Anda di halaman 1dari 41

DINAMIKA HUBUNGAN POLITIK CHINA DAN JEPANG

PASCA MENINGKATNYA MILITER CHINA


Makalah
(Ditujukan untuk memenuhi salah tugas mata kuliah Kebijakan Luar
Negeri dan Keamanan China yang diampuh oleh :
Pradono Budi Saputro, S.Hum., M. Si)

Disusun oleh :

Ali Hamzah 051601503125015


Danu Buntaran 051601503125011
Seyqa Anggraini 051601503125014
Roro Pangesti 051601503125032
Yursyalina Rahma 051601503125033

ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

selesainya makalah yang menjadi tugas kelompok Kebijakan Luar Negeri dan

Keamanan China dengan judul “Dinamika Hubungan Politik China Dan

Jepang Pasca Meningkatnya Militer China.” Atas dukungan moral, waktu dan

materi yang diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka kami mengucapkan

banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami selama

pembuatan makalah ini berlangsung sehingga terealisasikanlah makalah ini.

Kami berharap makalah ini dapat berguna dan bermanfaat untuk

menambah wawasan serta pengetahuan kita. Kami juga menyadari sepenuhnya

bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan belumlah sempurna. Oleh

karena itu, saran dan kritik yang membangun dari rekan-rekan sangat dibutuhkan

untuk penyempurnaan makalah ini.

Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah sederhana ini

dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.

Jakarta, 10 Oktober 2019

Penyusun (Kelompok 3)

ii
ABSTRAK

Hubungan bilateral antara China dan Jepang menjadi salah satu faktor

kunci yang menentukan stabilitas keamanan di Asia Timur. Faktor historis

menjadi persaingan awal kedua negara dalam dinamika hubungan mereka.

Persaingan adalah pola yang mencirikan hubungan antara China dan Jepang

sehingga cenderung mencurigai satu sama lain, merasa terancam satu sama lain.

Oleh karena itu, kedua negara berusaha memperkuat dan meningkatkan militer

mereka untuk mengantisipasi ancaman yang muncul dari masing-masing negara.

Selain itu, China saat ini sedang meningkatkan kekuatan angkatan bersenjatanya,

yang secara otomatis memicu Jepang untuk melakukan hal yang sama. China

menaikkan anggaran militernya setiap tahun pada umumnya untuk menjaga

keamanan nasional. Kondisi ini kemudian secara langsung atau tidak langsung

mendorong kedua negara dalam keadaan security dilemma yang memicu

perlombaan senjata.

Kata Kunci : Hubungan Bilateral, China, Jepang, Stabilitas Keamanan.

iii
ABSTRACT

Bilateral relations between China and Japan are one of the key factors

determining security stability in East Asia. Historical factors became the initial

competition between the two countries in the dynamics of their relationship.

Competition is a pattern that characterizes relations between China and Japan so

they tend to suspect each other, feel threatened with each other. Therefore, the

two countries try to strengthen and enhance their military to anticipate the threats

that arise from each country. In addition, China is currently increasing the

strength of its armed forces, which automatically triggers Japan to do the same.

China increases its military budget every year in general to maintain national

security. This condition then directly or indirectly pushed the two countries in a

state of security dilemma that triggered an arms race.

Keywords : Bilateral Relations, China, Japan, Security Stability.

iv
DAFTAR ISI
Dinamika Hubungan Politik China dan Jepang Pasca Meningkatnya Militer
China........................................................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
ABSTRAK.............................................................................................................iii
ABSTRACT...........................................................................................................iv
DAFTAR ISI...........................................................................................................v
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Pertanyaan Penelitian....................................................................................4
1.3 Tujuan Penelitian...........................................................................................4
1.4 Manfaat Penelitian.........................................................................................4
1.5 Sistematika Penulisan....................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................7
2.1 Penelitian Terdahulu......................................................................................7
2.2 Landasan Teori..............................................................................................8
2.3 Landasan Konseptual...................................................................................10
2.4 Alur Pemikiran.............................................................................................11
BAB III METODOLOGI PENELITIAN..........................................................12
3.1 Pendekatan Penelitian..................................................................................12
3.2 Jenis Penelitian............................................................................................12
3.3 Unit Analisis................................................................................................12
3.4 Teknik Pengumpulan Data..........................................................................12
3.5 Teknik Analisis Data...................................................................................13
3.6 Teknik Keabsahan Data...............................................................................13
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN.............................................................15
4.1. Peningkatan Militer China...........................................................................15
4.1.1 People’s Liberation Army (PLA).......................................................16
4.1.2 Industri Militer China.........................................................................18
4.2 Dampak Peningkatan Kekuatan Militer China di Kawasan Asia Timur.....20
4.3 Hubungan Politik China dan Jepang...........................................................21
4.4 Kondisi Hubungan Bilateral China-Jepang Pasca Peningkatan Militer China
.....................................................................................................................24
4.4.1 Kemajuan Militer China dan Kekhawatiran Jepang...........................25
4.4.2 Menurunnya Intensitas Kerjasama China dan Jepang........................27

v
BAB V PENUTUP................................................................................................30
5.1 Kesimpulan..................................................................................................30
5.2 Saran............................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................32

vi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1.1 Defile Pasukan ……………………........................... 17

vii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Agenda modernisasi militer China berakar dari Reformasi Ekonomi dan

Keterbukaan (Gaige Kaifang) sejak masa pemerintahan Deng Xiaoping,

dimana saat itu telah diwacanakan perombakan besar-besaran untuk China

yang disebut sebagai “The Four Modernization”, dan di dalamnya meliputi

modernisasi di bidang pertanian, industri, teknologi, dan pertahanan.

Modernisasi militer berada di urutan terakhir karena ketika modernisasi di

bidang pertanian, industri, dan teknologi telah tercapai, maka akan tersedia

kekuatan finansial dan teknologi yang cukup bagi China untuk

mengembangkan sektor militernya.

Faktor-faktor yang mendorong China memodernisasi militernya, pertama

berawal dari kegusaran para pemimpin militer China ketika menyaksikan

kekuatan militer berteknologi tinggi yang dimiliki militer AS selama Perang

Teluk 1991, kondisi tersebut menunjukkan besarnya kesenjangan antara

militer modern AS dengan kapasitas militer yang dimiliki China. Kedua, di

awal tahun 1990-an reformasi ekonomi China menunjukkan perkembangan

yang positif dan menjanjikan peningkatan potensi ekonomi negara, hal

tersebut dapat menjadi sumber utama bagi pemerintah untuk mengalokasikan

anggaran pengembangan militernya. Ketiga, dengan berakhirnya Perang

Dingin dan seiring berakhirnya ancaman Soviet, China mulai merevisi strategi

1
keamanan mereka untuk menghindari “People’s War”, dan lebih

berkonsentrasi ke arah kemungkinan ancaman keamanan di wilayah-wilayah

perbatasan China [ CITATION Goh08 \l 1033 ].

Selain itu China juga memiliki kekhawatiran mengenai potensi konflik

karena beberapa masalah sengketa batas wilayah dengan negara-negara

tetangganya di kawasan. Kemudian mengenai hubunganya dengan Jepang,

pengalaman sejarah masa lalu antara kedua negara pada masa Perang Dunia

membuat China khawatir Jepang akan kembali muncul menjadi kekuatan

utama di Asia Pasifik, baik dari segi ekonomi maupun militer. Meskipun

kekuatan militer Jepang bersifat pasif, aliansi keamanannya dengan Amerika

Serikat memberikan kemampuan pertahanan yang cukup kuat bagi Jepang,

dan akan menghambat laju pertumbuhan kekuatan China jika ingin

mendominasi di Kawasan Asia Timur [ CITATION Rez15 \l 1033 ].

Asumsi-asumsi tersebut melatarbelakangi keputusan China meningkatkan

anggarannya untuk pengembangan militer dalam jumlah yang cukup besar dan

terus naik secara bertahap dari tahun ke tahun. Menurut Jasen Castillo, negara

selalu memiliki sifat ambisius, dan pertumbuhan ekonomi berpengaruh

terhadap makin tingginya ambisi kebijakan luar negeri, yang kemudian

diterjemahkan ke peningkatan belanja militer. Kekayaan ekonomi negara

dapat menjadi faktor kebijakan negara dalam menentukan anggaran belanja

militer [ CITATION Cas01 \l 1033 ]. Kesuksesan di bidang industri dan kuatnya

perekonomian China membuat modernisasi militer menjadi konsekuensi untuk

meningkatkan kekuatan militernya sebagai benteng pertahanan, untuk

2
menjamin keamanan internal dan eksternal bagi kelangsungan aktifitas

ekonominya.

Pada tahun 2000 anggaran militer China hanya sebesar US$14,6 miliar,

kemudian mulai ditingkatkan hingga US$17 miliar lebih besar dibandingkan

Korea Selatan dan Taiwan pada tahun 2001, disebabkan adanya peristiwa

konflik Kosovo dimana Kedutaan China di Belgrade dibom oleh AS dan

situasi politik dunia yang tidak menentu saat itu. Anggaran tersebut terus

dinaikkan hingga China mampu meningkatkan presentase anggaran militernya

di atas 10% setiap tahunnya [ CITATION Rez15 \l 1033 ]. Di tahun 2015,

pemerintah China mengumumkan kenaikan anggaran militernya telah

mencapai angka sekitar US$145 miliar, membuat China menjadi negara

dengan jumlah belanja militer terbesar kedua setelah AS [ CITATION Ric15 \l

1033 ].

Hubungan China-Jepang sendiri tergolong rumit, dua negara ini memiliki

hubungan bilateral yang cukup erat khususnya di bidang ekonomi. Di sisi lain

hubungan tersebut juga diwarnai berbagai potensi-potensi konflik dan

buruknya hubungan politik yang sudah terjadi sejak lama. Terutama karena

isu-isu sensitif yang saling menyinggung kedua negara seperti isu sejarah

perang di masa lalu dan beberapa isu sengketa wilayah yang belum

terselesaikan, seperti kasus sengketa wilayah di Laut China Selatan dan

Kepulauan Senkaku/Diaoyu. Hal ini membuat tensi hubungan bilateral kedua

negara tidak stabil. Peningkatan kekuatan militer China ini dapat menjadi isu

3
baru yang akan memicu ketegangan di antara China-Jepang dan memperburuk

hubungan diplomatik kedua negara.

1.2 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang sudah dijelaskan di

latar belakang maka penulis memiliki pertanyaan penelitian yaitu :

“Bagaimana Dinamika Hubungan Politik China Dan Jepang Pasca

Meningkatnya Militer China?”

1.3 Tujuan Penelitian

a) Untuk menjelaskan tentang upaya peningkatan militer China.

b) Untuk mengetahui seperti apa dinamika hubungan diplomatik China dan


Jepang pasca adanya peningkatan militer China.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian dibagi atas dua hal yang terdiri dari manfaat teoritis

dan manfaat praktis yang diuraikan sebagai berikut :

1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis penulis berharap penelitian ini dapat memberikan

sumbangan pemikiran dan informasi bagi mahasiswa Ilmu Hubungan

Internasional serta penelitian masalah-masalah internasional mengenai

isu peningkatan militer China, dan dinamika hubungan diplomatik China

dan Jepang, khususnya dalam kajian hubungan internasional Asia Timur

Laut.

4
1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan rujukan bagi penentu

kebijakan dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut

pertahanan dan keamanan, khususnya dalam membangun strategi

keamanan nasional dan regional, serta hubungan bilateral antar negara.

1.5 Sistematika Penulisan

BAB I: Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

1.2 Pertanyaan Penelitian

1.3 Tujuan Penelitian

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

1.4.2 Manfaat Praktis

1.5 Sistematika Penulisan

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

2.2. Landasan Teori

2.3. Landasan Konseptual

5
2.4. Alur Pemikiran

BAB III: METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Pendekatan Penelitian

3.2. Jenis Penelitian

3.3. Unit Analisis

3.4. Teknik Pengumpulan Data

3.5. Teknik Analisis Data

3.6. Teknik Keabsahan Data

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Peningkatan Militer China

4.1.1 People’s Liberation Army (PLA)

4.1.2 Industri Militer China

4.2. Dampak Peningkatan Kekuatan Militer China di Kawasan Asia

Timur

4.3. Hubungan Politik China dan Jepang

4.4. Kondisi Hubungan Bilateral China dan Jepang Pasca Peningkatan

Militer China

4.4.1 Kemajuan Militer China dan Kekhawatiran Jepang

4.4.2 Menurunnya Intensitas Kerjasama China dan Jepang

BAB V: PENUTUP

5.1 Kesimpulan

.2 Saran

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Dalam penelitian ini, penulis mempelajari studi-studi terdahulu mengenai

analisa-analisa yang membahas topik tentang Peningkatan Militer China guna

menghindari kesamaan dalam penulisan dan cara mengamati fenomena

internasional. Beberapa tulisan yang telah dianalisa yaitu:

Penelitian dari Adi Joko Purwanto, tahun 2010, yang berjudul

“Peningkatan Anggaran Militer China dan Implikasinya Terhadap

Keamanan Di Asia Timur” yang melihat bahwa peningkatan anggaran

belanja militer China dipengaruhi oleh faktor internal yaitu pertumbuhan

ekonomi dan program modernisasi militer China, serta faktor eksternal yaitu

adanya ancaman stabilitas keamanan di kawasan Asia Timur. Peneliti juga

melihat dampak dari adanya kebijakan peningkatan anggaran militer China

tidak cukup signifikan dalam mempengaruhi konstelasi keamanan di Asia

Timur, justru hal tersebut lebih berdampak pada berlanjutnya rivalitas

7
hubungan antara Jepang dan China yang diistilahkan sebagai “Perang dingin

Asia Timur”.

Penelitian yang dilakukan Simela Victor Muhamad, tahun 2009, yang

berjudul “Pengembangan Kekuatan Militer China Dan Dampaknya

Terhadap Kawasan Asia Timur”, menjelaskan bahwa pengembangan

kekuatan militer China merupakan suatu keharusan guna menjaga kedaulatan

negara dan keamanan nasionalnya, meskipun hal tersebut menjadi perhatian

serius negara-negara tetangganya di Asia Timur karena dianggap dapat

mengancam keamanan kawasan. Kondisi kawasan Asia Timur sangat

potensial untuk memicu terjadinya konflik, sehingga perlu dibangun sikap

saling percaya antar negara-negara di dalamnya.

Penelitian oleh Vidia Indria Wati, tahun 2013, yang berjudul “Kebijakan

Modernisasi Militer China Era Hu Jintao (2003-2012)” dimana penulis

meneliti tentang latar belakang modernisasi militer di Era Hu Jintao dan

bentuk-bentuk kebijakan modernisasi militernya. Modernisasi militer China di

era Hu Jintao dilatarbelakangi keinginan Hu Jintao agar militer China mampu

memenangkan konflik teknologi tinggi, serta aspek rezim keamanan dan aspek

integritas teritorial. Kebijakan modernisasi militer era Hu Jintao diwujudkan

melalui kerjasama militer dengan negara-negara di kawasan, melakukan

latihan bersama militer PBB, serta memperkenalkan doktrin militer baru yaitu

"local wars under condition of informalization".

8
Penelitian dari Risco Valentino, tahun 2014, yang berjudul “Pengaruh

Modernisasi Militer China terhadap Peningkatan Aliansi Jepang dan

Amerika Serikat”, memperlihatkan bahwa kemajuan China dari aspek

ekonomi dan militer ternyata menimbulkan persaingan dan memunculkan

faktor ancaman bagi Jepang di kawasan. Sebagai respon, Jepang melakukan

kerjasama aliansi keamanan dengan AS untuk mengimbangi kekuatan China.

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Security Dilemma

Robert Jervis secara sederhana menyebutkan bahwa security

dilemma adalah kondisi ketika satu negara meningkatkan keamanannya

maka akan membuat kondisi keamanan negara lain menurun [ CITATION

Art07 \l 1033 ]. Apabila satu negara berusaha meningkatkan kapabilitas

militernya maka akan dianggap melemahkan keamanan negara lain. Baik

untuk tujuan ofensif maupun hanya defensif, peningkatan kekuatan

militer otomatis akan memunculkan kecurigaan dan perasaan insecure

bagi negara tetangganya. Maksud atau intensi dari negara lain akan

menjadi sangat sulit dibaca dan diperkirakan karena pengaruh dari

security dilemma.

Security dilemma akan muncul diantara dua negara ketika salah

satu mengambil tindakan defensif untuk melindungi dirinya sendiri,

tetapi hal tersebut juga dapat dibaca sebagai tindakan offensive oleh

9
negara lain, atau dengan kata lain salah membaca intensi tersebut

(mispercieves/misreads).

Peningkatkan kekuatan militer China melalui program modernisasi

militernya bertujuan meningkatkan pertahanan dan keamanan

nasionalnya. Di sisi lain, peningkatan kekuatan tersebut beresiko

melemahkan keamanan negara-negara tetangganya. Selain karena bisa

memunculkan perasaan terancam dan meningkatkan tensi hubungan

antar negara, hal tersebut bisa memicu potensi konflik yang lebih luas.

Mengingat hubungan China dengan negara-negara di Asia Timur lainnya

yang tidak stabil karena beberapa permasalahan sengketa wilayah.

Sehingga peningkatan kekuatan militer China juga akan dianggap

mengancam karena negara-negara tersebut karena khawatir China akan

memanfaatkannya untuk tujuan offensive.

2.3 Landasan Konseptual

2.3.1 Konsep Security Dilemma

Menurut Ken Booth dan Nicholas Wheeler, dalam konsep security

dilemma ada dua dilemma yang saling berhubungan yang dialami oleh

negara yang merasa terancam. Pertama, dilemma interpretasi, yaitu

dilemma dalam memahami tujuan dan kemampuan negara lain. Kedua,

dilemma respon, yaitu kesulitan dalam memaknai kebijakan militer

negara lain, apakah bertujuan untuk pertahanannya (defensive) atau

untuk melakukan penyerangan (offensive) [ CITATION Res15 \l 1033 ].

10
Jepang sebagai salah satu negara tetangga terdekat China,

mengalami security dilemma dengan adanya modernisasi militer yang

dilakukan China. Meskipun China mengatakan bahwa hal tersebut untuk

meningkatkan pertahanannya tapi Jepang tidak bisa memastikan hal

tersebut. Sulitnya membaca intensi China yang sesungguhnya mengenai

peningkatan kekuatannya memunculkan kecurigaan (distrust) Jepang

mengenai tujuan China yang sebenarnya dalam mengembangkan

kekuatannya, dan hal tersebut dianggap sebagai potensi ancaman bagi

Jepang. Apalagi konflik-konflik yang telah ada belum sepenuhnya

terselesaikan, sehingga menambah kekhawatiran Jepang jika sewaktu-

waktu kekuatan militer China yang massif tersebut akan digunakan

untuk menyerangnya, meskipun kondisi saat ini belum mengindikasikan

adanya kemungkinan tersebut. Kesalahan persepsi tersebut sangat

berpengaruh terhadap kondisi hubungan diplomatik kedua negara,

karena respon Jepang kemudian adalah meningkatkan kewaspadaan dan

bersikap siaga terhadap China.

2.4 Alur Pemikiran

Peningkatan
Militer China

China Jepang

11
Arm Build Up dan Jepang insecure dan
peningkatan anggaran meningkatkan
militer pertahanannya

Hubungan Bilateral
China-Jepang menurun

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Pendekatan Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian kualitatif. penulis hanya menggunakan konsep Security Dilemma

sebagai pendekatan.

3.2 Jenis Penelitian

12
Jenis penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini adalah metode

penelitian deskriptif, yang bertujuan untuk menggambarkan secara terperinci

tentang fenomena yang terjadi dan menggambarkan gejala atau variabel yang

dijelaskan secara sistematis, faktual dan aktual mengenai fakta-fakta, sifat dan

hubungan antara fenomena yang diamati. Peneliti melakukan pengamatan

terhadap hubungan antara variabel dependen dan independen dalam penelitian.

3.3 Unit Analisis

Pada penelitian “Dinamika Hubungan Politik China dan Jepang Pasca

Meningkatnya Militer China” ini unit eksplanasinya adalah meningkatnya

militer China, dan unit analisanya adalah dinamika hubungan China dan

epang. Variabel ‘meningkatnya militer China’ berfungsi untuk menjelaskan

atau mempengaruhi variabel ‘dinamika hubungan politik China dan Jepang’

yang posisinya adalah dijelaskan atau dipengaruhi variabel independen.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan metode studi pustaka, yaitu teknik

pengumpulan data yang dilakukan dengan mengadakan penelitian kepustakaan

dengan mencari, mengumpulkan dan mempelajari serta meneliti data-data

yang terkumpul melalui buku-buku, ebook atau jurnal, serta sumber elektronik

yang relevan dengan pembahasan.

3.5 Teknik Analisis Data

13
Menurut Miles dan Huberman, kegiatan analisis terdiri dari tiga alur

kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan

penarikan kesimpulan atau verifikasi [ CITATION Sug11 \l 1033 ]. Dalam

menganalisa penelitian ini penulis menggunakan pola induksi dengan tiga

tahapan, yaitu:

1) Pengumpulan data. Tahapan pertama adalah mengumpulkan data-data

yang berkaitan dengan fenomena yang diteliti.

2) Pengolahan. Pada tahapan ini peneliti mengolah data untuk dipilah

pilah mana yang cocok dan sesuai dengan kategori yang dibutuhkan

oleh masing-masing sub bab penelitian.

3) Analisa. Tahapan terakhir ini menjadikan data yang mentah dan sudah

diolah tadi untuk kemudian dianalisa dan diinterpretasikan oleh

peneliti sehingga mempengaruhi proses pembentukan hasil akhir riset.

3.6 Teknik Keabsahan Data

Keikutsertaan penulis sangat menentukan dalam pengumpulan data.

Setelah itu melakukan penelitian dengan mencari secara konsisten dengan

berbagai cara dalam kaitannya dengan proses analisis. Terakhir,

memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data untuk pengecekan atau sebagai

pembanding terhadap data itu dan teknik ini digunakan dengan melalui

pemeriksaan sumber-sumber lainnya.

14
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Peningkatan Militer China

Alokasi anggaran pertahanan yang besar dan terus meningkat tiap

tahunnya bertujuan untuk mendukung perombakan besar-besaran angkatan

bersenjata demi mewujudkan kekuatan militer China baru yang berbasis

15
teknologi modern. Untuk itu, alokasi anggaran militer China banyak

diutamakan untuk pembiayaan upgrading alutsista yang termasuk di

dalamnya pembelian alutsista generasi terbaru ataupun merenovasi alutsista

lama yang masih layak pakai dengan penerapan sistem dan teknologi yang

lebih modern, pendanaan program Research & Development (R&D) dan

transfer teknologi dengan negara lain yang sangat penting untuk

mempersiapkan PLA menjadi angkatan bersenjata yang kuat dan canggih

dengan terus mengikuti perkembangan teknologi terbaru, pengembangan

industri militer China yang beberapa waktu belakangan telah menghasilkan

banyak alutsista yang mulai banyak diminati negara-negara lain di Asia, dan

lain-lain.

China menjalankan program modernisasi militer sebagai upaya untuk terus

meningkatkan kemampuan PLA. Dengan program yang baru, pengembangan

PLA lebih difokuskan kepada kekuatan militer berbasis teknologi dan bukan

lagi mengutamakan kuantitas atau banyaknya jumlah personil. Alutsista yang

sudah usang juga mulai diganti dan diperbarui secara bertahap, prajurit-

prajurit PLA juga dilatih menggunakan metode baru yang banyak

berhubungan dengan teknologi informasi. Pengadaan dan penerapan sistem

modern di pasukan darat, udara, laut, dan missile forces, telah membantu

meningkatkan efektivitas militer PLA secara keseluruhan, terutama dalam

konteks doktrin militer perang lokal di bawah kondisi teknologi informasi.

4.1.1 People’s Liberation Army (PLA)

16
Sejak dimulainya program modernisasi militer di tahun 1990an,

China telah melakukan perombakan besar-besaran dengan

memperbaiki banyak sektor di dalam organisasi PLA sendiri.

Sebelumnya, PLA dilihat sebagai 'junkyard army' karena peralatan dan

teknologinya termasuk usang jika dibandingkan dengan negara-negara

lain. Belum lagi banyaknya permasalahan-permasalahan internal

seperti masih kurangnya kualitas personel, minimnya teknologi militer

yang dimiliki, dan kasus korupsi yang masif. Struktur organisasi PLA

dirombak dan banyak hal yang direvisi terkait doktrin dan operasional

PLA serta proses perekrutan personilnya.

Dalam perkembangannya, PLA melihat bahwa kualitas lebih

penting dibandingkan kuantitas. Oleh karena itu demi meningkatkan

kualitas pasukan militernya, secara konsisten PLA mulai mengurangi

jumlah personilnya. Selain pengurangan jumlah personil, PLA juga

melakukan pembaruan alutsista dan teknologi-teknologi. Hal tersebut

dilakukan juga untuk menunjang peningkatan kemampuan prajurit,

yang diimbangi dengan pendidikan dan pelatihan menggunakan

alutsista yang dilengkapi teknologi modern tersebut.

Seiring meningkatnya anggaran militer dan didukung sumber daya

yang substansial, serta tujuannya untuk memperkuat pertahanan

nasional, selama periode dua dekade lebih China telah berhasil

mengubah imej PLA menjadi pasukan dengan kekuatan militer yang

profesional dan kompeten, dan mampu menjadi salah satu yang terkuat

17
di dunia. Mengacu pada doktrin dan strategi militernya untuk menjadi

pasukan militer yang dibekali dengan teknologi canggih, PLA terus

berupaya membekali diri dengan berbagai alutsista yang kuat dan

berteknologi canggih. Pencapaian tersebut tentunya ditandai dengan

terus bertambahnya jumlah kendaraan tempur dan persenjataan yang

dimiliki PLA, serta inovasi-inovasi yang terus dilakukan untuk

meningkatkan kapabilitas alutsistanya.

Gambar 4.1.1: Defile Pasukan [ CITATION Tri181 \l 1033 ]

4.1.2 Industri Militer China

Beberapa faktor menunjukkan bahwa China punya kemampuan

untuk mendanai kebutuhan pembangunan militernya menjadi lebih

maju dan modern, khususnya karena kuatnya pertumbuhan ekonomi

dan aggaran militer yang terus ditingkatkan. Selama beberapa dekade

terakhir, ekonomi China tidak hanya mengalami pertumbuhan yang

sangat cepat, tapi juga mengalami perubahan. Besarnya arus FDI,

seperti impor besar-besaran mesin dan peralatan modern, dan

peningkatan SDM yang drastis karena perbaikan sistem pendidikan

China dan sumbangsih mahasiswa-mahasiswa China yang belajar di

luar negeri, memberikan kontribusi pada terciptanya sejumlah sektor

industri modern, terutama di bidang teknologi informasi. Beberapa

18
cabang industri China juga sudah mulai mengembangkan sarana

teknologi untuk menghasilkan persenjataan modern.

China sebenarnya sejak lama sudah memiliki beberapa perusahaan

pertahanan sendiri seperti Chengdu Aircraft Industry Corp., Changhe

Aircraft Industry Corp., China Nanchang Aircraft Manufacturing

Corp., dan Shenyang Aircraft Corp. Pada awalnya perusahaan-

perusahaan tersebut hanya berperan sebagai perusahaan pemegang

lisensi dari Uni Soviet untuk merakit pesawat tempur, merakit rudal,

misil, dan senapan buatan Uni Soviet. China kemudian dipercaya

untuk merakit pesawat-pesawat canggih dan diperbolehkan untuk

menjualnya di bawah ijin Uni Soviet. Selanjutnya, China mulai

dipercaya dan dibebaskan untuk melakukan pengembangan sendiri

terhadap teknologi-teknologi alutsista tersebut yang beberapa

diantaranya sukses mengungguli rancangan aslinya [ CITATION Efr13 \l

1033 ]. Proses alih teknologi tersebut dimanfaatkan China untuk

mempelajari banyak teknologi dan inovasi-inovasi yang berguna bagi

dasar pengembangan militernya sendiri.

Setelah lebih dari dua dekade mengeluarkan dana besar-besaran

untuk merombak total militernya, China melihat bahwa kemampuan

PLA di bidang teknologi militer sudah mumpuni untuk dapat

membangun industri militer sendiri, tujuannya adalah membebaskan

China dari ketergantungan pasokan alutsista dan teknologi militer dari

negara lain. Hal tersebut menjadi pilihan tepat bagi China, karena

19
selain untuk menutup besarnya anggaran pertahanan, dengan ekspor

alutsista yang dijalankan industrinya sendiri dapat sekaligus

memberikan keuntungan finansial.

China sangat memperhatikan inovasi teknologi militernya,

meskipun pada awalnya hanya melakukan inovasi terhadap teknologi-

teknologi bekas pasokan Uni Soviet dan beberapa yang pernah dibeli

dari Rusia, tapi kemudian China berhasil melakukan pengembangan

sendiri dan menciptakan beberapa teknologi persenjataan baru yang

lebih canggih. China membangun kompleks industri militer sendiri

dengan melibatkan pihak swasta dalam bidang pendanaan dan

pengembangan riset-teknologi. China berusaha mendorong investasi

swasta dan menarik kontraktor-kontraktor terkemuka di bidang

pertahanan yang tidak hanya berasal dari dalam negeri tapi juga luar

negeri.

4.2 Dampak Peningkatan Kekuatan Militer China di Kawasan Asia Timur

Perkembangan program modernisasi militer China yang sangat pesat telah

mendapatkan perhatian serius dari negara-negara tetangganya, khususnya

karena peningkatan anggaran militer China yang terus bertambah selama

beberapa tahun terakhir. Ada beberapa pendapat yang mengatakan

modernisasi militer (arms build up) China dapat memicu perlombaan senjata

(arms race) di kawasan Asia Timur, yang rawan miskalkulasi dan dapat

memicu konflik bersenjata. Namun menurut Felix K. Chang meskipun semua

perlombaan senjata termasuk pembangunan kekuatan militer, tidak berarti

20
semua pembangunan kekuatan militer adalah perlombaan senjata. Perubahan

lingkungan geopolitik membuat China memodernisasi militernya dengan

sangat pesat dan masih belum terkejar oleh kemampuan militer negara-negara

Asia Timur lainnya. Ketidakseimbangan kekuatan tersebut menurut Chang

dapat meningkatkan potensi konflik bersenjata, namun akan dapat diredam

jika negara-negara Asia Timur lainnya segera mengikuti langkah China untuk

meningkatkan kekuatan militernya agar berimbang [ CITATION Fel13 \l 1033 ].

Melihat laju modernisasi China yang sedemikian pesatnya, tentu

negaranegara tetangganya akan mempersiapkan segala kemungkinan terburuk

apabila suatu saat China berubah haluan menggunakan kekuatan militernya

dari yang awalnya untuk tujuan defensif menjadi ofensif. Misalnya seperti apa

yang dilakukan Korea Utara dengan program pengembangan senjata nuklir

dan teknologi rudalnya, dan Taiwan yang juga mulai meningkatkan

pertahanan dalam negerinya dengan mempertimbangkan juga permasalahan

dengan China yang tidak kunjung selesai, karena tidak adanya kesepakatan

untuk saling mengendurkan tensi mengenai status Taiwan yang masih

ditentang China. Faktor-faktor itulah yang mempengaruhi stabilitas keamanan

dan perdamaian di Asia Timur, dan membuat kondisi keamanan di kawasan

tidak kondusif.

Jepang yang juga mengalami beberapa permasalahan terkait sengketa

wilayah dengan China, menjadi negara yang paling memperhatikan

modernisasi militer China tersebut. Selain karena menganggap bahwa laporan

anggaran militer China tidak transparan, Jepang juga menilai peningkatan

21
kemampuan militer China sudah jauh melampaui apa yang dibutuhkan bagi

pertahanan dalam negeri China. Sehingga menimbulkan persepsi bahwa China

bermaksud menggunakan kekuatan militernya untuk aktivitas yang bersifat

ofensif.

4.3 Hubungan Politik China dan Jepang

Hubungan politik kedua negara digambarkan ‘dingin’ karena adanya

beberapa peristiwa yang membuat China dan Jepang sulit meningkatkan

kesepahaman dan kesepakatan bersama di bidang politik. Pada tahun 2006

hingga awal 2008 sempat ada upaya mencairkan ketegangan dari pemerintah

kedua negara dengan mengadakan aktivitas kunjungan diplomatik serta

mengkonsolidasikan hubungan bilateral untuk menyetujui beberapa perjanjian

kerjasama antara kedua negara. Pada tahun 2006 PM Jepang, Shinzo Abe,

mengadakan kunjungan resmi ke China yang menandai titik balik bagi

peningkatan dan pengembangan hubungan bilateral kedua negara. Pertemuan

kedua pemimpin negara tersebut menghasilkan kesepakatan untuk

membangun hubungan yang saling menguntungkan berdasarkan kepentingan

strategis umum dan untuk mewujudkan tujuan perdamaian, persahabatan,

kerjasama yang saling menguntungkan dan pembangunan umum.

Upaya peningkatan kesepahaman lainnya adalah program pertukaran

militer, yang bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan, dan untuk

meningkatkan transparansi dalam proses pengembangan militer. Sebelumnya

sejak tahun 1998 untuk pertama kalinya China dan Jepang sepakat untuk

saling mengadakan kunjungan melalui kapal-kapal angkatan laut, tapi

22
kesepakatan tersebut tertunda beberapa lama karena agenda kunjungan para

Perdana Menteri Jepang ke kuil Yasukuni yang ditentang keras oleh China.

Hingga pada tahun 2007 Perdana Menteri Jepang yang baru, Yasuo Fukuda,

akhirnya menyatakan tidak akan melakukan kunjungan ke kuil Yasukuni lagi,

maka kesepakatan program pertukaran militer mulai dijalankan kembali oleh

kedua negara.

Pada Mei tahun 2008 Presiden China Hu Jintao melakukan kunjungan

balasan untuk memenuhi undangan pemerintah Jepang. Selama empat hari

kunjungannya tersebut, selain bertemu Kaisar Jepang, Presiden Hu juga

berdialog dengan PM Yasuo Fukuda. Pertemuan tersebut menghasilkan

‘kesepakatan bersama (joint statement) 2008’ tentang ‘hubungan yang saling

menguntungkan berdasarkan kepentingan strategis bersama’, yang diantaranya

berisi kesepakatan untuk bersama-sama membangun dan menjaga perdamaian

di kawasan Asia Pasifik dan dunia, meningkatan kesepahaman, membangun

kepercayaan, dan memperluas kerjasama yang saling menguntungkan. Kedua

pihak meyakini bahwa mereka adalah partner yang bekerjasama dan bukan

merupakan ancaman bagi satu sama lain [ CITATION Min08 \l 1033 ].

Namun di akhir tahun 2008 muncul kasus sengketa Kepulauan Senkaku,

atau yang disebut China sebagai Diaoyu. Kasus ini dipicu oleh masuknya

kapal nelayan China ke wilayah yang kaya akan sumber minyak dan gas

tersebut secara agresif hingga memicu reaksi keras dari Jepang. Namun pada

Januari 2009, China memprotes Jepang karena Japan's Maritime Safety

23
Agency menempatkan kapal patroli dan helikopternya dengan tujuan untuk

memblokir kapal-kapal patroli China di wilayah yang disengketakan tersebut.

Di tahun 2010, kembali terjadi insiden di kawasan Kepulauan

Senkaku/Diaoyu yang berakibat pada semakin memburuknya hubungan

politik China dan Jepang. Armada angkatan laut China yang terdiri dari

kurang lebih 10 kapal perusak dan kapal selam dilaporkan berlayar melewati

wilayah Selatan kepulauan Jepang menuju Pasifik. Jepang mencurigai hal

tersebut merupakan strategi China untuk mengelilingi seluruh kepulauan

Jepang [ CITATION Mas12 \l 1033 ]. Setelah itu, terjadi kasus penahanan nelayan

China yang bertabrakan dengan kapal patroli Jepang di sekitar wilayah yang

menjadi sengketa tersebut. Kejadian itu memicu kemarahan China yang

menganggap bahwa kawasan tersebut termasuk teritorinya, sebaliknya Jepang

juga mengklaim wilayah tersebut masuk teritorinya melalui pernyataan

Menteri Luar Negeri Jepang, Seiji Maehara, bahwa:

"Kepulauan Senkaku adalah bagian perairan Jepang, tidak ada

konflik teritorial terkait kepulauan ini. Pemerintah Jepang akan

tetap tenang menghadapi situasi ini dan bertindak sesuai dengan

perundangan di Jepang [ CITATION Kuj10 \l 1033 ].”

Pola hubungan yang banyak dipengaruhi saling tidak percaya dan menaruh

curiga antar satu sama lain, membuat perkembangan hubungan politik China

dan Jepang semakin tertinggal. Semakin menurunnya tingkat kesepahaman

kedua negara juga membuat tensi hubungan tidak stabil dan akan mudah

memicu konflik. Hubungan China dan Jepang juga dianggap paling

24
mempengaruhi lingkungan keamanan kawasan Asia Timur, karena keduanya

termasuk negara-negara yang paling banyak berperan dalam sektor ekonomi

baik di kawasan maupun global. Kondisi hubungan politik yang sulit

diperbaiki akan mempengaruhi aktivitas perekonomian bilateral China dan

Jepang sendiri, maupun perekonomian di kawasan.

4.4 Kondisi Hubungan Bilateral China-Jepang Pasca Peningkatan Militer

China

Jepang dan China sama-sama berperan penting sebagai kekuatan ekonomi

terbesar di Asia Timur. Meskipun banyak mengalami konflik-konflik, China

dan Jepang sama-sama sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan terkait

kebijakan luar negeri yang menyangkut kedua belah pihak, utamanya jika

terkait masalah politik dan keamanan. Kedua negara menyadari jika hubungan

politiknya memburuk akan banyak mempengaruhi situasi politik dan aktivitas

ekonomi di kawasan, yang tentu juga akan merugikan keduanya. Di balik

hubungan politiknya yang buruk, di sisi lain China dan Jepang terus

menjalankan kerjasama ekonominya dengan baik dan menjadi mitra dagang

terbesar dengan nilai eksporimpor yang cukup tinggi.

Demi menjaga perdamaian di kawasan, kedua negara juga terus berupaya

menjaga hubungan kerjasama untuk menangani isu-isu keamanan baik di

kawasan Asia Timur maupun keamanan global, baik yang berupa ancaman

tradisional maupun non-tradisional. Selain karena penting untuk menjamin

keamanan aktivitas ekonomi bagi semua pihak, hal tersebut juga sesuai

25
dengan tujuan kedua negara untuk mulai berpartisipasi aktif dalam menjaga

perdamaian dan keamanan internasional.

4.4.1 Kemajuan Militer China dan Kekhawatiran Jepang

Kecemasan Jepang salah satunya ditunjukkan pada tahun 2008

ketika China mengumumkan kenaikan anggaran militernya sebesar

17,6% yang kemudian direspon oleh Kementerian Pertahanan Jepang

melalui pernyataan resminya yang menyerukan kepada China untuk

memperhatikan kecemasan masyarakat internasional dan mendesak

China agar meningkatkan transparansi tentang anggaran militernya

[ CITATION Res15 \l 1033 ].

Jepang juga terus mengikuti perkembangan program modernisasi

militer China. Japan's National Institute for Defense Studies sejak tahun

2011 telah mengeluarkan serangkaian laporan tahunan mengenai China,

yang berisi sejumlah skenario anggaran belanja militer China, dimana

salah satunya menunjukkan kemungkinan adanya upaya China untuk

mengungguli anggaran pertahanan AS di tahun 2030. Menurut laporan

tersebut, peningkatan anggaran militer China dari tahun 2001 sampai

2010 tercatat telah naik hingga sebesar 189%, sementara Jepang di

periode yang sama hanya naik 1,7% [ CITATION Cha12 \l 1033 ].

Sikap China yang cenderung memberikan informasi secara terbatas

tentang anggaran militernya membuat Jepang sulit memprediksi dan

mengukur kekuatan militer China yang sesungguhnya. Jepang melihat

26
ketidaktransparanan laporan anggaran tersebut bisa menimbulkan rawan

miskalkulasi, karena akan sulit memperhitungkan mengukur seberapa

jauh peningkatan kekuatan militer yang sudah dilakukan China, di sektor

mana China akan berinvestasi di baru teknologi, dan bagaimana China

menanggapi ancaman eksternal yang mungkin akan muncul.

Ketidakjelasan laporan anggaran tersebut mendapatkan reaksi dari

negara-negara tetangga, khususnya Jepang, yang terus mempertanyakan

transparansi anggaran militer China. Muncul kekhawatiran

pengembangan militer China yang pesat dan masif dapat mendatangkan

ancaman dan mengganggu stabilitas keamanan kawasan, karena akan

memicu ketegangan dan menimbulkan konflik di antara negara-negara

Asia Timur di waktu yang akan datang jika terjadi salah persepsi tentang

tujuan China meningkatkan kekuatannya.

4.4.2 Menurunnya Intensitas Kerjasama China dan Jepang

Pertemuan dan perundingan yang melibatkan China dan Jepang

selalu diharapkan dapat membawa perubahan yang baik bagi stabilitas

ekonomi dan keamanan kawasan. Namun hasil kesepakatan dari setiap

pertemuan tidak pernah secara jelas menyediakan solusi terhadap

penyelesaian masalah-masalah seperti sengketa wilayah yang sampai

melibatkan konfrontasi angkatan bersenjata antar kedua negara tersebut.

Menurunnya kesepahaman kedua negara yang ditandai dari

berkurangnya intensitas kerjasama dan tidak berjalannya beberapa

27
kesepakatan, akan berbanding lurus dengan meningkatnya tensi dan

konflik.

Pertumbuhan ekonomi China yang mempengaruhi implikasi

geopolitik juga menambah kekhawatiran. China telah berhasil

membuktikan bahwa pendapat mengenai ‘negara manapun tidak pernah

gagal untuk mengubah sumber daya ekonomi menjadi kemampuan

militer’. Selain itu perubahan arah kebijakan luar negeri China telah

berubah, dari yang sebelumnya ‘low profile’ berubah menjadi lebih

berfokus pada perubahan politik strategis dengan cara memproyeksikan

kemampuan militernya [ CITATION Mas12 \l 1033 ].

Selama ini Jepang tidak terlalu menanggapi peningkatan militer

China, tapi ketika hal tersebut mulai berbanding lurus dengan

meningkatnya agresifitas China, Jepang mulai menunjukkan

kekhawatirannya karena sikap China tersebut dinilai mulai mengancam.

Penanda adanya peningkatan agresifitas China ditunjukkan dengan

adanya beberapa aksi seperti secara tegas melakukan klaim kedaulatan di

wilayah yang disengketakan kedua negara, mengirimkan pasukan-

pasukan militernya untuk berpatroli di wilayah yang disengketakan, dan

juga secara terang-terangan melakukan aktifitas militer di wilayah yang

berdekatan dengan Jepang. Hal tersebut membuat Jepang memprotes

China karena pasukan angkatan udara dan angkatan lautnya yang terus

berlayar dan terbang di wilayah-wilayah yang berbatasan dengan Jepang

jumlahnya terus bertambah tiap tahunnya.

28
Pada awal 2009 Jepang menuduh China melanggar ‘Perjanjian Juni

2008’ yang berisi kesepakatan eksplorasi bersama ladang minyak dan

gas alam di wilayah Laut China Timur, China dianggap secara sepihak

mengebor di bawah garis demarkasi dan melakukan penggalian

cadangan yang seharusnya milik Jepang. Hal tersebut membuat

kesepakatan tersebut akhirnya tidak berjalan, ditambah dengan semakin

meningkatnya tensi karena wilayah tersebut masih menjadi sengketa,

sehingga kedua negara justru meningkatkan kewaspadaan dengan

menambah jumlah kapal patroli di wilayah tersebut.

Pada bulan September 2010 Jepang menangkap kapten kapal

pencari ikan China setelah terjadi tabrakan dengan kapal patroli penjaga

pantai Jepang. Hal itu memicu reaksi keras dari China, dan responnya

adalah China menangkap beberapa pengusaha Jepang, memblokir impor

dari Jepang, melarang ekspor sumber daya mineral ke Jepang,

membatalkan rencana kerjasama eksploitasi minyak dan gas di Laut

China Selatan [ CITATION Cha12 \l 1033 ]. Pada akhirnya China

menangguhkan aksi-aksi itu karena Jepang membebaskan kapten kapal

tersebut, namun kerjasama eksplorasi minyak dan gas akhirnya tetap

tidak berjalan.

Semakin memanasnya tensi di wilayah Senkaku/Diaoyu, membuat

Jepang memutuskan menarik sementara duta besarnya untuk China pada

Juli 2012. Duta Besar Jepang untuk China, Uichiro Niwa, kembali ke

Tokyo untuk berdiskusi dengan pemerintah Jepang tentang

29
permasalahan tersebut demi menghindari lrusaknya hubungan bilateral

dengan China [CITATION Tat \l 1033 ].

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dinamika yang muncul dalam hubungan antara China dan Jepang,

memunculkan banyak pertanyaan terkait dengan masa depan Asia Timur.

Dimana kedua negara ini menjadi salah satu kunci dari stabilitas keamanan

dikawasan ini, karena baik dari hubungan politik dan militer kedua negara

tersebut masih menjadi yang cukup diperhitungkan.

Namun hingga saat ini dinamika tersebut masih mengarah kepada pola

hubungan yang membuat ketegangan situasi dikawasan tersebut. Relasi

30
historis sangat berperan dalam membentuk pola tersebut terkait dengan

imperialisme dari Jepang yang menorehkan luka mendalam bagi masyarakat

China. Pola hubungan yang terbentuk tersebut diperburuk dengan

persengketaan wilayah yang melibatkan dua negara ini terhadap pulau Diayou/

Senkaku yang semakin membuat ketegangan diantara kedua negara

meningkat. Kondisi tersebut langsung maupun tidak langsung telah

membentuk perasaan saling ketakutan dan kecurigaan satu sama lain sehingga

masing-masing berupaya untuk menciptakan keamanan bagi negaranya dari

kondisi tersebut dengan membangun sistem pertahanan. Pada akhirnya

perilaku dari kedua negara tersebut berada dalam security dilemma yang

menjerumuskan mereka dalam sebuah perlombaan senjata ( arms race ).

Dimana saat China muncul dengan meningkatnya kekuatan militer yang

sangat besar dan canggih, Jepang berupaya untuk mengimbanginya dengan

membangun kekuatan militernya dan berupaya untuk menjadi “negara

normal”. Dengan demikian tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan kedua

negara terjebak dalam security dilemma akan cenderung sulit untuk keluar dari

keadaan tersebut. Oleh karena itu melihat dinamika hubungan diantara kedua

negara sangat sulit untuk membentuk pola kooperatif diantara kedua negara

dimasa yang akan datang. Namun, tentu saja hal ini bukan mustahil terjadi

mengingat dari politik internasional itu sendiri “tiada kawan dan lawan yang

abadi, yang abadi hanya kepentingan”. Sehingga masa depan dari hubungan

antara China dan Jepang masih akan menjadi sebuah dinamika yang sangat

menarik untuk dianalisis.

31
.
5.2 Saran

Dari hubungan bilateral antara China dan Jepang dapat kita lihat bahwa

setiap negara dalam konflik sebaiknya mengedepankan negosiasi untuk

mengejar kepentingan mereka agar tidak menimbulkan kerugian fatal akibat

konflik. Kedua negara tersebut harusnya dapat menjalin kerjasama yang lebih

intens dalam bidang keamanan untuk menjaga stabilitas kawasan di Asia

Timur mengingat kedua negara tersebut sama-sama memiliki power di

kawasan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Jurnal

Art, R. J., & Jervis, R. (2007). International Politics: Enduring Concepts and
Contemporary Issues. London: Pearson Longman.

Castillo, J., Lowell, J., Tellis, A. J., Munoz, J., & Zycher, B. (2001). Military
Expenditures And Economic Growth. Santa Monica: Arroyo Center.

Goh, E., & Simon, S. W. (2008). China, the United States, and Southeast Asia:
Contending Perspectives on Politics, Security, and Economics. New York:
Routledge.

Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & B. Bandung:


Alfabeta.

32
Satris, R. (2015). Peningkatan Anggaran Persenjataan Militer China
sebagai Bagian dari Security Dilemma di Kawasan Asia Pasifik.
Jurnal Magister Ilmu Politik Universitas Hasanuddin , I

Artikel dan Website


Bitzinger, R. A. (2015, March 19). China’s Double-Digit Defense Growth: What
It Means for a Peaceful Rise. Retrieved October 20, 2019, from Foreign
Affairs Website: https://www.foreignaffairs.com/articles/china/2015-03-
19/chinas-double-digit-defense-growth

Chang, F. K. (2013, November). MORE IS NOT ENOUGH: ARMS BUILDUPS,


INNOVATION, AND STABILITY IN THE ASIA-PACIFIC. Retrieved
October 21, 2019, from fpri.org: https://www.fpri.org/docs/chang_-
_military_innovation.pdf

Grant, C. (2012, June 13). JAPAN'S RESPONSE TO CHINA'S RISE. Retrieved


October 25, 2019, from Centre For European Reform:
https://www.cer.eu/publications/archive/policy-brief/2012/japans-
response-chinas-rise

Kujath, P., & Robina, Z. (2010, September 21). Konflik Jepang-Cina Meruncing.
Retrieved October 24, 2019, from dw.com:
https://www.dw.com/id/konflik-jepang-cina-meruncing/a-6027613

Ministry of Foreign Affairs of Japan. (2008, May 7). Ministry of Foreign Affairs
of Japan. Retrieved October 21, 2019, from mofa.go.jp:
https://www.mofa.go.jp/region/asia-paci/china/joint0805.html

Syah, E. (2013, January 18). China, Kekuatan Udara Baru di Dunia. Retrieved
October 20, 2019, from artileri.org:
https://www.artileri.org/2013/01/china-kekuatan-udara-baru-di-dunia.html

33
Tadokoro, M. (2012, June 18-19). 6th Berlin Conference on Asian Security
(BCAS). Retrieved October 22, 2019, from swp-berlin.org:
https://www.swp-
berlin.org/fileadmin/contents/products/projekt_papiere/BCAS2012_Masay
uki_Tadokoro_web_final_ks.pdf

Tatsushi Arai, S. G. (2013). Clash of National Identities: China, Japan, and the
China Sea Territorial Dispute - Perception Gaps, Identity Clashes.
Retrieved from
https://www.wilsoncenter.org/sites/default/files/asia_china_seas_web.pdf

Tribun Manado.co.id. (2018, February 17). Siap Berperang, Tiongkok Bangun 7


Pangkalan Militer di Laut Cina Selatan. Retrieved October 20, 2019, from
manado.tribunnews.com: https://manado.tribunnews.com/2018/02/17/siap-
berperang-tiongkok-bangun-7-pangkalan-militer-di-laut-cina-selatan

34

Anda mungkin juga menyukai