Anda di halaman 1dari 26

TUGAS TERSTRUKTUR

MATA KULIAH DASAR KESEHATAN LINGKUNGAN


ANALISIS MASALAH KESEHATAN LINGKUNGAN DAN SOLUSINYA

Disusun Oleh :
Nama : Fitria Nafisatin Nahari
NIM               : I1A015032
Kelas  :  B

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
PURWOKERTO
2016

BAB I

PENDAHULUAN

Kesehatan lingkungan adalah ilmu dan seni untuk mencegah pengganggu,


menanggulangi kerusakan dan meningkatkan/memulihkan fungsi lingkungan melalui
pengelolaan unsur-unsur atau faktor-faktor lingkungan yang berisiko terhadap kesehatan
manusia dengan cara identifikasi, analisis, intervensi/rekayasa lingkungan, sehingga
tersedianya lingkungan yang menjamin bagi derajat kesehatan manusia secara optimal
(Soemirat, 2011). Menurut Soekidjo Notoatmodjo (2011), kesehatan lingkungan pada
hakikatnya adalah suatu kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum sehingga
berpengaruh positiv terhadap terwujudnya status kesehatan lingkungan tersebut antara lain
mencakup perumahan, pembuatan kotoran manusia, penyediaan air bersih, pembuangan
sampah, dll. Adapun yang dimaksud dengan usaha kesehatan lingkungan adalah suatu usaha
untuk memperbaiki atau mengoptimumkan lingkungan hidup manusia agar menjadi media
yang baik untuk terwujudnya kesehatan yang optimum bagi manusia yang hidup di
dalamnya. Usaha memperbaiki kesehatan lingkungan sangat bervariasi, dari teknologi
sederhana hingga teknologi modern.

Masalah kesehatan adalah suatu masalah yang sangat kompleks, yang saling berkaitan
dengan masalah-masalah lain di luar kesehatan sendiri. Demikian pula pemecahan masalah
kesehatan lingkungan, tidak hanya dilihat segi kesehatannya tetapi juga dari segi-segi yang
ada pengaruhnya terhadap masalah kesehatan lingkungan tersebut.

BAB II

Tinjauan Pustaka

A.    Air Bersih


Dalam UU RI No.7 Tahun 2004 dan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 907 Tahun
2002, disebutkan beberapa pengertian terkait dengan air, yaitu sebagai berikut :
1.      Sumber daya air adalah air dan daya air yang terkandung didalamnya.
2.      Air adalah semua air yang terdapat pada diatas, ataupun di bawah permukaan tanah.
3.      Air Bersih (clean water) adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang
kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak.
4.      Air Minum (drinking water) adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses
pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum.
5.      Air permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah.
Air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya
memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak. Air minum adalah air
yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum.
Menurut pemenkes RI No.416/MENKES/PER/IX/1990 tentang syarat-syarat dan
Pengawasan Kualitas Air. Sedangkan untuk air minum diatur oleh Peraturan Menteri
Kesehatan RI No. 907/MENKES/SK/VII/2002 tentang Syarat-syarat Pengawasan Kualitas
Air Minum. Air bersih harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut :
1.      Syarat Fisik : tidak berbau, tidak berwarna, tidak berasa
2.      Syarat Kimia :
a.       Derajat keasaman (Ph antara 6,5-9,2)
b.      Tidak boleh ada zat kimia berbahaya (beracun, kalaupun ada jumlahnya harus sedikit sekali)
c.       Unsur kimiawi yang diizinkan tidak boleh melebihi standar yang boleh ditentukan
d.      Unsur kimiawi yang disyaratkan mutlak harus ada dalam air.
3.      Syarat Bakteriologis :
a.        Tidak ada bakteri atau virus kuman berbahaya (patogen dalam air).
b.      Bakteri yang tidak berbahaya namun menjadi indikator pencemaran tinja (Coliformbacteria)
harus negatif.
4.      Syarat Radioaktifitas :
a.       Tidak ada zat radiasi berbahaya dalam air.
Pengolahan air minum secara sederhana :
1.      Pengolahan secara alamiah yaitu dalam bentuk penyimpangan
2.      Pengolahan air dengan menyaring
3.      Pengolahan air dengan menambahkan zat kimia
4.      Pengolahan air dengan mengalirkan udara
5.      Pengolahan air dengan memanaskan sampai mendidih

B.     Sampah
Sampah mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut :
1.      Adanya suatu benda atau benda padat
2.      Adanya hubungan langsung/tidak langsung dengan kegiatan manusia
3.      Benda atau bahan tersebut tidak dipakai lagi
Teknik pengelolaan sampah yang baik harus memperhatikan faktor-faktor/unsur :
1.      Penimbulan sampah. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi sampah adalah jumlah
penduduk dan kepadatanya, tingkat aktivitas, pola kehidupan/tk sosial ekonomi, letak
geografis, iklim, musim, dan kemajuan teknologi.
2.      Penyimpanan sampah.
3.      Pengumpulan, pengolahan dan pemanfaatan kembali.
4.      Pengangkutan
5.      Pembuangan
6.      Pemusnahan dan pengolahan sampah dengan ditanam, dibakar dan dijadikan pupuk
Dengan mengetahui unsur-unsur pengelolaan sampah, kita dapat mengetahui
hubungan dan urgensinya masing-masing unsur tersebut agar kita dapat memecahkan
masalah-masalah ini secara efisien.
Adapun Manfaat pengelolaan sampah yaitu :
1.      Penghematan sumber daya alam
2.      Penghematan energy
3.      Penghematan lahan TPA
4.      Lingkungan asri (bersih, sehat, nyaman)

C.     Limbah
Limbah adalah bahan sisa yang dihasilkan dari suatu kegiatan dan proses produksi
baik skala domestik (rumah tangga), industri, pertambangan dan sebagainya. Dimana
masyarakat bermukim, di sanaah berbagai jenis limbah akan dihasilkan. Dengan konsentrasi
dan kuantitas tertentu, kehadiran limbah dapat berdampak negatif terhadap lingkungan
terutama bagi kesehatan, sehingga perlu dilakukan penangana terhadap limbah.
Karakteristik limbah yaitu a. Berukuran mikro; b. Dinamis; c. Berdampak luas
(penyebarannya); d. Berdampak jangka panjang (antar generasi).
Berdasarkan karakteristiknya, limbah industri dapat dibagi menjadi 3 yaitu:
1.      Limbah cair biasanya dikenal sebagai entitas pencemar air. Komponen pencemaran air pada
umumnya terdiri dari bahan buangan padat, bahan uangan organik dan bahan buangan
anorganik.
2.      Limbah padat atau yang dikenal dengan sampah.
3.      Limbah gas dan partikel
Di antara berbagai jenis limbah ini ada yang bersifat beracun atau berbahaya dan
dikenal sebagai Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Limbah B3). Limbah B3
diidentifikasika sebagai bahan kimia dengan satu atau lebih karakteristik :
1.      Mudah meledak
2.      Mudah terbakar
3.      Bersifat reaktif
4.      Beracun
5.      Penyebab infeksi
6.      Bersifat korosif

D.    Pembuangan Tinja/Kotoran Manusia


Eskreta manusia merupakan hasil akhir dari proses yang berlangsung dalam tubuh
manusia yang menyebabkan pemisahan dan pembuangan zat-zat yang tidak dibutuhkan oleh
tubuh. Zat-zat yang tidak dibutuhkan tersebut berbentuk tinja dan air seni (Budiman, 2012).
Kotoran manusia (faeces) adalah sumber penyebaran penyakit yang multikompleks.
Penyebaran penyakit yang bersumber pada faeces dapat melalui berbagai macam jalan dan
cara (Notoatmodjo, 2011).
Kotoran dari manusia yang sakit atau sebagai carrier dari suatu penyakit dapat menjadi
sumber infeksi.Kotoran tersebut mengandung agent penyakit yang dapat ditularkan pada
pejamu baru dengan dengan perantara lalat (Budiman, 2012).
Menurut Soekidjo Notoadmodjo (2011), metode pembuangan tinja yang baik yaitu
melalui jamban. Syarat-syarat jamban sehat :
1.      Tanah permukaan tidak boleh terjadi kontaminasi
2.      Tidak boleh terjadi kontaminasi pada air tanah yang mungkin memasuki mata air atau sumur
3.      Tidak boleh terkontaminasi air permukaan
4.      Tinja tidak boleh terjangkau oleh lalat dan hewan lain
5.      Tidak boleh terjadi penanganan tinja segar atau bila memang benar-benar diperlukan, harus
dibatasi seminimal mungkin
6.      Jamban harus bebas dari bau atau kondisi yang tidak sedap dipandang
7.      Mudah digunakan dan dipelihara
8.      Dapat diterima oleh pemakainya
9.      Metode pembuatan dan pengoperasian harus sederhana dan tidak mahal
Agar persyaratan-persyaratan ini dapat dipenuhi maka perlu diperhatikan antara lain :
1.      Sebaiknya jamban tersebut tertutup, artinya bangunan jamban terlindung dari panas dan
hujan, serangga dan binatang-binatang lain, terlindung dari pandangan orang (privacy) dan
sebagainya.
2.      Bangunan jamban sebaiknya mempunyai lantai yang kuat, tempat berpijak yang kuat, dan
sebagainya.
3.      Bangunan jamban sedapat mungkin ditempatkan pada lokasi yang tidak mengganggu
pandangan, tidak menimbulkan bau dan sebagainya.
4.      Sedapat mungkin disediakan alat pembersih seperti air atau kertas pembersih.

E.     Higiene Sanitasi Makanan dan Minuman


Sanitasi merupakan suatu usaha untuk menciptakan kondisi lingkungan hidup yang
menyenangkan dan menguntungkan kesehatan masyarakat.
Istilah sanitasi dan higiene mempunyai tujuan yang sama, yaitu mengusahakan cara hidup
sehat, sehingga terhindar dari penyakit. Tetapi dalam penerapannya mempunyai arti yang
sedikit berbeda: usaha sanitasi lebih menitikberatkan kepada faktor-faktor lingkungan hidup
manusia, sedangkan higiene lebih menitikberatkan usaha-usahanya kepada kebersihan
individu.
Adapun tujuan dari sanitasi makanan yaitu: 1. Menjamin keamanan dan kemurnian
makanan; 2.  mencegah konsumen dari penyakit; 3. Mencegah penjualan makanan yang
merugikan pembeli; 4. Mengurangi kerusakan/pemborosan makanan.
Sanitasi makanan dan minuman meliputi kegiatan usaha yang ditujukan kepada
kebersihan dan kemurnian makanan dan minuman agar tidak menimbulkan penyakit.
Kemurnian disini dimaksudkan murni menurut penglihatan maupun rasa. Usaha-usaha
sanitasi tersebut meliputi tindakan-tindakan saniter yang ditujukan pada semua tingkatan,
sejak makanan mulai dibeli, disimpan, diolah dan disajikan untuk melindungi agar konsumen
tidak dirugikan kesehatannya.
Usaha-usaha sanitasi meliputi kegiatan-kegiatan antara lain:
1.      Keamanan makanan dan minuman yang disediakan
2.      Higiene perorangan dan prktek-praktek penanganan makanan oleh karyawan yang
bersangkutan
3.      Keamanan terhadap penyediaan air
4.      Pengelolaan pembuangan air limbah dan kotoran
5.      Perlindungan makanan terhadap kontaminasi selama dalam proses pengolahan,
penyajian/peragaan dan penyimpanannya
6.      Pencucian, kebersihan dan penyimpanan alat-alat/perlengkapan.
Prinsip hygiene sanitasi makanan dan minuman adalah pengendalian terhadap
tempat/bangunan, peralatan, orang dan bahan makanan. Prinsip ini penting untuk diketahui
karena berperan sebagai faktor kunci keberhasilan usaha makanan. Suatu usaha makanan
yang telah tumbuh dan berkembang dengan baik, jika melalaikan pringsip-prinsip hygiene
sanitasi makanan dan minuman, besar kemungkinan pada suatu saat akan merugikan.
Menurut Depkes RI, 2004, enam prinsip hygiene sanitasi makanan dan minuman yaitu :
1.      Pemilihan Bahan Makanan
2.      Penyimpanan Bahan Makanan
3.      Pengolahan Makanan
4.      Penyimpanan Makanan Masak
5.      Pengangkutan Makanan
6.      Penyajian Makanan

F.      Sanitasi Tempat-tempat Umum


Sanitasi, menurut kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai pemelihara kesehatan.
Menurut WHO, sanitasi adalah upaya pengendalian semua faktor lingkungan fisik manusia,
yang mungkin menimbulkan atau dapat menimbulkan hal-hal yang merugikan, bagi
perkembangan fisik, kesehatan, dan daya tahan hidup manusia. Tempat-tempat umum yaitu
tempat kegiatan bagi umum, yang mempunyai tempat, sarana dan kegiatan tetap,
diselenggarakan badan pemerintah, swasta, dan atau perorangan, yang dipergunakan
langsung oleh masyarakat.
Sanitasi tempat-tempat umum merupakan usaha untuk mengawasi kegiatan yang
berlangsung di tempat-tempat umum terutama yang erat hubungannya dengan timbulnya atau
menularnya suatu penyakit, sehingga kerugian yang ditimbulkan oleh kegiatan tersebut dapat
dicegah. Sarana dan bangunan umum dinyatakan memenuhi syarat kesehatan lingkungan
apabila memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis dan dapat mencegah penularan penyakit
antar pengguna, penghuni dan masyarakat sekitarnya, selain itu harus memenuhi persyaratan
dalam pencegahan terjadinya kecelakaan. Penyelenggaraan sarana dan bangunan umum
berada di luar kewenangan Departemen Kesehatan, namun sarana dan bangunan umum
tersebut harus memenuhi persyaratan kesehatan. Hal ini telah diamanatkan pada UU No.23
Tahun 1992 tentang Kesehatan.
Dasar pelaksanaan kegiatan pendataan dan pengawasan sanitasi tempat-tempat umum
adalah Kepmenkes 288/Menkes/SK/III/2003 tentang Pedoman Penyehatan Sarana dan
Bangunan Umum. Menurut Kepmenkes tersebut, batasan pengertian penyehatan sarana dan
bangunan umum, adalah upaya kesehatan lingkungan, dalam pengendalian faktor risiko
penyakit pada sarana dan bangunan umum. Faktor resiko penyakit adalah hal-hal yang
memiliki potensi terhadap timbulnya penyakit. Tujuan diadakannya penyehatan sarana dan
bangunan umum adalah  sebagai upaya untuk meningkatkan pengendalian faktor risiko
penyakit dan kecelakaan pada sarana dan bangunan umum.

G.    Pengendalian Vektor


Vektor merupakan antropoda organisme hidup yang dapat memindahkan atau
menularkan agen penyakit dari seekor binatang atau seorang manusa kepada binatang lainnya
atau manusia lainnya.
Transmisi sebuah vektor saat menularkan penyakit adalah dengan cara, sebagai
berikut:
1.      Kontak langsung, yaitu Arthropoda secara langsung memindahkan penyakit atau infestasi
dari satu orang ke orang lain melalui kontak langsung.
2.      Transmisi secara mekanis, misalnya penularan penyakit diare, tifoid, keracunan makanan,
dan trakoma oleh lalat. Secara karakteristik, arthropoda sebagai vector mekanis membawa
agens penyakit dari manusia yang berasal dari tinja, darah, ulkus superfisial atau eksudat.
3.      Transmisi secara biologis, yaitu agens penyakit mengalami perubahan siklus dengan atau
tanpa multiplikasi di dalam tubuh arthropoda.
Pengendalian vektor adalah  usaha yang dilakukan untuk mengurangi atau
menurunkan populasi vektor dengan maksud mencegah atau memberantas penyakit yang
ditularkan oleh vektor atau ganguan (nuisanse) yang diakibatkan oleh vektor. Penegendalian
vektor dan binatang pengganggu harus menerapakan bermacam-macam cara pengendalian,
sehingga tetap berada di bawah garis batas yang tidak merugikan dan membahayakan. Serta
pengendalian tidak menimbulkan kerusakan atau gangguan ekologis terhadap tata lingkungan
hidup.
Tujuan pengendalian vektor :
1.      Mencegah wabah penyakit yang tergolong vector-borne disease yaitu dengan memperkecil
risiko kontak antara manusia dg vektor penyakit dan memperkecil sumber penularan
penyakit/reservoir
2.      Mencegah dimasukkannya vektor atau penyakit yg baru ke suatu kawasan yg bebas yaitu
dilakukan dengan pendekatan legal, maupun dengan aplikasi pestisida (spraying, baiting,
trapping)
Cara pengendalian vektor :
1.      Usaha pencegahan (prevention) : mencegah kontak dengan vektor seperti penggunaan
kelambu pada pemberantasan nyamuk
2.      Usaha penekanan (suppression) : menekan populasi vektor sehingga tidak membahayakan
kehidupan manusia
3.      Usaha pembasmian (eradication) : menghilangkan vektor sampai habis
Metode yang digunakan dalam pengendalian vektor penyakit adalah dengan
melakukan pengendalian di lingkungan, pengendalian secara biologi, pengendalian secara
genetik, pengendalian secara kimia, dan upaya pengendalian binatang pengganggu seperti
menempatkan kandang ternak di luar rumah.
H.    Perumahan dan Permukiman
Undang-undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman,
merumuskan bahwa: Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan
tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana
lingkungan. Sedangkan Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan
lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan, maupun perdesaan yang berfungsi sebagai
lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung
perikehidupan dan penghidupan.
Secara umum, rumah dapat dikatakan sehat apabila memenuhi kriteria sebagai berikut
:
a.       Memenuhi kebutuhan fisiologis, yaitu : pencahayaan, penghawaan dan ruang gerak yang
cukup, terhindar dari kebisingan yang mengganggu
b.      Memenuhi kebutuhan psikologis, yaitu : privacy yang cukup, komunikasi yang sehat antar
anggota keluarga dan penghuni rumah
c.       Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antarpenghuni rumah dengan
penyediaan air bersih, pengelolaan tinja dan limbah rumah tangga, bebas vektor penyakit dan
tikus, kepadatan hunian yang tidak berlebihan, cukup sinar matahari pagi, terlindungnya
makanan dan minuman dari pencemaran, disamping pencahayaan dan penghawaan yang
cukup.
d.      Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang timbul karena keadaan
luar maupun dalam rumah antara lain persyaratan garis sempadan jalan, konstruksi yang tidak
mudah roboh, tidak mudah terbakar, dan tidak cenderung membuat penghuninya jatuh
tergelincir.
BAB III

PEMBAHASAN

Berikut beberapa masalah kesehatan lingkungan di Indonesia dan solusinya :

A.    Ketersediaan Air Bersih


Masalah krisis air bersih dikarenakan beberapa hal seperti akses terhadap sumber air
bersih, kualitas air, dan pengelolaan air.

1.      Kesulitan mengakses sumber air bersih


Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013, beberapa provinsi di
Indonesia yang masih perlu di tingkatkan terhadap akses air bersih seperti Kepulauan Riau
(24%), Kalimantan Timur (35,2%), Bangka Belitung (44,3%), Riau (45,5%) dan Papua
(45,7%). Pengadaan air bersih di Indonesia khususnya untuk skala yang besar masih terpusat
di daerah perkotaan, dan dikelola oleh Perusahan Air Minum (PAM) kota yang bersangkutan.
Namun demikian secara nasional jumlahnya masih belum mencukupi dan dapat dikatakan
relatif kecil yakni 16,08 % ( Supas 1995). Untuk daerah yang belum mendapatkan pelayanan
air bersih dari PAM umumnya mereka menggunakan air tanah (sumur), air sungai, air hujan,
air sumber (mata air) dan lainnya. 
Kesulitan mengakses sumber air bersih dirasakan terutama saat musim kemarau. Bagi
daerah yang belum ada PAM, masyarakat sekitar harus menempuh jarak yang cukup jauh ke
sumber air untuk memperoleh air bersih. Sedangkan daerah yang sudah PAM harus
membayar mahal untuk mendapatkan air bersih. Hal ini juga diperparah dengan penurunan
kualitas air bersih yang diakibatkan oleh adanya pencemaran.
2.      Kualitas air yang buruk
Saat ini kualitas air di Indonesia terutama di kota-kota besar masih memprihatinkan.
Kepadatan penduduk, tata ruang yang salah dan tingginya eksploitasi sumber daya air sangat
berpengaruh pada kualitas air. Hilman Masnellyarti, Deputi Bidang Peningkatan Konservasi
Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan Kementerian Negara
Lingkungan Hidup mengungkapkan bahwa kelangkaan air bersih disebabkan pula oleh
pencemaran limbah di sungai. Diperkirakan, 60 persen sungai di Indonesia, terutama di
Sumatera, Jawa, Bali, dan Sulawesi, tercemar berbagai limbah, mulai dari bahan organik
hingga bakteri coliform dan fecal coli penyebab diare. Sungai-sungai di Pulau Jawa
umumnya berada pada kondisi memprihatinkan akibat pencemaran limbah industri dan
limbah domestik. Padahal sebagian besar sungai itu merupakan sumber air bagi masyarakat,
untuk keperluan mandi, cuci, serta sumber baku air minum olahan (PAM).
3.      Manajemen pengelolaan air yang kurang baik
Manajemen pengelolaan air yang kurang baik disebabkan oleh beberapa faktor seperti
kurangnya koordinasi antar institusi yang terkait, anggaran yang tidak mencukupi serta
buruknya kinerja PAM/PDAM.
Solusi terhadap masalah kesediaan air bersih yaitu :
1.      Menjaga Lingkungan dan sumber air bersih agar tidak tercemar.
Pemerintah terus menggalakkan upaya penumbuhan kesadaran masyarakat terhadap
lingkungan sekitarnya. Upaya ini dilakukan melalui penyuluhan yang mengupayakan untuk
memberdayakan anggota rumah tangga agar sadar, mau dan mampu melakukan PHBS dan
menjaga lingkungan. Penyuluhan yang diberikan tentang PHBS dan menjaga ekosistem dan
lingkungan sekitar. Penyuluhan sebaiknya diberikan sedini mungkin.
2.      Setelah kesadaran masyarakat dapat ditumbuhkan, maka pemerintah menaikkan anggaran
untuk meningkatkan fasilitas untuk mengakses air bersih serta sanitasi yang layak.
Berdasarkan data yang telah saya tulis di atas, rata-rata daerah di Indonesia masih
mengalokasikan 1,5% dari APBD-nya untuk pembangunan di bidang sanitasi. Hal itu tentu
sangat kecil, dan seharusnya bisa ditambah untuk tahun-tahun ke depannya.
3.      Apabila dirasa APBD telah mencapai titik maksimum, sehingga tidak dapat dinaikkan lagi,
pemerintah juga dapat menjalin kerja sama dengan lembaga-lembaga internasional yang
berkaitan dengan hal ini. Misalnya lembaga PBB, seperti WHO. Di tingkat nasional, langkah
Danone untuk membantu ketersediaan air bersih di NTT patut diacungi jempol. Dan itu, tentu
akan semakin dapat menjangkau daerah lainnya bila kerja sama itu dilakukan dengan
lembaga-lembaga Internasional lainnya.

B.     Pengelolaan Sampah


Kehadiran sampah sebagai buangan dari aktifitas domestik, komersil maupun industri
tidak bisa dihindari, bahkan semakin kompleks dan meningkat kuantitasnya sejalan dengan
perkembangan ekonomi dari waktu ke waktu. Hampir setiap tempat di Indonesia, sistem
pembuangan sampah dilakukan secara dumping tanpa ada pengelolaan lebih lanjut. Sistem
pembuangan semacam itu selain memerlukan lahan yang cukup luas juga menyebabkan
pencemaran pada udara, tanah, dan air selain lahannya juga dapat menjadi tempat
berkembangbiaknya agen dan vektor penyakit menular.
1.      Dampak sampah terhadap kesehatan
Lokasi dan pengelolaan sampah yang kurang memadai (pembuangan sampah yang tidak
terkontrol) merupakan tempat yang cocok bagi beberapa organisme dan menarik bagi
berbagai binatang seperti lalat dan anjing yang dapat menimbulkan penyaki.
Potensi bahaya kesehatan yang dapat ditimbulkan sampah adalah sebagai berikut:
a.       Penyakit diare, kolera, tifus menyebar dengan cepat karena virus yang berasal dari sampah
dengan pengelolaan tidak tepat dapat bercampur air minum. Penyakit demam berdarah
(haemorhagic fever) dapat juga meningkat dengan cepat di daerah yang pengelolaan
sampahnya kurang memadai.
b.      Penyakit jamur dapat juga menyebar (misalnya jamur kulit).
c.       Penyakit yang dapat menyebar melalui rantai makanan. Salah satu contohnya adalah suatu
penyakit yang dijangkitkan oleh cacing pita (taenia). Cacing ini sebelumnya masuk ke dalam
pencernakan binatang ternak melalui makanannya yang berupa sisa makanan/sampah.
d.      Jika dibakar, sampah plastik akan menghasilkan asap beracun yang berbahaya bagi kesehatan
yaitu jika proses pembakaranya tidak sempurna, plastik akan mengurai di udara sebagai
dioksin. Senyawa ini sangat berbahaya bila terhirup manusia. Dampaknya antara lain memicu
penyakit kanker, hepatitis, pembengkakan hati, gangguan sistem saraf dan memicu depresi.
e.       Sampah beracun: Telah dilaporkan bahwa di Jepang kira-kira 40.000 orang meninggal akibat
mengkonsumsi ikan yang telah terkontaminasi oleh raksa (Hg). Raksa ini berasal dari sampah
yang dibuang ke laut oleh pabrik yang memproduksi baterai dan akumulator.
2.      Dampak Sampah Terhadap Lingkungan
Cairan rembesan sampah yang masuk ke dalam drainase atau sungai akan mencemari air.
Berbagai organisme termasuk ikan dapat mati sehingga beberapa spesies akan lenyap, hal ini
mengakibatkan berubahnya ekosistem perairan biologis. Penguraian sampah yang dibuang ke
dalam air akan menghasilkan asam organik dan gas-cair organik, seperti metana. Selain
berbau kurang sedap, gas ini dalam konsentrasi tinggi dapat meledak. Sampah  juga penyebab
banjir, karena menyumbat saluran-saluran air, tanggul. Sehingga mengakibatkan banjir
bahkan yang terparah merusak turbin waduk.
3.      Dampak Sampah terhadap keadaan social dan ekonomi
a.       Pengelolaan sampah yang kurang baik akan membentuk lingkungan yang kurang
menyenangkan bagi masyarakat: bau yang tidak sedap dan pemandangan yang buruk karena
sampah bertebaran dimana-mana.
b.      Memberikan dampak negatif terhadap kepariwisataan.
c.       Pengelolaan sampah yang tidak memadai menyebabkan rendahnya tingkat kesehatan
masyarakat. Hal penting di sini adalah meningkatnya pembiayaan secara langsung (untuk
mengobati orang sakit) dan pembiayaan secara tidak langsung (tidak masuk kerja, rendahnya
produktivitas).
d.      Pembuangan sampah padat ke badan air dapat menyebabkan banjir dan akan memberikan
dampak bagi fasilitas pelayanan umum seperti jalan, jembatan, drainase, dan lain-lain.
e.       Infrastruktur lain dapat juga dipengaruhi oleh pengelolaan sampah yang tidak memadai,
seperti tingginya biaya yang diperlukan untuk pengolahan air. Jika sarana penampungan
sampah kurang atau tidak efisien, orang akan cenderung membuang sampahnya di jalan. Hal
ini mengakibatkan jalan perlu lebih sering dibersihkan dan diperbaiki.

Upaya penanggulangan sampah di Indonesia :


1.      Metode penghindaran  melalui reduce dan re-use
Sebuah metode yang penting dari pengelolaan sampah adalah pencegahan zat sampah
terbentuk, atau dikenal juga dengan "pengurangan sampah (reduce). Metode pencegahan
termasuk penggunaan kembali (re-use) barang bekas pakai, memperbaiki barang yang rusak,
mendesain produk supaya bisa diisi ulang atau bisa digunakan kembali (seperti tas belanja
katun menggantikan tas plastik), mengajak konsumen untuk menghindari penggunaan barang
sekali pakai (contohnya kertas tissue), dan mendesain produk yang menggunakan bahan yang
lebih sedikit untuk fungsi yang sama (contoh, pengurangan bobot kaleng minuman).
2.      Metoda Pembuangan
Pembuangan sampah pada penimbunan darat termasuk menguburnya untuk membuang
sampah, metode ini adalah metode paling populer di dunia. Penimbunan ini biasanya
dilakukan di tanah yg tidak terpakai, lubang bekas pertambangan, atau lubang lubang dalam.
Sebuah lahan penimbunan darat yang dirancang dan dikelola dengan baik akan menjadi
tempat penimbunan sampah yang hiegenis dan murah. Sedangkan penimbunan darat yang
tidak dirancang dan tidak dikelola dengan baik akan menyebabkan berbagai masalah
lingkungan, diantaranya angin berbau sampah, menarik berkumpulnya Hama, dan adanya
genangan air sampah. Efek samping lain dari sampah adalah gas methan dan karbon dioksida
yang juga sangat berbahaya.
3.      Daur Ulang (Recycle)
a.       Proses pengambilan barang yang masih memiliki nilai dari sampah untuk digunakan kembali
disebut sebagai daur ulang Contoh kegiatan daur ulang adalah antara lain adalah :
b.      Pemanfaatan kembali kertas bekas yang dapat digunakan terutama untuk keperluan eksternal
c.       Plastik bekas diolah kembali untuk dijadikan sebagai bijih plastik untuk dijadikan berbagai
peralatan rumah tangga seperti ember dll
d.      Peralatan elektronik bekas dipisahkan setiap komponen pembangunnya (logam,
plastik/kabel, baterai dll) dan dilakukan pemilahan untuk setiap komponen yang dapat
digunakan kembali
e.       Gelas/botol kaca dipisahkan berdasarkan warna gelas (putih, hijau dan gelap) dan
dihancurkan
4.      Pengolahan biologis
Material sampah organik, seperti zat tanaman, sisa makanan atau kertas, bisa diolah
dengan menggunakan proses biologis untuk kompos, atau dikenal dengan istilah
pengkomposan. Hasilnya adalah kompos yang bisa digunakan sebagai pupuk dan gas
methana yang bisa digunakan untuk membangkitkan listrik.
5.      Pemulihan energi
Kandungan energi yang terkandung dalam sampah bisa diambil langsung dengan cara
menjadikannya bahan bakar, atau secara tidak langsung dengan cara mengolahnya menjadi
bahan bakar tipe lain. Daur-ulang melalui cara "perlakuan panas" bervariasi mulai dari
menggunakannya sebakai bahan bakar memasak atau memanaskan sampai menggunakannya
untuk memanaskan boiler untuk menghasilkan uap dan listrik dari turbin-generator. Pirolisa
dan gasifikasi adalah dua bentuk perlakukan panas yang berhubungan, dimana sampah
dipanaskan pada suhu tinggi dengan keadaan miskin oksigen. Proses ini biasanya dilakukan
di wadah tertutup pada Tekanan tinggi. Pirolisa dari sampah padat mengubah sampah
menjadi produk berzat padat, gas, dan cair. Produk cair dan gas bisa dibakar untuk
menghasilkan energi atau dimurnikan menjadi produk lain. Padatan sisa selanjutnya bisa
dimurnikan menjadi produk seperti karbon aktif. Gasifikasi dan Gasifikasi busur plasma yang
canggih digunakan untuk mengkonversi material organik langsung menjadi Gas
sintetis (campuran antara karbon monoksida dan hidrogen). Gas ini kemudian dibakar untuk
menghasilkan listrik dan uap.
6.      Pemilahan Sampah
Sampah yang dikumpulkan di TPA pada umumnya bercampur antara bahan-bahan
organik maupun non organik sehingga pemilahan perlu dilakukan secara teliti untuk
mendapatkan bahan organik yang dapat dikomposkan seperti dauan-daunan, sisa makanan,
sayuran dan buah-buahan.
7.      Tempat Pembuangan Akhir (TPA) tipe sanitary landfill
TPA tipe open dumping sudah tidak  tepat untuk menuju Indonesia sehat. Oleh sebab itu,
secara bertahap semua Kota dan Kabupaten harus segera mengubah TPA tipe open dumping
menjadi sanitary landfill. Dianjurkan untuk membuat TPA yang memenuhi kriteria minimum,
seperti adanya zona, blok dan sel, alat berat yang cukup, garasi alat berat, tempat pencucian
alat berat, penjaga, truk, pengolahan sampah, dan persyaratan lainnya.
8.      Peranan Masyarakat
Diperlukan upaya peningkatan kesadaran masyarakat yang tinggi dalam pengelolaan
sampah. Upaya yang dilakukan meliputi penyuluhan sehingga :
a.       Masyarakat memiliki kesadaran untuk mengurangi jumlah sampah dari sumbernya.
b.      Masyarakat memiliki kesadaran (willingness to pay) yang tinggi terhadap biaya pengelolaan
sampah.
c.       Masyarakat merasa bangga dapat menjaga lingkungan tetap bersih.
9.      Peningkatan Kapasitas Peraturan
Peraturan yang dibuat oleh Pemerintah yang berkaitan dengan ketentuan pengelolaan
sampah harus realistis, sistematis dan menjadi acuan dalam pelaksanaan penanganan sampah
di lapangan baik oleh pihak pengelola maupun masyarakat. Seperti Undang-Undang no 18
tahun 2008 tentang pengelolaan persampahan secara resmi sudah diundangkan, tercatat
sebagai Lembaran Negara RI Tahun 2008, Nomor 69.
Dengan begitu, undang-undang itu sudah efektif berlaku. Ada banyak hal yang perlu
difahami dari undang-undang dimaksud. Kali ini salah satu subyek yang akan dikupas adalah
asas nilai ekonomi sampah.
Pasal 3 UU 18/2008 berbunyi selengkapnya: “Pengelolaan sampah diselenggarakan
berdasarkan asas tanggung jawab, asas keberlanjutan, asas manfaat, asas keadilan, asas
kesadaran, asas kebersamaan, asas keselamatan, asas keamanan, dan asas nilai ekonomi”.
Dari berbagai solusi penanggulangan sampah tersebut, hal terpenting adalah sosialisasi
terhadap masyarakat mengenai pengelolaan sampah yang baik dan benar sehingga
masyarakat memiliki pengetahuan yang bertambah, perubahan sikap serta timbulnya
kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan.

C.     Pengelolaan Limbah


Karena limbah dibuang ke lingkungan, maka masalah yang ditimbulkan merata dan
menyebar di lingkungan yang luas. Limbah gas terbawa angin dari satu tempat ke tempat
yang lainnya. Limbah cair atau padat yang dibuang ke sungai, dihanyutkan dari hulu sampai
jauh ke hiir, melampaui batas-batas wilayah akhirnya bermuara di laut atau danau, seolah-
olah laut atau danau tersebut menjadi tong sampah.
Limbah bermasalah antara lain berasal dari kegiatan pemukiman, industri, pertanian,
pertambangan dan sebagainya. Limbah yang bermasalah biasanya mencemari lingkungan
perairan, tanah dan udara.
1.      Limbah cair yang dibuang ke perairan akan mengotori air yang dipergunakan untuk berbagai
keperluan dan mengganggu kehidupan biota air.
2.      Limbah padat akan mencemari tanah dan sumber air tanah.
3.      Limbah gas yang dibuang ke udara pada umumnya mengandung senyawa kimia seperti SOx,
NOx, CO, dan gas-gas lain yang tidak diinginkan. Adanya gas SO2 dan NOx di udara dapat
menyebabkan terjadinya hujan asam yang dapat menimbulkan kerugian karena merusak
bangunan, ekosistem perairan, lahan pertanian, dll.
4.      Limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) biasanya berasal dari limbah industri kimia yang
pada umumnya mengandung berbagai macam logam berat yang sangat berbahaya bagi
kesehatan manusia.
5.      Limbah pertanian yang utama adalah pestisida dan pupuk. Walau pestisida digunakan untuk
membunuh hama, ternyata karena pemakaiannya yang tidak sesuai dengan peraturan
keselamatan kerja, pestisida bisa menjadi biosida pembunuh kehidupan. Pestisida yang
berlebihan pemakaiannya akhirnya mengkontaminasi sayuran dan buah-buahan yang dapat
menyebabkan keracunan konsumennya. Sedangkan pupuk jika dipakai berlebihan, sisanya
bila sampai di perairan dapat merangsang pertumbuhan gulma penyebab timbulnya
eutrofikasi.
Solusi terhadap masalah pengolahan  limbah di Indonesia :
1.      Sosialisasi terhadap masyarakat dan industri mengenai pengolahan limbah dan pentingnya
menjaga lingkungan.
2.      Perencanaan pengelolaan limbah secara optimal yang ditujukan untuk mencegah atau
memperkecil dampak negatif yang dapat timbul dari kegiatan produksi dan jasa diberbagai
sektor.
3.      Biaya pengolahan dan pembuangan limbah dan dana pembangunan serta fasilitas bangunan
limbah yang tidak terlalu mahal sehingga perusahaan mau menginvestasikan dananya untuk
mencegah kerusakan lingkungan.
4.      Peraturan pemerintah yang tegas terutama bagi industri-industri agar menerapkan
pengelolaan limbah secara optimal.

D.    Pembuangan Tinja/Kotoran Manusia


Menurut data yang di publikasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), bahwa
63 juta penduduk Indonesia tidak memiliki toilet, dan masih membuang air besar di sungai,
laut dan permukaan tanah. Data tersebut sejalan dengan data RISKESDAS pada tahun 2013,
dimana beberapa provinsi tertinggi rumah tangga  di Indonesia yang tidak memiliki fasilitas
BAB/BAB sembarangan adalah Sulawesi Barat (34,4%), NTB (29,3%), Sulawesi Tengah
(28,2%), Papua (27,9%) dan Gorontalo (24,1%).
Pembuangan tinja yang dialirkan ke sungai dan masih banyak orang yang membuang
tinja sembarangan karena tidak ada fasilitas yang memadai. Keadaan ini cukup
memprihatinkan karena  limbah ini dapat mencemari lingkungan (khususnya air) jika
pengolahanya tidak dilakukan secara baik.
Perlu kita ketahui bahwa limbah tinja sangat berbahaya karena mengandung:
1.      Puluhan miliar mikroba, termasuk bakteri koli-tinja, sebagian di antaranya tergolong sebagai
mikroba patogen, seperti bakteri Salmonela typhi penyebab demam tifus, bakteri Vibrio
cholerae  penyebab kolera, virus penyebab hepatitis A, dan virus penyebab polio
2.      Materi organik yang setara dengan 200-300 mg BODS (kandungan bahan organik) yang
menyebabkan timbulnya bau tidak sedap
3.      Ribuan telur cacing yang siap berkembang biak diperut orang lain, kebanyakan menyerang
balita
4.      Senyawa nitrogen (N) keluar dalam bentuk senyawa amonium dan senyawa fosfor (P) keluar
dalam bentuk fosfat. Satu liter tinja manusia mengandung amonium sekitar 25 gram dan
fosfat seberat 30 mg. Senyawa ini dapat memacu terjadinya blooming algae yang
menyebabkan menipisnya kadar O2dalam sungai. Hal itu menyebabkan kematian komponen
biotik yang terdapat di sungai dan menyebabkan terjadinya pendangkalan sungai.
Masalah ini merupakan permasalahan yang serius terjadi di masyarakat. Jadi, perlu
sekali adanya perhatian dari pemerintah. Saat ini, Balitbang PU (Pekerjaan Umum) telah
merealisasikan teknologi terapan yang menangani masalah air limbah rumah tangga, yaitu
dengan Sitem Sanita model MCK Plus. Model MCK Plus ini diperuntukkan untuk melayani
seluruh masyarakat yang membutuhkan air minum (isi ulang) dan sarana sanitasi (MCK)
yang memadai. Model ini dikelola oleh masyarakat yang pembentukannya diserahkan
sepenuhnya kepada mekanisme yang ada di masyarakat dan berada di bawah pembinaan
kepala desa. Prinsip keberlanjutan dalam hal operasional dan pemeliharaan sarana ini akan
sangat dipengaruhi oleh partisipasi masyarakat pengguna.
Manfaat MCK Plus :
1.      Mengatasi kurang tersedianya sarana air minum
2.      Mengatasi kurang tersedianya sarana sanitasi
3.      Mengurangi resiko penyakit akibat air yang tercemar
4.      Mengurangi pencemaran air tanah
Dengan adanya teknologi terapan model MCK plus yang direalisasikan Balitbang PU,
tentu akan  membantu mengurangi terjadinya pencemaran air sehingga akan sangat
membantu masyarakat dalam pemenuhan air bersih yang layak. Selain itu, kebiasaan
membuang tinja sembarangan akibat tidak tersedianya tempat yang layak kini menjadi
terfasilitasi dan lebih ramah lingkungan sehingga pencemaran air akibat limbah tinja akan
berkurang. Manfaat lain yang akan didapat ialah penderita penyakit cacingan akan berkurang,
ekosistem sungai terjaga, dapat mengurangi terjadinya pendangkalan sungai, dan juga
masyarakat bisa hidup sehat dan lebih sejahtera.
Agar program ini bisa terealisasikan secara baik maka perlu adanya partisipasi dari
masyarakat terutama dalam perawatan dan pengelolaan secara berkelanjutan dan terstruktur.
Selain itu, dengan program ini masyarakat diharapkan agar lebih peduli terhadap lingkungan
terutama sumber daya air sehingga kesehatan lingkungan akan tetap terjaga. Kepedulian
masyarakat dapat digugah dengan memberikan pengetahuan melalui sosialisasi penyuluhan
mengenai PHBS sehingga mereka akan memiliki kesadaran untuk menerapkan PHBS dan
akhirnya mau berpartisipasi terhadap program tersebut.

E.     Higiene Sanitasi Makanan dan Minuman


Sebagian besar masyarakat Indonesia lebih memilih mengkonsumsi makanan murah
tanpa memperhatikan aspek keamanan makanan. Padahal makanan yang tidak higienis dapat
menjadi sarana penularan penyakit yang akan menurunkan derajat kesehatan masyarakat.
Kontaminasi E. coli makanan masih cukup tinggi di Indonesia termasuk di Jakarta.
Kontaminasi E. coli makanan menurut jenis Tempat Pengelolaan Makanan (TPM) yaitu
kontaminasi E. coli makanan Restoran di hotel 33,3%, Restoran di luar hotel 31,3%, Jasaboga
38,2%, Warung 32,9%, Pedagang Kakilima 40,7%, dan Industri Makanan 21,3%. Dari
informasi tersebut ternyata kontaminasi makanan yang disajikan kepada para konsumen
masih cukup tinggi dan berbeda menurut jenis TPM.
Masyarakat yang mengkonsumsi makanan terkontaminasi dapat mendatangkan risiko
penyakit bawaan makanan yaitu, penyakit gangguan pencernaan dan kejadian luar biasa
(KLB) keracunan makanan dengan gejala mual/muntah, pusing, dan diare. Keamanan
makanan merupakan kebutuhan masyarakat, karena makanan yang aman akan melindungi
dan mencegah terjadinya penyakit atau gangguan kesehatan lainnya. Keamanan makanan saat
ini terjadi isu utama bagi upaya membangun citra rumah makan/restoran. Oleh karena itu
harus diperhatikan agar tidak menimbulkan keracunan dan penyakit bawaan makanan.
Berdasarkan hal ini, higiene sanitasi makanan yang merupakan konsep dasar pengelolaan
makanan sudah seharusnya dilaksanakan.
Upaya pengamanan dan penyehatan makanan menjadi tanggung jawab bersama
antara pemerintah dan masyarakat. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor :
304/MENKES/PER/IV/1989, tentang persyaratan kesehatan rumah makan dan restoran
sebagai penyelenggara usaha jasa pangan mempunyai kewajiban memproduksi makanan
secara baik, sehingga makanan yang dihasilkan memenuhi syarat kesehatan. Namun upaya-
upaya pengamanan yang dilakukan oleh pengusaha rumah makan belum dilakukan secara
optimal. Masih banyak pemilik rumah makan belum memahami secara benar kegiatan
sanitasi makanan. Keadaan tersebut sangat berpengaruh terhadap kualitas mikrobiologis
produk makanan yang dihasilkan. Salah satu penyebab masalah sanitasi makanan yang
mendasar adalah dari karakteristik penjamah/karyawan rumah makan. Penjamah/karyawan
yang tidak mempunyai pengetahuan tentang cara pengolahan makanan yang baik akan
memberikan dampak bagi makanan yang diolah. Selain itu sanitasi lokasi dan bagunan rumah
makan juga sangat menetukan higienisnya suatu makanan.
Solusi terhadap masalah higiene sanitasi makanan dan minuman tersebut yaitu:
1.      Adanya promosi kesehatan terhadap masyarakat mengenai PHBS terutama higiene sanitasi
makanan dan minuman.
2.      Dinkes setempat maupun BPOM agar memeriksa secara rutin dan memantau terus TPM
(Tempat Pengelolaan Makanan) untuk menghindari adanya kejadian yang tidak diinginkan
sehingga kelayakan TPM diberbagai tempat umum dapat terpantau.
3.      Diberlakukanya tes kesehatan enam bulan sekali bagi setiap karyawan/pelayan di Rumah
Makan atau TPM yang bertujuan supaya makanan dan minuman yang disajikan ke
pengunjung benar benar bersih dari terhindar dari berbagai zat pencemar.
4.      Adanya wadah pelatihan/kursus penjamah makanan maupun kepada pengusaha untuk
menambah wawasan pengetahuan khususnya mengenai hygiene dan sanitasi makanan.
5.      Bagi Rumah Makan atau TPM yang tidak memenuhi peraturan yang berlaku agar diberikan
sangsi/denda seperti penutupan Rumah Makan sementara sampai peraturan yang dibuat
dipenuhi.

F.      Sanitasi Tempat-tempat Umum (STTU)


Berdasarkan konferensi yang dilakukan World Bank Water Sanitation
Program (WSP) bahwa Indonesia berada di urutan kedua negara di dunia dengan sanitasi
terburuk. Di tempat-tempat umum biasanya mengalami masalah sanitasi lingkungan yang
buruk seperti terjadi polusi (air, darat, udara dan suara), makanan dan minuman yang tidak
higienis, fasilitas yang tidak sehat, pembuangan sampah sembarangan, dan sebagainya.
Adapun hambatan yang sangat sering dijumpai dalam pelaksanaan sanitasi di tempat-tempat
umum yaitu:
1.      Pengusaha
a.       Belum adanya pengertian dari para pengusaha mengenai peraturan perundang-undangan
yang menyangkut usaha STTU dan kaitannya dengan usaha kesehatan masyarakat.
b.      Belum mengetahui/kesadaran mengenai pentingnya usaha STTU untuk menghindari
terjadinya kecelakaan atau penularan penyakit.
c.       Adanya sikap keberatan dari pengusaha untuk memenuhi persyaratan-persyaratan kerena
memerlukan biaya ekstra.
2.      Masyarakat
a.       Adanya sikap apatis dari masyarakat tentang adanya peraturan/persyaratan dari STTU.
3.      Pemerintah
a.       Belum semua peralatan dimiliki oleh tenaga pengawasan pada tingkat II dan kecamatan.
b.      Masih terbatasnya pengetahuan petugas dalam melaksanakan pengawasan.
c.       Masih minimnya dana yang diakolasikan untuk pengawasan STTU.
d.      Belum semua kecamatan/tingkat II memiliki sarana transportasi untuk melakukan kegiatan
pengawasan.

Solusi terhadap permasalahan sanitasi tempat-tempat umum :


1.      Dibutuhkan kerja sama lintas sektor termasuk pemerintah, pengusaha dan masyarakat untuk
menciptakan STTU yang sehat
2.      Dibutuhkan sosialisasi yang intens mengenai peraturan / persyaratan STTU kepada
pengusaha atau masyarakat
3.      Administrasi dan manajemen STTU yang optimal terutama bagi petugas yang melakukan
pengawasan tergadap STTU.

G.    Pengendalian Vektor


Penyakit-penyakit di Indonesia yang ditularkan melalui vektor serangga merupakan
penyakit endemis pada daerah tertentu, antara lain demam berdarah dengue (DBD), malaria,
dan kaki gajah. Selain itu, juga terdapat penyakit saluran pencernaan, seperti disentri, kolera,
demam tifoid dan paratifoid yang ditularkan secara mekanis oleh lalat rumah.
Beberapa vektor yang sering ada di Indonesia adalah nyamuk, lalat, kutu, pinjal dan
tungau. Nyamuk yang menjadi vector penyakit penting di Indonesia yaitu genus culex,
anopheles, dan aedes. Genus lalat yang penting adalah musca. Peran kutu sebagai vector
belum definitif, akan tetapi karena ia menghisap darah, maka besar sekali kemungkinannya
bahwa kutu dapat menyebarkan penyakit. Pinjal yang pernah terkenal dimasa lalu adalah
pinjal tikus (xenopsylla cheopis), penyebaran penyakit pest, yang disebabkan bakteri
pasteurella pestis, saast ini penyakit pest sudah jarang didapat.
Cara pengendalian vektor :
1.      Usaha pencegahan (prevention) : mencegah kontak dengan vektor seperti penggunaan
kelambu pada pemberantasan nyamuk
2.      Usaha penekanan (suppression) : menekan populasi vektor sehingga tidak membahayakan
kehidupan manusia
3.      Usaha pembasmian (eradication) : menghilangkan vektor sampai habis
Metode yang digunakan dalam pengendalian vektor penyakit yaitu :
1.      Pengendalian lingkungan
Merupakan cara terbaik untuk mengontrol arthropoda karena hasilnya dapat bersifat
permanen. Contoh, membersihkan tempat-tempat hidup arthropoda. Terbagi atas dua cara
yaitu :
a.        Perubahan lingkungan hidup (environmental management), sehingga vektor dan binatang
penggangu tidak mungkin hidup. Seperti penimbunan (filling), pengeringan (draining), dan
pembuatan (dyking).
b.       Manipulasi lingkungan hidup (environmental manipulation), sehingga tidak memungkinkan
vektor dan binatang penggangu berkembang dengan baik. Seperti pengubahan kadar garam
(solinity), pembersihan tanaman air, lumut, dan penanaman pohon bakau (mangrouves) pada
tempat perkembangbiakan nyamuk.
2.      Pengendalian biologi
Pengendalian ini ditujukan untuk mengurangi pencemaran lingkungan akibat pemakaian
insektisida yang berasal dari bahan-bahan beracun. Cara yang dilakukan dengan
memanfaatkan tumbuh-tumbuhan atau hewan, parasit, predator maupun kuman patogen 
terhadap vector. Contoh pendekatan ini adalah pemeliharaan ikan.
3.      Pengendalian Genetik
Metode ini dimaksudkan untuk mengurangi populasi vektor dan binatang penggangu
melalui teknik-teknik pemandulan vektor jantan (sterila male techniques), pengunaan bahan
kimia penghambat pembiakan (chemosterilant), dan penghilangan (hybiriditazion). Masih
ada usaha yang lain seperti :
a.       Perbaikan sanitasi : bertujuan menghilangkan sumber-sumber makanan(food preferences),
tempat perindukan (breeding places),dan tempat tinggal (resting paces), yang dibutuhkan
vektor.
b.      Peraturan perundangan: mengatur permasalahan yang menyangkut usaha karantina,
pengawasan impor-ekspor, pemusnahan bahan makanan atau produk yang telah rusak karena
vektor dan sebagainya.
c.       Pencegahan (prevention): menjaga populasi vektor dan binatang pengganggu tetap pada
suatu tingkat tertentu dan tidak menimbulkan masalah.
d.      Penekanan (supresion) : menekan dan mengurangi tingkat populasinya.
e.       Pembasmian (eradication): membasmi dan memusnakan vektor dan binatang pengganggu
yang menyerang daerah/wilayah tertentu secara keseluruhan.
4.      Pengendalian kimia
Pada pendekatan ini, dilakukan beberapa golongan insektisida seperti golongan
organoklorin, golongan organofosfat, dan golongan karbamat. Namun, penggunaan
insektisida ini sering menimbulkan resistensi dan juga kontaminasi pada lingkungan. Macam
– macam insektisida yang digunakan:
a.       Mineral (Minyak), misalnya minyak tanah, boraks, solar, dsb.
b.      Botanical (Tumbuhan), misalnya Pyrethum, Rotenone, Allethrin, dsb. Insektisida botanical
ini disukai karena tidak menimbulkan masalah residu yang toksis.
c.       Chlorined Hyrocarbon, misalnya DDT, BHC, Lindane, Chlordane, Dieldrin, dll. Tetapi
penggunaan insektisida ini telah dibatasi karena resistensinya dan dapat mengkontaminasi
lingkungan.
d.      Organophosphate, misalnya Abate, Malathion, Chlorphyrifos, dsb. Umumnya menggantikan
Chlorined Hydrocarbon karena dapat melawan vektor yang resisten dan tidak mencemari
lingkungan.
e.       Carbamate, misalnya Propoxur, Carbaryl, Dimetilen, Landrin, dll. Merupakan suplemen bagi
Organophosphate.
f.       Fumigant, misalnya Nophtalene, HCN, Methylbromide, dsb. Adalah bahan kimia mudah
menguap dan uapnya masuk ke tubuh vektor melalui pori pernapasan dan melalui permukaan
tanah.
g.      Repelent, misalnya diethyl toluemide. Adalah bahan yang menerbitkan bau yang menolak
serangga, dipakaikan pada kulit yang terpapar, tidak membunuh serangga tetapi memberikan
perlindungan pada manusia.
5.      Upaya pengendalian binatang pengganggu
Dalam pendekatan ini ada beberapa teknik yang dapat digunakan, diantaranya steril
technique, citoplasmic incompatibility  dan choromosom translocation. Upaya pencegahan
yang dapat dilakukan adalah :
a.       Menempatkan kandang ternak di luar rumah
b.      Merekonstruksi rumah
c.       Membuat ventilasi
d.      Melapisi lantai dengan semen
e.       Melapor ke puskesmas bila banyak tikus yang mati
f.       Mengatur ketinggian tempat tidur setidaknya >20 cm dari lantai.

H.    Perumahan dan Permukiman


Kondisi perumahan dan permukiman di Indonesia semakin memprihatinkan di
tambah jumlah pemukiman kumuh semakin bertambah. Hal ini di karenakan perpindahan
penduduk dari desa ke kota (urbanisasi) yang terjadi di Indonesia yang terus meningkat setiap
tahunnya.
Masalah-masalah akibat pembangunan perumahan dan permukiman terhadap
lingkungan sekitar:
1.      Dampak terhadap lingkungan alam
Dengan adanya pembangunan perumahan tidak saja membawa dampak positif bagi
kemajuan suatu daerah tetapi juga membawa dampak negatif yang secara tidak langsung
dirasakan akibatnya oleh warga setempat. Hal ini dikarenakan bahwa bayaknya perusahaan
kontraktor yang mengerjakan proyek perumahan tidak memerhatikan aspek-aspek lingkungan
mereka yang tinggal di sekitar perumahan tersebut melainkan perusahaan kontraktor ini lebih
memperhatikan pada aspek-aspek fasilitas yang ada di dalam lingkungan perumahan itu
sendiri, sehingga akibat dari itu semua  banyak warga yang tinggal di sekitar lingkungan
perumahan tersebut merasa dirugikan, contohnya adalah warga yang tinggal di sekitar
lingkungan perumahan dilanda kebanjiran dimana itu semua bisa terjadi karena pihak
deploper perumahan tersebut kurang memperhatikan saluran air dan juga kurang
memperhatikan antara jumlah volume air seiring dengan semakin bertambah padatnya daerah
tersebut.
Dampak negatif lain dari keberadaan perumahan tersebut adalah lahan pertanian yang
secara perlahan-lahan terus berkurang, artinya bahwa dengan keberadaan perumahan tersebut
dimana awalnya tanah yang menjadi kapling dari perumahan itu sendiri adalah merupakan
lahan pertanian dari warga setempat. Selain itu adanya polusi udara, artinya bahwa dengan
dibangunnnya perumahan secara perlahan-lahan daerah tersebut semakin panas, hal ini di
karenakan bahwa lahan–lahan yang dulunya merupakan lahan penghijauan banyak ditanami
pohon-pohon yang menghasilkan udara sejuk harus ditebangin hanya karena proyek
perumahan.
2.      Dampak terhadap lingkungan sosial
Disamping permasalahan internal yang dialami oleh masyarakat perumahan, keberadaan
perumahan ini juga memberikan dampak dalam berbagai segi kehidupan, baik sosial maupun
ekonomi masyarakat sekitar. Dalam bidang ekonomi, keberadaan perumahan merupakan
sebab utama peralihan mata pencaharian penduduk dari segi agraris ke non agraris. Mata
pencaharian penduduk sekitar berorientasi  pada pertanian, namun setelah dibangunnya
perumahan mata pencaharian dari pertanian berubah ke non-pertanian.
Secara garis besar dapat dirinci mengenai berbagai permasalahan dan dampak sosial yang
terjadi pada kegiatan pembangunan perumahan adalah :
a.       Terjadinya proses marjinalisasi, yaitu peminggiran secara sistematis masyarakat petani
karena beralih ke sektor usaha non pertanian dengan semakin terbatasnya lahan.
b.       Terjadinya kesenjangan sosial yang menonjol dalam kalangan masyarakat perumahan dan
warga sekitarnya.

Upaya penanggulangan terhadap masalah yang ditimbulkan akibat padatnya


perumahan dan pemukiman di Indonesia terutama permukiman kumuh :
1.      Pada dasarnya permukiman kumuh itu ada dua yaitu pemukiman kumuh di atas tanah legal
dan pemukiman kumuh di atas tanah ilegal. Untuk pemukiman kumuh di atas tanah legal
akan dilakukan peningkatan kualitas lingkungan seperti perbaikan prasarana air minum,
sanitasi, dan jalan lingkungan. Sedangkan bagi pemukiman kumuh di atas lahan ilegal, maka
warga yang menetap di pemukiman tersebut akan dipindahkan ke hunian yang lebih layak
seperti rumah susun sederhana sewa (rusunawa).
2.      Memberikan penyuluhan tentang dampak tinggal di permukiman kumuh
Tidak lepas dari dampak yang ditimbulkan bagi masyarakat yang tinggal di pemukiman
kumuh karena kondisi pemukiman yang jauh dari layak ini menyebabkan banyak masalah.
Salah satunya adalah mewabahnya penyakit karena kebanyakkan pemukiman ini berada di
pinggir rel kereta api, pinggiran sungai atau di bawah kolong jembatan sehingga tidak
terlepas tentang penyakit. Contonya saja penyakit kulit atau gangguan system pernapasan
karena minimnya sanitasi lingkungan tersebut. Maka dari itu pemerintah harus dapat
memberikan penyuluhkan tentang dampak yang ditimbulkan dari pemukiman kumuh ini agar
masyarakat bisa sadar dan peka bahayanya tinggal di pemukiman kumuh.
3.      Program perbaikan kampung
Yakni memperbaiki struktur atau fasilitas di desa. Sehingga masyarakat dapat tertarik  untuk
kembali ke kampung halamannya. Salah satu caranya bisa saja dengan memperbaikki fasilitas
yang ada di desa seperti yang ada di kota atau dapat juga membangun lapangan kerja yang
banyak di desa atau memberikan program-program bantuan untuk masyarakat desa seperti
yang direncanakan pemerintah pada program transmigrasi.
4.      Program lainnya yang telah dilaksanakan pemerintah adalah PPSP yaitu Program Percepatan
Pembangunan Sanitasi Permukiman. Melalui program ini pembangunan sanitasi untuk
permukiman yang membutuhkan diharapkan dapat dipercepat. Namun, minimnya anggaran
yang dimiliki, menyebabkan program ini jauh dari kata maksimal. Sehingga, dibutuhkan
anggaran yang lebih besar untuk mewujudkannya.
5.      Dalam setiap tahapan pembangunan hendaknya selalu diperhatikan dampak yang mungkin
terjadi dari setiap proses, AMDAL sebagai salah satu instrumen dalam setiap pembangunan,
khususnya pembangunan perumahan. Secara formal konsep Analisa Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL) berasal dari undang-undang NEPA 1969 di Amerika Serikat. Dalam
undang-undang ini AMDAL dimaksudkan sebagai alat untuk merencanakan tindakan
preventif terhadap kerusakan lingkungan yang mungkin akan timbul oleh suatu aktivitas
pembangunan yang sedang direncanakan. Di Indonesia, mengenai  AMDAL tertera dalam
pasal 16 Undang-Undang no. 4 Tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Diharapkan dengan penerapan AMDAL dalam pembangunan perumahan
ini dapat meminimalisir jumlah kerusakan yang diakibatkan atas pembangunan perumahan
tersebut terhadap lingkungan alam sekitarnya.

Daftar Pustaka

Budiman, Chandra. 2012. PengantarKesehatanLingkungan. Jakarta : EGC.

Depkes RI. 2000. Prinsip-prinsip Hygiene dan Saitasi Makanan. Jakarta : Depkes RI.
Mulia, Ricki. 2005. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta : PT Graha Ilmu.
Notoatmojo, Soekidjo. 2011. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta : PT Rineke Cipta.

Purwanto, Eling. dkk,. 2003. Deteksi Pencemar Air Minum. Semarang : CV


Aneka Ilmu.

Soemirat, Juli . 2011. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta : Gadjah Mada University


Press.

Anda mungkin juga menyukai