Anda di halaman 1dari 6

RAGAM BAHASA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

1. Pengertian dan Sifat Bahasa Perundang-Undangan


Ragam bahasa peraturan perundang-undangan ialah gaya bahasa yang
dipergunakan dalam suatu peraturan perundang-undangan, sehingga ia merupakan bahasa
Indonesia yang tunduk pada kaidah-kaidah bahasa Indonesia, akan tetapi di dalamnya
terkandung ciri-ciri khusus yaitu, adanya sifat keresmian, kejelasan makna, dan
kelugasan.1[5]
a. Sifat keresmian: sifat ini menunjukkan adanya situasi kedinasan, yang menuntut ketaatan
dalam penerapan kaidah bahasa, dan ketaatan kepada kaidah bahasa.
b. Sifat kejelasan makna: sifat ini menuntut agar informasi yang disampaikan dinyatakan
dengan kalimat-kalimat yang memperlihatkan bagian-bagian kalimat secara tegas, sehingga
kejelasan bagian-bagian kalimat itu akan memudahkan pihak penerima informasi dalam
memahami isi atau pesan yang disampaikan. Sifat kejelasan makna ini menuntut agar
kalimat-kalimat yang dirumuskan harus menunjukkan dengan jelas mana subyek, predikat,
obyek, pelengkap, atau keterangan yang lainnya.
c. Sifat kelugasan: sifat kelugasan ini menuntut agar setiap perumusannya disusun secara
wajar, sehingga tidak berkesan berlebihan atau berandai-andai.
Menurut Driedger2[6] dengan mengutip pendapat J. Stephen menyatakan bahwa
dalam bahasa peraturan perundang-undangan “tidaklah cukup sekedar mencapai
kecermatan yang menjadikan seseorang yang beritikad baik dapat memahaminya,
melainkan apabila mungkin perlu mencapai tingkat kecermatan yang menjadikan seseorang
yang beritikad tidak baik tidak dapat salah memahaminya”. Sutan Takdir Alisyahbana
mengemukakan bahwa bahasa yang dipergunakan untuk hukum adalah bahasa Indonesia
yang sublim, yaitu jernih dan murni (sublim artinya menampakkan keindahan di bentuknya
yang tertinggi; amat indah; mulia; utama).
Khusus untuk bahasa dalam undang-undang, Anton M. Moeliono3[7] mengatakan
sebagai berikut: “Bahasa dalam undang-undang, yang dituntut harus jelas, tepat dan tidak
boleh bermakna ganda, serta tidak menyapa orang secara pribadi. Selain itu, kalimat dalam
Undang-Undang cenderung mirip suatu formula, seperti contoh berikut: ”Barangsiapa yang
... dihukum/dipidana dengan hukuman...”
Dengan demikian, dapat dibayangkan betapa pentingnya kedudukan seorang
perancang Peraturan Perundang-Undangan (legislatif/legal drafter) dalam memilih dan
menentukan kata dan susunan kalimat yang menghasilkan ungkapan yang tepat
sebagaimana dikehendaki oleh pembentuk Undang-Undang (legislator) dan tidak
menimbulkan multi tafsir bagi subjek dan objek yang melaksanakan, serta pembaca.
Suatu peraturan perundang-undangan dapat terdiri atas ketentuan-ketentuan yang
berupa norma hukum tunggal, dan dapat pula merupakan norma hukum yang berpasangan.
Jika norma hukum tersebut merupakan norma hukum tunggal, di dalamnya hanya
dirumuskan pedoman bagaimana seseorang harus bertingkah laku di dalam masyarakat;
sedangkan jika dirumuskan dalam norma hukum yang berpasangan, maka selain ia
merumuskan pedoman bagaimana seseorang harus bertingkah laku dalam masyarakat
(yang merupakan norma hukum primer), dirumuskan pula tentang bagaimana tindakan yang
harus dilakukan oleh penguasa
Apabila pedoman tersebut tidak dipenuhi/dilaksanakan dengan adanya sanksi
pidana/pemaksa (yang merupakan norma hukum sekunder). Suatu norma dalam peraturan
perundang-undangan juga mengandung norma-norma hukum yang bersifat umum, abstrak,
dan terus-menerus serta berfungsi menetapkan suruhan (keharusan melakukan perbuatan),
larangan (tidak melakukan perbuatan), pembebasan (boleh tidak melakukan perbuatan);
atau dapat juga berisi suruhan dan larangan serta mencabut atau menarik kembali
wewenang yang diberikan tersebut. Selain itu norma hukum dalam peraturan perundang-
undangan yang bersifat umum, abstrak dan terus-menerus dirumuskan dalam kalimat-
kalimat yang normatif, jadi tidak deklaratif.

2. Syarat-Syarat Bahasa Perundang-Undangan


Dalam perumusan suatu peraturan perundang-undangan Montesquieu
mengemukakan beberapa batasan sebagai berikut:4[8]
a. Gaya bahasa hendaknya selain ringkas juga sederhana;
b. Istilah yang dipilih sedapat-dapat bersifat mutlak dan tidak relatif, dengan maksud agar
meninggalkan sedikit mungkin timbulnya perbedaan pendapat secara individual;
c. Hendaknya membatasi diri pada riil dan aktual, serta menghindarkan diri dari yang kiasan
dan dugaan;
d. Hendaknya tidak halus sehingga memerlukan ketajaman pikiran pembacanya, karena
rakyat banyak mempunyai tingkat pemahaman yang sedang-sedang saja; hendaknya tidak
untuk latihan logika, melainkan untuk pikiran sederhana yang ada pada rata-rata manusia;
e. Hendaknya tidak merancukan yang pokok dengan yang pengecualian, atau pengubahan,
kecuali apabila dianggap mutlak perlu;
f. Hendaknya tidak memancing perdebatan/perbantahan; adalah berbahaya memberikan
alasan-alasan yang terlalu rinci karena hal ini dapat membuka pintu pertentangan;
g. Di atas segalanya, hendaknya betul-betul dipertimbangkan apakah mengandung manfaat
praktis; hendaknya tidak menggoyahkan dasar-dasar nalar dan keadilan serta kewajaran
yang alami; Jeremy Bentham mengemukakan adanya ketidaksempurnaan (imperfections)
yang dapat mempengaruhi undang-undang, dan ketidaksempurnaan ini dapat dijadikan
asas-asas bagi pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Ketidaksempurnaan itu dibagi menjadi dua tingkatan, yaitu:
a. Ketidaksempurnaan tingkat pertama disebabkan hal-hal yang meliputi:
1) Arti ganda;
2) Kekaburan;
3) Terlalu luas.
b. Sedangkan ketidaksempurnaan tingkat kedua disebabkan hal-hal meliputi:
1) Ketidaktetapan ungkapan;
2) Ketidaktetapan tentang pentingnya sesuatu;
3) Berlebihan;
4) Terlalu panjang lebar;
5) Membingungkan;
6) Tanpa tanda yang memudahkan pemahaman;
7) Ketidakteraturan.
Menurut Hamid Attamimi,5[9] di dalam merumuskan peraturan perundang-undangan
perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Tidak boleh mempunyai arti yang kembar;
b. Harus menggunakan ungkapan-ungkapan yang jelas (jangan berpuisi);
c. Jangan menggunakan ungkapan yang tidak sempurna;
d. Gaya bahasa harus padat dan sederhana;
e. Penggunaaan istilah yang sudah mutlak/tetap;
f. Jangan mengacaukan yang pokok dengan pengecualian-pengecualian;
g. Hindarkan ketidakteraturan dalam menggunakan kata-kata;
h. Jangan menggunakan kalimat terlalu panjang;
i. Pertimbangkan baik-baik perlu tidaknya peraturan tersebut agar jangan sampai suatu saat
hukum itu menjadi korban.
Pada akhirnya, selain pedoman-pedoman tersebut di atas, maka hal-hal yang harus
diperhatikan bagi seorang penyusun peraturan perundang-undangan adalah kemampuan
dalam mengantisipasi atau menafsirkan apa yang mungkin terjadi dengan perumusan-
perumusan dalam peraturan perundang-undangan tersebut.
Demikian pula gagasan yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan harus
dapat mencapai sasaran yang diinginkan. Untuk itu, setiap perancang hendaknya menyadari
adanya tiga kebenaran dasar, yaitu:6[10]

a. Bahwa apa yang disampaikan dalam tulisan itu tidak selalu dapat diterima sama atau
dengan baik oleh setiap orang. Ada yang menangkap hanya sedikit dari apa yang
disampaikan, dan ada yang sama sekali tidak mampu menerima isi tulisan itu.
Adapula yang menangkap tulisan itu dengan mudah untuk dapat dimengerti.
b. Bahwa makna yang akan disampaikan itu berada dalam pikiran perancang peraturan
perundang-undangan bukan dalam kata atau simbol yang akan digunakannya.
Bagaimana cermatnya makna itu dialihkan kepada orang lain tergantung pada
keterampilan perancang untuk memilih kata-katanya, dan sejauh mana kecermatan
pembaca menginterpretasikan kata-kata itu. Oleh karena itu, perancang harus
melihat hal-hal dibalik kata-kata yang digunakan, dan juga harus mempertimbangkan
kemampuan komunikasi dari mereka yang menerima pesan melalui tulisan itu, dalam
hal ini pengguna peraturan perundang-undangan.

c. Bahwa komunikasi selalu tidak sempurna. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa kata-
kata itu terbatas dan sangat kasar untuk mewakili obyek atau hal yang akan
dikomunikasikan. Kata “dapat” dan “boleh” dalam suatu norma dapat menimbulkan
persoalan hukum yang berkepanjangan. Arti kata “dapat” menunjukkan adanya kewenangan
yang melekat pada seseorang, sedangkan kata “boleh” menunjukkan kewenangan yang
tidak melekat pada seseorang. Kata “wajib” dan “harus” kadangkala menimbulkan pula
keraguan karena keduanya menyatakan keharusan (gebod) namun berbeda pengenaan
sanksinya jika keharusan itu dilanggar. Kita berketetapan bahwa kata “wajib” digunakan
untuk menyatakan keharusan, dan kata “harus” digunakan untuk pemenuhan persyaratan.
Komunikasi juga tidak sempurna karena para komunikator sendiri memiliki kemampuan
yang berbeda-beda untuk mengalihkan pikirannya. Ada orang yang dengan mudah mengerti
suatu kata yang diterima olehnya, namun ada pula yang sebaliknya. Ada orang yang
dengan mudah mengartikan kata-kata “kepentingan umum”, “stabilitas nasional”,
“kerawanan”, “keadaan darurat”, “penyesuaian”, dan “keadilan”, dan lain-lain.
3. Pemilihan Kata yang Tepat dalam Bahasa Perundang-Undangan
Perancang peraturan perundang-undangan dituntut untuk mampu memilih kata-kata
yang tepat. Pemilihan kata oleh perancang peraturan bukan justru untuk mengaburkan
pengertian kata itu sendiri atau dapat menimbulkan interpretasi yang berbeda bagi
pengguna peraturan, seperti, dalam penggunaan kata “kepentingan umum” di atas. Untuk
dapat memilih kata-kata yang tepat, perancang peraturan perundang-undangan harus
menguasai dan memiliki kosa kata atau perbendaharaan kata dan ungkapanungakapan
tersebut. Pemilihan kata-kata yang tidak tepat, maka bahasanya akan terasa kaku dan tidak
mempunyai rasa.
Dalam membentuk peraturan perundang-undangan, perancang harus mempunyai
perbendaharaan kata-kata (vocabulary) yang memadai, disamping menguasai ungkapan-
ungkapan dan penyusunan kalimat serta ejaannya. Pilihan kata yang diserap (dari bahasa
asing), perlu lebih berhati-hati untuk menempatkannya karena kemungkinan satu kata
berasal dari bahasa asing tersebut mempunyai banyak pengertian jika diserap ke dalam
bahasa Indonesia. Kata “maksimum”, misalnya, yang sering digunakan dalam menentukan
sanksi pidana, sebaiknya menggunakan kata “paling”.
Di samping kata serapan, yang banyak timbul masalah adalah penggunaan kata-
kata yang salah penempatannya dalam suatu kalimat norma. Kita sering rancu dalam
menggunakan kata-kata “kecuali”, “selain” dan “di samping”. Pembentuk peraturan
perundang-undangan kadang-kadang menempatkan kata “kecuali” dalam kalimat
“pengandaian” yang sering diungkapkan dengan kata-kata ”jika”, “dalam hal”, “apabila”, atau
“pada saat”.
Ada suatu peraturan yang menyatakan: “kecuali menjalani hukuman, terpidana
diwajibkan...”, kalimat norma ini sebetulnya ingin mengatur mengenai kewajiban lain yang
dibebankan kepada terpidana, bukan mengecualikan kewajibannya. Seharusnya kalimat
norma di atas berbunyi: “selain menjalani hukuman, terpidana diwajibkan...”.
Pernah kita jumpai pula isi peraturan yang menyatakan “Kecuali dalam hal putusan
hakim...” yang mungkin oleh pembentuk peraturan dimaksudkan kalimat norma tersebut
mengandung makna “pengecualian”. Padahal jika dibaca secara cermat, kalimat tersebut
sesungguhnya mengandung “pengandaian” karena menggunakan kata-kata “dalam hal”.
Seharusnya pembentuk peraturan langsung saja menyatakan “Dalam hal putusan hakim...,
maka...”.
Jika pembentuk peraturan ingin menggunakan pengecualian dalam kalimat norma,
sebaiknya kata “kecuali” ditempatkan pada awal kalimat atas induk kalimat. Kata kecuali,
pada dasarnya merupakan penyimpangan dari prinsip umum atau norma umum. Contoh:
“Kecuali pegawai negeri golongan IV, seluruh pegawai negeri harus hadir dalam mengikuti
upacara bendera”.
Ada kemungkinan penempatan kata kecuali di belakang suatu kata tertentu, jika
yang akan dibatasi hanya kata yang bersangkutan, misalnya, “Yang dimaksud dengan anak
buah kapal adalah mualim, juru mudi, koki, kecuali koki magang, dan pelaut”. Kalimat norma
“pengandaian”, kadangkala menimbulkan ketidakkonsistenan karena ada empat jenis kata
pengandaian yang digunakan, yaitu: “dalam hal”, “jika”, “apabila”, dan “pada saat”.
Penggunaaan jenis kata pengandaian tersebut harus dipilah-pilah sesuai dengan rasa
bahasa yang dikaitkan dengan penalarannya.
Kata-kata (frase) “dalam hal” digunakan untuk satu keadaan kemungkinan kondisi
yang mungkin terjadi ataupun tidak mungkin terjadi.
Contoh: “Dalam hal Presiden berhalangan tetap, maka...”. kata “jika” digunakan untuk
kemungkinan atau keadaan yang akan terjadi lebih dari sekali, contoh: “Jika perusahaan itu
melanggar kewajiban yang dimaksudkan dalam Pasal ... berturut-turut, maka ...”. Frase
“pada saat” digunakan untuk kemungkinan atau keadaan yang pasti akan terjadi pada suatu
saat pada suatu masa yang akan datang, misalnya, “Pada saat seorang anak mencapai
umur 18 tahun, maka ...”. Kata “apabila” digunakan untuk pengandaian yang berhubungan
dengan waktu, misalnya, “Apabila dalam waktu tiga bulan, penggugat tidak mengajukan
gugatannya ke pengadilan, maka ...”.
Perancang kadangkala dibingungkan pula oleh kata kumulatif dan alternatif dalam
kalimat norma, yaitu kata “dan” dan “atau”. Penggunaan kedua kata ini sering-menimbulkan
interpretasi jika dipraktikkan di luar peraturan, dalam kata lain, di dunia praktisi hukum.
Penggunaan kata ”dan” adalah untuk menentukan sifat komulatif, sedangkan kata ”atau”
adalah untuk menentukan sifat alternatif. Sementara untuk menentukan sifat komulatif dan
alternatif, gunakan saja kata ”dan/atau”.

Anda mungkin juga menyukai