Palmas Case
Palmas Case
PENDAHULUAN
Pasca dimenangkannya Malaysia dalam kasus pulau sipadan dan ligitan oleh International Court of
Justice (ICJ) banyak pihak yang dikagetkan mengenai hal ini dan hal ini juga memancing kekecewaan
dari masyarakat, dimana hal ini membuktikan masih terdapatnya kepedulian masyarakat mengenai
tanah air.
Melalui kasus tersebut kita mendapat pelajaran bahwa pemerintah belum sanggup untuk menjaga
keutuhan tanah air. Karenanya banyak tuntutan dari masyarakat agar pemerintah cepat melakukan
tindakan dan tegas dalam tindakannya mengenai hal ini.
Banyak hal-hal yang menjadi latar belakang terjadinya pencaplokan terhadap wilayah Indonesia
oleh Negara lain, diantaranya adalah :
2. Struktur dari Indonesia sendiri yang berbentuk kepulauan serta letaknya yang tidak teratur,
dimana dari pulau-pulau tersebut masih banyak yang tidak berpenghuni.
Kedaulatan territorial sebuah Negara merupakan hal yang sangat penting, karena didalam wilayah
itulah Negara mempunyai wewenang dalam melaksanakan hukum nasional dari Negara tersebut.
Tanpa kedaulatan disuatu Negara, maka Negara tidak akan dapat melaksanakan yurisdiksi eksklusifnya
keluar dari wilayahnya dan dapat mengganggu kedaulatan wilayah Negara lain.
Inilah yang membuat kelompok kami tertarik untuk membahas mengenai hal ini, karena
banyaknya pelanggaran-pelanggaran mengenai wilayah, maka Negara-negara semakin sadar akan
peran dari wilayah tersebut, karena apabila dibiarkan maka akan berakibat fatal bagi Negara tersebut.
2. Apa hubungan kedaulatan dan cara pendudukan terhadap Island of Palmas (1928)
Pulau Miangas ini adalah salah satu pulau terluar Indonesia yang memiliki luas 3, 15 km2 dan masuk
dalam desa Miangas, Kecamatan Nanusa Kabupaten Talaud Propinsi Sulawesi Utara. Palmas atau yang biasa
dikenal sebagai Pulau Miangas, adalah sebuah pulau yang bernilai ekonomis dan berlokasi strategis. Pulau ini
memiliki panjang 2 mil, dengan lebar ¾ mil, dan berpopulasi sekitar 750 jiwa pada saat keputusan arbitrase
mengenai sengketa perebutan pulau ini diturunkan. Pulau ini terletak diantara Mindanao, Filipina dan yang paling
utara yaitu pulau Nanusa.
Pada tahun 1898, Spanyol menyerahkan Filipina ke Amerika Serikat dalam sebuah Perjanjian Paris (1898)
dan Palmas ikut diserahkan ke Amerika Serikat. Pertikaian perebutan status kepemilikan pulau ini muncul pada
tahun 1906 antara Amerika Serikat dan Belanda. Amerika Serikat beranggapan bahwa pulau tersebut merupakan
bagian dari KepulauanFilipina (the Phillippine Arc hipelago) yang diserahkan oleh Spanyol kepadanya
berdasarkan perjanjian Paris tersebut seusai pengakhiran perang kedua negara. Sedangkan pihak Belanda
mengklaim kepemilikan atas pulau tersebut berdasarkan pendudukan atau pelaksanaan otoritas
(pemerintahan)yang terus menerus, berlangsung lama dan selama itu tidak ada gangguan atau klaim dari
pihak lain.
Demi menyelesaikan kasus ini, kedua pihak setuju untuk tunduk kepada keputusan arbitrase yang
mengikat pada 23 Januari 1928. Arbitrator dalam kasus ini adalah Max Huber, seseorang yang berwarga Negara
Swiss.
Persoalan yang ingin diselesaikan oleh arbitrator adalah untuk menyelesaikan apakah Pulau Miangas
secara keseluruhan merupakanbagian dari wilayah Amerika Serikat atau Belanda.
Masalah hukum yang hadir adalah apakah wilayah tersebut dimilikioleh si Penemu pertama walaupun
mereka tidak menjalankan wewenangnya atas wilayah tersebut atau dimiliki oleh Negara yang secara nyata
menjalankan kedaulatan atas Negara tersebut.
Proses Arbitrase
Amerika dalam argumennya menyatakan Pulau Palmas adalah miliknya berdasarkan perjanjian yang
sah dari penemu pertamanya yakni Spanyol. Amerika Serikat menyatakan bahwa Spanyol memiliki wewenang
yang sah atas Palmas karena Palmas ditemukan oleh Spanyol ketika pulau tersebut dalam keadaan terra nullius
yaitu wilayah yang tidak dikuasai oleh pihak manapun. Spanyol menyatakan memiliki wewenangnya atas pulau
tersebut dikarenakan pulau tersebut adalah bagian dari Filipina dan telah diserahkan kepada Amerika Serikat
dalam Perjanjian Paris (1898) setelah Spanyol kalah dalam Perang antara Spanyol dan Amerika.
Arbitrator mencatat bahwa tidak ada hukum internasional yang baru yang menyatakan tidak berlakunya
penyerahan legal suatu wilayah dengan cara penyerahan.Bagaimanapun juga, arbitrator mencatat bahwa Spanyol
tidak dapat memberikan apa yang tidak ia miliki dan Perjanjian Paris kepada Amerika Serikat jika Spanyol tidak
memiliki wewenang yang sah atasnya. Arbitrator menyimpulkan bahwa Spanyol sebagai pihak penemu memiliki
kedaulatansah atas pulau Palmas bahkan dengan cara yang sederhana seperti sekedar menancapkan benderanya
di pantai. Akan tetapi klaim yang diberikan Spanyol atas Palmas memang merupakan klaim yang lemah karena ia
tidak pernah mengelola pulau tersebut, hanya menemukannya saja.
Argument kedua dari Amerika Serikat adalah ia menyatakan bahwa dirinya memiliki wewenang atas
Palmas karena letak Palmas lebih dekat dengan Filipina (yang saat itu dimiliki oleh Amerika Serikat) daripada
dengan Indonesia (yang saat itu dijajah Belanda). Max Huber menyatakan bahwa tidak ada satupun hukum positif
Internasional pada saat itu yang mendukung pendekatan terra firma yang didkemukakan Amerika Serikat,
dimana status kepemilikan suatu pulau/wilayah diberikan kepada daerah yang terdekat dengan pulau/wilayah
tersebut.
Di lain pihak, Belanda dalam pendiriannya menyatakan memiliki kedaulatan atas Palmas Karena ia telah
menjalankan kewenangannya dipulau tersebut semenjak tahun 1677. Belanda berhasil membuktikan bahwa
Dutc hEast India Company telah melakukan negosiasi dengan Pemimpin Lokal pulau tersebut sejak abad ke-17
atas kedaulatannya termasuk dalam bentuk mengembangkan agama Protestan dan melarang kebangsaan lain
dipulau tersebut. Arbitrator mencatat bahwa Amerika gagal membuktikan kedaulatan Spanyol atas pulau tersebut
kecuali dokumen yang secaraspesifik menyebutkan bahwa Spanyol adalah pihak penemu tersebut.
Keputusan Arbitrase
Akhirnya, menurut kajian Weter (1979), DR. Max Huber memperkenalkan konsep hukum
intertemporal dalam menangani sengketa dimana kaidah-kaidah hukum internasional diterapkan berdasarkan
periodedan kasus tertentu, yaitu klaim dari pihak lawan harus dinyatakan sesuai dengan hukum yang berlaku
ketika wilayah tersebut di temukan. Dalam halini bukanlah menyangkut pilihan hukum melainkan karena tidak
adanya penerapan secara historis. Arbitrator, Max Huber. Mendukung posisi Belanda dan menyatakan bahwa
Pulau Palmas secara nyata adalah milik Belanda. Untuk alasan ini,arbitrator sesuai dengan Pasal 1 dari Sebuah
Perjanjian Khusus pada tanggal 23 Januari 1928 memutuskan bahwa Pulau Palmas atau Miangas secara
keseluruhan adalah bagian dari wilayah Negara Belanda.
Negara adalah subyek hukum internasional asli (original subject of international law), karena
sejak awal, fokus utama hukum internasional adalah hak dan kewajiban negara. Dalam konteks
unsur-unsur penting pembentuk negara, banyak sarjana yang mengemukakan pendapat
mereka, seperti HLA Hart yang memberikan pendapatnya tentang ciri-ciri tentang berdirinya
suatu negara,yaitu memiliki :
(1) Penduduk
(2) Wilayah
(3) Pemerintahan
(4) Sistem hukum
(5) Independensi
E. International Capacities
Maksudnya yaitu suatu negara harus dapat mempertanggungjawabkan tindakan-
tindakan pejabat-pejabatnya terhadap pihak/negara lain.
F. Merdeka
Merdeka adalah unsur sentral dalam pengakuan sebagai negara,yang membuktikan
bahwa negara itu mandiri dan tidak bergantung kepada negara lain.Hakim Huber
menyatakan bahwa :
“Sovereignty in the relations between states signifies independence…”
G. Keberlangsungan Negara
Kriteria ini cukup penting karena membuktikan keberadaan suatu negara baik menurut
hukum internasional maupun hubungan internasional.
H. Efektivitas
Maksudnya adalah suatu negara harus secara efektif mengarus urusan urusan di dalam
negeri maupun menjalankan hubungan-hubungan luar negerinya.Secara internal, negara
menerapkan kewenangannya dalam mengurus urusan administrasi di dalam negeri dan ke
luar negeri untuk berhubungan dengan subyak hukum internasional lainnya.
I. Pengakuan
Dalam pasal pengakuan terhadap negara baru terdapat dua teori pengakuan :
a. Teori Konstitutif
Teori ini berpendapat bahwa suatu negara menjadi subjek hukum internasional
hanya melalui pengakuan, jadi hanya dengan pengakuanlah suatu negara baru itu dapat
diterima sebagai anggota masyarakat internasional. Dan karenanya memperoleh status
sebagai subjek hukum internasional. Penganut teori ini, yaitu Oppenheim, Lauterpacht,
Chen, Gugenheim, Anziloti, dan Hans Kelsen.
Ada dua alasan yang melatarbelakangi teori ini.
(i) Mereka berpendapat bahwa hukum internasional lahir karena kesepakatan
negara-negara.
(ii) Bahwa suatu negara atau pemerintah yang tidak diakui tidak mempunyai
status hukum sepanjang negara atau pemerintah itu berhubungan dengan
negara-negara yang tidak mengakui.
b. Teori Deklaratif
Teori ini lahir sebagai reaksi dari teori konstitutif. Menurut teori ini pengakuan
hanyalah merupakan penerimaan suatu negara baru oleh negara-negara lainnya. Suatu
negara mendapatkan semuanya dalam hukum internasional bukan berdasarkan
kesepakatan dari negara-negara yang telah ada terlebih dahulu. Namun berdasarkan
situasi-situasi nyata tertentu. Kemampuan tersebut secara hukum ditentukan oleh
usaha-usahanya serta keadaan-keadaannya yang nyata dan tidak perlu menunggu
negara lain mengakuinya. Negara tersebut mempunyai kompetensi menurut hukum
internasionalnya.
Suatu negara atau pemerintah tidak akan mendapatkan status hukum di negara lain kecuali
negara tersebut diakui oleh negara yang bersangkutan (teori konstitutif). Namun hal ini tidak
berarti bahwa negara atau pemerintah itu tidak ada sama sekali (teori deklaratif). Jadi suatu
negara tetap ada meskipun tidak diakui namun negara tersebut hanya dapat mengadakan
hubungan dengan negara yang mengakuinya.
Bentuk-Bentuk Pengakuan
1. Pengakuan Negara Baru
Pada dasarnya pengakuan terhadap negara baru tidaklah sulit. Kebanyakan negara
diakui setelah negara tersebut merdeka dan memenuhi empat unsur negara menurut
hukum internasional. Akan menimbulkan masalah jika suatu negara lahir diperoleh dengan
cara-cara damai.
2. Pengakuan Pemerintah Baru
Dalam praktek pengakuan terhadap negara dan pemerintah biasanya berjalan
bersama-sama. Namun karena adapula pengakuan terpisah maka pemberian atau
penolakan pemberian pengakuan terhadap pemerintah baru tidak ada hubungannya
dengan pengakuan negara. Sehingga jika suatu negara menolak pengakuan suatu
pemerintahan baru yang berkuasa di suatu negara tidak mengakibatkan negara tersebut
kehilangan statusnya sebagai subjek hukum internasional.
Dalam memberikan pengakuan biasanya ada beberapa kriteria yang menjadi
pertimbangan negara untuk memutuskan mengakui atau tidak mengakui pemerintahan
baru tersebut. Kriteria tersebut adalah pemerintah yang permanen, pemerintahan yang
ditaati oleh rakyatnya, dan penguasaan wilayah secara efektif.
Intervensi
Berkaitan dengan hak dan kewajiban negara, isu intervensi merupakan permbahasan yang
penting dalam hukum internasional. Intervensi selalu menjadi isu yang patut diangkat kepada
hukum internasional menyatakan bahwa setiap negara wajib menghormati kedaulatan setiap
negara. Intervensi seringkali didefinisikan sebagai campur tangan negara lain terhadap suatu
negara yang mengakibatkan teganggunya kemerdekaan dan kedaulatan negara yang menjadi
target intervensi.
Lauterpacht mengatakan bahwa intervensi adalah campur tangan secara diktator oleh suatu
negara terhadap urusan dalam negara lainnya dengan maksud baik untuk memelihara atau
mengubah kondisi nyata di negara tersebut. Larangan intervensi sudah merupakan suatu prinsip
umum hukum internasional yang diterima secara umum.Fungsi dari adanya larangan ini adalah
agar terciptanya hubungan antar negara yang damai.
Dasar hukum dari prinsip non-intervensi terdapat dalam :
1. Piagam PBB
Pasal 2 (7) dan pasal 2(4) Piagam PBB mensyaratkan bahwa PBB dilarang untuk ikut
campur dalam urusan domestik suatu negara,kecuali dalam rangka memelihara
perdamaian menurut Bab VII Piagam.
2. Rancangan ILC mengenai Hak-hak dan Kewajiban Negara 1949
Pasal 3 pada rancangan ini menyatakan bahwa setiap negara berkewajiban untuk
menahan diri untuk mengintervensi ke dalam urusan dalam atau luar negeri negara lain.
3. Konferensi Asia Afrika 1955
Keputusan akhir KAA 1955 yang disebut sebagai “Dasa Sila Bandung”, memuat
larangan intervensi, yang dinyatakan sebagai berikut :
a. Tidak melakukan intervensi atau campur tangan dalam urusan dalam negeri
negara lain.
b. Setiap negara tidak melakukan tekanan-tekanan terhadap negara lain.
c. Tidak melakukan agresi atau ancaman agresi atau kekerasan senjata terhadap
keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik negara lain.
Beberapa putusan Mahkamah Internasional juga menyatakan bahwa campur tangan asing
terhadap urusan dalam negeri negara lain juga dilarang seperti dalam kasus Nicaragua vs USA
yang memutuskan USA bersalah ikut mencampuri urusan dalam negeri negara Nicaragua.
Doktrin Monroe
Sejarah doktrin Monroe berawal dari pernyataan Presiden Monroe dalam pesan kepada
kongres pada 2 Desember 1823 yang menghasilkan dua prinsip:
Prinsip non-kolonialisasi, yaitu Amerika Serikat berkepentingan untuk menjamin bahwa
tidak ada wilayah di benua Amerika yang berupa terra nullius dan menjadi wilayah
kolonialisasi negara Eropa.
Prinsip non-intervensi,menetapkan bahwa setiap upaya asing untuk memperluas sistem
politiknya ke benua Amerika merupakan ancaman bahaya terhadap perdamaian dan
keamanan Amerika.
Pada aplikasinya ,doktrin ini menjadi dasar bagi Amerika Serikat untuk membenarkan
tindakan intervensi mereka ke negara-negara yang merupakan sponsor-sponsor dari doktrin
tersebut.
a. Pendudukan (Occupation)
Pendudukan adalah pendudukan terhadap terra nullius, yaitu wilayah yang bukan dan
sebelumnya pun belum pernah dimiliki oleh suatu negara ketika pendudukan terjadi.
Pendudukan mengandung dua unsur pokok : yaitu penemuan (discovery) atau the taking of
Possesion, dan pengawasan yang efektif (effective control).
Kriteria lebih lanjut untuk menentukan efektifitas occupation:
Penemuan harus diikuti dengan tindak lanjut untuk membuktikan telah
dilaksanakannya kedaulatan di wilayah yang diduduki.
Penemuan suatu wilayah harus diikuti oleh pengawasan terhadapnya.
Adanya niat dari suatu negara untuk mendudukinya.
Tindakan yang tidak sah bukan syarat pendudukan.
Klain untuk memelihara status terra nullis.
d. Preskripsi (Prescription)
Preskripsi adalah pemilikan suatu wilayah oleh suatu negara yang telah didudukinya
dalam jangka waktu yang lama dengan sepengetahuan dan tanpa keberatan dari
pemiliknya. Preskripsi sebenarnya adalah tindakan yang melanggar hukum internasional.
Namun sifat pelanggaran ini tampaknya menjadi hilang (dibenarkan) karena adanya
sepengatahuan atau pengakuan dari pemilik yang seolah-olah menyetujui perbuatan
tersebut.
e. Cessi (Cession)
Cessi adalah pengalihan wilayah secara damai dari suatu negara lain dan kerapkali
berlangsung dalam rangka suatu perjanjian (treaty of cessio) yang biasanya berlangsung
setelah usainya perang. Prinsip yang penting dalam cessi ini yaitu :
(i) Bahwa dalam pengalihan, hak yang diserahkan tidak boleh melebihi hak yang
dimiliki oleh si pengalih (pemilik).
(ii) Di dalam pengalihan suatu wilayah, negara yang mengalihkan wilayah harus
pemilik sah atas wilayah tersebut.
f. Plebisit (Plebiscite)
Plebisit adalah pengalihan suatu wilayah melalui pilihan penduduknya, menyusul
dilaksanakannya pemilihan umum, referendum, atau cara-cara lainnya yang dipilih oleh
penduduk.
Bentuk-Bentuk Servitut
Oppenheim membagi servitut ke dalam dua macam
1. Servitut Positif
Maksudnya adalah servitut yang memberi hak kepada suatu negara untuk
melaksanakan tindaka-tindakan tertentu di wilayah negara lain, seperti membangun
jalan kereta api, membangun kantor bea cukai, dll.
2. Servitut Negatif
Maksudnya adalah hak suatu negara untuk meminta negara lain untuk tidak
melakukan sesuatu di wilayahnya,seperti,melarang membangun benteng pertahanan di
kota-kota dekat perbatasan.
3. Servitut Militer
Adalah hak untuk tujuan-tujuan militer, seperti hak untuk mempertahankan
kehadiran tentaranya di wilayah negara lain atau hak meminta negara lain agar
tentaranya dapat melewati wilayahnya.
4. Servitut Ekonomi
Adalah hak yang diberikan untuk tujuan atau kepentingan perniagaan,lalu lintas
perdagangan dan hak-hak ekonomi lainnya.
5. Servitut untuk Kepentingan Internasional
Saran
Sebaiknya mengenai masalah ini ditanggapi secara serius oleh pemerintah karena pulau-
pulau terluar dan daerah perbatasan merupakan tempat yang sangat rentan untuk
terjadinya pencaplokan oleh Negara-negara tetangga tetangga.
Daftar pustaka
http://www.scribd.com/doc/82663044/6/Island-of-Palmas-Case-1928