Anda di halaman 1dari 16

ANALISIS KRITIS SYARAT-SYARAT DAN CIRI-CIRI

KEPEMIMPINAN YANG IDEAL


(Sebuah Refleksi Jurnal Kepemimpinan)
Erhat Zakiyatul Aini (19204090005)
Mahasiswa Magister Program Studi Manajemen Pendidikan Islam
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

erhatzakiyya@gmail.com

Pendahuluan
Kepemimpinan merupakan keniscayaan yang tidak bias dipisahkan dari realitas, karena
memimpin dan dipimpin merupakan bagian dari kehidupan. Seorang kepala negara adalah
pemimpin bagi rakyatnya, seorang ketua suatu organisasi adalah pemimpin bagi anggotanya,
seorang guru adalah pemimpin bagi murid-muridnya, seorang ayah adalah pemimpin bagi anggota
keluarganya, bahkan setiap manusia adalah pemimpin bagi dirinya sendiri. Karena pada
hakikatnya, kehadiran manusia di muka bumi sudah mengemban amanah kekhalifahan atau
kepemimpinan untuk melayani, pengabdi dan bahkan untuk menjaga dan mengatur bumi dengan
sebaik-baiknya guna tercipta kehidupan yang damai dan tenteram.1

Kepemimpinan dan pemimpin dibutuhkan untuk mengefesienkan setiap langkah atau


kegiatan yang berarti. Hanya pemimpin-pemimpin yang bersedia mengakui bakat-bakat, kapasitas,
inisiatif dan kemauan baik dari para pengikutnya (rakyat, anak buah, individu dan kelompok-
kelompok individu yang di pimpin) untuk berinisiatif dan bekerja sama secara kooperatif, hanya
pemimpin sedemikian inilah yang mampu menjamin kesejahteraan lahir batin masyarakat luas.
Sekaligus, pemimpin macam tadi itu sanggup mempertinggi produktifitas dan efektifitas usaha
bersama. Oleh karena itu pemimpin merupakan faktor kritis (crucial factor) yang dapat
menentukan maju mundurnya suatu lembaga.2

Berkaitan dengan urgennya suatu kepemimpinan, penting bagi kita dalam mencari sosok
pemimpin yang ideal. Hal itu tentu saja dapat kita lihat dari beberapa ciri-ciri seseorang pemimpin
yang ideal yang dijadikan syarat-syarat dalam mencari seorang pemimpin. Ideal dalam hal ini juga

1
Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyīd Ridha, Tafsir al-Mannar, (alQahirah: Dar al-Mannar, 1947),
hlm 258.
2
Imam Suprayogo, Pendidikan Berparadigma Al-Qur’an, (Malang: Aditya Media Bekerjasama
Dengan UIN Malang Press, 2004), hlm 212
ditentukan dari factor situasi, tempat, zaman dan yang lainnya. Maka penulis saat ini mencoba
menjelaskan sosok pemimpin ideal dari refleksi jurnal-jurnal yang ada, tentu saja dengan sebuah
batasan dalam menentukan ke-ideal-an dengan melihat tempat, kondisi, zaman dan lainya. Tema
yang diangkat oleh penulis di sini adalah peimpin ideal dalam sebuah lembaga pendidikan Islam,
pemimpin ideal pada sebuah era di generasi milenial, pemimpin ideal menurut tokoh terkemuka
Islam al-Ghazali dan yang terakhir pemimpin ideal dalam keberagaman yang diambil dari kasus
pemimpin di Indonesia.

A. Kepemimpinan Ideal pada Lembaga Pendidikan Islam.


Pada pembahsan pertama, penulis mencoba merefleksi jurnal berjudul “Pola Pembinaan
dan Pengembangan Lembaga Pendidikan Islam Melalui Kepemimpinan Kepala Madrasah yang
Ideal”. Oleh Mar’atul Azizah, sesuai dengan judulnya jurnal yang ditulis oleh Azizah berusaha
menyajikan bagaimana seorang kepala sekolah membina dan mengembangkan sekolah sebagai
sebuah lembaga pendidikan Islam. Lembaga pendidikan Islam tentu saja sebuah Madrasah yang
sistem pengelolaannya menggunakan landasan Islami. Jadi, prinsip Islam sebagai pedoman
pemimpin untuk membina dan mengelola sekolah tersebut.
Pada jurnal ini, penulis manjabarkan beberapa ciri-ciri atau syarat menjadi pemimpin ideal,
pembahasan ideal disini di batasi seperti yang sudah dijelaskan pada pendahuluan, untuk
mefokuskan pembahasan. Pada jurnal ini, penulis menyimpulkan bahwa pemimpin yang
disampaikan pada jurnal tersebut adalah kepemimpinan (kepala sekolah) yang ideal pada lembaga
pendidikan Islam. Dalam jurnal tersebut Pola pembinaan dan pengembangan lembaga pendidikan
Islam melalui kepemimpinan kepala madrasah yang ideal, dijelaskan bahwasanya seorang
pemimpin yang berhasil adalah pemimpin yang organisasinya mencapai tujuan dan memperoleh
hasil maksimal, dengan waktu yang ditentukan.
Lebih rinci azizah menyampaikan syarat pemimpin ideal dalam tiga kategori, yaitu syarat
pemimpimpin secara umum, syarat pemimpin dalam Islam dan yang terakhir adalah syarat sebagai
administrator di sekolah atau madrasah. Syarat pemimpin secara umum azizah menyampaikan
pendapat Sondang P. Siagaan mengenai ciri-ciri yang harus dimiliki seorang pemimpin yaitu:
a. Memiliki kondisi fisik yang sehat sesuai dengan tugasnya.
b. Berpengetahuan luas dan cakap
c. Mempunyai keyakinan bahwa organisasi akan berhasil mencapai tujuan yang telah
ditentukan melalui berkat kepemimpinannya.
d. Mengetahui sifat hakiki dan kompleksitas daripada tujuan yang hendak dicapai
e. Memiliki stamina (daya kerja) dan entusiasme yang besar
f. Gemar dan cepat mengambil keputusan
g. Obyektif dalam arti dapat menguasai emosi dan leih benyak mempergunakan rasio
h. Adil dalam memperlakukan bawahan
i. Menguasi prinsi-prinsip human relations
j. Menguasi teknik-teknik komunikasi
k. Dapat dan mampu bertindak sebagai penasehat, guru dan kepala terhadap bawahannya
tergantung atas situasi dan masalah yang dihadapi
l. Mempunyai gambaran yang menyeluruh tentang semua aspek kegiatan organisasi.

Kedua, disampaikan sebagai pemimpin di lembaga yang Islam, seorang pemimpin


dalam Islam seharusnya:
a. Seorang muslim
b. Seorang yang bertanggung jawab dan memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
1) Mempunyai pengetahuan strategis dan teknis
2) Mempunyai immate interest
3) Mempunyai kesanggupan untuk mengamil keputusan
4) Memandang tugasnya sebagai tugas yang diletakkan oleh allah sebagai amanah yang
harus dipertanggung jawabkan (sebagai realisasi ibadah kepada allah)13
c. Seorang yang didukung oleh pemilihan secara demikratis dan diterima oleh lingkungan
social
d. Seorang yang dalam pelalsanaan kebijaksanaan dijiwai oleh prinsip-prinsip demokrasi,
prosedur demokrasi, dan obyek demokrasi.
Dan yang terakhir sebagai pemimpin sekolah harus memiliki kemampuan yang
berhubungan dengan administrasi madrasah yaitu:
a. Kemampuan dalam bidang teknis pendidikan dan pengajaran
b. Kemampuan dalam bidang tata usaha sekolah
c. Kemampuan dalam pengorganisasian
d. Kemampuan dalam perencanaan. Berbagai pelaksanaan, dan pengawasan
e. Kemampuan dalam bidang pengelolaan keuangan.

Dijelaskan juga mengenai tipe kepemimpin yaitu; Tipe Otoriter (The Autocratic Style Of
Leadership), Tipe Laissez Faire (Laissez Faire Style of Leadership), dan Tipe Demokratis
(Democretic Style Of Leadership). Menurutnya kepemimpinan yang tepat diterapkan dilembaga
pendidikan adalah tipe kepemimpinan demokratis. Semua guru disekolah bekerja untuk mencapai
tujuan bersamasama putusan diambil melalui musyawarah dan mufakat serta harus ditaati. Dalam
Al-Qur'an pun menganjurkan hal itu dalam QS Ali Imron ayat 159. Berdasarkan ayat tersebut dapat
difahami, bahwa Islam memerintahkan kepada kita semua sebagai pemimpin dimana saja agar
selalu memimpin dengan demokratis diantaranya dengan lemah lembut. Mencintai anak buah,
tidak boleh kasar, atau memaksa agar yang dipimpin tidak menjahui dan membuat perlawanan.

Selanjutnya dijelaskan mengenai kualitas seorang pemimpin, Syarat ideal seorang


pemimpin dalam lembaga pendidikan ada dua kapasitas pokok sebagai main point yang harus
dimiliki oleh seorang pemimpin yaitu managerial skill dan technical skill. Dalam hal ini perlu
dipahami bahwa seorang pemimpin adalah seorang yang tidak melaksanakan sendiri tindakan-
tindakan yang bersifat operasional, tetapi mengambil keputusan yang telah diambil sesuai dengan
kebijaksanaan yang telah digariskan.

Seorang kepala sekolah di madrasah harus mempunyai kemampuan memecahkan masalah.


Didalam sekolah guru-gurulah yang memegang peranan penting dalam pertumbuhan anak-anak.
Oleh sebab itu, menghendaki supaya anak-anak itu tumbuh dengan baik disekolah, sebaiknya
pemimpin perhatikan lebih dahulu masalah-masalah yang dihadapi oleh para guru dalam
menjalankan tugas. Hanya dalam pekerjaan yang sehat dan menyenangkan terpupuklah moral yang
tinggi pada guru-guru yang ingin berkorban untuk kemakmuran.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan juga harus mampu berkembang. Syarat selanjutnya
sebagai kepala sekolah adalah mampu mengembangkan lembaga tersebut. Karena sifatnya tidak
berdiri sendiri, maka lembaga pendidikan perlu juga membangun hubungan dengan lembaga
pendidikan dan organisasi sosial lain, guna mendapatkan informasi terbaru tentang efektifitas
pengembangan lembaga maupun kelemahan-kelemahan yang ada dalam pelaksanaan kinerja
lembaga selama ini. Dengan demikian maka orientasi kedepan lembaga untuk dapat menjawab
kebutuhan masyarakat yang senantiasa berkembang dapat diwujudkan.

Terakhir azizah menyampaikan madrasah merupakan salah satu lembaga pendidikan yang
memiliki eksistensi yang penting dalam mencerdaskan kehidupan Bangsa. Maka Pembinaan dan
pengembangan lembaga pendidikan Islam merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan
kualitas out put pendidikan yang selama ini dikeluhkan oleh masyarakat maka dari itu kepala
sekolah sebagai pemimpin dalam sekolah mampu melakukan pembinaan dan pengembangan
lembaga pendidikan.
B. Kepemimpinan Ideal di Era Generasi Milenial
Pembahasan kedua, penulis mencoba merefleksi jurnal berjudul “Kepemimpinan Ideal
Pada Era Generasi Milenial”. Oleh Ni Putu Depi Yulia Peramesti & Dedi Kusmana. Sesuai dengan
judulnya jurnal yang ditulis oleh Ni Putu dan Dedi ini menyampaikan sebuah kepemimpinan yang
sesuai dengan zaman sekarang yaitu era milenial. Zaman teknologi sangat berkembang pesat, pola
pemimpin juga mestinya berubah. Mereka mencoba menyampaikan tantangan-tandangan yang ada
pada era tersebut berkaitan dengan sumber manusianya dan juga tantangan dunia luar yang sangat
cepat perkembanganya, kemudian menjelaskan seorang pemimpin harus mampu mengimbangi dan
memahami tantangan-tantangan tersebut.

Untuk memahami alur penulis jelaskan dulu apa itu generasi, yang mereka (Ni Putu dan
Dedi) ambil definisi menurut Kupperschmidt’s, yang mengatakan bahwa generasi adalah
sekelompok individu yang mengidentifikasi kelompoknya berdasarkan kesamaan tahun kelahiran,
umur, lokasi, dan kejadian-kejadian dalam kehidupan kelompok individu tersebut yang memiliki
pengaruh signifikan dalam fase pertumbuhan mereka. Dapat dipahami bahwa tantangan yang di
tulis di jurnal ini merupakan perubahan generasi dengan segala efeknya.

Kepemimpinan milenial diterjemahkan sebagai kepemimpinan masa kini yang


menyesuaikan dengan gaya generasi baru yang lahir pada era 1980-an. Pola kepemimpinan
milenial tidak sama dengan pola kepemimpinan lama dari generasi sebelumnya. Tahun kelahiran
1980-an memegang peran penting karena generasi tersebut saat ini memasuki masa paling
produktif. Di usia 30-an tahun, generasi inilah yang menggerakkan dunia kerja, dunia kreativitas,
dunia inovasi, dan memengaruhi pasar dan industri global yang ada sekarang dan sedang
menggelinding di lapangan kompetisi dunia kerja, dunia kreativitas, dan dunia inovasi. Karena itu
pula, generasi yang lahir pada era 1980-an ke atas biasa disebut generasi milenial.

Beberapa karakter generasi milenial ini adalah, pertama, kemampuan mereka mengakses
teknologi informasi yang lebih baik dari generasi sebelumnya, Kedua, generasi milenial lebih
memiliki keberanian dalam berinovasi, Ketiga, generasi milenial lebih menyukai independensi dan
kemandirian. Independensi ini merupakan kebutuhan yang lahir dari gaya hidup yang ingin lebih
bebas dan mandiri dalam melakukan sesuatu, dan Keempat, generasi milenial lebih menyukai
sesuatu yang instan. Mungkin ciri ini bisa dipersepsikan secara positif atau negatif. Positifnya,
generasi ini menyukai sesuatu yang praktis dan simpel. Negatifnya, generasi ini mungkin memiliki
daya tahan yang lebih rendah terhadap tekanan.
Dengan karakter-karakter diatas Ni putu dan Dedi mencoba beberapa yang dapat
ditekankan dalam pola kepemimpinan ini antara lain, pertama, kepemimpinan milenial perlu
memahami dan memakai pola komunikasi generasi milenial yang dipimpinnya. Misalnya
pemimpin milenial tidak segan menggunakan media sosial seperti Twitter, Facebook, dll. yang
merupakan komunikasi terbaru yang memang menjadi arus utama dalam kehidupan generasi baru
itu. Kedua, kepemimpinan milenial perlu mendorong inovasi, kreativitas, dan jiwa
entrepreneurship generasi baru itu. Misalnya pemimpin perlu membangun pusat-pusat kreativitas
di setiap kota dengan peralatan dan teknologi terbaru dengan maksud agar gagasan dan ide generasi
milenial itu tersalurkan. Terakhir yang ketiga, kepemimpinan milenial perlu mendukung
kemandirian dan jiwa entrepreneurship generasi milenial. Membangun bangsa harus memiliki
fondasi utama yakni kemandirian dan entrepreneurship.

Di samping itu, dibutuhkan karakter kepemimpinan yang mampu mereduksi berbagai sikap
negatif dan mampu mengeluarkan semua potensi positif dari kaum milenial seperti melek
teknologi, cepat, haus ilmu pengetahuan, dan publikasi. Ni putu dan Dedi menambahkan 6 (enam)
karakter kepemimpinan yang dibutuhkan pada era generasi milenial sebagai berikut:

a. Digital Mindset. Pemimpin pada era milenial harus bisa memanfaatkan kemajuan teknologi ini
untuk menghadirkan proses kerja yang efisien dan efektif di lingkungan kerjanya. Jika seorang
pemimpin tidak berupaya mendigitalisasi pekerjaannya pada era saat ini, maka dia akan
dianggap tidak adaptif. Hal ini tentu saja disebabkan karena kecanggihan teknologi yang
membuat orang bisa bekerja dimana saja dan kapan saja. Dapat disaksikan bahwa hari ini
banyak sekali coffeeshop yang berfungsi sebagai co-working space bertebaran di tempat kita
dan sebagian besar pengunjungnya adalah millenials.
b. Observer dan Active Listener. Pemimpin pada era milenial harus bisa menjadi observer dan
pendengar aktif yang baik bagi anggota timnya. Hal ini dikarenakan kaum milenial tumbuh
beriringan dengan hadirnya media sosial yang membuat mereka kecanduan untuk diperhatikan.
Mereka akan sangat menghargai dan termotivasi jika diberikan kesempatan untuk berbicara,
berekspresi, dan diakomodasi ide-idenya. Mereka haus akan ilmu pengetahuan, pengembangan
diri dan menyukai untuk berbagi pengalaman
c. Agile. Pemimpin yang agile dapat digambarkan sebagai pemimpin yang cerdas melihat
peluang, cepat dalam beradaptasi, dan lincah dalam memfasilitasi perubahan. Seperti yang
disampaikan oleh motivator Jamil Azzaini, pemimpin yang agile adalah pemimpin yang open
minded dan memiliki ambiguity acceptance, yakni bersedia menerima ketidakjelasan.
Pemimpin yang agile mampumengajak organisasinya untuk dengan cepat mengakomodasi
perubahan.
d. Inclusive. Di dalam bahasa Inggris, inclusive diartikan “termasuk di dalamnya”. Secara istilah,
inclusive diartikan sebagai memasuki cara berpikir orang lain dalam melihat suatu masalah.
Pemimpin yang inclusive dibutuhkan pada era milenial dikarenakan perbedaan cara pandang
antar individu yang semakin kompleks. Pemimpin yang inclusive diharapkan dapat menghargai
setiap pemikiran yang ada dan menggunakannya untuk mencapai tujuan organisasi. Pemimpin
juga harus memberikan pemahaman akan pentingnya nilai, budaya, dan visi organisasi kepada
anggota timnya secara paripurna karena kaum milenial akan bertindak secara antusias jika
tindakannya memiliki meaning.
e. Brave to be Different. Pada zaman sekarang, masih banyak orang yang tidak berani untuk
mengambil sebuah langkah atau keputusan penting dalam pencapaian cita-citanya karena hal
tersebut bertentangan dengan kebiasaan orangorang di sekitarnya. Hal semacam ini jika
dibiarkan, akan menjadi hambatan seseorang bahkan sebuah organisasi untuk lebih maju.
Ini adalah tantangan bagi para pemimpin milenial dalam mengubah kondisi tersebut dan
menanamkan nilai bahwa berbeda itu boleh asalkan dengan perencanaan dan tujuan yang jelas.
f. Unbeatable (Pantang Menyerah). Mindset pantang menyerah tentu harus dimiliki oleh semua
pemimpin. Apalagi memimpin anak-anak pada era milenial yang lekat dengan sikap malas,
manja, dan merasa paling benar sendiri. Kondisi persaingan kerja pada era globalisasi harus
memicu pemimpin untuk meningkatkan soft skills, misalnya kemampuan bernegosiasi,
menginspirasi, dan critical thinking, dan hardskills-nya. Maka dari itu, wajib bagi pemimpin
untuk menjadi sosok yang unbeatable yang memiliki kemampuan bangkit dari kegagalan
dengan cepat dan pantang menyerah dalam menggapai tujuannya.

C. Kepemimpinan Ideal Menurut Al-Ghazali


Pembahasan ketiga, penulis mencoba merefleksi jurnal berjudul “Konsep Pemimpin Ideal
Menurut Al-Ghazālī”. Oleh Ade Afriansyah. Jurnal yang ditulis oleh Ade ini menjelaskan kriteria
pemimpin yang ideal menurut Al-Ghozalli, seorang Hujjah al-Islam pada masanya. Al-Ghazali
sebagai ulama klasik termuka dan juga filosof yang sangat dikagumi pemikiran-pemikirannya
hingga kini, karya-karya yang di tulisnya masih relevan dan banyak di bahas pada bidang keilmuan
yang luas, tidak hanya bidang Islam saja, mulai dari ilmu psikologi, pendidikan, pemikiran, filsafat
dan masih banyak lagi. Ade dalam jurnalnya berusaha menemukan kriteria-kriteria pemimpin ideal
dari karya-karya Al-ghazali sebagai seorang ulama, Intelektual Islam dan seorang filosof.
Pemimpin ideal menurut al-ghazali tidak lepas dari pemimpin yang baik menurut Islam.
Ade terlebih dahulu menjelaskan pemimpin dalam Islam yang merupakan kepemimpinan spiritual
dan intelektual yang pada dasarnya adalah amanah, yaitu kepercayaan yang harus dijaga dan
ditunaikan dengan sebaikbaiknya.

Hakikat kepemimpinan menurut al-Ghazālī adalah pengaruh. Pemimpin adalah orang yang
berpengaruh atau orang yang memiliki pengaruh yang kuat di masyarakat. Tidak disebut pemimpin
bila tak memiliki pengaruh, pengaruh dengan artian pengaruh kedudukan pemimpin di mata dan di
hati manusia. Pengaruh itu timbul karena pemimpin memiliki nilai-nilai yang mulia, seperti
pemimpin yang intelektualitas yang luas, pemafhuman agama yang mendalam, serta akhlak yang
mulia. Pemimpin yang memiliki tiga poin utama itulah yang mampu mempertahankan kedudukan
seorang pemimpin, dan menjadi corak khas dalam pemikiran pemimpin al-Ghazālī.

Disini sudah dapat dilihat Ade telah menjawab pertanyaan bagaimana pemimpin ideal
menurut al-ghazali adalah intelektualitas yang luas, pemafhuman agama yang mendalam, serta
akhlak yang mulia. Ade selanjutnya menyimpulkan menjelaskan tiga poit tersebut yaitu:

a. Intelektual
Akal diibaratkan sebagai cahaya yang menyusup kedalam sanubari manusia, dan
membimbingnya memahami segala sesuatu. Dalam penjelasan kitab Ihyā„ „Ulum ad-Dīn juz
I, al-Ghazālī membagi tingkatan akal menjadi empat, akal manusia laksana cermin yang dapat
dibedakan dari benda-benda fisik material lainnya, dikarenakan khususnya dalam urusan
mengindentifikasi bentuk maupun warna, yaitu sifatnya yang bercahaya.10 Keempat tingkatan
akal itu sebagai beriku:

1) Akal berarti kecerdasan, dimiliki oleh setiap manusia, yang membedakannya dengan
hewan-hewan dan makhluk yang lainnya.
2) Akal berarti pengertian, yang tumbuh pada manusia setelah akalnya yang pertama mulai
berjalan, dan berkembang semenjak dari kecilnya, terus meningkat naik pada
usia muda, menjadi dewasa dan selanjutnya.
3) Akal berarti pengetahuan, yang timbul pengajaran dan pengalaman, yang telah menpelajari
sesuatu dengan saksama.
4) Akal berarti ma’rifah, yang merupakan puncak dari segala tingkat akal, yaitu keinsafan
rohani manusia yang menyadari akibat-akibat sesuatu, dan membawanya kepada keluhuran
budi akhlak, serta memimpinnya kepada Tuhan.
Pengertian akal yang pertama merupakan dasar dan sumbernya. Sedangkan pengertian
yang kedua merupakan cabang dari akal, yang mendekati pengertian pertama. Kedua
pengertian ini timbul disebabkan oleh faktor alamiah. Pengertian ketiga adalah rating dari
pengertian pertama dan kedua. Pengertian keempat merupakan hasil tertinggi fungsi akal, dan
menjadi tujuan akhir dari akal. Adapun dua pengertian yang terakhir harus diupayakan dan
dicari untuk bisa mencapainya. Bagi al-Ghazālī, ilmu dan akal tetap merupakan nilai-nilai
agama yang adi luhung dan jalan menuju Tuhan, sedangkan pengetahuan dicapai melalui rasa
(żawq), dan pengalaman beribadahlah yang mengantarkan manusia kepada kepastian yang
mutlak.

b. Agama
Agama merupakan bagian esensi paling dasar dari kehidupan manusia. Sebagaimana
sebuah sistem kepercayaan, keberadaan agama telah muncul semenjak manusia itu diciptakan.
Agama dapat menjadi penentu, termasuk dalam bidang politik, sekaligus sumber inspirasi dan
pewarna peradaban. Iman merupakan komitmen dari agama, dapat dilihat melalui aktifitas atau
prilaku individu dengan agama, keimanan sering diidentikan dengan keagamaan.

Al-Ghazālī menegaskan bahwa iman adalah pembenaran yang mantap di dalam hati
manusia, yang tidak ada keraguan lagi padanya, dan orang yang bersangkutan tidak merasa
akan menjadi kekeliruan lagi di dalamnya. Pemimpin yang mampu meningkatkan
keimanannya, niscaya akan menerima warisan daya keimanan dari Rasulullah Saw, yang akan
mengimami manusia dalam makna fisik, akan tetapi juga mengimami manusia dalam makna
jiwa, akal pikiran, serta perilaku manusia kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan ini, akan
memberikan efek silaturahmi yang kuat, persaudaraan, kesatuan, dan persatuan batin yang kuat
dan kokoh dengan sesama makhluk

c. Akhlak
Misi utama kehadiran Muhammad ialah membangun kualitas moral. Seperti dalam
hadis; “Aku diutus hanya untuk menyempurnakan keluhuran budi pekerti (akhlak alkarīmah)”
(H.R Baihaqī).” Akhlak merupakan hal yang sangat penting dan utama dalam Islam. Bagi al-
Ghazālī, kekuatan moral adalah kemampuan untuk mengelola dan mengendalikan diri dari
kecenderungan-kecenderungan yang bersifat destruktif. Jiwa manusia memiliki
kesempurnaannya sendiri, sehingga selalu terbuka dengan perubahan dan perbaikan menuju
puncak-puncak kemuliaan dan keluhuran budi pekerti.
Akhlak mulia merupakan satu di antara sifat pemimpin, para utusan Allah, akhlak
yang baik menjadi bagian esensi agama dan buah dari kesungguhan orang yang bertakwa, dan
menjadi pelatihan bagi orang-orang yang ahli dalam urusan ibadah. Akhlak yang buruk akan
menjadi racun yang membunuh.

Relasi erat antara agama, ilmu, dan akhlak, di mana dari penggabungan itu akan melahirkan
ma’rifah yang menjadi tingkatan tertinggi dari pengetahuan dan kesadaran rohani manusia kepada
Tuhan. Nilai agama yang diyakini bersumber dari Tuhan dijadikan kerangka acuan seluruh realitas
(dunia maupun akhirat).

Secara tidak langsung pemikiran yang gagas oleh al-Ghazālī dipakai oleh sebagian
pemimpin-pemimpin di dunia ini. Pemimpin ideal yang di konsepkan al-Ghazālī sangat
berguna untuk kelangsungan kepemimpinan yang efektif dan integrative. Seorang pemimpin yang
diimpikan oleh masyarakat banyak. Pemimpin yang mampu membawa pengikutnya kepada
kebahagiaan di dunia dan akhirat. Pemimpin yang membimbing ke jalan yang lurus, serta
pemimpin yang mampu mewujudkan cita-cita bawahannya. Dari pembahasan panjang al-Ghazālī
tentang pemimpin ideal di atas, memberikan konstribusi yang penting bagi pemimpin.

D. Kepemimpina Ideal dalam keberagaman (plural).


Pembahasan keempat sekaligus terakhir ini, penulis mencoba merefleksi jurnal berjudul
“Kontruksi Pemimpin Ideal untuk Indonesia”. Oleh Ainun Najib. Jurnal yang ditulis oleh Najib ini
mencoba menjelaskan bagaimana sosok pemimpin ideal untuk Indonesia. Namun garis besar
masalah yang diangkat pada ke-Indonesiaan ini adalah mengenai keberagaman atau Indonesia yang
plural. Maka, penulis menuliskan judul bab ini adalah kepemimpinan ideal dalam keberagaman.
Pada jurnal tersebut Najib memberikan notifikasi tentang pemimpin ideal untuk negara yang plural
berdasarkan kaca mata Islam dengan Teori Humanistik dengan pendekatan sosio-psikologis.
Menurut najib Islam adalah agama yang berinteraksi secara sosial-politik dalam lingkungan bangsa
yang plural, maka hukum Islam lah (bersumber dari al-Qur’an dan hadits) yang sesuai untuk
menjawab persoalan tersebut, terlebih untuk konteks kepemimpinan di Indonesia.

Indonesia yang merupakan negara plural terdiri dari macam-macam suku dan bahasa dan
agama yang berbeda-beda, sesungguhnya membutuhkan sosok pemimpin yang berjiwa pluralistik,
humanis, amanah dan merakyat, sehingga Indonesia menjadi negara yang tentram dan makmur.
Kemudian Najib menjabarkan kriteria-kriteria pokok atau patokan utama untuk menjadi pemimpin
yang ideal yang ditawarkan oleh Islam untuk negara Indonesia yang plural antara lain:
a. Pemimpin yang Memiliki Talenta Kepemimpinan
Seorang pemimpin harus mempunyai kemampuan dan keahlian dalam bidang
kepemimpinan, sehingga dapat mencari jalan keluar atau solusi dari problematika yang
menimpa negara dan kehidupan rakyatnya, seperti krisis dan lain sebagainya. Sebagaimana
hadits, Nabi Muhammad Saw.

“Dari Abu Hurairah berkata: Ketika Nabi SAW. berada dalam suatu majelis
membicarakan suatu kaum, tiba-tiba datanglah seorang Arab Badui lalu bertanya:
“Kapan datangnya hari kiamat?” Namun Nabi SAW. tetap melanjutkan pembicaraannya.
Sementara itu sebagian kaum ada yang berkata; “beliau mendengar perkataannya akan
tetapi beliau tidak menyukai apa yang dikatakannya itu,” dan ada pula sebagian yang
mengatakan; “bahwa beliau tidak mendengar perkataannya.” Hingga akhirnya Nabi SAW.
Menyelesaikan pembicaraannya, seraya berkata: “Mana orang yang bertanya tentang hari
kiamat tadi?” Orang itu berkata: “saya wahai Rasulullah!", maka Nabi SAW. bersabda:
“Apabila sudah hilang amanah maka tunggulah terjadinya kiamat”. Orang itu bertanya:
“Bagaimana hilangnya amanat itu?” Nabi SAW. menjawab: “Jika urusan diserahkan
bukan kepada ahlinya, maka akan tunggulah terjadinya kiamat”.(H.R Bukhori)

Seorang pemimpin haruslah cerdas, ahli, berpengalaman dan visioner untuk dapat
membawa kehidupan rakyatnya ke masa depan yang lebih baik. Apalagi pada konteks ke-
Indonesia-an, meskipun negara ini memiliki sistem kepemimpinan secara demokrasi dan
memiliki mayoritas penduduk yang beragama Islam bahkan terbesar sedunia. Akan tetapi, perlu
diakui bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bukanlah “Negara Islam” atau
negara yang berasaskan ideologi atau simbol-simbol Islam, melainkan negara yang berasaskan
pada “Pancasila”. Meskipun sila Pancasila Ketuhanan yang Maha Esa sangat sejalan dengan
ajaran dasar agama Islam.

b. Pemimpin yang Bertanggung Jawab


Pemimpin yang idel dan mampu mengeluarkan problematika yang ada di negara ini
juga harus memilih pemimpin yang memiliki sifat tanggung jawab pada amanah dari jabatan
yang dipasrahkan kepada dirinya. Sebagai pemimpin ia harus bisa merumuskan kepentingan
bersama di atas kepentingan pribadi atau golongan dan hendaknya disadari, tumbuhnya
kekuatan adalah lahir atas dasar kebersamaan. Pemimpin yang bertanggung jawab pada semua
perannya, maka usaha pengembangan ke arah mana jasa akan dipatuhi dan disegani oleh rakyat.
Esensi dalam kinerja kepemimpinan dalam hukum Islam adalah bertanggung jawab
pada amanah yang dibebankan, bertanggung jawab pada semua yang menjadi tugasnya untuk
menjaga dan meningkatkan kualitas negara dan kehidupan rakyat. Sebab dari itu, baginda Nabi
Muhammad SAW. memberikan wanti-wanti bahwa jabatan itu akan dimintai
pertanggungjawabannya, berikut disebut didalam hadis:
“.....bahwa Abdullah bin Umar berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW. bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban
atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan diminta pertanggungjawaban
atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban
atas keluarganya. Seorang isteri adalah pemimpin di dalam urusan rumah tangga
suaminya, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rumah tangga tersebut.
Seorang pembantu adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya, dan akan dimintai
pertanggungjawaban atas urusan tanggung jawabnya tersebut.” Aku menduga Ibnu Umar
menyebutkan: “Dan seorang laki-laki adalah pemimpin atas harta bapaknya, dan akan
dimintai pertanggungjawaban atasnya. Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap
pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya”.

c. Pemimpin yang Memiliki Sifat Jihad


Keberhasilan seorang pemimpin sangat tergantung dari aplikasi kemampuannya untuk
membangun orang-orang yang dipimpinnya, karena kesuksesan sebuah kepemimpinan sangat
tergantung dengan semangat juang dari pemimpin untuk memajukan negara dan bangsa.
Indonesia adalah negara besar, tentu membutuhkan pemimpin yang memiliki jihad atau
semangat besar juga.

Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mau mendengarkan setiap kebutuhan,
impian, dan harapan dari mereka yang dipimpin. Setelah itu, tentu sebagai pemimpin yang ideal
hendaknya memperjuangkan dan merealisasikan harapan-harapan rakyat dan bangsanya
dengan semangat jihad yang optimal. Apalagi jika melihat geografi Indonesia yang relatif besar
bagi sebuah negara. Maka sudah barang tentu Indonesia sangat memerlukan pemimpin yang
berjiwa jihad besar yang tidak tanggungtanggung dalam kinerja untuk mengeluarkan semua
problematika yang ada di Indonesia.

Selain itu, ternyata profesi memimpin merupakan bagian dari pekerjaan terpuji karena
berjuang di jalan Allah SWT, yaitu di dalamnya sarat memuat nilai-nilai yang mulia, seperti
memberikan pelayanan dan memenuhi kebutuhan rakyat. Sejatinya pemimpin adalah melayani
dan memberikan uluran tanggan (membantu) kepada rakyat bukan sebaliknya dilayani oleh
rakyat. Oleh karena itu, pemimpin yang baik yang benar-benar melaksanakan kewajibannya
sebagai pemimpin kelak mendapatkan martabat yang sangat mulia di sisi-Nya, sebagaiamana
janji Allah dengan firman-Nya:
“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta,
benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang
yang mendapat kemenangan”,( Al-Taubah [9]: 20).
Sepatutnya semangat jihad tetap selalu dikobarkan dalam kinerja kepemimpinan dan
tetap mengendalikan ego dan kepentingan pribadinya melebihi kepentingan publik dan yang
dipimpin. Cita-cita negara dan rakyat diusahan dengan segala daya upaya untuk meraihnya.
Jihad atau hasrat yang tinggi dan ditambah dengan perhatian yang intens terhadap tugas yang
dihadapinya bias berdampak pada tugas dapat diselesaikan dengan mudah.

d. Pemimpin yang berakhlak mulia


Seorang pemimpin selain harus memiliki sifat tegas, talenta dalam kepemimpanan, dan
kreatif, ia juga harus memiliki prinsip moral dan etika bangsa dalam kehidupan bernegara.
Dalam arti, dampak dari peran seorang pemimpin baik dari aspek baik dan buruknya dapat
berpengaruh kepada orang-orang yang dipimpin atau rakyat. Sebelum memimpin orang lain
tentu terlebih dahulu harus bisa menjadi pemimpin bagi diri sendiri.

Kamajuan suatu negara tidak hanya dilihat dari aspek bangunan yang tinggi dan megah,
industri yang super canggih dan lain sebagainya. Akan tetapi juga dilihat dari integritas moral
rakyatanya. Nabi Muhammad SAW sendiri adalah pemimpin dan tauladan bagi seluruh umat.
Sebab dari itu, Allah SWT memberi perintah kepadanya agar tidak conkak atau angkuh ketika
menghadapi umatnya melainkan dengan rendah hati, sebagaimana dalam ayat berikut:
“....dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang
yang beriman.” (Al-Syu‟ara [26]: 215)
Disamping pemimpin harus memiliki integrasi moral yang tinggi, ia juga diharuskan
menjadi pemimpin yang penyayang kepada rakyatnya. Dengan budi pekerti dan kasih sayang
dari seorang pemimpin, maka antara pemimpin dan rakyat akan terjalin baik dan ketika
keduanya harmonis, maka negara ini dapat dibangun secara bersama-sama. Sebab dari itu, Nabi
Muhammad SAW. menganjurkan kepada umatnya agar memilih pemimpin yang penyayang
kepada rakyatnya dan rakyat pun menyayangi mereka sebagai orang yang mengepalai segala
urusan negara dan rakyat, Sebagaimana dinyatakan di dalam hadis:
Dari Auf bin Malik dari Rasulullah SAW., beliau bersabda: “Sebaik-baik pemimpin kalian
adalah mereka mencintai kalian dan kalian mencintai mereka, mereka mendo'akan kalian
dan kalian mendo'akan mereka. Dan sejelek-jelek pemimpin kalian adalah mereka yang
membenci kalian dan kalian membenci mereka, mereka mengutuk kalian dan kalian
mengutuk mereka.” Beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, tidakkah kita memerangi
mereka?” maka beliau bersabda: “Tidak, selagi mereka mendirikan shalat bersama
kalian. Jika kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang tidak baik maka bencilah
tindakannya, dan janganlah kalian melepas dari ketaatan kepada mereka.
Dari keterangan tentang moral dan kasih sayang seorang pemimpin kepada rakyat
adalah termasuk dari bagian yang menyokong kemajuan Indonesia dan kepada negara
memberikan pengertian bahwa pemimpin selain harus selalu peduli kepada rakyatnya secara
kasat mata, tetapi secara spritual pun perlu diperhatikan dan digalakkan, pemimpin mendoakan
kepada negara dan rakyat-rakyatnya agar mendapatkan kedamaian dan kehidupan yang
selayaknya dan begitu pula sebaliknya rakyat mendoakan untuk negara dan pemimpin-
pemimpin di Indonesia agar bisa menjadi pemimpin yang diberi hidayah dan benar-benar
menjalankan tugasnya sebagai pengayom negara dan bangsa/rakyat.

Simpulan

Dari hasil pemaparan bahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Kepemimpinan Ideal
pada Lembaga Pendidikan Islam dijelaskan sebagai seorang kepala sekolah yang mampu membina
dan mengembangkan sebuah madrasah. Syarat sebagai pemimpin ideal secara pribadi pada jurnal
dijelaskan pada tiga aspek yaitu syarat pemimpin sebagai pribadi secara umum, syarat pemimpin
sesuai dalam Islam, dan syarat harus mampu dalam keahlian administrasi sebagai kepala sekolah.
Selanjutnya membicarakan mengenai kualitas seorang pemimpin, Syarat ideal seorang
pemimpin dalam lembaga pendidikan ada dua kapasitas pokok sebagai main point yang harus
dimiliki oleh seorang pemimpin yaitu managerial skill dan technical skill. Seorang kepala sekolah
di madrasah harus mempunyai kemampuan memecahkan masalah yang terjadi pada anggotanya.
Untuk syarat yang terlihat sebagai output seorang pemimpin ideal disebuah lembaga pendidikan
haruslah mampu mengembangkan lembaga tersebut. Terakhir kepala sekolah sebagai pemimpin
dalam sekolah mampu melakukan pembinaan dan pengembangan lembaga pendidikan salah satu
upaya untuk meningkatkan kualitas out put pendidikan.
Pada sayarat atau ciri-ciri “Kepemimpinan Ideal di Era Generasi Milenial” lebih kepada
menghadapi tantangan generasi baru yaitu milenial yang mempunyai karakter yang sangat berbeda
dari generasi sebelumnya. Beberapa yang dapat ditekankan dalam pola kepemimpinan ini antara
lain; pertama, kepemimpinan milenial perlu memahami dan memakai pola komunikasi generasi
milenial yang dipimpinnya, kedua, kepemimpinan milenial perlu mendorong inovasi, kreativitas,
dan jiwa entrepreneurship, ketiga kepemimpinan milenial perlu mendukung kemandirian dan jiwa
entrepreneurship generasi milenial. Ni putu dan Dedi menambahkan 6 (enam) karakter
kepemimpinan yang dibutuhkan pemimpin pada era generasi milenial yaitu; Digital Mindset,
Observer dan Active Listener, Agile (cerdas melihat peluang), Inclusive (memasuki cara berpikir
orang lain dalam melihat suatu masalah), Brave to be Different, dan Unbeatable (Pantang
Menyerah). Karakter-karakter inilah yang menjadi syarat yang harus dimiliki oleh seorang
pemimpin di era generasi milenial tersebut.

Sosok pemimpin ideal yang dikonsepkan al-Ghazālī adalah pemimpin yang tertanam dalam
dirinya ilmu pengetahuan, agama, dan akhlak. Keseimbangan ilmu pengetahuan, agama, dan
akhlak yang mampu membawa pemimpin menjadi pemimpin ideal, apabila dari ilmu pengetahuan
dengan agama ini ada yang mendominan, maka akhlak mulia tidak akan tumbuh, bila pengetahuan
dan agama terputus akan menjadikan kehancuran. Ketika tiga poin itu ada pada seorang pemimpin
kejayaan, kemakmuran, kebahagiaan, kesejahteraan akan datang, seperti masa jayanya Islam di
masa Nabi Muhammad Saw. Agama tanpa ilmu pengetahuan, yang menyebabkan bencana pada
kepemimpinan, Iman dicapai melalui ilmu dan wawasan yang luas dan mendalam, tanpa sikap
batin, perilaku lahiriyah belum merupakan hal yang sejati dalam agama, tanpa sikap batin yang
kuat, pengalaman agama sehari-hari tidak mungkin memberikan dampak positif baik secara moral
maupun social.

Untuk yang terakhir syarat atau ciri seorang pemimpin ideal dalam keberagaman yang
terjadi di Indonesia dan dapat di aplikasikan dalam keberagaman yang lain, Islam memberikan
solusi untuk itu bahwa selayaknya yang lebih ditekankan untuk memilih pemimpin dilihat atas
kecakapan atau kemampuan ia dalam memimpin yaitu pertama dengan memiliki keahlian dalam
memimpin (leadership skill) ia mampu mengidentifikasi faktor penting, mampu melahirkan
strategi jitu dengan implementasinya, dan mengantisipasi risiko dengan rencana penggatinya.
Kedua, Pemimpin juga harus benar-benar bijaksana dan benar-benar dapat
dipertanggungjawabkan, baik secara moral maupun secara formal. Ketiga, pemimpin memiliki
sikap jihad, pemimpin yang ideal hendaknya memperjuangkan dan merealisasikan harapan-
harapan rakyat dan bangsanya dengan semangat jihad yang optimal. Keempat, pemimpin harus
berakhlak mulia, Seorang pemimpin selain harus memiliki sifat tegas, talenta dalam
kepemimpanan, dan kreatif, ia juga harus memiliki prinsip moral dan etika bangsa dalam
kehidupan bernegara.

Referensi

Abduh, Muhammad dan Rasyid Ridha, Muhammad, Tafsir al-Mannar, alQahirah: Dar al-Mannar,
1947.
Afriansyah, Ade, Konsep Pemimpin Ideal Menurut Al-Ghazali. Jurnal NALAR, Vol 1, No 2. 2017.
Azizah, Mar’atul, Pola Pembinaan dan Pengembangan Lembaga Pendidikan Islam Melalui
Kepemimpinan Kepala Madrasah yang Ideal. Jurnal Al-Idaroh Vol.2 No.2, 2018.
Peramesti, Ni Putu Depi Yulia & Kusmana, Dedi, Kepemimpinan Ideal Pada Era Generasi
Milenial, Transformasi: Jurnal Manajemen Pemerintahan \ Vol. 10 No. 1, 2018.
Najib, Ainun, Kontruksi Pemimpin Ideal Untuk Indonesia, Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia,
Vol. 3, No. 1, 2013.
Suprayogo, Imam, Pendidikan Berparadigma Al-Qur’an, Malang: Aditya Media Bekerjasama
Dengan UIN Malang Press, 2004.

Anda mungkin juga menyukai