Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SUMBER AJARAN ISLAM

DISUSUN OLEH :
VIONA RADESIA

DOSEN: Waziruddin, S.Ag.MA

PROGRAM STUDI AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

YAYASAN DHARMA BAKTI

LUBUK ALUNG

2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, kami meminta pertolongan dan ampunan
kepada-Nya. Kami berlindung dari segala macam kejahatan jiwa dan
kejahatan perbuatan kami. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah
ke haribaan Rasulullah , para keluarga dan sahabatnya serta orang-orang
yang selalu setia mengikuti mereka hingga hari akhir nanti. Dengan rasa
syukur yang besar, penulis haturkan kepada Allah SWT karena dapat
menyelesaikan pembuatan makalah yang berjudul “Sumber ajaran islam”.

Dalam penyelesaian Makalah  ini, penulis banyak mendapatkan bantuan 


dan dorongan dari berbagai pihak secara langsung maupun tidak
langsung,  baik yang berupa moril maupun materil. Oleh karena itu,
penulis haturkan  terima kasih dengan iringan doa Jazakumullah khairn
katsiran kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian
makalah ini.

Lubuk
Alung, April 2020

Penulis
DAFTAR ISI

Kata
Pengantar………………………………………………………………………………i

Daftar Isi…………………………………………………………………………………ii

BAB I PENDAHULUAN

 Latar
Belakang……………………………………………………………………………………1
 Rumusan
Masalah………………………………………………………………………………………
2
 Tujuan
Penulisan……………………………………………………………………………………
2
BAB II PEMBAHASAN

 Al-
Quran…………………………………………………………………………………………
………….. 3
 Pengertian Al-
Quran………………………………………………………………………….. 3
 Struktur dan Pembagian Al-
Quran………………………………………………………. 5
 Sejarah Al-Quran hingga berbentuk
Mushaf…………………………………………. 6
 Hubungan Al-Quran dengan Kitab-kitab
Lain………………………………………. 10
 Hadist…………………………………………………………………………………
……………………… 11
 Pengertian
Hadist……………………………………………………………………………… 11
 Struktur
Hadist…………………………………………………………………………………. 12
 Klasifikasi
Hadist……………………………………………………………………………… 15
 Ijtihad…………………………………………………………………………………
………………………. 22
 Pengertian
Ijtihad……………………………………………………………………….. 22
 Fungsi
Ijtihad……………………………………………………………………………… 22
 Jenis-Jenis
Ijtihad………………………………………………………………………… 23
 Tingkatan
Ijtihad………………………………………………………………………… 26
BAB III PENUTUP3.1
Kesimpulan………………………………………………………………………………
293.2 Saran
…………………………………………………………………………………………29

Daftar
Pustaka………………………………………………………………………………………
……………….. 30

BAB I

PENDAHULUAN

 Latar Belakang
Ajaran Islam adalah pengembangan agama Islam. Agama Islam
bersumber dari Al-Quran yang memuat wahyu Allah dan al-Hadis yang
memuat Sunnah Rasulullah. Komponen utama agama Islam atau unsur
utama ajaran agama Islam (akidah, syari’ah dan akhlak) dikembangkan
dengan akal pikiran manusia yang memenuhi syarat runtuk
mengembangkannya.

Mempelajari agama Islam merupakan fardhu ’ain , yakni kewajiban pribadi


setiap muslim dan muslimah, sedang mengkaji ajaran Islam terutama
yang dikembangkan oleh akal pikiran manusia, diwajibkan kepada
masyarakat atau kelompok masyarakat.

Allah telah menetapkan sumber ajaran Islam yang wajib diikuti oleh setiap
muslim. Ketetapan Allah itu terdapat dalam Surat An-Nisa (4) ayat 59:

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah (kehendak) Allah,


taatilah (kehendak) Rasul-Nya, dan (kehendak) ulil amri di antara kamu
…”. Menurut ayat tersebut setiap mukmin wajib mengikuti kehendak
Allah, kehendak Rasul dan kehendak ’penguasa’ atau ulil amri (kalangan)
mereka sendiri. Kehendak Allah kini terekam dalam Al-Quran, kehendak
Rasul terhimpun sekarang dalam al-Hadis, kehendak ’penguasa’ (ulil amri)
termaktum dalam kitab-kitab hasil karya orang yang memenuhi syarat
karena mempunyai ”kekuasaan” berupa ilmu pengetahuan.
Pada umumnya para ulama fikih sependapat bahwa sumber utama hukum
islam adalah Alquran dan hadist. Dalam sabdanya Rasulullah SAW
bersabda, “ Aku tinggalkan bagi kalian dua hal yang karenanya kalian
tidak akan tersesat selamanya, selama kalian berpegang pada keduanya,
yaitu Kitab Allah dan sunnahku.” Dan disamping itu pula para ulama fikih
menjadikan ijtihad sebagai salah satu dasar hukum islam, setelah Alquran
dan hadist.
Berijtihad adalah berusaha sungguh-sungguh dengan memperguna kan
seluruh kemampuan akal pikiran, pengetahuan dan pengalaman manusia
yang memenuhi syarat untuk mengkaji dan memahami wahyu dan
sunnah serta mengalirkan ajaran, termasuka ajaran mengenai hukum
(fikih) Islam dari keduanya.

 Rumusan Masalah
Memaparkan sumber ajaran Islam berupa Al-Quran, Hadist, dan Ijtihad

 
 Tujuan Penulisan
Agar pembaca maupun penulis mampu memahami pokok pembahasan
tentang sumber ajaran islam yaitu Al-Quran, Hadist, dan Ijtihad.

BAB II

PEMBAHASAN

Sumber Ajaran Islam


Sumber ajaran Islam adalah segala sesuatu yang melahirkan atau
menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat
yang apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata.
Dengan demikian sumber ajaran islam ialah segala sesuatu yang
dijadikan dasar, acuan, atau pedoman syariat islam.

Sumber ajaran islam ada tiga, yakni Al-Quran, Hadist (As-sunnah), dan
Ijtihad. Ajaran yang tidak bersumber dari ketiganya bukan ajaran Islam.
Al-Quran dan Hadist merupakan ajaran Islam yang langsung dari Allah
SWT dan Nabi Muhammad SAW, sedang Ijtihad merupakan hasil
pemikiran umat Islam, yakni para ulama mujtahid dengan tetap mengacu
pada Al-Quran dan Hadist.
 Al-Quran
 
 Pengertian Al-Quran
Al-Qur’an (Arab: ‫ )القرآن‬adalah kitab suci agama Islam. Umat Islam percaya
bahwa Al-Qur’an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang
diperuntukkan bagi manusia dan bagian dari rukun iman yang
disampaikan kepada Nabi Muhammad  melalui perantaraan Malaikat Jibril;
dan wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad adalah
sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-‘Alaq ayat 1-5
Ditinjau dari segi kebahasaan, Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang
berarti “bacaan” atau “sesuatu yang dibaca berulang-ulang”. Kata Al-
Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara’a yang
artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada
salah satu surat Al-Qur’an sendiri yakni pada ayat 17 dan 18 Surah Al-
Qiyamah :
“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan
(menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami.
(Karena itu,) jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti
bacaannya”. (Al-Qiyāmah 75:17-18)
Dr. Subhi Al Salih mendefinisikan Al-Qur’an sebagai berikut: “Kalam Allah
yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad  dan
ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir, membacanya
termasuk ibadah“.
Adapun Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur’an sebagai
berikut: “Al-Qur’an adalah firman Allah yang tiada tandingannya,
diturunkan kepada Nabi Muhammad  penutup para nabi dan rasul,
dengan perantaraan Malaikat Jibril dan ditulis pada mushaf-mushaf yang
kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta membaca
dan mempelajarinya merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat Al-
Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas“
 Struktur dan Pembagian Al-Quran
1. Surah, ayat dan ruku’
Al-Qur’an terdiri atas 30 juz,114 surah dan 6236 ayat. Setiap surah akan
terdiri atas beberapa ayat, di mana surah terpanjang dengan 286 ayat
adalah surah Al Baqarah dan yang terpendek hanya memiliki 3 ayat
yakni surat Al Kautsar, An-Nasr dan Al-‘Așr. Surah-surah yang panjang
terbagi lagi atas subbagian lagi yang disebut ruku’ yang membahas tema
atau topik tertentu.
1. Makkiyah dan Madaniyah
Sedangkan menurut tempat diturunkannya, setiap surat dapat dibagi atas
surat-surat Makkiyah (surat Mekkah) dan Madaniyah (surat Madinah).
Pembagian ini berdasarkan tempat dan waktu penurunan surat dan ayat
tertentu di mana surat-surat yang turun sebelum
Rasulullah  hijrah ke Madinah digolongkan surat Makkiyah sedangkan
setelahnya tergolong surat Madaniyah.
Surat yang turun di Makkah pada umumnya suratnya pendek-pendek,
menyangkut prinsip-prinsip keimanan dan akhlaq, panggilannya ditujukan
kepada manusia. Sedangkan yang turun di Madinah pada umumnya
suratnya panjang-panjang, menyangkut peraturan-peraturan yang
mengatur hubungan seseorang dengan Tuhan atau seseorang dengan
lainnya (syari’ah).

1. Juz dan manzil


Dalam skema pembagian lain, Al-Qur’an juga terbagi menjadi 30 bagian
dengan panjang sama yang dikenal dengan namajuz. Pembagian ini untuk
memudahkan mereka yang ingin menuntaskan bacaan Al-Qur’an dalam
30 hari (satu bulan). Pembagian lain yakni manzil memecah Al-Qur’an
menjadi 7 bagian dengan tujuan penyelesaian bacaan dalam 7 hari (satu
minggu). Kedua jenis pembagian ini tidak memiliki hubungan dengan
pembagian subyek bahasan tertentu.
1. Menurut ukuran surat
Kemudian dari segi panjang-pendeknya, surat-surat yang ada di dalam Al-
Qur’an terbagi menjadi empat bagian, yaitu:

1. As Sab’uththiwaal (tujuh surat yang panjang). Yaitu Surat Al-


Baqarah, Ali Imran, An-Nisaa’, Al-A’raaf, Al-An’aam, Al Maa-idahdan Yunus
2. Al Miuun (seratus ayat lebih), seperti Hud, Yusuf, Mu’mindan
sebagainya
3. Al Matsaani (kurang sedikit dari seratus ayat), seperti Al-Anfaal, Al-
Hijrdan sebagainya
4. Al Mufashshal (surat-surat pendek), seperti Adh-Dhuha, Al-Ikhlas, Al-
Falaq, An-Nasdan sebagainya
 Sejarah Al-Quran hingga berbentuk Mushaf
Al-Qur’an memberikan dorongan yang besar untuk mempelajari sejarah
dengan secara adil, objektif dan tidak memihak. Dengan demikian tradisi
sains Islamsepenuhnya mengambil inspirasi dari Al-Qur’an, sehingga
umat Muslim mampu membuat sistematika penulisan sejarah yang lebih
mendekati landasan penanggalan astronomis.
1. Penurunan Al-Qur’an
Al-Qur’an tidak turun sekaligus, ayat-ayat al-Qur’an turun secara
berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Para ulama membagi
masa turunnya ini dibagi menjadi 2 periode, yaitu periode Mekkah dan
periode Madinah. Periode Mekkah berlangsung selama 12 tahun masa
kenabian Rasulullah dan surat-surat yang turun pada waktu ini tergolong
surat Makkiyyah. Sedangkan periode Madinah yang dimulai sejak
peristiwa hijrah berlangsung selama 10 tahun dan surat yang turun pada
kurun waktu ini disebut surat Madaniyah. Ilmu Al-Qur’an yang membahas
mengenai latar belakang atau sebab-sebab suatu atau beberapa ayat al-
Qur’an diturunkan disebut Asbabun Nuzul (Sebab-sebab Turunnya (suatu
ayat).
1. Penulisan Al-Qur’an dan perkembangannya
Penulisan (pencatatan dalam bentuk teks) ayat-ayat al-Qur’an sudah
dimulai sejak zaman Nabi Muhammad. Kemudian transformasinya
menjadi teks yang sudah dibundel menjadi satu seperti yang dijumpai
saat ini, telah dilakukan pada zamankhalifah Utsman bin Affan.
 Masa Nabi Muhammad
Pada masa ketika Nabi Muhammad masih hidup, terdapat beberapa orang
yang ditunjuk untuk menuliskan Al Qur’an yakniZaid bin Tsabit, Ali bin Abi
Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain
juga kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media
penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah kurma, lempengan
batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang
binatang. Di samping itu banyak juga sahabat-sahabat langsung
menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an setelah wahyu diturunkan.
 Masa Khulafaur Rasyidin
Pemerintahan Abu Bakar
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, terjadi beberapa pertempuran (dalam
perang yang dikenal dengan nama perang Ridda) yang mengakibatkan
tewasnya beberapa penghafal Al-Qur’an dalam jumlah yang
signifikan. Umar bin Khattab yang saat itu merasa sangat khawatir akan
keadaan tersebut lantas meminta kepada Abu Bakar untuk
mengumpulkan seluruh tulisan Al-Qur’an yang saat itu tersebar di antara
para sahabat. Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai
koordinator pelaksanaan tugas tersebut. Setelah pekerjaan tersebut
selesai dan Al-Qur’an tersusun secara rapi dalam satumushaf, hasilnya
diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut
hingga wafatnya kemudian mushaf tersebut berpindah kepada Umar
sebagai khalifah penerusnya, selanjutnya mushaf dipegang oleh anaknya
yakniHafshah yang juga istri Nabi Muhammad.
Pemerintahan Utsman bin Affan
Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat
keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur’an (qira’at) yang disebabkan
oleh adanya perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang berasal dari
daerah berbeda-beda. Hal ini menimbulkan kekhawatiran Utsman
sehingga ia mengambil kebijakan untuk membuat sebuah mushaf standar
(menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan sebuah
jenis penulisan yang baku. Standar tersebut, yang kemudian dikenal
dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga
saat ini. Bersamaan dengan standardisasi ini, seluruh mushaf yang
berbeda dengan standar yang dihasilkan diperintahkan untuk
dimusnahkan (dibakar). Dengan proses ini Utsman berhasil mencegah
bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam pada masa
depan dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur’an.
Mengutip hadist riwayat Ibnu Abi Dawud dalam Al-Mashahif, dengan
sanad yang shahih:
“Suwaid bin Ghaflah berkata, “Ali mengatakan: Katakanlah segala yang
baik tentang Utsman. Demi Allah, apa yang telah dilakukannya mengenai
mushaf-mushaf Al Qur’an sudah atas persetujuan kami. Utsman berkata,
‘Bagaimana pendapatmu tentang isu qira’at ini? Saya mendapat berita
bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa qira’atnya lebih baik dari
qira’at orang lain. Ini hampir menjadi suatu kekufuran’. Kami berkata,
‘Bagaimana pendapatmu?’ Ia menjawab, ‘Aku berpendapat agar umat
bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi perpecahan dan
perselisihan.’ Kami berkata, ‘Pendapatmu sangat baik’.”
Menurut Syaikh Manna’ Al-Qaththan dalam Mahabits fi ‘Ulum Al Qur’an,
keterangan ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Utsman telah
disepakati oleh para sahabat. Demikianlah selanjutnya Utsman mengirim
utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf Abu Bakar yang ada
padanya. Lalu Utsman memanggil Zaid bin Tsabit Al-Anshari dan tiga
orang Quraish, yaitu Abdullah bin Az-Zubair, Said bin Al-Ash dan
Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam. Ia memerintahkan mereka agar
menyalin dan memperbanyak mushaf, dan jika ada perbedaan antara
Zaid dengan ketiga orang Quraish tersebut, hendaklah ditulis dalam
bahasa Quraish karena Al Qur’an turun dalam dialek bahasa mereka.
Setelah mengembalikan lembaran-lembaran asli kepada Hafsah, ia
mengirimkan tujuh buah mushaf, yaitu ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain,
Bashrah, Kufah, dan sebuah ditahan di Madinah (mushaf al-Imam).
 Hubungan Al-Quran dengan Kitab-kitab Lain
Berkaitan dengan adanya kitab-kitab yang dipercayai diturunkan kepada
nabi-nabi sebelum Muhammad  dalam agama Islam (Taurat, Zabur, Injil,
lembaran Ibrahim), Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menegaskan
posisinya terhadap kitab-kitab tersebut. Berikut adalah pernyataan Al-
Qur’an yang tentunya menjadi doktrin bagi ummat Islam mengenai
hubungan Al-Qur’an dengan kitab-kitab tersebut:
1. Bahwa Al-Qur’an menuntut kepercayaan umat Islam terhadap
eksistensi kitab-kitab tersebut.
2. Bahwa Al-Qur’an diposisikan sebagai pembenar dan batu ujian
(verifikator) bagi kitab-kitab sebelumnya.
3. Bahwa Al-Qur’an menjadi referensi untuk menghilangkan
perselisihan pendapat antara ummat-ummat rasul yang berbeda.
4. Bahwa Al-Qur’an meluruskan sejarah. Dalam Al-Qur’an terdapat
cerita-cerita mengenai kaum dari rasul-rasul terdahulu, juga mengenai
beberapa bagian mengenai kehidupan para rasul tersebut. Cerita tersebut
pada beberapa aspek penting berbeda dengan versi yang terdapat pada
teks-teks lain yang dimiliki baik oleh Yahudidan Kristen.
 Hadist
 Pengertian Hadist
Hadits (bahasa Arab: ‫الحديث‬ ) adalah perkataan (sabda), perbuatan,
ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad yang dijadikan
landasan syariat Islam. Hadits dijadikan sumber hukum Islam selain al-
Qur’an, dalam hal ini kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua
setelah al-Qur’an.
Hadits secara harfiah berarti “berbicara”, “perkataan” atau “percakapan”.
Dalam terminologi Islam istilah hadits berarti melaporkan, mencatat
sebuah pernyataan dan tingkah laku dari Nabi Muhammad .
Menurut istilah ulama ahli hadits, hadits yaitu apa yang diriwayatkan dari
Nabi Muhammad , baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapannya
(Arab: taqrîr), sifat jasmani atau sifat akhlak, perjalanan setelah diangkat
sebagai Nabi (Arab: bi’tsah) dan terkadang juga sebelumnya, sehingga
arti hadits di sini semakna dengan sunnah.
Kata hadits yang mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan
dengan sunnah, maka pada saat ini bisa berarti segala perkataan (sabda),
perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad  yang
dijadikan ketetapan ataupun hukum.
Kedudukan Hadist sebagai sumber hukum Islam dijelaskan dalam Al-
Qur’an surah An-Nisa 4:65

Artinya : Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman


hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu
keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya.
 Struktur Hadist
Secara struktur hadits terdiri atas dua komponen utama
yakni sanad/isnad (rantai penutur) dan matan (redaksi).

Contoh: Musaddad mengabari bahwa Yahya menyampaikan sebagaimana


diberitakan oleh Syu’bah, dari Qatadah dari Anas dari Rasulullah  bahwa
dia bersabda: “Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga
ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri” (hadits
riwayat Bukhari)
1. Sanad
Sanad ialah rantai penutur/rawi (periwayat) hadits. Rawi adalah masing-
masing orang yang menyampaikan hadits tersebut (dalam contoh di atas:
Bukhari, Musaddad, Yahya, Syu’bah, Qatadah dan Anas). Awal sanad ialah
orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab hadits); orang
ini disebut mudawwin atau mukharrij. Sanad merupakan rangkaian
seluruh penutur itu mulai dari mudawwin hingga mencapai Rasulullah.
Sanad memberikan gambaran keaslian suatu riwayat. Jika diambil dari
contoh sebelumnya maka sanad hadits bersangkutan adalah
Al-Bukhari –> Musaddad –> Yahya –> Syu’bah –> Qatadah –> Anas –>
Nabi Muhammad 
Sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah
penutur/rawi yang bervariasi dalam lapisan sanadnya; lapisan dalam
sanad disebut dengan thabaqah. Signifikansi jumlah sanad dan penutur
dalam tiap thabaqah sanad akan menentukan derajat hadits tersebut, hal
ini dijelaskan lebih jauh pada klasifikasi hadits.
Jadi yang perlu dicermati dalam memahami hadits terkait dengan
sanadnya ialah :

 Keutuhan sanadnya
 Jumlahnya
 Perawi akhirnya
Sebenarnya, penggunaan sanad sudah dikenal sejak sebelum datangnya
Islam. Hal ini diterapkan di dalam mengutip berbagai buku dan ilmu
pengetahuan lainnya. Akan tetapi mayoritas penerapan sanad digunakan
dalam mengutip hadits-hadits nabawi.

 
Rawi
Rawi adalah orang-orang yang menyampaikan suatu hadits. Sifat-sifat
rawi yang ideal adalah:

 Bukan pendusta atau tidak dituduh sebagai pendusta


 Tidak banyak salahnya
 Teliti
 Tidak fasik
 Tidak dikenal sebagai orang yang ragu-ragu (peragu)
 Bukan ahli bid’ah
 Kuat ingatannya (hafalannya)
 Tidak sering bertentangan dengan rawi-rawi yang kuat
 Sekurangnya dikenal oleh dua orang ahli hadits pada jamannya.
Sifat-sifat para rawi ini telah dicatat dari zaman ke zaman oleh ahli-ahli
hadits yang semasa, dan disalin dan dipelajari oleh ahli-ahli hadits pada
masa-masa yang berikutnya hingga ke masa sekarang. Rawi yang tidak
ada catatannya dinamakan maj’hul, dan hadits yang diriwayatkannya
tidak boleh diterima.
1. Matan
Matan ialah redaksi dari hadits, dari contoh sebelumnya maka matan
hadits bersangkutan ialah:

“Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk


saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri”
Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam
mamahami hadits ialah:

 Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi


Muhammad atau bukan,
 Matan hadits itu sendiri dalam hubungannya dengan hadits lain
yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau
menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al Quran (apakah ada
yang bertolak belakang).
2.2.3   Klasifikasi Hadist
Hadits dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria yakni
bermulanya ujung sanad, keutuhan rantai sanad, jumlah penutur (rawi)
serta tingkat keaslian hadits (dapat diterima atau tidaknya hadits
bersangkutan).

1. Berdasarkan ujung sanad


Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi menjadi 3 golongan
yakni marfu’ (terangkat), mauquf (terhenti) dan maqthu’:
 Hadits Marfu’adalah hadits yang sanadnya berujung langsung pada
Nabi Muhammad  (contoh: hadits di atas)
 Hadits Mauqufadalah hadits yang sanadnya terhenti pada
para sahabat nabi tanpa ada tanda-tanda baik secara perkataan maupun
perbuatan yang menunjukkan derajat marfu’. Contoh: Al Bukhari dalam
kitab Al-Fara’id (hukum waris) menyampaikan bahwa Abu Bakar, Ibnu
Abbas dan Ibnu Al-Zubair mengatakan: “Kakek adalah (diperlakukan
seperti) ayah”. Pernyataan dalam contoh itu tidak jelas, apakah berasal
dari Nabi atau sekedar pendapat para sahabat. Namun jika ekspresi yang
digunakan sahabat adalah seperti “Kami diperintahkan..”, “Kami dilarang
untuk…”, “Kami terbiasa… jika sedang bersama Rasulullah”, maka derajat
hadits tersebut tidak lagi mauquf melainkan setara dengan marfu’.
 Hadits Maqthu’adalah hadits yang sanadnya berujung pada
para tabi’in (penerus) atau sebawahnya. Contoh hadits ini adalah: Imam
Muslim meriwayatkan dalam pembukaan sahihnya bahwa Ibnu Sirin
mengatakan: “Pengetahuan ini (hadits) adalah agama, maka berhati-
hatilah kamu darimana kamu mengambil agamamu”.
Keaslian hadits yang terbagi atas golongan ini sangat bergantung pada
beberapa faktor lain seperti keadaan rantai sanad maupun penuturnya.
Namun klasifikasi ini tetap sangat penting mengingat klasifikasi ini
membedakan ucapan dan tindakan Rasulullah  dari ucapan para sahabat
maupun tabi’in di mana hal ini sangat membantu dalam area
perkembangan dalam fikih (Suhaib Hasan, Science of Hadits).
1. Berdasarkan keutuhan rantai/lapisan sanad
Berdasarkan klasifikasi ini hadits terbagi menjadi beberapa golongan
yakni Musnad, Mursal, Munqathi’, Mu’allaq, Mu’dlaldan Mudallas.
Keutuhan rantai sanad maksudnya ialah setiap penutur pada tiap
tingkatan dimungkinkan secara waktu dan kondisi untuk mendengar dari
penutur di atasnya.
Ilustrasi sanad: Pencatat hadits > Penutur 5> Penutur 4> Penutur 3
(tabi’ut tabi’in) > Penutur 2 (tabi’in) > Penutur 1 (para shahabi)
> Rasulullah
 Hadits Musnad. Sebuah hadits tergolong musnad apabila urutan
sanad yang dimiliki hadits tersebut tidak terpotong pada bagian tertentu.
Urut-urutan penutur memungkinkan terjadinya penyampaian hadits
berdasarkan waktu dan kondisi, yakni rawi-rawi itu memang diyakini telah
saling bertemu dan menyampaikan hadits. Hadits ini juga
dinamakanmuttashilus sanadatau maushul.
 Hadits Mursal, bila penutur 1 tidak dijumpai atau dengan kata lain
seorang tabi’in menisbatkan langsung kepada Rasulullah (contoh: seorang
tabi’in (penutur 2) mengatakan “Rasulullah berkata…” tanpa ia
menjelaskan adanya sahabat yang menuturkan kepadanya).
 Hadits Munqathi’, bila sanad putus pada salah satu penutur, atau
pada dua penutur yang tidak berturutan, selain shahabi.
 Hadits Mu’dlal, bila sanad terputus pada dua generasi penutur
berturut-turut.
 Hadits Mu’allaq, bila sanad terputus pada penutur 5 hingga penutur
1, alias tidak ada sanadnya. Contoh: “Seorang pencatat hadits
mengatakan, telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah
mengatakan….”tanpa ia menjelaskan sanad antara dirinya hingga
Rasulullah.
 Hadits Mudallas, bila salah satu rawi mengatakan “..si A berkata..”
atau “Hadits ini dari si A..” tanpa ada kejelasan “..kepada saya..”; yakni
tidak tegas menunjukkan bahwa hadits itu disampaikan kepadanya secara
langsung. Bisa jadi antara rawi tersebut dengan si A ada rawi lain yang
tidak terkenal, yang tidak disebutkan dalam sanad. Hadits ini disebut juga
hadits yang disembunyikan cacatnya karena diriwayatkan melalui sanad
yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal
sebenarnya ada, atau hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya.
1. Berdasarkan jumlah penutur
Jumlah penutur yang dimaksud adalah jumlah penutur dalam tiap
tingkatan dari sanad, atau ketersediaan beberapa jalur berbeda yang
menjadi sanad hadits tersebut. Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi
atas hadits mutawatir dan hadits ahad.
 Hadits Mutawatir, adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok
orang dari beberapa sanad dan tidak terdapat kemungkinan bahwa
mereka semua sepakat untuk berdusta bersama akan hal itu. Jadi hadits
mutawatir memiliki beberapa sanad dan jumlah penutur pada tiap lapisan
generasi (thaqabah) berimbang. Para ulamaberbeda pendapat mengenai
jumlah sanad minimum hadits mutawatir (sebagian menetapkan 20 dan
40 orang pada tiap lapisan sanad). Hadits mutawatir sendiri dapat
dibedakan antara dua jenis yakni mutawatir lafzhy (lafaz redaksional
sama pada tiap riwayat) dan ma’nawy (pada redaksional terdapat
perbedaan namun makna sama pada tiap riwayat)
 Hadits Ahad, hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang
namun tidak mencapai tingkatan mutawatir. Hadits ahad kemudian
dibedakan atas tiga jenis antara lain :
1. Gharib, bila hanya terdapat satu jalur sanad (pada salah satu
lapisan terdapat hanya satu penutur, meski pada lapisan lain mungkin
terdapat banyak penutur)
2. Aziz, bila terdapat dua jalur sanad (dua penutur pada salah
satu lapisan, pada lapisan lain lebih banyak)
3. Masyhur, bila terdapat lebih dari dua jalur sanad (tiga atau
lebih penutur pada salah satu lapisan, dan pada lapisan lain lebih
banyak) namun tidak mencapai derajat mutawatir. Dinamai juga hadits
mustafidl.
1. Berdasarkan tingkat keaslian hadits
Kategorisasi tingkat keaslian hadits adalah klasifikasi yang paling penting
dan merupakan kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan
terhadap hadits tersebut. Tingkatan hadits pada klasifikasi ini terbagi
menjadi 4 tingkat yakni shahih, hasan, dla’if dan maudlu’.

 Hadits Sahih, yakni tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu


hadits. Hadits shahih memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Sanadnya bersambung (lihat Hadits Musnad di atas);
2. Diriwayatkan oleh para penutur/rawi yang adil, memiliki sifat
istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjagamuruah(kehormatan)-
nya, dan kuat ingatannya.
3. Pada saat menerima hadits, masing-masing rawi telah cukup
umur (baligh) dan beragama Islam.
4. Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan
(syadz) serta tidak ada sebab tersembunyi atau tidak nyata yang
mencacatkan hadits (’illat).
 Hadits Hasan, bila hadits yang tersebut sanadnya bersambung,
namun ada sedikit kelemahan pada rawi(-rawi)nya; misalnya diriwayatkan
oleh rawi yang adil namun tidak sempurna ingatannya. Namun matannya
tidak syadz atau cacat.
 Hadits Dhaif(lemah), ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung
(dapat berupa hadits mauquf, maqthu’, mursal, mu’allaq, mudallas,
munqathi’ atau mu’dlal), atau diriwayatkan oleh orang yang tidak adil
atau tidak kuat ingatannya, atau mengandung kejanggalan atau cacat.
 Hadits Maudlu’, bila hadits dicurigai palsu atau buatan karena dalam
rantai sanadnya dijumpai penutur yang dikenal sebagai pendusta.
1. Jenis-jenis lain
Adapun beberapa jenis hadits lainnya yang tidak disebutkan dari
klasifikasi di atas antara lain:

 Hadits Matruk, yang berarti hadits yang ditinggalkan yaitu hadits


yang hanya diriwayatkan oleh seorang rawi saja dan rawi itu dituduh
berdusta.
 Hadits Mungkar, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang
rawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan
oleh rawi yang tepercaya/jujur.
 Hadits Mu’allal, artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu
hadits yang di dalamnya terdapat cacat yang tersembunyi (’illat).
Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalanibahwa hadits Mu’allal ialah hadits yang
nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini
biasa juga disebut hadits Ma’lul (yang dicacati) dan disebut hadits Mu’tal
(hadits sakit atau cacat).
 Hadits Mudlthorib, artinya hadits yang kacau yaitu hadits yang
diriwayatkan oleh seorang rawi melalui beberapa sanad dengan matan
(isi) kacau atau tidak sama atau bahkan kontradiksi dengan yang
dikompromikan
 Hadits Maqlub, yakni hadits yang terbalik yaitu hadits yang
diriwayatkan oleh rawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan
yang belakang atau sebaliknya, baik dalam hal matan (isi) atau sanad
(silsilah)
 Hadits Gholia, yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga
pengertiannya berubah
 Hadits Mudraj, yaitu hadits yang mengalami penambahan isi oleh
rawi, misalnya penjelasan-penjelasan yang bukan berasal dari Nabi.
 Hadits Syadz, hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan
oleh rawi yang tepercaya namun bertentangan dengan hadits lain yang
diriwayatkan dari rawi-rawi yang lain. Hadits syadz bisa jadi berderajat
shahih, akan tetapi berlawanan isi dengan hadits shahih yang lebih kuat
sanadnya. Hadits yang lebih kuat sanadnya ini dinamakan Hadits
Mahfuzh.
 
 Ijtihad
 Pengertian Ijtihad
Ijtihad (Arab: ‫ )اجتهاد‬adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang
sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha
mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam
Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan
pertimbangan matang.
Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad
sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama Islam.
Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan
pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu
atau pada suatu waktu tertentu.
 Fungsi Ijtihad
Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak
berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detail oleh Al
Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat
turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat
masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan
turunan dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama
sehari-hari.

Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat
tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut
dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas
ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka
persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana
disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan
tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya
dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam
memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah
mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.

 Jenis-Jenis Ijtihad
1. Ijma’
Ijma’ artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam
menetapkan suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur’an
dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi. Adalah keputusan bersama
yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian
dirundingkan dan disepakati. Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan
bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti
seluruh umat.

1. Qiyâs
Qiyas adalah menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan
suatu hukum suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa
sebelumnya namun memiliki kesamaan dalah sebab, manfaat, bahaya
dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama.
Dalam Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal
hal yang ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya

Beberapa definisi qiyâs (analogi)
1. Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya,
berdasarkan titik persamaan di antara keduanya.
2. Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui
suatu persamaan di antaranya.
3. Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di
dalam [Al-Qur’an] atau [Hadis] dengan kasus baru yang memiliki
persamaan sebab (iladh).
4. menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yg belum di
terangkan oleh al-qur’an dan hadits.
1. Istihsân
Beberapa definisi Istihsân

1. Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih(ahli fikih), hanya karena


dia merasa hal itu adalah benar.
2. Argumentasi dalam pikiran seorang fâqihtanpa bisa diekspresikan
secara lisan olehnya
3. Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk
maslahat orang banyak.
4. Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah
kemudharatan.
5. Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap
perkara yang ada sebelumnya..
1. Maslahah murshalah
Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskahnya dengan
pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik
manfaat dan menghindari kemudharatan.
1. Sududz Dzariah
Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau
haram demi kepentingan umat.

1. Istishab
Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada
alasan yang bisa mengubahnya, contohnya apabila ada pertanyaan
bolehkah seorang perempuan menikah lagi apabila yang bersangkutan
ditinggal suaminya bekerja di perantauan dan tidak jelas kabarnya? maka
dalam hal ini yang berlaku adalah keadaan semula bahwa perempuan
tersebut statusnya adalah istri orang sehingga tidak boleh menikah(lagi)
kecuali sudah jelas kematian suaminya atau jelas perceraian keduanya.

1. Urf
Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan
kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak
bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis.

 Tingkatan-Tingkatan Ijtihad
1. Ijtihad Muthlaq
Adalah kegiatan seorang mujtahid yang bersifat mandiri dalam berijtihad
dan menemukan ‘illah-‘illah hukum dan ketentuan hukumnya dari nash Al-
Qur’an dan sunnah, dengan menggunakan rumusan kaidah-kaidah dan
tujuan-tujuan syara’, serta setelah lebih dahulu mendalami persoalan
hukum, dengan bantuan disiplin-disiplin ilmu.
1. Ijtihad fi al-Madzhab
Adalah suatu kegiatan ijtihad yang dilakukan seorang ulama mengenai
hukum syara’, dengan menggunakan metode istinbath hukum yang telah
dirumuskan oleh imam mazhab, baik yang berkaitan dengan masalah-
masalah hukum syara’ yang tidak terdapat dalam kitab imam mazhabnya,
meneliti pendapat paling kuat yang terdapat di dalam mazhab tersebut,
maupun untuk memfatwakan hukum yang diperlukan masyarakat.
Secara lebih sempit, ijtihad tingkat ini dikelompokkan menjadi tiga
tingkatan ini:

1. Ijtihad at-Takhrij
Yaitu kegiatan ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid
dalam mazhab tertentu untuk melahirkan hukum syara’ yang tidak
terdapat dalam kumpulan hasil ijtihad imam mazhabnya, dengan
berpegang kepada kaidah-kaidah atau rumusan-rumusan hukum imam
mazhabnya. Pada tingkatan ini kegiatan ijtihad terbatas hanya pada
masalah-masalah yang belum pernah difatwakan imam mazhabnya,
ataupun yang belum pernah difatwakan oleh murid-murid imam
mazhabnya.
2. Ijtihad at-Tarjih
Yaitu kegiatan ijtihad yang dilakukan untuk memilah pendapat yang
dipandang lebih kuat di antara pendapat-pendapat imam mazhabnya,
atau antara pendapat imam dan pendapat murid-murid imam mazhab,
atau antara pendapat imam mazhabnya dan pendapat imam mazhab
lainnya. Kegiatan ulama pada tingkatan ini hanya melakukan pemilahan
pendapat, dan tidak melakukan istinbath hukum syara’.
3. Ijtihad al-Futya
Yaitu kegiatan ijtihad dalam bentuk menguasai seluk-beluk pendapat-
pendapat hukum imam mazhab dan ulama mazhab yang dianutnya, dan
memfatwakan pendapat-pendapat terebut kepada masyarakat. Kegiatan
yang dilakukan ulama pada tingkatan ini terbatas hanya pada
memfatwakan pendapat-pendapat hukum mazhab yang dianutnya, dan
sama sekali tidak melakukan istinbath hukum dan tidak pula memilah
pendapat yang ada di dalamnya.

BAB III

PENUTUP

 Kesimpulan
Mempelajari agama Islam merupakan fardhu ’ain , yakni kewajiban pribadi
setiap muslim dan muslimah, sedang mengkaji ajaran Islam terutama
yang dikembangkan oleh akal pikiran manusia, diwajibkan kepada
masyarakat atau kelompok masyarakat.Sumber ajaran agama islam
terdiri dari sumber ajaran islam primer dan sekunder. Sumber ajaran
agama islam primer terdiri dari al-qur’an dan as-sunnah (hadist),
sedangkan sumber ajaran agama islam sekunder adalah ijtihad.
 Saran
Sebelum kita mempelajari agama islam lebih jauh, terlebih dahulu kita
harus mempelajari sumber-sumber ajaran agama islam agar agama islam
yang kita pelajri sesuia dengan al-qur’an dan tuntunan nabi Muhammad
SAW yang terdapat dalam as-sunnah (hadist).

DAFTAR PUSTAKA

https://sriastutihardiyantibvwk.wordpress.com/2015/11/13/makalah-sumber-ajaran-islam/

Anda mungkin juga menyukai