Anda di halaman 1dari 69

MAKALAH

KEPERAWATAN ANAK I
“Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Gangguan Sistem
Respirasi ISPA, Pneumonia, Asma, TBC, Difteri Dan Dampaknya
Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia (Dalam
Konteks Keluarga)”

Makalah ditujukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Keperawatan
Anak 1 yang di ampu oleh: Rani F, S.Kep,Ners.,M.Kep

Oleh:
Alfida Nurzakiyah C1AA18010
Asep Ega M C1AA18022
Kania Putri Aisyah C1AA18058
Sely Julistiani C1AA18104
Siti Yoanny Putri C1AA18110

Kelas 2B
PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KOTA SUKABUMI
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat taufik
serta hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah ini yang
berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Gangguan Sistem Respirasi
ISPA, Pneumonia, Asma, TBC, Difteri Dan Dampaknya Terhadap
Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia (Dalam Konteks Keluarga”, sebagai tugas
mata kuliah Keperawatan Anak I.

Kemudian sholawat dan salam semoga selalu tercurahkan kapada junjungan


besar Nabi kita Muhammad SAW beserta sahabat, kerabat dan keluarga beliau
hingga akhir zaman, karena beliaulah yang telah membawa kita dari zaman
kegelapan ke jalan yang terang benderang ini.
Dalam Kesempatan ini saya juga akan mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Ibu Rani F, S.Kep,Ners.,M.Kep Yang telah bersedia
menerima Makalah ini meskipun banyak terdapat kekurangan di dalamnya.
Dalam pembuatan makalah ini penulis sangat menyadari bahwa masih
banyak terdapat kekurangan. Mudah-mudahan makalah yang kami buat ini
bermanfaat dan dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca dan khususnya
kami.

Sukabumi, Maret 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1

A. Latar Belakang...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 1
C. Tujuan................................................................................................... 2
D. Metodelogi............................................................................................ 2
E. Sistematika Penulisan………………………………………............... 2

BAB II PEMBAHASAN................................................................................. 3

 ISPA
A. Konsep teori ISPA……………………………………………………
3
B. Konsep Asuhan Keperawatan ISPA…………………………………
8
 Pneumonia
A. Konsep teori Pneumonia................................................................... 13
B. Konsep Asuhan Keperawatan Pneumonia………………………….. 14
 Asma
A. Konsep teori Asma............................................................................ 19
B. Konsep Asuhan Keperawatan Asma.............................................. 30
 TBC
A. Konsep teori TBC…………………………………………………….. 42
B. Konsep Asuhan Keperawatan TBC………………………………….. 53
 Difteri
A. Konsep teori Difteri ………………………………………………….
58
B. Konsep Asuhan Keperawatan Difteri……………………………….. 59

 Dampak Terhadap Keluarga Dengan Anak Yang Sakit Dalam


Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia………………………………. 61

BAB III PENUTUP……………………………………………………….... 62

A. Kesimpulan........................................................................................... 62
B. Saran..................................................................................................... 63

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak merupakan masa dimana organ-organ tubuhnya belum berfungsi secara


optimal sehingga anak lebih rentan terhadap penyakit. Salah satu penyakit yang
sering menyerang anak adalah bronkopneumonia (Marini,2014). Penyakit infeksi
saluran pernapasan akut (ISPA) khususnya pneumonia masih merupakan penyakit
utama penyebab kesakitan dan kematian bayi dan balita (Sugihartono dalam
Kaunang,2016). Penyakit ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak
karena sistem pertahanan tubuh anak masih rendah (Putraprabu dalam Maramis,
2013).

Menurut (Hidayat dalam Novendiar,2017) bronkopneumonia merupakan


peradangan pada parenkim paru. Penyebab dari penyakit ini yaitu karena bakteri,
virus, jamur dan benda asing. Kemudian ditandai dengan gejala demam yang
tinggi, dispnea, napas cepat dan dangkal, muntah, diare, serta batuk kering dan
produktif. Proses peradangan dari proses penyakit bronkopneumonia
mengakibatkan produksi sekret meningkat sampai menimbulkan manifestasi
klinis yang ada sehingga muncul masalah dan salah satu masalah tersebut adalah
bersihan jalan nafas tidak efektif.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka kelompok membuat makalah


dengan judul “Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Gangguan Sistem
Respirasi ISPA, Pneumonia, Asma, TBC, Difteri Dan Dampaknya Terhadap
Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia (Dalam Konteks Keluarga)”

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut kami merumuskan masalah sebagai
beikut “Bagaimana Asuhan Keperawatan Pada Anak dengan Gangguan Sistem
Respirasi serta Dampaknya Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia
(Dalam Konteks Keluarga)?”

C. Tujuan Penulisan

Mengetahui gambaran mengenai askep pada anak dengan gangguan sistem


respirasi yaitu penyakit ISPA, Pneumonia, Asma, TBC, Difteri serta dampaknya
terhadap pemenuhan kebutuhan dasar (Dalam Konteks Keluarga) sehingga dapat
menerapkannya dalam proses keperawatan.

D. Metodelogi

Metode yang digunakan adalah metode deskriptif, Data teoritis dalam makalah
ini dikumpulkan dengan menggunakan studi pustaka, artinya penulis mengambil
data melalui media pustaka dalam penyusunan makalah ini, dan ditambah
referensi dari media internet. Dengan meyebutkan berbagai sumber untuk
penulisan makalah ini.

E. Sistematika Penulisan
1. BAB I : PENDAHULUAN terdiri dari Latar Belakang, Rumusan
Masalah, Tujuan Penulisan, Metode Penulisan, dan Sistematika Penulisan.
2. BAB II : PEMBAHASAN
BAB III : PENUTUP terdiri dari Kesimpulan dan Saran
BAB II

PEMBAHASAN

 ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut)


A. Konsep Teori ISPA
1. Pengertian ISPA
Infeksi saluran pernafasan adalah suatu keadaan dimana saluran
pernafasan (hidung, faring dan laring) mengalami inflamasi yang
menyebabkan terjadinya obstruksi jalan nafas dan akan menyebabkan retraksi
dinding dada pada saat melakukan pernafasan (Pincus Catzel & Ian Roberts;
1990; 450).
ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernapasan Akut. ISPA
meliputi saluran pernapasan bagian atas dan saluran pernapasan bagian bawah
ISPA adalah infeksi saluran pernapasan yang berlangsung sampai 14 hari.
Yang dimaksud dengan saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung
sampai gelembung paru (alveoli), beserta organ-organ disekitarnya seperti :
sinus, ruang telinga tengah dan selaput paru. Sebagian besar dari infeksi
saluran pernapasan hanya bersifat ringan seperti batuk, pilek dan tidak
memerlukan pengobatan dengan antibiotik, namun demikian anak akan
menderita pneumoni bila infeksi paru ini tidak diobati dengan antibiotik dapat
mengakibat kematian.

2. Etiologi
Etiologi ISPA terdiri dari lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan richetsia.
Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus Streptococcus,
Staphylococcus, Pneumococcus, Haemophylus, Bordetella dan
Corinebacterium. Virus penyebab ISPA antara lain adalah golongan
Miksovirus, Adenovirus, Coronavirus, Picornavirus, Micoplasma,
Herpesvirus dan lain-lain.
Etiologi Pneumonia pada Balita sukar untuk ditetapkan karena dahak
biasanya sukar diperoleh. Penetapan etiologi Pneumonia di Indonesia masih
didasarkan pada hasil penelitian di luar Indonesia.

3. Patofisiologi
Perjalanan alamiah penyakit ISPA dibagi 3 tahap yaitu :
a. Tahap prepatogenesis : penyebab telah ada tetapi belum menunjukkan
reaksi apa-apa.
b. Tahap inkubasi : virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa. Tubuh
menjadi lemah apalagi bila keadaan gizi dan daya tahan sebelumnya
rendah.
c. Tahap dini penyakit : dimulai dari munculnya gejala penyakit,timbul
gejala demam dan batuk.

Tahap lanjut penyaklit, dibagi menjadi empat yaitu :


a. Dapat sembuh sempurna.
b. Sembuh dengan atelektasis.
c. Menjadi kronis.
d. Meninggal akibat pneumonia.
Saluran pernafasan selama hidup selalu terpapar dengan dunia luar
sehingga untuk mengatasinya dibutuhkan suatu sistem pertahanan yang
efektif dan efisien. Ketahanan saluran pernafasan tehadap infeksi maupun
partikel dan gas yang ada di udara amat tergantung pada tiga unsur alami
yang selalu terdapat pada orang sehat yaitu keutuhan epitel mukosa dan gerak
mukosilia, makrofag alveoli, dan antibodi.
Antibodi setempat yang ada di saluran nafas ialah Ig A. Antibodi ini
banyak ditemukan di mukosa. Kekurangan antibodi ini akan memudahkan
terjadinya infeksi saluran nafas, seperti yang terjadi pada anak. Penderita
yang rentan (imunokompkromis) mudah terkena infeksi ini seperti pada
pasien keganasan yang mendapat terapi sitostatika atau radiasi.Penyebaran
infeksi pada ISPA dapat melalui jalan hematogen, limfogen,
perkontinuitatum dan udara nafas.
Infeksi bakteri mudah terjadi pada saluran nafas yang sel-sel epitel
mukosanya telah rusak akibat infeksi yang terdahulu. Selain hal itu, hal-hal
yang dapat mengganggu keutuhan lapisan mukosa dan gerak silia adalah
asap rokok dan gas SO2 (polutan utama dalam pencemaran udara),
sindroma imotil, pengobatan dengan O2 konsentrasi tinggi (25 % atau
lebih).

4. Manifestasi Klinis

a. Batuk, pilek dengan nafas cepat atau sesak nafas

Pada umur kurang dari 2 bulan, nafas cepat lebih dari 60 x / mnt.
Penyakit ini biasanya dimanifestasikan dalam bentuk adanya demam,
adanya obstruksi hidung dengan sekret yang encer sampai dengan
membuntu saluran pernafasan, bayi menjadi gelisah dan susah atau bahkan
sama sekali tidak mau minum (Pincus Catzel & Ian Roberts; 1990; 451).

b. Demam.

Pada neonatus mungkin jarang terjadi tetapi gejala demam muncul jika
anak sudah mencaapai usia 6 bulan sampai dengan 3 tahun. Seringkali
demam muncul sebagai tanda pertama terjadinya infeksi. Suhu tubuh bisa
mencapai 39,5OC-40,5OC.

c. Meningismus.

Adalah tanda meningeal tanpa adanya infeksi pada meningens, biasanya


terjadi selama periodik bayi mengalami panas, gejalanya adalah nyeri
kepala, kaku dan nyeri pada punggung serta kuduk

d. Anorexia.
Biasa terjadi pada semua bayi yang mengalami sakit. Bayi akan menjadi
susah minum dan bhkan tidak mau minum.

e. Vomiting, biasanya muncul dalam periode sesaat tetapi juga bisa selama
bayi tersebut mengalami sakit.
f. Diare (mild transient diare), seringkali terjadi mengiringi infeksi saluran
pernafasan akibat infeksi virus.
g. Abdominal pain, nyeri pada abdomen mungkin disebabkan karena adanya
lymphadenitis mesenteric.
h. Sumbatan pada jalan nafas/ Nasal, pada saluran nafas yang sempit akan
lebih mudah tersumbat oleh karena banyaknya sekret.
i. Batuk, merupakan tanda umum dari tejadinya infeksi saluran pernafasan,
mungkin tanda ini merupakan tanda akut dari terjadinya infeksi saluran
pernafasan.
j. Suara nafas, biasa terdapat wheezing, stridor, crackless, dan tidak
terdapatnya suara pernafasan (Whaley and Wong; 1991; 1419).

5. Pemeriksaan Diagnostik

Diagnosis ISPA oleh karena virus dapat ditegakkan dengan pemeriksaan


laboratorium terhadap jasad renik itu sendiri. Pemeriksaan yang dilakukan
adalah :
a. Biakan virus
b. Serologis
c. Diagnostik virus secara langsung.

Sedangkan diagnosis ISPA oleh karena bakteri dilakukan dengan


pemeriksaan sputum, biakan darah, biakan cairan pleura.
Fokus utama pada pengkajian pernafasan ini adalah pola, kedalaman, usaha
serta irama dari pernafasan.

a. Pola, cepat (tachynea) atau normal.


b. Kedalaman, nafas normal, dangkal atau terlalu dalam yang biasanya dapat
kita amati melalui pergerakan rongga dada dan pergerakan abdomen.
c. Usaha, kontinyu, terputus-putus, atau tiba-tiba berhenti disertai dengan
adanya bersin.
d. Irama pernafasan, bervariasi tergantung pada pola dan kedalaman
pernafasan.
e. Observasi lainya adalah terjadinya infeksi yang biasanya ditandai dengan
peningkatan suhu tubuh, adanya batuk, suara nafas wheezing. Bisa juga
didapati adanya cyanosis, nyeri pada rongga dada dan peningkatan
produksi dari sputum.

6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan ISPA meliputi langkah atau tindakan sebagai berikut :
a. Upaya pencegahan
1) Menjaga keadaan gizi agar tetap baik.
2) Immunisasi.
3) Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan.
4) Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA.
b. Pengobatan dan perawatan
Prinsip perawatan ISPA antara lain :
1) Menigkatkan istirahat minimal 8 jam perhari
2) Meningkatkan makanan bergizi
3) Bila demam beri kompres dan banyak minum
4) Bila hidung tersumbat karena pilek bersihkan lubang hidung dengan
sapu tangan yang bersih
5) Bila badan seseorang demam gunakan pakaian yang cukup tipis tidak
terlalu ketat.
6) Bila terserang pada anak tetap berikan makanan dan ASI bila anak
tersebut masih menetek
Pengobatan antara lain :
1) Mengatasi panas (demam) dengan memberikan parasetamol atau
dengan kompres, bayi dibawah 2 bulan dengan demam harus segera
dirujuk. Parasetamol diberikan 4 kali tiap 6 jam untuk waktu 2 hari.
Cara pemberiannya, tablet dibagi sesuai dengan dosisnya, kemudian
digerus dan diminumkan. Memberikan kompres, dengan menggunakan
kain bersih, celupkan pada air (tidak perlu air es).
2) Mengatasi batuk. Dianjurkan memberi obat batuk yang aman yaitu
ramuan tradisional yaitu jeruk nipis ½ sendok teh dicampur dengan
kecap atau madu ½ sendok teh , diberikan tiga kali sehari.

B. Konsep Asuhan Keperawatan ISPA


 Pengkajian
1. Keluhan Utama : Klien mengeluh demam, batuk , pilek, sakit
tenggorokan.
2. Riwayat penyakit sekarang : Demam, sakit kepala, badan lemah, nyeri
otot dan sendi, nafsu makan menurun, batuk, pilek dan sakit
tenggorokan.
3. Riwayat penyakit dahulu : sebelumnya dulu pernah mengalami
penyakit yang sama atau tidak
4. Riwayat penyakit keluarga : apakah ada anggota keluarga yang pernah
mengalami penyakit seperti pasien
5. Riwayat sosial : apakah tinggal dilingkungan berdebu dan padat
penduduk
6. Pemeriksaan fisik:
a. Inspeksi
1) Membran mukosa hidung-faring tampak kemerahan
2) Tonsil tampak kemerahan dan edema
3) Tampak batuk tidak produktif
4) Tidak ada jaringan parut pada leher
5) Tidak tampak penggunaan otot-otot pernafasan tambahan,
pernafasan cuping hidung.
b. Palpasi
1) Adanya demam
2) Teraba adanya pembesaran kelenjar limfe pada daerah
leher/nyeri tekan pada nodus limfe servikalis
3) Tidak teraba adanya pembesaran kelenjar tyroid
c. Perkusi : Suara paru normal (resonance)
d. Auskultasi : Suara nafas vesikuler/tidak terdengar ronchi pada
kedua sisi paru
 Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak  efektif  berhubungan dengan  penurunan
ekspansi paru.
2. Hipertermi berhubungan dengan invasi mikroorganisme.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan  ketidak mampuan dalam memasukan dan mencerna makanan
4. Kurang pengetahuan tentang penatalaksanaan ISPA berhubungan
dengan kurang informasi.
 Rencana Asuhan Keperawatan ISPA
Diagnosa I : Bersihan jalan nafas tidak  efektif  berhubungan
dengan  penurunan ekspansi paru.

kriteria hasil :
1. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak
ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu
bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips)
2. Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik,
irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada
suara nafas abnormal)
3. Tanda Tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi,
pernafasan)
Intervensi :
1.      Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
2.      Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
3.      Lakukan fisioterapi dada jika perlu
4.      Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
5.      Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
6.      Lakukan suction pada mayo
7.    Berikan bronkodilator bila perlu
8.    Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab
9.    Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
10.  Monitor respirasi dan status O2
11.  Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea
12.  Pertahankan jalan nafas yang paten
13.  Atur peralatan oksigenasi
14.  Monitor aliran oksigen
15.  Pertahankan posisi pasien
16.  Observasi adanya tanda tanda hipoventilasi
17.  Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi

Diagnosa II : Hipertermi berhubungan dengan invasi mikroorganisme


Kriteria Hasil :
1.      Suhu tubuh dalam rentang normal
2.      Nadi dan RR dalam rentang normal
3.      Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing
Intervensi :
1.      Monitor suhu sesering mungkin
2.      Monitor warna dan suhu kulit
3.      Monitor tekanan darah, nadi dan RR
4.      Monitor intake dan output
5.      Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
6.      Berikan pasien kompres air hangat, hindari pemberian kompres
dingin.
7.      Tingkatkan sirkulasi udara.
8.      Kolaborasi pemebrian cairan intravena.
9.      Ajarkan pada pasien cara mencegah keletihan akibat panas.
10.  Kolaborasi pemberian antipiretik.
11.  Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign

Diagnosa III : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan


berhubungan dengan  ketidak mampuan dalam
memasukan dan mencerna makanan
Kriteria Hasil :
1. Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan
2.      Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan
3.      Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
4.      Tidak ada tanda tanda malnutrisi
5.      Menunjukkan peningkatan fungsi pengecapan dari menelan
6.      Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti
Intervensi :
1. Kaji adanya alergi makanan
2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan
nutrisi yang dibutuhkan pasien.
3. Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake Fe (zat besi)
4. Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C
5. Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah
konstipasi
6. Berikan makanan yang terpilih ( sudah dikonsultasikan dengan ahli
gizi)
7. Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori
8. Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi
9. Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan
10. BB pasien dalam batas normal
11. Monitor turgor kulit
12. Monitor mual dan muntah
13. Monitor kadar albumin, total protein, Hb, dan kadar Ht
14. Monitor pertumbuhan dan perkembangan

Diagnosa IV : Kurang pengetahuan tentang penatalaksanaan ISPA


berhubungan dengan kurang informasi.
Kriteria Hasil :
1. Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit,
kondisi, prognosis dan program pengobatan.
2. Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan
secara benar.
3. Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan
perawat/tim kesehatan lainnya.
Intervensi :
1. Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien tentang proses
penyakit yang spesifik.
2. Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini
berhubungan dengan anatomi dan fisiologi, dengan cara yang tepat.
3. Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit, dengan
cara yang tepat
4. Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang tepat.
5. Identifikasi kemungkinan penyebab, dengan cara yang tepat.
6. Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk
mencegah komplikasi di masa yang akan datang dan atau proses
pengontrolan penyakit.
7. Diskusikan pilihan terapi atau penanganan.
8. Instruksikan pasien mengenai tanda dan gejala untuk melaporkan pada
pemberi perawatan kesehatan, dengan cara yang tepat
 PNEUMONIA
A. Konsep Teori Pneumonia

Pneumonia adalah radang parenhim paru. Menurut letak anatomi, pneumonia


dibagi menjadi pneumonia lobaris, pneumonia lobularis (bronchopneumonia), dan
pneumonia interstisialis. Sementara berdasarkan etiologis, pneumonia disebabkan
oleh bakteri, virus, mycoplasma pneumonia, jamur, aspirasi, pneumonia
hypostatic, dan sindrom loeffler.

Dalam keadaan normal, paru-paru dilindungi terhadap infeksi oleh


berbagai mekanisme. Infeksi paru-paru bisa terjadi bila satu atau lebih dari
mekanisme pertahanan terganggu oleh organisme secara aspirasi atau melalui
penyebaran hematogen. Aspirasi adalah cara yang sering terjadi.

Pneumonia karena virus bisa menerima infeksi primer atau komplikasi


dari suatu penyakit virus, seperti mobili atau varicella. Virus tidak hanya merusak
sel epitel bersilia tetapi juga merusak sel goblet dan kelenjar mukus pada bronkus
sehingga merusak clearance mukosilia.

Apabila kuman patogen mencapai bronkoli terminalis, cairan edema


masuk kedalam alveoli, diikuti oleh leukosit dalam jumlah banyak, kemudian
makrofag akan membersihkan debris sel dan bakteri. Proses ini bisa meluas lebih
jauh lagi ke segala atau lobus yang sama, atau mungkin kebagian lain dari paru-
paru melalui cairan bronkial yang terinfeksi. Melalui cairan limfe paru, bakteri
dapat mencapai aliran darah atau pluro viscelaris, karena jaringan paru mengalami
konsolidasi, maka kapasitas vital dan comlience paru menurun, serta aliran darah
yang mengalami konsolidasi menimbulkan pirau/ shunt kanan ke kiri dengan
ventilasi perfusi yang mismatch, sehingga berakibat pada hipoksia. Kerja jantung
mungkin meningkat oleh karena saturasi oksigen yang menurun dan hiperkapne.
Pada keadaan yang berat, bisa terjadi gagal napas.

Berdasarkan pedoman MTBS (2000), pneumonia dapat diklasifikasikan


secara sederhana berdasarkan gejala yang ada. Klasifikasi ini bukanlah merupakan
diagnosa medis dan hanya bertujuan untuk membantu para petugas kesehatan
yang berada di lapangan untuk menentukan tindakan yang perlu diambil.,
sehingga anak tidak terlambat mendapatkan penanganan. Klasifikasi tersebut
adalah:

1. Pneumonia berat atau penyakit sangat berat apabila terdapat gejala:


a. Ada tanda bahaya umum, seperti anak tidak bisa minum atau menelek,
selalu memuntahkan semuanya, kejang atau anak letargis/tidak sadar.
b. Terdapat tarikan dinding dada kedalam
c. Terdapat stridor (suara napas bunyi ‘grok-grok’ saat inspirasi)
2. Pneumonia, apabila terdapat gejala napas cepat. Batasan napas cepat
adalah:
a. Anak usia 2-12 bulan apabila frekuensi napas 50x/menit atau lebih
b. Anak usia 12bulan-5 tahun apabila frekuensi napas 40x menit atau
lebih.
3. Batuk bukan pneumonia, apabila tidak ada tanda-tanda pneumonia atau
penyakit sangat berat.

B. Asuhan Keperawatan Anak Dengan Pneumonia


 Pengkajian
1. Usia. Pneumonia sering terjadi pada bayi dan anak. Kasus terbanyak
terjadi pada anak yang berusia dibawah 3 tahun dan kematian
terbanyak terjadi pada bayi yang berusia kurang dari 2 bulan.
2. Keluhan utama : sesak napas
3. Riwayat penyakit:
a. Pneumonia virus
Didahului oleh gejala-gejala infeksi saluran napas, termasuk rinitis
dan batuk, serta syhu badan lebih rendah dari pada pneumonia
bakteri. Pneumonia virus tidak dapat dibedakan dengan pneumonia
bakteri dan mukuplasma.
b. Pneumonia stafilokokus (bakteri)
Didahului oleh infeksi saluran pernapasan bagian atas atau bawah
dalam beberapa hari hingga 1 minggu, kondisi suhu tinggi, batuk
daan mengalami kesulitan pernapasan.
4. Riwayat penyakit dahulu
a. Anak sering menderita penyakit saluran pernapasan bagian atas
b. Riwayat penyakit campak/ fertusis (pada bronkopneumonia)
5. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi. Perlu diperhatikan adanya takipne, dispne, sianosis
sirkumoral, pernapasan cuping hidung distensi abdomen, batuuk
semula nonproduktif menjadi produktif, serta nyeri dada pada
waktu menarik napas. Batasan takipnea pada anak 2 bulan-12
bulan adalah 50 kali/menit atau lebih. Sementara untuk anak
berusia 12 bulan-5 tahun adalah 40 kali/menit atau lebih. Perlu
diperhatikan adanya tarikan dinding dada kedalam akan tampak
jelas.
b. Palpasi. Suara redup pada sisi yang sakit, hati mungkin membesar,
fremitus raba mungkin meningkat pada sisi yang sakit, dan nadi
mungkin mengalami peningkatan (takikardia)
c. Perkusi. Suara redup pada sisi yang sakit.
d. Auskultasi. Auskultasi sederhana dapat dilakukan dengan cara
mendekatkan telinga kehidung/mulut bayi. Pada anak yang
pneumonia akan terdengar stridor. Sementara dengan stetoskop,
akan terdengar suara napas berkurang, ronkhi halus pada sisi yang
sakit, dan ronkhi basah pada masa resolus. pernapasan bronkial,
egotomi, bronkofoni, kadang-kadang terdengar bising gesek
pleura.
6. Penegak diagnosis
a. Pemeriksaan laboratorium
1) Leukosit 18.000-40.000/mm3
2) Hitung jenis didapatkan geseran ke kiri
3) LED meningkat
b. X-foto dada
Terdapat bercak-bercak infiltrat yang tersebar (bronko pneumonia)
atau yang meliputi satu/sebagian besar lobus/lobulus.
 Diagnosis/Masalah
1. Diagnosis medis: pneumonia
Berdasarkan pedoman MTBS(2000), Pneumonia dapat diklasifikasikan
menjadi 3 yaitu:
a. Pneumonia berat/ penyakit sangat berat, bila ada tanda bahaya
(seperti anak tidak bisa minum atau menelek, selalu memuntahkan
semuanya, mengalami kejang/letargis/tidak disadari), terdapat
tarikan dinding dada kedalam atau terdapat stridor.
b. Pneumonia dengan gejala napas cepat (perhatikan batasan napas
cepat)
c. Batuk bukan pneumonia, bila tidak ada tanda-tanda pneumonia
atau penyakit sangat berat.
2. Masalah yang sering timbul:
a. Infektivitas pola napas
b. Defisit volume cairan
 Rencana Tindakan Keperawatan
Apabila anak diklasifikasikan menderita pneumonia berat atau
penyakit sangat berat di puskesma/ balai pengobatan, maka anak perlu
dirujuk segera setelah diberi dosis pertama antibiotik yang sesuai. Dosis
pertama antibiotik yang dimaksud adalah kloramfenikol yang diberikan
secara intramuskular dengan dosis 40 mg/kg BB. Jika anak
diklasifikasikan mendewrita pneumonia, maka tindakan berikut ini
diperlukan:
1. Pemberian antibiotik yang sesuai selama 5 hari ( untuk jenis
antibiotika yang sesuai lihat tabel dibawah)
2. Beri pelega tenggorokan dan pereda batuk yang aman
3. Berikan nasihat mengenai kapan harus kembali
4. Melakukan kunjungan ulang setelah 2 hari
Adapun pilihan antibiotika yang dapat diberikan adalah:

pilihan kedua
Amoksilin, 3x
Pilihan Pertama Kotrimoksazol, 2x sehari selama 5
  sehari selama 5 hari hari
Tablet Tablet
Usia atau BB Dewasa Anak Sirup sirup
2-4 bulan (4 -
¼
<6 kg) 1 2,5 ml 2,5 ml
4-12 bulan (6 -
½
<10 kg) 2 5,0 ml 5 ml

12 bln-5 th (10
- <19 kg) 1 3 7.5 ml 10 ml
Sumber: Buku bagan MTBS (2000)

Keterangan:

1. Tablet kotrimoksazol untuk dewasa terdiri 80 mg trimetoprim+ 400 mg


sulfametoksazol
2. Tablet kotrimoksazol untuk anak terdiri 20 mg trimetoprim+200 mg
sulfametoksazol
3. Sirup per 5 ml mengandung 40 mg tripometoprim+ 200 mg
sulfametoksazol

Sedangkan untuk anak dengan pneumonia yang dirawat di Rumah Sakit


diperlukan rencana keperawatan yang sesuai dengan masalahnya yaitu:

1. Infektivitas pola napas, rencana perawatan yang diperlukan


a. Berikan oksigen yang dilembabkan sesuai takikardi
b. Lakukan fisioterapi dada : kerjakan sesuai jadwal
c. Observasi tanda-tanda vital
d. Berikan antibiotik dan antipiretik sesuai advis
e. Periksa dan catat hasil X- ray dada dan jumlah sel darah putih sesuai
indikasi
f. Lakukan suction bila perlu
g. Kaji dan catat pengetahuan serta partisipasi keluarga dalam perawatan,
misalnya pemberian obat serta pengenalan tanda dan gejala infektivitas
pola napas
h. Ciptakan lingkungan yang nyaman
2. Defisit volume cairan, intervensi yang diperlukan adalah:
a. Berikan cairan sesuai kebutuhan
b. Catat secara akurat intake dan output
c. Kaji dan catat tanda-tanda vital serta gejala kekurangan cairan
d. Periksa dan catat BJ urin tiap 4 jam atau sesuai advis
e. Lakukan perawatan mulut sesuai dengan kebutuhan
f. Kaji dan catat pengetahuan serta partisipasi keluarga dalam monitoring
intake dan output serta dalam mengenali tanda dan gejala kekurangan
volume cairan
g. Ciptakan situasi yang aman

 Ashma
A. Konsep Teori Asma
1. Pengertian Asma
Asma ialah penyakit paru dengan ciri khas yakni saluran napas
sangat mudah bereaksi terhadap berbagai rangsangan atau pencetus
dengan manifestasi berupa serangan asma.
Berdasarkan atas pengertian asma maka untuk manifestasi serangan
asma harus ada pencetus dan ada dasar hiperreaktivitas dari bronkus.
Serangan asma dapat berupa sesak napas ekspiratoir yang paroksismal
berulang-ulang dengan mengi(wheezing) dan batuk yang akibat konstriksi
atau spasme otot bronkus,inflamasi mukosa bronkus,dan produksi lendir
kental yang berlebihan. Asma merupakan penyakit keturunan.
Penyebab asma masih belum jelas. Diduga yang memegang peranan
utama ialah reaksi berlebihan dari trakea dan bronkus (hiperreaktivitas
bronkus), yang belum jelas diketahui penyebabnya. Diduga karena adanya
hambatan dari sebagian sistem adrenergik, kurangnya enzim adenilsiklase
dan meningginya tonus parasimpatik kalau ada ransangan yang
menyebabkan terjadinya spasme bronkus. Banyak faktor yang ikut
menentukan derajat reaktivitas atau iritasibalitas tersebut diantaranya faktor
genetik, biokimiawi, saraf autonom, imunologis, infeksi, endokrin, faktor
psikologis. Oleh karena itu, asma disebut penyakit yang multifaktoral.

2. Patologi
Asma ditandai oleh adanya 3 kelainan yakni, konstruksi otot bronkus,
inflamasi mukosa, dan bertambahnya sekret di jalan napas. Pada stadium
permulaan serangan terlihat mukosa pucat, terdapat edema dan sekresi
bertambah. Lumen bronkus menyempit akibat spasme. Terlihat kongesti
pembuluh darah, infiltrasi sel cosinofil dalam sekret di dalam lumen saluran
napas. Jika seerangan sering terjadi dan lama atau menahun akan terlihat
deskuamasi (mengelupas) epitel, penebalan membran hialin basal,
hiperplasia serat elastin, juga hiperplasia dan hipertrofi otot bronkus. Pada
serangan yang berat atau pada asma yang menahun terdapat penyumbatan
bronkus oleh mukus yang kental.

3. Patogenesis
Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya asma sehingga belum ada
patogenesis yang dapat menerangkan semua penemuan pada penyelidikan
asma. Salah satu sel yang memegang peranan penting pada patgenesis asma
ialah sel mast. Sel mast dapat terangsang berbagai pencetus misalnya
alergen,infeksi, dan lain-lain. Sel mast ini akan mengalami degranulasi dan
mengeluarkan berbagai mediator misalnya histamin, bradikinin, dan enzim
paroksidase.
Telah ditemukan bahwa serangan asma timbul bila ada pencetus, dan
berbagai pencetus tersebut ialah:
a. Alergen
Sensititasi tegantung pada lama dan intensitas hubungan dengan bahan
alergen berhubungan dengan umur. Bayi dan anak kecil sering
berhubungan dengan isi dari debu rumah, misalnya tungau, serpih atau
bulu binatang, spora jamur yang terdapat di rumah. Dengan
bertambahnya umur makin banyak jenis alergen penccetusnya. Asma
karena makanan sering terjadi pada bayi dan anak kecil.
b. Infeksi
Biasanya infeksi virus, terutama pada bayi dan anak. Virus yang
menyebabkan ialah respiratory syncytial virus (RSV) dan virus
parainfluenza. Kadang-kadang karena bakteri misalnya pertusis dan
streptokokus, jamur, misalnya aspergillus dan parasit seperti askuris.
c. Iritasi
Hairspray, minyak wangi, obat semprot nyamuk, asap rokok, bau
tajam, dan polutan udara lainnya dapat memicu serangan asma. Iritasi
hidung dan batuk sendiri dapat menimbulkan refleks bronkokonstriksi.

d. Cuaca
Perubahan tekanan udara, perubahan suhu udara, angin, dan
kelembaban udara dihubungkan dengan percepatan dan terjadinya
serangan asma.
e. Kegiatan Jasmani
Kegiatan jasmani berat misalnya berlari atau naik sepeda dapat
memicu serangan asma. Bahkan tertawa dan menangis yang berlebihan
dapat merupakan pencetus pasien dengan faal paru dibawah optimal
amat rentan terhadap kegiatan jasmani.
f. Infeksi Saluran Napas
Infeksi virus pada sinus, baik sinusitis akut maupun kronik dapat
memudahkan terjadinya asma pada anak (Rachelesfky dkk,1978).
Rhintis alergika dapat memberatkan asma melalui mekanisme iritasi
atau refleks.
g. Faktor Pasikis
Faktor psikis merupakan pencetus yang tidak boleh diabaikan dan
sangat kompleks. Tidak adanya perhatian atau tidak mau mengakui
persoalan yang berhubungan dengan asma oleh anak
sendiri/keluarganya akan menggagalkan usaha pencegahan. Sebaliknya
terlalu takut terhadap adanya serangan atau hari depan anak juga dapat
memperberat serangan asma.

4. Pencegahan Serangan Asma Pada Anak


Pencegahan asma sekarang lebih dititikberatkan untuk mencegah
terjadinya serangan asma. Pemberian obat-obtan harus dinilai untuk
kepentingan tumbuh kembang anak apakah merugikan atau tidak.
Diupayakan agar anak-anak yang menderita asma dapat tumbuh kembang
seperti anak lainnya. Serangan asma dapat dicegah dengan cara:

a. Menghindari faktor pencetus


b. Menggunakan obat-obatan atau tindakan untuk meredakan atau
mengurangi reaksi-reaksi yang akan atau yang sudah timbul oleh
pencetus.
5. Mengindari Pencetus
Cara menghindari berbagai pencetus serangan asma perlu diketahui
dan diajarkan kepada anak serta keluarganya. Misalnya debu rumah
merupakan pencetus yang sering dijumpai pada anak; 76,5% anak asma
yang berobat ke Poliklinik Sub Bagian Pulmonologi Anak Bagian IKA
FKUI/RSCM Jakarta, diduga mempunyai debu rumah sebagai
pencetusnya.
Debu rumah biasanya mengandung tepung sari rumput-rumputan,
pohon dan belukar disekitar rumah yang dibawa oleh angin masuk ke
dalam rumah. Dubu rumah juga mengandung serpih atau rontokan kulit,
bulu hewan peliharaan, ludah binatang peliharaan yang kering, rontokan
pakaian, rontokan kain lainnya, sisa makanan yang telah lamam dan
tangau.
a. Memang tidak mudah menghindari debu rumah. Untuk menghindari
pencetus karena debu rumah dianjurkan dengan mengusahakan kamar
tidur anak seperti dirumah sakit ialah:
 Kasur tempat tidurnya dimasukan kedalam kantong vinil, dipasang
resleting sehingga kasur terbungkus rapat dan debu tidak dapat
masuk atau kapuk tidak keluar, begitu juga bantal harus dibungkus
vinil pula.
 Sprei, tirai, selimut sekurang-kurangnya dicuci 2 minggu sekali.
Sprei dan sarung bantal lebih sering. Lemari, rak dan lainnya
dibersihkan dengan lap basah dan hanya dipakai menyimpan pakaian
yang sering dicuci. Mebel dilap basah dan lantai dibersihkan, dipel
setiap hari. Lebih baik tidak menggunakan karpet dikamar tidur dan
kamar/tempat anak bermain. Lebih baik tidak memelihara binatang.
Selain hal-hal tersebut jangan menyimpan buku di kamar tidur anak.
Pakaian yang ada dilemari walaupun sudah bersih jika sudah lama
tidak dipakai sebaiknya dicuci lagi, lemari dilap basah.
 Untuk menghindarkan penyebab dari maknan bila belum diketahui
pasti, lebih baik anak yang asma jangan makan cokelat, kacang tanah
atau makanan yang mengandung cokelat atau minuman es. Perlu
diperhatikan pula apakah asma timbul setelah anak memakan
makanan yang menggunakan zat pengawet atau pewarna makanan.
 Hindarkan anak kontak dengan orang dewasa yang sedang menderita
influenza/pilek misalnya berbicara atau bersin didekat anak yang
asma. Bila batuk atau bersin harus menutup mulut dan hidungnya.
Hindarkan anak berada ditempat yang sedang terjadi perubahan
udara misalnya cuaca sedang mendung jangan main diluar rumah.
b. Kegiatan Fisik
Anak yang menderita asma tidak dilaran bermain-main atau berolah
raga bahkan dianjurkan tetapi perlu diatur, karena itu merupakan
kebutuhan untyuk tumbuh kembang anak. Hanya caranya harus diawasi
dan diatur seperti berikut:
 Menambah toleransi secara bertahap, mengindarkan percepatan
gerak yang mendadak, mengalihkan macam kegiatan misalnya dari
lari ke naik sepeda atau berenang.
 Bila mulai batuk-batuk istirahatlah sebentar, minum air dan setelah
tidak batu-batuk lagi teruskan kegiatannya.
 Adakalanya beberapa anak sebelum melakukan kegiatan perlu
minum obat atau menghirup aerosol lebih dulu; misalnya akan
berolah raga. Lebih baik minum obat dan dapat berolah raga
daripada takut diberi obat anak tidak dapat mengikuti aktivitas
sehari-hari seperti anak lainnya.

Hanya pada beberapa anak yang sementara tidak boleh melakukan


olahraga. Serangan asma dapat timbul segera (6-10 menit) setelah
aktivitas dimulai tetapi dapat juga setelah 6-8 jam kemudian.

6. Obat-obatan Asma Pada Anak


Seperti yang telah diuraikan bahwa obat-obatan untuk asma anak terdiri
dari:
a. Bronkodilator: adrenalin, orsipenalin, terbutalin, fenoterol.
b. Kortikosteroid: prednison, hidrokostison, deksametason, dsb.
c. Mukolitik: banyak minum air.

Cara pemberian sesuai petunjuk obat masing-masing.

Obat-obatan yang disebutkan itu diberikan jika sedang mendapat serangan.


Obat untuk pencegahan serangan asma dapat:

a. Bronkodilator
b. Kortikosteroid
c. Ketotifen (Zaditen)
d. DSCG (Intal)
e. Mukolitik

Obat pencegahan harus terus diberikan walaupun sedang tidak mendapat


serangan.

7. Jenis-jenis Ashma
Ada berbagai pembagian asma pada anak,diantaranya adalah:
a. Asma episodik yang jarang
Biasanya terdapat pada anak umur 3-8 tahun. Serangan umumnya
dicetuskan oleh infeksi virus saluran napas bagian atas. Banyaknya
serangan 3-4 kali dalam 1 tahun. Lamanya serangan dapat beberapa
hari, jarang merupakan serangan yang berat.

b. Asma episodik sering


Pada 2/3 golongan ini serangan pertama terjadi pada umur sebelum 3
tahun. Pada permulaan, serangan berhubungan dengan infeksi saluran
napas akut. Pada umur 5-6 tahun dapat terjadi serangan tanpa infeksi
yang jelas. Biasanya orangtua menghubungkannya dengan perubahan
udara, adanya alergen, aktivitas fisik dan stress. Banyak yang tidak
jelas pencetusnya. Frekuensi serangan 3-4 kali dalam satu tahun, tiap
serangan beberapa hari sampai beberapa minggu. Frekuensi serangan
paling ditinggi pada umur 8-13 tahun. Pada golongan lanjut kadang-
kadang sukar dibedakan dengangolongan asma kronik atau persisten.
Umumnya gejala paling jelek terjadi pada malam hari dengan batuk
dan mengi yang akan mengganggu tidurnya.
c. Asma kronik atau persisten
Pada 25% anak golongan ini serangan pertama terjadi sebelum umur 6
bulan; 75% sebelum umur 3 tahun. Pada lebih dari 50% anak terdapat
mengi yang lama pada 2 tahun pertama, dan 50% sisanya serangan
episodik. Pada umur 5-6 tahun akan lebih jelas terjadinya obstruksi
saluran napas yang persisten dan hampir selalu terdapat mengi setiap
hari; malam hari terganggu oleh batuk dan mengi. Aktivitas fisik
sering menyebabkan mengi. Dari waktu ke waktu terjadi serangan
yang berat dan sering memerlukan perawatan dirumah sakit.

8. Pemeriksaan Diagnostik
a. Uji faal paru. Uji faal paru dikerjakan untuk menentukan derajat
obstruksi, menilai hasil provokasi bronkus, menilai hasil pengobatan
dan mengikuti perjalanan penyakit. Alat yang digunakan untuk uji faal
paru paru adalah peak flow meter, caranya anak disuruh meniup flow
meter beberapa kali (sebelum menarik nafas dalam melalui mulut
kemudian menghembuskan dengan kuat) dan dicatat hasil yang
terbaik.
b. Foto toraks. Foto toraks terutama dilakukan pada anak yang baru
pertama kali berkunjung ke poliklinik, untuk menyingkirkan
kemungkinan ada penyakit lain. Pada pasien asma yang telah kronik
akan terlihat jelas adanya kelainan berupa hiperinflasi atau atelektasis.
c. Pemeriksaan darah. Hasilnya akan terdapat cosinofilia pada darah
tepi dan sekret hidung. Bila tidak cosinofilia kemungkinan bukan
asma. Selain itu juga dilakukan uji tuberkulin dan uji kulit dengan
menggunakan alergen.
9. Penatalaksanaan
a. Medik
Asma dapat sedang tenang atau tidak sedang ada serangan, tetapi juga
dapat dalam keadaan serangan dan serangan tersebut dapat ringan,
sedang, atau berat. Kadang yang biasanya diatasi dengan obat dapat
menolong, ini kali tidak dapat lagi. Serangan demikian beratnya
hingga dapat mengancam jiwa anak; oleh karena itu, anak perlu
dirawat dirumah sakit.
Serangan asma yang ringan biasanya cukup diobati dengan obat
bronkodilator oral atau aerosol, bahkan yang ringan sekali tidak
memerlukan pengobatan. Serangan asma yang sedang dan akut perlu
pengobatan yang cepat kerjanya, misalnya bronkodilator aerosol atau
bronkodilator subkutan, adrenalin misalnya. Bila pada serangan ringan
akut tidak diperlukan kortikisteroid; pada serangan ringan kronik atau
serangan sedang, perlu tambahan kortikosteroid disamping
bronkodilator. Pada serangan sedang perlu oksigen.
Serangan asma yang berat bila gagal dengan bronkodilator aerosol
oral atau subkutan dan kortikosteroid perlu teofilnum (teofilin)
intravena dan koreksi penyimpangan asam basa serta elektrolit.
Oksigen sangat penting untuk pasien ini. Keadaan pasien yang
demikian memerlukan perawatan dirumah sakit.

Penanggulangan status asmatikus:

a. Oksigen
b. Periksa keadaan gas darah pasang IVFD (infus) dengan cairan 3:1
glukosa 10% dan NaCl 0.9% + KCl 5 mEq/kolf
1) Koreksi kekurangan cairan
2) Koreksi penyimpangan asam basa
3) Koreksi penyipangan elektrolit
c. Teofilin yang sudah diberikan diteruslan. Ukur kadar teofilin
dalam darah, pantau tanda-tanga keracunan teofilin. Bila tanda
keracunan tidak ada dan keadaan serangan asma belum membaik
mungkin perlu ditambah teofilin.
d. Kartikosteroid dilanjutkan, jika velum diberi harus diberikan.
e. Usaha pengenceran lendir dengan obat mukolitik untuk lendir yang
banyak dan lengket diseluruh cabang-cabang bronkus.
f. Periksa foto toraks.
g. Lakukan pemeriksaan EKG.
h. Pantau tanda-tanda vital.
b. Keperawatan
Perawatan pasien asma ditunjukan pada:
1) Bila pasien sedang tidak mendapat serangan asma
2) Bila pasien sedang mendapat serangan

Jika pasien sedang tidak mendapat serangan asma, perawatan


ditunjukan untuk mencegah timbulnya serangan asma dengan
memberikan pendidikan kepada pasien sendiri maupun keluarganya.
Mencegah serangan asma dengan jalan menghilangkan faktor pencetus
timbulnya serangan.

Pendidikan tersebut mengenai:

1) Pasien atau orang tua harus mengenal tanda akan terjadinya


serangan asma.
2) Cara memberikan obat bronkodilator sebagai pencegahan bila
dirasakan anak akan mengalami serangan asma. Apakah dengan
aerosol/semprot atau oral.
3) Mencegah serangan asma dengan menghilangkan faktor pencetus,
misal debu rumah, bau-bau yang merangsang, dan sebagainya.

Sedangkan kepada orang tua pasien perlu diberi penjelasan tentang


pentingnya selalu sedia obat baik untuk pencegahan maupun untuk
serangan. Selain itu orang tua perlu memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
1) Menjaga keserasian keluarga agar tidak menimbulkan masalah
psikologis bagi anak
2) Menjaga kesehatan anak dengan memberi makanan yang cukup
bergizi tetapi menghindari makanan yang mengandung alergen
bagi anaknya
3) Kapan anak harus dibawa konsultasi. Persediaan obat tidak boleh
sampai habis.
4) Ikut mengawasi kegiatan anak dalam batas-batas yang ditentukan
oleh dokter.
5) Diberitahukan kepada anak sendiri yang boleh dilakukan dan yang
tidak.

Bila pasien sedang mendapatkan serangan asma, masalah yang


perlu diperhatikan pada saat serangan ialah:

1) Pasien menderita kesukaran bernapas


Sebagai akibat spasme bronkus dan adanya lendir yang
kental/lengket dalam bronkus menyebabkan pasien menderita
kesukaran bernapas dan menyebabkan kebutuhan oksigen nya
tidak terpenuhi. Selalu beritahukan pada pasien:
 Pakaian yang mengganggu pernapasannya supaya dilepas saja .
jika memakai baju agar kancingnya dibuka.
 Usahakan agar udara ruangan cukup mengangung oksigen, bila
perlu jendela dibuka tetapi anak jangan ditempatkan di depan
jendela.
2) Gangguan rasa aman dan nyaman
Keadaan sesak napas akan sangat tidak menyenangkan bagi
pasien, begitu sesaknya kadang-kadang anak takut tidak dapat
bernapas lagi. Oleh karena itu setiap serangan asma pasien perlu
ada yang mendampinginya untuk menolong bila ia ingin minum
atau ingin meludah karena terbatuk-batuk. Juga sering mengelap
keringatnya karena biasanya selama serangan keringat keluar
banyak sekali. Sambil mendampingi bujuklah dengan kata-kata
yang kembut agar anak merasa aman. Jika serangan sudah reda
gantilah pakaiannya yang basah, biarkan anak tidur dengan
seenaknya, tunggulah sampai keadaan benar-benar tenang.
Biasanya anak akan lebih senang dalam suasana yang tidak terlalu
terang (redup). Perhatikan apakah pernapasan anak teratur kembali.
Juga harus diperhatikan jika terjadi serangan asma yang
berat kemudian mendadak tidak kedengaran adanya sesak napas,
hal itu tidak selalu bahwa serangan menjadi reda. Adakalanya
terjadi obstruksi/spasme bronkus yang berat menyebabkan aliran
udara sangat sedikit sehingga suara pernapasannya hampir tidak
terdengar, juga batuk seperti tertekan. Pernapasannya menjadi
dangkal dan tidak teratur frekuensinya dapat mendadak meninggi
(hal ini yang disebut pada stadium III, dapat membahayakan
karena anak dapat meninggal tidak ketahuan). Oleh karena itu,
walaupun serangan telah lewat pasien perlu diobservasi terus
sampai keadaan betul-betul tenang.

B. Konsep Asuhan Keperawatan Asma


 Pengkajian
1. Identitas klien/biodata
a. Identitas anak yang meliputi nama anak, umur, jenis kelamin,
suku/bangsa, agama, alamat, no RM, Dx medis, tanggal masuk RS
dan tanggal pengkajian
b. Identitas orang tua/penanggung jawab meliputi nama, usia,
pendidikan, pekerjaan, alamat, hubungan dengan pasien
2. Keluhan utama
Pada umumnya orang tua mengeluh anaknya batuk dengan atau
tanpa produksi mucus; sering bertambah berat saat malam hari atau
dini hari sehingga membuat anak sulit tidur. Jika asmanya berat maka
gejala yang akan muncul yaitu perubahan kesadaran seperti
mengantuk, bingung, saat serangan asma, kesulitan bernafas yang
hebat, takikardia, kegelisahan hebat akibat kesulitan bernafas,
berkeringat. (Margaret Varnell Clark, 2013)
3. Riwayat kesehatan
Riwayat kesehatan pada anak dengan asma meliputi hal-hal sebagai
berikut:
a. Riwayat kesehatan sekarang
Merupakan pengembangan dari keluhan utama yang biasa
ditemukan menggunakan pendekatan PQRST, dimana P atau
paliatif/provokative merupakan hal atau faktor yang mencetuskan
terjadinya penyakit, hal yang memperberat atau meperingan, Q
atau qualitas dari suatu keluhan atau penyakit yang dirasakan, R
atau region adalah daerah atau tempat dimana keluhan dirasakan, S
atau severity adalah derajat keganasan atau intensitas dari keluhan
tersebut, T atau time adalah waktu dimana keluhan dirasakan, time
juga menunjukan lamanya atau kekerapan
b. Riwayat kesehatan yang lalu
Penyakit yang pernah diderita anak perlu diketahui sebelumnya,
karena mungkin ada kaitannya dengan penyakit sekarang. Riwayat
kesehatan menjelaskan tentang riwayat perawatan di RS, alergi,
penyakit kronis dan riwayat operasi. Selain itu juga menjelaskan
tentang riwayat penyakit yang pernah diderita klien yang ada
hubungannya dengan penyakit sekarang seperti riwayat panas,
batuk, filek, atau penyakit serupa pengobatan yang dilakukan
c. Riwayat kesehatan keluarga
Dikaji mengenai adanya penyakit pada keluarga yang berhubungan
dengan asma pada anak, riwayat penyakit keturunan atau bawaan
seperti asma, diabetes melitus, dan lain-lain.
d. Genogram
Merupakan gambaran struktur keluarga klien, dan gambaran pola
asuh klien
4. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Biasanya keadaan umum pasien dengan asma adalah kelemahan
fisik akibat kurangnya nafsu makan, gelisah, kesulitan bernafas,
kesulitan tidur, berkeringat, takikardia.
b. Tanda-tanda vital
Akan ditemukan tanda-tanda vital yang berubah dari ukuran
normal
c. Antropometri
Dikaji untuk mengetahui status gizi, dapat ditemukan penurunan
berat badan dari normal.
d. Pemeriksaan Head To Toe
- Kepala
Amati bentuk dan kesimetrisan kepala, kebersihan kepala
pasien, lingkar kepala. Pada asma tidak ditemukan masalah
pada saat dilakukan pemeriksaan kepala.

- Mata
Perhatikan apakah jarak mata lebar atau lebih kecil, amati
kelopak mata terhadap penetapan yang tepat, periksa alis mata
terhadap kesimetrisan dan pertumbuhan rambutnya, amati
distribusi dan kondisi bulu matanya, bentuk serta amati ukuran
iris apakah ada peradangan atau tidak, kaji adanya oedema
pada mata. Pada asma tidak ditemukan masalah pada saat
dilakukan pemeriksaan mata.
- Hidung
Amati pasien, apakah pasien menggunakan nafas cuping
hidung
- Mulut
Periksa bibir terhadap warna, kesimetrisan, kelembaban,
pembengkakan, lesi, periksa gusi lidah, dan palatum terhadap
kelembaban, keutuhan dan perdarahan, amati adanya bau,
periksa lidah terhadap gerakan dan bentuk, periksa gigi
terhadap jumlah, jenis keadaan, inspeksi faring menggunakan
spatel lidah. Biasanya ditemukan pada mulut terdapat nafas
barbau tidak sedap, bibir kering dan pecah-pecah, lidah tertutup
selaput putih kotor, ujung dan tepinya kemerahan
- Telinga
Periksa penempatan dan posisi telinga, amati penonjolan atau
pendataran telinga, periksa struktur telinga luar dan ciri-ciri
yang tidak normal, periksa saluran telinga luar terhadap
hygiene, rabas dan pengelupasan. Lakukan penarikan aurikel
apakah ada nyeri atau tidak lakukan palpasi pada tulang yang
menonjol di belakang telinga untuk mengetahui adanya nyeri
tekan atau tidak
- Leher
Gerakan kepala dan leher klien dengan ROM yang penuh,
periksa leher terhadap pembengkakan kelenjar getah bening,
lakukan palpasi pada trakea dan kelenjar tiroid
- Dada
Amati kesimetrisan dada terhadap retraksi atau tarikan dinding
dada kedalam, amati jenis pernafasan, amati gerakan
pernafasan dan lama inspirasi serta ekspirasi, lakukan perkusi
diatas sela iga, bergerak secara simentris atau tidak dan lakukan
auskultasi lapang paru
- Abdomen
Periksa kontur abdomen ketika sedang berbaring terlentang,
periksa warna dan keadaan kulit abdomen, amati turgor kulit.
Lakukan auskultasi terhadap bising usus serta perkusi pada
semua area abdomen
- Ekstremitas
Kaji bentuk kesimetrisan bawah dan atas, kelengkapan jari,
apakah terdapat sianosis pada ujung jari, adanya oedema, kaji
adanya nyeri pada ekstremitas
- Genetalia dan anus
Kaji kebersihan sekitar anus dan genetalia, inspeksi ukuran
genetalia, posisi, uretra, inspeksi adanya tanda-tanda
pembangkakan, periksa anus adanya robekan, hemoroid, polip
5. Data psikososial anak
Data psikososial menilai dampak-dampak hospitalisasi, termasuk
prosedur pada bayi dan keluarga. Pada pasien bayi lebih mudah cemas
karena tindakan yang dilakukan, kemungkinan pada bayi kehilangan
kontrol terhadap dirinya. Serta ketakutan bayi terhadap perlukaan
muncul karena bayi menganggap tindakan dan prosedurnya
mengancap intregritas tubuhnya. Oleh karena itu, hal ini menimbulkan
reaksi agresif dengan marah dan berontak, menangis dengan kencang
sambil berontak/berguling-guling dan selalu ingin tetap di pangkuan
ibunya
6. Data perkembangan keluarga
Dikaji sejauh mana perkembangan keluarga ketika klien sakit
7. Data penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
- Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya:
 Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan
degranulasi dari kristal eosinophil
 Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel
cetakan) dari cabang bronkus
 Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus
 Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum,
umumnya bersifat mukoid dengan viskositas yang
tinggi dan kadang terdapat mucus plug

- Pemeriksaan darah

 Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat


pula terjadi hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis
 Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan
LDH
 Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas
15.000/mm3 dimana menandakan terdapatnya suatu infeksi.
Pencetusnya allergen, olahraga, cuaca, emosi (imun respon
menjadi aktif, Pelepasan mediator humoral), histamine,
SRS-A, serotonin, kinin, bronkospasme, Edema mukosa,
sekresi meningkat, inflamasi (penghambat kortikosteroid)
 Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan
dari Ig E pada waktu serangan dan menurun pada waktu
bebas dari serangan.
- Pemeriksaan radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal.
Pada waktu serangan menunjukan gambaran hiperinflasi pada
paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan
rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun. Akan
tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat
adalah sebagai berikut:
 Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus
akan bertambah
 Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka
gambaran radiolusen akan semakin bertambah
 Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrat
pada paru
 Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.
 Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan
pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran
radiolusen pada paru-paru.
- Pemeriksaan tes kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai
alergen yang dapat menimbulkan reaksi yang positif pada asma
- Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan
dapat dibagi menjadi 3 bagian, dan disesuaikan dengan
gambaran yang terjadi pada empisema paru, yaitu:
 Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi
right axis deviasi dan clock wise rotation
 Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni
terdapatnya RBB (Right bundle branch block)
 Tanda-tanda hipoksemia, yakni terdapatnya sinus
tachycardia, SVES, dan VES atau terjadinya depresi
segmen ST negative
- Scanning paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari
bahwa redistribusi udara selama serangan asma tidak
menyeluruh pada paru-paru
- Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas
reversible, cara yang paling cepat dan sederhana diagnosis
asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator.
Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah
pemberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer)
golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak
lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya
respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan
spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis
tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek
pengobatan. Banyak penderita tanpa keluhan tetapi
pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi. (Dudut
Tanjung., Skp, 2007)

8. Pengobatan/terapy
a. Pengobatan non farmakologik:
1) Memberikan penyuluhan
2) Menghindari faktor pencetus
3) Pemberian cairan
4) Fisiotherapy
5) Beri O2 bila perlu
b. Pengobatan farmakologik:
1) Bronkodilator: obat yang melebarkan saluran nafas.
- Simpatomimetik/ adrenergik (Adrenalin dan efedrin)
Nama obat: Orsiprenalin (Alupent), Fenoterol (berotec),
Terbutalin (bricasma).
Obat-obat golongan simpatomimetik tersedia dalam
bentuk tablet, sirup, suntikan dan semprotan. Yang berupa
semprotan: MDI (Metered dose inhaler). Ada juga yang
berbentuk bubuk halus yang dihirup (Ventolin Diskhaler
dan Bricasma Turbuhaler) atau cairan broncodilator
(Alupent, Berotec, brivasma serta Ventolin) yang oleh alat
khusus diubah menjadi aerosol (partikel-partikel yang
sangat halus) untuk selanjutnya dihirup
2) Santin (teofilin)
Nama obat: Aminofilin (Amicam supp), Aminofilin
(Euphilin Retard), Teofilin (Amilex). Efek dari teofilin
sama dengan obat golongan simpatomimetik, tetapi cara
kerjanya berbeda. Sehingga bila kedua obat ini
dikombinasikan efeknya saling memperkuat.
Cara pemakaian: Bentuk suntikan
teofillin/aminofilin dipakai pada serangan asma akut, dan
disuntikan perlahan-lahan langsung ke pembuluh darah.
Karena sering merangsang lambung bentuk tablet atau
sirupnya sebaiknya diminum sesudah makan. Itulah
sebabnya penderita yang mempunyai sakit lambung
sebaiknya berhati-hati bila minum obat ini. Teofilin ada
juga dalam bentuk suppositoria yang cara pemakaiannya
dimasukkan ke dalam anus. Supositoria ini digunakan jika
penderita karena sesuatu hal tidak dapat minum teofilin
(misalnya muntah atau lambungnya kering).
3) Kromalin
Kromalin bukan bronkodilator tetapi merupakan obat
pencegah serangan asma. Manfaatnya adalah untuk
penderita asma alergi terutama anak-anak. Kromalin
biasanya diberikan bersama-sama obat anti asma yang lain
dan efeknya baru terlihat setelah pemakaian satu bulan.
4) Ketolifen
Mempunyai efek pencegahan terhadap asma seperti
kromalin. Biasanya diberikan dengan dosis dua kali
1mg/hari. Keuntungan obat ini adalah dapat diberikan
secara oral. (Dudut Tanjung., Skp, 2007)
 Diagnosa Keperawatan Asma
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan
secret berlebih
2. kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai O2
3. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia, yang dibuktikan oleh penurunan berat badan dan
ketidakmampuan untuk makan
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai dengan kebutuhan O2
5. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya imunitas
6. kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi

 Rencana Tindakan Keperawatan


Diagnosa I : Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan

peningkatan secret berlebih

Tujuan : mempertahankan jalan napas paten dengan bunyi napas bersih

dan jelas

Kriteria hasil: setelah dilakukan intervensi, anak akan bernapas dengan

mudah tanpa dyspnea.

Intervensi Rasional
1. Auskultasi bunyi nafas dan 1. Beberapa derajat spasme bronkus
catat adanya abnormalitas, terjadi dengan obstruksi jalan napas
bunyi napas seperti mengi dan dapat/tidak dimanifestasikan
dengan adanya napas yang abnormal
2. Kaji/pantau frekuensi 2. Takipnea biasanya ada pada
pernapasan, catat rasio beberapa derajat dan dapat ditemukan
inspirasi/ekspirasi pada penerimaan atau selama
stress/adanya proses infeksi akut
3. Catat adanya derajat 3. Disfungsi pernafasan adalah
dyspnea, distress pernapasan, variable yang tergantung pada tahap
penggunaan otot bantu proses akut yang menimbulkan
pernapasan perawatan di rumah sakit
4. Tempatkan anak pada posisi 4. Peninggian kepala tempat tidur
yang nyaman, seperti memudahkan fungsi pernapasan
meninggikan kepala tempat dengan menggunakan gravitasi
tidur
5. Pertahankan polusi 5. Pencetus tipe alergi pernapasan
lingkungan. Contoh: debu, asap dapat menimbulkan episode akut
dll. 6. Merelaksasikan otot halus dan
6. Berikan obat bronkodilator menurunkan spasme jalan napas,
sesuai indikasi mengi dan produksi mukosa

Diagnosa II: kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan


suplai O2
Tujuan : membantu tindakan untuk mempermudah pertukaran gas
Kriteria hasil : pertukaran gas adekuat
Intervensi Rasional
1. Kaji/awasi secara rutin kulit 1. Melihat adanya sianosis perifer
dan membran mukosa atau sentral
2. Palpasi fremitus 2. Penurunan getaran vibrasi
diduga adanya pengumpulan
3. Awasi tanda vital dan irama cairan/udara
jantung 3. Takikardi, disritmia, dan
perubahan tekanan darah dapat
menunjukan efek hipoksemia
4. Posisikan pasien pada posisi sistemik pada fungsi jantung
yang nyaman 4. Untuk meningkatkan pertukaran
5. Berikan O2 sesuai indikasi gas yang optimal
5. Memperbaiki atau mencegah
memburuknya hipoksia

Diagnosa III : Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh


berhubungan dengan anoreksia, yang dibuktikan oleh penurunan berat
badan dan ketidakmampuan untuk makan
Tujuan: meningkatkan asupan nutrisi anak
Kriteria hasil: pasien menunjukan peningkatan berat badan
Intervensi Rasional
1. Kaji kebiasaan diet, masukan 1. Pasien distress pernafasan akut
makanan saat ini dan catat derajat sering anoreksia karena dyspnea
kerusakan makanan
2. Sering lakukan perawatan 2. Rasa tak enak dan bau dapat
oral, buang secret, berikan wadah menurunkan nafsu makan dan dapat
khusus untuk sekali pakai menyebabkan mual muntah dengan
peningkatan kesulitan nafas
3. Berikan O2 tambahan ketika 3. Menurunkan dyspnea dan
makan sesuai indikasi meningkatkan energi untuk makan,
sehingga dapat meningkatkan
masukan

Diagnosa IV :Intoleransi aktivitas berhubungan dengan


ketidakseimbangan antar suplai dengan kebutuhan O2
Tujuan: intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan
antara suplai dengan kebutuhan O2
Kriteria hasil: pasien tampak segar dan dapat beraktifitas dengan
kemampuannya
Intervensi Rasional
1. Dorong aktivitas yang sesuai dengan 1. Mengurangi penggunaan
kondisi dan kemampuan pasien energi yang berlebihan
2. Beri kesempatan anak untuk tidur, 2. Untuk menghindari
istirahat dan aktivitas yang tenang keletihan pada pasien

Diagnosa V: Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya


imunitas
Tujuan: mencegah komplikasi dan memburuknya keadaan pasien
Kriteria hasil:
- Pasien/keluarga dapat mengidentifikasikan intervensi untuk
mencegah/menurunkan resiko infeksi
- Pasien/keluarga akan memperlihatkan perubahan pola hidup
untuk meningkatkan lingkungan yang aman

Intervensi Rasional
1. awasi suhu 1. demam dapat terjadi karena infeksi
dan atau dehidrasi
2. diskusikan kebutuhan 2. malnutrisi dapat mempengaruhi
nutrisi adekuat kesehatan umum dan menurunkan
tahanan terhadap infeksi
3. dapatkan specimen sputum 3. untuk mengidentifikasi organisme
dengan batuk/pengisapan penyebab dan kerentanan terhadap
untuk pewarnaan berbagai anti microbial
gram/kultur/sensitifitas

Diagnosa VI : kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya


informasi

Tujuan : memberi informasi tentang proses penyakit/prognosis dan


program Pengobatan

Kriteria hasil: keluarga menyatakan pemahaman kondisi/proses penyakit


dan tindakan

Intervensi Rasional
1. jelaskan tentang penyakit 1. menurunkan ansietas dan dapat
pasien menimbulkan perbaikan
partisipasi pada rencana
pengobatan
2. diskusikan obat pernapasan, 2. penting bagi pasien memahami
efek samping dan reaksi perbedaan antara efek samping
yang tidak diinginkan mengganggu dan merugikan
3. tunjukan teknik penggunaan 3. pemberian obat yang tepat akan
inhaler meningkatkan keefektifannya

 TBC
A. Konsep Teori TBC
1. Pengertian TBC
Tuberculosis (TBC) adalah penyakit akibat kuman Mycobakterium
tuberculosis, dapat mengenai semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak
diparu-paru yang yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer (Arif
Mansjoer, 2000).
Penyakit tuberkulosis pada anak merupakan penyakit yang bersifat
sistemik, yang dapat bermanifestasi pada berbagai organ, terutama paru.
Sifat sistemik ini disebabkan oleh penyebaran hematogen dan limfogen
setelah terjadi infeksi Mycobacterium tuberculosis. Data insidens dan
prevalens tuberkulosis anak tidak mudah dengan penelitian indeks
tuberkulin dapat diperkirakan angka kejadian prevalens tuberkulosis anak.
Tuberkulosis merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan
pemberian imunisasi BCG pada anak dan pengobatan sumber infeksi,
yaitu penderita TB dewasa. Anak biasanya tertular TB, atau juga disebut
mendapat infeksi primer TB, akan membentuk imunitas sehingga uji
tuberkulin akan menjadi positif, tidak semua anak yang terinfeksi TB
primer ini akan sakit TB.

2. Etilogi
a. Meroko pasif: meroko pasif bisa berdampak pada sistem kekebalan anak,
sehingga meningkatkan risiko tertular. Pajanan pada asap rokok
mengubah fungsi sel, misalnya dengan menurunkan tingkat kejernihan zat
yang dihirup dan kerusakan kemampuan penyerapan sel dan pembuluh
darah (Reuters health, 2007).
b. Faktor risiko TBC anak (admin 2007)
1) Resiko infeksi TBC / Anak yang memiliki kontak dengan orang deeasa
dengan TBC aktif, daerah endemis, penggunaan obat-obat intravena,
kemiskinan serta lingkungan yang tidak sehat. Pajanan terhadap orang
dewasa yang infeksius. Resiko timbulnya transmisi kuman dari orang
dewasa ke anak akan lebih tinggi jika pasien dewasa tersebut
mempunyai BTA sputum yang positif, terdapat infiltrat luas pada lobus
atas atau kavitas produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif
dan kuat serta terdapat faktor lingkungan yang kurang sehat, terutama
sirkulasi udara yang tidak baik. Pasien TBC anak jarang menularkan
kuman pada anak lain atau orang dewasa disekitarnya, karena TBC
pada anak jarang infeksius, hal ini disebabkan karena kuman TBC
sangat jarang ditemukan pada sekret endotracheal, dan jarang terdapat
batuk. Walaupun terdapat batuk tetapi jarang menghasilkan sputum.
Bahkan jika ada sputum pun, kumanTBC jarang sebab hanya terdapat
dalam konsentrasi yang rendah pada sektret endobrokial anak.
2) Resiko penyakit TBC: Anak kurang dari 5 tahun mempunyai resiko
lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi sakit TBC, mungkin
karena imunitas selulernya belum berkembang sempurna (imatur).
Namun, resiko sakit TBC ini akan berkurang secara bertahap seiring
pertambahan usia! Pada bayi kurang dari 1 tahun yang terinfeksi TBC,
43%nya akan menjadi sakit TBC, sedangkan pada anak usia 1-5 tahun,
yang menjadi sakit hanya 24%, pada usia remaja 15% dan pada dewasa
5-10%. Anak < 5 tahun memiliki resiko lebih tinggi mengalami TBC
diseminata dengan angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Konversi
tes tuberkulin dalam 1-2 tahun terakhir, malnutrisi, keadaan
imunokompromis, diabetes melitus, gagal ginjal kronik dan silikosis.
Status sosial ekonomi yang rendah, penghasilan yang kurang,
kepadatan hunian, pengangguran, dan pendidikan yang rendah.

3. Patofisiologi
Berbeda dengan TBC pada orang dewasa, TBC pada anak tidak menular.
Pada TBC anak, kuman berkembang biak di kelenjar paru-paru. Jadi, kuman
ada di dalam kelenjar, tidak terbuka. Sementara pada TBC dewasa, kuman
berada di paru-paru dan membuat lubang untuk keluar melalui jalan napas.
Nah, pada saat batuk, percikan ludahnya mengandung kuman. Ini biasanya
terisap oleh anak-anak, lalu masuk ke paru-paru (Wirjodiadordjo, 2008).
Proses penularan tuberculosis dapat melalui proses udara atau langsung,
seperti saat batuk. Terdapat dua kelompok besar penyakit ini diantaranya
adalah sebagai berikut: tuberculosis paru primer dan tuberculosis post primer.
Tuberculosis primer sering terjadi pada anak, proses ini dapat dimulai dari
proses yang disebut droplet nuklei, yaitu suatu proses terinfeksinya partikel
yang mengandung dua atau lebih kuman tuberculosis yang hidup dan terhirup
serta diendapkan pada permukaan alveoli, yang akan terjadi eksudasi dan
dilatasi pada kapiler, pembengkakan sel endotel dan alveolar, keluar fibrin
serta makrofag ke dalam alveolar spas. Tuberculosis post primer, dimana
penyakit ini terjadi pada pasien yang sebelumnya terinfeksi oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis (hidayat, 2008).
Sebagian besar infeksi tuberculosis menyebar melalui udara melalui
terhirupnya nukleus droplet yang berisikan mikroorganisme basil tuberkel dari
seseorang yang terinfeksi. Tuberculosis adalah penyakit yang dikendalikan
oleh respon imunitas yang diperantarai oleh sel dengan sel elector berupa
makropag dan limfosit (biasanya sel T) sebagai sel imuni responsif. Tipe
imunitas ini melibatkan pengaktifan makrofag pada bagian yang terinfeksi
oleh limfosit dan limfokin mereka, responya berupa reaksi hipersentifitas
selular (lambat). Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolar
membangkitkan reaksi peradangan yaitu ketika leukosit digantikan oleh
makropag. Alveoli yang terlibat mengalami konsolidasi dan timbal pneumobia
akut, yang dapat sembuh sendiri sehingga tidak terdapat sisa, atau prosesnya
dapat berjalan terus dengan bakteri di dalam sel - sel (Price dan Wilson,
2006).
Drainase limfatik basil tersebut juha masuk ke kelenjar getah bening
regional dan infiltrasi makrofag membentuk tuberkel sel epitelloid yang
dikelilingi oleh limfosit. Nekrosis sel menyebabkan gambaran keju (nekrosis
gaseosa), jeringan grabulasi yang disekitarnya pada sel-sel epitelloid dan
fibroblas dapat lebih berserat, membentuk jaringan parut kolagenosa,
menghasilkan kapsul yang mengeliligi tuberkel. Lesi primer pada paru
dinamakan fokus ghon, dan kombinasi antara kelenjar getah bening yang
terlibat dengan lesi primer disebut kompleks ghon. Kompleks ghon yang
mengalami kalsifikasi dapat terlihat dalam pemeriksaan foto thorax rutin pada
seseorang yang sehat (Price dan Wilson, 2006).
Tuberculosis paru termasuk insidias. Sebagian besar pasien menunjukkan
demam tingkat rendah, keletihan, anorexia, penurunan berat badan, berkeringat
malam, nyeri dada dan batuk menetal. Batuk pada awalnya mungkin
nonproduktif, tetapi dapat berkembang ke arah pembentukan sputum
mukopurulen dengan hemoptisis. Tuberculosis dapat mempunyai manifestasi
atipikal pada anak seperti perilaku tidak biasa dan perubahan status mental,
demam, anorexia dan penurunan berat badan. Basil tuberkulosis dapat bertahan
lebih dari 50 tahun dalam keadaan dorman (Smeltzer dan Bare, 2002).

Menurut Admin (2001) patogenesis penyakit tuberkulosis pada anak terdiri


atas:

a. Infeksi primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman
TBC. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat
melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus, dan terus berjalan
sehingga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat
kuman TBC berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di
paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan
membawa kuman TBC ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini
disebut sebagai kompleks primer predileksinya disemua lobus, 70%
terletak subpelura. Fokus primer dapat mengalami penyembuhan
sempurna, kalsifikasi atau penyebaran lebih lanjut. Waktu antara
terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah sekitar 4-
6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan
reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif.
Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya
kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas
seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat
menghentikan perkembangan kuman TBC2. Meskipun demikian, ada
beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dormant
(tidur). Kadang kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan
perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang
bersangkutan akan menjadi penderita TBC. Masa inkubasi, yaitu waktu
yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan
sekitar 6 bulan.
b. TBC pasca primer (post primary TBC)
TBC pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun
sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat
terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari TBC pasca
primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau
efusi pleura.

4. Manifestasi klinik
Menurut wirjodiardjo (2008) gejala TBC pada anak tidak serta-merta
muncul. Pada saat-saat awal 4-8 minggu setelah infeksi, biasanya anak hanya
demam sedikit. Beberapa bulan kemudian, gejalanya mulai muncul di paru-
paru. Anak batuk-batuk sedikit. Tahap berikutnya (3-9 bulan setelah infeksi),
anak tidak napsu makan, kurang gairah, dan berat badan turun tanpa sebab.
Juga ada pembesaran kelenjar di leher, sementara di paru-paru muncul
gambaran flek. Pada saat itu, kemungkinannya ada dua, apakah akan muncul
gejala TBC yang benar-benar atau sama sekali tidak muncul. Ini tergantung
kekebalan anak. Kalau anak kebal (daya tahan tubuhnya bagus), TBC- nya
tidak muncul. Tapi bukan berarti sembuh. Setelah bertahun-tahun, bisa saja
muncul, bukan di paru-paru lagi, melainkan di tulang, ginjal, otak, dan
sebagainya. Ini yang berbahaya dan butuh waktu lama untuk penyembuhannya.
Riwayat penyakit TBC anak sulit dideteksi penyebabnya, penyebab TBC
adalah kuman TBC (Mycobacterium tuberculosis). Sebetulnya, untuk
mendeteksi bakteri TBC (dewasa) tidak begitu sulit. Pada orang dewasa bisa
dideteksi dengan pemeriksaan dahak langsung dengan mikroskop atau
dibiakkan dulu di media. Mendeteksi TBC anak sangat sulit, karena tidak
mengeluarkan kuman pada dahaknya dan gejalanya sedikit. Diperiksa
dahaknya pun tidak akan keluar, sehingga harus dibuat diagnosis baku untuk
mendiagnosis anak TBC sedini mungkin. Yang harus dicermati pada saat
diagnosis TBC anak adalah riwayat penyakitnya. Apakah ada riwayat kontak
anak dengan pasien TBC dewasa. Kalau ini ada, agak yakin anak positif TBC
(wirjodiardjo, 2008).

Gejala-gejala lain untuk diagnosa antara lain (wirjodiardjo, 2008):

a. Apakah anak sudah mendapat imunisasi BCG semasa kecil. Atau reaksi
BCG sangat cepat. Misalnya, bengkak hanya seminggu setelah diimunisasi
BCG. Ini juga harus di curigai TBC, meskipun jarang.
b. Berat badan anak turun tanpa sebab yang jelas, atau kenaikan berat badan
setiap bulan berkurang.
c. Demam lama atau berulang tanpa sebab. Ini juga jarang terjadi. Kalaupun
ada, setelah diperiksa, ternyata tipus atau demam berdarah.
d. Batuk lama, lebih dari 3 minggu. Ini terkadang tersamar dengan alergi.
Kalau tidak ada alergi dan tidak ada penyebab lain, baru dokter boleh
curiga kemungkinan anak terkena TBC.
e. Pembesaran kelenjar di kulit, terutama di bagian leher, juga bisa ditengarai
sebagai kemungkinan gejala TBC. Yang sekarang sudah jarang adalah
adanya pembesaran kelenjar di seluruh tubuh, misalnya di selangkangan,
ketiak, dan sebagainya.
f. Mata merah bukan karena sakit mata, tapi di sudut mata ada kemerahan
yang khas.
g. Pemeriksaan lain juga dibutuhkan diantaranya pemeriksaan tuberkulin
(MantouxTest, MT) dan foto. Pada anak normal, Mantoux Test positif jika
hasilnya lebih dari 10 mm. Tetapi pada anak yang gizinya kurang,
meskipun ada TBC hasilnya biasanya negatif karena tidak memberujan
reaksi terhadap MT.

Menurut supriyatno (2009) skrining tuberkulosis pada anak antara lain:


sesungguhnya mendiagnosa tuberculosis pada anak, terlebih pada anak-anak
yang masih sangat kecil, sangat sulit. Diagnosa tepat TBC tak lain dan tak
bukan adalah dengan menemukan adanya Mycobacterium tuberculosis yang
hidup dan aktif dalam tubuh suspect TB atau orang yang diduga TBC cara
yang paling mudah adalah dengan melakukan tes dahak. Pada orang dewasa,
hal ini tak sulit dilakukan. Tapi lain ceritanya, pada anak-anak karena mereka,
apalagi yang masih usia balita, belum mampu mengeluarkan dahak.
Karenanya, diperlukan alternatif lain untuk mendiagnosa TB pada anak.

a. Kesulitan lainnya, tanda-tanda dan gejala TB pada anak seringkali tidak


spesifik (khas). Cukup banyak anak yang overdiagnosed sebagai pengidap
TB, padahal sebenarnya tidak. Atau underdiagnosed maksudnya terinfeksi
atau malah sakit TB tetapi tidak terdeteksi sehingga tidak memperoleh
penanganan yang tepat. Diagnosa TBC pada anak tidak dapat ditegakkan
hanya dengan 1 atau 2 tes saja, melainkan harus komprehensif. Karena
tanda-tanda dan gejala TB pada anak sangat sulit dideteksi, satu-satunya
cara untuk memastikan anak terinfeksi oleh kuman TB, adalah melalui uji
Tuberkulin (tes Mantoux). Tes Mantoux ini hanya menunjukkan apakah
seseorang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis atau tidak, dan sama
sekali bukan untuk menegakkan diagnosa atas penyakit TB! Sebab, tidak
semua orang yang terinfeksi kuman TB lalu menjadi sakit TB.
b. Sistem imun tubuh mulai menyerang bakteri TB, kira-kira 2-8 minggu
setelah terinfeksi. Pada kurun waktu inilah tes Mantoux mulai bereaksi.
Ketika pada saat terinfeksi daya tahan tubuh orang tersebut sangat baik,
bakteri akan mati dan tidak ada lagi infeksi dalam tubuh. Namun pada
orang lain, yang terjadi adalah bakteri tidak aktif tetapi bertahan lama di
dalam tubuh dan sama sekali tidak menimbulkan gejala. Atau pada orang
lainnya lagi, bakteri tetap aktif dan orang tersebut menjadi sakit TB.
c. Uji ini dilakukan dengan cara menyuntikkan sejumlah kecil (0,1 ml) kuman
TBC, yang telah dimatikan dan dimurnikan, ke dalam lapisan atas (lapisan
dermis) kulit pada lengan bawah. Lalu, 48 sampai 72 jam kemudian,
tenaga medis harus melihat hasilnya untuk diukur. Yang diukur adalah
indurasi (tonjolan keras tapi tidak sakit) yang terbentuk, bukan warna
kemerahannya.(erythema). Ukuran dinyatakan dalam milimeter, buman
centimeter. Bahkan bila ternyata tidak ada indurasi, hasil tetap harus ditulis
sebagai 0 mm.
d. Secara umum, hasil tes Mantoux ini dinyatakan positif bila diameter
indurasi berukuran sama dengan atau lebih dari 10mm. Namun, untuk bayi
dan anak sampai usia 2 tahun yang tanpa faktor resiko TB, dikatakan
positif bila indurasinya berdiameter 15 mm atau lebih. Hal ini dikarenakan
pengaruh vaksin BCG yang diperolehnya ketika baru lahir, masih kuat.
Pengecualian lainnya adalah, untuk anak dengan gizi buruk atau anak
dengan HIV, sudah dianggap positif bila diameter indurasinya 5mm atau
lebih.
e. Namun tes Mantoux ini dapat memberikan hasil yang negatif palsu
(anergi), artinya hasil negatif padahal sesungguhnya terinfeksi kuman TB.
Anergi dapat terjadi apabila anak mengalami malnutrisi berat atau gizi
buruk (gizi kurang tidak menyebabkan anergi), sistem imun tubuhnya
sedang sangat menurun akibat mengkonsumsi obat-obat tertentu, baru saja
divaksinasi dengan virus hidup, sedang terkena infeksi virus, baru saja
terinfeksi bakteri TB, tata laksana tes Mantoux yang kurang benar. Apabila
dicurigai terjadi anergi, maka tes harus diulang.

5. Pemeriksaan Penunjang
a. Kultur sputum: positif untuk mycobakterium pada tahap akhir penyakit.
b. Diehl neelsen: (pemakaian asam cepat pada gelas kaca untuk usapan
cairan darah) positif untuk basil asam cepat.
c. Test kulit: (PPD, Mantoux, potongan vollmer): reaksi positif (area durasi
10 mm) terjadi 48- 72 jam setelah injeksi intra dermal. Antigen
menunjukan infeksi masa lalu dan adanya anti body tetapi tidak secara
berarti menunjukan penyakit aktif. Reaksi bermakna pada pasien yang
secara klinik sakit berarti bahwa TB aktif tidak dapat diturunkan atau
infeksi disebabkan oleh mycobacterium yang berbeda.
d. Elisa/ western Blot: dapat menyatakan adanya HIV.
e. Foto thorax: dapat menunjukan infiltrsi lesi awal pada area paru atas,
simpanan kalsium lesi sembuh primer atau efusi cairan, perubahan
menunjukan lebih luas TB dapat masuk rongga area fibrosa.
f. Histologi atau kultur jaringan (termasuk pembersihan gaster: urien dan
cairan serebrospinal, biopsi kulit) positif untuk mycobakterium
tubrerkulosis.
g. Biopsi jarum pada jarinagn paru: positif untuk granula TB: adanya sel
raksasa menunjukan nekrosis.
h. Elektrolit, dapat tidak normal tergantung lokasi dan bertanya infeksi,
contohnya Hyponaremia, karena retensi air tidak normal, didapat pada TB
paru luas. GDA dapat tidak normal tergantung lokasi, berat dan kerusakan
sisa pada paru.
i. Pemeriksaan fungsi pada paru: penurunan kapasitas vital, peningkatan
ruang mati, peningkatan rasio udara resido dan kapasitas paru total dan
penurunan saturasi oksigen sekunder terhadap infiltrasi parenkhim/
fibrosis, kehilangan jaringan paru dan penyakit pleural (TB paru kronis
luas).
6. Penatalaksanaan
a. Penatalaksananaan medis.
Dalam pengobatan TB paru dibagi 2 bagian:
1) Jangka pendek. Dengan tata cara pengobatan: setiap hari dengan jangka
waktu 1-3 bulan.
a) Streptomisin inj 750 mg
b) Pas 10 mg
c) Ethambutol 1000 mg
d) Isoniazid 400 mg.
2) Jangka panjang, tata cara pengobatannya adalah setiap 2x seminggu,
selama 13-18 bulan, tetapi setelah perkembangan pengobatan
ditemukan terapi. Therapi TB paru dapat dilakukan dengan minum obat
saja, obat yang diberikan dengan jenis: INH, Rifampicin, Ethambutol.
Dengan fase selama 2x seminggu dengan lama pengobatan kesembuhan
menjadi 6-9 bulan.
b. Penatalaksanaan Keperawatan
Menurut hidayat (2008) perawatan anak dengan tuberculosis dapat
dilakukan dengan melakukan:
a) Lemantauan tanda-tanda infeksi sekunder
b) Pemberian oksigen yang adekuat
c) Latihan batuk efektif
d) Fisioterapi dada
e) Pemberian nutrisi yang adekuat
f) Kolaburasi pemberian obat antutuberkulosis (seperti: isoniazid,
streptomisin, etambutol, rifamfisin, pirazinamid dan lain-lain)
g) Intervensi yang dapat dilakukan untuk menstimulasi pertumbuhan
perkembangan anak yang tenderita tuberculosis dengan membantu
memenuhi kebutuhan aktivitas sesuai dengan usia dan tugas
perkembangan, yaitu (suriadi dan yuliani, 2001):
 Memberikan aktivitas ringan yang sesuai dengan usia anak
(permainan, ketrampilan tangan, vidio game, televisi).
 Memberikan makanan yang menarik untuk memberikan stimulus
yang bervariasi bagi anak. - Melibatkan anak dalam mengatur
jadwal harian dan memilih aktivitas yang diinginkan.
 Mengijinkan anak untuk mengerjakan tugas sekolah selama di
rumah sakit, menganjurkan anak untuk berhubungan dengan
teman melalui telepon jika memungkinkan.
7. Pencegahan
a. Imunisasi BCG pada anak balita, vaksin BCG sebaiknya diberikan sejak
anak masih kecil agar terhindar dari penyakit tersebut.
b. Bila ada yang dicurigai sebagai penderita TBC maka harus segera diobati
sampai tuntas agar tidak menjadi penyakit yang lebih berat dan terjadi
penularan.
c. Jangan minum susu sapi mentah dan harus dimasak.
d. Bagi penderita untuk tidak membuang ludah sembarangan.
e. Pencegahan terhadap penyakjt TBC dapat dilakukan dengan tidak
melakukan kontak udara dengan penderita, minum obat pencegah dengan
dosis tinggi dan hidup secara sehat. Terutama rumah harus baik ventilasi
udaranya dimana sinar matahari pagi masuk ke dalam rumah.
f. Tutup mulut dengan sapu tangan bila batuk serta tidak meludah/
mengeluarkan dahak di sembarangan tempat dan menyediakan tempat
ludah yang diberikan lisol atau bahan lain yang dianjurkan dokter dan
untuk menguranhi aktivitas kerja serta menengkan pikiran.

B. Konsep Asuhan Keperawatan TBC


 Pengkajian
1. Identitas
2. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
b. Riwayat kesehatan dahulu
c. Riwayat kesehatan keluarga
3. Pola aktivitas dan istirahat
Subjektif: rasa lemah cepat lelah, aktivitas berat timbul. Sesak (nafas
pendek), demam, menggigil.
Objektif: Takikardia, takipnea / dispnea saat kerja, irritable, sesak
(tahap, lanjut: infiltrasi radang sampai setengah paru), demam subfebris
(40-41derajatC) hilang timbul.
4. Pola nutrisi
Subjektif: Anoreksia, mual, tidak enak diperut, penurunan berat badan.
Objektif: Turgor kulit jelek, kulit kering/bersisik, kehilangan lemak sub
kutan.
5. Respirasi
Subjektif: Batuk produktif / non produktif sesak napas, sakit dada.
Objektif: Mulai batuk kering sampai batuk dengan sputum hijau /
purulent, mucoid kuning atau bercak darah, pembengkakan kelenjar
limfe, terdengar bunyi ronkhi basah,kasar di daerah apeks paru,
takipneu (penyakit luas atau fibrosis parenkim paru dan pleural), sesak
napas, pengembangan pernapasan tidak simetris (effusi pleura.),
perkusi pekak dan penurunan fremitus (cairan pleural), deviasi trakeal
(penyebaran bronkogenik)
6. Rasa nyaman / nyeri.
Subjektif: nyeri dada meningkat karena batuk berkurang.
Objektif: berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi, gelisah,
nyeri bisa timbul bila infiltrasi radang sampai ke pleura sehingga timbul
pleuritic.
7. Keamanan
Subjektif: Adanya kondisi penekanan imun, contoh: AIDS, kanker.
bjektif: demam rendah atau sakit panas akut.
 Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d adanya sekret.
2. Gangguan pertukaran gas b.d proses infeksi.
3. Defisit pengetahuan tentang proses infeksi b.d kurang sumber
informasi.
4. Risiko gangguan dalam menjalankan peran sebagai orang tua b.d
isolasi pasien.
 Rencana Tindakan Keperawatan

Bersihan jalan napas tidak efektif b.d adanya secret


Tujuan: anak menunjukkan jalan nafas yang efektif
Intervensi Keperawatan Rasional
a. Auskultasi area paru, catat area Penurunan aliran udara terjadi pada
penurunan atau tidak ada aliran area konsolidasi dengan cairan. Bunyi
udara dan bunyi napas adventisius napas bronchial dapat juga terjadi
misalnya krekels, mengi. pada area konsolidasi. Krekels, ronkhi
dan mengi terdengar pada inspirasi
atau ekspirasi pada respons terhadap
pengumpulan cairan / sputum.
b. Mengkaji ulang TTV (irama dan Takipnea, pernapasan dangkal dan
frekuensi serta gerakan dinding gerakan dada tidak simetris terjadi
dada) karena ketidaknyamanan gerakan
dinding dada atau cairan paru.
c. Bantu pasien dengan latihan Napas dalam memudahkan ekspansi
napas sering dengan cara meniup maksimum paru atau jalan napas lebih
balon atau terapi benam. kecil. Batuk adalah mekanisme
Tunjukan atau bantu pasien pembersihan jalan napas alami
mempelajari melakukan batuk, membantu silia untuk
misalnya menekan dada dan mempertahankan jalan napas paten.
batuk efektif sementara posisi Penekanan menurunkan
duduk tinggi. ketidaknyamanan dada dan posisi
duduk memungkinkan upaya napas
lebih dalam dan lebih kuat.
d. Penghisapan sesuai indikasi Merangsang batuk atau pembersihan
jalan napas secara mekanik pada
pasien yang tidak mampu melakukan
karena batuk tidak efektif atau
penurunan tingkat kesadaran.
e. Memberikan obat yang dapat Alat untuk menurunkan sapsme
meningkatkan efektifnya jalan bronkus dengan memobilisasi secret,
nafas (seperti bronchodilator) obat bronchodilator dapat membantu
mengencerkan secret sehingga mudah
untuk dikeluarkan.

Gangguan pertukaran gas b.d proses infeksi


Tujuan: anak akan mengalami pengurangan batuk dan dyspnea
Intervensi Rasional
a. Berikan oksigen humidifier bagi Dyspnea masih dapat terjadi, hingga
anak dengan dyspnea. pemberian obat kemoterapetik dimulai
untuk mendapatkan efeknya, oksigen
humidifier mengurangi dyspnea dan
meningkatkan oksigenasi.
b. Tinggikan bagian kepala tempat Peninggian kepala menyebabakan otot
tidur diafragma mengembang.
c. Berikan obat batuk ekspektoran Ekspektoran membantu melepaskan
sesuai dengan kebutuhan. mucus.

Deficit pengetahuan tentang proses infeksi b.d kurang sumber informasi.


Tujuan: keluarga dapat mengekspresikan pemahamannya tentang proses
penyakit dan pengobatan
Intervensi Rasional
a. Ajarkan orang tua dan anak tentang Pemahaman bagaimana penularan
penularan dan pengobatan TBC, TBC dan penanganannya
misalnya buat orang tua hendaknya membantu mengurangi kecemasan
menghindari anak dekat dengan dan peningkatan kepatuhan
orang dewasa yang terkena terhadap pengobatan, prosedur
tuberculosis sedangkan buat anak isolasi dan pengobatan yang
sarankan untuk melakukan diberikan.
pengobatan sampai selesai dan patuh
dalam minum obat.
b. Ajarkan orang tua dan anak (jika Pemahaman bagiamana
tepat) bagaimana memberikan memberikan pengobatan dan risiko
pengobatan (contoh: antibiotik), bila pengobatan dihentikan di awal
berapa lama terapi pengobatan harus akan meningkatkan kepatuhan.
dijalani dan apa yang terjadi jika
anak tidak menjalani pengobatan
yang diberikan.
c. Pada saat anak diperbolehkan -
pulang, berikan discharge planning
atau perencanaan pulang mengenai:
1) Jelaskan terapi yang
diberikan, dosis, efek
samping, lama pemberian
terapi dan cara minum obat.
2) Melakukan imunisasi jika
imunisasi belum lengkap
sesuai prosedur.
3) Menekankan pentingnya
control ulang sesuai jadwal.
4) Informasikan jika terdapat
tanda-tanda terjadinya
kekambuhan.

Risiko gangguan dalam menjalankan peran sebagai orang tua b.d isolasi
pasien.
Tujuan: anak tidak akan mengalami kecemasan karena perpisahan
berhubungan dengan penurunan kontak parental.
Intervensi Rasional
a. Ajarkan orang tua tentang teknik Pemahaman dan mengikuti teknik
isolasi dengan benar. isolasi membantu mencegah
penularan TBC yang memungkinkan
orang tua bersama selama mungkin
dengan anaknya, akan mengurangi
perpisahan.
b. Motivasi orang tua dan anggota Seringnya keluarga kontak akan
keluarga lainnya untuk mengurangi kecemaan akibat
mengunjunginya secara teratur. perpisahan.

 DIFTERI
A. Konsep Teori Difteri
1. Pengertian Difteri
Difteri adalah infeksi bakteri pada hidung dan tenggorokan.
Meski tidak selalu menimbulkan gejala, penyakit ini biasanya
ditandai oleh munculnya selaput abu-abu yang melapisi tenggorokan
dan amandel. Bila tidak ditangani, bakteri difteri bisa mengeluarkan
racun yang dapat merusak sejumlah organ, seperti jantung, ginjal, atau
otak. Difteri tergolong penyakit menular berbahaya dan berpotensi
mengancam jiwa, namun bisa dicegah melalui imunisasi.

2. Etiologi
Difteri disebabkan oleh bakteri bernama Corynebacterium
diphtheria, yang dapat menyebar dari orang ke orang. Seseorang bisa
tertular difteri bila tidak sengaja menelan atau menghirup percikan air liur
yang dikeluarkan penderita saat batuk dan bersin. Penularan juga bisa
terjadi melalui benda yang sudah terkontaminasi air liur penderita, seperti
gelas atau sendok.
Difteri dapat dialami siapa saja. Namun, risiko terserang difteri
akan lebih tinggi apabila tidak mendapat vaksin difteri secara lengkap.

3. Gejala Difteri
Gejala difteri muncul 2 sampai 5 hari setelah seseorang terinfeksi.
Meskipun demikian, tidak semua orang yang terinfeksi difteri mengalami
gejala. Apabila muncul gejala, biasanya berupa terbentuknya lapisan tipis
berwarna abu-abu yang menutupi tenggorokan dan amandel penderita.
Selain muncul lapisan abu-abu ditenggorokan, gejala lain yang
dapat muncul meliputi :
a. Sakit tenggorokan
b. Suara serak
c. Batuk
d. Pilek
e. Demam
f. Menggigil
g. Lemas
h. Muncul benjolan dileher akibat pembengkakan kelenjar getah bening
4. Pencegahan Difteri
Difteri dapat dicegah dengan imunisasi DPT, yaitu pemberian
vaksin difteri yang dikombinasikan dengan vaksin tetanus dan batuk rejan
(pertusis). Imunisasi DPT termasuk dalam imunisasi wajib bagi anak-anak
Indonesia. Pemberian vaksin ini dilakukan pada usia 2,3,4, dan 18 bulan,
serta pada usia 5 tahun.
Guna memberikan perlindungan yang optimal, vaksin sejeni DPT
(Tdap dan Td) akan diberikan pada rentang usia 10-12 tahun dan 18 tahun.
Khusus untuk vaksin Td, pemberian dilakukan setiap 10 tahun.
Bagi anak-anak berusia dibawah 7 tahun yang belum pernah
mendapat imunisasi DPT atau tidak mendapat imunisasi lengkap, dapat
diberikan imunisasi kejaran sesuai jadwal yang dianjurkan dokter anak.
Khusus bagi anak-anak yang sudah berusia 7 tahun keatas dan belum
mendapat imunisasi DPT, dapat diberikan vaksin Tdap.

B. Asuhan Keperawatan Pada Anak dengan Difteri


 Pengkajian
1. Identitas : dapat terjadi pada semua golongan umur, namun sering
dijumpai pada anak (usia 1-10 tahun).
2. Keluhan utama : Biasanya klien datang dengan keluhan kesulitan
bernafas pada waktu tidur, nyeri pada waktu makan, dan bengkak pada
tenggorokan/leher.
3. Riwayat kontak dengan keluarga perlu dikaji.
4. Pemeriksaan fisik :
a. Pada difteri tonsil-taring terdapat malaise, suhu tubuh lebih dari
>38,9oC, terdapat pseudomembran pada tonsil dan dinding faring,
serta bullnek.
b. Pada difteri laring terdapat stridor, suara parau dan batuk kering.
Sementara pada obstruksi laring yang besar terdapat retraksi supra
sternal, subcostal dan supra clavicular.
c. Pada difteri hidung terdapat pilek ringan, secret hidung yang
serosan guinus sampai mukopurulen, dan membrane putih pada
septum nasi.
5. Pemeriksaan laboratorium.
 Masalah
1. Diagnosis medis : dugaan (suspect) difteri.
2. Masalah yang sering terjadi :
a. Sesak nafas.
b. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi.
c. Risiko terjadi komplikasi (obstruksi jalan nafas atau miokarditis).
 Rencana Tindakan
Apabila menjumpai anak dengan data-data yang mengarah pada
penyakit difteri, maka anak perlu segera dirujuk ke dokter atau rumah sakit
agar mendapatkan diagnosa yang pasti dan penanganan yang benar. Untuk
anak yang dirawat dirumah sakit, perencanaan yang bisa dilaksanakan
sesuai dengan masalahnya adalah :
1. Sesak nafas, tindakan yang diperlukan adalah :
a. Monitor pola nafas yang meliputi irama pernafasan, penggunaan
otot-otot bantu nafas, suara nafas dan frekuensi.
b. Monitor pada tanda-tanda vital lainnya (suhu, nadi, tekanan darah,
kesadaran)
c. Berikan oksigen sesuai advis (2-4 Lt/menit). Apabila anak masih
bayi, atur kepala dengan posisi ekstensi.
d. Atur posisi tidur pasien (kepala lebih tinggi).
e. Jaga kelembapan udara dengan menggunakan rebulizer apabila
perlu.
2. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi :
a. Berilah diet TKTP sesuai dengan kondisi pasien.
b. Berilah penjelasan mengenai pentingnya nutrisi yang mencukupi.
c. Libatkan orang tua dalam pemberian makan.
d. Aturlah pemberian makanan dalam porsi yang sedikit tapi sering.
e. Timbanglah berat badan setiap hari.
3. Risiko terjadi komplikasi :
a. Observasi tanda-tanda infeksi dan tanda-tanda obstruksi jalan nafas
tiap 2 jam atau sesuai dengan kebutuhan.
b. Anjurkan istirahat mutlak selama 10-14 hari.
c. Lakukan pemeriksaan ECG (sesuai kebutuhan).
d. Kolaborasi pemberian ADS sedini mungkin.
e. Kolaborasi pemberian antibiotik.

 Dampak Terhadap Keluarga Dengan Anak Yang Sakit Dalam


Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia
1. Terhambatnya dalam membantu anak untuk bersosialisasi.
2. Terhambatnya pembagian waktu untuk individu, pasangan, dan anak.
3. Terhambatnya kegiatan dan waktu untuk stimulasi tumbuh kembang.
4. Terhambatnya dalam pemenuhan kebutuhan dan biaya kehidupan yang
semakin meningkat, termasuk kebutuhan untuk meningkatkan
kesehatan anggota keluarga.
5. Mengalami perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan
6. Mengalami defisit perawatan diri
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Sistem respirasi adalah salah satu sistem yang berperan vital dalam tubuh
manusia, sistem respirasi berfungsi untuk pertukaran udara yang mengandung
oksigen dan karbondioksida, yang kemudian akan diteruskan oleh sistem
kardiovaskular untuk penyebarannya dalam tubuh. Sebagai salah satu sistem yang
sangat banyak perannya dalam tubuh, sistem respirasi harus dijaga agar tidak
mengalami gangguan. Seorang perawat yang merupakan tenaga kesehatan yang
berinteraksi paling lama dengan pasien harus mampu melakukan asuhan
keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem respirasi. Oleh karena itu
perawat harus memahami semua diagnosa yang berhubungan dengan gangguan
sistem respirasi.

Proses keperawatan, atau yang dikenal dengan urutan pemberian asuhan


keperawatan terdiri dari proses pengkajian, diagnose keperawatan, perencanaan
atau intervensi, implementasi dan yang terakhir adalah evaluasi. Asuhan
keperawatan tidak dapat berjalan tanpa adanya keluhan atau data-data dari pasien,
sehingga sebelum proses pengkajian yang dilakukan adalah anamnesa
(wawancara) kepada klien agar didapatkan data yang bisa digunakan untuk
melakukan pengkajian. Pengkajian sistem respirasi meliputi pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan diagnostic, pemeriksaan fisik sering disebut IPPA (Ispeksi, Palpasi,
Perkusi dan Auskultasi), keempat elemen ini harus dilaksanakan semua dan
dengan sistimatis agar tidak ada yang tertinggal. Pemeriksaan diagnostic yang
dilakukan adalah pemeriksaan morfologi dan fisiologinya, agar diketahui secara
jelas bagian mana yang mengalami gangguan, namun pemeriksaan diagnostic
membutuhkan aktivitas kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain.

B. Saran

Setiap penyakit mempunyai proses penyembuhan dan perawatan yang


berbeda-beda salah satunya adalah gangguan pada sistem respirasi. Agar tidak
terjadi kesalahan dalam proses perawatan terhadap pasien dan agar tidak
menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan maka perawat perlu memahami dan
menerapkan konsep Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem
respirasi.
DAFTAR PUSTAKA

Ariani, fruriolina., Tampubolon, anastasia, Onny. 2009. Rencana Asuhan


Keperawatan Pediatrik ED.3. Jakarta: Kedokteran EGC

Nursalam., Susilaningrum, R., Utami, S. 2005. Asuhan Keperawatan Bayi dan


Anak (Untuk Perawat dan Bidan). Jakarta : Salemba Medika
Dikutip Pada Tanggal 19 Maret 2020
https://www.academia.edu/11694465/TB_Paru_Pada_Anak (Online)
Dikutip Pada Tanggal 19 Maret 2020
https://www.academia.edu/10017293/ASKEP_ANAK_DENGAN_ISPA(online)

Anda mungkin juga menyukai