DEPARTEMEN SURGIKAL
KEHAMILAN POST DATE (SEROTINUS) SEBAGAI INDIKASI TINDAKAN
SECTIO CEASARIA
RUANG OK RS PANTI NIRMALA MALANG
Disusun Oleh:
DINI ANJANI
125070200111005
KELOMPOK 13
DEFINISI
Kehamilan lewat waktu (serotinus) adalah kehamilan yang melebihi 42 minggu belum
terjadi persalinan (Manuaba, 2011).
Kehamilan lewat waktu atau post date adalah kehamilan yang berlangsung sampai 42
minggu (294 hari) atau lebih dihitung dari hari pertama haid terakhir menurut Neagle dengan
siklus rata rata 28 hari (Prawirohardjo, 2008). Rumus neagle ini adalah untuk menghitung
tanggal kelahiran bayi yaitu (tanggal +7, bulan -3, tahun +1) atau (tanggal +7, bulan +9,
tahun +0) (C Trihendradi, 2010).
ETIOLOGI
Penyebab terjadinya serotinus belum diketahui secara pasti, namun ada faktor-faktor
yang bisa menyebabkan serotinus seperti halnya teori bagaimana terjadinya persalinan.
Faktor yang menyebabkan kehamilan serotinus sebagai berikut (Sujiyatini, 2009):
1. Penurunan kadar esterogen
Pada kehamilan normal umumnya kadar esterogen meningkat
2. Faktor hormonal
Kadar progesteron tidak cepat turun walaupun kehamilan telah cukup bulan,
sehingga kepekaan uterus terhadap oksitosin berkurang
3. Teori Kortisol
Pemberi tanda untuk memulainya persalinan adalah janin, diduga akibat
peningkatan tiba-tiba kadar kortisol plasma janin. Kortisol janin akan mempengaruhi
plasenta sehingga produksi progesteron berkurang dan memperbesar sekresi estrogen,
selanjutnya berpengaruh terhadap meningkatnya produksi prostaglandin. Pada cacat
bawaan janin seperti anensefalus, hipoplasia adrenal janin, dan tidak adanya kelenjar
hipofisis pada janin akan menyebabkan kortisol janin tidak diproduksi dengan baik
sehingga kehamilan dapat berlangsung lewat bulan (Prawirohardjo, 2009).
4. Saraf Uterus
Tekanan pada ganglion servikalis dari pleksus Frankenhauser akan
membangkitkan kontraksi uterus. Pada keadaan di mana tidak ada tekanan pada
pleksus ini, seperti pada kelainan letak, tali pusat pendek dan bagian bawah masih
tinggi diduga sebagai penyebab terjadinya kehamilan postterm.
5. Faktor lain: Herediter
Jika seorang ibu mengalami kehamilan postterm saat melahirkan anak
perempuan, maka besar kemungkinan anak perempuannya akan mengalami kehamilan
postterm (Prawirohardjo, 2009).
KLASIFIKASI
Menurut Prawirohardjo (2009), klasifikasi pada bayi lewat bulan adalah :
1. Stadium I yaitu kulit menunjukkan kehilangan verniks kaseosa dan terjadi maserasi
seperti kulit kering, rapuh, dan mudah mengelupas.
2. Stadium II seperti stadium I dan disertai pewarnaan mekonium (kehijauan) di kulit.
3. Stadium III seperti stadium I dan disertai dengan pewarnaan kekuningan pada kuku,
kulit, dan tali pusat.
MANIFESTASI KLINIS
1. Keadaan klinis yang dapat ditemukan ialah gerakan janin yang jarang, yaitu secara
subyektif kurang dari 7 kali/20 menit atau secara obyektif dengan Kardiotokografi
kurang dari 10 kali/20 menit.
2. TFU tidak sesuai umur kehamilan.
3. Air ketuban berkurang dengan atau tanpa pengapuran (kalsifikasi) plasenta diketahui
dengan pemeriksaan USG.
Tanda bayi Postmatur (Manuaba, 2011) adalah :
1. Biasanya lebih berat dari bayi matur ( > 4000 gram).
2. Tulang dan sutura kepala lebih keras dari bayi matur.
3. Rambut lanugo hilang atau sangat kurang.
4. Verniks kaseosa di badan kurang.
5. Kuku-kuku panjang.
6. Rambut kepala agak tebal.
7. Kulit agak pucat dengan deskuamasi epitel.
PATHWAY
Terlampir
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Sitologi vagina yaitu dengan indeks kariopiknotik meningkat (> 20%).
2. Amniostropi yaitu melihat wana air ketuban.
3. USG yaitu menilai jumlah dan kekeruhan air ketuban, derajat maturitas plasenta,
besarnya janin, keadaan janin (pernafasan dan pergerakan janin).
4. Kardiotokografi yaitu menilai kesejahteraan janin dengan Nonstress Test (NST) reaktif
atau tidak, maupun Contraction Stress Test (CST) negatif atau positif.
(Taufan, 2012)
PENATALAKSANAAN
1. Setelah usia kehamilan >40 minggu yang penting adalah monitoring janin sebaik-
baiknya.
2. Apabila tidak ada tanda-tanda insufisiense plasenta, persalinan spontan dapat ditunggu
dengan pengawasan ketat (Taufan, 2012).
3. Lakukan pemeriksaan dengan cara Bishop score.
Bishop score adalah suatu cara untuk menilai kematangan serviks dan responsnya
terhadap suatu induksi persalinan, karena telah diketahui bahwa
serviks bishop score rendah artinya serviks belum matang dan memberikan angka
kegagalan yang lebih tinggi dibanding serviks yang matang. Lima kondisi yang dinilai
dari serviks adalah :
a) Pembukaan (Dilatation) yaitu ukuran diameter leher rahim yang terenggang. Ini
melengkapi pendataran, dan biasanya merupakan indikator yang paling penting
dari kemajuan melalui tahap pertama kerja.
b) Pendataran/penipisan (Effacement) yaitu ukuran regangan sudah ada di leher
rahim.
c) Penurunan kepala janin (Station) yaitu mengambarkan posisi janin kepala dalam
hubungannya dengan jarak dari iskiadika punggung, yang dapat teraba jauh di
dalam vagina posterior (sekitar 8-10 cm) sebagai tonjolan tulang.
d) Konsistensi (Consistency) yaitu dalam primigravida leher rahim perempuan
biasanya lebih keras dan tahan terhadap peregangan, seperti sebuah balon
sebelumnya belum meningkat. Lebih jauh lagi, pada wanita muda serviks lebih
tangguh dari pada wanita yang lebih tua.
e) Posisi ostinum uteri (Position) yaitu posisi leher rahim perempuan bervariasi antara
individu. Sebagai anatomi vagina sebenarnya menghadap ke bawah, anterior dan
posterior lokasi relatif menggambarkan batas atas dan bawah dari vagina. Posisi
anterior lebih baik sejajar dengan rahim, dan karena itu memungkinkan
peningkatan kelahiran spontan.
Tabel Bishop Score
Achadiat (2004 : 17-18)
Skor 0 1 2 3
Pembukaan 0 1 3-4 5-6
Pendataran 0-30% 40-50% 60-70% 80%
Station -3 -2 -1 +1+2
Konsistensi Keras Sedang Lunak Sangat lunak
Posisi Os Posterior Tengah Anterior Anterior
2. Data Obyektif
Menurut Wildan (2009), pencatatan dilakukan dari hasil pemeriksaan fisik,
pemeriksaan khusus kebidanan, data penunjang, hasil laboratorium seperti VDRL, HIV,
pemeriksaan radiodiagnostik, ataupun USG yang dilakukan sesuai dengan beratnya
masalah. Data yang telah dikumpulkan diolah, disesuaikan dengan kebutuhan pasien
kemudian dilakukan pengolahan data yaitu menggabungkan dan menghubungkan data
satu dengan yang lainnya sehingga menunjukkan fakta. Tujuan dari pengolahan data
adalah untuk menunjukkan fakta berdasarkan kumpulan data. Data yang telah diolah
dianalisis dan hasilnya didokumentasikan.
1) Pemeriksaan Umun
a) Keadaan Umum (KU)
Untuk menilai keadaan pasien pada saat itu secara umum.
b) Kesadaran
Untuk mengetahui tingkat kesadaran ibu apakah composmentis (Kesadaran
penuh dengan memberikan respon yang cukup terhadap stimulus yang
diberikan), somnolen (kesadaran yang mau tidur saja, dapat dibangunkan
dengan rasa nyeri tetapi tidur lagi), koma (tidak dapat bereaksi terhadap
stimulus yang diberikan atau rangsangan apapun, reflek pupil terhadap cahaya
tidak ada).
c) Tanda-tanda Vital (TTV)
Pada pengukuran tanda-tanda vital yang diukur adalah tekanan darah, nadi,
respirasi, dan suhu.
d) Berat Badan (BB)
Untuk mengetahui berat badan pasien dalam satuan kilogram (Buku Panduan
Praktik Klinik Kebidanan).
e) Tinggi Badan (TB)
Dikaji untuk mengetahui tinggi badan ibu dalam satuan sentimeter, menurut
Saminem (2009).
f)
LILA (Lingkar Lengan Atas)
Untuk mengetahui status gizi pasien.
2) Pemeriksaan fisik / Status Present adalah pemeriksaan kepala, muka, mata,
hidung, telinga, mulut, leher, ketiak, dada, abdomen, punggung, genetalia,
ektermitas atas dan bawah, anus.
3) Pemeriksaan khusus obstetric, menurut Hidayat (2008 : 142-145)
a) Inspeksi
Inspeksi adalah proses pengamatan dilakukan untuk mengetahui apakah ada
pembengkakan pada wajah dan ekstermitas, pada perut apakah ada bekas
operasi atau tidak.
b) Palpasi
Palpasi adalah pemeriksaan dengan indra peraba yaitu tangan, yang berguna
untuk memeriksa payudara apakah ada benjolan atau tidak, pemeriksaan
abdomen yaitu memeriksa Leopold I, II, III, dan IV.
c) Auskultasi
Denyut Jantung Janin (DJJ) yaitu salah satu tanda pasti hamil dan kehidupan
janin. DJJ mulai terdengar pada usia kehamilan 16 minggu. Dengan dopler DJJ
mulai terdengar usia kehamilan 12 minggu. Normalnya denyut jantung janin
(DJJ) yaitu 120-160x/menit.
Achadiat, Dr. Chrisdiono M. 2004. Prosedur Tetap Obstetrik dan Ginekologi. Jakarta: EGC.
Arum dan Sujiyatini. 2009. Panduan Lengkap Pelayanan KB Terkini. Jogjakarta: Mitra
Cendikia.
C. Trihendradi dkk. 2010. Wonderpa Indahnya Pendampingan. Yogyakarta: ANDI.
Kurniawati. D., Mirzanie. H. 2009. OBGYNACEA ( Obstetri dan Ginekologi). Yogyakarta:
TOSCA Entreprice.
Manuaba, I.B.G. 2011. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana
Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC.
Mochtar, Rustam. 2009. Sinopsis Obstetri. Jakarta: EGC.
Muslihatun. WN dkk. 2009. Dokumentasi Kebidanan. Yogjakarta: Fitramaya.
Nugroho. Taufan. 2012. Patologi Kebidanan. Yogyakarta: Nuha Medika.
Prawirohardjo, S. 2009. Ilmu Kebidanan.. Jakarta: Penerbit Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
Saminem, HJ. 2009. Kehamilan Normal: Seri Asuhan Kebidanan. Jakarta: EGC.
Wildan, M. 2009. Dokumentasi Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika.
SECTIO CAESAREA
DEFINISI
Sectio caesarea merupakan prosedur bedah untuk pelahiran janin dengan insisi
melalui abdomen dan uterus (Liu, 2007).
Sectio caesarea adalah suatu persalinan buatan, dimana janin dilahirkan melalui suatu
insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan sayatan rahim dalam keadaan utuh
serta berat janin diatas 500 gram (Sarwono, 2005).
Sectio caesarea atau bedah sesar adalah sebuah bentuk melahirkan anak dengan
melakukan sebuah irisan pembedahan yang menembus abdomen seorang ibu (laparotomi)
dan uterus (hiskotomi) untuk mengeluarkan satu bayi atau lebih (Dewi Y, 2007).
JENIS-JENIS
Menurut Mochtar Rustam (1998) jenis-jenis sectio caesarea adalah:
1. Transperitonealis
a. Sectio Caesarea klasik (korporal)
Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri kira-kira
sepanjang 10 cm.
Kelebihan :
1) Mengeluarkan janin lebih cepat
2) Tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih
3) Sayatan bisa diperpanjang proksimal atau distal
Kekurangan :
1) Infeksi mudah menyebar secara intraabdominal karena tidak ada
reperitonearisasi yang baik
2) Untuk persalinan berikutnya lebih sering terjadi ruptura uteri spontan
b. Sectio Caesarea ismika (profunda)
Dilakukan dengan membuat sayatan melintang-konkaf pada segmen bawah
rahim (low cervical transversal) kira-kira 10 cm.
Kelebihan :
1) Penjahitan luka lebih mudah
2) Penutupan luka dengan reperitonealisasi yang baik
3) Tumpang tindih dari peritoneal flat baik sekali untuk menahan penyebaran
isi uterus ke rongga periutoneum
4) Perdarahan kurang
5) Dibandingkan dengan cara klasik kemungkinan ruptura uteri spontan kurang
atau lebih kecil.
Kekurangan :
1) Luka dapat melebar ke kiri, kanan, dan bawah, sehingga dapat
menyebabkan uterine putus dan terjadi perdarahan hebat.
2) Keluhan pada kandung kemih postoperatif tinggi.
2. Sectio Caesarea Ekstraperitonealis
Sectio caesarea tanpa membuka peritoneum parietalis, dengan demikian tidak
membuka kavum abdominal.
INDIKASI
Para ahli kandungan atau para penyaji perawatan yang lain
menganjurkan sectio caesarea apabila kelahiran melalui vagina mungkin
membawa resiko pada ibu dan janin. Indikasi untuk sectsio caesarea antara
lain meliputi:
1. Indikasi Medis
Ada 3 faktor penentu dalam proses persalinan yaitu :
a) Power
Yang memungkinkan dilakukan operasi caesar, misalnya daya mengejan lemah, ibu
berpenyakit jantung atau penyakit menahun lain yang mempengaruhi tenaga.
b) Passanger
Diantaranya, anak terlalu besar, anak mahal dengan kelainan letak lintang, primi
gravida diatas 35 tahun dengan letak sungsang, anak tertekan terlalu lama pada
pintu atas panggul, dan anak menderita fetal distress syndrome (denyut jantung janin
kacau dan melemah).
c) Passage
Kelainan ini merupakan panggul sempit, trauma persalinan serius pada jalan lahir
atau pada anak, adanya infeksi pada jalan lahir yang diduga bisa menular ke anak,
umpamanya herpes kelamin (herpes genitalis), condyloma lota (kondiloma sifilitik
yang lebar dan pipih), condyloma acuminata (penyakit infeksi yang menimbulkan
massa mirip kembang kol di kulit luar kelamin wanita), hepatitis B dan hepatitis C.
(Dewi Y, 2007)
2. Indikasi Ibu
a) Usia
Ibu yang melahirkan untuk pertama kali pada usia sekitar 35 tahun,
memiliki resiko melahirkan dengan operasi. Apalagi pada wanita
dengan usia 40 tahun ke atas. Pada usia ini, biasanya seseorang
memiliki penyakit yang beresiko, misalnya tekanan darah tinggi,
penyakit jantung, kencing manis, dan preeklamsia. Eklampsia
(keracunan kehamilan) dapat menyebabkan ibu kejang sehingga dokter
memutuskan persalinan dengan sectio caesarea.
b) Tulang Panggul
Cephalopelvic diproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu tidak sesuai
dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat menyebabkan ibu tidak melahirkan
secara alami. Tulang panggul sangat menentukan mulus tidaknya proses persalinan.
c) Persalinan Sebelumnya dengan sectio caesarea
Sebenarnya, persalinan melalui bedah caesar tidak mempengaruhi persalinan
selanjutnya harus berlangsung secara operasi atau tidak. Apabila memang ada
indikasi yang mengharuskan dilakukanya tindakan pembedahan, seperti bayi terlalu
besar, panggul terlalu sempit, atau jalan lahir yang tidak mau membuka, operasi bisa
saja dilakukan.
d) Faktor Hambatan Jalan Lahir
Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang kaku sehingga tidak
memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor dan kelainan bawaan pada jalan
lahir, tali pusat pendek, dan ibu sulit bernafas.
e) Kelainan Kontraksi Rahim
Jika kontraksi rahim lemah dan tidak terkoordinasi (inkordinate uterine action) atau
tidak elastisnya leher rahim sehingga tidak dapat melebar pada proses persalinan,
menyebabkan kepala bayi tidak terdorong, tidak dapat melewati jalan lahir dengan
lancar.
f) Ketuban Pecah Dini
Robeknya kantung ketuban sebelum waktunya dapat menyebabkan bayi harus
segera dilahirkan. Kondisi ini membuat air ketuban merembes ke luar sehingga
tinggal sedikit atau habis. Air ketuban (amnion) adalah cairan yang mengelilingi janin
dalam rahim.
g) Rasa Takut Kesakitan
Umumnya, seorang wanita yang melahirkan secara alami akan mengalami proses
rasa sakit, yaitu berupa rasa mulas disertai rasa sakit di pinggang dan pangkal paha
yang semakin kuat dan menggigit. Kondisi tersebut karena keadaan yang pernah
atau baru melahirkan merasa ketakutan, khawatir, dan cemas menjalaninya. Hal ini
bisa karena alasan secara psikologis tidak tahan melahirkan dengan sakit.
Kecemasan yang berlebihan juga akan mengambat proses persalinan alami yang
berlangsung.
(Kasdu, 2003)
3. Indikasi Janin
a) Ancaman Gawat Janin (fetal distress)
Detak jantung janin melambat, normalnya detak jantung janin berkisar 120- 160.
Namun dengan CTG (cardiotography) detak jantung janin melemah, lakukan segera
sectio caesarea segara untuk menyelematkan janin.
b) Bayi Besar (makrosemia)
(Cendika, dkk. 2007)
c) Letak Sungsang
Letak yang demikian dapat menyebabkan poros janin tidak sesuai dengan arah jalan
lahir. Pada keadaan ini, letak kepala pada posisi yang satu dan bokong pada posisi
yang lain.
d) Faktor Plasenta
i. Plasenta previa
Posisi plasenta terletak dibawah rahim dan menutupi sebagian atau selruh jalan
lahir.
ii. Plasenta lepas (Solution placenta)
Kondisi ini merupakan keadaan plasenta yang lepas lebih cepat dari dinding rahim
sebelum waktunya. Persalinan dengan operasi dilakukan untuk menolong janin
segera lahir sebelum ia mengalami kekurangan oksigen atau keracunan air
ketuban.
iii. Plasenta accreta
Merupakan keadaan menempelnya plasenta di otot rahim. Pada umumnya
dialami ibu yang mengalami persalinan yang berulang kali, ibu berusia rawan
untuk hamil (di atas 35 tahun), dan ibu yang pernah operasi (operasinya
meninggalkan bekas yang menyebabkan menempelnya plasenta.
e) Kelainan Tali Pusat
i. Prolapsus tali pusat (tali pusat menumbung)
Keadaan penyembulan sebagian atau seluruh tali pusat. Pada keadaan ini, tali
pusat berada di depan atau di samping atau tali pusat sudah berada di jalan lahir
sebelum bayi.
ii. Terlilit tali pusat
Lilitan tali pusat ke tubuh janin tidak selalu berbahaya. Selama tali pusat tidak
terjepit atau terpelintir maka aliran oksigen dan nutrisi dari plasenta ke tubuh janin
tetap aman.
(Kasdu, 2003)
PATOFISIOLOGI
Adanya beberapa kelainan / hambatan pada proses persalinan yang menyebabkan
bayi tidak dapat lahir secara normal / spontan, misalnya plasenta previa sentralis dan
lateralis, panggul sempit, disproporsi cephalo pelvic, rupture uteri mengancam, partus lama,
partus tidak maju, pre-eklamsia, distosia serviks, dan malpresentasi janin. Kondisi tersebut
menyebabkan perlu adanya suatu tindakan pembedahan yaitu Sectio Caesarea (SC).
Dalam proses operasinya dilakukan tindakan anestesi yang akan menyebabkan
pasien mengalami imobilisasi sehingga akan menimbulkan masalah intoleransi aktivitas.
Adanya kelumpuhan sementara dan kelemahan fisik akan menyebabkan pasien tidak
mampu melakukan aktivitas perawatan diri pasien secara mandiri sehingga timbul masalah
defisit perawatan diri.
Kurangnya informasi mengenai proses pembedahan, penyembuhan, dan perawatan
post operasi akan menimbulkan masalah ansietas pada pasien. Selain itu, dalam proses
pembedahan juga akan dilakukan tindakan insisi pada dinding abdomen sehingga
menyebabkan terputusnya inkontinuitas jaringan, pembuluh darah, dan saraf - saraf di
sekitar daerah insisi. Hal ini akan merangsang pengeluaran histamin dan prostaglandin yang
akan menimbulkan rasa nyeri (nyeri akut). Setelah proses pembedahan berakhir, daerah
insisi akan ditutup dan menimbulkan luka post op, yang bila tidak dirawat dengan baik akan
menimbulkan masalah resiko infeksi.
(Manuaba, 2001)
KOMPLIKASI
a. Infeksi Puerpuralis
a) Ringan: dengan kenaikan suhu beberapa hari saja.
b) Sedang: dengan kenaikan suhu yang lebih tinggi disertai dehidrasi atau perut sedikit
kembung
c) Berat: dengan peritonitis, sepsis dan ileus paralitik. Hal ini sering kita jumpai pada
partus terlantar dimana sebelumnya telah terjadi infeksi intrapartum karena
ketuban yang telah pecah terlalu lama.
b. Pendarahan disebabkan karena :
a) Banyak pembuluh darah yang terputus dan terbuka
b) Atonia Uteri
c)Pendarahan pada placenta bled
c. Luka pada kandung kemih, emboli paru dan keluhan kandung kemih bila reperitonalisasi
terlalu tinggi.
d. Suatu komplikasi yang baru kemudian tampak ialah kurang kuatnya perut pada dinding
uterus, sehingga pada kehamilan berikutnya bisa terjadi ruptura uteri. Kemungkinan hal
ini lebih banyak ditemukan sesudah sectio caesarea klasik.
(Manuaba, 2001)
PENATALAKSANAAN
a. Pemberian cairan
Karena 24 jam pertama penderita puasa pasca operasi, maka pemberian cairan
perintravena harus cukup banyak dan mengandung elektrolit agar tidak terjadi
hipotermi, dehidrasi, atau komplikasi pada organ tubuh lainnya. Cairan yang biasa
diberikan biasanya DS 10%, garam fisiologi dan RL secara bergantian dan jumlah
tetesan tergantung kebutuhan. Bila kadar Hb rendah diberikan transfusi darah sesuai
kebutuhan.
b. Diet
Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah penderita flatus lalu dimulailah
pemberian minuman dan makanan peroral. Pemberian minuman dengan jumlah yang
sedikit sudah boleh dilakukan pada 6 - 10 jam pasca operasi, berupa air putih dan air
teh.
c. Mobilisasi
Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi :
a) Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 10 jam setelah operasi
b) Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur telentang sedini mungkin
setelah sadar
c) Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5 menit dan diminta
untuk bernafas dalam lalu menghembuskannya.
d) Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi posisi setengah duduk (semi
fowler)
e) Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan belajar duduk
selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan sendiri pada hari ke-3
sampai hari ke5 pasca operasi.
d. Kateterisasi
Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak enak pada penderita,
menghalangi involusi uterus dan menyebabkan perdarahan. Kateter biasanya terpasang
24 - 48 jam / lebih lama lagi tergantung jenis operasi dan keadaan penderita.
e. Pemberian obat-obatan
a) Antibiotik
Cara pemilihan dan pemberian antibiotic sangat berbeda-beda setiap institusi
b) Analgetik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan
1. Supositoria: ketopropen sup 2x/24 jam
2. Oral: tramadol tiap 6 jam atau paracetamol
3. Injeksi: penitidine 90-75 mg diberikan setiap 6 jam bila perlu
c) Obat-obatan lain
Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita dapat diberikan
neurobian I vit. C
f. Perawatan luka
Kondisi balutan luka dilihat pada 1 hari post operasi, bila basah dan berdarah harus
dibuka dan diganti
g. Perawatan rutin
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan adalah suhu, tekanan darah, nadi
dan pernafasan.
h. Perawatan Payudara
Pemberian ASI dapat dimulai pada hari post operasi jika ibu memutuskan tidak
menyusui, pemasangan pembalut payudara yang mengencangkan payudara tanpa
banyak menimbulkan kompresi, biasanya mengurangi rasa nyeri.
(Manuaba, 2001)
DAFTAR PUSTAKA
Dewi Y., dkk. 2007. Operasi Caesar, Pengantar dari A sampai Z. Jakarta: EDSA Mahkota.
Doengoes, Marylinn. 2001. Rencana Asuhan Keperawatan Maternal/Bayi. Jakarta: EGC.
Kasdu. 2003. Operasi Caesar Masalah dan Solusinya. Jakarta: Puspa Swara.
Liu.D. 2007. Manual Persalinan. Jakarta: EGC.
Manuaba, I.B. 2001. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi dan KB.
Jakarta: EGC.
Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri, Edisi 2, Jilid 2. Jakarta: EGC.
Sarwono, Prawiroharjo,. 2005. Ilmu Kandungan, Cetakan ke-4. Jakarta: PT Gramedi.
PANGGUL SEMPIT
ANATOMI PANGGUL
Pada tiap persalinan harus diperhatikan 3 faktor penting, yaitu jalan lahir, janin dan
kekuatan yang ada pada ibu. Jalan lahir dibagi atas bagian tulang dan bagian lunak. Bagian
tulang terdiri dari tulang-tulang panggul dengan sendi-sendinya (artikulasio), sedangkan
bagian lunak terdiri atas otot-otot, jaringan-jaringan dan ligamen-ligamen.
Tulang-tulang panggul terdiri atas 1) os koksa yang terdiri atas os ilium, os iskium,
dan os pubis, 2) os sacrum dan 3) os koksigeus. Tulang-tulang tersebut satu dengan yang
lainnya berhubungan. Di depan terdapat hubungan antara kedua os pubis kanan dan kiri
yang disebut simfisis. Di belakang terdapat artikulasio sakro iliaka yang menghubungkan os
sakrum dengan os ilium. Di luar kehamilan artikulasio ini hanya memungkinkan bergeser
sedikit, tetapi pada kehamilan dan waktu persalinan dapat bergeser lebih jauh dan lebih
longgar, misalnya ujung os koksigeus dapat bergerak ke belakang sampai sejauh lebih
kurang 2,5 cm.
Secara fungsional panggul terdiri dari 2 bagian yang disebut pelvis mayor dan pelvis
minor. Pelvis mayor adalah bagian pelvis yang terletak di atas linea terminalis, disebut pula
false pelvis. Bagian yang terletak di bawah linea terminalis disebut pelvis minor atau true
pelvis. Bentuk pelvis minor ini menyerupai suatu saluran yang mempunyai sumbu
melengkung ke depan (sumbu carus). Sumbu ini secara klasik adalah garis yang
menghubungkan titik persekutuan antara diameter transversa dan konjugata vera pada pintu
atas panggul dengan titik-titik sejenis di Hodge II,III dan IV. Sampai dekat hodge III sumbu
itu lurus, sejajar dengan sacrum untuk selanjutnya melengkung ke depan, sesuai dengan
lengkungan sacrum.
Bidang atas saluran ini normal berbentuk hampir bulat, disebut pintu atas panggul
(pelvic inlet). Bidang bawah saluran ini tidak merupakan suatu bidang seperti pintu atas
panggul, akan tetapi terdiri atas dua bidang, disebut pintu bawah panggul (pelvic outlet). Di
antara kedua pintu ini terdapat ruang panggul (pelvic cavity). Ruang panggul mempunyai
ukuran yang paling luas di bawah pintu atas panggul, akan tetapi menyempit di panggul
tengah, untuk kemudian menjadi luas lagi sedikit. Penyempitan di panggul tengah ini
disebabkan oleh adanya spina iskiadika yang kadang-kadang menonjol ke dalam ruang
panggul.
Anatomi Tulang Panggul
PANGGUL SEMPIT
Definisi
Panggul disebut sempit apabila ukurannya 1-2 cm kurang dari ukuran yang normal.
Kesempitan panggul bisa pada pintu atas panggul, ruang tengah panggul, pintu bawah
panggul atau kombinasi dari ketiganya.
b. Partus Percobaan
Adalah suatu partus fisiologis yang dilakukan pada kehamilan aterm, anak
presentasi belakang kepala dengan suspek disproporsi sefalopelvik (CPD). Tindakan
partus percobaan adalah memastikan ada tidaknya CPD. Dimulai saat penderita
dinyatakan in partu, dengan penilaian kemajuan persalinan dimulai setelah persalinan
masuk fase aktif. Penilaian terhadap kemajuan persalinan, turunnya kepala dan putar
paksi dalam dilakukan setiap 2 jam. Bila pada setiap penilaian per 2 jam tersebut
terdapat perubahan yang bermakna komponen yang dinilai itu, maka partus percobaan
dikatakan ada kemajuan dan diteruskan. Bila dari 3 komponen tersebut tidak ada
kemajuan yang bermakna, maka partus percobaan dikatakan gagal, dipastikan ada
CPD dan persalinan diakhiri dengan seksio sesaria.
Penelitian Krishnamurthy tahun 2005 pada 331 wanita yang melahirkan secara
seksio sesaria pada kehamilan pertamanya, menurut standar radiologi di dapati hasil
pelvis tidak adekuat sebanyak 248 ( 75%) dan yang adekuat sebanyak 83 ( 25 %).
Wanita yang secara radiologis pelvisnya tidak adekuat sebanyak 172 melakukan seksio
sesaria elektif pada kehamilan berikutnya dan 76 wanita dilakukan percobaan
melahirkan pervaginam. Hasilnya sebanyak 51 wanita berhasil melahirkan secara
vagina dan 25 wanita menjalani seksio sesaria emergensi. Pada wanita yang secara
radiologi pelviknya adekuat, 61 wanita berhasil melahirkan secara pervaginam,
sebanyak 22 wanita melahirkan secara seksio sesaria. Terdapat 3 kasus ruptura uteri
yang terjadi pada wanita yang secara radiologi memeliki pelvis yang adekuat.
Menurut Mahmood A.Tahir (2008), yang melakukan lateral X-ray pelvimetri pada
424 ibu hamil yang akan melahirkan dengan partus percobaan atas indikasi presentasi
bokong. Di peroleh kesimpulan bahwa partus percobaan tingkat keberhasilannya lebih
tinggi pada ukuran pelvik inlet yang lebih lebar, dan berat janin yang > 3500 gr memiliki
kesempatan < 50% untuk partus pervaginam.
DAFTAR PUSTAKA
Bratakoesoema, DS. 2005. Obstetri Ilmu Patologi Kesehatan Reproduksi. Bandung: EGC
Aflah, Nur. 2009. Ukuran Panggul pada pasien Pasca Secti Caesarea Atas Indikasi Panggul
Sempit. (Diakses tanggal 9 Agustus 2016). Didapat dari
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6443/1/10E00183.pdf
Liselele HB, Boulvain M, Tshibangu KC, Meuris S ; Maternal Height and external pelvimetry
to predict cephalopelvic disproportion in nulliparous African women: a cohort study;
BJOG Maret 2001