Camallanus jika ikan ini tidak dimakan oleh ikan karnivor lebih besar. Parasit ini juga dapat
berkembang tanpa inang antara. Pada inang parasit ini dapat berkembang dan mencapai
kematangan seksual untuk kemudian melepaskan larvanya dan berkembang disana (Untergasser,
1989).

2.1.4. Peran Camallanus sp. Bagi Ikan


Hasil identifikasi endoparasite yang ditemukan pada usus ikan bawal bintang di Desa Pangkil
ialah salah satunya dari genus camallanus (Kabata 1985). Camallanus juga merupakan parasite
yang non host spesifik yaitu dapat hidup di berbagai jenis ikan dengan kondisi perairan yang
berbeda. Pada penelitian Siahaan (2013) ia menemukan cacing ini menginfeksi ikan manfish,
selain itu juga menginfeksi saluran pencernaan cychlids, guppies dan swordtails serta spesies lain
ikan air tawar.
Endoparasit ini bersifat permanen yang sepanjang hidupnya menetap didalam tubuh inang, pada
waktu tertentu berpindah ke inang lain. Untuk menginvasi inangnya Camallanus tidak
menginvasi secara langsung namun membutuhkan inang perantara.
Camallanus memiliki kebiasaan menghisap darah sehingga menyebabkan anemia. Perlekatan
dengan rongga kapsulnya dapat menyebabkan erosi pada mukosa. Selain menyerang usus parasite
ini juga menginfeksi pylorus sekum (Noga 1996)

2.1.5. Gejala Klinis Penyakit dari Camallanus sp.


Infeksi cacing Callamanus tidak menunjukkan gejala klinis, namun apabila terinfeksi berat dapat
menyebabkan ikan menjadi lemah, terdapat luka pada usus, anemia, dan emasiasi (tubuh kurus
dan kering) (Rigby 1997).

2.1.6. Cara Penanggulangan dari Camallanus sp.


Upaya pencegahan menurut Afrianto et al. (2015) dapat dilakukan dengan cara membersihkan
dan mensterilkan media budidaya untuk mencegah tumbuhnya inang perantara misalnya cacing
tubifex. Pencegahan dan pengobatan juga dilakan pada induk dan anak ikan. lakukan pengamatan
secara berkelanjutan terhadap feses ikan, necropsies dari ikan sampel, dan pengurangan inang
perantara seperti burung pemakan ikan dan cacing tubifex.
Pengobatan untuk mengatasi infeksi usus menurut Afrianto et al. (2015) dengan menggunakan
Fenbendazole dan Levamisol. Fenbendazole digunakan sebagai aditif dalam pakan ikan dengan
dosis 2,28 g/kg pakan dan diberikanan selama tiga hari. Pengobatan dapat diulang hingga 2-3
minggu. Penggunaan Levamisol digunakan sebagai aditif pakan atau dibuat larutan untuk
merendam ikan yang terinfeksi. Dosis yang digunakan sebagai aditif pakan adalah 3,6 g/kg
pakan, diberikan sekali dalam seminggu, dan berlangsung selama tiga minggu. Dosis Levamisol
untuk merendam ikan adalah 2 ppm (mg/l) dan perendaman ikan terinfeksi dilakukan selama 24
jam, perendaman dapat diulang sampai tiga minggu.
Pengobatan terhadap nematoda yang menginfeksi selain dari saluran pencernaan dengan cara
melakukan tindakan operasi pengambilan cacing yang menginfeksi organ dalam seperti otot atau
hati. Prosedur ini tidak praktik dan sebaiknya ikan yang terinfeksi segera dimusnahkan.

2.2. Echynorhynchus sp.


Echinorhynchus sp. merupakan cacing acanthocephalla yang pada awalnya menginfeksi ikan laut
di daerah Atlantik Utara dan Pasifik Utara yang disebut juga sebagai cacing parasit.

2.2.1. Klasifikasi Echynorhynchus sp.


Klasifikasi Echinorhynchus sp, menurut Grabda (1991) adalah sebagai berikut : Kingdom :
Animalia
Filum : Acanthocephala
Kelas : Archiacanthocephala
Ordo : Echinorhynchida
Famili : Echinorhynchidae
Genus : Echinorhynchus
Spesies : Echinorhynchus sp
2.2.2. Ciri Morfologi Echynorhynchus sp.
Echinorhynchus jantan berukuran 7-9 mm, pada betina umumnnya lebih panjang dari jantan
dengan ukuran 14-18 mm. Bentuk tubuhnya pipih dan silindris, serta terdapat rongga di dalam
tubuhnya. Terdapat proboscis pada bagian anterior (Gambar x) yang berupa kait-kait sejumlah
26-32 buah. Proboscis mempunyai lapisan yang berdinding ganda. Kait-kait pada proboscis
sangat tajam dengan akar yang sederhana dan bulat. Pada rongga tubuh cacing betina terdapat
telur yang telah matang. Mempunyai uterus dan uterine bell pada bagian posterior tubuh
(Bayoumy, et al. 2008).

Gambar 6. Morfologi Echinorhynchus sp.


Keterangan : A. Tubuh Echinorhynchus sp. (skala bar 0,5 mm), B. Proboscis Echinorhynchus sp.
(skala bar 50 µm)

Sobecka (2012) menerangkan bahwa Echinorhynchus sp. merupakan cacing acanthocephalan


yang pada awalnya menginfeksi ikan laut di daerah Atlantik Utara dan Pasifik Utara. Cacing ini
paling sering ditemukan pada ikan laut khususnya Atlantik cod, tetapi juga dapat menginfeksi
ikan air payau dan air tawar (Bauer, 1987 dalam Sobecka, 2012).

2.2.3. Siklus Hidup Echynorhynchus sp.


Siklus hidup Echinorhynchus sp. melibatkan arthropoda sebagai inang antara di mana
perkembangan larva berlangsung dan vertebrata (inang definitif) sebagai tempat pematangan
cacing dan proses reproduksi terjadi. Telur dilepaskan dari rongga tubuh cacing betina pada usus
dari inang definitif dan dikeluarkan melalui feses ke perairan bebas. Telur yang mengandung
larva acanthor dimakan oleh amphipod (Corophium spinicorne) dan berkembang menjadi larva
acanthella. Kemudian acanthella berkembang menjadi cystacanth yang merupakan fase infektif
dari cacing. Inang definitif yang memakan arthropoda menyebabkan cystacanth berkembang
dalam tubuh inang definitif menjadi cacing dewasa (Miller 1977).

2.2.4. Peran Echynorhynchus sp. Bagi Ikan


Cara penularan Echinorhynchus sp. melalui termakannya crustacea air yang mengandung
acanthella oleh ikan (inang definitif). Selama masa itu acanthella akan meletakkan dirinya kepada
dinding usus dengan proboscis dan akan tumbuh sampai dewasa (Sobecka 2012). Cacing dewasa
yang menempel dengan bantuan proboscis yang berduri, jika dalam jumlah besar Echinorhynchus
sp dapat merusak dinding usus dan menyebabkan terjadinya pembesaran perut pada ikan
(Mahasri dkk. 2008).

2.2.5. Gejala Klinis Penyakit dari Echynorhynchus sp.


Berikut merupakan gejala klinis pada ikan yang disebebkan oleh Echinorhynchus sp. :
1. Gejala klinis ikan yang terinfeksi Echinorhynchus sp. yaitu mengeluarkan lendir dan
saat mengeluarkan kotoran disertai dengan lendir.
2. Peradangan terjadi pada dinding usus berupa bercak merah bekas luka serta jika terjadi
infeksi berat mengalami pendarahan.
3. Kehilangan nafsu makan.
4. Saat terjadi infeksi juga mengganggu penyerapan nutrisi yang menye.babkan terjadinya
pertumbuhan yang lambat atau terhambat (Mohammed 2007).

2.2.6. Cara Penanggulangan dari Echynorhynchus sp.


Penyakit ini dapat diobati dengan merendam ikan yang sakit dengan larutan formalin 100-150
ppm selama 15-30 menit, dan diulangi selama tiga hari berturut. Apabila ikan telah mengalami
luka sebaiknya direndam dalam larutan acriflavin 5-10 ppm selama 1-2 jam. Setelah itu diberi
Combatrin dengan dosis 1 botol Combatrin (10 ml) untuk 5 kg pakan.
2.3. Acanthocephala sp.
Acanthochepala berasal dari bahasa Yunani yaitu “Acanthos” yang berarti duri dan “Cephale”
yang berarti kepala. Acanthocephala merupakan salah satu kelompok Aschelminthes secara
umum hidup sebagai endoparasit yang memerlukan dua hospes dalam daur hidupnya. Pada
umumnya Acanthochepala tida mempunyai sistem ekskretori yang khusus, dinding tubuhnya tida
dilapisi oleh kutikula, dan mempunyai otot sirkular dan longitudinal, sistem sirkulasinya dengan
sistem saluran lakuna.

2.3.1. Klasifikasi Acanthocephala sp.


Klasifikasi dari Acanthocephalus sp. menurut Kabata (1985) adalah sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Phylum : Acanthocephala
Class : Palaeacanthocephala
Ordo : Echinorhynchidea
Family : Rhadinorhynchidae
Genus : Acanthocephalus Species : Acanthocephalus sp.

Gambar 8. Acanthocephalus sp.

2.3.2. Ciri Morfologi Acanthocephala sp.


Acanthocephalus sp. disebut cacing kepala berduri. Hal ini dikarenakan cacing Acanthocephalus
memiliki kait-kait yang mirip duri pada probiosisnya (Noble dan Noble 1989). Acanthocephalus
sp merupakan cacing yang berbentuk silinder, agak pipih, mempunyai probiosis yang dapat
dimasukkan dan dikeluarkan dari tubuhnya yang berada di ujung anterior tubuh. Probiosis
berbentuk bulat atau silindris serta dilengkapi baris-baris kait (spina) yang membengkok dan
berguna untuk meletakkan tubuh cacing tersebut pada usus inang.

Tubuh silindris dan memiliki sekat-sekat semu, berwarna putih, kecoklatan, merah atau
kehitaman. Proboscis merupakan ciri utama dan berfungsi sebagai alat penempel. Jumlah dan
susunan duri pada proboscis menjadi dasar untuk mengidentifikasi (Grabda 1991).
Acanthochepala tidak memiliki saluran pencernaan. Nutrien diserap melalui kulit (Kennedy
1975). Tubuh Acanthochepala terdiri atas dua bagian yaitu persoma yang terdiri dari proboscis
dan leher serta bagian lain disebut trunk yang terdiri dari tubuh. Antara persoma dan trunk
terdapat lipatan kulit. Umumnya ukuran trunk lebih besar daripada persoma kecuali pada spesies
tertentu (Cheng 1973).

Gambar 9. Morfologi Acanthocephalus sp.

2.3.3. Siklus Hidup Acanthocephala sp.


Dalam siklus hidupnya, Acanthocephala memerlukan Arthropoda sebagai inang antara dan
vertebrata sebagai inang akhir. Umumnya siklus hidup melibatkan satu inang antara dan satu
inang akhir.

2.3.4. Gejala Klinis Penyakit dari Acanthocephala sp.


Acanthocephala terdeteksi oleh pemeriksaan feses. Copepoda dapat dideteksi pada kerokan kulit.
Lintah, tungau, dan lalat mudah terlihat. Gejala yang di alami ikan setelah terkena serangan
cacing ini ialah mengalami anemia, pucat, lesu, timbul luka di bekas gigitan, menyebabkan
pendarahan dan bahkan kematian, serta sangat memungkinkan terjadi indeksi sekunder
2.3.5. Cara Penanggulangan dari Acanthocephala sp.
Pendekatan lingkungan dilakukan dengan menjaga kualitas air supaya tetap mendukung bagi
kehidupan ikan, menjaga wadah budidaya tetap bersih dan sehat, dan menghindari penggantian
air yang mendadak sehingga tidak menyebabkan ikan menjadi stress. Selain itu penggunaan
probiotik/bioremediasi kini sudah banyak dilaksanakan.

Anda mungkin juga menyukai