a. Bahwa apa yang disampaikan dalam tulisan itu tidak selalu dapat diterima sama atau
dengan baik oleh setiap orang. Ada yang menangkap hanya sedikit dari apa yang
disampaikan, dan ada yang sama sekali tidak mampu menerima isi tulisan itu.
Adapula yang menangkap tulisan itu dengan mudah untuk dapat dimengerti.
b. Bahwa makna yang akan disampaikan itu berada dalam pikiran perancang peraturan
perundang-undangan bukan dalam kata atau simbol yang akan digunakannya.
Bagaimana cermatnya makna itu dialihkan kepada orang lain tergantung pada
keterampilan perancang untuk memilih kata-katanya, dan sejauh mana kecermatan
pembaca menginterpretasikan kata-kata itu. Oleh karena itu, perancang harus
melihat hal-hal dibalik kata-kata yang digunakan, dan juga harus mempertimbangkan
kemampuan komunikasi dari mereka yang menerima pesan melalui tulisan itu, dalam
hal ini pengguna peraturan perundang-undangan.
c. Bahwa komunikasi selalu tidak sempurna. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa kata-
kata itu terbatas dan sangat kasar untuk mewakili obyek atau hal yang akan
dikomunikasikan. Kata “dapat” dan “boleh” dalam suatu norma dapat menimbulkan
persoalan hukum yang berkepanjangan. Arti kata “dapat” menunjukkan adanya kewenangan
yang melekat pada seseorang, sedangkan kata “boleh” menunjukkan kewenangan yang
tidak melekat pada seseorang. Kata “wajib” dan “harus” kadangkala menimbulkan pula
keraguan karena keduanya menyatakan keharusan (gebod) namun berbeda pengenaan
sanksinya jika keharusan itu dilanggar. Kita berketetapan bahwa kata “wajib” digunakan
untuk menyatakan keharusan, dan kata “harus” digunakan untuk pemenuhan persyaratan.
Komunikasi juga tidak sempurna karena para komunikator sendiri memiliki kemampuan
yang berbeda-beda untuk mengalihkan pikirannya. Ada orang yang dengan mudah mengerti
suatu kata yang diterima olehnya, namun ada pula yang sebaliknya. Ada orang yang
dengan mudah mengartikan kata-kata “kepentingan umum”, “stabilitas nasional”,
“kerawanan”, “keadaan darurat”, “penyesuaian”, dan “keadilan”, dan lain-lain.
3. Pemilihan Kata yang Tepat dalam Bahasa Perundang-Undangan
Perancang peraturan perundang-undangan dituntut untuk mampu memilih kata-kata
yang tepat. Pemilihan kata oleh perancang peraturan bukan justru untuk mengaburkan
pengertian kata itu sendiri atau dapat menimbulkan interpretasi yang berbeda bagi
pengguna peraturan, seperti, dalam penggunaan kata “kepentingan umum” di atas. Untuk
dapat memilih kata-kata yang tepat, perancang peraturan perundang-undangan harus
menguasai dan memiliki kosa kata atau perbendaharaan kata dan ungkapanungakapan
tersebut. Pemilihan kata-kata yang tidak tepat, maka bahasanya akan terasa kaku dan tidak
mempunyai rasa.
Dalam membentuk peraturan perundang-undangan, perancang harus mempunyai
perbendaharaan kata-kata (vocabulary) yang memadai, disamping menguasai ungkapan-
ungkapan dan penyusunan kalimat serta ejaannya. Pilihan kata yang diserap (dari bahasa
asing), perlu lebih berhati-hati untuk menempatkannya karena kemungkinan satu kata
berasal dari bahasa asing tersebut mempunyai banyak pengertian jika diserap ke dalam
bahasa Indonesia. Kata “maksimum”, misalnya, yang sering digunakan dalam menentukan
sanksi pidana, sebaiknya menggunakan kata “paling”.
Di samping kata serapan, yang banyak timbul masalah adalah penggunaan kata-
kata yang salah penempatannya dalam suatu kalimat norma. Kita sering rancu dalam
menggunakan kata-kata “kecuali”, “selain” dan “di samping”. Pembentuk peraturan
perundang-undangan kadang-kadang menempatkan kata “kecuali” dalam kalimat
“pengandaian” yang sering diungkapkan dengan kata-kata ”jika”, “dalam hal”, “apabila”, atau
“pada saat”.
Ada suatu peraturan yang menyatakan: “kecuali menjalani hukuman, terpidana
diwajibkan...”, kalimat norma ini sebetulnya ingin mengatur mengenai kewajiban lain yang
dibebankan kepada terpidana, bukan mengecualikan kewajibannya. Seharusnya kalimat
norma di atas berbunyi: “selain menjalani hukuman, terpidana diwajibkan...”.
Pernah kita jumpai pula isi peraturan yang menyatakan “Kecuali dalam hal putusan
hakim...” yang mungkin oleh pembentuk peraturan dimaksudkan kalimat norma tersebut
mengandung makna “pengecualian”. Padahal jika dibaca secara cermat, kalimat tersebut
sesungguhnya mengandung “pengandaian” karena menggunakan kata-kata “dalam hal”.
Seharusnya pembentuk peraturan langsung saja menyatakan “Dalam hal putusan hakim...,
maka...”.
Jika pembentuk peraturan ingin menggunakan pengecualian dalam kalimat norma,
sebaiknya kata “kecuali” ditempatkan pada awal kalimat atas induk kalimat. Kata kecuali,
pada dasarnya merupakan penyimpangan dari prinsip umum atau norma umum. Contoh:
“Kecuali pegawai negeri golongan IV, seluruh pegawai negeri harus hadir dalam mengikuti
upacara bendera”.
Ada kemungkinan penempatan kata kecuali di belakang suatu kata tertentu, jika
yang akan dibatasi hanya kata yang bersangkutan, misalnya, “Yang dimaksud dengan anak
buah kapal adalah mualim, juru mudi, koki, kecuali koki magang, dan pelaut”. Kalimat norma
“pengandaian”, kadangkala menimbulkan ketidakkonsistenan karena ada empat jenis kata
pengandaian yang digunakan, yaitu: “dalam hal”, “jika”, “apabila”, dan “pada saat”.
Penggunaaan jenis kata pengandaian tersebut harus dipilah-pilah sesuai dengan rasa
bahasa yang dikaitkan dengan penalarannya.
Kata-kata (frase) “dalam hal” digunakan untuk satu keadaan kemungkinan kondisi
yang mungkin terjadi ataupun tidak mungkin terjadi.
Contoh: “Dalam hal Presiden berhalangan tetap, maka...”. kata “jika” digunakan untuk
kemungkinan atau keadaan yang akan terjadi lebih dari sekali, contoh: “Jika perusahaan itu
melanggar kewajiban yang dimaksudkan dalam Pasal ... berturut-turut, maka ...”. Frase
“pada saat” digunakan untuk kemungkinan atau keadaan yang pasti akan terjadi pada suatu
saat pada suatu masa yang akan datang, misalnya, “Pada saat seorang anak mencapai
umur 18 tahun, maka ...”. Kata “apabila” digunakan untuk pengandaian yang berhubungan
dengan waktu, misalnya, “Apabila dalam waktu tiga bulan, penggugat tidak mengajukan
gugatannya ke pengadilan, maka ...”.
Perancang kadangkala dibingungkan pula oleh kata kumulatif dan alternatif dalam
kalimat norma, yaitu kata “dan” dan “atau”. Penggunaan kedua kata ini sering-menimbulkan
interpretasi jika dipraktikkan di luar peraturan, dalam kata lain, di dunia praktisi hukum.
Penggunaan kata ”dan” adalah untuk menentukan sifat komulatif, sedangkan kata ”atau”
adalah untuk menentukan sifat alternatif. Sementara untuk menentukan sifat komulatif dan
alternatif, gunakan saja kata ”dan/atau”.