Anda di halaman 1dari 7

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi CAPA

CAPA (Corrective and Preventive Action) atau bisa disebut tindakan korektif dan
preventif adalah proses perbaikan yang dilakukan untuk menghilangkan penyebab
penyimpangan / ketidaksesuaian (deviasi) atau situasi yang tidak diinginkan lainnya.
CAPA biasanya merupakan serangkaian tindakan yang perlu diambil dan
dilaksanakan dalam suatu organisasi pada tingkat manufaktur, dokumentasi, prosedur
atau sistem dalam rangka untuk memperbaiki dan menghilangkan kekambuhan.
Ketidaksesuaian bisa berasal dari keluhan pasar atau keluhan pelanggan atau
kegagalan mesin atau sistem manajemen mutu, atau salah tafsir dari instruksi tertulis
(Pharmacy Pharma Journal, 2013).

Dalam sediaan farmasi dan alat kesehatan, CAPA diperlukan untuk menjadi
bagian dari sistem manajemen mutu. Kegagalan untuk mematuhi penanganan CAPA
yang tepat dianggap sebagai pelanggaran terhadap aturan pada praktek-praktek
manufaktur yang baik. Akibatnya, obat atau perangkat medis dapat disebut tercemar
atau di bawah standar jika perusahaan telah gagal untuk menyelidiki, merekam dan
menganalisa akar penyebab dari ketidaksesuaian dan gagal untuk merancang dan
menerapkan CAPA efektif (Pharmacy Pharma Journal, 2013). Sama halnya dalam
proses distribusi, dalam panduan Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB), CAPA
termasuk ke dalam pemeliharaan sistem mutu. Salah satunya sistem mutu harus
memastikan bahwa tindakan perbaikan dan pencegahan (CAPA) yang tepat
diambil untuk memperbaiki dan mencegah terjadinya penyimpangan sesuai
dengan prinsip manajemen risiko mutu (PerkaBPOM, 2012).

CAPA adalah konsep dalam Good Manufacturing Practice (GMP) / Cara


Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), Hazard Analysis and Critical Control Points /
Hazard Analysis and Risk Preventive Control (HACCP / HARPC) dan berbagai
standar bisnis ISO lainnya. CAPA berfokus pada penyelidikan sistematis akar
penyebab masalah yang diidentifikasi atau risiko yang teridentifikasi dalam upaya
untuk memperbaiki akar masalah (untuk tindakan korektif) atau untuk mencegah
terjadinya penyimpangan (untuk tindakan preventif) (ISO 9000, 2005).

2. Penyimpangan (Deviasi)

Deviasi adalah segala aspek mulai dari pembuatan sampai penyaluran obat yang
tidak sesuai dengan prosedur pabrik ataupun aturan pemerintah (CDOB maupun
CPOB), contohnya salah penandaan Expired Date, adanya kontaminan saat mixing/
granulasi, proses penyimpanan obat yang tidak sesuai, kinerja personalia yang tidak
sesuai standar operarasional (SOP) dan lain-lain (WHO, 2013).

Manajemen deviasi merupakan salah satu sistem dokumentasi yang wajib


diterapkan oleh setiap industri farmasi dalam melakukan kontrol terhadap segala
aspek pembuatan obat. Segala bentuk deviasi ini harus dilaporkan ke QA oleh
siapapun yang menemukannya. Deviasi ini ada dua macam, yaitu deviasi tak terduga
(Non conformity case) dan deviasi terencana (Temporarily change). Deviasi tak
terduga merupakan segala bentuk penyimapangan yang terjadi secara spontan atau
tidak dapat diperkirakan. Deviasi terencana merupakan segala bentuk penyimpangan
yang dapat diperkirakan dan memang direncanakan, misal ketika libur panjang
aktivitas produksi berhenti, AHU dimatikan, sementara AHU itu dibutuhkan kontrol
ruangan. Deviasi yang terjadi selanjutnya dibuat CAPA (Corrective and Preventive
Action) (WHO, 2013).

Deviasi kemudian diklasifikasikan berdasarkan hasil assesment ke dalam


kategori:

A. Critical
Deviasi yang berpotensi membahayakan kesehatan, melanggar regulasi yang
berlaku baik terhadap regulasi produksi maupun pemasaran.
B. Major
Deviasi terhadap sistem GMP yang berpotensi memiliki dampak terhadap
kualitas produk akhir. Termasuk pula kumpulan deviasi minor yang mengacu
pada kegagalan sistem.
C. Minor
Deviasi yang terjadi pada prosedur-prosedur yang ada dan tanpa adanya
dampak terhadap kualitas produk akhir.
Rencana penyusunan CAPA untuk masing – masing deviasi yang dapat
dilakukan adalah:

a. Deviasi Minor
Evaluasi adanya potensi yang berdampak pada produk atau batch lain dan
melaksanakan CAPA dengan segera sangat diperlukan pada jenis deviasi
ini, sehingga deviasi minor tersebut dapat ditutupi.
b. Deviasi Major dan Critical
Diperlukan investigasi lebih lanjut terkait analisis sumber penyebab
deviasi serta assesment terhadap dampak dan resiko yang dapat timbul
untuk dapat segera dilakukan tindakan perbaikan. Selanjutnya CAPA
dilakukan berdasarkan hasil dari investigasi terhadap sumber penyebab
deviasi ini (WHO, 2013).

3. Proses CAPA

Proses CAPA meliputi kegiatan sebagai berikut:

1. Pengumpulan informasi

Hal ini dilakukan dengan mengidentifikasi akar penyebab, Analisis akar


penyebab merupakan sebuah inspeksi yang tepat atau audit terhadap dokumen
ataupun dengan mewawancarai personel yang dilakukan untuk mengetahui akar
penyebab dari keluhan atau perbedaan (Pharmacy Pharma Journal, 2013).

2. Analisis informasi

Dokumen yang diterima dari berbagai sumber informasi dikaji oleh para
profesional untuk mengidentifikasi peluang potensial CAPA. Tahap ini meliputi
perbandingan dokumen dari jenis yang diterima dari berbagai unit serta
perbandingan dokumen dari berbagai jenis terkait dengan kasus.

Tim profesional menetapkan prioritas untuk menangani solusi kesalahan yang


telah teridentifikasi, dimana untuk kasus dengan prioritas rendah ditunda atau
bahkan tidak dilakukan penanganan sama sekali (Galin, 2004).

3. Perancangan solusi dan metoda yang dikembangkan

Pendekatan ilmiah perlu dilakukan dalam merancang solusi atau


mengembangkan metoda pencegahan ketidaksesuaian atau perbedaan dalam
kualitas produk, proses manufaktur atau dokumentasi, atau sistem mutu.

Beberapa petunjuk sebagai solusi yang biasanya dilakukan:

a. Memperbarui prosedur yang terkait.


Perubahan bisa mengacu kepada sekumpulan prosedur, misalnya
segala sesuatu yang terkait dengan tahapan kerja, termasuk
memperbarui instruksi kerja yang relevan (jika memang ada).
b. Beralih ke alat pengembangan yang lebih efektif dan tahan terhadap
kesalahan yang sudah terdekteksi
c. Pengembangan dalam pelaporan, termasuk perubahan isi laporan,
frekuensi laporan dan penyerahan laporan. Arahan ini bertujuan agar
kesalahan dapat teridentifikasi lebih dini.
d. Pelaksanaan training, retraining dan pembaharuan staff. Arah ini
diambil hanya dalam kasus-kasus ketika kekurangan pelatihan yang
sama ditemukan di beberapa tim.
4. Penerapan metoda yang dikembangkan

Implementasi solusi CAPA bergantung pada instruksi yang tepat dan


seringnya pelatihan namun kerjasama unit dan individu yang terkait lebih banyak
memperngaruhi hasil CAPA yang baik. Oleh karena itu, anggota staff yang
ditargetkan haruslah diyakinkan terhadap kelayakan solusi yang ditawarkan.
Tanpa kerjasama, kontribusi dari CAPA tidak akan mendapatkan hasil yang
diinginkan (Galin, 2004).

5. Follow up

Tiga tugas pokok tindak lanjut diperlukan untuk memfungsikan tindakan


korektif dan proses tindakan pencegahan dalam setiap organisasi, adalah:

a. Tindak lanjut alur pengembangan dan pemeliharaan terhadap dokumentasi


CAPA.
Hal ini memungkinkan umpan balik yang dapat mengungkapkan kasus
tidak adanya pelaporan serta pelaporan berkualitas rendah, yang mana
terdapat rincian penting yang hilang atau tidak akurat. Jenis tindak lanjut
ini dilakukan terutama melalui analisis informasi aktivitas jangka panjang,
yang menghasilkan umpan balik kepada sumber-sumber informasi CAPA.
b. Tindak lanjut penerapan CAPA.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk menunjukkan apakah tindakan-tindakan
yang dirancang berupa:
· kegiatan pelatihan
· penggantian dari tool-tool development
· perubahan prosedur (setelah persetujuan),
telah dilaksanakan. Umpan balik yang memadai dikirimkan ke badan-
badan yang bertanggung jawab untuk pelaksanaan tindakan perbaikan dan
pencegahan.
c. Tindak lanjut hasil CAPA.
Tindak lanjut hasil yang nyata dari metode perbaikan seperti yang diamati
oleh tim proyek dan unit organisasi, memungkinkan penilaian sejauh
mana tindakan korektif atau preventif telah mencapai hasil yang
diharapkan. Umpan balik terhadap hasil akan dikirimkan unit ke
pengembangan metode perbaikan. Dalam kasus kinerja rendah, maka
diperlukan formulasi dari tindakan korektif yang direvisi, ini merupakan
tugas yang dilakukan oleh tim CAPA (Galin, 2004).
4. Inspeksi Diri dan Audit Mutu
Tujuan inspeksi diri adalah untuk mengevaluasi apakah semua aspek produksi
dan pengawasan industri farmasi memenuhi ketentuan CPOB. Program inspeksi diri
hendaklah dirancang untuk mendeteksi kelemahan dalam pelaksanaan CPOB dan
untuk menetapkan tindakan perbaikan yang diperlukan. Inspeksi diri hendaknya
dilakukan secara independen dan rinci oleh petugas yang kompeten dari perusahaan.
Selain itu, dapat pula digunakan jasa auditor luar yang independen. Inspeksi diri
hendaknya dilakukan dengan rutin dan, disamping itu, ada situasi khusus misalnya
dalam hal terjadinya penarikan kembali obat jadi atau terjadinya penolakan yang
berulang. Semua saran untuk tindakan perbaikan hendaklah dilaksanakan (BPOM,
2006).
Prosedur dan catatan inspeksi diri hendaknya didokumentasikan dan dibuat
program tindak lanjut yang efektif. Cakupan dan frekuensi inspeksi diri. Inspeksi diri
dapat dilakukan per bagian sesuai dengan kebutuhan perusahaan namun inspeksi diri
yang menyeluruh hendaklah dilakukan minimal satu tahun sekali. Frekuensi inspeksi
diri hendaklah tertulis dalam prosedur tetap inspeksi diri. Laporan inspeksi diri
hendaklah dibuat segera setelah selesai dilaksanakan laporan tersebut mencakup hasil
inspeksi diri, evaluasi, serta kesimpulan dan saran tindakan perbaikan.
Penyelenggaraan audit mutu berguna sebagai pelengkap inspeksi diri. Audit mutu
meliputi pemeriksaan dan penilaian sebagian dari manajemen mutu dengan tujuan
spesifik untuk meningkatkan mutu. Audit mutu juga dapat diperluas terhadap
pemasok dan penerima kontrak (BPOM, 2006)

Anda mungkin juga menyukai