Anda di halaman 1dari 2

Tanti Agustina Sinambela / 312018245

Derogasi adalah “pengecualian”, yaitu suatu mekanisme di mana suatu negara menyimpangi
tanggung jawabnya secara hukum karena adanya situasi yang darurat. Umumnya suatu negara
harus mendaftarkan derogasinya kepada badan pusat persyaratan-persyaratan yang
membolehkan derogasi telah ditentukan di dalam perjanjian internasional. Jika suatu negara
memasukkan derogasi dalam hukumnya, hal ini akan membuat negara menghindari tanggung
jawabnya secara hukum atas pelanggaran hak asasi manusia tertentu. Namun terdapat
beberapa hak yang tidak dapat disimpangi atau diderogasi (non derogable) dan beberapa
instrumen-pun tidak mengizinkan adanya derogasi.1

Alasan yang boleh digunakan untuk membuat derogasi adalah suatu keadaan darurat yang
esensial dan mengancam kelanjutan hidup suatu negara, ancaman esensial terhadap keamanan
nasional dan disintegrasi bangsa. saudara dan bencana alam dapat membenarkan adanya
derogasi. Walaupun begitu, derogasi hanya dapat digunakan untuk hak-hak dan kebebasan-
kebebasan yang telah ditentukan. Suatu negara dapat menggunakan derogasi untuk satu hal
tertentu, misalnya penahanan tersangka, tetapi tidak membuat derogasi untuk klausul hak asasi
manusia secara keseluruhan. Hal ini disebabkan oleh asumsi bahwa hak asasi manusia harus
tetap diterapkan sejauh mungkin.2

Derogasi memungkinkan suatu negara untuk dapat meloloskan diri dari pelanggaran terhadap
bagian tertentu suatu perjanjian internasional. Derogasi yang sah atas penahanan berarti tidak
ada satu pun individu yang dapat mengajukan pengaduan terhadap negara atas penahanan
yang tidak sesuai dengan hukum, dan tidak ada badan pemantau international yang dapat
menyelidiki kesahihan penahanan yang dilakukan oleh negara tersebut.3

Sedangkan limitasi adalah “pembatasan” yang memungkinkan negara membatasi hak asasi
manusia.4 Sebagaimana tidak semua hak dapat diderogasi, tidak semua hak juga bersifat
absolut. Beberapa hak mengandung fleksibilitas. Namun hal ini tidak membuat hak tersebut
menjadi tidak penting dibandingkan dengan hak lainnya. Ini hanya merupakan sebuah
kebutuhan praktis dan hukum5

Pembatasan biasanya harus dicantumkan dalam hukum nasional. Karena itulah, semua orang
dianggap mengetahui pembatasan itu dan pelaksanaanya tidak boleh sewenang-wenang. Di
samping itu, pembatasan ini harus dibuat untuk tujuan yang ditentukan dan pembatasan pada

1
FRF. “Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Hak Asasi Manusia Internasional”. 31 Maret 2017
2
Ibid.
3
Ibid.
4
Halili, “UU No /PNPS/1965 dan Tafsir Pembatasan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia”. Jurnal
HAM Vol 11, Desember 2014, hal 5.
5
FRF. “Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Hak Asasi Manusia Internasional”. 31 Maret 2017
hak dan kebebasan hanya boleh dilakukan sepanjang diperlukan bagi pemenuhan tujuan yang
sudah ditentukan secara sah. Pembatasan ini memungkinkan kekuasaan negara untuk
menetapkan jangkauan pelaksanaan hak atau kebebasan yang dibolehkan. Hal yang paling
serius adalah menyangkut penyeimbangan kepentingan atau hak yang saling bersaingan. 6

Pembatasan ini dilakukan untuk menjamin setiap hak-hak individu dapat terpenuhi tanpa
menganggu hak-hak individu yang lain. Negara sering menggunakan teori ini untuk membatasi
hak-hak rakyat tanpa disebut pelanggaran hak asasi manusia.7 Contohnya di Indonesia
menganut hukum pidana mati bagi kejahatan tertentu, salah satunya pada narkoba. Hal ini
merupakan sebagai bentuk pembatasan hak hidup bagi para pelaku tidak pidana narkoba,
mengingat bahwa kejahatan yang diakibatkan oleh narkoba begitu besar implikasinya. Namun
dalam penegakan hukum tersebut, melakukan pembatasan terhadap hak hidup seseorang tidak
boleh dalam kesewenang-wenangan dan harus tetap dalam koridor hukum. Sesuai dengan yang
telah diatur dalam ICCPR, UUDNRI 1945 dan peraturan lain yang mengikat.8

6
Ibid.
7
Eko Riyadi, Bahan Ajar Hak Asasi Manusia, FH UII, Yogyakarta, 2015, hlm. 45.
8
Ibid.

Anda mungkin juga menyukai