Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN INDIVIDU

DEPARTEMEN SURGIKAL
KEHAMILAN POST DATE (SEROTINUS) SEBAGAI INDIKASI TINDAKAN
SECTIO CEASARIA
RUANG OK RS PANTI NIRMALA MALANG

Disusun Oleh:
DINI ANJANI
125070200111005
KELOMPOK 13

PROGRAM PROFESI NERS


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016
KEHAMILAN POST DATE (SEROTINUS)

DEFINISI
Kehamilan lewat waktu (serotinus) adalah kehamilan yang melebihi 42 minggu belum
terjadi persalinan (Manuaba, 2011).
Kehamilan lewat waktu atau post date adalah kehamilan yang berlangsung sampai 42
minggu (294 hari) atau lebih dihitung dari hari pertama haid terakhir menurut Neagle dengan
siklus rata rata 28 hari (Prawirohardjo, 2008). Rumus neagle ini adalah untuk menghitung
tanggal kelahiran bayi yaitu (tanggal +7, bulan -3, tahun +1) atau (tanggal +7, bulan +9,
tahun +0) (C Trihendradi, 2010).

ETIOLOGI
Penyebab terjadinya serotinus belum diketahui secara pasti, namun ada faktor-faktor
yang bisa menyebabkan serotinus seperti halnya teori bagaimana terjadinya persalinan.
Faktor yang menyebabkan kehamilan serotinus sebagai berikut (Sujiyatini, 2009):
1. Penurunan kadar esterogen
Pada kehamilan normal umumnya kadar esterogen meningkat
2. Faktor hormonal
Kadar progesteron tidak cepat turun walaupun kehamilan telah cukup bulan,
sehingga kepekaan uterus terhadap oksitosin berkurang
3. Teori Kortisol
Pemberi tanda untuk memulainya persalinan adalah janin, diduga akibat
peningkatan tiba-tiba kadar kortisol plasma janin. Kortisol janin akan mempengaruhi
plasenta sehingga produksi progesteron berkurang dan memperbesar sekresi estrogen,
selanjutnya berpengaruh terhadap meningkatnya produksi prostaglandin. Pada cacat
bawaan janin seperti anensefalus, hipoplasia adrenal janin, dan tidak adanya kelenjar
hipofisis pada janin akan menyebabkan kortisol janin tidak diproduksi dengan baik
sehingga kehamilan dapat berlangsung lewat bulan (Prawirohardjo, 2009).
4. Saraf Uterus
Tekanan pada ganglion servikalis dari pleksus Frankenhauser akan
membangkitkan kontraksi uterus. Pada keadaan di mana tidak ada tekanan pada
pleksus ini, seperti pada kelainan letak, tali pusat pendek dan bagian bawah masih
tinggi diduga sebagai penyebab terjadinya kehamilan postterm.
5. Faktor lain: Herediter
Jika seorang ibu mengalami kehamilan postterm saat melahirkan anak
perempuan, maka besar kemungkinan anak perempuannya akan mengalami kehamilan
postterm (Prawirohardjo, 2009).

KLASIFIKASI
Menurut Prawirohardjo (2009), klasifikasi pada bayi lewat bulan adalah :
1. Stadium I yaitu kulit menunjukkan kehilangan verniks kaseosa dan terjadi maserasi
seperti kulit kering, rapuh, dan mudah mengelupas.
2. Stadium II seperti stadium I dan disertai pewarnaan mekonium (kehijauan) di kulit.
3. Stadium III seperti stadium I dan disertai dengan pewarnaan kekuningan pada kuku,
kulit, dan tali pusat.

MANIFESTASI KLINIS
1. Keadaan klinis yang dapat ditemukan ialah gerakan janin yang jarang, yaitu secara
subyektif kurang dari 7 kali/20 menit atau secara obyektif dengan Kardiotokografi
kurang dari 10 kali/20 menit.
2. TFU tidak sesuai umur kehamilan.
3. Air ketuban berkurang dengan atau tanpa pengapuran (kalsifikasi) plasenta diketahui
dengan pemeriksaan USG.
Tanda bayi Postmatur (Manuaba, 2011) adalah :
1. Biasanya lebih berat dari bayi matur ( > 4000 gram).
2. Tulang dan sutura kepala lebih keras dari bayi matur.
3. Rambut lanugo hilang atau sangat kurang.
4. Verniks kaseosa di badan kurang.
5. Kuku-kuku panjang.
6. Rambut kepala agak tebal.
7. Kulit agak pucat dengan deskuamasi epitel.

PATHWAY
Terlampir

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Sitologi vagina yaitu dengan indeks kariopiknotik meningkat (> 20%).
2. Amniostropi yaitu melihat wana air ketuban.
3. USG yaitu menilai jumlah dan kekeruhan air ketuban, derajat maturitas plasenta,
besarnya janin, keadaan janin (pernafasan dan pergerakan janin).
4. Kardiotokografi yaitu menilai kesejahteraan janin dengan Nonstress Test (NST) reaktif
atau tidak, maupun Contraction Stress Test (CST) negatif atau positif.
(Taufan, 2012)

PENATALAKSANAAN
1. Setelah usia kehamilan >40 minggu yang penting adalah monitoring janin sebaik-
baiknya.
2. Apabila tidak ada tanda-tanda insufisiense plasenta, persalinan spontan dapat ditunggu
dengan pengawasan ketat (Taufan, 2012).
3. Lakukan pemeriksaan dengan cara Bishop score.
Bishop score adalah suatu cara untuk menilai kematangan serviks dan responsnya
terhadap suatu induksi persalinan, karena telah diketahui bahwa
serviks bishop score rendah artinya serviks belum matang dan memberikan angka
kegagalan yang lebih tinggi dibanding serviks yang matang. Lima kondisi yang dinilai
dari serviks adalah :
a) Pembukaan (Dilatation) yaitu ukuran diameter leher rahim yang terenggang. Ini
melengkapi pendataran, dan biasanya merupakan indikator yang paling penting
dari kemajuan melalui tahap pertama kerja.
b) Pendataran/penipisan (Effacement) yaitu ukuran regangan sudah ada di leher
rahim.
c) Penurunan kepala janin (Station) yaitu mengambarkan posisi janin kepala dalam
hubungannya dengan jarak dari iskiadika punggung, yang dapat teraba jauh di
dalam vagina posterior (sekitar 8-10 cm) sebagai tonjolan tulang.
d) Konsistensi (Consistency) yaitu dalam primigravida leher rahim perempuan
biasanya lebih keras dan tahan terhadap peregangan, seperti sebuah balon
sebelumnya belum meningkat. Lebih jauh lagi, pada wanita muda serviks lebih
tangguh dari pada wanita yang lebih tua.
e) Posisi ostinum uteri (Position) yaitu posisi leher rahim perempuan bervariasi antara
individu. Sebagai anatomi vagina sebenarnya menghadap ke bawah, anterior dan
posterior lokasi relatif menggambarkan batas atas dan bawah dari vagina. Posisi
anterior lebih baik sejajar dengan rahim, dan karena itu memungkinkan
peningkatan kelahiran spontan.
Tabel Bishop Score
Achadiat (2004 : 17-18)
Skor 0 1 2 3
Pembukaan 0 1 3-4 5-6
Pendataran 0-30% 40-50% 60-70% 80%
Station -3 -2 -1 +1+2
Konsistensi Keras Sedang Lunak Sangat lunak
Posisi Os Posterior Tengah Anterior Anterior

Untuk menilai Bishop Score yaitu :


a) Bishop Score > 5 yaitu induksi persalinan
Cara induksi persalinan adalah
1) Menggunakan tablet Misoprostol/Cytotec yaitu 25-50 mg yang diletakkan di
forniks posterior setiap 6-8 jam hingga munculnya his / kontraksi.
2) Menggunakan oksitoksin intravena yaitu infus oksitoksin biasanya mengandung
10-20 unit ekuivalen dengan 10.000-20.000 mU dicampur dengan 1000 ml larutan
Ringer Laktat, masing-masing menghasilkan konsistensi oksitoksin 10-20 mU/ml.
Tabel Regimen Oksitoksin pada Induksi Persalinan
Kenneth J. Laveno
Regimen Dosis awal Peningkatan Interval Dosis
(mU/menit) incremental dosis maksimal
(mU/menit) (menit) (mU/ml)
Dosis rendah 0,5-1 1 30-40 20
1-2 2 15 40
Dosis tinggi 6 6,3; 1 15-40 42

b) Bishop Score < 5


1) Pemantauan janin dengan prafil biofisik, Nonstress test (NST), Contraction
Stess Test (CST).
2) Volume ketuban normal, NST reaktif yaitu diulangi 2x / minggu.
3) Volume ketuban normal, NST non reaktif, CST positif yaitu dilakukan SC.
4) Volume ketuban normal, NST non reaktif dan CST negatif yaitu dilakukan
pengulangan CST dalam 3 hari.
5) Oligohidramnion (kantong amnion < 2 cm) yaitu dilakukan SC.
6) Deselerasi variable yaitu matangkan serviks dan induksi persalinan.
7) Pematangan serviks dapat dilakukan dengan kateter voley, oksitoksin,
prostaglandin (Misoprostol), relaksin (melunakkan serviks), pemecahan selaput
ketuban.
8) Persalinan per vaginam yaitu Ibu miring ke kiri, berikan oksigen, monitor DJJ,
induksi persalinan dengan tetes Pitosin (jika tidak ada kontraindikasi dan belum
ada tanda hipoksia intrauterine), tetes Pitoksin di naikkan jangan melebihi 2 m U/
menit atau di naikkan dengan interval < 30 menit, amniotomi pada fase aktif,
infus intraamniotik dengan 300 - 500 mL NaCl hangat selama 30 menit yaitu
untuk mengatasi.
9) Oligohidramnion dan mekoneum, konfirmasi kesejahteraan janin.
10) Dilakukan Sectio Caesaria, jika gawat janin (deselerasi lambat, pewarnaan
mekoneum), gerakan janin abnormal (< 5 kali / 20 menit), contraction stress
test (CST), berat Badan > 4000 gr, malposisi, malpresentasi, partus > 18 jam,
bayi belum lahir (Kurniawati, 2009).
11) Dilakukan vakum ekstraksi, syarat vakum, menurut Manuaba (2011) yaitu :
a) Pembukaan minimal 5.
b) Ketuban negatif atau dipecahkan.
c) Anak hidup, letak kepala atau bokong.
d) Penurunan minimal H II.
e) His dan reflek mengejan baik.
KOMPLIKASI
Menurut Mochtar (2009), komplikasi yang terjadi pada kehamilan serotinus yaitu :
1. Komplikasi pada Ibu
Komplikasi yang terjadi pada ibu dapat menyebabkan partus lama, inersia uteri, atonia
uteri dan perdarahan postpartum.
2. Komplikasi pada Janin
Komplikasi yang terjadi pada bayi seperti berat badan janin bertambah besar, tetap atau
berkurang, serta dapat terjadi kematian janin dalam kandungan.
Menurut Prawirohardjo (2006), komplikasi yang terjadi pada kehamilan serotinus yaitu
komplikasi pada Janin. Komplikasi yang terjadi pada bayi seperti :
a) gawat janin.
b) gerakan janin berkurang.
c) kematian janin.
d) asfiksia neonaturum dan kelainan letak.
Menurut Achadiat (2004), komplikasi yang terjadi pada kehamilan serotinus yaitu
komplikasi pada janin. Komplikasi yang terjadi seperti :
b) kelainan kongenital.
c) sindroma aspirasi meconium.
d) gawat janin dalam persalinan.
e) bayi besar (makrosomia).
f) pertumbuhan janin terlambat.
g) kelainan jangka panjang pada bayi.

ASUHAN KEPERAWATAN UMUM


PENGKAJIAN
1. Data Subyektif
Informasi yang dicatat mencakup identitas, keluhan yang diperoleh dari hasil
wawancara langsung kepada pasien / klien (anamnesis) atau dari keluarga dan tenaga
kesehatan, menurut Wildan (2009) adalah :
a) Identitas / Biodata Pasien suami dan istri adalah nama, umur, agama, suku/bangsa,
pendidikan, pekerjaan, dan alamat.
b) Alasan datang : Untuk mengetahui alasan pasien datang ke tempat pelayanan
kesehatan.
c) Keluhan utama : Alasan wanita datang mengunjungi klinik / RB / RS / dan
diungkapkan dengan kata-kata sendiri.
d) Riwayat kesehatan antara lain riwayat kesehatan dahulu, sekarang, dan riwayat
kesehatan keluarga, juga riwayat alergi dan pengobatan.
e) Riwayat perkawinan
f) Dikaji untuk mengetahui berapa kali menikah, berapa usia pasien saat menikah,
usia pasangan pasien saat menikah, berapa lama pasien menikah dan berapa
jumlah anaknya.
g) Riwayat obstetric
h) Riwayat menstruasi
i) Untuk mengetahui tentang pertama kali pasien mendapatkan menstruasi
(menarce), siklus, lama menstruasi, banyak menstruasi, bentuk darah apakah cair
atau menggumpal, warna darah, dismenorea, flour albus dan untuk mengetahui
hari pertama menstruasi terakhir serta tanggal kelahiran dari persalinan.
j) Riwayat kehamilan, persalinan dan nifas yang lalu
k) Untuk mengetahui pada tanggal, bulan, tahun berapa anaknya lahir, tempat
persalinan, umur kehamilan, jenis persalinan, penolong persalinan, penyulit dalam
bersalinan, jenis kelahiran berat badan lahir, panjang badan lahir, riwayat nifas yang
lalu, keadaan anak sekarang, untuk mengetahui riwayat yang lalu sehingga bisa
menjadi acuan dalam pemberian asuhan, menurut Prawiroharjo (2008 : 414).
l) Riwayat kehamilan sekarang
m) Untuk mengetahui ibu hamil yang ke berapa, HPHT, HPL, berat badan sebelum dan
sekarang, periksa ANC sebelumnya dimana, berapa kali dan keluhannya apa,
suntik TT berapa kali, obat-obatan yang pernah dikonsumsi apa saja, gerakan janin
yang pertama pada usia kehamilan berapa bulan dan gerakan sekarang kuat atau
lemah, kebiasaan ibu dan keluarga yang berpengaruh negatif terhadap
kehamilannya.
n) Riwayat KB
o) Untuk mengetahui sebelum ibu hamil pernah menggunakan alat kontrasepsi atau
tidak, berapa lama menggunakannya, alas an mengapa ibu menggunakan alat
kontrasesi tersebut, dan mengapa ibu menghentikan pemakaian alat kontrasepsi
tersebut, menurut Huliana (2007 :76-77).
p) Pola kebutuhan sehari-hari meliputi pola nutrisi, pola eliminsi, pola aktivitas
pekerjaan, pola istirahat, personal hygiene, pola seksual, menurut Muslihatun
(2009).
q) Psikososial spiritual meliputi tanggapan dan dukungan keluarga, pengambilan
keputusan dalam keluarga, ketaatan beribadah, lingkungan yang bepengaruh.

2. Data Obyektif
Menurut Wildan (2009), pencatatan dilakukan dari hasil pemeriksaan fisik,
pemeriksaan khusus kebidanan, data penunjang, hasil laboratorium seperti VDRL, HIV,
pemeriksaan radiodiagnostik, ataupun USG yang dilakukan sesuai dengan beratnya
masalah. Data yang telah dikumpulkan diolah, disesuaikan dengan kebutuhan pasien
kemudian dilakukan pengolahan data yaitu menggabungkan dan menghubungkan data
satu dengan yang lainnya sehingga menunjukkan fakta. Tujuan dari pengolahan data
adalah untuk menunjukkan fakta berdasarkan kumpulan data. Data yang telah diolah
dianalisis dan hasilnya didokumentasikan.
1) Pemeriksaan Umun
a) Keadaan Umum (KU)
Untuk menilai keadaan pasien pada saat itu secara umum.
b) Kesadaran
Untuk mengetahui tingkat kesadaran ibu apakah composmentis (Kesadaran
penuh dengan memberikan respon yang cukup terhadap stimulus yang
diberikan), somnolen (kesadaran yang mau tidur saja, dapat dibangunkan
dengan rasa nyeri tetapi tidur lagi), koma (tidak dapat bereaksi terhadap
stimulus yang diberikan atau rangsangan apapun, reflek pupil terhadap cahaya
tidak ada).
c) Tanda-tanda Vital (TTV)
Pada pengukuran tanda-tanda vital yang diukur adalah tekanan darah, nadi,
respirasi, dan suhu.
d) Berat Badan (BB)
Untuk mengetahui berat badan pasien dalam satuan kilogram (Buku Panduan
Praktik Klinik Kebidanan).
e) Tinggi Badan (TB)
Dikaji untuk mengetahui tinggi badan ibu dalam satuan sentimeter, menurut
Saminem (2009).
f)
LILA (Lingkar Lengan Atas)
Untuk mengetahui status gizi pasien.
2) Pemeriksaan fisik / Status Present adalah pemeriksaan kepala, muka, mata,
hidung, telinga, mulut, leher, ketiak, dada, abdomen, punggung, genetalia,
ektermitas atas dan bawah, anus.
3) Pemeriksaan khusus obstetric, menurut Hidayat (2008 : 142-145)
a) Inspeksi
Inspeksi adalah proses pengamatan dilakukan untuk mengetahui apakah ada
pembengkakan pada wajah dan ekstermitas, pada perut apakah ada bekas
operasi atau tidak.
b) Palpasi
Palpasi adalah pemeriksaan dengan indra peraba yaitu tangan, yang berguna
untuk memeriksa payudara apakah ada benjolan atau tidak, pemeriksaan
abdomen yaitu memeriksa Leopold I, II, III, dan IV.
c) Auskultasi
Denyut Jantung Janin (DJJ) yaitu salah satu tanda pasti hamil dan kehidupan
janin. DJJ mulai terdengar pada usia kehamilan 16 minggu. Dengan dopler DJJ
mulai terdengar usia kehamilan 12 minggu. Normalnya denyut jantung janin
(DJJ) yaitu 120-160x/menit.

3. Pemeriksaan penunjang, menurut Muslihatun (2009) :


Mendukung diagnosa medis, kemungkinan komplikasi, dan penyakit yang
menyertai kehamilan, besalin dan nifas. Pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
penunjang lainnya : memeriksa hemoglobin, golongan darah, rubella, VDRL / RPR dan
HIV. Pemeriksaan HIV harus dilakukan persetujuan ibu hamil.

DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL


1. Ansietas berhubungan dengan partus lama (serotinus).
2. Resiko injuri / kematian janin berhubungan dengan berkurangnya cairan amnion,
distorsia, inersia uteri.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kulit kering, rapuh daan mudah
mengelupas, desquamasi epitel.
4. Resiko perdarahan berhubungan dengan atonia uteri.
5. Nyeri akut berhubungan dengan eksisi post operasi SC, episiotomi.
6. Resiko infeksi berhubungan dengan luka terbuka post operasi (porte de entre), pasca
persalinan.
7. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer (uterus, plasenta) berhubungan dengan kolaps
plasenta akibat kehamilan lewat waktu / partus lama.
8. Gangguan tumbuh kembang janin (dismatur) berhubungan dengan penurunan suplai
darah dan nutrisi ke janin.
DAFTAR PUSTAKA

Achadiat, Dr. Chrisdiono M. 2004. Prosedur Tetap Obstetrik dan Ginekologi. Jakarta: EGC.
Arum dan Sujiyatini. 2009. Panduan Lengkap Pelayanan KB Terkini. Jogjakarta: Mitra
Cendikia.
C. Trihendradi dkk. 2010. Wonderpa Indahnya Pendampingan. Yogyakarta: ANDI.
Kurniawati. D., Mirzanie. H. 2009. OBGYNACEA ( Obstetri dan Ginekologi). Yogyakarta:
TOSCA Entreprice.
Manuaba, I.B.G. 2011. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana
Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC.
Mochtar, Rustam. 2009. Sinopsis Obstetri. Jakarta: EGC.
Muslihatun. WN dkk. 2009. Dokumentasi Kebidanan. Yogjakarta: Fitramaya.
Nugroho. Taufan. 2012. Patologi Kebidanan. Yogyakarta: Nuha Medika.
Prawirohardjo, S. 2009. Ilmu Kebidanan.. Jakarta: Penerbit Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
Saminem, HJ. 2009. Kehamilan Normal: Seri Asuhan Kebidanan. Jakarta: EGC.
Wildan, M. 2009. Dokumentasi Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika.
SECTIO CAESAREA

DEFINISI
Sectio caesarea merupakan prosedur bedah untuk pelahiran janin dengan insisi
melalui abdomen dan uterus (Liu, 2007).
Sectio caesarea adalah suatu persalinan buatan, dimana janin dilahirkan melalui suatu
insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan sayatan rahim dalam keadaan utuh
serta berat janin diatas 500 gram (Sarwono, 2005).
Sectio caesarea atau bedah sesar adalah sebuah bentuk melahirkan anak dengan
melakukan sebuah irisan pembedahan yang menembus abdomen seorang ibu (laparotomi)
dan uterus (hiskotomi) untuk mengeluarkan satu bayi atau lebih (Dewi Y, 2007).

JENIS-JENIS
Menurut Mochtar Rustam (1998) jenis-jenis sectio caesarea adalah:
1. Transperitonealis
a. Sectio Caesarea klasik (korporal)
Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri kira-kira
sepanjang 10 cm.
Kelebihan :
1) Mengeluarkan janin lebih cepat
2) Tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih
3) Sayatan bisa diperpanjang proksimal atau distal
Kekurangan :
1) Infeksi mudah menyebar secara intraabdominal karena tidak ada
reperitonearisasi yang baik
2) Untuk persalinan berikutnya lebih sering terjadi ruptura uteri spontan
b. Sectio Caesarea ismika (profunda)
Dilakukan dengan membuat sayatan melintang-konkaf pada segmen bawah
rahim (low cervical transversal) kira-kira 10 cm.
Kelebihan :
1) Penjahitan luka lebih mudah
2) Penutupan luka dengan reperitonealisasi yang baik
3) Tumpang tindih dari peritoneal flat baik sekali untuk menahan penyebaran
isi uterus ke rongga periutoneum
4) Perdarahan kurang
5) Dibandingkan dengan cara klasik kemungkinan ruptura uteri spontan kurang
atau lebih kecil.
Kekurangan :
1) Luka dapat melebar ke kiri, kanan, dan bawah, sehingga dapat
menyebabkan uterine putus dan terjadi perdarahan hebat.
2) Keluhan pada kandung kemih postoperatif tinggi.
2. Sectio Caesarea Ekstraperitonealis
Sectio caesarea tanpa membuka peritoneum parietalis, dengan demikian tidak
membuka kavum abdominal.

INDIKASI
Para ahli kandungan atau para penyaji perawatan yang lain
menganjurkan sectio caesarea apabila kelahiran melalui vagina mungkin
membawa resiko pada ibu dan janin. Indikasi untuk sectsio caesarea antara
lain meliputi:
1. Indikasi Medis
Ada 3 faktor penentu dalam proses persalinan yaitu :
a) Power
Yang memungkinkan dilakukan operasi caesar, misalnya daya mengejan lemah, ibu
berpenyakit jantung atau penyakit menahun lain yang mempengaruhi tenaga.
b) Passanger
Diantaranya, anak terlalu besar, anak mahal dengan kelainan letak lintang, primi
gravida diatas 35 tahun dengan letak sungsang, anak tertekan terlalu lama pada
pintu atas panggul, dan anak menderita fetal distress syndrome (denyut jantung janin
kacau dan melemah).
c) Passage
Kelainan ini merupakan panggul sempit, trauma persalinan serius pada jalan lahir
atau pada anak, adanya infeksi pada jalan lahir yang diduga bisa menular ke anak,
umpamanya herpes kelamin (herpes genitalis), condyloma lota (kondiloma sifilitik
yang lebar dan pipih), condyloma acuminata (penyakit infeksi yang menimbulkan
massa mirip kembang kol di kulit luar kelamin wanita), hepatitis B dan hepatitis C.
(Dewi Y, 2007)

2. Indikasi Ibu
a) Usia
Ibu yang melahirkan untuk pertama kali pada usia sekitar 35 tahun,
memiliki resiko melahirkan dengan operasi. Apalagi pada wanita
dengan usia 40 tahun ke atas. Pada usia ini, biasanya seseorang
memiliki penyakit yang beresiko, misalnya tekanan darah tinggi,
penyakit jantung, kencing manis, dan preeklamsia. Eklampsia
(keracunan kehamilan) dapat menyebabkan ibu kejang sehingga dokter
memutuskan persalinan dengan sectio caesarea.
b) Tulang Panggul
Cephalopelvic diproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu tidak sesuai
dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat menyebabkan ibu tidak melahirkan
secara alami. Tulang panggul sangat menentukan mulus tidaknya proses persalinan.
c) Persalinan Sebelumnya dengan sectio caesarea
Sebenarnya, persalinan melalui bedah caesar tidak mempengaruhi persalinan
selanjutnya harus berlangsung secara operasi atau tidak. Apabila memang ada
indikasi yang mengharuskan dilakukanya tindakan pembedahan, seperti bayi terlalu
besar, panggul terlalu sempit, atau jalan lahir yang tidak mau membuka, operasi bisa
saja dilakukan.
d) Faktor Hambatan Jalan Lahir
Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang kaku sehingga tidak
memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor dan kelainan bawaan pada jalan
lahir, tali pusat pendek, dan ibu sulit bernafas.
e) Kelainan Kontraksi Rahim
Jika kontraksi rahim lemah dan tidak terkoordinasi (inkordinate uterine action) atau
tidak elastisnya leher rahim sehingga tidak dapat melebar pada proses persalinan,
menyebabkan kepala bayi tidak terdorong, tidak dapat melewati jalan lahir dengan
lancar.
f) Ketuban Pecah Dini
Robeknya kantung ketuban sebelum waktunya dapat menyebabkan bayi harus
segera dilahirkan. Kondisi ini membuat air ketuban merembes ke luar sehingga
tinggal sedikit atau habis. Air ketuban (amnion) adalah cairan yang mengelilingi janin
dalam rahim.
g) Rasa Takut Kesakitan
Umumnya, seorang wanita yang melahirkan secara alami akan mengalami proses
rasa sakit, yaitu berupa rasa mulas disertai rasa sakit di pinggang dan pangkal paha
yang semakin kuat dan menggigit. Kondisi tersebut karena keadaan yang pernah
atau baru melahirkan merasa ketakutan, khawatir, dan cemas menjalaninya. Hal ini
bisa karena alasan secara psikologis tidak tahan melahirkan dengan sakit.
Kecemasan yang berlebihan juga akan mengambat proses persalinan alami yang
berlangsung.
(Kasdu, 2003)

3. Indikasi Janin
a) Ancaman Gawat Janin (fetal distress)
Detak jantung janin melambat, normalnya detak jantung janin berkisar 120- 160.
Namun dengan CTG (cardiotography) detak jantung janin melemah, lakukan segera
sectio caesarea segara untuk menyelematkan janin.
b) Bayi Besar (makrosemia)
(Cendika, dkk. 2007)
c) Letak Sungsang
Letak yang demikian dapat menyebabkan poros janin tidak sesuai dengan arah jalan
lahir. Pada keadaan ini, letak kepala pada posisi yang satu dan bokong pada posisi
yang lain.
d) Faktor Plasenta
i. Plasenta previa
Posisi plasenta terletak dibawah rahim dan menutupi sebagian atau selruh jalan
lahir.
ii. Plasenta lepas (Solution placenta)
Kondisi ini merupakan keadaan plasenta yang lepas lebih cepat dari dinding rahim
sebelum waktunya. Persalinan dengan operasi dilakukan untuk menolong janin
segera lahir sebelum ia mengalami kekurangan oksigen atau keracunan air
ketuban.
iii. Plasenta accreta
Merupakan keadaan menempelnya plasenta di otot rahim. Pada umumnya
dialami ibu yang mengalami persalinan yang berulang kali, ibu berusia rawan
untuk hamil (di atas 35 tahun), dan ibu yang pernah operasi (operasinya
meninggalkan bekas yang menyebabkan menempelnya plasenta.
e) Kelainan Tali Pusat
i. Prolapsus tali pusat (tali pusat menumbung)
Keadaan penyembulan sebagian atau seluruh tali pusat. Pada keadaan ini, tali
pusat berada di depan atau di samping atau tali pusat sudah berada di jalan lahir
sebelum bayi.
ii. Terlilit tali pusat
Lilitan tali pusat ke tubuh janin tidak selalu berbahaya. Selama tali pusat tidak
terjepit atau terpelintir maka aliran oksigen dan nutrisi dari plasenta ke tubuh janin
tetap aman.
(Kasdu, 2003)
PATOFISIOLOGI
Adanya beberapa kelainan / hambatan pada proses persalinan yang menyebabkan
bayi tidak dapat lahir secara normal / spontan, misalnya plasenta previa sentralis dan
lateralis, panggul sempit, disproporsi cephalo pelvic, rupture uteri mengancam, partus lama,
partus tidak maju, pre-eklamsia, distosia serviks, dan malpresentasi janin. Kondisi tersebut
menyebabkan perlu adanya suatu tindakan pembedahan yaitu Sectio Caesarea (SC).
Dalam proses operasinya dilakukan tindakan anestesi yang akan menyebabkan
pasien mengalami imobilisasi sehingga akan menimbulkan masalah intoleransi aktivitas.
Adanya kelumpuhan sementara dan kelemahan fisik akan menyebabkan pasien tidak
mampu melakukan aktivitas perawatan diri pasien secara mandiri sehingga timbul masalah
defisit perawatan diri.
Kurangnya informasi mengenai proses pembedahan, penyembuhan, dan perawatan
post operasi akan menimbulkan masalah ansietas pada pasien. Selain itu, dalam proses
pembedahan juga akan dilakukan tindakan insisi pada dinding abdomen sehingga
menyebabkan terputusnya inkontinuitas jaringan, pembuluh darah, dan saraf - saraf di
sekitar daerah insisi. Hal ini akan merangsang pengeluaran histamin dan prostaglandin yang
akan menimbulkan rasa nyeri (nyeri akut). Setelah proses pembedahan berakhir, daerah
insisi akan ditutup dan menimbulkan luka post op, yang bila tidak dirawat dengan baik akan
menimbulkan masalah resiko infeksi.
(Manuaba, 2001)

MANIFESTASI KLINIS POST SC


Persalinan dengan Sectio Caesaria , memerlukan perawatan yang lebih koprehensif
yaitu: perawatan post operatif dan perawatan post partum.Manifestasi klinis
sectio caesarea menurut Doenges (2001), antara lain :
a. Nyeri akibat ada luka pembedahan
b. Adanya luka insisi pada bagian abdomen
c. Fundus uterus kontraksi kuat dan terletak di umbilicus
d. Aliran lokhea sedang dan bebas bekuan yang berlebihan (lokhea tidak
banyak)
e. Kehilangan darah selama prosedur pembedahan kira-kira 600-800 ml
f. Emosi labil / perubahan emosional dengan mengekspresikan ketidakmampuan
menghadapi situasi baru
g. Biasanya terpasang kateter urinarius
h. Auskultasi bising usus tidak terdengar atau samar
i. Pengaruh anestesi dapat menimbulkan mual dan muntah
j.Status pulmonary bunyi paru jelas dan vesikuler
k. Pada kelahiran secara SC tidak direncanakan maka bisanya kurang paham prosedur
l.Bonding dan Attachment pada anak yang baru dilahirkan.

KOMPLIKASI
a. Infeksi Puerpuralis
a) Ringan: dengan kenaikan suhu beberapa hari saja.
b) Sedang: dengan kenaikan suhu yang lebih tinggi disertai dehidrasi atau perut sedikit
kembung
c) Berat: dengan peritonitis, sepsis dan ileus paralitik. Hal ini sering kita jumpai pada
partus terlantar dimana sebelumnya telah terjadi infeksi intrapartum karena
ketuban yang telah pecah terlalu lama.
b. Pendarahan disebabkan karena :
a) Banyak pembuluh darah yang terputus dan terbuka
b) Atonia Uteri
c)Pendarahan pada placenta bled
c. Luka pada kandung kemih, emboli paru dan keluhan kandung kemih bila reperitonalisasi
terlalu tinggi.
d. Suatu komplikasi yang baru kemudian tampak ialah kurang kuatnya perut pada dinding
uterus, sehingga pada kehamilan berikutnya bisa terjadi ruptura uteri. Kemungkinan hal
ini lebih banyak ditemukan sesudah sectio caesarea klasik.
(Manuaba, 2001)

PENATALAKSANAAN
a. Pemberian cairan
Karena 24 jam pertama penderita puasa pasca operasi, maka pemberian cairan
perintravena harus cukup banyak dan mengandung elektrolit agar tidak terjadi
hipotermi, dehidrasi, atau komplikasi pada organ tubuh lainnya. Cairan yang biasa
diberikan biasanya DS 10%, garam fisiologi dan RL secara bergantian dan jumlah
tetesan tergantung kebutuhan. Bila kadar Hb rendah diberikan transfusi darah sesuai
kebutuhan.
b. Diet
Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah penderita flatus lalu dimulailah
pemberian minuman dan makanan peroral. Pemberian minuman dengan jumlah yang
sedikit sudah boleh dilakukan pada 6 - 10 jam pasca operasi, berupa air putih dan air
teh.
c. Mobilisasi
Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi :
a) Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 10 jam setelah operasi
b) Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur telentang sedini mungkin
setelah sadar
c) Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5 menit dan diminta
untuk bernafas dalam lalu menghembuskannya.
d) Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi posisi setengah duduk (semi
fowler)
e) Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan belajar duduk
selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan sendiri pada hari ke-3
sampai hari ke5 pasca operasi.
d. Kateterisasi
Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak enak pada penderita,
menghalangi involusi uterus dan menyebabkan perdarahan. Kateter biasanya terpasang
24 - 48 jam / lebih lama lagi tergantung jenis operasi dan keadaan penderita.
e. Pemberian obat-obatan
a) Antibiotik
Cara pemilihan dan pemberian antibiotic sangat berbeda-beda setiap institusi
b) Analgetik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan
1. Supositoria: ketopropen sup 2x/24 jam
2. Oral: tramadol tiap 6 jam atau paracetamol
3. Injeksi: penitidine 90-75 mg diberikan setiap 6 jam bila perlu
c) Obat-obatan lain
Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita dapat diberikan
neurobian I vit. C
f. Perawatan luka
Kondisi balutan luka dilihat pada 1 hari post operasi, bila basah dan berdarah harus
dibuka dan diganti
g. Perawatan rutin
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan adalah suhu, tekanan darah, nadi
dan pernafasan.
h. Perawatan Payudara
Pemberian ASI dapat dimulai pada hari post operasi jika ibu memutuskan tidak
menyusui, pemasangan pembalut payudara yang mengencangkan payudara tanpa
banyak menimbulkan kompresi, biasanya mengurangi rasa nyeri.
(Manuaba, 2001)
DAFTAR PUSTAKA

Dewi Y., dkk. 2007. Operasi Caesar, Pengantar dari A sampai Z. Jakarta: EDSA Mahkota.
Doengoes, Marylinn. 2001. Rencana Asuhan Keperawatan Maternal/Bayi. Jakarta: EGC.
Kasdu. 2003. Operasi Caesar Masalah dan Solusinya. Jakarta: Puspa Swara.
Liu.D. 2007. Manual Persalinan. Jakarta: EGC.
Manuaba, I.B. 2001. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi dan KB.
Jakarta: EGC.
Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri, Edisi 2, Jilid 2. Jakarta: EGC.
Sarwono, Prawiroharjo,. 2005. Ilmu Kandungan, Cetakan ke-4. Jakarta: PT Gramedi.
PANGGUL SEMPIT

ANATOMI PANGGUL
Pada tiap persalinan harus diperhatikan 3 faktor penting, yaitu jalan lahir, janin dan
kekuatan yang ada pada ibu. Jalan lahir dibagi atas bagian tulang dan bagian lunak. Bagian
tulang terdiri dari tulang-tulang panggul dengan sendi-sendinya (artikulasio), sedangkan
bagian lunak terdiri atas otot-otot, jaringan-jaringan dan ligamen-ligamen.
Tulang-tulang panggul terdiri atas 1) os koksa yang terdiri atas os ilium, os iskium,
dan os pubis, 2) os sacrum dan 3) os koksigeus. Tulang-tulang tersebut satu dengan yang
lainnya berhubungan. Di depan terdapat hubungan antara kedua os pubis kanan dan kiri
yang disebut simfisis. Di belakang terdapat artikulasio sakro iliaka yang menghubungkan os
sakrum dengan os ilium. Di luar kehamilan artikulasio ini hanya memungkinkan bergeser
sedikit, tetapi pada kehamilan dan waktu persalinan dapat bergeser lebih jauh dan lebih
longgar, misalnya ujung os koksigeus dapat bergerak ke belakang sampai sejauh lebih
kurang 2,5 cm.
Secara fungsional panggul terdiri dari 2 bagian yang disebut pelvis mayor dan pelvis
minor. Pelvis mayor adalah bagian pelvis yang terletak di atas linea terminalis, disebut pula
false pelvis. Bagian yang terletak di bawah linea terminalis disebut pelvis minor atau true
pelvis. Bentuk pelvis minor ini menyerupai suatu saluran yang mempunyai sumbu
melengkung ke depan (sumbu carus). Sumbu ini secara klasik adalah garis yang
menghubungkan titik persekutuan antara diameter transversa dan konjugata vera pada pintu
atas panggul dengan titik-titik sejenis di Hodge II,III dan IV. Sampai dekat hodge III sumbu
itu lurus, sejajar dengan sacrum untuk selanjutnya melengkung ke depan, sesuai dengan
lengkungan sacrum.
Bidang atas saluran ini normal berbentuk hampir bulat, disebut pintu atas panggul
(pelvic inlet). Bidang bawah saluran ini tidak merupakan suatu bidang seperti pintu atas
panggul, akan tetapi terdiri atas dua bidang, disebut pintu bawah panggul (pelvic outlet). Di
antara kedua pintu ini terdapat ruang panggul (pelvic cavity). Ruang panggul mempunyai
ukuran yang paling luas di bawah pintu atas panggul, akan tetapi menyempit di panggul
tengah, untuk kemudian menjadi luas lagi sedikit. Penyempitan di panggul tengah ini
disebabkan oleh adanya spina iskiadika yang kadang-kadang menonjol ke dalam ruang
panggul.
Anatomi Tulang Panggul

A. PINTU ATAS PANGGUL (PELVIC INLET)


Pintu atas panggul merupakan suatu bidang yang dibentuk oleh promontorium
korpus vertebra sakral 1, linea innominata (terminalis), dan pinggir atas simfisis.
Panjang jarak dari pinggir atas simfisis ke promontorium lebih kurang 11 cm disebut
konjugata vera. Jarak terjauh garis melintang pada pintu atas panggul lebih kurang
12,5 13 cm, disebut diameter transversa. Bila ditarik garis dari artikulasio sakroiliaka
ke titik persekutuan antara diameter transversa dan konjugata vera dan diteruskan ke
linea innominata, ditemukan diameter yang disebut diameter oblikua sepanjang lebih
kurang 13 cm. Jarak bagian bawah simfisis sampai ke promontorium dikenal sebagai
konjugata diagonalis. Secara statistik diketahui bahwa konjugata vera sama dengan
konjugata diagonalis dipotong dengan 1,5 cm. Selain kedua konjugata ini dikenal juga
konjugata obstetrik, jarak dari bagian dalam tengah simfisis ke promontorium.
Dalam obstetri dikenal 4 jenis panggul (pembagian Cadwell dan Molloy 1933) yang
mempunyai ciri-ciri pintu atas panggul sebagai berikut :
1. Jenis gynaecoid
Panggul paling baik untuk wanita, bentuk pintu atas panggul hampir mirip lingkaran.
Diameter anteroposterior kira-kira sama dengan diameter transversa. Jenis ini
ditemukan pada 45% wanita. Merupakan jenis panggul tipikal wanita (female type).
2. Jenis anthropoid
Bentuk pintu atas panggul seperti ellips membujur anteroposterior. Diameter
anteroposterior lebih besar dari diameter transversa. Jenis ini ditemukan pada 35%
wanita.
3. Jenis android
Bentuk pintu atas panggul hampir segitiga. Diameter transversal terbesar terletak di
posterior dekat sakrum. Dinding samping panggul membentuk sudut yang makin
sempit ke arah bawah. Jenis ini ditemukan pada 15% wanita. Merupakan jenis
panggul tipikal pria (male type).
4. Jenis platypelloid
Sebenarnya jenis ini adalah jenis ginekoid yang menyempit pada arah muka
belakang. Diameter transversa jauh lebih lebar dari diameter anteroposterior. Jenis
ini ditemukan pada 5% wanita.
Tidak jarang dijumpai kombinasi keempat jenis klasik ini. Di sinilah letak kegunaan
pelvimetri radiologis, untuk mengetahui jenis, bentuk dan ukuran-ukuran pelvis secara
tepat.

Macam-Macam Bentuk Tulang Panggul


B. PINTU TENGAH PANGGUL (MIDPELVIC)
Midpelvis merupakan bidang sejajar spina ischiadica merupakan bidang dimensi
pelvik terkecil yang menjadi bagian yang penting pada proses engagement kepala janin.
Diameter interspina 10 cm atau lebih, dan merupakan diameter terkecil dari pelvis.
Diameter anteroposterior melalui level spina ischiadica normalnya berukuran sekurang-
kurangnya 11.5 cm. Komponen posteriornya antara titik tengah diameter interspinarum
dengan sakrum disebut diameter sagitalis posterior yang sekurang-kurangnya
berukuran 4.5 cm.
Memperkirakan kapasitas midpelvik secara klinis (periksa dalam) dengan cara
pengukuran langsung adalah tidak mungkin. Bila spina ischiadica begitu menonjol,
dinding pelvis terasa cembung dan sacrum terasa datar (tidak cekung), maka
kesempitan panggul tengah bisa dicurigai.

C. PINTU BAWAH PANGGUL (PELVIC OUTLET)


Pintu bawah panggul tersusun atas 2 bidang datar berbentuk segi tiga, yaitu bidang
yang dibentuk oleh garis antara kedua buah tubera ossis iskii dengan ujung os sakrum
dan bagian bawah simfisis. Pinggir bawah simfisis berbentuk lengkung ke bawah dan
merupakan sudut (arkus pubis). Dalam keadaan normal besarnya sudut ini 900 atau
lebih sedikit.

PANGGUL SEMPIT
Definisi
Panggul disebut sempit apabila ukurannya 1-2 cm kurang dari ukuran yang normal.
Kesempitan panggul bisa pada pintu atas panggul, ruang tengah panggul, pintu bawah
panggul atau kombinasi dari ketiganya.

Pembagian Panggul Sempit


A. Kesempitan pintu atas panggul (pelvic inlet) :
Conjugata diagonal (CD) + 13.5 cm. Conjugata vera (CV) + 12.0 cm. Dikatakan
sempit bila CV kurang dari 10 cm atau diameter transversa kurang dari 11,5 cm.
Pembagian tingkatan panggul sempit:
Tingkat I : CV = 9-10 cm = borderline
Tingkat II : CV = 8-9 cm = relatif
Tingkat III : CV = 6-8 cm = ekstrim

B. Kesempitan pintu tengah panggul (mid pelvic) :


Distansia interspinarum (DI) + 10.5 cm. Diameter anterior posterior (AP) + 11.5 cm,
diameter sagitalis posterior 5 cm. Dikatakan sempit bila diameter interspinarum <10 cm
atau <9,5cm atau 9cm atau bila diameter interspinarum ditambahkan dengan diameter
sagitalis posterior kurang dari 13,5 cm.

C. Pintu bawah panggul (pelvic outlet) :


Diameter sagitalis posterior (AP) + 7.5 cm. Distansia intertuberosum 10.5 cm.
Dikatakan sempit bila jumlah kedua diameter < 15 cm atau bila diameter intertuberosum
< 8 cm. Kelainan bentuk atau ukuran panggul dapat diketahui dari anamnesis dan
pemeriksaan yang baik.
Anamnesis perlu ditanyakan riwayat penyakit dahulu, ada/tidak penyakit rachitis,
patah tulang panggul, coxitis dan sebagainya. Pelvimetri klinik atau radiologik harus
dapat menentukan perkiraan bentuk dan ukuran panggul dengan baik.
Sebenarnya, melalui mata telanjang calon ibu bisa mengetahui luas panggulnya.
Kalau ibu bertubuh tinggi besar, bisa dipastikan ukuran panggulnya relatif luas.
Sedangkan ibu yang tidak terlalu tinggi, hanya 145 cm atau malah kurang, kemungkinan
besar ukuran panggulnya kecil dan sempit. Namun pengamatan ini hanya asumsi.
Pemeriksaan yang akurat hanya bisa dilakukan secara klinis dengan roentgen.
Eller dan Mengert (1947), menyatakan bahwa ada hubungan antara ukuran pintu
tengah panggul dengan ukuran pintu bawah panggul dimana bila ada kesempitan pintu
bawah panggul biasanya menyebabkan adanya kesempitan pintu tengah panggul.
Hubungan ini diperlihatkan oleh hubungan yang konstan antara diameter intertuberum
(ukuran pintu bawah panggul) dan diameter interspinarum (ukuran pintu bawah panggul)
dimana penyempitan diameter interspinarum dapat diharapkan terjadi bila ada
kesempitan diameter intertuberum.
Menurut Liselele HB dkk (2001) yang mencari hubungan tinggi badan dan
pelvimetri eksterna dalam memprediksi disproporsi sefalopelvik pada nulipara
menyimpulkan bahwa tinggi badan < 150 cm dan diameter transversa < 9,5 cm paling
sering berhubungan dengan disproporsi sefalopelvik.
Kennedy dan Greenwald dkk menyatakan bahwa wanita dengan perawakan
pendek (<152 cm atau 60 inci) dan ukuran sepatu kecil (<4.5) lebih mungkin
persalinannya mengalami komplikasi disproporsi sefalopelvik atau terhentinya dilatasi
dan penurunan janin, dengan demikian lebih mungkin mengalami panggul sempit.
Mahmood A.Tahir dkk (1988), menyatakan bahwa ukuran sepatu bukanlah prediktor
klinis untuk meramalkan disproporsi sefalopelvik dan walaupun tinggi badan ibu adalah
panduan yang lebih baik untuk meramalkan adekuasi panggul pada persalinan, 80% ibu
dengan tinggi badan kurang dari 160 cm melahirkan secara pervaginam.
Thoms (1937) mempelajari 362 nullipara dan menemukan rata-rata berat badan
lahir bayi adalah secara bermakna lebih rendah (280 gr) pada kelompok wanita dengan
panggul sempit (pelvis kecil) dibandingkan kelompok wanita dengan panggul adekuat.
Dengan demikian wanita dengan panggul sempit memiliki kemungkinan juga memiliki
berat badan janin lahir yang lebih kecil juga. Pada nullipara normal, bagian terbawah
janin pada waktu aterm umumnya turun ke dalam rongga panggul. Bila ada kesempitan
pintu atas panggul penurunan bagian terbawah janin tidak terjadi sampai setelah onset
persalinan. Presentasi kepala tetap dominan, tetapi karena kepala floating dengan bebas
di atas pelvic inlet atau terletak lebih lateral pada fossa iliaka, kekuatan yang sedikit saja
dapat menyebabkan janin mengambil presentasi lain.

Komplikasi Panggul Sempit pada Kehamilan


Apabila persalinan dengan panggul sempit dibiarkan berlangsung sendiri tanpa
pengambilan tindakan yang tepat, timbul bahaya pada ibu dan janin. Bahaya pada ibu dapat
berupa partus lama yang dapat menimbulkan dehidrasi serta asidosis, dan infeksi
intrapartum, ruptur uteri mengancam serta resiko terjadinya fistula vesikoservikalis, atau
fistula vesikovaginalis, atau fistula rektovaginalis karena tekanan yang lama antara kepala
janin dengan tulang panggul.
Sedangkan bahaya pada janin dapat berupa meningkatkan kematian perinatal, dan
perlukaan pada jaringan di atas tulang kepala janin bahkan bisa menimbulkan fraktur pada
os parietalis

Penanganan Panggul Sempit


Saat ini 2 cara merupakan tindakan utama untuk menangani persalinan pada panggul
sempit, yakni seksio sesaria dan partus percobaan.
a. Seksio sesaria
Seksio dapat dilakukan secara elektif atau primer, yakni sebelum persalinan mulai
atau pada awal persalinan, dan secara sekunder, yakni sesudah persalinan
berlangsung selama beberapa waktu.
Berdasarkan perhitungan konjugata vera pada pintu atas panggul dapat diambil
tindakan yaitu:
- panjang CV 8-10 cm partus percobaan
- panjang CV 6-8 cm SC primer
- panjang CV < 6 cm SC absolut.

b. Partus Percobaan
Adalah suatu partus fisiologis yang dilakukan pada kehamilan aterm, anak
presentasi belakang kepala dengan suspek disproporsi sefalopelvik (CPD). Tindakan
partus percobaan adalah memastikan ada tidaknya CPD. Dimulai saat penderita
dinyatakan in partu, dengan penilaian kemajuan persalinan dimulai setelah persalinan
masuk fase aktif. Penilaian terhadap kemajuan persalinan, turunnya kepala dan putar
paksi dalam dilakukan setiap 2 jam. Bila pada setiap penilaian per 2 jam tersebut
terdapat perubahan yang bermakna komponen yang dinilai itu, maka partus percobaan
dikatakan ada kemajuan dan diteruskan. Bila dari 3 komponen tersebut tidak ada
kemajuan yang bermakna, maka partus percobaan dikatakan gagal, dipastikan ada
CPD dan persalinan diakhiri dengan seksio sesaria.
Penelitian Krishnamurthy tahun 2005 pada 331 wanita yang melahirkan secara
seksio sesaria pada kehamilan pertamanya, menurut standar radiologi di dapati hasil
pelvis tidak adekuat sebanyak 248 ( 75%) dan yang adekuat sebanyak 83 ( 25 %).
Wanita yang secara radiologis pelvisnya tidak adekuat sebanyak 172 melakukan seksio
sesaria elektif pada kehamilan berikutnya dan 76 wanita dilakukan percobaan
melahirkan pervaginam. Hasilnya sebanyak 51 wanita berhasil melahirkan secara
vagina dan 25 wanita menjalani seksio sesaria emergensi. Pada wanita yang secara
radiologi pelviknya adekuat, 61 wanita berhasil melahirkan secara pervaginam,
sebanyak 22 wanita melahirkan secara seksio sesaria. Terdapat 3 kasus ruptura uteri
yang terjadi pada wanita yang secara radiologi memeliki pelvis yang adekuat.
Menurut Mahmood A.Tahir (2008), yang melakukan lateral X-ray pelvimetri pada
424 ibu hamil yang akan melahirkan dengan partus percobaan atas indikasi presentasi
bokong. Di peroleh kesimpulan bahwa partus percobaan tingkat keberhasilannya lebih
tinggi pada ukuran pelvik inlet yang lebih lebar, dan berat janin yang > 3500 gr memiliki
kesempatan < 50% untuk partus pervaginam.
DAFTAR PUSTAKA

Bratakoesoema, DS. 2005. Obstetri Ilmu Patologi Kesehatan Reproduksi. Bandung: EGC
Aflah, Nur. 2009. Ukuran Panggul pada pasien Pasca Secti Caesarea Atas Indikasi Panggul
Sempit. (Diakses tanggal 9 Agustus 2016). Didapat dari
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6443/1/10E00183.pdf
Liselele HB, Boulvain M, Tshibangu KC, Meuris S ; Maternal Height and external pelvimetry
to predict cephalopelvic disproportion in nulliparous African women: a cohort study;
BJOG Maret 2001

Anda mungkin juga menyukai