Anda di halaman 1dari 3

RESUME LEGISLASI MORAL DALAM RKUHP

Disusun guna memenuhi Tugas matakuliah Etika dan Tanggung Jawab Profesi Dalam
Jaringan (Daring)

Oleh :
Imam Budimuslim Wibawa
D1A016131
Kelas A1

Dosen : Dr. Widodo Dwi Putro

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
2020

LEGISLASI MORAL DALAM RKUHP


Narasumber : Dr. Widodo Dwi Putro

Berangkat dari pertanyaan dasar, 1.) apakah Negara berwenang menetapkan Undang-Undang
yang mengharuskan dan mewajibkan warga masyarakat untuk hidup dan bertindak sesuai dengan
orang-orang tertentu. 2.) apakah penyempurnaan moral para warga/masyarakat adalah urusan Negara.
Dan 3.) apakah semua nilai moral perlu di legislasi dalam bentuk hukum positif. Berangkat dari
premis, salah satu tugas Negara adalah menjamin kesejahteraan umum, yang salah satu tugas itu
diwujudkan dengan dibentuknya Undang-Undang. Bila dilihat hubungan antara hukum dengan moral,
berangkat dari pemikiran Imanuel Kant, yang mencoba untuk menjernihkan yang mana moral dan
yang mana hukum tanpa memisahkan keduanya, dari pemikiran ini dapat ditarik garis besar bahwa
moral berada pada motif Internal yang berada pada batin setiap manusia yang tidak bisa di unduh
secara indrawi, yang tidak memiliki sifat fisik. Sementara hukum mengatur perilaku Eksternal, yang
muncul di permukaan, yang dapat di lihat secara indrawi atau yang mengatur perilaku secara fisik.

Dari premis ini, maka hukum tidak dapat menjangkau moral, karena hukum hanya mampu
mengatur sesuatu dari ranah eksternal. Hukum mempunyai kekuatan imperative untuk memaksa
orang untuk tunduk yang apabila tidak di patuhi akan dikenakan sanksi, sedangkan moral lebih
bersifat himbauan. Misalnya nilai-nilai moralitas dalam agama semuanya di legislasi, kemudian
semua orang tunduk karena takut dengan sanksinya, jadi masyarakat yang melaksanakan sesuatu
berdasarkan moral, itu semua semata-mata karena takut dengan sanksi, bukan berdasarkan kesadaran
moralnya sendiri.

Terlalu mempercayai hukum positif, mempercayai Negara bahwa Negara mampu mengepalai
"rumah tangga moral" , adalah kelemahan, sehingga membuat kita tidak bisa membedakan yang mana
kepentingan rezim dan yang mana kepentingan umum, sehingga mudah dimanipulasi, karena terlalu
Overestimate, mengandaikan sebuah negara yang budiman. Sehingga dengan hal ini, kita ssama saja
tidak menjadi kritis kalau negara mewajibkan warganya sesuai dengan standar moral tertentu, karena
itu tidak lebih dari usaha orang-orang yang memegang kekuasaan dengan memaksa moralnya sendiri
agar diikuti oleh masyarakatnya, setuju atau tidak setuju, seolah moral mereka lebih berhak di
bandingkan moral masyarakat lain.

Dalam hal ini berdasarkan uraian di atas hukum tidak boleh memisahkan secara murni antara
hukum dengan moral, namun harus mengedepankan memurnikan moral dengan hukum, karena morall
berada di ranah yang non-indrawi sedangkan hukum tidak dapat menjangkau moral, oleh sebab itu
apabila moral dimasukkan ke dalam legislasi ada kelemahan di dalamnya yaitu kita terlalu
mempercayai negara untuk mengatur moral, sehingga membuat kita tidak bisa membedakan
kepentingan rezim dengan kepentingan Negara.

Berdasarkan uraian diatas juga muncul berbagai pertanyaan dari banyak kalangan mengenai
Legislasi Moral dalam RKUHP, seperti dari sudut pandang Social Engineering, bila di lihat lebih
dalam kemudian di telaah apakah RKUHP adalah social engineering, apakah RKUHP itu semakin
membahagiakan, namun rancangan undang-undang ini malah lebih banyak di protes di kalangan
masyarakat, walaupun bila dilihat juga mereka yang tidak setuju dengan RKUHP belum tentu juga
semuanya setuju dengan KUHP, bila di telusuri lebih dalam KUHP sudahlah sangat usang karena di
bawa oleh Belanda sejak ratusan tahun yang lalu dan juga penerapannya, namun mengenai hal ini
juga masyarakat harus kritis mengenai hal yang harus di claime mengenai karya bangsa, yang seolah
bersih dari watak-watak kolonialisme, yang seharusnya memiliki peningkatan kualitas, dan
khawatirnya RKUHP ini malah memiliki kesamaan dengan hukum yang diterapkan di Eropa pada
abad pertengahan karena RKUHP dan undang-undang Eropa pada masa abad pertengahan memiliki
beberapa kesamaan yang menandakan bahwa akan adanya kemunduran, dalam hal ini masyarakat
harus kritis.

Misalkan sebuah pena dilepaskan dari ketinggian 2 meter , maka pena itu pasti akan jatuh
kebawah, yang artinya pena(benda) bersifat definisitik, karena secara ilmiah sesuatu yang di lempar
dari atas, akan jatuh ke bawah, dari maksud di atas adalah, kualitas manusia. Seharusnya tidak seperti
benda yang hanya tunduk pada gaya gravitasi, atau bila kita ingin melakukan sesuatu, hanya tunduk
kepada Ratu. Yang pada dasarnya sebenarnya manusia itu di atur oleh kenikmatan dan
penderitaan,karena pada hakikatnya manusia ingin menghindari penderitaan dan mencapai
kebahagiaan, ini adalah sifat manusiawi, yang pada intinya manusia harus bersifat bebas/freedom,
tidak seperti hakikat "pena" Tadi yang harus tunduk pada sebuah gaya untuk bertindak. Pada
hakikatnya manusia harus melakukan sesuatu karena ingin melakukan sesuatu, bukan paksaan dari
orang lain, yang menjadikan manusia itu tidak jujur. Semua hal tidak dapat dikodifikasikan, karena
semua hal tidak bisa diselesaikan dengan perspektif tunggal, walaupun keunggulannya adalah dengan
menjadi lebih mudah di prediksi, tetapi dengan begitu akan mengunci kemajemukan.

Disinilah di sebut dengan manajemen delebrasi, dimana semua para pihak itu setara, dimana
minoritas harus mengikuti mayoritas, karena tidak mungkin semua hal di sama ratakan, karena
Indonesia adalah bangsa yang besar, bangsa yang majemuk, sehingga harus adil dalam penerapan
keadilannya. Pancasila sebagai dasar bagi seluruh aspek kenegaraan kita adalah mencari
keseimbangan, baik dari segi moralitas dan dari segi hukum. Disatu sisi moral bisa di posisikan,
namun tidak bisa semuanya, karena ada moral yang dapat diatur Undang-undang dan ada yg tidak
dapat karena moral menyangkut internal individu, sedangkan hukum hanya mengatur dari segi
eksternanya saja.

Anda mungkin juga menyukai