Anda di halaman 1dari 24

Laporan Kasus

Seorang Wanita 40 tahun dengan G2P1A0 hamil 35


minggu, PEB dan Oedem Pulmo Akut

Oleh:
Dr. Indra Kusuma

Pendamping:
dr. Triyono

INTERNSHIP RSUD Muntilan Kab. Magelang


2017
Portofolio Kasus
Nama Peserta : Indra Kusuma
Nama Wahana : RSUD Muntilan Kab. Magelang
Topik : Seorang Wanita 40 Tahun dengan G2P1A0 Hamil 35 minggu,
PEB dan Oedem Pulmo Akut
Tanggal (kasus) : 7 Februari 2017
Nama Pasien : Ny. SU No. RM : 276566
Tanggal Presentasi : Nama Pendamping :
20 Februari 2017 dr. Triyono
Tempat Presentasi :
RSUD Muntilan Kab. Magelang
Obyektif Presentasi :
■ Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran □ Tinjauan Pustaka
□ Diagnostik □ Manajemen ■ Masalah □ Istimewa
□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja □ Dewasa □ Lansia ■ Bumil
Deskripsi : Perempuan, usia 40 tahun
Tujuan : Mempelajari cara mendiagnosis dan memberikan terapi pada pasien
dengan kecurigaan PEB dan Oedem Pulmo Akut
Bahan Bahasan : □ Tinjauan Pustaka □ Riset ■ Kasus □ Audit
Cara Membahas : □ Diskusi ■ Presentasi dan diskusi □ Email □ Pos
Data Pasien :
Nama : Ny. SU No. Register : 276566
Nama RS : RSUD Muntilan Kab. Telp : - Terdaftar sejak :
Magelang
IDENTITAS PENDERITA

Nama : Ny. SU
Umur : 40 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku : Jawa
Alamat : Magelang
Tgl MRS : 7 Februari 2017
Tgl Pemeriksaan : 7 Februari 2017
No. RM : 276566

I. Primary Survey
Pasien datang dengan KU tampak sesak sekali
A: Clear
B: RR = 48 x/menit
SaO2: 85 %
Inspeksi : simetris, retraksi (+)
Palpasi : simetris
Perkusi : sonor
Auskultasi : SDV, ST (+/+), Whz (+/+), RBH (+/+), RBK (-/-)
C: HR: 130x/menit, regular,
TD ; 240/130
Inspeksi: ictus ordis tidak terlihat
Palpasi : susah dinilai
Perkusi : susah dinilai
Auskultasi : Bunyi jantung regular, murmur (-), gallop (-)
Suhu : 37,3° C

II. Secondary Survey


Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada pasien pada tanggal 7 Februari 2017
Keluhan Utama : Sesak
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD tanggal 7 Februari 2017 rujukan dari puskesmas
borobudur dengan PEB dan keluhan sesak, pasien mengeluh sesak ± 4 hari yll, batuk
(+), pusing (+), mata kabur (-), nyeri ulu hati (-), sesak semakin memberat saat
aktifitas, pasien tidur enak dengan bantal tinggi. Kenceng – kenceng (-), bercak darah
(-), ngeptok (-), gerak janin bayi masih terasa (+)

Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat seperti ini saat hamil disangkal
 Riwayat sesak disangkal
 Riwayat hipertensi disangkal
 Riwayat diabetes disangkal
 Riwayat asma disangkal
 Riwayat alergi disangkal
 Riwayat sakit jantung disangkal
 Riwayat sakit ginjal disangkal

Riwayat penyakit keluarga


 Riwayat Kaku dan kejang disangkal
 Riwayat hipertensi disangkal
 Riwayat sakit gula disangkal
 Riwayat asma disangkal
 Riwayat alergi disangkal
 Riwayat sakit jantung disangkal
 Riwayat sakit ginjal disangkal

Riwayat ANC
 Pasien belum pernah sama sekali ANC

III.Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak sesak
Kesadaran : GCS : 15 E4V5M6
Tanda-tanda vital :
 Tekanan darah: 240/130 mmHg
 HR : 130 kali/menit
 Laju napas : 38 kali/menit
 Suhu : 37,3° C
Saturasi O2: 98% dengan nasal NRM 10 lpm
Kulit : sawo matang, turgor kulit baik
Kepala : mesosefal, edema wajah -/-
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-,
Telinga : sekret -/-
Hidung : sekret -/-
Mulut : pucat (-), merot (-)
Leher : KGB tidak membesar, trakea teraba di tengah, JVP: R+0 cm, simetris,
pembesaran tiroid (-)
Thorax
Paru :
Inspeksi : simetris,
Palpasi : simetris
Perkusi : sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler, suara tambahan (+), RBH (+/+), Whz (+/+),
RBK (-/-)
Jantung :
Inspeksi: ictus ordis tidak terlihat
Palpasi : susah dinilai
Perkusi : susah dinilai
Auskultasi : Bunyi jantung regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Cembung
DJJ : 140 x / menit
Ekstremitas
Superior : Akral Hangat : -/-
Oedem : -/-
Sianosis : -/-
Inferior : Akral Hangat : -/-
Oedem : +/+
Sianosis : -/-
IV. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium

Jenis Pemeriksaan Hasil Keterangan

DARAH RUTIN
Hemoglobin Menurun
Hematokrit Menurun
Jumlah leukosit Meningkat
Jumlah trombosit Normal
HITUNG JENIS
Basofil Normal
Eosinofil Normal
Neutrofil Meningkat
Limfosit Menurun
Monosit Normal

Jenis Pemeriksaan Hasil

KIMIA DARAH
SGOT/AST
SGPT/ALT
Ureum
Kreatinin

Jenis pemeriksaan Hasil Nilai rujukan Satuan


Na 132.9 135 - 148 Mmol
K 4.33 3.5 – 5.3 Mmol
Cl 112.4 9 - 106 Mmol

Jenis pemeriksaan Hasil Nilai rujukan


Urin Rutin :
Warna Kuning Kuning muda
Kekeruhan Jernih Jernih
Kimia :
Glukosa Negatif Negatif
Protein +2 Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Urobilinogen Normal Normal
PH 5.0 5.0-8.0
BJ 1.010 1.015 – 1.025
Blood ± Negatif
Keton +1 Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Leukosit Negatif Negatif
Sedimen :
Epitel Squameaus 20 - 25
Leukosit 10 – 15 <5
Eritrosit 3–6 <5
Silinder Hyalin Positif Negatif
Kristal Negatif Negatif
Bakteri Negatif Negatif

V. Resume
Perempuan 40 tahun hamil 35 minggu datang dengan sesak, sesak ± 4 hari yll,
batuk (+), pusing (+), TD 240/130, protein urin + 2, oedem di ekstrimitas bawah

VI. Diagnosis
Perempuan 40 tahun G2P1A0 hamil 35 minggu dengan janin 1 hidup intra uterin,
PEB, oedem pulmo

VII. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan planning sementara pada kasus ini adalah :
 NRM 10 lpm
 Inf rl -> 15 tpm
 ISDN sub ling
 Inj Furosemide 2 amp
 Pasang DC
Sikap : Akhiri kehamilan atas indikasi

VIII. Prognosis:
• Quo ad vitam : dubia ad malam
• Quo ad functionam : dubia ad malam
• Quo ad sanactionam : dubia ad malam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi
Preeklamsia/eklamsia merupakan kesatuan penyakit yang langsung disebabkan oleh
kehamilan. Definisi preeklamsia adalah hipertensi disertai proteinuria dan edema akibat
kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Gejala ini dapat
timbul sebelum 20 minggu bila terjadi penyakit trofoblastik. Preeklamsia merupakan suatu
sindrom spesifik kehamilan dengan penurunan perfusi pada organ-organ akibat vasospasme
dan aktivasi endotel. Proteinuria adalah tanda yang penting dari preeklamsia. Preeklamsia
adalah keadaan dimana hipertensi disertai dengan proteinuria, edema atau keduanya, yang
terjadi akibat kehamilan setelah minggu ke-20, atau kadang-kadang timbul lebih awal bila
terdapat perubahan hidatidiformis yang luas pada vili khorialis.
Preeklampsia berat ialah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan
tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg disertai proteinuria ≥ 5 g/ 24 jam atau kualitatif 4+.
Sedangkan pasien yang sebelumnya mengalami preeclampsia kemudian disertai kejang
dinamakan eklampsia.2 Penggolongan preeclampsia menjadi preeclampsia ringan dan
preeclampsia berat dapat menyesatkan karena preeclampsia ringan dalam waktu yang relative
singkat dapat berkembang menjadi preeclampsia berat.
Preeklampsia berat dibagi menjadi:
a) Preeklampsia berat tanpa impending eclampsia
b) Preeklampsia berat dengan impending eclampsia.
Disebut impending eclampsia bila preeklampsia berat disertai gejala-gejala subjektif berupa :
 Muntah-muntah
 Sakit kepala yang keras karena vasospasm atau oedema otak
 Nyeri epigastrium karena regangan selaput hati oleh haemorrhagia atau oedema, atau
sakit karena perubahan pada lambung.

2.2 Insidensi Preeklampsia


Frekuensi preeklampsia untuk tiap negara berbeda-beda karena banyak
faktor yang mempengaruhinya; jumlah primigravida, keadaan sosial ekonomi, perbedaan
kriteria dalam penentuan diagnosis dan lain-lain. Di Indonesia frekuensi kejadian
preeklampsia sekitar 3-10%, Sedangkan di Amerika Serikat dilaporkan bahwa kejadian
preeklampsia sebanyak 5% dari semua kehamilan (23,6 kasus per 1.000 kelahiran). Pada
primigravida frekuensi preeklampsia lebih tinggi bila dibandingkan dengan multigravida,
terutama primigravida muda. Diabetes melitus, mola hidatidosa, kehamilan ganda,
hidrops fetalis, umur lebih dari 35 tahun dan obesitas merupakan faktor predisposisi
untuk terjadinya preeklampsia.
Di samping itu, preklamsia juga dipengaruhi oleh paritas. Surjadi, mendapatkan
angka kejadian dari 30 sampel pasien preeklampsia di RSU Dr. Hasan Sadikin. Bandung
paling banyak terjadi pada ibu dengan paritas 1-3 yaitu sebanyak 19 kasus dan juga paling
banyak terjadi pada usia kehamilan diatas 37 minggu yaitu sebanyak 18 kasus. Wanita dengan
kehamilan kembar bila dibandingkan dengan kehamilan tunggal, maka memperlihatkan
insiden hipertensi gestasional (13 % : 6 %) dan preeklampsia (13 % : 5 %) yang secara
bermakna lebih tinggi. Selain itu, wanita dengan kehamilan kembar memperlihatkan
prognosis neonatus yang lebih buruk daripada wanita dengan kehamilan tunggal.
2.3 Etiologi Preeklampsia
Penyebab preeklamsia/eklamsia sampai sekarang belum diketahui secara pasti.
Banyak teori yang menerangkan namum belum dapat memberi jawaban yang memuaskan.
Teori yang dewasa ini banyak dikemukakan adalah iskemia plasenta. Namun teori ini tidak
dapat menerangkan semua hal yang berkaitan dengan kondisi ini. Hal ini disebabkan karena
banyaknya faktor yang menyebabkan terjadinya preeklamsia/eklamsia.
Ada beberapa teori mencoba menjelaskan perkiraan etiologi dari kelainan tersebut di
atas, sehingga kelainan ini sering dikenal sebagai the diseases of theory. Adapun teori-teori
tersebut antara lain:
1) Peran Prostasiklin dan Tromboksan
Pada preeklamsia/eklamsia didapatkan kerusakan pada endotel vaskuler, sehingga terjadi
penurunan produksi prostasiklin (PGI2) yang pada kehamilan normal meningkat, aktivasi
penggumpalan dan fibrinolisis, yang kemudian akan diganti dengan trombin dan plasmin.
Trombin akan mengkonsumsi antitrombin III sehingga terjadi deposit fibrin. Aktivasi
trombosit menyebabkan pelepasan tromboksan (TxA2) dan serotonin, sehingga terjadi
vasospasme dan kerusakan endotel.
2) Peran Faktor Imunologis
Preeklamsia/eklamsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan tidak timbul lagi pada
kehamilan berikutnya. Hal ini dapat diterangkan bahwa pada kehamilan pertama
pembentukan blocking antibodies terhadap antigen plasenta tidak sempurna, yang semakin
sempurna pada kehamilan berikutnya. Fierlie F.M. (1992) mendapatkan beberapa data yang
mendukung adanya sistem imun pada penderita preeklamsia/eklamsia:
a) Beberapa wanita dengan preeklamsia/eklamsia mempunyai kompleks imun dalam
serum.
b) Beberapa studi juga mendapatkan adanya aktivasi sistem komplemen pada
preeklamsia/eklamsia diikuti dengan proteinuria.
3) Peran Faktor Genetik/familial
Beberapa bukti yang menunjukkan peran faktor genetik pada kejadian preeklamsia/eklamsia
antara lain:
a) Preeklamsia/eklamsia hanya terjadi pada manusia.
b) Terdapatnya kecenderungan meningkatnya frekuensi preeklamsia/eklamsia pada
anak-anak dari ibu yang menderita preeklamsia/eklamsia.
c) Kecenderungan meningkatnya frekuensi preeklamsia/eklamsia pada anak dan cucu
ibu hamil dengan riwayat preeklamsia/eklamsia dan bukan pada ipar mereka.
d) Peran Renin-Angiotensin-Aldosteron System (RAAS).

2.4 Faktor Risiko Preeklamsia/eklamsia


Faktor risiko preeklamsia meliputi kondisi medis yang berpotensi menyebabkan
kelainan mikrovaskular, seperti diabetes melitus, hipertensi kronis dan kelainan vaskular serta
jaringan ikat, sindrom antibodi fosfolipid dan nefropati. Faktor risiko lain berhubungan
dengan kehamilan itu sendiri atau dapat spesifik terhadap ibu atau ayah dari janin.
Berbagai faktor risiko preeklamsia (American Family Physician, 2004) :
1) Faktor yang berhubungan dengan kehamilan
a) Kelainan kromosom
b) Mola hydatidosa
c) Hydrops fetalis
d) Kehamilan multifetus
e) Inseminasi donor atau donor oosit
f) Kelainan struktur kongenital
2) Faktor spesifik maternal
a) Primigravida
b) Usia > 35 tahun
c) Usia < 20 tahun
d) Ras kulit hitam
e) Riwayat preeklamsia pada keluarga
f) Nullipara
g) Preeklamsia pada kehamilan sebelumnya
h) Kondisi medis khusus : diabetes gestational, diabetes tipe 1, obesitas, hipertensi kronis,
penyakit ginjal, trombofilia
i) Stress
3) Faktor spesifik paternal
a) Primipatemitas
b) Patner pria yang pernah menikahi wanita yang kemudian hamil dan mengalami
preeklamsia

2.5 Patogenesis Preeklampsia Berat


2.5.1 Vasospasme
Konsep vasospasme diajukan oleh Volhard (1918) berdasarkan pengamatan
langsung tentang pembuluh darah kecil di kuku, mata, dan conjunctivae bulbar. Ia juga
menduga dari perubahan histologis terlihat dalam berbagai organ yang terkena.
Penyempitan pembuluh darah menyebabkan peningkatan resistensi dan hipertensi
berikutnya. Pada saat yang sama, kerusakan sel endotel menyebabkan kebocoran yang
interstisial melalui darah konstituen, termasuk platelet dan fibrinogen, yang disimpan
pada subendothelial. 
Wang dan kolega (2002) juga menunjukkan gangguan protein endothel junctional.
Suzuki dan rekannya (2003) menjelaskan perubahan resistensi ultrastruktural di wilayah
subendothelial arteri pada wanita preeklampsia. Dengan aliran darah yang berkurang
karena maldistribusi, iskemia jaringan sekitarnya akan menyebabkan nekrosis,
perdarahan, dan lain organ akhir gangguan karakteristik sindrom tersebut.

2.1.2 Aktivasi sel endotel


Selama dua dekade terakhir, aktivasi sel endotel menjadi bintang dalam
pemahaman kontemporer dari patogenesis preeklampsia. Dalam skema ini, faktor yang
tidak diketahui - kemungkinan berasal dalam plasenta - juga dikeluarkan ke sirkulasi ibu
dan memprovokasi aktivasi dan disfungsi vaskular endotelium. Sindrom klinis
preeklampsia diperkirakan merupakan hasil dari perubahan sel endotel yang luas.
Selain mikropartikel, Grundmann dan rekan (2008) telah melaporkan bahwa
sirkulasi sel endotel, secara signifikan meningkat empat kali lipat dalam darah perifer
wanita preeklampsia.
Endotelium utuh memiliki sifat antikoagulan, dan sel endotel menumpulkan
respon otot polos vaskular untuk agonis dengan melepaskan oksida nitrat. Sel endotel
yang rusak atau teraktivasi dapat memproduksi oksida nitrat dan mengeluarkan zat yang
mempromosikan koagulasi dan meningkatkan kepekaan terhadap vasopressors.
Pada waktu terjadi kerusakan sel endotel yang mengakibatkan disfungsi sel
endotel akan terjadi:
 Gangguan metabolism prostaglandin (vasodilator kuat)
 Agregasi sel trombosit untuk menutup endotel yang mengalami kerusakan.
Agregasi trombosit ini memproduksi tromboksan (TXA2), suatu vasokonstriktor
kuat. Dalam keadaan normal, kadar prostasklin lebih tinggi daripada kadar
tromboksan. Pada preeclampsia, terjadi sebaliknya sehingga berakibat naiknya
tekanan darah.
 Peningkatan endotelin (vasopresor), penurunan oksida nitrit (vasodilator).
 Peningkatan faktor koagulasi.
Bukti lebih lanjut dari aktivasi endotel termasuk perubahan karakteristik morfologi
endotel kapiler glomerulus, permeabilitas kapiler meningkat, dan meningkatnya
konsentrasi mediator yang berperan untuk menimbulkan aktivasi endotel. Penelitian
menunjukkan bahwa serum dari wanita dengan preeklampsia merangsang sel endotel
yang dikultur untuk memproduksi prostasiklin dalam jumlah yang lebih besar
dibandingkan serum wanita hamil normal.

2.6 Gejala Preeklamsia/ eklamsia


Preeklamsia mempunyai gejala-gejala sebagai berikut:
1) Gejala Preeklamsia
Biasanya tanda-tanda preeklamsia timbul dalam urutan: pertambahan berat badan yang
berlebihan, diikuti edema, hipertensi, dan akhirnya proteinuria. Pada preeklamsia ringan tidak
ditemukan gejala-gejala subyektif. Pada preeklamsia berat gejala-gejalanya adalah:
a) Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg
b) Tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg
c) Peningkatan kadar enzim hati/ ikterus
d) Trombosit < 100.000/mm³
e) Oligouria < 500 ml/24 jam
f) Proteinuria > 3 g/liter
g) Nyeri epigastrium
h) Skotoma dan gangguan visus lain atau nyeri frontal yang berat
i) Perdarahan retina
j) Edema pulmonum
k) Koma
2) Gejala eklampsia
Pada umumnya kejang didahului oleh makin memburuknya preeklamsia dan terjadinya
gejala-gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan penglihatan, mual, nyeri di epigastrium
dan hiperrefleksia. Bila keadaan ini tidak dikenali dan tidak segera diobati, akan timbul
kejang terutama pada persalinan.

2.7 Klasifikasi Preeklamsia/eklamsia


Pembagian preeklamsia sendiri dibagi dalam golongan ringan dan
berat. Berikut ini adalah penggolongannya:
1) Preeklamsia ringan
Dikatakan preeklamsia ringan bila :
a) Tekanan darah sistolik antara 140-160 mmHg dan tekanan darah diastolik 90-110 mmHg
b) Proteinuria minimal (< 2g/L/24 jam)
c) Tidak disertai gangguan fungsi organ
2) Preeklamsia berat
Dikatakan preeklamsia berat bila :
a) Tekanan darah sistolik > 160 mmHg atau tekanan darah diastolik > 110 mmHg
b) Proteinuria (> 5 g/L/24 jam) atau positif 3 atau 4 pada pemeriksaan kuantitatif. Bisa
disertai dengan :
a) Oliguria (urine ≤ 500 mL/24jam)
b) Keluhan serebral, gangguan penglihatan
c) Nyeri abdomen pada kuadran kanan atas atau daerah epigastrium
d) Gangguan fungsi hati dengan hiperbilirubinemia
e) Edema pulmonum, sianosis
f) Gangguan perkembangan intrauterine
g) Microangiopathic hemolytic anemia, trombositopenia
3) Jika terjadi tanda-tanda preeklamsia yang lebih berat dan disertai dengan adanya kejang,
maka dapat digolongkan ke dalam eklamsia

2.8 Komplikasi Preeklamsia/eklamsia


Nyeri epigastrium menunjukkan telah terjadinya kerusakan pada liver dalam bentuk
kemungkinan:
1) Perdarahan subkapsular
2) Perdarahan periportal sistem dan infark liver
3) Edema parenkim liver
4) Peningkatan pengeluaran enzim liver
Tekanan darah dapat meningkat sehingga menimbulkan kegagalan dari kemampuan sistem
otonom aliran darah sistem saraf pusat (ke otak) dan menimbulkan berbagai bentuk kelainan
patologis sebagai berikut:
1) Edema otak karena permeabilitas kapiler bertambah
2) Iskemia yang menimbulkan infark serebal
3) Edema dan perdarahan menimbulkan nekrosis
4) Edema dan perdarahan pada batang otak dan retina
5) Dapat terjadi herniasi batang otak yang menekan pusat vital medula oblongata.
Komplikasi terberat adalah kematian ibu dan janin. Usaha utama ialah melahirkan bayi hidup
dari ibu yang menderita preeklamsia dan eklamsia. Komplikasi dibawah ini yang biasa terjadi
pada preeklamsia berat dan eklamsia :
1) Solusio plasenta
Komplikasi ini terjadi pada ibu yang menderita hipertensi akut dan lebih sering terjadi pada
preeklamsia.
2) Hipofibrinogenemia
Biasanya terjadi pada preeklamsia berat. Oleh karena itu dianjurkan untuk pemeriksaan kadar
fibrinogen secara berkala.
3) Hemolisis
Penderita dengan preeklamsia berat kadang-kadang menunjukkan gejala klinik hemolisis yang
dikenal dengan ikterus. Belum diketahui dengan pasti apakah ini merupakan kerusakkan sel
hati atau destruksi sel darah merah. Nekrosis periportal hati yang sering ditemukan pada
autopsi penderita eklamsia dapat menerangkan ikterus tersebut.
4) Perdarahan otak
Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal penderita eklamsia.
5) Kelainan mata
Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang berlangsung sampai seminggu, dapat terjadi.
Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina. Hal ini merupakan tanda gawat akan terjadi
apopleksia serebri.
6) Edema paru-paru
Paru-paru menunjukkan berbagai tingkat edema dan perubahan karena bronkopneumonia
sebagai akibat aspirasi. Kadang-kadang ditemukan abses paru-paru.
7) Nekrosis hati
Nekrosis periportal hati pada preeklamsia/eklamsia merupakan akibat vasospasme arteriole
umum. Kelainan ini diduga khas untuk eklamsia, tetapi ternyata juga dapat ditemukan pada
penyakit lain. Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui dengan pemeriksaan faal hati, terutama
penentuan enzim-enzimnya.
8) Sindroma HELLP yaitu haemolysis, elevated liver enzymes dan low platelet
Merupakan sindrom kumpulan gejala klinis berupa gangguan fungsi hati, hepatoseluler
(peningkatan enzim hati [SGPT,SGOT], gejala subjektif [cepat lelah, mual, muntah, nyeri
epigastrium]), hemolisis akibat kerusakan membran eritrosit oleh radikal bebas asam
lemakjenuh dan tak jenuh. Trombositopenia (<150.000/cc), agregasi (adhesi trombosit di
dinding vaskuler), kerusakan tromboksan (vasokonstriktor kuat), lisosom.
9) Kelainan ginjal
Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan sitoplasma sel endotelial
tubulus ginjal tanpa kelainan struktur yang lainnya. Kelainan lain yang dapat timbul ialah
anuria sampai gagal ginjal.
10) Komplikasi lain
Lidah tergigit, trauma dan fraktur karena jatuh akibat kejang-kejang pneumonia aspirasi dan
DIC (disseminated intravascular cogulation).
11) Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intra-uterin.

2.9 Penatalaksanaan Preeklampsia Berat


Prinsip penatalaksanaan preeklampsia adalah sebagai berikut :
1. Melindungi ibu dari efek peningkatan tekanan darah
2. Mencegah progresifitas penyakit menjadi eklampsia
3. Mengatasi dan menurunkan komplikasi pada janin
4. Terminasi kehamilan dengan cara yang paling aman
Perawatan preeklampsia berat dibagi menjadi dua unsur:
 Pertama adalah rencana terapi pada penyulitnya: yaitu terapi medikamentosa dengan
pemberian obat-obatan untuk penyulitnya
 Kedua baru menentukan rencana sikap terhadap kehamilannya: yang tergantung pada
umur kehamilannya dibagi 2, yaitu:
 Ekspektatif; Konservatif : bila umur kehamilan < 37 minggu, artinya: kehamilan
dipertahankan selama mungkin sambil memberi terapi medikamentosa
 Aktif, agresif: bila umur kehamilan > 37 minggu, artinya kehamilan diakhiri
setelah mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi.
Dasar pengelolaan PEB terbagi menjadi dua. Pertama adalah pengelolaan
terhadap penyulit yang terjadi, kedua adalah sikap terhadap kehamilannya.
Penanganan penyulit pada PEB meliputi (Prasetyorini, 2009):
a. Pencegahan Kejang
• Tirah baring, tidur miring kiri
• Infus RL atau RD5
• Pemberian anti kejang MgSO4 yang terbagi menjadi dua tahap, yaitu :
- Loading / initial dose : dosis awal
- Maintenance dose : dosis rumatan
 Pasang Foley catheter untuk monitor produksi urin
Tabel 1. Tatacara Pemberian SM pada PEB
Loading dose Maintenance dose
SM 20 % 4 g iv pelan-pelan - SM 40 % 10 g im, terbagi pada
selama 5 menit glutea kiri dan kanan
- SM 40 % 5 g per 500 cc RD5 30
tts/m
1. SM rumatan diberikan sampai
24 jam pada perawatan
konservatif dan 24 jam setelah
persalinan pada perawatan aktif
Syarat pemberian SM :
- Reflex patella harus positif
- Respiration rate > 16 /m
- Produksi urine dalam 4 jam 100cc
- Tersedia calcium glukonas 10 %
Antidotum :
Bila timbul gejala intoksikasi SM dapat diberikan injeksi Calcium
gluconas 10 %, iv pelan-pelan dalam waktu 3 menit
Bila refrakter terhadap SM dapat diberikan preparat berikut :
1. Sodium thiopental 100 mg iv
2. Diazepam 10 mg iv
3. Sodium amobarbital 250 mg iv
4. Phenytoin dengan dosis :
- Dosis awal 100 mg iv
- 16,7 mg/menit/1 jam
500 g oral setelah 10 jam dosis awal diberikan selama 14 jam
b. Antihipertensi
• Hanya diberikan bila tensi ≥ 180/110 mmHg atau MAP ≥ 126
• Bisa diberikan nifedipin 10 – 20 mg peroral, diulang setelah 30 menit,
maksimum 120 mg dalam 24 jam
• Penurunan darah dilakukan secara bertahap :
- Penurunan awal 25 % dari tekanan sistolik
- Target selanjutnya adalah menurunkan tekanan darah < 160/105 mmHg
atau MAP < 125
c. Diuretikum
Tidak diberikan secara rutin karena menimbulkan efek :
• Memperberat penurunan perfusi plasenta
• Memperberat hipovolemia
• Meningkatkan hemokonsentrasi
Indikasi pemberian diuretikum :
1. Edema paru
2. Payah jantung kongestif
3. Edema anasarka
Krepitasi merupakan tanda edema paru. Jika terjadi edema paru, stop pemberian
cairan
dan berikan diuretik misalnya furosemide 40 mg intravena

Berdasarkan sikap terhadap kehamilan, perawatan pada pasien PEB dibedakan


menjadi perawatan konservatif dan perawatan aktif.
a. Perawatan konservatif
1. Tujuan :
• Mempertahankan kehamilan hingga tercapai usia kehamilan yang
memnuhi syarat janin dapat hidup di luar rahim
• Meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhi
keselamatan ibu
2. Indikasi :
Kehamilan < 37 minggu tanpa disertai tanda dan gejala impending eklampsia
3. Pemberian anti kejang :
Seperti Tabel 1 di atas, tapi hanya diberikan maintainance dose ( loading dose
tidak diberikan )
4. Antihipertensi
Diberikan sesuai protokol untuk PER.
5. Induksi Maturasi Paru
Diberikan injeksi glukokortikoid, dapat diberikan preparat deksametason 2 x
16 mg iv/24 jam selama 48 jam atau betametason 24 mg im/24 jam sekali
pemberian.
6. Cara perawatan :
• Pengawasan tiap hari terhadap gejala impending eklampsia
• Menimbang berat badan tiap hari
• Mengukur protein urin pada saat MRS dan tiap 2 hari sesudahnya
• Mengukur tekanan darah tiap 4 jam kecuali waktu tidur
• Pemeriksaan Lab : DL, LFT, RFT, lactic acid dehydrogenase, Albumin
serum dan faktor koagulasi
• Bila pasien telah terbebas dari kriteria PEB dan telah masuk kriteria PER,
pasien tetap dirawat selama 2 – 3 hari baru diperbolehkan rawat jalan.
Kunjungan rawat jalan dilakukan 1 minggu sekali setelah KRS.
7. Terminasi kehamilan
• Bila pasien tidak inpartu, kehamilan dipertahankan sampai aterm
• Bila penderita inpartu, persalinan dilakukan sesuai dengan indikasi
obstetrik
b. Perawatan aktif
1. Tujuan : Terminasi kehamilan
2. Indikasi :
(i). Indikasi Ibu :
• Kegagalan terapi medikamentosa :
- Setelah 6 jam dimulainya terapi medikamaentosa terjadi kenaikan
tekanan darah persisten
- Setelah 34 jam dimulainya terapi medikamentosa terjadi kenaikan
tekanan darah yang progresif
• Didapatkan tanda dan gejala impending preeclampsia
• Didapatkan gangguan fungsi hepar
• Didapatkan gangguan fungsi ginjal
• Terjadi solusio plasenta
• Timbul onset persalinan atau ketuban pecah
(ii). Indikasi Janin
• Usia kehamilan ≥ 37 minggu
• PJT berdasarkan pemeriksaan USG serial
• NST patologis dan Skor Biofisikal Profil < 8
• Terjadi oligohidramnion
(iii). Indikasi Laboratorium
• Timbulnya HELLP syndrome
3. Pemberian antikejang : Seperti protokol yang tercantum pada tabel 1.
4. Terminasi kehamilan :
Bila tidak ada indikasi obstetrik untuk persalinan perabdominam, mode of
delivery pilihan adalah pervaginam dengan ketentuan sebagai berikut :
(i) Pasien belum inpartu
• Dilakukan induksi persalinan bila skor pelvik ≥ 8. Bila skor pelvik < 8
bisa dilakukan ripening dengan menggunakan misoprostol 25 μg
intravaginal tiap 6 jam. Induksi persalinan harus sudah mencapai kala II
sejak dimulainya induksi, bila tidak maka dianggap induksi persalinan
gagal dan terminasi kehamilan dilakukan dengan operasi sesar.
• Indikasi operasi sesar :
- Indikasi obstetrik untuk operasi sesar
- Induksi persalinan gagal
- Terjadi maternal distress
- Terjadi fetal compromised
- Usia kehamilan < 33 minggu
(ii) Pasien sudah inpartu
• Perjalanan persalinan dilakukan dengan mengikuti partograf
• Kala II diperingan
• Bila terjadi maternal distress maupun fetal compromised, persalinan
dilakukan dengan operasi sesar
• Pada primigravida direkomendasikan terminasi dengan operasi sesar

2.10 Edema paru pada preeklampsia berat14


Pathogenesis edema paru pada preeclampsia berat
 Disfungsi endotel ditandai peningkatan kadar sVCAM-1, vWF dan fibrin monomer
sebagai petanda aktivasi koagulasi
 Peningkatan permeabilitas kapiler akibat timbulnya mediator inflamasi (tromboksan
dan endothelin)
 Ketidakseimbangan “Starling Force” akibat hipertensi dan hemodilusi, menyebabkan :
- Peningkatan tekanan vena pulmonalis
- Penurunan tekanan onkotik plasma
- Peningkatan negativitas tekanan interstisial
 Akibat hal tersebut menyebabkan tertumpuknya cairan pada ruang interstisial paru-
paru akibat ekstravasasi cairan ke jaringan ekstraseluler menyebabkan edema paru 7
Gejala dan tanda
 Sesak nafas
 Rasa tidak nyaman di dada
 Takipnea
 Takikardi
 Batuk-batuk
 Sianosis
 Ronkhi basah basal
 Gambaran edema paru pada foto toraks

Definisi Edema merupakan pembengkakan jaringan akibat kelebihan


cairaninterstisium. Penimbunan cairan interstisium yang berlebihan ini dikarenakansalah satu
gaya fisik yang bekerja pada dinding kapiler menjadi abnormal karenasuatu sebab jantung dapat
ditemukan protodiastolik gallop, bunyi jantung II pulmonalmengeras, dan tekanan darah dapat
meningkat. Secara radiologis Pada foto toraks menunjukkan hilus yang melebar dan
densitasmeningkat disertai tanda bendungan paru, akibat edema interstisial ataualveolar.  
Pada pemeriksaan EKG bisa normal atau seringkali didapatkan tanda-tandaiskemia
atau infark pada infark miokard akut dengan edema paru. Pasiendengan krisis hipertensi
gambaran elektrokardiografi biasanya menunjukkangambaran hipertrofi ventrikel kiri. Pasien
dengan edema paru kardiogenik tetapi yang non-iskemik biasanya menunjukkan gambaran
gelombang Tnegatif yang lebar dengan QT memanjangyang khas, dimana akan
membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil dan menghilang dalam 1 minggu. Penyebabdari
keadaan non-iskemik ini belum diketahui tetapi ada beberapa keadaanyang dikatakan dapat
menjadi penyebab, antara lain: iskemia sub-endokardialyangberhubungan dengan peningkatan
tekanan pada dinding,peningkatanakut tonus simpatis kardiak atau peningkatan elektrikal
akibatperubahan metabolik atau katekolamin.
Penatalaksanaan Edema Paru AkutPenatalaksanaan terutama untuk edema paru akut
kardiogenik. Terapi EPAharus segera dimulai setelah diagnosis ditegakkan meskipun
pemeriksaan untuk melengkapi anamnesis dan pemeriksaan fisis masih berlangsung. Pasien
diletakkanpada posisi setengah duduk atau duduk, harus segera diberi oksigen, nitrogliserin,
diuretik IV, morfin sulfat, obat untuk menstabilkan hemodinamik, trombolitik dan
revaskularisasi, intubasi dan ventilator, terapi aritmia dan gangguankonduksi, serta koreksi
definitif kelainan anatomi.
Terapi oksigen Oksigen (40-50%) diberikan sampai dengan 8 L/menit, untuk
mempertahankan PaO2 kalau perlu dengan masker. Jika kondisi pasien makin memburuk,
timbulsianosis, makin sesak, takipneu, ronkhi bertambah, PaO2tidak bisa dipertahankan ≥60
mmHg dengan terapi O2 konsentrasi dan aliran tinggi ,retensi CO2 hipoventilasi, atau tidak
mampu mengurangi cairan edema secara adekuat, maka perlu dilakukan intubasi
endotrakheal, suction dan penggunaan ventilator.
Nitrogliserin sublingual atau intravenaNitrogliserin diberikan peroral 0,4-0,6 mg tiap
5-10 menit. Jika tekanan darahsistolik cukup baik (>95 mmHg). Nitrogliserin intravena dapat
diberikandimulai dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB. Jika notrogliserin tidak memberi hasilyang
memuaskan, maka dapat diberikan nitroprusid.
Morfin sulfatDiberikan 3-5 mg IV, dapat diulangi tiap 15 menit, sampai total dosis 15
mgbiasa cukup efektif. Diuretik IV Diberikan furosemid IV 40-80 mg bolus, dapat diulangi
atau dosis ditingkatkansetelah 4 jam, atau dilanjutkan dengan drip kontinyu sampai dicapai
produksiurin 1 ml/kgBB/jam.
Obat untuk menstabilkan klinis hemodinamik 
 Nitroprusid IV: dimulai dengan dosis 0,1 mg/kgBB/menit.Diberikan pada pasien yang
tidak memperlihatkan respons yangbaik dengan terapi nitrat atau pada pasien dengan
regurgitasimitral, regurgitasi aorta, hipertensi berat. Dosis dinaikkan sampaididapat
perbaikan klinis.
  Dopamin 2-5 mg mcg/kgBB/menit atau dobutamin 2-10mg/kgBB/menit. Dosis dapat
ditingkatkan sesuai respon klinis.
 Digitalisasi jika ada fibrilasi atrium atau kardiomegali.
  Obat trombolitik.
 Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis atau tidak berhasil
dengan terapi oksigen.
DAFTAR PUSTAKA

Achadiat, C.M., 2004, Prosedur Tetap Obstetri & Ginekologi, Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta
College Of Obstetricians And Gynaecologists, Singapore. 2006. Consensus Statement On
The Management Of Pre-eclampsia
Cunningham F. G., 2005. Chapter 34. Hypertensive Disorders In Pregnancy. In Williams
Obstetri. 22nd Ed. New York :Medical Publishing Division, pp. 762-74
Cunningham F.G., 1995. Hipertensi dalam Kehamilan. Dalam Obstetri Williams. Edisi
18. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC, pp. 773-819
Cuningham, F.G., Gant, N.F., Leveno K.J., Gilstrap III L.C., Hauth, J.C., Wenstrom,
K.D., 2001. Williams Obstetrics (21st edition). The McGraw-Hill Companies, Inc. United
States of America.
Manuaba I. B. G., 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta : EGC, pp 401-31
Mochtar, R., 1998, Sinopsis Obstetri Patologi, Edisi II, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta
Prasetyorini, N, 2009. Penanganan Preeklampsia dan Eklampsia. Seminar POGI Cabang
Malang. Divisi Kedokteran Feto Maternal - FKUB/RSSA Malang
Rachma N., 2008. Eklampsia : Preventif dan Rehabilitasi Medik Pre dan post Partum, in
Holistic and Comprehensive Management Eclampsia. Surakarta : FK UNS, pp. 99
Suyono, Y.J., 2002, Dasar-Dasar Obstetri & Ginekologi, edisi 6, Hipokrates, Jakarta
Tomasulo, P.J. & Lubetkin, D., (2006, March 15 – Review date),
Preeclamsia, Availablefrom:
http://www.obgyn.health.ivillage.com/pregnancybacics/preeclamsia.cmf
Wibowo B., Rachimhadi T., 2006. Preeklampsia dan Eklampsia, dalam : Ilmu Kebidanan.
Edisi III. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, pp. 281-99

Anda mungkin juga menyukai