Kerjasama Dinas Kehutanan Propinsi Riau dengan Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
Oleh
Sugeng Pudjiono**)
I. Pendahuluan
A. Latar belakang
Kebutuhan kayu dari tahun ke tahun semakin meningkat. Kebutuhan kayu yang semakin meningkat tersebut bila
tidak diimbangi dengan usaha penanaman kembali maka degradasi hutan tidak dapat dihindari. Oleh karena itu
perlu segera digalakkan usaha-usaha penanaman hutan. Sekarang ini sudah sangat sulit untuk mendapatkan
pohon-pohon penghasil kayu jenis setempat. Penyelamatan jenis-jenis tanaman indigenous atau unggulan
setempat perlu segera dilakukan. Jenis pohon ungulan setempat beberapa diantaranya mempunyai harapan
yang baik untuk dikembangkan.
Pengembangan jenis pohon andalan setempat perlu segera dilakukan mengingat sekarang ini eksploitasi
terhadap jenis setempat ini sudah banyak dilakukan sehingga tanaman ini sudah sangat jarang. Penebangan
pohon-pohon andalan setempat yang berfenotip baik banyak dilakukan hal ini akan menyulitkan dalam
mendapatkan calon kandidat pohon plus dari sebaran alami pohon andalan setempat tersebut.
Untuk pengembangan jenis tanaman unggulan setempat perlu adanya individu-individu pohon yang
berfenotip baik. Hal ini penting karena diharapkan pohon yang akan dikembangkan akan menghasilkan
produktivitas yang tinggi dalam hal produksinya. Diharapkan pohon yang dipilih adalah pohon yang
unggul setelah melalui beberapa tahapan seleksi.
Pohon unggul atau individu yang berfenotip baik sebagai hasil pemuliaan membutuhkan waktu yang
cukup lama. Sementara di sisi lain bahwa kebutuhan akan bibit terhadap pohon-pohon unggul sudah
sangat mendesak harus didapat. Untuk itu salah satu cara pengembangbiakan dari pohon unggul
tersebut melalui perbanyakan tanaman secara pembiakan vegetatif.
Pembiakan vegetatif terbagi dua cara yaitu pembiakan vegetatif dengan menggunakan teknologi tinggi seperti
kultur jaringan. Pembiakan vegetatif jenis ini membutuhkan biaya tinggi dan sumber daya manusia yang terdidik.
Sedangkan untuk jangka pendek dimana kemampuan biaya terbatas maka solusinya adalah dengan pembiakan
vegetatif makro. Pembiakan vegetatif makro seperti stek, sambungan dan cangkok mudah dipelajari dan tidak
begitu membutuhkan teknologi yang canggih. Cara ini dapat diterapkan dimana saja asalkan disiplin dalam
pemeliharaannya dan memenuhi kaidah pengembangbiakan vegetatif makro secara umum.
Untuk mengatasi kebutuhan bibit yang mendesak diperlukan suatu upaya. Salah satu cara untuk menjawab
tantangan kebutuhan bibit unggul adalah penggunaan bibit dari hasil pemuliaan pohon. Untuk memperbanyak
tanaman pada tahap populasi perbanyakan dilakukan dengan teknik pembiakan vegetatif. Teknik perbanyakan
vegetatif ini sangat bermanfaat dalam perbanyakan tanaman karena tanaman baru yang dihasilkan mempunyai
sifat genetik yang sama seperti tanaman induknya.
___________________________________________________________________
*) Paper dipresentasikan pada Gelar Teknologi di Pekanbaru Riau dalam rangka Pemasyarakatan Hasil
Litbang Kehutanan tanggal 21 Agustus 2008.
**) Peneliti pada Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Purwobinangun
Yogyakarta.
1
Makalah Gelar Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
Kerjasama Dinas Kehutanan Propinsi Riau dengan Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
B. Tujuan
Paper ini bertujuan memberikan pengetahuan dasar tentang pembiakan vegetatif makro pada pemuliaan pohon,
hasil-hasil penelitian pembiakan vegetatif dan aplikasinya pada pemuliaan pohon.
Pembiakan vegetatif mempunyai banyak kegunaan dalam kehutanan (Zobel dan Talbert, 1984), yaitu:
1. preservasi genotipa-genotipa unggul dalam bank klon atau arsip klonal.
2. Perbanyakan genotipa-genotipa unggul yang diinginkan untuk kegunaan khusus seperti di kebun benih
atau pemurnian.
3. Penilaian dari genotipa-genotipa dan interaksinya dengan lingkungan melalui uji klonal
4. Memperoleh keuntungan genetik maksimum apabila digunakan untuk peremajaan dalam program
pelaksanaan penanaman.
Pada dasarnya teknik pembiakan vegetatif dapat dibedakan dalam 2 golongan besar yaitu :
1. Pembiakan vegetatif invitro, disebut juga pembiakan mikro atau kultur jaringan (misalnya kultur sel
tunggal, kultur jaringan, kultur organ).
2. Pembiakan vegetatif invivo, disebut juga pembiakan makro misalnya sambungan, okulasi, cangkok dan
stek.
Pembiakan makro atau invivo pada prinsipnya dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu:
1. Pembiakan allo vegetatif, adalah pembiakan vegetatif dari genotipa yang berbeda, seperti pada
sambungan (grafting), dan okulasi (budding).
2. Pembiakan autovegetatif, adalah pembiakan vegetatif dari genotipa yang sama, seperti pada cangkok
(air layering) dan stek (cutting).
2
Makalah Gelar Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
Kerjasama Dinas Kehutanan Propinsi Riau dengan Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
3. Pemeliharaan cangkokan
Selama pencangkokan berlangsung pemeliharaan dianggap sudah cukup apabila media cangkokan
tersebut cukup lembab sepanjang waktu.
Beberapa hasil penelitian persiapan bahan materi untuk perbanyakan vegetatif dan teknik perbanyakan vegetatif
dengan aplikasinya.
A. Teknik Rejuvenasi.
Dalam pelaksanaan program pemuliaan pohon, pengambilan bahan vegetatif tanaman lebih sering dilakukan dari
tanaman dewasa (pohon terseleksi) padahal dengan bertambahnya umur tanaman, kemampuan berakar bahan
vegetatif tersebut akan menurun drastis (Hartman et al. 1990). Untuk mengatasi hal tersebut, maka dilakukan
3
Makalah Gelar Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
Kerjasama Dinas Kehutanan Propinsi Riau dengan Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
kegiatan permudaan atau rejuvenasi dengan maksud untuk mendapatkan bahan vegetatif yang secara fisiologis
bersifat juvenil/muda serta memiliki kemampuan berakar yang baik.
Teknik rejuvenasi ada beberapa cara. Tiga cara diantaranya adalah partial felling, felling dan girdling. Partial
felling adalah pohon ditebang dengan batang atasnya masih menyambung dengan batang bawah yang sudah
ditebang, batang bagian atas yang rebah masih tetap hidup. Felling adalah pohon ditebang dengan tinggi 30 cm
dari permukaan tanah. Girdling adalah batang tanaman diteres dengan cara membuat dua buah sayatan 2/3
panjang lingkaran batang secara berbalasan.
4
Makalah Gelar Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
Kerjasama Dinas Kehutanan Propinsi Riau dengan Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
3000
2500
Jumlah panjang tunas trubusan (cm)
2000
1500
1000
500
0
Partial Felling Felling Girdling Partial Felling Felling Girdling
Grafik 1. Hasil perlakuan rejuvenasi E. pellita terhadap panjang tunas pada musim kemarau dan musim hujan.
Jumlah panjang tunas pada percobaan II lebih panjang dari percobaan I kecuali Partial felling. Rata-rata panjang
tunas dari Partial felling dan Girdling lebih panjang dibanding Felling. Terdapat variasi individu pada kemampuan
tumbuhnya tunas.
Hasil penelitian pada tabel 2 diatas menunjukkan bahwa persentase stek berakar tertinggi adalah 83,3% dari
tunas juvenil dan 0% pada stek pucuk yang berasal dari cabang tua. Perbedaan konsentrasi hormon dan
perbedaan media tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada percobaan stek pucuk ini.
Tabel 3. Persentase berakar stek pucuk E. deglupta umur 2 bulan dari ketinggian batang yang berbeda
Persentase stek
Tinggi batang (cm) Jumlah scion Jumlah stek berakar
berakar (%)
< 30 45 39 86.7
30 - 130 45 37 82.3
130 - 230 45 25 55.6
230-330 45 19 42.2
Dari tabel 3 diatas diketahui bahwa semakin keatas kemampuan stek berakar semakin rendah. Hal ini
menunjukkan umur jaringan tanaman semakin kebawah semakin muda. Semakin muda jaringan tanaman
kemampuan berakar tanaman semakin besar (Kijkar, S. 1991).
5
Makalah Gelar Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
Kerjasama Dinas Kehutanan Propinsi Riau dengan Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
Pengaruh Rootone-F pada tunas juvenil dan cabang tua Pengaruh Rootone-F pada tunas juvenil
120 120
100 100
Tingkat ketahanan hidup (%)
Tingkat ketahanan hidup (%
80
80
Rootone-F
Tunas juvenil 60
60 Kontrol
Cabang tua
40
40
20
20
0
0 0 15 30 45 61
0 15 30 45 61
Hari
Hari
(a) (b)
Efek Rootone-F pada tunas juvenil dan cabang tua Efek Rootone-F pada tunas juvenil
120
100
Tingkat ketahanan hidup (%)
80
Rootone-F
60
Kontrol
40
20
0
0 15 30 45 61
Hari
(c)
Efek Rootone-F pada cabang tua
6
Makalah Gelar Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
Kerjasama Dinas Kehutanan Propinsi Riau dengan Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
Tabel 7. Hasil stek berakar A. auriculiformis umur 2 bulan pada jumlah mata tunas yang berbeda
1 mata tunas 2 mata tunas
Kode famili
Persentase stek berakar (%) Persentase stek berakar (%)
A50 50 50
A60 50 42
A62 67 67
A74 92 50
A75 83 58
Rerata persentase stek berakar 68.4 53.4
Hasil penelitian stek pucuk A. mangium ditunjukkan pada tabel 4. Persentase maksimum stek berakar sebesar
70,5% diperoleh pada stek yang berasal dari trubusan juvenil dan hanya 5 % stek berakar ditunjukkan oleh stek
yang berasal dari cabang tua. Pada scion dari tunas juvenil, pengaruh hormon Rootone F berpengaruh terhadap
kemampuan stek berakar secara signifikan. Pada cabang tua kemampuan hormon Rootone F mempertahankan
vigoritas hanya mampu sampai 2 minggu pertama . Pada umur stek satu bulan kemampuan itu turun secara
drastis (gambar 4 a.). Kemampuan Hormon Rootone F terhadap trubusan tunas juvenil menunjukkan
keberhasilan stek lebih tinggi dibanding dengan kontrol/ tanpa pemberian hormon (gambar 4 b). Sedangkan pada
stek yang berasal dari cabang tua pengaruh hormon Rootone F mempertahankan vigoritas hanya mampu
sampai 2 minggu pertama saja kemudian turun pada umur stek 1 bulan dan turun lagi pada stek umur 2 bulan.
Pemberian hormon Rootone F dan tanpa hormon tersebut pada stek cabang tua tidak menunjukkan pengaruh
yang signifikan (gambar 4 c).
Hasil penelitian tabel 6. menunjukkan bahwa ada perbedaan hasil stek yang berakar untuk famili yang berbeda.
Famili no A72 menunjukkan kemampuan berakar yang lebih rendah dibanding dengan famili-famili yang lain.
Disisi lain pemberian Hormon IBA 500 ppm dengan cara stek direndam selama 30 detik didalamnya tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap kemampuan stek berakar. Kemampuan stek berakar rata-ratanya
sangat tinggi mengingat materi tanaman yang diperbanyak masih bersifat juvenil yaitu seedling umur 5,5 bulan.
Padal tabel 7 terlihat bahwa persentase stek berakar 1 mata tunas lebih tinggi dibanding dengan 2 mata tunas
tetapi secara statistik tidak signifikan. Dari hasil tersebut maka untuk jenis ini cenderung penggunaan stek
dengan 1 mata tunas dapat diterapkan. Hal ini dapat lebih efisien dalam penggunaan materi tanaman sebagai
sumber bahan stek. Bila diterapkan untuk jenis unggul maka dapat memperbanyak tanaman dalam skala banyak
dan juga menghemat biaya.
7
Makalah Gelar Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
Kerjasama Dinas Kehutanan Propinsi Riau dengan Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
Tabel 8. Hasil stek berakar A. auriculiformis umur 2 bulan pada umur seedling yang berbeda
Umur 5.5 bulan Umur 7.5 bulan
Kode famili
Persentase stek berakar (%) Persentase stek berakar (%)
A50 97.5 50
A60 100 42
A62 100 67
A74 97.5 50
A75 95 58
Rerata persentase stek berakar 98.0 53.4
Pada penelitian stek menggunakan 2 mata tunas dengan bertambahnya umur materi bahan vegetatif berupa
seedling persentase stek berakar sangat turun drastis. Pada seedling umur 5,5 bulan rata-rata keberhasilan stek
berakar 98% tetapi setelah umur seedling 7,5 bulan keberhasilan stek berakar menurun menjadi 53,4% (tabel 8).
8
Makalah Gelar Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
Kerjasama Dinas Kehutanan Propinsi Riau dengan Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
sebesar 59,1% (266/450 stek). Kemampuan jenis ini dapat diperbanyak secara vegetatif memberi titik terang
untuk pengembangan jenis ini mengingat jenis ini hampir mendekati kepunahan jika tidak segera ditangani
dengan bijak. Dengan dikuasainya perbanyakan vegetatif dengan stek ini maka perbanyakan tanaman tidak
hanya mengandalkan dari biji sehingga perbanyakan jenis ini dapat dilakukan kapan saja.
Dari tabel 10. diatas dapat diketahui pengaruh media stek terhadap parameter stek yang diamati. Media pasir
menghasilkan persentase stek hidup yang tertinggi 70,8% tetapi bila dilihat dari parameter tinggi, jumlah daun
dan diameter batang, media pasir menempati urutan terakhir ini disebabkan sedikit sekali terdapat unsur hara
dibandingkan media pasir kompos ataupun pasir pupuk kandang. Media pasir porous sangat baik untuk stek
sehingga memudahkan akar untuk berkembang.
Media pasir pupuk kandang menghasilkan pertumbuhan tinggi, jumlah daun yang terbaik dibanding media
lainnya. Sedangkan media pasir kompos menghasilkan pertumbuhan diameter batang yang terbesar dibanding
kedua media lainnya. Untuk menentukan yang terbaik dari semua parameter yang diukur maka dilakukan dengan
mencari nilai index. Nilai index diperoleh dengan mengalikan semua nilai parameter. Dari nilai indeks tersebut
diperoleh nilai terbesar adalah media dengan komposisi pasir : pupuk kandang. Maka media pasir : pupuk
kandang merupakan media terbaik untuk stek merbau.
Perbanyakan stek pucuk untuk materi plot uji sejumlah 120 pohon induk masing-masing sebanyak 30 stek.
Pohon induk sebanyak 120 pohon itu terdiri dari beberapa populasi. Populasi populasi tersebut adalah populasi
dari Jawa, Waigo, Wasior, Oransbari, Nabire, Nusajaya, Pasifik ras lahan Bogor, Minamin, Mandopi, Twanwawi,
Biak dan Seram.
Presentase kemampuan berakar berbeda-beda dari beberapa populasi. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa
persentase kemampuan stek berakar merbau dari populasi Jawa menghasilkan 47,54%, Waigo 84,72%, Wasior
79,7%, Oransbari 82,33%, Nabire 84,88%, Nusajaya 84,50%, Pasifik 87,76%, Minamin 83,53%, Mandopi
91,25%, Twanwawi 88,46%, Biak 56,41% dan Seram 72,09%.
Dari hasil tersebut, merbau populasi Mandopi mudah distek dengan keberhasilan 91,25% disusul merbau dari
populasi Twanwawi 88,46% dan Pasifik 87,76%. Hasil stek 120 pohon induk tersebut diaklimatisasi di
9
Makalah Gelar Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
Kerjasama Dinas Kehutanan Propinsi Riau dengan Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
persemaian. Setelah mampu beradaptasi kemudian ditanam di Gunung Kidul sebagai plot uji merbau hasil
perbanyakan vegetatif.
Pencangkokan dilakukan dengan menggunakan hormon oxiberon berupa bubuk. Hasil penelitian cangkok
menunjukkan bahwa keberhasilan cangkok dari tunas juvenil menghasilkan persentase keberhasilan cangkok
(36,6%) lebih tinggi daripada cangkok dari cabang tua (5,3%). Kemampuan masing-masing individu pohonpun
berpengaruh terhadap keberhasilan cangkok. Seperti pada pohon nomor 3 dan 10 yang menghasilkan cangkok
berakar sebesar 71,4% dan 100%.
10
Makalah Gelar Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
Kerjasama Dinas Kehutanan Propinsi Riau dengan Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
Foto 4. Bank klon E. pellita dari sambungan. Foto 5. Bank klon A. mangium dari cangkokan
11
Makalah Gelar Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
Kerjasama Dinas Kehutanan Propinsi Riau dengan Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
DAFTAR PUSTAKA
Adinugraha, H.A. dan Pudjiono, S. 2005. Teknik Perbanyakan Pohon Plus Jenis Ekaliptus pellita secara
vegetatif. (Vegetative Propagation Method for Plus Tree of Eucalyptus sp.). Informasi Teknis Vol.3.
No.2. Desember 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bada Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta.
Kjkar, S. 1991. Producing Rooted Cutting of Eucalyptus camaldulensis. Handbook. ASEAN Canada Forest Tree
Seed Centre Project, Muak-Lek Saraburi. Thailand.
Laksmi, R., Pudjiono, S., Suhartati. 1996. Teknik rejuvenasi tanaman Eucalyptus. Rimba Sulawesi. Volume 2/
Nomor 1/1996. Balai Penelitian Kehutanan Ujung Pandang. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan. Departemen Kehutanan. Ujung Pandang.
Pudjiono, S. 2007. Laporan Hasil Penelitian Uji Klon Jati (Tectona grandis). Balai Besar Penelitian Bioteknologi
dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Purwobinangun Yogyakarta. Tidak dipublikasikan.
12
Makalah Gelar Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
Kerjasama Dinas Kehutanan Propinsi Riau dengan Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
Pudjiono, S. 2007. Laporan Hasil Penelitian Pembangunan Populasi Perbanyakan Vegetatif Jenis Merbau
(Intsia bijuga). Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Purwobinangun
Yogyakarta. Tidak dipublikasikan
Pudjiono, S. 1994. Laporan hasil kegiatan pencangkokan jenis Paraserianthes falcataria, acacia mangium,
Eucalyptus deglupta, Eucalyptus urophylla, Pinus merkusii. Proyek pusat produksi benih dan
pemuliaan pohon, Direktotar Reboisasi dan Penghijauan. Direktorat Jenderal Reboisasi dan
Rehabilitasi lahan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta.
Pudjiono, S. 1998. Pembiakan Vegetatif Makro Sengon (Paraserianthes falcataria). Informasi Teknis
No.2/1998. Balai Litbang Pemuliaan Benih Tanaman Hutan Purwobinangun. Badan Litbang
Kehutanan. Yogyakarta.
Pudjiono, S dan Kondo, H. 1996. Technical report for cutting propagation of Eucalyptus deglupta, E. pellita,
Acacia mangium and Paraserianthes falcataria. Forest Tree Improvement Project (FTIP) No. 55. Japan
International Cooperation Agency (JICA) and Agency for Forestry Research and Development,
Ministry of Forestry, Purwobinangun, Yogyakarta.
Pudjiono, S dan Kondo, H. 1996. Technical report for Conventional Vegetative Propagation. Forest Tree
Improvement Project (FTIP) No. 61. Japan International Cooperation Agency (JICA) and Agency for
Forestry Research and Development, Ministry of Forestry, Purwobinangun, Yogyakarta.
Wudianto, R. 1995. Membuat Stek, cangkok dan okulasi. Seri pertanian-L/163/88. Penebar Swadaya. Cetakan
ke-3. Jakarta.
13