Anda di halaman 1dari 24

PENGARUH KONSENTRASI DAN LAMA PERENDAMAN

GIBERELIN (GA3) TERHADAP PERKECAMBAHAN BIJI APEL


MANGROVE (Sonneratia caseolaris L.)

Usulan Penelitian

Diajukan oleh :
Danang Almayda Haryateja
20170210139

Progam Studi Agroteknologi

Kepada
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
YOGYAKARTA
2019
HALAMAN PENGESAHAN USULAN PENELITIAN

Usulan Penelitian

PENGARUH KONSENTRASI DAN LAMA PERENDAMAN


GIBERELIN (GA3) TERHADAP PERKECAMBAHAN BIJI APEL
MANGROVE (Sonneratia caseolaris L.)

Yang diajukan oleh

Danang Almayda Haryateja

20170210139

Progam Studi Agroteknologi

telah disetujui/disarankan oleh:

Pembimbing Utama

ii
.................................. Tanggal ........................

Pembimbing Pendamping

................................. Tanggal ........................

Mengetahui:

Ketua Progam Studi Agroteknologi

iii
Dr. Innaka Ageng Rineksane, S.P., M.P. Tanggal ......................

NIP. 19721012200004133050

iv
I. PENDAHULAN

A. Latar Belakang

Pencegahan terjadinya abrasi menjadi tugas utama yang harus dilakukan


dengan melakukan usaha konservasi hutan mangrove. Diketahui kerapatan pohon
dan sistem perakaran mangrove yang berkembang di atas permukaan tanah, dapat
memproteksi garis pantai dari terjangan gelombang arus laut karena adanya
penyerapan energi gelombang dan pengurangan kecepatan arus oleh perakaran
mangrove (Mazda et.al., 1997) dalam [ CITATION Kus09 \l 1033 ]. Sehingga
peran vegetasi mangrove sangat diperlukan untuk mengantisipasi dan
penanggulanggan ternjadinya degradasi daratan. Menurut Perdana (2008) dalam
[CITATION Set13 \l 1057 ], faktor kesesuaian habitat penting bagi pertumbuhan
hutan mangrove karena hutan ini sangat dipengaruhi secara terus menerus oleh
faktor-faktor yang berasal dari daratan dan lautan. Hal ini menjadi suatu
kesempatan untuk dilakukannya konservasi khususnya tananam Sonneratia
caseolaris. Namun, terdapat beberapa permasalahan dalam konservasi hutan
mangrove. Seperti contoh yang terdapat pada pantai Baros, dimana terjadi
dominasi spesies seperti yang dilaporkan Trialfhianty (2013), Mangrove Baros
didominasi oleh species Rhizophora apiculata dan Avicennia lanata. Hal ini
menyebabkan kurangnya pemanfaatan spesies Sonneratia caseolaris yang
merupakan mangrove endemik. Sonneratia caseolaris memiliki keistimewaan
yaitu pertumbuhan vegetatifnya relatif cepat. Berdasarkan Kathiresan, et.al.
(2010), Sonneratia caseolaris merupakan tumbuhan perintis dengan pertumbuhan
vegetative cepat. Namun terdapat pembatas dimana pembibitan generatif
Sonneratia caseolaris menghasilkan keberhasilan rendah dan perolehan bibit
tanaman ini berasal dari tangkapan alam atau luar kawasan konservasi yang
memerlukan biaya dan waktu yang tidak sedikit [ CITATION Her16 \l 1033 ].
Jika mengandalkan dari perbanyakan Sonneratia caseolaris secara vegetative
seperti stek dan cangkok akan menghasilkan tanaman yang memiliki perakaran
serabut. Perakaran serabut tidak terlalu kuat untuk menahan abrasi pantai
mengingat tanaman ini adalah tanaman perintis pada ekosistem hutan mangrove.

5
6

Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan
menggunakan zat pengatur tumbuh (Plant growth regulator) giberelin (GA3).

Zat pengatur tumbuh merupakan senyawa organik bukan nutrisi yang dalam
konsentrasi yang rendah dapat mendorong, menghambat atau secara kualitatif
mengubah pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Davies, 1995). Salah satu
zat pengatur tumbuh yang sering digunakan adalah giberelin yang banyak
berperan dalam mempengaruhi berbagai proses fisiologi tanaman. Walaupun saat
ini telah diketahui tumbuhan dapat menghasilkan GA3 sendiri, akan tetapi jumlah
yang dihasilkan oleh tumbuhan tersebut belum cukup untuk merangsang
perkecambahan. Hopkin (1995) melaporkan bahwa giberelin berperan dalam
pembentangan dan pembelahan sel, pemecahan dormansi biji sehingga biji dapat
berkecambah, mobilisasi endosperm cadangan selama pertumbuhan awal embrio,
pemecahan dormansi tunas, pertumbuhan dan perpanjangan batang,
perkembangan bunga dan buah, pada tumbuhan roset mampu memperpanjang
internodus sehingga tumbuh memanjang.

Perendaman biji apel mangrove diharapkan akan meningkatakan zat pengatur


tumbuh yang diserap biji sehingga dapat mempercepat perkecambahan dan
meningkatakan persentase perkecambahan yang mengakibatakan pertumbuhan
juga akan meningkat. Wattimena (1992) menyatakan giberelin eksogen yang
umum digunakan dan tersedia di pasaran adalah GA3 (giberelin-3), yang dikenal
juga dengan nama asam giberelat. Menurut Prihiyanto (1991) menyebutkan
bahawa biji sawo kecil (Manikara kauki) yang direndam dalam larutan giberelin
(GA3) dengan beberapa kosentrasi berpengaruh mempercepat perkecambahan,
pada konsentrasi 40 ppm biji dapat berkecambah pada hari ke-17. Pada tanaman
jati, giberelin mampu memecah dormasi pada konsetrasi 10 ppm dan 100 ppm
dengan persentase perkecambahan biji sebesar 40 % dan 10 % (Fatimah dan
Junairiah, 2004).
7

B. Perumusan Masalah
1. Apakah perendaman biji apel mangrove dalam larutan giberelin (GA3) pada
berbagai kosentrasi berpengaruh terhadap kecepatan perkecambahan dan
viabilitas biji?
2. Apakah ada perbedaan kecepatan perkecambahan dan viabilitas biji antara biji
apel mangrove yang direndam dalam larutan giberelin (GA3) pada berbagai
kosentrasi dengan biji yang direndam dalam air ?
3. Berapa kosentrasi optimal giberelin yang menyebabkan viabilitas paling tinggi
dan kecepatan paling tinggi?

C. Tujuan Penelitian

1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh giberelin (GA3) terhadap


viabilitas dan kecepatan perkecambahan biji apel mangrove (Sonneratia
caseolaris L.)

2. Mengetahui konsentrasi larutan giberelin (GA3) yang menyebabkan viabilitas


paling tinggi dan kecepatan perkecambahan biji yang paling tinggi.

3. Mengetahui konsentrasi giberelin yang optimal terhadap viabilitas benih dan


kecepatan perkecambahan benih.
8

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanaman Apel Mangrove (Sonneratia caseolaris L.)

Tanaman pidada atau apel mangrove merupakan salah satu jenis mangrove
yang termasuk dalam golongan family Sonneratiaceae. Pohon pidada dapat
mencapai ketinggian 15 meter, memiliki akar nafas seperti kerucut yang kuat dan
banyak. Tanaman ini memiliki morfologi kerdil, semi-kerdil, dan normal. Pada
bagian batang tersusun atas jaringan epidermis, korteks dan ikatan pembuluh yang
tersebar, serta empulur dan juga struktur jaringan daun dari luar ke dalam
terdapat epidermis atas (adaksial) dan epidermis bawah (abaksial) masing-masing
terdiri dari satu lapis yang berkutikula tipis serta mesofil daun terdiferensiasi
menjadi jaringan palisade dan jaringan spons [ CITATION Nik13 \l 1057 ]. Ujung
cabang pada ranting terkulai dan berbentuk persegi empat pada saat muda
(Haehinohe et al., 1999) dalam [ CITATION Sah11 \l 1057 ].

Pembibitan benih pidada dilansir oleh [ CITATION Wet09 \l 1057 ] yaitu


dilakukan pemilihan buah dengan diameter 4 cm dan terapung di air. Benih pidada
memerlukan media tanam lumpur atau lumpur berpasir, dan di utamakan berasal
dari sekitar pohon induk. Persemaian dilakukan dengan menancapkan 1/3 bagian
benih pada bedeng tabur atau juga dapat dengan polibag. Pemeliharaan dilakukan
dengan melakukan penyiraman pada pagi dan sore. Setelah beberapa bulan (3-4
bulan), penyiraman dan pemberian naungan di kurangi secara bertahap. Hal ini
bertujuan agar bibit mampu tumbuh dan beradaptasi dengan kondisi lingkungan.

B. Giberelin

Giberelin adalah jenis hormon yang mula-mula ditemukan di Jepang oleh


Kurosawa pada tahun 1926. Gilberlin merupakan salah satu zat pengatur tumbuh
yang dikenal mempunyai efek terhadap bermacam-macam tanaman. Salah satu
fungsinya uuntuk mempercepat perkecambahan. fungsi fisiologis giberelin antara
lain adalah merangsang perpanjangan atau merangsang pertumbuhan dan
9

perkecambahan daun, mangatasi kekerdilan genetik, merangsang pembungaan,


pematangan buah, memacu perkecambahan dan mematahan dormasi (Abidin,
2004). Giberelin jugadapat digunakan untuk mematahkan domarsi biji dan
berperan dalam memulai pertumbuhan dari kuncul di musim semi dan
perkecambahan di beberapa biji (McCullough, 1972).

Giberelin adalah zat kimia yang dikelompokkan ke dalam terpenoid. Semua


kelompok terpanoid dari unit isoprene yang terdiri dari 5 atom karbon. Unit-unit
isoprene ini dapat bergabung sehingga menghasilakn monoterpene (C-10),
Sesqueterpene (C-15), diterpene (C-20) dan Triterpene (C-30) (Abidin, 2004).
Biosintesis giberelin yang terdapat dalam jamur Gibberella fujikuroi berproses
dari asam mevalonis sampai menjadi giberelin (Abidin, 2004).

Menurut Abidin (2004), salah satu efek fisiologis adalah mendorong


aktivitas dari enzim-enzim hidrolitik pada proses perkecambahan bji serealia. Hal
ini mula-mula datang dari observasi perubahan-perubahan kimia yang terjadi pada
biji jelai selama proses malting (perubahan pati ke gula). Pada proses
perkecambahan ini , pati diubah menjadi glukosa. Diketahui ternyata giberelin
didifusikan ke lapisan aleuron, termpat dan tempat dibuatnya enzim-enzim
hidrolitik (amilase, propase, gluconase, fosfatase, dan lain-lain). Enzim-enzim ini
berdifusi di endosperm dan merubahn molekul-molekul makro yang di simpan di
dalam endosperm menjadi gula, asam amino, nukleotida dan lain-lain. Zat ini
yang kemudian menjamin pertumbuhan embrio biji tersebut.

Giberelin bereaksi pada sel-sel yang mengelilingi endosterm dan


menyebabkan terbentuknya sejumlah enzim hidrolotik (seperti amilase dan
protease) yang mencegah zaat pati dan asam amino bagi sel sedang tumbuh.
Enzim-enzim ini juga memecahkan selaput biji, dengan demikian memudahkan
radikulasi dan koleoptil keluar menembusnya (Kimbali, 1983). Menurut
Alamsyah (2002), asam amino yang tersedia akibat enzim protase, dapat
digunakan sebagai prekursor permbentukan hormon tumbuh yang lain.
10

C. Biji
Bagi tumbuhan biji (Spermatophyta), biji ini merupakan alat
perkembangan yang utama, karena biji mengandung colon tumbuhan baru
(lembaga/embrio). Dengan dihasilkan biji, tumbuhan dapat mempertahankan
jenisnya (Tjitroseopomo, 1994). Kendala yang sering muncul pada biji adalah
dormansi biji.

Dormansi adalah suatu istilah biologi yang belum dapat diterjemahkan ke


dalam bahasa Indonesia. Namun istlah yang mendekati pada arti dormansi adalah
masa istilah bagi suatu organ tanaman misalnya biji. Istilah sering digunakan
pada bidang pembenihan (Abidin, 2004). Menurut Sutopo (1984), suatu benih
dormansi sebenarnya biji viable (hidup) tetapi tidak mau berkecambah walaupun
syarat bagi perkecamabahannya terpenuhi. Biji yang kering atau kadar air yang
keras mengakibatkan biji tersebut kekurangan zat terlarut yang digunakan untuk
metabolitas perkecambahan. Sehingga pemberian giberelin diharapakan akan
mempercepat proses metabolisnya dan meningkatkan viabilitasnya.

D. Perkecambahan dan Viabilitas Biji

Salisbury dan Ross (1995) menyatakan bahawa perkecambahan sebagai


kejadian yang dimulai dengan imbibisi dan diakhiri ketika kutikula (akar lembaga
atau pada beberapa biji, kotiledon/hipokotil) memanjang atau muncul melewati
kutikula biji. Perkecambahan adalah proes pertumbuhan embrio dan komponen-
komponen biji yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh secara normal
menjadi tanmaan baru (Ashari, 1995). Biji dapat tetap viabel (hidup), tapi tak
mampu berkecambah atau tumbuh karena beberapa alasan: kombinasi luar atau
kondisi dalam. Kondisi luar antara suhu dan kelembapan sedangakan kondisi
dalam yang berpengaruh terhadap terjadi dormasi yaitu adanya zat penghambat
yang terjadi di dalam biji (inhibitor) (Abidin, 2004).

Menurut Gardner et al. Perkecambahan merupakan pemanjangan akar


lembaga radikula atau munculnya semai. Faktor yangdipengaruhi adlah suhu yang
cocok, banyaknya air yang memadai dan persediaan oksigen yang cukup
11

(Kimball, 1983). Adanya peristiwa imbibisi, air akan masuk ke biji sehingga
aktivitas hormon terstimulir. Akibat ransangan hormon, enzim-enzim
mengeluarkan cadangan makanan dari senyawa kompleks menjadi senyawa yang
sederhana. Enzim amilase akan mengubahn karbohidrat menjadi glukosa, lipase
mengubah lipida menjadi asam lemak dan grliserol, sedangakan protase
mengubahn protein menjadi asam amino (Ashari, 1995)

Perkecambahan biji ditentukan oleh faktor dalam dan faktor luar. Yang mulai
termasuk faktor dalam adalah persedian cadangan makanan, tingkat makanan,
tingkat, tingkat kemasakan biji, dan kandungan hormon dalam biji. Faktor dalam
yang dikontrol oleh genetik tanaman menentukan mudah tidaknya atau cepatnya
dan lambatnya perkecambahan. Sedangakan faktor-faktor luar yang berpengaruh
terhadap perkecambahan antara lain temperatur, kelembapan dan sinar matahari
(Ashari, 1995)

Viabilitas biji menunjukkan pada presentase biji akan menyelesaikan


perkecambahan, kecepatan perkecambahan dan vigor akhir kecambah (Harjadi,
1979). Viabilitas biji dari tiap jenis tumbuhan berbeda-beda. Setiap spesies
memiliki karakteristik periode viabel, yang periode veiabelnya dipengaruhi oleh
kondisi penyimpanan biji. Biji yang disimpan pada tempat dingin dan kering
mempunyai viabilitas yang lebih panjang daripada biji yang dibiarkan terbuka
pada udara yang pas dan lembab (Agustina, 2000).
Menurut Sutopo (1984), terdapat dua tipe pertumbuhan awal dari suatu
kecambah tanaman, yaitu :
1. Tipe Epigeal yaitu munculnya radikula diikuti dengan menajangnya hipokotil
secara keseluruhan dan membawa serta kotiledon dan plumula ke atas
permukaan tanah,
2. Tipe Hipogeal yaitu munculnya radikal diikuti dengan pemanjangan plumula,
hipokotil tidak memanjang ke atas permukaan tanah sedangakan kotiledon
tetap berada di dalam kulit biji dibawah permukaan tanah.

Tahap-tahapan yang terjadi pada proses perkecambahan biji adalah :


12

1. Penyerapan air oleh biji, melunaknya biji dan hidrasi dari proroplasma,
2. Terjadi kegiatan-kegiatan sel dan enzim-enzim,
3. Terjadi penguraian bahan-bahan seperti karbohidrat, lemak dan protein
menjadi bentuk-bentuk yang melarut dan ditraslokasikan ke titik tumbuh,
4. Asimilasi dari bahan-bahan tersebut di atas pada daerah meristem untuk
menghasilkan energi bagi pertumbuhan sel-sel baru,
5. Pertumbuhan kecambah melalui proses pembelahan, pembesaran dan
pembagian sel-sel pada titik tumbuh.

E. Hipotesis
Menurut Prihiyanto (1991) menyebutkan bahawa biji sawo kecil (Manikara
kauki) yang direndam dalam larutan giberelin (GA3) dengan beberapa kosentrasi
berpengaruh mempercepat perkecambahan pada 40 ppm biji dapat berkecambahn
pada hari ke-17, kemudian pada tanaman jati, giberelin mampu memecah dormasi
pada konsetrasi 10 ppm dan 100 ppm dengan persentase perkecambahan biji
sebesar 40 % dan 10 % (Fatimah dan Junairiah, 2004). Berdasarkan perlakuan
tersebut pengaruh perendaman dan konsentrasi larutan giberelin (GA3) terhadap
lama waktu perkecambaahn, laju perkecamabahn dan viabilitas apel mangrove
maka akan ada perbedaan lama waktu perkecamabahan, laju perkecamabahan dan
viabilitas antara biji yang diberi perlakuan dengan perendaman dalam larutan
giberelin (GA3) dengan kosentrasi 0 ppm, 20 ppm, 40 ppm, dan 60 ppm.
III. TATA CARA PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Green House Fakultas Pertanian Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta. Penelitian ini dilaksanakan selama kurang lebih 3 bulan
dimulai dari bulan Mei 2019 sampai dengan bulan Juli 2019.

B. Alat dan bahan Penelitian


1. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
(1) Polybag, (2) Timbangan analitik, (3) Beaker glass (1000 ml), (4) Mistar 30 cm,
(5) Benang Jahit, (7) Alat Pemotong, (8) Sekop Kecil, (9) Gelas Ukur, (10) Kertas
Label, (11) Sprayer, (12) Hot Plate, (13) Magnetik Stirer dan (14) Alat Tulis.

2. Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian adalah: (1) Biji apel mangrove
(Sonneratia caseolaris), yang diperoleh dari ekosistem mangrove pesisir pantai
Baros Bantul, (2) bubuk Giberelin (GA3), (3) Lumpur berpasir dari sekitar pohon
induk, (4) Aquades, (5) Tanah dan (6) Kompos.

C. Metode Penelitian
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor.
Faktor tunggal dengan menggunakan percobaan kombinasi kosentrasi perendaman
dengan giberelin dan lama perendaman. Faktor konsentrasi GA3 terdiri dari 4 taraf A =
0 ppm, B = 20 ppm, C = 40 ppm, dan D = 60 ppm. Kemudian diimbangi dengan faktor
lama perendaman, terdiri dari 4 taraf yaitu W = 0 jam, X = 8 jam, Y = 16 jam dan Z =
24 jam. Sehingga percobaan ini terdiri dari 16 kombinasi perlakuan dan masing-masing
perlakuan diulang sebanyak 3 kali sehingga total percobaan sebanyak 48 unit. Setiap
unitnya terdapat 10 sempel biji apel mangrove.

10
11

Tabel 1. Kombinasi perlakuan

Kosentrasi Lama Perendaman


Geberlin
(GA3) 0 jam (W) 8 jam (X) 16 jam (Y) 24 jam (Z)

0 ppm (A) AW AX AY AZ

20 ppm (B) BW BX BY BZ

40 ppm (C) CW CX CY CZ

60 ppm (D) DW DX DY DZ

D. Cara Penelitian
Tahap-tahap pelaksanaan penelitian meliputi (i) pembuatan larutan GA3; (ii)
pemilihan biji; (iii) persiapan media tanam; (iv) perendaman biji, (v) pesemaian, dan
(vi) pemeliharaan dan pengamatan.

1. Pembuatan Larutan
Pembuatan larutan GA3. GA3 sebanyak 1 gram dilarutkan dengan menambahkan
sedikit alkohol 70% ke dalam tabung takar 1000 ml, kemudian ditambahkan akuades
sampai volume akhir 1000 ml, sehingga didapatkan GA3 dengan konsentrasi 1000 ppm
sebagai larutan stok. Kemudian untuk mendapatkan GA3 yang diperlukan sesuai
perlakuan, maka dilakukan pengenceran dari larutan stok. Setiap perlakukan dibuat
terlebih dahulu dengan larutan perendam sebanyak 20 ml perpelakuan. (1) kosentrasi 0
ppm dilakukan langsung penanaman, (2) 20 ppm dengan diambil larutan stok giberelin
40 ml + aquades 20 ml, (3) 40 ppm dengan diambil larutan stok giberelin 80 ml +
aquades 20 ml, dan (4) 60 ppm dengan diambil larutan stok giberelin 120 ml + aquades
20 ml
12

2. Pemilihan Biji
Pemilihan Biji. Biji apel mangrove yang digunakan dipilih biji yang mempunyai
viabilitas/daya kecambah tinggi yaitu biji yang berasal dari buah yang matang serta
mengapung di air dan biji yang berbentuk utuh.

3. Persiapan Media Tanam


Persiapan Media Tanam. Media tanam yang digunakan adalah lumpur berpasir dari
sekitar pohon induk, tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 2:1:1. Sebelum
dimasukkan kedalam polibag berukuran 25 x 30, media tersebut dibersihkan dari
kotoran seperti daun-daunan dan lainnya. Setiap polibag berisi 3 kg.

4. Perendaman Biji
Perendaman biji. Perendaman biji dilakukan seperti perlakuan yang sudah ada 0
ppm, 20 ppm, 40 ppm, dan 60 ppm dengan waktu yang telah ditentukan. Untuk 0 ppm
tidak dilakukan perendaman melainkan langsung disemaikan ke media tanam.

5. Persemaian Biji
Penanaman Biji. Biji dikecambahkan dengan direndam dalam larutan GA3 dengan
lama dan konsentrasi sesuai dengan masing-masing perlakuan. Biji ditugalkan ke dalam
media tanam yang sudah dipersiapkan. Setiap polibag berisi 10 biji apel mangrove.
Setelah semua berkecambah, kemudian dipilih bibit yang paling baik pertumbuhannya
yang akan dijadikan sampel yang akan diamati.

6. Pemeliharaan dan Pengamatan


Pemeliharaan dan pengamatan. Pemeliharan ini meliputi penggenangan dan
pemberian air ke media semai dengan kondisi lembab atau tidak kering, kemudian
dilakukan pengamatan setiap hari selama 1 bulan serta diambil biji yang telah
berkecambah kemudian dibuang.

E. Parameter yang Diamati


Parameter di dasarkan kepada acuan Internasioanl Seed Testing Association tahun
1996 bahwa pengujian benih dapat dilakukan dengan mengetahui Presentase Kecepatan
Tumbuh, Presentase Daya Kecambah dan Presentase Perkecambahan.

1. Persentase Kecepatan Tumbuh (KcT)


13

Persentase kecepatan tumbuh yaitu banyaknya kecambah dalam keadaan baik


yang tumbuh dari minggu pertama hingga hari terakhir pengamatan Menurut ISTA
(Internasional Seed Testing Association) kecepatan tumbuh dihitung dengan rumus:

N 1T 1+ N 2 T 2+… .+ NXTX
KcT ( % )= x 100 %
Jumlah total yang berkecambah

Keterangan :

N= Jumlah benih yang berkecambah pada satuan waktu pengamatan.


T = Menunjukkan jumlah waktu antara awal pengujian sampai dengan akhir
interval waktu suatu pengamatan.

2. Persentase Perkecambahan
Persentase perkecambahan yaitu kemampuan biji untuk menghasilkan kecambah
dalam kondisi baik dalam jangka waktu yang ditetapkan (Sutopo, 2002).Menurut
ISTA (Internasional Seed Testing Association) pengamatan persentase kecambah
dilakukan pada hari ke-14 (Pengamatan pertama) dan hari ke-28 (Pengamatan
kedua). Pengukuran persentase perkecambahan menggunakan rumus sebagai
berikut:

Jumlah kecambah normal


Persentasi Perkecambahan (%) ¿ x 100 %
Jumlah biji yang dikecambahkan

3. Persentase Daya Kecambah (DK)


Persentase daya kecambah yaitu kemampuan benih tumbuh normal menjadi
tanaman yang berproduksi dihitung pada hari ke-28. Menurut ketentuan ISTA
persentase daya kecambah dihitung dengan menggunakan rumus:

Berat kecambah normal telah dibuang kotiledonnya


DK ( % )= x 100 %
Jumlah biji yang dikecambahkan

F. Analisi Data
Data yang diperoleh dianalisis secara statistik, menggunakan analisis sidik ragam
(ANOVA) dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan pada taraf 5 %.
14

G. Jadual Penelitian
Tabel 2. Jadual Penelitian

MEI JUNI JULI


NO KEGIATAN
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

1 Penyusunan Proposal                        

2 Presentasi Proposal                        

3 Penyiapan Alat dan Bahan                        

4 Mengambil Buah dan Lumpur                        

5 Pembuatan Larutan GA3                        

6 Pemilihan Biji Apel Mangrove                        

7 Pembuatan Media Semai                        

8 Perendaman Apel Mangrove                        

9 Persemain                        

10 Pemeliharan dan Pengamatan                        

Analisis dan Penyusulan


11
Laporan                        
DAFTAR PUSTAKA
Abidin. Z., 2004 Dasar-dasar Pengetahuan Tentang Zat Pengatur Tumbuhan,
Cetakan ke-10 Penerbit Angkasa. Bandung
Alamsyah, S., 2002. peran hormon tumbuh dalam memacu pertumbuhan Algae.
Makalah Falsafat Sains. Progam Pasca Sarjana/S3. Institut Pertanian Bogor
Agustina, R., 2002. Pengaruh Larutan Deterjen Terhadap Perkecambahan Biji
Jati. Skripsi. Fakulitas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Unversitas
Airlangga. Surabaya
Ashari, S., 1995. Holtikultura dan Aspek Budidaya. Ul-Press. Jakarta
Davies PJ. 1995. Plant Hormones. Kluwer Academic Publisher. Dordrecht

Fatimah dan Junairiah. 2004. Peran Hormon Giberelin Terhadap Pemecahan


Domarsi Biji Jati. Laporan Lemlit. Universitas Airlangga Surabaya.

Harjadi, S. S., 1979. Pengantar Agronomi. Pt Gramedia. Jakarta

Heri, S., 2016. Pengembangan hutan mangrove pesisir Bantul terkendala sampah.
http://www.antaranews.com/berita/561697/pengembangan-hutan-mangrove-
pesisir-bantul-terkendala-sampah . Diakses Tanggal 28 April 2019.

Hopkins WG. 1995. Introduction to Plant Physiology. Jhon Wiley & Sons, Inc.
Singapore.
International Seed Testing Association. "International rules for seed testing. Rules
1985." Seed science and technology 13.2 (1985): 299-513.
Kusmana, C., 2009. PENGELOLAAN SISTEM MANGROVE SECARA
TERPADU. Workshop. Institute Pertanian Bogor.
Nanang. S., 2013. ANALISIS KESESUAIAN HABITAT MANGROVE PADA
KAWASAN MANGROVE BUATAN DI BAROS, BANTUL, DAERAH
ISTIMEWA YOGYAKARTA. Skripsi. Universitas Gadjah Mada.
Niken, Putri, I. L. E. & Meriko, L., 2013. STRUKTUR ANATOMI ORGAN
VEGETATIF Pedada Merah (Sonneratia caseolaris (L.) Engler) DI HUTAN

15
16

MANGROVE KENAGARIAN MANGGUANG KOTA PARIAMAN.


Jurnal Pendidikan Biologi Vol.2 No. 2.

Tjitrosoepomo. G., 1994. Morfologi Tumbuhan. Gajah Mada University Press.


Yogyakarta

Kathiresan, K., Salmo, S. G., Fernando, E. S., Peras, J. R., Sukardjo, S., Miyagi,
T., et al. (2010). Sonneratia caseolaris. The IUCN Red List of Threatened
Species 2010.

Kimbali. J. W., 2983. Biologi. Jilid 2 Edisi Kelima Erlangga. Jakarta

Prihiyanto. E. 1991. Pengaruh Konsentasi Giberelin (GA3) Terhadap Viabilitas


Lama Waktu dan Laju Perkecambahan Biji Sawo Kecik (Manikara kauki).
Skripsi Fakulitas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Airlangga, Surabaya.

Sahromi, 2011. Sonneratia caseolaris : JENIS MANGROVE YANG HIDUP DI


KEBUN RAYA BOGaR. Warta Kebun Raya Vol. 11 No.1, pp. 22-27.

Sutopo,. L,. 1984. Teknologi Benih. Pt Raja Grafindo Persada. Yogyakarta

Trialfhianty, T. I. (2013). KONDISI EKOSISTEM MANGROVE DUSUN


BAROS. Manajemen Sumberdaya Perikanan.

Wattimena GA. 1992. Bioteknologi Tanaman. PAU Bioteknologi IPB. Bogor.

Wetland International, 2009. Flyer 1 : Mempersiapkan Bibit di Persemaian.


http://www.wetlands.or.id/PDF/Flyer%20I%20Mempersiapkan%20Bibit
%20Mangrove%20%28UNEP%29.pdf. Diakses Tanggal 28 April 2019.
17
LAMPIRAN

Lampiran 1. Layout Penelitian


Tabel 3. Unit Penelitian

Lama Perendaman

Kosentras
i Geberlin 0 jam (W) 8 jam (X) 16 jam (Y) 24 jam (Z)
(GA3)

1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3

0 ppm AW AW AW AX AX AX AY AY AY AZ AZ AZ
(A) 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3

20 ppm BW BW BW BX BX BX BY BY BY BZ BZ BZ
(B) 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3

40 ppm CW CW CW CX CX CX CY CY CY CZ CZ CZ
(C) 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3

60 ppm DW DW DW DX DX DX DY DY DY DZ DZ DZ
(D) 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3

Tabel 4. Randomisasi Unit Penelitian

BW DX DY AW CW
CY2 CZ2 BY2 BY1 BX1 1 2 CZ1 DZ3 3 2 1

CW BW CW AX
DZ1 CX1 BX3 2 2 3 BZ3 CX2 1 AZ2 AY2 AX3

AW AY DW DY
CX3 CY1 BZ2 AX2 AZ3 1 1 3 CY3 1 DX1 DZ2

AW BY3 DY BX2 DW AZ1 BZ1 BW CZ3 DY DW AY3


3 3 2 3 2 1

Gambar 1. Layout Unit Penelitian

CY2 DZ1 CX3 AW3

CZ2 CX1 CY1 BY3

BY2 BX3 BZ2 DY3

BY1 CW2 AX2 BX2

BX1 BW2 AZ3 DW2

BW1 CW3 AW1 AZ1

DX2 BZ3 AY1 BZ1

CZ1 CX2 DW3 BW3

DZ3 AX1 CY3 CZ3

DY3 AZ2 DY1 DY2

AW2 AY2 DX1 DW1

CW1 AX3 DZ2 AY3

Gambar 2. Layout Sampel Penelitian Tiap Unit


1 2 3

5
4 6

7 10
9
Lampiran 2. Kebutuhan Alat dan Bahan

A. Alat
1. Polybag 60 buah
2. Timbangan analitik 1 buah
3. Beaker glass (1000 ml) 1 buah
4. Mistar 30 cm 1 buah
5. Benang Jahit 1 gulung
6. Alat Pemotong 1 buah
7. Sekop Kecil 2 buah
8. Gelas Ukur 1 buah
9. Kertas Label 1 buah
10. Sprayer 1 buah
11. Hot Plate 1 buah
12. Magnetik Stirrer 1 buah
13. Alat Tulis 1 buah

B. Bahan
1. Biji Apel Mangrove (Sonneratia caseolaris) 600 biji
2. Bubuk Giberelin (GA3) 0,24 g
3. Lumpur Berpasir 30 kg
4. Aquades 500 ml
5. Tanah 30 kg
6. Kompos 30 kg

Anda mungkin juga menyukai