Anda di halaman 1dari 27

Surat Gugatan

Jakarta, 6 Februari 2018

Perihal: Gugatan TUN

Kepada Yth.
Ketua Pengadilan Tata Usaha
Negara Banjarmasin
Di Jl. Brigjend. H. Hasan Basri
No. 32, Kayutangi,
Banjarmasin, Kalimantan
Selatan, 70123

Dengan hormat,
Yang bertanda tangan dibawah ini:
1. Bintang Setiadi Pratama, S.H., LL.M., Ph.D.
2. Githa Dwi Damara, S.H., M.H.
3. Khairul Rizal Harahap, S.H., M.H.
4. Agnia Nurrahma Dewi, S.H., LL.M.
5. Merdithia Mahadirja, S.H.
6. Dinda Rizqiyatul Himmah, S.H., LL.M.

Secara sendiri-sendiri ataupun Bersama-sama, Penasehat hukum di Kantor Hukum Pratama


& Partners, beralamat di Metro Tower 12th Floor, Jalan Jenderal Sudirman Kav. 58,
Senayan, Kebayoran Baru, Jakarta Pusat 12190 berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor
345/SKK.TUN/PT.MJB/II/2018 tanggal 1 Februari 2018 (Vide Bukti P-1), bertindak untuk
dan atas nama PT MAKMUR JAYA BATUBARA, beralamat di Gedung Bakrie Tower
Lantai 8, Rasuna Epicentrum, Jalan HR Rasuna Said, Karet Kuningan, Setiabudi,
RT.2/RW.5, Karet Kuningan, Kota Jakarta Selatan, 12940, dalam hal ini diwakili oleh
Rudi Harahap, Warga Negara Indonesia, beralamat di Jl. Premier Estate Blok I-12
Cipayung, Jakarta Timur, selaku Direktur Utama PT MAKMUR JAYA BATUBARA
berdasarkan Akta Pendirian Perseroan Nomor 121 tanggal 27 Agustus 2008, dibuat
dihadapan Notaris Cazarashcka Ven, S.H., (Vide Bukti P-2) yang telah memperoleh
pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia berdasarkan
Surat Keputusan Nomor AHU-63524.AH.01.01 tahun 2008, tanggal 8 September 2008
(Vide Bukti P-3) yang telah beberapa kali diubah, terakhir berdasarkan Akta Nomor 97
tanggal 13 Oktober 2017 yang dibuat dihadapan Notaris Andhika Zakaria, S.H., M.Kn.,
yang dibuktikan dengan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM tentang Penerimaan
Pemberitahuan Anggaran Dasar kepada PT Makmur Jaya Batubara (Vide Bukti P-4) yang
dalam hal ini memilih domisili hukum di kantor kuasa hukumnya tersebut di atas. Untuk
selanjutnya disebut sebagai
…………………………………………………………………….......
…………..PENGGUGAT

Dengan ini mengajukan gugatan terhadap:


Gubernur Provinsi Kalimantan Selatan, berkedudukan di Jalan Jenderal Sudirman No. 14,
Antasan Besar, Banjarmasin Tengah, Kota Banjarmasin Kalimantan Selatan 70123,
Provinsi Kalimantan Selatan;
Selanjutnya disebut sebagai
………………………………………………………...TERGUGAT

I. OBJEK SENGKETA DAN KEWENANGAN PENGADILAN TATA USAHA


NEGARA BANJARMASIN DALAM MENANGANI PERKARA INI
1.1 Bahwa Pasal 1 angka (10) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut “UU PTUN”) menyatakan “Sengketa Tata
Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara
orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat Tata Usaha Negara,
baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya keputusan Tata
Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku”;
1.2 Bahwa selanjutnya Pasal 1 angka (9) UU PTUN menyatakan “Keputusan Tata
Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau
pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret,
individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata”;
1.3 Bahwa meskipun Pasal 1 angka (9) UU PTUN menyebutkan bahwa Keputusan
Tata Usaha Negara adalah sebagaimana dikemukakan dalam angka 2 di atas,
namun norma Pasal 87 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan (selanjutnya disebut sebagai “UU AP”) telah
memperluas pemaknaan Keputusan Tata Usaha Negara dengan ruang lingkup: (a)
Penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual; (b) keputusan Badan
dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif,
dan penyelenggara Negara lainnya; (c) Berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan AUPB; (d) Bersifat final dalam arti lebih luas; (e)
Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau; (f) Keputusan
yang berlaku bagi Warga Masyarakat;
1.4 Bahwa Objek Sengketa yang diajukan dalam gugatan ini adalah Keputusan Tata
Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka (9) UU PTUN dan Pasal
87 UU AP yang berupa Keputusan Gubernur Kalimantan Selatan Nomor
503/119/DPMPTSP/2018 Tentang Pencabutan Izin Usaha Pertambangan
Operasi Produksi Batubara PT. MAKMUR JAYA BATUBARA di
Kabupaten Kotabaru (KTB.1007/IUPOP0094) tanggal 24 Januari 2018 (Vide
Bukti P-5) yang isinya bersifat konkret, individual, final serta membawa akibat
hukum, sebagai berikut:

1.4.1 Bersifat Konkret : Objek Sengketa Memutuskan Substansi yang


nyata/tidak abstrak, yakni:
MEMUTUSKAN:
KESATU: KEPUTUSAN GUBERNUR
KALIMANTAN SELATAN TENTANG
PENCABUTAN IZIN USAHA
PERTAMBANGAN OPERASI PRODUKSI
BATUBARA PT. MAKMUR JAYA BATUBARA
DI KABUPATEN KOTABARU
(KTB.1007/IUPOP0094)
1.4.2 Bersifat Individual : Objek Sengketa ditujukan secara langsung
kepada satu Pihak saja, yakni:
KEDUA: Memberikan persetujuan Pencabutan
Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi
Batubara kepada:
Nama Perusahaan : PT Makmur Jaya
Batubara
1.4.3 Bersifat Final : Objek Sengketa sudah berlaku/tidak
memerlukan persetujuan pihak lain lagi, yakni:
KELIMA: Keputusan ini mulai berlaku sejak
tanggal ditetapkan...
1.4.4 Membawa Akibat : Telah muncul akibat hukum yang dikehendaki
Hukum Pembuat Keputusan yakni:
KEEMPAT: Dengan telah dicabutnya Izin
Usaha Pertambangan Operasi Produksi
Batubara ini, maka wilayah seluas 5.104,89
Hektar tersebut menjadi wilayah yang bebas
dan menjadi milik Negara karena hukum
1.5 Bahwa Pasal 47 UU PTUN menyatakan “Pengadilan bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara”.
Pengadilan yang dimaksud Pasal 47 tersebut dijelaskan oleh Pasal 1 angka (1) UU
PTUN yakni “Pengadilan adalah Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara di lingkungan Pengadilan Tata Usaha Negara”.
Selanjutnya Pasal 50 UU PTUN menyatakan “Pengadilan Tata Usaha Negara
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata
Usaha Negara di tingkat pertama”. Sementara Pasal 54 ayat (1) UU PTUN
menyatakan “Gugatan Sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Pengadilan
yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Tergugat”. Bahwa Tergugat
dalam hal ini Gubernur Provinsi Kalimantan Selatan berkedudukan di Jalan
Jenderal Sudirman No. 14, Antasari Besar, Banjarmasin Tengah, Kota Banjarmasin
Kalimantan Selatan 70123 Provinsi Kalimantan Selatan;
1.6 Bahwa atas uraian sebagaimana disampaikan di atas, dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut: (1) Pertama, bahwa Objek Sengketa yang diajukan dalam gugatan
ini merupakan Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka
(9) UU PTUN karena bersifat konkret, individual, dan final serta membawa akibat
hukum dan memenuhi pula pemaknaan Keputusan TUN yang diperluas oleh
nomor Pasal 87 UU Administrasi Pemerintahan; (2) Kedua, Sengketa yang
diajukan oleh PENGGUGAT merupakan Sengketa Tata Usaha Negara
sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka (10) UU PTUN karena Objek Sengketa
memang dikeluarkan oleh pejabat Tata Usaha Negara yang berwenang yakni
Gubernur Provinsi Kalimantan Selatan; (3) Ketiga, tempat kedudukan TERGUGAT
yang menjadi acuan dimana gugatan Tata Usaha Negara harus didaftarkan
berdasarkan Pasal 54 ayat (1) UU PTUN, berada di Provinsi Kalimantan Selatan;
1.7 Bahwa berdasarkan dasar-dasar dan alasan hukum sebagaimana diuraikan dalam
poin 1 hingga 6 di atas, maka Pengadilan Tata Usaha Negara Banjarmasin
berwenang untuk menerima, memeriksa, dan memutus gugatan a quo;

II. KEDUDUKAN HUKUM PENGGUGAT


2.1 Bahwa Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
menyatakan “orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya
dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan
tertulis kepada Pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar keputusan
Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah,
dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi”;
2.2 Bahwa PENGGUGAT adalah badan hukum privat berbentuk perseroan terbatas
yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia melalui Akta Pendirian Perseroan
Nomor 121 tanggal 27 Agustus 2008, dibuat dihadapan Notaris Cazarashcka Ven,
S.H., (Vide Bukti P-2) yang telah memperoleh pengesahan dari Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Nomor
AHU-63524.AH.01.01 tahun 2008, tanggal 8 September 2008 (Vide Bukti P-3)
yang telah beberapa kali diubah, terakhir berdasarkan Akta Nomor 97 tanggal 13
Oktober 2017 yang dibuat dihadapan Notaris Andhika Zakaria, S.H., M.Kn., (Vide
Bukti P-4), sehingga PENGGUGAT sebagai badan hukum privat berbentuk
Perseroan Terbatas telah memenuhi kualifikasi PENGGUGAT sebagaimana Pasal
53 ayat (1) UU PTUN di atas sehingga sah untuk bertindak untuk mengajukan
gugatan a quo;
2.3 Bahwa Pasal 53 ayat (2) UU PTUN menyatakan “alasan-alasan yang dapat
digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: (a)
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; (b) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat
itu bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik”. Bahwa
PENGGUGAT, sebagaimana akan diuraikan lebih rinci dalam posita gugatan ini,
merasa bahwa Objek Sengketa yang diterbitkan oleh TERGUGAT adalah
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bertentangan
pula dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (“AUPB”). Dengan
terbitnya Objek Sengketa, PENGGUGAT menjadi kehilangan kesempatan untuk
memanfaatkan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi yang telah diberikan
kepada PENGGUGAT. Akibat pencabutan izin itu, usaha tambang PENGGUGAT
yang sudah dipersiapkan dengan sangat matang menjadi terhenti begitu saja
padahal PENGGUGAT telah mengeluarkan biaya investasi, tenaga dan waktu yang
tidak sedikit untuk memulai usaha;
2.4 Bahwa kehilangan izin untuk melakukan operasi tambang akibat terbitnya Objek
Sengketa telah menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi PENGGUGAT.
PENGGUGAT benar-benar tidak dapat lagi melanjutkan usaha PENGGUGAT,
padahal serangkaian izin dan kegiatan di bidang usaha pertambangan sudah dimiliki
serta dilakukan oleh PENGGUGAT, antara lain:

3 November 2009 : Memperoleh Izin Usaha Pertambangan


Eksplorasi melalui Surat Keputusan Bupati
Kotabaru No. 545/04/IUPE/D.PE tentang Izin
Usaha Pertambangan Eksplorasi di Kecamatan
Pulau Laut Tengah dan Kecamatan Pulau Laut
Utara, Kabupaten Kotabaru, Provinsi
Kalimantan Selatan (Vide Bukti P-6)

28 Juni 2010 : Memperoleh Surat Kelayakan Lingkungan


melalui Keputusan No. 188.45/278/KUM/2010
tentang Kelayakan Lingkungan Kegiatan
Pertambangan Batubara di Kecamatan Pulau
Laut Tengah dan Kecamatan Pulau Laut Utara,
Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan
Selatan (Vide Bukti P-7)
5 Juli 2010 : Memperoleh IUP melalui Surat Keputusan
Bupati Kotabaru Nomor
545/62/IUPOP/D.PE/2010 tanggal 5 Juli 2010
tentang Persetujuan Peningkatan IUP
Eksplorasi menjadi IUP Operasi Produksi
kepada PT. Makmur Jaya Batubara seluas
5.140,89 Ha. (Vide Bukti P-8)
5 November 2013 : Memperoleh Izin Lingkungan yakni Surat
Keputusan Bupati Kotabaru No.
188.45/668/KUM/2013 tanggal 5 November
2013 terletak di Kecamatan Pulau Laut Utara
dan Pulau Laut Tengah (Vide Bukti P-9)

3 Agustus 2014 Melakukan Pembebasan Lahan secara sah atas


wilayah kegiatan pertambangan yang
dibuktikan dengan Akta Pelepasan Hak Atas
Tanah (Vide Bukti P-19)
13 Februari 2017 : Memperoleh Sertifikat Clear and Clean dari
Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara
sebagaimana Surat Nomor 934/Bb/03/2017
tanggal 13 Februari 2017 (Vide Bukti P-10)

2.5 Bahwa meski demikian pada tanggal 14 Oktober 2017, Dinas Lingkungan Hidup
Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan mengirimkan Pengumuman Nomor:
660/648/TL/DLH tentang Izin Lingkungan PT Makmur Jaya Batubara (Vide Bukti
P-11) yang isinya memperingatkan PENGGUGAT untuk memperbarui Izin
Lingkungan karena ketiadaan kegiatan dan mengirimkan salinan Izin Lingkungan
yang terdahulu
2.6 Bahwa meskipun Pemerintah Daerah Kabupaten Kotabaru memiliki semua salinan
dari serangkaian izin yang dimiliki PENGGUGAT, PENGGUGAT tetap menerima
Surat Nomor 540/4252-BMB/DESDM dari Dinas Energi dan Sumber Daya
Mineral Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan perihal Penghentian Sementara
seluruh aktivitas Operasi Produksi atas nama PT Makmur Jaya Batubara (Vide
Bukti P-12)
2.7 Bahwa sebagai respon atas penghentian sementara atas seluruh aktivitas operasi
produksi, PENGGUGAT mengirimkan keberatan dengan Surat No. 026/SBC/DIR-
SMD/X/2017 tentang Klarifikasi Pelaksanaan Kegiatan dan Izin Lingkungan PT
Makmur Jaya Batubara kepada Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan
Selatan (Vide Bukti P-13) di mana penerimaan oleh Dinas Lingkungan Hidup
Provinsi Kalimantan Selatan telah dibuktikan oleh Tanda Terima Surat (Vide Bukti
P-14)
2.8 Bahwa pada hari yang sama, Dinas Energi dan Sumber daya Mineral Provinsi
Kalimantan Selatan mengirimkan Surat No. 540-4279-BMB/DESDM perihal
Peninjauan Lapangan kepada PENGGUGAT (Vide Bukti P-15)
2.9 Bahwa berdasarkan peninjauan lapangan yang dilakukan oleh Dinas Energi dan
Sumber Daya Mineral Provinsi Kalimantan Selatan, dikeluarkan Berita Acara
Peninjauan Lapangan yang menerangkan kegiatan PENGGUGAT di wilayah
pertambangan (Vide Bukti P-16)
2.10 Bahwa atas surat keberatan dari PENGGUGAT, Dinas Lingkungan Hidup
Provinsi Kalimantan Selatan mengirimkan tanggapan melalui Surat No. 660/712-
TL/DLH perihal Klarifikasi Pelaksanaan Kegiatan dan Izin Lingkungan PT
Makmur Jaya Batubara (Vide Bukti P-17) yang menganggap bahwa PENGGUGAT
tidak memiliki Izin Lingkungan sehingga PENGGUGAT diminta untuk
mengirimkan dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Rencana
Pemantauan Lingkungan Hidup (RKL/RPL) meskipun PENGGUGAT sudah
pernah menyerahkan semua dokumen perihal Kerangka Acuan/AMDAL/RKL-RPL
kepada Sekretariat Komisi Penilaian AMDAL Kabupaten Kotabaru berdasarkan
Tanda Bukti Penerimaan Dokumen tertanggal 21 Agustus 2013 (Vide Bukti P-18)
2.11 Bahwa kemudian pada tanggal 24 Januari 2018, tanpa dasar dan alasan
yang jelas, serta tanpa adanya pemberitahuan, penjelasan ataupun peringatan
terlebih dahulu, TERGUGAT langsung menerbitkan Keputusan Pencabutan IUP
Operasi PENGGUGAT melalui Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Selatan
Nomor 503/119/DPMPTSP/2018 tentang Pencabutan Izin Usaha Pertambangan
Operasi Produksi Batubara PT. Makmur Jaya Batubara di Kabupaten Kotabaru
(KTB.1007/IUPOP0094) (Vide Bukti P-5);
2.12 Bahwa atas Pencabutan IUP Operasi PENGGUGAT yang dilakukan tanpa
dasar dan alasan yang jelas tersebut, PENGGUGAT sangat dirugikan karena usaha
PENGGUGAT menjadi terhenti dan semua investasi dan usaha yang telah
dikerahkan PENGGUGAT untuk memperoleh izin usaha menjadi sia-sia dan tidak
memiliki kepastian hukum sama sekali. Karena itu kerugian juga dirasakan oleh
para pekerja, supplier dan kontraktor yang selama ini telah bekerja mempersiapkan
segala sesuatu terkait dengan tambang ini. Atas dasar kerugian yang diderita oleh
PENGGUGAT tersebut, maka PENGGUGAT jelas memiliki kepentingan hukum
atas Objek Sengketa. Apabila Majelis Hakim yang mulia mengabulkan gugatan a
quo dan kemudian membatalkan Objek Sengketa, maka dapat dipastikan
PENGGUGAT akan terhindar dari kerugian–kerugian yang sekarang telah
PENGGUGAT alami. Dengan demikian, itu maka PENGGUGAT memiliki
kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan gugatan a quo.

III. TENGGANG WAKTU PENGAJUAN GUGATAN


3.1 Bahwa Pasal 55 UU PTUN telah menyatakan “gugatan dapat diajukan hanya
dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau
diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara”. Atas dasar
itu, maka waktu bagi PENGGUGAT untuk mengajukan gugatan atas Objek
Sengketa dapat dilakukan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak
Objek Sengketa diterima atau diumumkan kepada PENGGUGAT;
3.2 Bahwa Objek Sengketa diterima PENGGUGAT pada hari Kamis, tanggal 25
Januari 2018. Dengan berpedoman pada tanggal penerimaan tersebut sebagai awal
penghitungan tenggang waktu, maka batas waktu 90 hari untuk mengajukan
gugatan atas Objek Sengketa akan jatuh pada tanggal 24 April 2018;
3.3 Bahwa gugatan a quo didaftarkan PENGGUGAT ke Pengadilan Tata Usaha Negara
Banjarmasin pada tanggal 07 Februari 2018. Dengan demikian pengajuan gugatan
a quo masih berada dalam tenggang waktu yang ditetapkan oleh UU PTUN;

IV. ALASAN-ALASAN GUGATAN

IV.I.OBJEK SENGKETA BERTENTANGAN DENGAN PERATURAN


PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU
4.1.1 Bahwa sebagai sebuah badan hukum perseroan (private), PENGGUGAT
jelas memiliki hak-hak hukum yang dilindungi oleh peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Hak-hak tersebut muncul baik dalam pengaturan
yang sifatnya langsung (explicit) yang melindungi hak PENGGUGAT
khususnya hak untuk menjalankan usaha di bidang pertambangan, maupun
hak-hak yang muncul dalam pengaturan yang sifatnya tidak langsung
(implisit) berisi ketentuan-ketentuan formil yang menjamin kepastian hukum
hak berusaha PENGGUGAT agar terhindar dari kesewenang-wenangan
Pejabat Tata Usaha Negara. Dalam hemat PENGGUGAT, penerbitan Objek
Sengketa oleh TERGUGAT telah melanggar peraturan perundang-undangan
yang berlaku sebagai berikut:

IV.I.I. BAHWA OBJEK SENGKETA BERTENTANGAN DENGAN PASAL


9 AYAT (3) UU NO. 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI
PEMERINTAHAN
4.1.1.1 Bahwa Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan menyatakan “Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan dalam menetapkan dan/atau melakukan keputusan wajib
mencantumkan atau menunjukan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang menjadi dasar kewenangan dan dasar dalam menetapkan
dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan”;
4.1.1.2 Bahwa dari keseluruhan dasar “menimbang” dan “mengingat”
sebagaimana dicantumkan dalam Objek Sengketa, PENGGUGAT tidak
menemukan satupun ketentuan yang menjadi “dasar menetapkan dan/atau
melakukan dan/atau tindakan” sehingga sampai saat ini PENGGUGAT
tidak mengetahui dan memahami secara pasti apa kesalahan
PENGGUGAT atau setidak-tidaknya peraturan perundang-undangan apa
yang telah PENGGUGAT langgar sehingga diberikan sanksi administratif
berupa pencabutan izin (Vide Bukti P-5);
4.1.1.3 Bahwa Pasal 151 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara menyatakan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: (a) Peringatan tertulis; (b)
Penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau
operasi produksi; dan/atau (c) Pencabutan IUP, IPR, atau IUPK”. Sanksi
tersebut akan dijatuhkan apabila suatu perusahaan melanggar pasal-pasal
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 151 ayat (1) Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2009 yakni antara lain: “... Pasal 40 ayat (3), Pasal 40 ayat (5),
Pasal 41, Pasal 43, Pasal 70, Pasal 71 ayat (1), Pasal 74 ayat (4), Pasal
74 ayat (6), Pasal 81 ayat (1), Pasal 93 ayat (3), Pasal 95, Pasal 96, Pasal
97, Pasal 98, Pasal 99, Pasal 100, Pasal 102, Pasal 103, Pasal 105 ayat
(3), Pasal 105 ayat (4), Pasal 107, Pasal 108 ayat (1), Pasal 110, Pasal
111 ayat (1), Pasal 112 ayat (1), Pasal 114 ayat (2), Pasal 115 ayat (2),
Pasal 125 ayat (3), Pasal 126 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), Pasal 129 ayat
(1), atau Pasal 130 ayat (2).”;
4.1.1.4 Bahwa dari pertimbangan/konsiderasi Objek Sengketa, baik “menimbang”,
“mengingat”, maupun “memperhatikan”, tidak ada satupun pertimbangan
yang memuat pasal-pasal sebagaimana diatur Pasal 151 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
yang betul-betul telah dilanggar oleh PENGGUGAT. Pasal-pasal tersebut
sangatlah penting untuk dicantumkan sebab ia menjadi dasar bagi
TERGUGAT untuk menjatuhkan sanksi administratif. Oleh karena
TERGUGAT tidak mencantumkan satupun pasal-pasal tersebut, maka
PENGGUGAT sampai saat ini tidak mengetahui dan memahami secara
pasti atas dasar apa PENGGUGAT dipersalahkan sehingga dijatuhkan
sanksi administratif oleh TERGUGAT (Vide Bukti P-5);
4.1.1.5 Bahwa atas dasar uraian di atas, terbukti bahwa TERGUGAT telah
melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (3) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan karena menerbitkan Objek Sengketa tanpa
mencantumkan dasar untuk menetapkan sanksi bagi PENGGUGAT,
sehingga cukup dasar dan alasan hukumnya bagi Majelis Hakim yang
mulia untuk membatalkan Objek Sengketa dan memerintahkan
TERGUGAT untuk mencabutnya.

IV.I.II. BAHWA OBJEK SENGKETA BERTENTANGAN DENGAN PASAL


119 UU NO. 4 TAHUN 2009 TENTANG MINERAL DAN BATUBARA
4.1.2.1 Bahwa dalam faktanya PENGGUGAT sama sekali tidak pernah melanggar
kewajiban yang ditetapkan dalam IUP dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. IUP Eksplorasi yang PENGGUGAT miliki telah
ditingkatkan menjadi IUP Operasi Produksi dan terakhir PENGGUGAT
bahkan telah mendapatkan Sertifikat Clear and Clean dari Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral (Vide Bukti P-10). Selain itu
PENGGUGAT sama sekali tidak pernah dijatuhi hukuman pidana karena
melanggar ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Jangankan sanksi pidana,
sanksi administratif pun tidak pernah PENGGUGAT terima sama sekali.
Apalagi alasan yang ketiga yakni “dinyatakan pailit” sangat tidak mungkin
dikenakan kepada PENGGUGAT karena perusahaan PENGGUGAT dalam
kondisi baik;
4.1.2.2 Bahwa selain penjatuhan sanksi administratif secara bertahap,
PENGGUGAT juga memahami bahwa TERGUGAT melalui Pasal 42
Peraturan Menteri ESDM Nomor 34 Tahun 2017 memiliki wewenang
untuk menjatuhkan sanksi pencabutan IUP tanpa perlu didahului sanksi
administratif secara bertahap sebagaimana dikatakan “Menteri atau
gubernur sesuai dengan kewenangannya dapat memberikan sanksi
administratif berupa pencabutan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal
38 ayat (2) huruf c tanpa melalui tahapan pemberian sanksi administratif
berupa teguran tertulis dan penghentian sementara sebagian atau seluruh
kegiatan usaha dalam kondisi tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan”;
4.1.2.3 Bahwa meski kewenangan pencabutan secara langsung itu memang ada,
namun frasa kata “kondisi tertentu” dalam Pasal 42 di atas menunjukan
bahwa pencabutan IUP tidaklah dapat serta merta dilakukan karena ada
syarat “kondisi tertentu” yang harus dipenuhi terlebih dahulu. peraturan
perundang-undangan memang tidak menentukan penjabaran konkret dari
“kondisi tertentu” tersebut, namun dalam hemat PENGGUGAT, salah satu
kondisi yang membuat TERGUGAT tidak dapat mengelak selain
melakukan pencabutan IUP adalah apabila terdapat putusan pengadilan
yang memerintahkan pencabutan untuk itu. Jadi menurut PENGGUGAT,
TERGUGAT dapat saja menggunakan klausul Pasal 42 Peraturan Menteri
ESDM Nomor 34 Tahun 2017, sepanjang memang terdapat putusan
pengadilan yang memerintahkan demikian dan pada faktanya hingga saat
ini tidak ada satu putusan pengadilan yang memerintahkan TERGUGAT
untuk mencabut IUP PENGGUGAT;
4.1.2.4 Bahwa dengan demikian, nyatalah bahwa penerbitan Objek Sengketa yang
dilakukan TERGUGAT bukan karena “alasan kelalaian PENGGUGAT
dalam menjalankan kewajiban sebagaimana ditetapkan dalam IUP dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku”, bukan karena alasan
“PENGGUGAT melakukan tindak pidana pertambangan”, bukan karena
alasan “PENGGUGAT dinyatakan pailit” dan bukan pula karena ada
perintah dari putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sehingga
terbukti penerbitan Objek Sengketa bertentangan dengan ketentuan Pasal
119 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara;
IV.I.III. BAHWA OBJEK SENGKETA BERTENTANGAN DENGAN
PERATURAN MENTERI ESDM NOMOR 43 TAHUN 2015 TENTANG TATA
CARA EVALUASI PENERBITAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN
MINERAL DAN BATUBARA, KARENA PENJATUHAN SANKSI IUP
MERUPAKAN CACAT PROSEDUR
4.1.3.1 Bahwa dengan dilakukannya kegiatan evaluasi atas IUP, Pasal 5 ayat (1)
Permen ESDM Nomor 43 Tahun 2015 menyatakan “Evaluasi terhadap
penerbitan IUP sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dilakukan
terhadap : (a) IUP Penyesuaian dari KP; dan / atau (b) KP yang belum
berakhir jangka waktunya tetapi belum disesuaikan menjadi IUP”.
Selanjutnya ketentuan pasal 5 ayat (2) menjelaskan bahwa Evaluasi
terhadap penerbitan IUP dilakukan terdapat 5 (lima) kriteria yakni :
(1)Administrasi; (2)Kewilayahan; (3)Teknis; (4)Lingkungan; (5)Finansial;
4.1.3.2 Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) Peraturan tersebut, evaluasi
terhadap kriteria finansial dilakukan oleh Direktur Jenderal. Sedangkan
evaluasi yang menjadi kewenangan Gubernur Provinsi adalah evaluasi atas
kriteria administratif, wilayah, teknis dan termasuk lingkungan, dimana
berdasarkan pasal 5 ayat (2), masing-masing kriteria memuat evaluasi atas:
a. Administratif terdiri atas:
1. Pengajuan permohonan perpanjangan peningkatan KP atau
IUP sebelum masa berlaku KP atau IUP berakhir;
2. Pencadangan dan permohonan KP ditetapkan sebelum
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009;
3. KP Eksploitasi merupakan peningkatan dari KP Eksplorasi;
4. Tidak memiliki lebih dari satu KP atau IUP bagi badan usaha
yang tidak terbuka;
5. Jangka waktu berlakunya IUP Eksplorasi tidak melebihi
ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara;
6. Permohonan pencadangan wilayah tidak diajukan pada
wilayah KK, PKP2B, KP, atau IUP yang masih aktif dan
sama komoditas;
7. Jangka waktu IUP operasi produksi tidak boleh melebihi
jangka waktu KP Eksploitasi;
8. KP yang masih berlaku setelah Undang-Undangan Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara;
b. Kewilayahan terdiri dari :
1. Pengajuan permohonan perpanjangan peningkatan KP atau
IUP sebelum masa berlaku KP atau IUP berakhir;
2. Pencadangan dan permohonan KP ditetapkan sebelum
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009;
3. KP eksploitasi merupakan peningkatan dari KP Eksplorasi;
4. Tidak memiliki lebih dari satu KP atau IUP bagi badan usaha
yang tidak terbuka;
5. Jangka waktu berlakunya IUP Eksplorasi tidak melebihi
ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara;
6. Permohonan pencadangan wilayah tidak diajukan pada
wilayah KK, PKP2B, KP, atau IUP yang masih aktif dan
sama komoditas;
7. Jangka waktu IUP operasi produksi tidak boleh melebihi
jangka waktu KP Eksploitasi;
8. KP yang masih berlaku setelah Undang-Undangan Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara;
c. Teknis berupa :
1. Laporan Eksplorasi, bagi pemegang IUP Eksplorasi yang
belum memasuki tahapan kegiatan Studi Kelayakan; atau
2. Laporan Eksplorasi dan Studi Kelayakan, bagi pemegang
IUP Eksplorasi yang sudah memasuki tahapan kegiatan Studi
kelayakan atau Pemegang IUP Operasi;
d. Lingkungan berupa dokumen lingkungan hidup yang telah disahkan
oleh instansi berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
e. Finansial berupa:
1. Bukti pelunasan iuran tetap sampai dengan tahun terakhir
saat penyampaian, bagi pemegang IUP Eksplorasi; atau
2. Bukti pelunasan iuran tetap dan iuran produksi (royalty)
sampai dengan tahun terakhir saat penyampaian, bagi
pemegang IUP Operasi Produksi
4.1.3.3 Bahwa mengenai kriteria administrasi, Pasal 7 Permen ESDM 43 Tahun
2015 menyatakan “Dalam hal berdasarkan hasil evaluasi administratif yang
dilakukan oleh Direktur Jenderal atau Gubernur terdapat : (a) pengajuan
permohonan perpanjangan atau peningkatan KP atau IUP setelah masa
berlaku KP atau IUP berakhir; (b) pencadangan dan permohonan KP
ditetapkan setelah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara; dan (c) permohonan pencadangan
wilayah diajukan pada wilayah KK, PKP2B, KP atau IUP yang masih aktif
dan sama komoditas; Direktur atau Gubernur melakukan pencabutan IUP”.
Begitu pula ketentuan Pasal 8 menyatakan “dalam hal berdasarkan hasil
evaluasi administratif yang dilakukan oleh Direktur Jenderal atau Gubernur
terdapat KP Eksploitasi yang bukan merupakan peningkatan dari KP
Eksplorasi, Direktur Jenderal atau Gubernur melakukan pencabutan IUP
kecuali bagi Koperasi”. Dengan demikian, pencabutan IUP dapat dilakukan
Gubernur sepanjang terjadi 3 kondisi sebagaimana disebutkan Pasal 7 dan
Pasal 8 di atas;
4.1.3.4 Bahwa mengenai kriteria kewilayahan, Gubernur berwenang melakukan
pencabutan IUP jika terdapat kondisi sebagaimana Pasal 13 huruf (a)
Permen ESDM Nomor 43 Tahun 2015 yang menyatakan “Dalam hal
berdasarkan hasil Evaluasi yang dilakukan oleh Direktur Jenderal atau
Gubernur terdapat WIUP tumpang tindih dengan WPN, Direktur Jenderal
atau Gubernur melakukan b. Pencabutan IUP, apabila seluruh WIUP
tumpang tindih dengan WPN”. Begitu pula dengan ketentuan Pasal 14
Permen ESDM Nomor 43 Tahun 2015 yang menyatakan “Dalam hal
berdasarkan hasil Evaluasi yang dilakukan oleh Direktur Jenderal atau
Gubernur terdapat koordinat IUP Eksplorasi yang tidak sesuai dengan
koordinat pencadangan wilayah, Direktur Jenderal atau Gubernur
melakukan: b. pencabutan IUP Eksplorasi apabila seluruh koordinat
berada di luar pencadangan wilayah”. Begitupun dengan Pasal 15 Permen
ESDM Nomor 43 Tahun 2015 yang menyatakan “Dalam hal berdasarkan
hasil Evaluasi yang dilakukan oleh Direktur Jenderal atau Gubernur
terdapat koordinat IUP Operasi Produksi tidak berada di dalam
Koordinat IUP Eksplorasi, Direktur Jenderal atau Gubernur melakukan :
…b. pencabutan IUP, apabila seluruh koordinat IUP Operasi Produksi
berada di luar koordinat IUP Operasi Produksi berada di luar koordinat
IUP Eksplorasi”;
4.1.3.5 Bahwa sedangkan dari sisi Teknis, lingkungan dan finansial, Gubernur
berwenang memberikan sanksi administratif apabila terdapat cacat
administratif pada ketiga kriteria tersebut. Sanksi administratif yang dapat
diberikan dijelaskan Pasal 17 ayat (3) yakni terdiri dari : (a) teguran
tertulis; (b) penghentian sementara kegiatan usaha; atau (c) pencabutan
IUP. Pencabutan IUP dapat dilakukan oleh Gubernur apabila terjadi
kondisi sebagaimana disebutkan Pasal 18 Permen ESDM Nomor 43 Tahun
2015 yakni “Dalam hal berdasarkan hasil Evaluasi yang dilakukan oleh
Direktur Jenderal atau Gubernur, Pemegang IUP Operasi produksi tidak
memenuhi kriteria teknis dan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (2) huruf c angka 2 huruf d diberikan sanksi administratif
berupa pencabutan IUP oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri atau
Gubernur sesuai dengan kewenangannya;
4.1.3.6 Bahwa berdasarkan uraian sebagaimana dijabarkan dalam poin 23 sampai
dengan poin 27 di atas, tidak ada satupun kriteria di bidang administratif,
kewilayahan, teknis, dan lingkungan yang PENGGUGAT gagal atau cacat
dalam memenuhinya sehingga beralasan hukum untuk dilakukan
pencabutan IUP PENGGUGAT. Hal ini dapat dibuktikan dari dasar
“Menimbang”, “Mengingat”, dan “Memperhatikan” Objek Sengketa tidak
ada satupun rujukan yang membahas mengenai hasil evaluasi dimaksud,
sehingga penerbitan Objek Sengketa jelas-jelas dilakukan dengan cara
menyimpangi prosedur evaluasi Izin Usaha Pertambangan yang diatur
dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015. Dengan demikian
terbukti bahwa Objek Sengketa bertentangan dengan Peraturan Menteri
ESDM Nomor 43 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin
Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sehingga berdasar dan
beralasan hukum untuk dicabut.

IV.I.IV. BAHWA OBJEK SENGKETA MELANGGAR PASAL 55


PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 80 TAHUN 2015
TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH SEHINGGA
OBJEK SENGKETA CACAT ADMINISTRATIF
4.1.4.1 Bahwa Pasal 55 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun
2015 Tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah menyatakan :
“Rancangan keputusan kepala daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diajukan kepada sekretaris daerah setelah mendapat paraf
koordinasi pimpinan perangkat daerah yang membidangi hukum
provinsi atau kepala bagian hukum kabupaten/kota.”
4.1.4.2 Bahwa tanpa adanya paraf koordinasi tersebut maka seharusnya rancangan
keputusan daerah tersebut tidak dapat diajukan kepada sekretaris daerah
untuk dimintakan penetapan oleh kepala daerah sebagaimana tertulis dalam
Pasal 115 Permendagri Nomor 80 Tahun 2015.
4.1.4.3 Bahwa penandatangan suatu naskah dinas tersebut bertujuan untuk
pertanggung jawaban materi, substansi redaksi dan pengetikan naskah
dinas. Paraf pejabat pembuat keputusan merupakan bukti tak terbantahkan
untuk menegaskan otentisitas dari sebuah keputusan Tata Usaha Negara.
Ketiadaan paraf pejabat yang bersangkutan membuat Keputusan TUN yang
dihasilkan menjadi diragukan keabsahannya. Bahwa pada pertama kali
menerima Objek Sengketa PENGGUGAT mendapatkan versi yang tidak
diparaf oleh TERGUGAT sehingga jelas hal itu bertentangan dengan
prosedur pembentukan produk hukum daerah (Vide Bukti P-5);
4.1.4.4 Bahwa Berdasarkan ketentuan pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan (“UU AP”)
menyatakan “syarat sahnya keputusan meliputi : (a) ditetapkan oleh pejabat
yang berwenang; (b) dibuat sesuai prosedur; (c) substansi yang sesuai
dengan objek keputusan”. Sementara pasal 56 ayat (1) dan (2) Undang-
Undang yang sama menyatakan “ (1) Keputusan yang tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf a
merupakan keputusan yang tidak sah”, lalu ayat (2) menyatakan “
keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 52 ayat (1) huruf b dan huruf c merupakan keputusan yang
batal atau dapat dibatalkan”;
4.1.4.5 Bahwa dengan tidak ditanda tangani nya Objek Sengketa oleh
TERGUGAT, maka hal itu jelas-jelas telah melanggar ketentuan pasal 55
ayat (2) Permendagri No. 80 tahun 2015 dan sekaligus membawa akibat
hukum diragukan keabsahannya sehingga secara formil terdapat cukup
dasar dan alasan bagi Majelis Hakim yang mulia untuk membatalkan
Objek Sengketa karena bertentangan dengan prosedur Tata Naskah Dinas
di Lingkungan Pemerintah Daerah.

IV.II. OBJEK SENGKETA BERTENTANGAN DENGAN ASAS-ASAS UMUM


PEMERINTAHAN YANG BAIK
4.2.1 Bahwa selain Objek Sengketa bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Penerbitan Objek Sengketa juga nyata-nyata
melanggar Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (“AUPB”)
sebagaimana diatur dalam Pasal 10 UU AP terutama melanggar asas
sebagai berikut: (1) Asas Kepastian Hukum; (2) Asas Ketidakberpihakan;
(3) Asas Kecermatan dan; (3) Asas Tidak Menyalahgunakan Wewenang,
yang masing-masing akan diuraikan dalam penjelasan sebagai berikut ini:

IV.II.I. BAHWA OBJEK SENGKETA BERTENTANGAN DENGAN ASAS


KEPASTIAN HUKUM
4.2.1.1 Bahwa di antara AUPB salah satunya adalah sebagaimana ditentukan oleh
Pasal 10 huruf (a) UU AP yakni “asas kepastian hukum”. Definisi dari asas
ini dijelaskan dalam penjelasan Pasal 10 huruf a yang menyatakan: “asas
dalam negara hukum yang mengutamakan landasan ketentuan peraturan
perundang-undangan, kepatutan, keajegan dan keadilan dalam setiap
kebijakan penyelenggaraan pemerintahan”. Seorang Pejabat TUN ketika
menerbitkan sebuah tindakan administrasi haruslah mendasarkan
keputusannya pada dasar hukum yang jelas. Dasar hukum itu sangatlah
penting untuk menjaga dan menjamin hak-hak subjek hukum yang akan
terkena akibat dari tindakan administrasi pejabat tersebut. Disanalah letak
urgensi dari asas ini karena tanpa asas ini tidak akan terjadi kepastian
hukum dan Pejabat TUN dikhawatirkan akan mengambil tindakan di luar
hukum yang berlaku (sewenang-wenang);
4.2.1.2 Bahwa TERGUGAT memang mencantumkan 30 (tiga puluh) peraturan
perundang-undangan dalam dasar “Mengingat” Objek Sengketa. Namun
dari keseluruhan peraturan perundangan yang dicantumkan itu tidak ada
satupun yang PENGGUGAT langgar, bahkan kegiatan usaha
PENGGUGAT bersesuaian dengan semua peraturan tersebut. Segala
perizinan di bidang lingkungan dan pertambangan telah PENGGUGAT
penuhi dengan baik. Tidak ada satupun sanksi baik administratif maupun
pidana yang pernah PENGGUGAT terima karena melanggar satu atau
beberapa peraturan perundangan yang berlaku. sehingga ketika Objek
Sengketa dikeluarkan TERGUGAT, justru muncul ketidakpastian hukum
bagi PENGGUGAT. Bagaimana mungkin PENGGUGAT dikenakan
pencabutan IUP padahal segala persyaratan Izin telah PENGGUGAT
penuhi dengan baik;
4.2.1.3 Bahwa terbitnya Objek Sengketa secara nyata telah menghilangkan “rasa
keadilan” pada diri PENGGUGAT. PENGGUGAT tidak layak dikenakan
sanksi pencabutan IUP karena tidak pernah satu kali saja dari kegiatan
usahanya PENGGUGAT melanggar ketentuan perundang-undangan selain
itu PENGGUGAT tidak pernah didengar pendapat nya dan tidak adanya
pemberitahuan seperti surat peringatan terhadap PENGGUGAT melainkan
tergugat langsung mencabut IUP PENGGUGAT. Atas dasar itu maka
TERGUGAT terbukti telah menghilangkan kepastian hukum karena
menjatuhkan hukuman pencabutan IUP kepada PENGGUGAT tanpa dasar
dan alasan hukum yang jelas, karenanya secara langsung melanggar asas
kepastian hukum sebagaimana ketentuan pasal 10 huruf (a) UU AP.
IV.II.II. BAHWA OBJEK SENGKETA BERTENTANGAN DENGAN ASAS
KECERMATAN
4.2.2.1 Bahwa selain melanggar asas kepastian hukum dan asas
ketidakberpihakan, TERGUGAT juga telah melanggar asas kecermatan
sebagaimana diatur dalam Pasal 10 huruf (d) UU AP. Penjelasan Pasal 10
huruf (d) menyatakan “Yang dimaksud dengan “Asas Kecermatan” adalah
asas yang mengandung arti bahwa suatu Keputusan dan/atau Tindakan
harus didasarkan pada informasi dan dokumen yang lengkap untuk
mendukung legalitas penetapan dan/atau pelaksanaan Keputusan dan/atau
Tindakan sehingga Keputusan dan/atau Tindakan yang bersangkutan
dipersiapkan dengan cermat sebelum Keputusan dan/atau Tindakan
tersebut ditetapkan dan/atau dilakukan”;
4.2.2.2 Bahwa TERGUGAT semestinya cermat melihat apakah dokumen-
dokumen sehubungan dengan izin PENGGUGAT telah dipenuhi
PENGGUGAT dengan baik atau belum. Jika TERGUGAT tidak terburu-
buru mengambil keputusan dan melakukan pengecekan secara teliti atas
dokumen-dokumen persyaratan izin PENGGUGAT, maka dapat dipastikan
TERGUGAT tidak akan menerbitkan Objek Sengketa karena semua
dokumen persyaratan sehubungan dengan IUP telah PENGGUGAT
penuhi;
4.2.2.3 Bahwa PENGGUGAT telah memperoleh Surat Kelayakan Lingkungan
melalui Surat Keputusan No. 188.45/278/KUM/2010 Tentang Kelayakan
Lingkungan Kegiatan Pertambangan Batubara di Kecamatan Pulau Laut
Tengah dan Kecamatan Pulau Laut Utara, Kabupaten Kotabaru, Provinsi
Kalimantan Selatan (Vide Bukti P-7). PENGGUGAT telah mengantongi
IUP OP melalui Surat Keputusan Bupati Kotabaru Nomor
545/62/IUPOP/D.PE/2010 tanggal 5 Juli 2010 tentang Persetujuan
Peningkatan IUP Eksplorasi menjadi IUP Operasi Produksi kepada
PT.MAKMUR JAYA BATUBARA seluas 5.140,89 Ha (Vide Bukti P-8).
PENGGUGAT sudah mengantongi pula Izin Lingkungan yakni Surat
Keputusan Bupati Kotabaru No. 188.45/668/KUM/2013 tanggal 5
November 2013 terletak di Kecamatan Pulau Laut Utara dan Pulau Laut
Tengah (Vide Bukti P-9). Dan yang terpenting PENGGUGAT sudah
Memperoleh Sertifikat Clear and Clean dari Direktorat Jenderal Mineral
dan Batubara sebagaimana Surat Nomor 934/Bb/03/2017 tanggal 13
Februari 2017 (Vide Bukti P-10). Atas kondisi tersebut, jika TERGUGAT
cermat dalam mengambil keputusan, tentu tidak ada alasan hukum yang
bisa dijadikan TERGUGAT untuk menerbitkan Objek Sengketa. Atas
dasar itu, penerbitan Objek Sengketa oleh TERGUGAT jelas-jelas telah
melanggar Asas Kecermatan;

IV.II.III. BAHWA OBJEK SENGKETA BERTENTANGAN DENGAN ASAS


TIDAK MENYALAHGUNAKAN WEWENANG
4.2.3.1 Bahwa selain harus mentaati asas kepastian hukum, asas
ketidakberpihakan, dan asas kecermatan, TERGUGAT ketika menerbitkan
Objek Sengketa juga harus memperhatikan asas tidak menyalahgunakan
wewenang sebagaimana diatur dalam pasal 10 huruf e UU Administrasi
Pemerintahan. Penjelasan Pasal 10 huruf (e) UU AP menyatakan “Yang
dimaksud dengan “asas tidak menyalahgunakan kewenangan” adalah
asas yang mewajibkan setiap Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak
menggunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi atau
kepentingan yang lain dan tidak sesuai dengan tujuan pemberian
kewenangan tersebut, tidak melampaui, tidak menyalahgunakan, dan/atau
tidak mencampuradukkan kewenangan”;
4.2.3.2 Bahwa larangan bagi pejabat Tata Usaha Negara melakukan tindak
penyalahgunaan wewenang ini diatur pula oleh pasal 17 ayat (1) UU AP
sebagaimana dikatakan “Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang
menyalahgunakan Wewenang”. Pasal 17 ayat (2) menyatakan “larangan
penyalahgunaan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
: (a) larangan melampaui wewenang; (b) larangan mencampuradukkan
wewenang; (c) larangan bertindak sewenang-wenang”;
4.2.3.3 Bahwa kriteria penyalahgunaan itu diperjelas lagi lebih rinci dalam pasal
18 ayat (1), (2) dan (3) UU AP. Pejabat publik dapat dikatakan telah
melampaui wewenang apabila tindakannya “melampaui masa jabatan atau
batas wilayah berlakunya, dan/atau bertentangan dengan ketentuan
perundang–undangan”. Pejabat TUN dikatakan mencampur adukkan
wewenang apabila tindakannya “diluar cakupan atau materi wewenang
dan/atau bertentangan dengan tujuan wewenang yang diberikan”.
Sedangkan tindakan sewenang – wenang Pejabat TUN dapat dikatakan
terjadi apabila tindakan itu dilakukan “tanpa dasar kewenangan, dan/atau
bertentangan dengan putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap”;
4.2.3.4 Bahwa sebagaimana telah PENGGUGAT ulas dalam posita awal gugatan
ini, tindakan TERGUGAT menerbitkan Objek Sengketa telah melanggar
beberapa peraturan perundang-undangan dimana salah satunya adalah
melanggar Pasal 119 UU No 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara. Dengan alasan itu maka terbukti TERGUGAT telah
memenuhi unsur pasal 18 ayat (1) UU AP yakni telah melakukan
penyalahgunaan wewenang dalam bentuk “melampaui wewenang” karena
menerbitkan Objek Sengketa secara bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian terbukti
TERGUGAT melanggar asas tidak menyalahgunakan wewenang.

V. PERMOHONAN PENUNDAAN
5.1 Bahwa Pasal 67 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 Tentang Pengadilan
Tata Usaha Negara menyatakan “Penggugat dapat mengajukan permohonan agar
pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara itu ditunda selama pemeriksaan
sengketa Tata Usaha Negara sedang berjalan, sampai ada putusan Pengadilan
yang memperoleh kekuatan hukum tetap”. Ada pun di antara alasan yang dapat
dijadikan dasar untuk mengabulkan permohonan penundaan adalah sebagaimana
diatur Pasal 67 ayat (4) huruf a UU PTUN yakni “apabila terdapat keadaan yang
sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan Penggugat sangat dirugikan
jika Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu tetap dilaksanakan”;
5.2 Bahwa sebelum Objek Sengketa dikeluarkan oleh Tergugat, Penggugat berada
dalam kondisi yang sudah melengkapi semua persyaratan perizinan yang ditentukan
oleh peraturan perundang-undangan. Penggugat sudah mengantongi Surat
Kelayakan Lingkungan (Vide Bukti P-7), sudah mengantongi IUP Operasi
Produksi (Vide Bukti P-8), sudah mengantongi Izin Lingkungan (Vide Bukti P-9)
dan bahkan sudah mendapatkan Sertifikat clear and clean dari Kementerian ESDM
(Vide Bukti P-10) yang menandakan bahwa usaha PENGGUGAT sudah layak dan
dapat memulai operasi produksi di lapangan. Mencapai persiapan pada titik saat ini
tentu tidaklah mudah. PENGGUGAT sudah mengeluarkan tenaga, waktu dan biaya
investasi yang tidak sedikit guna memenuhi semua kewajiban yang dibutuhkan agar
memperoleh izin yang diperlukan. PENGGUGAT sudah membangun fasilitas
produksi, membangun infrastruktur bagi transportasi hasil produksi. Namun, secara
tiba-tiba dan tanpa diduga sebelumnya, Objek Sengketa dikeluarkan oleh
TERGUGAT mencabut IUP OP PENGGUGAT sehingga PENGGUGAT
mengalami kerugian yang sangat besar. Kerugian yang dialami Penggugat itu tidak
hanya dari sisi investasi saja, melainkan juga diderita oleh kurang lebih 72 (tujuh
puluh) pegawai PENGGUGAT yang telah kehilangan mata pencaharian karena
menggantungkan hidup pada usaha PENGGUGAT;
5.3 Bahwa dengan dicabutnya IUP Operasi Produksi atas nama PENGGUGAT,
TERGUGAT berdasarkan kewenangannya dapat melakukan lelang untuk memilih
pihak lain untuk melakukan kegiatan pertambangan ataupun perkebunan di atas
wilayah ex IUP Operasi Produksi atas nama PENGGUGAT sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 Tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Dengan
dicabutnya IUP Operasi Produksi Penggugat maka berdampak dengan berhentinya
kegiatan operasional PENGGUGAT sehingga dengan terpaksa Penggugat akan
melakukan pemutusan hubungan kerja kepada kurang lebih 72 (tujuh puluh dua)
pegawai dimana sebagian besar adalah penduduk lokal Pulau Laut. Hal ini akan
sangat merugikan masyarakat lokal pada umumnya karena kehilangan pekerjaan
sehingga menurunkan daya beli masyarakat serta akan menimbulkan kekhawatiran
para investor untuk melakukan investasi di Kalimantan Selatan khususnya di Pulau
Laut;
5.4 Bahwa selain kerugian tersebut, PENGGUGAT juga akan dihadapkan pada risiko
hukum akibat pengakhiran kontrak dengan para kontraktor dan supplier
konsekuensinya PENGGUGAT dapat dituntut membayar ganti rugi atas
pengakhiran kontrak tersebut. Lebih jauh lagi PENGGUGAT sangat
mengkhawatirkan nama baik perusahaan PENGGUGAT di mata publik, rekan
bisnis dan masyarakat secara keseluruhan menjadi rusak karena terbitnya Objek
Sengketa. Atas dasar itu maka, PENGGUGAT memohon kepada Majelis Hakim
yang mulia agar berkenan menjatuhkan putusan penundaan dengan sesegera
mungkin. Dengan dikabulkannya penundaan Objek Sengketa, setidak-tidaknya
selama proses hukum ini berjalan sampai mempunyai kekuatan hukum tetap
(inkracht), Penggugat dapat terhindar dari kerugian-kerugian yang diuraikan di atas
sehingga kepastian hukum betul-betul hadir bagi PENGGUGAT.

Berdasarkan segala hal-hal yang telah Penggugat uraikan di atas, PENGGUGAT memohon
kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk kiranya berkenan
memutus gugatan a quo dengan putusan sebagai berikut:

DALAM PENUNDAAN
1. Mengabulkan Permohonan Penundaan yang diajukan PENGGUGAT;
2. Memerintahkan Tergugat untuk menunda pelaksanaan Keputusan Gubernur
Kalimantan Selatan Nomor 503/119/DPMPTSP/2018 tentang Pencabutan Izin
Usaha Pertambangan Operasi Produksi Batubara PT. MAKMUR JAYA
BATUBARA di Kabupaten Kotabaru (KTB.1007IUPOP0094) tanggal 24
Januari 2018, dalam sengketa yang sedang berjalan sampai dengan adanya
putusan yang Berkekuatan Hukum Tetap.

DALAM POKOK PERKARA


1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan batal atau tidak sah Keputusan Gubernur Kalimantan Selatan
Nomor 503/119/DPMPTSP/2018 Tentang Pencabutan Izin Usaha
Pertambangan Operasi Produksi Batubara PT. MAKMUR JAYA BATUBARA
di Kabupaten Kotabaru (KTB.1007IUPOP0094) tanggal 24 Januari 2018;
3. Mewajibkan Tergugat untuk Mencabut Keputusan Gubernur Kalimantan
Selatan Nomor 503/119/DPMPTSP/2018 Tentang Pencabutan Izin Usaha
Pertambangan Operasi Produksi Batubara PT.MAKMUR JAYA BATUBARA
di Kabupaten Kotabaru (KTB.1007IUPOP0094) tanggal 24 Januari 2018;
4. Menghukum Tergugat membayar biaya yang timbul dalam perkara ini.

Atau apabila Majelis Hakim berpendapat lain, kami mohon putusan yang seadil-adilnya
(ex aequo et bono).

Hormat Kami,
Kuasa Hukum Penggugat

Bintang Setiadi Pratama, S.H., LL.M., Ph.D

Merdithia Mahadirja S.H.

Githa Dwi Damara, S.H., M.H.

Khairul Rizal Harahap, S.H., M.H.


Dinda Rizqiyatul Himmah, S.H., LL.M.

Agnia Nurrahma Dewi, S.H., LL.M.

Anda mungkin juga menyukai