Anda di halaman 1dari 28

Menu Makanan Penderita Tifus / Demam Typhoid

                                                                     

1.      Pendahuluan
Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh Salmonella
enterica serotype typhi, dapat juga disebabkan oleh Salmonella enterica serotype paratyphi A, B,
atau C (demam paratifoid). Demam tifoid ditandai antara lain dengan demam tinggi yang terus
menerus bisa selama 3-4 minggu, toksemia, denyut nadi yang relatif lambat, kadang gangguan
kesadaran seperti mengigau, perut kembung, splenomegali dan lekopeni.
Di banyak negara berkembang, termasuk di Indonesia, demam tifoid masih tetap
merupakan masalah kesehatan masyarakat, berbagai upaya yang dilakukan untuk memberantas
penyakit ini tampaknya belum memuaskan. Sebaliknya di negara maju seperti Amerika Serikat,
Eropa dan Jepang misalnya, seiring dengan perbaikan lingkungan, pengelolaan sampah dan
limbah yang memadai dan penyediaan air bersih yang cukup, mampu menurunkan insidensi
penyakit ini secara dramatis
Di abad ke 19 demam tifoid masih merupakan penyebab kesakitan dan kematian utama di
Amerika, namun sekarang kasusnya sudah sangat berkurang.
            Tingginya jumlah penderita demam tifoid  tentu menjadi beban ekonomi bagi keluraga
dan masyarakat. Besarnya beban ekonomi tersebut sulit dihitung dengan pasti mengingat angka
kejadian demam tifoid secara tepat tak dapat diperoleh
2.      Pembahasan
A. Pengertian  Typhoid
            Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella
thypi dan salmonella para thypi A,B,C. sinonim dari penyakit ini adalah Typhoid dan
paratyphoid abdominalis, ( Syaifullah Noer, 1998 ).
Typus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan
dengan gejala demam lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran cerna, gangguan kesadaran, dan
lebih banyak menyerang pada anak usia 12 – 13 tahun ( 70% - 80% ), pada usia 30 - 40 tahun
( 10%-20% ) dan diatas usia pada anak 12-13 tahun sebanyak ( 5%-10% ). (Mansjoer, Arif
1999).
B.  Gejala Klinis
            Masa tunas 7-14 (rata-rata 3 – 30) hari, selama inkubasi ditemukan gejala prodromal
(gejala awal tumbuhnya penyakit/gejala yang tidak khas) :
• Perasaan tidak enak badan, panas dingin
• Lesu, tidak nafsu makan, mual
• Nyeri kepala
• Diare atau sebaliknya
• Anoreksia, kehilangan berat badan
• Batuk, nyeri otot
• Nyeri perut, perut kaku dan bengkak

 Menyusul gejala klinis yang lain


1. DEMAM
Demam berlangsung 3 minggu
• Minggu I : Demam remiten, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada sore dan
malam hari
• Minggu II : Demam terus mengigau
• Minggu III : Demam mulai turun secara berangsur - angsur
2. GANGGUAN PADA SALURAN PENCERNAAN
• Lidah kotor yaitu ditutupi selaput kecoklatan kotor, ujung dan tepi kemerahan, jarang disertai
tremor
• Hati dan limpa membesar yang nyeri pada perabaan
• Terdapat konstipasi, diare
3. GANGGUAN KESADARAN
• Kesadaran yaitu apatis – somnolen
• Gejala lain “ROSEOLA” (bintik-bintik kemerahan pada kulit karena emboli hasil dalam kapiler
kulit) (Rahmad Juwono, 1996).
C.   Tanda dan Gejala Penyakit Demam Tifoid lainnya:
          Penyakit ini bisa menyerang saat bakteri tersebut masuk melalui makanan atau minuman,
sehingga terjadi infeksi saluran pencernaan yaitu usus halus. Kemudian mengikuti peredaran
darah, bakteri ini mencapai hati dan limpa sehingga berkembang biak disana yang menyebabkan
rasa nyeri saat diraba.
          Gejala klinik demam Tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan
bahkan dapat tanpa gejala (asimtomatik). Secara garis besar, tanda dan gejala yang ditimbulkan
antara lain ;
1.  Demam lebih dari seminggu. Siang hari biasanya terlihat segar namun menjelang malamnya
demam tinggi dan berhalusinasi

2.      Lidah kotor. Bagian tengah berwarna putih dan pinggirnya merah. Biasanya anak akan
merasa lidahnya pahit dan cenderung ingin makan yang asam-asam atau pedas.

3.      Mual Berat sampai muntah. Bakteri Salmonella typhi berkembang biak di hatidan limpa,
Akibatnya terjadi pembengkakan dan akhirnya menekan lambung sehingga terjadi rasa mual.
Dikarenakan mual yang berlebihan, akhirnya makanan tak bisa masuk secara sempurna dan
biasanya keluar lagi lewat mulut.

4.      Diare atau Mencret. Sifat bakteri yang menyerang saluran cerna menyebabkan gangguan
penyerapan cairan yang akhirnya terjadi diare, namun dalam beberapa kasus justru terjadi
konstipasi (sulit buang air besar).

5.     Lemas, pusing, dan sakit perut. Demam yang tinggi menimbulkan rasa lemas, pusing.
Terjadinya pembengkakan hati dan limpa menimbulkan rasa sakit di perut.

6.    Mimisan ataupun pingsan tak sadarkan diri. Penderita umumnya lebih merasakan nyaman
dengan berbaring tanpa banyak pergerakan, namun dengan kondisi yang parah seringkali terjadi
gangguan kesadaran.

D. Cara Penularan Penyakit Demam Tifoid


Penyakit demam Tifoid ini bisa menyerang saat kuman tersebut masuk melalui makanan atau
minuman, sehingga terjadi infeksi saluran pencernaan yaitu usus halus. Dan melalui peredaran
darah, kuman sampai di organ tubuh terutama hati dan limpa. Ia kemudian berkembang biak
dalam hati dan limpa yang menyebabkan rasa nyeri saat diraba.

E. Diet Demam Typhoid

          Diet demam thypoid adalah diet yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan makan
penderita thypoid dalam bentuk makanan lunak rendah serat. Tujuan utama diet demam thypoid
adalah memenuhi kebutuhan nutrisi penderita demam thypoid dan mencegah
kekambuhan. Penderita penyakit demam Tifoid selama menjalani perawatan haruslah mengikuti
petunjuk diet yang dianjurkan oleh dokter untuk di konsumsi, antara lain:
a. Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin & protein.
b. Tidak mengandung banyak serat.
c. Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas.
d. Makanan lunak diberikan selama istirahat.

Makanan dengan rendah serat dan rendah sisa bertujuan untuk memberikan makanan sesuai
kebutuhan gizi yang sedikit mungkin meninggalkan sisa sehingga dapat membatasi volume
feses, dan tidak merangsang saluran cerna. Pemberian bubur saring, juga ditujukan untuk
menghindari terjadinya komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Syarat-syarat
diet sisa rendah adalah:

1.     Energi cukup sesuai dengan umur, jenis kelamin dan aktivitas

2.     Protein cukup, yaitu 10-15% dari kebutuhan energi total

3.     Lemak sedang, yaitu 10-25% dari kebutuhan energi total

4.     Karbohidrat cukup, yaitu sisa kebutuhan energi total

5.  Menghindari makanan berserat tinggi dan sedang sehingga asupan serat maksimal 8 gr/hari.
Pembatasan ini disesuaikan dengan toleransi perorangan

6.  Menghindari susu, produk susu, daging berserat kasar (liat) sesuai   dengan toleransi perorangan.

7.    Menghindari makanan yang terlalu berlemak, terlalu manis, terlalu asam dan berbumbu   tajam.

8.   Makanan dimasak hingga lunak dan dihidangkan pada suhu tidak terlalu panas dan dingin

9.    Makanan sering diberikan dalam porsi kecil.

10.    Bila diberikan untuk jangka waktu lama atau dalam keadaan khusus, diet perlu disertai
suplemen vitamin dan mineral, makanan formula, atau makanan parenteral.
 

Makanan yang dianjurkan antara lain :


   1. Sumber karbohidrat : beras dibubur/tim, roti bakar, kentang rebus, krakers, tepung-tepungan
dibubur atau dibuat puding
                 2. Sumber protein hewani: daging empuk, hati, ayam, ikan direbus, ditumis,
dikukus,diungkep, dipanggang; telur direbus, ditim, diceplok air, didadar, dicampur dalam
makanan dan minuman; susu maksimal 2 gelas per hari  
     3. Sumber protein nabati : tahu, tempe ditim, direbus, ditumis; pindakas; susu kedelai
   4. Sayuran : sayuran berserat rendah dan sedang seperti kacang panjang, buncis muda, bayam, labu
siam, tomat masak, wortel  direbus, dikukus, ditumis
     5.  Buah-buahan : semua sari buah; buah segar yang matang (tanpa kulit dan biji) dan tidak banyak
menimbulkan gas seperti pepaya , pisang, jeruk, alpukat
    6. Lemak nabati : margarin, mentega, dan minyak dalam jumlah terbatas untuk menumis, mengoles
dan setup
     7.  Minuman : teh encer, sirup
     8.  Bumbu : garam, vetsin, gula, cuka, salam, laos, kunyit, kunci dalam jumlah terbatas 
Sedangkan makanan yang tidak dianjurkan adalah :
         1. Sumber karbohidrat : beras ketan, beras tumbuk/merah, roti whole wheat, jagung, ubi,
singkong, talas, tarcis, dodol dan kue-kue lain yang manis dan gurih
     2. Sumber protein hewani : daging berserat kasar (liat), serta daging, ayam, ikan diawetkan, telur
mata sapi, didadar
        3. Sumber protein nabati : Kacang merah serta kacang-kacangan kering seperti kacang tanah,
kacang hijau, kacang kedelai, dan kacang tolo
      5. Sayuran : sayuran yang berserat tinggi seperti : daun singkong, daun katuk, daun pepaya, daun
dan buah melinjo, oyong,timun serta semua sayuran yang dimakan mentah
         6. Buah-buahan : buah-buahan yang dimakan dengan kulit seperti apel, jambu biji,   jeruk yang
dimakan dengan kulit ari; buah yang menimbulkan gas seperti durian dan nangka
            7. Lemak : minyak untuk menggoreng, lemak hewani, kelapa dan santan
            8. Minuman : kopi dan teh kental; minuman yang mengandung soda dan alkohol
            9. Bumbu : cabe dan merica
       Diet dengan semua nutrisi penting
 
Energi
Dianjurkan untuk meningkatkan asupan energi dengan 10-20% karena kenaikan suhu tubuh.
Awalnya, selama tahap akut, pasien mungkin dapat hanya mengkonsumsi 600-1200kcal/day,
tetapi asupan energi harus berangsur-angsur meningkat dengan pemulihan dan toleransi
ditingkatkan.
Protein
Kebutuhan protein lebih terkait dengan keparahan dan durasi infeksi daripada ketinggian demam.
Karena ada kerusakan jaringan yang berlebihan, asupan protein harus ditingkatkan untuk 1,5
sampai 2gm protein / kg / berat badan / hari. Untuk meminimalkan kehilangan jaringan, makanan
protein nilai biologis tinggi seperti susu dan telur harus digunakan secara bebas karena mereka
yang paling mudah dicerna dan diserap. Untuk mencapai hal ini, makan secara teratur harus
ditambah dengan minuman protein tinggi.
Carbohydrares
Asupan karbohidrat liberal disarankan untuk mengisi toko glikogen habis tubuh. Mudah dicerna,
karbohidrat juga dimasak seperti pati sederhana, glukosa, madu, gula tebu dll harus dimasukkan
karena mereka memerlukan pencernaan lebih sedikit dan berasimilasi dengan baik.
Diet Serat
Sebagai gejala tipus termasuk diare dan lesi di saluran usus, segala bentuk iritasi harus
dihilangkan dari diet. Semua serat, kasar menjengkelkan harus, karena itu akan dihindari dalam
diet, karena merupakan iritan mekanik.
Lemak
Karena adanya diare, emulsi lemak bentuk seperti krim, mentega, susu, kuning telur, harus
dimasukkan dalam diet, karena mereka mudah dicerna. Makanan yang digoreng yang sulit untuk
dicerna harus dihindari.
Mineral
Karena hilangnya elektrolit yang berlebihan seperti sup natrium, kalium dan klorida asin, kaldu,
jus buah, susu harus dimasukkan untuk mengkompensasi hilangnya elektrolit. Suplemen zat besi
harus diberikan untuk mencegah anemia.
Vitamin
Karena infeksi dan demam resultants, ada kebutuhan untuk meningkatkan asupan Vitamin A dan
C.
Cairan
Dalam rangka untuk mengkompensasi kerugian melalui kulit dan keringat dan juga untuk
memastikan volume yang memadai urin untuk mengeluarkan limbah, asupan cairan liberal
sangat penting dalam bentuk minuman, sup, jus, air biasa dll
Jadi energi yang tinggi, protein tinggi, diet cairan penuh dianjurkan di awal dan segera setelah
demam turun, serat, hambar rendah, diet lunak harus diberikan kepada pasien. 
Contoh Menu Makanan untuk Penderita Tifus
Makan Pagi :
- Bubur ayam tanpa bumbu kuning
   saring
- Telur Rebus Matang
-  Susu
Makan Siang :
- Tim saring
- Abon ayam tabur
- Sup/Sayur bening labu siam
- Semangka potong
Makan Malam :
- Tim saring (Blender,dengan campuran dada ayam,udang kupas,wortel,brokoli,sedikit bawang
putih)
- Sup tahu rebus
- Pudding buah susu
- Jus melon
 
                   Contoh Menu Makanan Jika Tifus Mereda

                                               
                                                   
 Makan Pagi:
- Nasi tim
- Dadar gulung isi/Orak-arik
- Sup bayam
- Pisang 
- Susu
Makan Siang
- Nasi tim
- Sup tofu/sapo tahu
- Kue lumpur
- Teh
- Pepaya potong tabur gula
Makan Malam 
- Nasi tim
- Perkedel kentang
- Kuah soto bumbu ringan
- Jus tomat
- Susu

Catatan:
- Pastikan banyak minum air putih.
- Tirah baring (istirahat total).
- Minum obat yang dianjurkan dokter secara teratur.
- Multivitamin.
- Selalu jaga kebersihan.
- Jauhkan pasien dari hewan peliharaan.

Pencegahan :

 Makanlah makanan dan minuman yang sudah pasti matang.


 Lindungi makanan dari lalat, kecoa dan tikus ataupun hewan peliharaan
 Cucilah tangan dengan sabun setelah  beraktivitas 
 Hindari jajan ditempat yang kurang bersih
Pengertian

Febris typhoid adalah merupakan salah satu penyakit infeksi akut usus halus yang menyerang
saluran pencernaan disebabkan oleh kuman salmonella typhi dari terkontaminasinya air /
makanan yang biasa menyebabkan enteritis akut disertai gangguan kesadaran (Suriadi dan
Yuliani, R., 2001).
Demam typhoid adalah penyakit sistemik akut akibat infeksi salmonella typhi yang ditandai
dengan malaise (Corwin, 2000).

B.     Etiologi
Menurut Ngastiyah (2005)
Penyebab utama dari penyakit ini adalah kumanSalmonella typhosa, Salmonella typhi, A, B, dan
C. Kuman ini banyak terdapat di kotoran, tinja manusia, dan makanan atau minuman yang
terkena kuman yang di bawa oleh lalat. Sebenarnya sumber utama dari penyakit ini adalah
lingkungan yang kotor dan tidak sehat. Tidak seperti virus yang dapat beterbangan di udara,
bakteri ini hidup di sanitasi yang buruk seperti lingkungan kumuh, makanan, dan minuman yang
tidak higienis.
Salmonella typosa merupakan basil gram negatif yang bergerak dengan bulu getar, tidak
berspora, mempunyai sekurang-kurangnya 3 macam antigen, yaitu antigen O,antigen somatik
yang tidak menyebar, terdiri dari zat komplek lipopolisakarida,antigen Vi (kapsul) yang meliputi
tubuh kuman dan melindungi O antigen terhadap fagositosis dan antigen H (flagella). Ketiga
jenis antigen tersebut dalam tubuh manusia akan menimbulkan pembentukkan tiga macam
antibody yang biasa disebut agglutinin (Arif Mansjoer, 2000).

C.    Patofisiologi
Corwin (2000)
Mengemukakan bahwa kuman salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui mulut
dengan makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan
sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque pleyeri di liteum
terminalis yang mengalami hipertropi. Ditempat ini komplikasi perdarahan dan
perforasi intestinal dapat terjadi. Kuman salmonella typhi kemudian menembus ke dalam lamina
profia, masuk aliran limfe dan mencapai kelenjar limfe mesentrial yang juga mengalami
hipertropi.

Setelah melewati kelenjar-kelenjar limfe ini, salmonella typhi masuk aliran darah melalui duktus
toracicus. Kuman-kuman salmonella typhi mencapai hati melalui sirkulasi portal dari
usus. Salmonella typhi bersarang di plaque pleyeri, limfe, hati dan bagian-bagian lain dari sistem
retikulo endotelial. Semula disangka demam dan gejala-gejala syoksemia pada demam typhoid
disebabkan oleh endotoksemia, tetapi kemudian berdasarkan penelitian eksperimental
disimpulkan bahwa endotoksemia bukan penyebab utama demam dan gejala-gejala toksemia
pada demam typhoid. Endotoksin salmonella typhi salmonella typhi berperan dalam patogenesis
demam typhoid, karena membantu proses terjadinya inflamasi lokal pada jaringan
tempat salmonella typhi berkembang biak. Demam pada typhoid disebabkan karena salmonella
typhi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan pelepasan septi pirogen oleh leukosit pada
jaringan yang meradang.
E. Manifestasi Klinik
Menurut Corwin (2000),
Proses bekerjanya bakteri ini ke dalam tubuh manusia cukup cepat, yaitu 24-72 jam setelah
masuk, meski belum menimbulkan gejala, tetapi bakteri telah mencapai organ-organ hati,
kandung empedu, limpa, sumsum tulang, dan ginjal. Rentang waktu antara masuknya kuman
sampai dengan timbulnya gejala penyakit, sekitar 7 hari. Gejalanya sendiri baru muncul setelah 3
sampai 60 hari. Pada masa-masa itulah kuman akan menyebar dan berkembang biak.

Soedarto (2007) mengemukakan bahwa manifestasi klinis klasik yang umum ditemui pada
penderita demam typhoid biasanya disebut febris remitter atau demam yang bertahap naiknya
dan berubah-ubah sesuai dengan keadaan lingkungan dengan perincian :
§  Minggu pertama, demam lebih dari 40°C, nadi yang lemah bersifat dikrotik, dengan denyut nadi
80-100 per menit.
§  Minggu kedua, suhu tetap tinggi, penderita mengalami delirium, lidah tampak kering mengkilat,
denyut nadi cepat. Tekanan darah menurun dan limpa dapat diraba.
§  Minggu ketiga,
§  Jika keadaan membaik : suhu tubuh turun, gejala dan keluhan berkurang.
§  Jika keadaan memburuk : penderita mengalami delirium, stupor, otot-otot bergerak terus, terjadi
inkontinensia alvi dan urine. Selain itu terjadi meteorisme dan timpani, dan tekanan perut
meningkat, disertai nyeri perut. Penderita kemudian kolaps, dan akhirnya meninggal dunia akibat
terjadinya degenerasi mikardial toksik.
§  Minggu keempat, bila keadaan membaik, penderita akan mengalami penyembuhan meskipun pada
awal minggu ini dapat dijumpai adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena femoralis.

F. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Corwin (2000)
Pemeriksaan diagnostik untuk pasien dengan kasus febris typhoid antara lain :
§  Pemeriksaan Leukosit
Pada febris typhoid terhadap ileumopenia dan limfobrastis relatif tetap kenyataan leukopenia
tidaklah sering dijumpai. Pada kasus febris typhoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi pada
berada dalam batas normal, walaupun kadang-kadang terikat leukositanis tidak ada komplikasi
berguna untuk febris typhoid.
§  Pemeriksaan SGOT dan SGPT
Sering kali meningkat tetapi kembali normal setelah sembuhnya febris typhoid, kenaikan SGOT
dan SGPT tidak memerlukan pembatasan pengobatan.
§  Kenaikan Darah
Gerakan darah (+) memastikan febris typhoid tetapi biakan (-) tidak menyingkirkan febris
typhoid. Hal ini karena hasil biakan darah bergantung pada beberapa faktor, yaitu :
§  Tekhnik pemeriksaan laboratorium.
§  Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit.
§  Laksinasi di masa lampau.
§  Pengobatan dengan obat anti mikroba.
§  Uji Widal
Suatu uji dimana antara antigen dan antibodi yang spesifik terhadap saluran monolle typhi dalam
serum pasien dengan febris typhoid juga pada orang yang pernah terkena salmonella typhi dan
pada orang yang pernah divaksinasi terhadap febris typhoid dengan tujuan untuk menentukan
adanya aglutinin dalam serum penderita yang disangka menderita febris typhoid. Hasil
pemeriksaan widal, titer antibodi terhadap antigen O yang bernilai ≥ 1/200 atau peningkatan ≥ 4
kali antara masa akut dan konvalesens mengarah pada demam typhoid, meskipun dapat terjadi
positif ataupun negatif palsu akibat adanya reaksi silang antara spesies salmonella.
Diagnosis mikrobiologis merupakan metode diagnosis yang paling spesifik.Kultur darah dan
sum-sum tulang positif pada minggu pertama dan kedua, sedang minggu ketiga dan
keempat kultur tinja dan kultur urin positif (Wong, 2003).

G. Penatalaksanaan
 (Soedarto, 2007)
1. Secara Fisik
a. Mengawasi kondisi klien dengan : Pengukuran suhu secara berkala setiap 4-6 jam.
    Perhatikan apakah anak tidur gelisah, sering terkejut, atau mengigau. Perhatikan pula
    apakah mata anak cenderung melirik ke atas atau apakah anak mengalami kejang-kejang.
    Demam yang disertai kejang yang terlalu lama akan berbahaya bagi perkembangan otak,
    karena oksigen tidak mampu mencapai otak. Terputusnya suplai oksigen ke otak akan
    berakibat rusaknya sel-sel otak. Dalam keadaan demikian, cacat seumur hidup dapat terjadi
    berupa rusaknya fungsi intelektual tertentu.
b. Bukalah pakaian dan selimut yang berlebihan
c. Memperhatikan aliran udara di dalam ruangan
d. Jalan nafas harus terbuka untuk mencegah terputusnya suplai oksigen ke otak yang akan
    berakibat rusaknya sel – sel otak.
e. Berikan cairan melalui mulut, minum sebanyak –banyaknya
   Minuman yang diberikan dapat berupa air putih, susu (anak diare menyesuaikan), air buah
   atau air teh. Tujuannnya adalah agar cairan tubuh yang menguap akibat naiknya suhu tubuh
   memperoleh gantinya.
f. Tidur yang cukup agar metabolisme berkurang
g. Kompres dengan air biasa pada dahi, ketiak,lipat paha. Tujuannya untuk menurunkan
    suhu tubuh dipermukaan tubuh anak. Turunnya suhu tubuh dipermukaan tubuh ini dapat
    terjadi karena panas tubuh digunakan untuk menguapkan air pada kain kompres. Jangan
   menggunakan air es karena justru akan membuat pembuluh darah menyempit dan panas
   tidak dapat keluar. Menggunakan alkohol dapat menyebabkan iritasi dan intoksikasi
  (keracunan).
h. Saat ini yang lazim digunakan adalah dengan kompres hangat suam-suam kuku.   
   Kompres air hangat atau suam-suam kuku maka suhu di luar terasa hangat dan tubuh akan
   menginterpretasikan bahwa suhu diluar cukup panas. Dengan demikian tubuh akan
   menurunkan kontrol pengatur suhu di otak supaya tidak meningkatkan pengatur suhu tubuh
   lagi. Di samping itu lingkungan luar yang hangat akan membuat pembuluh darah tepi di
   kulit melebar atau mengalami vasodilatasi, juga akan membuat pori-pori kulit terbuka
   sehingga akan mempermudah pengeluaran panas dari tubuh.
2. Obat-obatan Antipiretik
  Antipiretik bekerja secara sentral menurunkan suhu di pusat pengatur suhu di hipotalamus.
  Antipiretik berguna untuk mencegah pembentukan prostaglandin dengan jalan menghambat
  enzim cyclooxygenase sehinga set point hipotalamus direndahkan kembali menjadi normal
  yang mana diperintah memproduksi panas diatas normal dan mengurangi pengeluaran
panas tidak ada lagi.

Penderita tifus perlu dirawat dirumah sakit untuk isolasi (agar penyakit ini tidak menular ke
orang lain). Penderita harus istirahat total minimal 7 hari bebas panas. Istirahat total ini untuk
mencegah terjadinya komplikasi di usus. Makanan yang dikonsumsi adalah makanan lunak dan
tidak banyak berserat. Sayuran dengan serat kasar seperti daun singkong harus dihindari, jadi
harus benar-benar dijaga makanannya untuk memberi kesempatan kepada usus menjalani upaya
penyembuhan.

Pengobatan yang diberikan untuk pasien febris typoid


adalah antibiotika golonganChloramphenicol dengan dosis 3-4 x 500 mg/hari; pada anak
dosisnya adalah 50-100 mg/kg berat badan/hari. Jika hasilnya kurang memuaskan dapat
memberikan obat seperti :
§  Tiamfenikol, dosis dewasa 3 x 500 mg/hari, dosis anak: 30-50 mg/kg berat badan/hari.
§  Ampisilin, dosis dewasa 4 x 500 mg, dosis anak 4 x 500-100 mg/kg berat badan/hari.
§  Kotrimoksasol ( sulfametoksasol 400 mg + trimetoprim 80 mg ) diberikan dengan dosis 2 x 2
tablet/hari.

Dan untuk pencegahan agar tidak terjangkit penyakit febris typoid perlu memperhatikan beberpa
hal sebagai berikut :
§  Harus menyediakan air yang memenuhi syarat. Misalnya, diambil dari tempat yang higienis,
seperti sumur dan produk minuman yang terjamin. Jangan gunakan air yang sudah tercemar.
Apabila menggunakan air yang harus dimasak terlebih dahulu maka dimasaknya harus 1000C.
§  Menjaga kebersihan tempat pembuangan sampah.
§  Upayakan tinja dibuang pada tempatnya dan jangan pernah membuangnya secara sembarangan
sehingga mengundang lalat karena lalat akan membawa bakteri Salmonella typhi.
§  Bila di rumah banyak lalat, basmilah hingga tuntas.
§  Daya tahan tubuh juga harus ditingkatkan ( gizi yang cukup, tidur cukup dan teratur, olah raga
secara teratur 3-4 kali seminggu). Hindarilah makanan yang tidak bersih. Belilah makanan yang
masih panas sehingga menjamin kebersihannya. Jangan banyak jajan makanan/minuman di luar
rumah.

H. Komplikasi
    Menurut Corwin (2000)
·         Takikardi
·         Insufisiensi jantung
·         Insufisiensi pulmonal
·         Kejang demam

  I. Konsep Asuhan Keperawatan


     Menurut Doenges (2002)
a. Pengkajian
      Data dasar pengkajian pasien dengan febris typhoid adalah :
1) Aktivitas atau istirahat
Gejala yang ditemukan pada kasus febris typhoid antara lain kelemahan, malaise,
kelelahan, merasa gelisah dan ansietas, cepat lelah dan insomnia.
2) Sirkulasi
Tanda takikardi, kemerahan, tekanan darah hipotensi, kulit membrane mukosa kotor,
turgor buruk, kering dan lidah pecah-pecah akan ditemukan pada pasien febris typhoid.
3) Integritas ego
Gejala seperti ansietas, emosi, kesal dan faktor stress serta tanda seperti menolak dan
depresi juga akan ditemukan dalam pengkajian integrits ego pasien.
4) Eliminasi
Pengkajian eiminasi akan menemukan gejala tekstur feses yang bervariasi dari lunak
sampai bau atau berair, perdarahan per rectal dan riwayat batu ginjal dengan tanda menurunnya
bising usus, tidak ada peristaltik dan ada haemoroid.
5) Makanan dan cairan
Pasien akan mengalami anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan dan tidak toleran
terhadap diet. Dan tanda yang ditemukan berupa penurunan lemak sub kutan, kelemahan hingga
inflamasi rongga mulut.
6) Hygiene
Pasien akan mengalami ketidakmampuan mempertahankan perawatan diri dan bau badan.
7) Nyeri atau ketidaknyamanan
Nyeri tekan pada kuadran kiri bawah akan dialami pasien dengan titik nyeri yang dapat
berpindah.
8) Keamanan
Pasien mengalami anemia hemolitik, vaskulotis, arthritis dan peningkatan suhu tubuh
dengan kemungkinan muncul lesi kulit.

J. Diagnosa Keperawatan
     Doenges (2002)
1. Hyperthermia berhubungan dengan proses infeksi.
2. Resiko kurang volume cairan berhubungan dengan intake yang kurang.
3. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuan tubuh berhubungan dengan
    nafsu makan yang menurun.
          4. Kurang pengetahuan tentang kondisi penyakit, kebutuhan pengobatan dan prognosis
              berhubungan dengan kurang informasi atau informasi yang tidak adekuat.

K. Intervensi Keperawatan
             Doenges (2002)
Diagnosa Keperawatan 1 : Hypertermi berhubungan dengan proses
infeksi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan  menujukan temperatur dalan batas
              normal
Kriteria hasil :
  1. Bebas dari kedinginan
  2. Suhu tubuh stabil 36-37 C
Intervensi :
1) Monitor suhu tubuh minimal tiap 2 jam.
    Rasional: Mengetahui perubahan suhu, suhu 38,9-41,1C menunjukkan proses inflamasi.
2) Jelaskan upaya untuk mengatasi hipertermi dan bantu klien/ keluarga dalam
melaksanakan          
    upaya tersebut, seperti: dengan memberikan kompres dingin pada daerah frontal, lipat
paha                          
     dan aksila, selimuti pasien untuk mencegah hilangnya kehangatan tubuh, tingkatkan intake
     cairan dengan perbanyak minum.
     Rasional: Membantu mengurangi demam.

3) Observasi tanda-tanda vital (Tekanan darah, Suhu, Nadi dan Respirasi) setiap 2-3 jam.
    Rasional: Tanda-tanda vital dapat memberikan gambaran keadaan umum klien.

4) Monitor penurunan tingkat kesadaran.


    Rasional: Menentukan intervensi selanjutnya untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.
5) Anjurkan keluarga untuk membatasi aktivitas klien.
    Rasional: Untuk mempercepat proses penyembuhan.

6) Kolaborasi dengan tim medis lain untuk pemberian obat antipiretik dan antibiotik.
   Rasional: Obat antiperitik untuk menurunkan panas dan antibiotik mengobati infeksi basil
   salmonella typhi.

Diagnosa keperawatan 2 : Kekurangan volume cairan berhubungan


dengan intake yang kurang dan deperosis
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan perawatan volume
cairan adekuat
Kriteria hasil :
  1. tanda vital dalam batas normal
  2. nadi perifer teraba kuat
  3. haluran urine adekuat
  4. tidak ada tanda-tanda dehidrasi
Intervensi :
1) Monitor status hidrasi (kelembaban membran mukosa, turgor kulit, nadi adekuat, tekanan
darah ortostatik) jika diperlukan.
    Rasional: Perubahan status hidrasi, membran mukosa, turgor kulit menggambarkan berat
    ringannya kekurangan cairan.

2) Monitor tanda-tanda vital


   Rasional: Perubahan tanda vital dapat menggambarkan keadaan umum klien.

3) Monitor masukan makanan/ cairan dan hitung intake kalori harian.


    Rasional: Memberikan pedoman untuk menggantikan cairan.

4) Dorong keluarga untuk membantu pasien makan.


    Rasional: Keluarga sebagai pendorong pemenuhan kebutuhan cairan klien.

5) Kolaborasi dengan tim medis lain untuk pemberian cairan IV.


    Rasional: Pemberian cairan IV untuk memenuhi kebutuhan cairan.
Diagnosa Keperawatan 3: Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan intake kurang akibat mual, muntah, anoreksia, atau output yang berlebihan akibat diare.

Intervensi:
1) Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori.
    Rasional: Mengetahui penyebab pemasukan yang kurang sehingga dapat menentukan
intervensi yang sesuai dan efektif.

2) Monitor adanya penurunan berat badan.


    Rasional: Kebersihan nutrisi dapat diketahui melalui peningkatan berat badan 500    
    gr/minggu.

3) Monitor lingkungan selama makan.


     Rasional: Lingkungan yang nyaman dapat menurunkan stress dan lebih kondusif untuk
    makan.

4) Monitor mual dan muntah.


   Rasional: Mual dan muntah mempengaruhi pemenuhan nutrisi.

5) Libatkan keluarga dalam kebutuhan nutrisi klien.


   Rasional: Meningkatkan peran serta keluarga dalam pemenuhan nutrisi untuk mempercepat
   proses penyembuhan.

6) Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C.


   Rasional: Protein dan vitamin C dapat memenuhi kebutuhan nutrisi.

7) Berikan makanan yang terpilih.


  Rasional: Untuk membantu proses dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi.

8) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan
    pasien.
   Rasional: Membantu dalam proses penyembuhan.

Diagnosa Keperawatan 4: Kurang pengetahuan tentang kondisi penyakit, kebutuhan pengobatan


dan prognosis berhubungan dengan kurang informasi atau informasi yang tidak adekuat.

Intervensi:
1) Kaji sejauh mana tingkat pengetahuan keluarga klien tentang penyakit anaknya.
Rasional: Mengetahui pengetahuan ibu tentang penyakit demam typoid.

2) Beri pendidikan kesehatan tentang penyakit dan perawatan klien.


Rasional: Agar ibu klien mengetahui tentang penyakit demam typoid, penyebab, tanda dan
gejala, serta perawatan dan pengobatan penyakit demam typoid.

3) Beri kesempatan keluarga untuk bertanya bila ada yang belum dimengerti.
Rasional: Supaya keluarga lebih memahami tentang penyakit tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Corwin, 2000, Hand Book Of Pathofisiologi, EGC, Jakarta.


Doenges, M.E. Geisler, A.C. Moorhouse, M.F., 2000, Rencana Keperawatan Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Keperawatan, (terjemahan), Edisi VIII, EGC,
Jakarta.Hidayat, A. A., 2005, Pengantar Ilmu Keperawatan Anak, Salemba Medika, Jakarta.
Nanda, 2005, Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA : Definisi dan Klasifikasi, Prima Medika,
Jakarta.
Ngastiyah, 2005, Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta.
Robert, 2007, Penyakit – Penyakit Tropis, Artikel diakses dari www.who_peditric.com
Soedarto, 2007, Sinopsis Kedokteran Tropis, Airlangga Universitas Press, Surabaya.
Suriadi dan Yuliani, R., 2001, Asuhan Keperawatan Pada Anak, CV. Sagung Seto, Jakarta

Demam tifoid, tifus atau typhoid adalah penyakit infeksi yang paling sering dicxemaskan
bila saat seseor4ang menderita panas. memang setiap tifus selalu terjadi manifestasi
demam tetapi tidak semua demam harus didiagnosis tifus, justru pneyebab paling sering
demam adalah infeksi virus. Deteksi dan diagnosis tifus relatif tidak mudah karena pada
awalnya manifestasi klinis penyakit ini tidak khas dan mirip berbagai penyakit lainnya.
Apalagi pemeriksaan laboratorium yang sering dipakai saat ini tidak sensitif atau sering
mengalami bias untuk mengenali tifus.
Demam tifoid, atau typhoid adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica,
khususnya turunannya yaitu Salmonella Typhi.Penyakit ini dapat ditemukan di seluruh dunia,
dan disebarkan melalui makanan dan minuman yang telah tercemar oleh tinja.

Demam tifoid disebabkan oleh jenis salmonella tertentu yaitu s. Typhi, s. Paratyphi A, dan S.
Paratyphi B dan kadang-kadang jenis salmonella yang lain. Demam yang disebabkan oleh s.
Typhi cendrung untuk menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi salmonella yng lain.
Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat motil, tidak membentuk spora,
dan tidak berkapsul. Kebanyakkan strain meragikan glukosa, manosa dan manitol untuk
menghasilkan asam dan gas, tetapi tidak meragikan laktosa dan sukrosa. Organisme salmonella
tumbuh secara aerob dan mampu tumbuh secara anaerob fakultatif. Kebanyakan spesies resistent
terhadap agen fisik namun dapat dibunuh dengan pemanasan sampai 54,4º C (130º F) selama 1
jam atau 60 º C (140 º F) selama 15 menit. Salmonella tetap dapat hidup pada suhu ruang dan
suhu yang rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu
dalam sampah, bahan makannan kering, agfen farmakeutika an bahan tinja.

Salmonella memiliki antigen somatik O dan antigen flagella HH. Antigen O adlah komponen
lipopolisakarida dinding sel yang stabil terhadap panas sedangkan antigen H adalah protein labil
panas. Kuman ini dapat hidup lama di air yang kotor, makanan tercemar, dan alas tidur yang
kotor. Siapa saja dan kapan saja dapat menderita penyakit ini. Termasuk bayi yang dilahirkan
dari ibu yang terkena demam tifoid.  Lingkungan yang tidak bersih, yang terkontaminasi dengan
Salmonella typhi merupakan penyebab paling sering timbulnya penyakit tifus. Kebiasaan tidak
sehat seperti jajan sembarangan, tidak mencuci tangan menjadi penyebab terbanyak penyakit ini.
Penyakit tifus cukup menular lewat air seni atau tinja penderita. Penularan juga dapat dilakukan
binatang seperti lalat dan kecoa yang mengangkut bakteri ini dari tempat-tempat kotor.
Masa inkubasi penyakit ini rata-rata 7 sampai 14 hari. Manifestasi klinik pada anak umumnya
bervariasi. Demam adalah gejala yang paling utama di antara semua gejala klinisnya. Pada
minggu pertama, tidak ada gejala khas dari penyakit ini. Bahkan, gejalanya menyerupai penyakit
infeksi akut lainnya. Gejala yang muncul antara lain demam, sering bengong atau tidur melulu,
sakit kepala, mual, muntah, nafsu makan menurun, sakit perut, diare atau justru sembelit (sulit
buang air besar) selama beberapa hari. Peningkatan suhu bertambah setiap hari. Setelah minggu
kedua, gejala bertambah jelas. Demam yang dialami semakin tinggi, lidah kotor, bibir kering,
kembung, penderita terlihat acuh tidak acuh, dan lain-lain.

S. typhi masuk ketubuh manusia melalui makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman
dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus.  Setelah mencapai
usus, Salmonella typhosa menembus ileum ditangkap oleh sel mononuklear, disusul bakteriemi I.
Setelah berkembang biak di RES, terjadilah bakteriemi II. Interaksi Salmonella dengan makrofag
memunculkan mediator-mediator. Lokal (patch of payer) terjadi hiperplasi, nekrosis dan ulkus.
Sistemik timbul gejala panas, instabilitas vaskuler, inisiasi sistem beku darah, depresi sumsum
tulang dll. Imunulogi. Humoral lokal, di usus diproduksi IgA sekretorik yang berfungsi
mencegah melekatnya salmonella pada mukosa usus. Humoral sistemik, diproduksi IgM dan IgG
untuk memudahkan fagositosis Salmonella oleh makrofag. Seluler berfungsi untuk membunuh
Salmonalla intraseluler

Banyak orang yang tidak terlihat sakit tapi berpotensi menyebarkan penyakit tifus. Inilah yang
disebut dengan pembawa penyakit tifus. Meski sudah dinyatakan sembuh, bukan tidak mungkin
mantan penderita masih menyimpan bakteri tifus dalam tubuhnya. Bakteri bisa bertahan
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Sebagian bakteri penyebab tifus ada yang bersembunyi
di kantong empedu. Bisa saja bakteri ini keluar dan bercampur dengan tinja. Bakteri ini dapat
menyebar lewat air seni atau tinja penderita.

Manifestasi klinis

Keluhan dan gejala Demam Tifoid tidak khas, dan bervariasi dari gejala seperti flu ringan sampai
tampilan sakit berat dan fatal yang mengenai banyak sistem organ. Secara klinis gambaran
penyakit Demam Tifoid berupa demam berkepanjangan, gangguan fungsi usus, dan keluhan
susunan saraf pusat.

1. Panas lebih dari 7 hari, biasanya mulai dengan sumer yang makin hari makin meninggi,
sehingga pada minggu ke 2 panas tinggi terus menerus terutama pada malam hari.
2. Gejala gstrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual, muntah, dan kembung,
hepatomegali, splenomegali dan lidah kotor tepi hiperemi.
3. Gejalah saraf sentral berupa delirium, apatis, somnolen, sopor, bahkan sampai koma.

Berbagai tanda dan gejala yang bisa timbul  :

 demam tinggi dari 39° sampai 40 °C (103° sampai 104 °F) yang meningkat secara
perlahan
 tubuh menggigil
 denyut jantung lemah (bradycardia)
 badan lemah (“weakness”)
 sakit kepala
 nyeri otot myalgia
 kehilangan nafsu makan
 konstipasi
 sakit perut
 pada kasus tertentu muncul penyebaran vlek merah muda (“rose spots”)

Penyakit yang mirip (Diagnosis Banding) 

  Influenza
  Malaria
 Bronchitis
 Sepsis
  Broncho Pneumonia
  I.S.K (Infeksi Saluran kencing)
 Gastroenteritis (infeksi Saluran Cerna: muntah atau diare)
 Keganasan : – Leukemia
 Tuberculosa – Lymphoma

Diagnosis

 Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang diperkuat
oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini masih dilakukan berbagai
penelitian yang menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode
terbaik dalam usaha penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh
 Berbagai metode diagnostik masih terus dikembangkan untuk mencari cara yang cepat,
mudah dilakukan dan murah biayanya dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi.
Hal ini penting untuk membantu usaha penatalaksanaan penderita secara menyeluruh
yang juga meliputi penegakan diagnosis sedini mungkin dimana pemberian terapi yang
sesuai secara dini akan dapat menurunkan ketidaknyamanan penderita, insidensi
terjadinya komplikasi yang berat dan kematian serta memungkinkan usaha kontrol
penyebaran penyakit melalui identifikasi karier.

 Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi


dalam empat kelompok, yaitu : pemeriksaan darah tepi; pemeriksaan bakteriologis
dengan isolasi dan biakan kuman; uji serologis; dan pemeriksaan kuman secara
molekuler.

Identifikasi kuman melalui isolasi atau biakan


Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam biakan dari
darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan
patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum
tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses.
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi jumlah darah yang diambil; perbandingan volume
darah dari media empedu; dan waktu pengambilan darah.

Identifikasi kuman melalui uji serologis

 Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi
antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL
yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan.4 Beberapa uji serologis yang
dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi : uji Widal; tes TUBEX®; metode
enzyme immunoassay (EIA), metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA),dan
pemeriksaan dipstik.
 Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas
dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena
tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk
melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau
monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan
penyakit).
 Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun 1896.
Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum
penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O)
dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi.
Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi
dalam serum.
 Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test) atau
uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan dalam
prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi
dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan.
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk
meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9
yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini
sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM
dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.
 Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini, beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.
 Metode Enzyme Immunoassay Dot didasarkan pada metode untuk melacak antibodi
spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM
menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM
dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis
dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan
deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen
dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M® yang merupakan modifikasi dari metode
Typhidot® telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan
kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.4
 Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila
dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal,
sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu
diikuti dengan uji Widal positif.2,8 Dikatakan bahwa Typhidot-M® ini dapat
menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan
diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.
 Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang
tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam
lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak
menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang
hanya mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman.
Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang
belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C
dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.
 Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG,
IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi
adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA.
Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan
tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu pertama
sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada
kasus dengan Brucellosis.
 Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan
membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan
antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini
menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik
dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang
lengkap.
Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil
kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia
perangkat pemeriksaan kultur secara luas.
 Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA
(asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam
nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui
identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.
 Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat
proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam
empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit.
Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang
memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium
penelitian.

Tes Widal yang tidak akurat sumber kesalahan diagnosis

 Di Indonesia pemeriksaan widal sebagai pemeriksaan penunjang untuk menegakkan


diagnosis tifus paling sering digunakan. Meskipun ternyata pemeriksaan ini sering
menimbulkan kerancuan dan mengakibatkan kesalahan diagnosis. Dalam penelitian
penulis didapatkan infeksi virus yang sering menjadi penyebab demam pada anak dan
orang dewasa ternyata juga terjadi peningkatan hasil widal yang tinggi pada minggu
pertama.
 Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain
sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan
status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari
masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta
reagen yang digunakan.9,13
 Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya
melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita
demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan pada
tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan
secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan
pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point).
Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer)
pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan
didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat.
 Dalam penelitian kecil yang dilakukan terhadap 29 anak didapatkan hasil widal yang
tinggi pada hari ke tiga hingga ke lima antara 1/320 hingga 1/1280. Setelah dilakukan
follow up dalam waktu demam pada minggu ke dua hasil widal tersebut menurun bahkan
sebagian kasus menjadi negatif. Padahal seharusnya pada penderita tifus nilai widal
tersebut seharusnya semakin meningkat pada minggu ke dua. Dalam follow up pada
minggu ke dua ternyata hasil nilai widal menghilang atau jauh menurun. Padahal
seharusnya akan pada penderita tifus seharusnya malahan semakin meningkat.
Karakteristik penderita adalah usia 8 bulan hingga 5 tahun, dengan rata-rata usia 2,6
tahun. Jenis kelamin laki-laki 41% dan perempuan 59%. Semua penderita menunjukkan
hasil kultur darah gall degatif dan semua penderita tidak diberikan antibiotika dan
mengalami self limiting disease atau penyembuhan sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa
penyebab infeksi pada kasus tersebut adalah infeksi virus.
 Yang menarik dalam kasus tersebut 10 penderita (34%) sebelumnya mengalami diagnosis
penyakit tifus sebanyak 2-4 kali dalam setahun. Sebagian besar penderita atau sekitar
89% pada kelompok ini adalah kelompok anak yang sering mengalami infeksi berulang
saluran napas. Dan sebagian besar lainnya atau sekitar 86% adalah penderita alergi.
Penelitian lain yang dilakukan penulis pada 44 kasus penderita demam beradarah,
didapatkan 12 (27%) anak didapatkan hasil widal O berkisar antara 240-360 dan 15
(34%) anak didapatkan hasil widal O 1/120. Semua penderita tersebut menunjukkan hasil
kultar darah gall negatif dan tidak diberikan terapi antibiotika membaik.
 Dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada infeksi virus pada penderita tertentu
terutama penderita alergi dapat meningkatkan nilai Widal. Banyak penderita alergi pada
anak yang mengalami peningkatan hasil widal dalam saat mengalami infeksi virus
tampak menarik untuk dilakukan penelitian lebih jauh. Diduga mekanisme hipersensitif
atau proses auto imun yang sering terganggu pada penderita alergi dapat ikut
meningkatkan hasil widal. Dengan adanya penemuan awal tersebut tampaknya sangat
berlawanan dengan pendapat yang banyak dianut sekarang bahwa peningkatan hasil
widal terjadi karena Indonesia merupakan daerah endemis tifus. Fenomena ini perlu
dilakukan penelitian lebih jauh khusus dalam hal biomolekuler dan imunopatofisiologi.
 Banyak akibat atau konsekuensi nyang ditimbulkan bila terjadi ”overdiagnosis tifus”.
Pertama penderita harus mengkonsumsi antibiotika jangka panjang padahal infeksi yang
terjadi adalah infeksi virus. Konsekuensi lain yang diterima adalah penderita seringkali
harus dilakukan rawat inap di rumah sakit. Hal lain yang terjadi seringkali penderita
seperti ini mengalami diagnosis tifus berulang kali. Semua kondisi tersebut diatas
akhirnya berakibat peningkatan biaya berobat yang sangat besar padahal seharusnya tidak
terjadi. Belum lagi akbat efek samping pemberian obat antibiotika jangka panjang yang
seharusnya tidak diberikan.

Penanganan

 Pengobatan penderita Demam Tifoid di Rumah Sakit terdiri dari pengobatan suportif
melipu+ti istirahat dan diet, medikamentosa, terapi penyulit (tergantung penyulit yang
terjadi). Istirahat bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan.
Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurag lebih
selama 14 hari. Mobilisasi dilakukan bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
 Diet dan terapi penunjuang dilakukan dengan pertama, pasien diberikan bubur saring,
kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien.
Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan tingkat dini yaitu
nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat
diberikan dengan aman. Juga perlu diberikan vitamin dan mineral untuk mendukung
keadaan umum pasien.
 Pada penderita penyakit tifus yang berat, disarankan menjalani perawatan di rumah sakit.
Antibiotika umum digunakan untuk mengatasi penyakit tifus. Waktu penyembuhan bisa
makan waktu 2 minggu hingga satu bulan.
 Tifus dapat berakibat fatal. Antibiotika, seperti ampicillin, kloramfenikol, trimethoprim-
sulfamethoxazole, dan ciproloxacin sering digunakan untuk merawat demam tipoid di
negara-negara barat. Obat-obat pilihan pertama adalah kloramfenikol,
ampisilin/amoksisilin dan kotrimoksasol. Obat pilihan kedua adalah sefalosporin generasi
III. Obat-obat pilihan ketiga adalah meropenem, azithromisin dan fluorokuinolon. 
Kloramfenikol diberikan dengan dosis 50 mg/kg BB/hari, terbagi dalam 3-4 kali
pemberian, oral atau intravena, selama 14 hari. Bilamana terdapat indikasi kontra
pemberian kloramfenikol , diber ampisilin dengan dosis 200 mg/kgBB/hari, terbagi
dalam 3-4 kali. Pemberian, intravena saat belum dapat minum obat, selama 21 hari, atau
amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian,
oral/intravena selama 21 hari kotrimoksasol dengan dosis (tmp) 8 mg/kbBB/hari terbagi
dalam 2-3 kali pemberian, oral, selama 14 hari.
 Pada kasus berat, dapat diberi seftriakson dengan dosis 50 mg/kg BB/kali dan diberikan 2
kali sehari atau 80 mg/kg BB/hari, sekali sehari, intravena, selama 5-7 hari. Pada kasus
yang diduga mengalami MDR, maka pilihan antibiotika adalah meropenem, azithromisin
dan fluoroquinolon.
 Bila tak terawat, demam tifoid dapat berlangsung selama tiga minggu sampai sebulan.
Kematian terjadi antara 10% dan 30% dari kasus yang tidak terawat. Vaksin untuk
demam tifoid tersedia dan dianjurkan untuk orang yang melakukan perjalanan ke wilayah
penyakit ini biasanya berjangkit (terutama di Asia, Afrika, dan Amerika Latin).
 Pengobatan penyulit tergantung macamnya. Untuk kasus berat dan dengan manifestasi
nerologik menonjol, diberi Deksametason dosis tinggi dengan dosis awal 3 mg/kg BB,
intravena perlahan (selama 30 menit). Kemudian disusul pemberian dengan dosis 1
mg/kg BB dengan tenggang waktu 6 jam sampai 7 kali pemberian. Tatalaksana bedah
dilakukan pada kasus-kasus dengan penyulit perforasi usus

Komplikasi :

Komplikasi

Komplikasi demam tifoid dapat dibagi di dalam :

1. Komplikasi intestinal
1. Perdarahan usus
2. Perforasi usus
3. Ileus paralitik
2. Komplikasi ekstraintetstinal
1. Komplikasi kardiovaskular: kegagalan sirkulasi perifer (renjatan/sepsis),
miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
2. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia dan atau koagulasi
intravaskular diseminata dan sindrom uremia hemoltilik.
3. Komplikasi paru: penuomonia, empiema dan peluritis.
4. Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis.
5. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis.
6. Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artritis.
7. Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, mengingismus, meningitis, polineuritis
perifer, sindrim Guillain-Barre, psikosis dan sindrom katatonia.

Pada anak-anaka dengan demam paratifoid, komplikasi lebih jarang terjadi. Komplikasi lebih
sering terjadi pada keadaan toksemia berat dan kelemahan umum, bila perawatan pasien kurang
sempurna.

Pencegahan

 Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara: umum dan


khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan higiene dan
sanitasi karena perbaikan higiene dan sanitasi saja dapat menurunkan insidensi demam
tifoid. (Penyediaan air bersih, pembuangan dan pengelolaan sampah). Menjaga
kebersihan pribadi dan menjaga apa yang masuk mulut (diminum atau dimakan) tidak
tercemar Salmonella typhi. Pemutusan rantai transmisi juga penting yaitu pengawasan
terhadap penjual (keliling) minuman/makanan. (Darmowandowo, 2006)
 Vaksinasi tifoid sangat dianjurkan untuk mencegah penyakit. Apalagi jika si kecil
terkenal doyan jajan. Juga, anak balita yang sudah pandai �nenangga�, atau yang
belum bisa cebok dengan benar. Vaksinasi harus diperkuat setiap 3 tahun. Ini karena
setelah kurun waktu itu, kekebalan terhadap penyakit tifus akan berkurang. Umumnya,
seusai divaksinasi, tubuh akan kebal, atau kalupun terkena maka penyakit yang
menyerang tidak sampai membahayakan anak
 Ada dua vaksin untuk mencegah demam tifoid. Yang pertama adalah vaksin yang
diinaktivasi (kuman yang mati) yang diberikan secara injeksi. Yang kedua adalah vaksin
yang dilemahkan (attenuated) yang diberikan secara oral. Pemberian vaksin tifoid secara
rutin tidak direkomendasikan, vaksin tifoid hanta direkomendasikan untuk pelancong
yang berkunjung ke tempat-tempat yang demam tifoid sering terjadi, orang yang kontak
dengan penderita karier tifoid dan pekerja laboratorium.
 Vaksin tifoid yang diinaktivasi (per injeksi) tidak boleh diberikan kepada anak-anak
kurang dari dua tahun. Satu dosis sudah menyediakan proteksi, oleh karena itu haruslah
diberikan sekurang-kurangnya 2 minggu sebelum bepergian supaya memberikan waktu
kepada vaksin untuk bekerja. Dosis ulangan diperlukan setiap dua tahun untuk orang-
orang yang memiliki resiko terjangkit.
 Vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) tidak boleh diberikan kepada anak-anak kurang
dari 6 tahun. Empat dosis yang diberikan dua hari secara terpisah diperlukan untuk
proteksi. Dosis terakhir harus diberikan sekurang-kurangnya satu minggu sebelum
bepergian supaya memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja. Dosis ulangan
diperlukan setiap 5 tahun untuk orang-orang yang masih memiliki resiko terjangkit.
 Ada beberapa orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid atau harus menunggu.
Yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid diinaktivasi (per injeksi) adalah orang yang
memiliki reaksi yang berbahaya saat diberi dosis vaksin sebelumnya, maka ia tidak boleh
mendapatkan vaksin dengan dosis lainnya. Orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin
tifoid yang dilemahkan (per oral) adalah : orang yang mengalami reaksi berbahaya saat
diberi vaksin sebelumnya maka tidak boleh mendapatkan dosis lainnya, orang yang
memiliki sistem imunitas yang lemah maka tidak boleh mendapatkan vaksin ini, mereka
hanya boleh mendapatkan vaksin tifoid yang diinaktifasi, diantara mereka adalah
penderita HIV/AIDS atau penyakit lain yang menyerang sistem imunitas, orang yang
sedang mengalami pengobatan dengan obat-obatan yang mempengaruhi sistem imunitas
tubuh semisal steroid selama 2 minggu atau lebih, penderita kanker dan orang yang
mendapatkan perawatan kanker dengan sinar X atau obat-obatan. Vaksin tifoid oral tidak
boleh diberikan dalam waktu 24 jam bersamaan dengan pemberian antibiotik.
 Suatu vaksin, sebagaimana obat-obatan lainnya, bisa menyebabkan problem serius seperti
reaksi alergi yang parah. Resiko suatu vaksin yang menyebabkan bahaya serius atau
kematian sangatlah jarang terjadi. Problem serius dari kedua jenis vaksin tifoid sangatlah
jarang. Pada vaksin tifoid yang diinaktivasi, reaksi ringan yang dapat terjadi adalah :
demam (sekitar 1 orang per 100), sakit kepada (sekitar 3 orang per 100) kemerahan atau
pembengkakan pada lokasi injeksi (sekitar 7 orang per 100). Pada vaksin tifoid yang
dilemahkan, reaksi ringan yang dapat terjadi adalah demam atau sakit kepada (5 orang
per 100), perut tidak enak, mual, muntah-muntah atau ruam-ruam (jarang terjadi).
Daftar pustaka

 Diagnosis of typhoid fever. Dalam : Background document : The diagnosis, treatment


and prevention of typhoid fever. World Health Organization, 2003;7-18.
 Parry CM. Typhoid fever. N Engl J Med 2002;347(22):1770-82.
 Pang T. Typhoid Fever : A Continuing Problem. Dalam : Pang T, Koh CL, Puthucheary
SD, Eds. Typhoid Fever : Strategies for the 90’s. Singapore : World Scientific, 1992:1-2.
 Hoffman SL. Typhoid Fever. Dalam : Strickland GT, Ed. Hunter’s Textbook of
Pediatrics, edisi 7. Philadelphia : WB Saunders, 1991:344-58.
 Kalra SP, Naithani N, Mehta SR, Swamy AJ. Current trends in the management of
typhoid fever. MJAFI 2003;59:130-5.
Lim PL, Tam FCH, Cheong YM, Jegathesan M. One-step 2-minute test to detect typhoid-
specific antibodies based on particle separation in tubes. J Clin Microbiol
1998;36(8):2271-8.
 Purwaningsih S, Handojo I, Prihatini, Probohoesodo Y. Diagnostic value of dot-enzyme-
immunoassay test to detect outer membrane protein antigen in sera of patients with
typhoid fever. Southeast Asian J Trop Med Public Health 2001;32(3):507-12. [Abstract]
 Hatta M, Goris MG. Simple dipstick assay for the detection of Salmonella typhi-specific
IgM antibodies and the evolution of the immune response in patients with typhoid fever.
Am J Trop Med Hyg 2002;66(4):416-21. [Abstract]
 Pang T. Molecular biology as a diagnostic tool in Salmonellosis. Dalam : Sarasombath S,
Senawong S, Eds. Second Asia-Pacific symposium on typhoid fever and other
Salmonellosis. Thailand : SEAMEO Regional Tropical Medicine and Public Health
Network, 1995:213-6.
 Massi MN, Shirakawa T, Gotoh A, Bishnu A, Hatta M, Kawabata M. Rapid diagnosis of
typhoid fever by PCR assay using one pair of primers from flagellin gene of Salmonella
typhi. J Infect Chemother 2003;9(3):233-7
Diet demam thypoid adalah diet yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan makan penderita
thypoid dalam bentuk makanan lunak rendah serat. Tujuan utama diet demam thypoid
adalah memenuhi kebutuhan nutrisi penderita demam thypoid dan mencegah
kekambuhan. Penderita penyakit demam Tifoid selama menjalani perawatan haruslah mengikuti
petunjuk diet yang dianjurkan oleh dokter untuk di konsumsi, antara lain:
a. Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin & protein.
b. Tidak mengandung banyak serat.
c. Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas.
d. Makanan lunak diberikan selama istirahat.

Makanan dengan rendah serat dan rendah sisa bertujuan untuk memberikan makanan sesuai
kebutuhan gizi yang sedikit mungkin meninggalkan sisa sehingga dapat membatasi volume
feses, dan tidak merangsang saluran cerna. Pemberian bubur saring, juga ditujukan untuk
menghindari terjadinya komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Syarat-syarat
diet sisa rendah adalah:

 Energi cukup sesuai dengan umur, jenis kelamin dan aktivitas


 Protein cukup, yaitu 10-15% dari kebutuhan energi total
 Lemak sedang, yaitu 10-25% dari kebutuhan energi total
 Karbohidrat cukup, yaitu sisa kebutuhan energi total
 Menghindari makanan berserat tinggi dan sedang sehingga asupan serat
 maksimal 8 gr/hari. Pembatasan ini disesuaikan dengan toleransi perorangan
 Menghindari susu, produk susu, daging berserat kasar (liat) sesuai dengan toleransi
perorangan.
 Menghindari makanan yang terlalu berlemak, terlalu manis, terlalu asam dan berbumbu
tajam.
 Makanan dimasak hingga lunak dan dihidangkan pada suhu tidak terlalu panas dan
dingin
 Makanan sering diberikan dalam porsi kecil
 Bila diberikan untuk jangka waktu lama atau dalam keadaan khusus, diet perlu disertai
suplemen vitamin dan mineral, makanan formula, atau makanan parenteral.

Anda mungkin juga menyukai