Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

ANEMIA POSTPARTUM

1.1 Pengertian
Masa postpartum merupakan tantangan bagi banyak ibu yang baru
melahirkan. Pemulihan dari proses melahirkan, belajar menjadi orang tua, dan
mengurus diri sendiri membutuhkan banyak energy. Menderita anemia pada masa
postpartum dapat membuat proses ini menjadi lebih sulit. Anemia terjadi jika
kadar hemoglobin dalam darah rendah. Hemoglobin adalah zat pembawa oksigen
dalam sel darah merah. Jika terjadi gangguan sistem transportasi oksigen
(misalnya anemia) akan menyebabkan tubuh sulit untuk bekerja.
Anemia post partum didefinisikan sebagai kadar hemoglobin kurang dari 10
g/dl, hal ini merupakan masalah yang umum dalam bidang obstetric. Meskipun
wanita hamil dengan kadar besi yang terjamin, konsentrasi haemoglobin biasanya
berkisar 11-12 g/dl sebelum melahirkan. Hal ini diperburuk dengan kehilangan
darah saat melahirkan dan pada masa nifas. Menurut analisa terbaru, kehilanngan
darah pada saat postpartum diatas 500 ml masih merupakan suatu masalah
meskipun pada obstetri modern.

2.1 Fisiologi Hemoglobin


Berwarna merah, merupakan pigmen pembawa oksigen dalam sel darah
merah. Hemoglobin merupakan protein dengan berat molekul 64.450.
Haemoglobin terdiri dari 4 subunit. Tiap subunit mengandung heme yang
berikatan dengan konyugat polipeptida. Heme mengandung besi yang merupakan
derivat porvirin. Sedangkan polipeptida disebut dengan globin.
Ada dua bagian polipeptida tiap molekul hemoglobin. Pada orang dewasa
normal (hemoglobin A), terdapat 2 tipe polipeptida yang disebut dengan rantai α
yang mengandung 141 asam amino residu dan rantai β yang mengandung 146
asam amino residu. Kemudian hemoglobin A disebut juga α2β2, tidak semua
hemoglobin pada darah normal orang dewasa adalah hemoglobin A. sekitar 2,5%

1
hemoglobin merupakan hemoglobin A2, dimana rantai β digantikan dengan rantai
δ (α2δ2). Rantai δ juga mengandung 146 asam amino residu, tetapi 10 residu
tunggal berbeda dengan asam amino pada rantai β.
Hemoglobin membawa oksigen dalam bentuk oxihemoglobin, oksigen
berikatan dengan Fe2+ di dalam heme. Afinitas hemoglobin terhadap O2
dipengaruhi oleh pH, suhu, dan konsentrasi 2,3 diphosphogliserat (2,3 DPG). 2,3
DPG dan H+ bersaing dengan O2 untuk membentuk deoxihemoglobin, dengan
menurunkan afinitas hemoglobin terhadap O2 dengan menempati tempatnya pada
ke empat rantai.
Ketika darah terpapar dengan obat-obatan dan agen oksidasi lainnya baik
secara invitro maupun invivo, Fe2+ yang merupakan molekul normal di konversi
menjadi Fe3+ membentuk methemoglobin. Methemoglobin berwarna gelap, dan
ketika kadarnya dalam darah meningkat, hal ini menyebabkan kulit berwarna
kehitam-hitaman yang disebut dengan sianosis. Beberapa oksidasi hemoglobin
menjadi methemoglobin terjadi secara normal, karena sistem enzim sel darah
merah, yaitu sistem NADH-methemoglobin reduktase, mengubah methemoglobin
kembali menjadi hemoglobin. Kelainan kongenital dimana tidak adanya sistem
enzim ini menyebabkan kelainan herediter methemoglobinemia.
Karbon monoksida bereaksi dengan hemoglobin membentuk
monoxihemoglobin (carboxihemoglobin). Afinitas hemoglobin terhadap O2 jauh
lebih rendah dibandingkan dengan CO, dengan dampak digantikannya O2 yang
berikatan dengan hemoglobin, sehingga terjadi penurunan kapasitas pembawa
oksigen oleh darah.
Rata-rata kandungan hemoglobin normal dalam darah adalah 16 g/dl pada
laki-laki dan 14 g/dl pada wanita. Pada tubuh laki-laki dengan berat badan 70 kg,
terdapat sekitar 900 g hemoglobin dan 0,3 g globin dihancurkan dan disintesis
kembali tiap jam. Heme dari hemoglobin disintesis dari glycine dan succinyl-CoA.
Ketika sel darah merah dihancurkan oleh jaringan sistem makropage. Globin
dari molekul hemoglobin dihancurkan dan heme diubah menjadi biliverdin.
Biliverdin kemudian dikonversi menjadi bilirubin dan diekskresikan melalui

2
empedu. Besi yang berasal dari heme digunakan kembali untuk sintesis
hemoglobin. Besi merupakan zat esensial untuk sintesis hemoglobin, jika tubuh
kehilangan darah dan defisiensi besi tidak dikoreksi, akan terjadi anemia defisiensi
besi.

3.1 Etiologi
Anemia defisiensi besi merupakan penyebab paling sering dari anemia
postpartum yang disebabkan oleh intake zat besi yang tidak cukup serta
kehilangan darah selama kehamilan dan persalinan. Anemia postpartum
berhubungan dengan lamanya perawatan di rumah sakit, depresi, kecemasan, dan
pertumbuhan janin terhambat.
Kehilangan darah adalah penyebab yang lain dari anemia. Kehilangan darah
yang signifikan setelah melahirkan dapat meningkatkan risiko terjadinya anemia
postpartum. Banyaknya cadangan hemoglobin dan besi selama persalinan dapat
menurunkan risiko terjadinya anemia berat dan mempercepat pemulihan.

3
4.1 Patofisiologi
Dampak persalinan dan kelahiran dapat menyebabkan wanita terlihat pucat
dan letih selama satu atau beberapa hari setelah melahirkan (Fraser, 2009).
Anemia dalam nifas dapat terjadi sebagai akibat perubahan sistem hematologi
dalam masa kehamilan, hal tersebut dapat dijelaskan melalui bagan sebagai
berikut:
Hamil 6 minggu - 7 hari postpartum terjadi hipervolemia

Plasenta lahir saat persalinan

Perdarahan

Zat besi hilang ± 900 mg

Pasokan zat besi

Deplesi massa sel darah merah

Konsentrasi Hb < normal

Kapasitas darah untuk mengangkut O2 < normal

Anemia Defisiensi Besi

5.1 Faktor Risiko


Banyak faktor yang mempengaruhi jumlah besi dalam tubuh postpartum,
termasuk karakteristik ibu pada saat sebelum hamil, selama kehamilan,
persalinan, dan periode postpartum. Salah satu faktor risiko terjadinya anemia
postpartum adalah tingginya IMT sebelum kehamilan. Risiko anemia postpartum

4
meningkat dengan IMT dari 24-38 kg/m2. Jika dibandingkan dengan perempuan
dengan IMT 20 kg/m2, risiko anemia 2 kali lebih besar pada wanita dengan
overweight IMT 28 kg/m2 dan 3 kali lebih besar pada wanita dengan IMT 38
kg/m2 meskipun faktor perancuh sudah terkontrol. Meningkatnya risiko ini
sebagian disebabkan tingginya insiden terhadap postpartum hemorage, kelahiran
perabdominal, dan makrosomia pada wanita yang obesitas.
Seperti komplikasi kehilangan darah sampai 1000 ml, yang sama dengan 400
mg besi. Faktanya secara klinis, perdarahan postpartum dan makrosomia masing-
masing dapat menurunkan konsentrasi hemoglobin 6,4 g/dl dan 5,2 g/dl. Hal ini
menunjukkan adanya hubungan antara kehilangan darah selama persalinan dan
risiko defisiensi besi dan anemia.

6.1 Gejala Klinis


Tergantung dari derajat berat atau tidaknya anemia, hal ini dapat berdampak
negative bagi ibu selama masa nifas, kemampuan untuk menyusui, masa
perawatan di rumah sakit bertambah, dan perasaan sehat dari ibu. Masalah yang
muncul kemudian seperti pusing, lemas, tidak mampu merawat dan menjaga
bayinya selama masa nifas umumnya terjadi.
Penelitian menunjukkan bahwa wanita dengan anemia postpartum memiliki
gejala yang dapat mengganggu kondisi kesehatan ibu dan meningkatkan risiko
terjadinya depresi postpartum jika dibandingkan dengan ibu yang tidak anemia.
Dampak buruk dari perubahan emosi dan perilaku ibu sangat mengkhawatirkan
karena interaksi ibu dan bayi akan terganggu selama periode ini dan akhirnya
berdampak negatif terhadap perkembangan bayinya.
Kebanyakan penelitian untuk mengetahui hubungan antara defisiensi besi dan
kognitif yang difokuskan pada bayi dan anak-anak, dimana ditemukan fakta yang
kuat bahwa defisiensi besi berisiko terjadinya gangguan perkembangan kognitif
sekarang dan yang akan datang. Namun, data terbaru menunujukkan defisiensi
besi juaga berdampak buruk pada otak orang dewasa. Berbeda dengan penurunan
hemoglobin, defisiensi besi berpengaruh pada kognitif melalui penurunan

5
aktivitas enzim yang mengandung besi di otak. Hal ini kemudian mempengaruhi
fungsi neurotransmitter,sel, dan proses oksidatif, juga metabolisme hormon tiroid.
Para ibu yang masih menderita kekurangan zat besi sepuluh minggu setelah
melahirkan kurang responsif dalam mengasuh bayinya sehingga berdampak pada
keterlambatan perkembangan bayi yang dapat bersifat ireversibel. Untungnya,
anemia postpartum bersifat dapat diobati dan dapat dicegah.
Defisiensi besi dapat menurunkan jumlah limfosit, netrofil, dan fungsi
makrofag. Hal ini kemudian akan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi
yang merupakan akibat fungsional defisiensi besi. Memperbaiki status besi tubuh
dengan adekuat akan memperbaiki sistem imun. Meskipun demikian,
keseimbangan besi tubuh penting. Meskipun besi yang dibutuhkan untuk respon
imun yang efektif, jika suplai besi terlalu banyak daripada yang dibutuhkan ,
invasi mikroba dapat terjadi karena mikroba dapat menggunakan besi untuk
tumbuh dan menyebabkan eksaserbasi infeksi. (8)

7.1 Penatalaksanaan
Pengobatan terhadap anemia postpartum tergantung dari derajat anemia dan
faktor risiko maternal atau faktor komorbiditas. Wanita muda yang sehat dapat
mengkompensasi kehilangan darah yang banyak lebih baik dibandingkan wanita
nifas dengan gangguan jantung meskipun dengan kehilangan darah yang tidak
terlalu banyak.
Sebagai tambahan, kehilangan darah perlu dilihat dalam hubungannya dengan
IMT dan estimasi total blood volume (TBV). Pertimbangan yang lain yaitu
kesalahan yang dilakukan ketika melakukan estimasi jumlah kehilangan darah.
Kehilangan darah selalu sulit untuk diprediksi, yang mana bisa dibuktikan dengan
membandingkan Hb pre-partum dan Hb postpartum.
Pengobatan terhadap anemia meliputi pemberian preparat besi secara oral,
besi parenteral, transfusi darah, dan pilihan lain yaitu rHuEPO (rekombinan
human erythropoietin).

6
Prinsip penatalaksanaan anemia adalah jika di dapatkan hemoglobin kurang
dari 10 pertimbangkan adanya defisiensi zat pembentuk hemoglobin, periksa
sepintas apakah ada hemoglobinopati sebelum disingkirkan. Pemberian preparat
besi oral sebagai pengobatan lini pertama untuk anemia akibat defisiensi besi.
Besi parenteral diindikasikan jika preparat besi oral tidak dapat ditolerransi,
gangguan absorbsi, dan kebutuhan besi pasien tidak dapat terpenuhi dengan
preparat besi oral.
Penggunaan terapi parenteral biasanya lebih cepat mendapatkan respon
dibandingkan dengan terapi oral. Namun, bagaimanapun hal ini bersifat lebih
invasive dan lebih mahal. Rekombinan Human Eritropoietin (rHuEPO) paling
banyak digunakan untuk anemia dengan penyakit gagal ginjal kronis. Namun
rHuEPO tetap dapat diberikan pada anemia dalam kehamilan maupun postpartum
tanpa adanya penyakit gagal ginjal kronis tanpa ada efek samping pada maternal,
fetal ataupun neonatus.
Anemia yang terjadi bukan karena defisiensi (misalnya akibat
hemoglobinopati dan sindrom kegagalan sum-sum tulang) harus diatasi dengan
transfusi darah secara tepat dan bekerja sama dengan seorang ahli hematologi.
6.1.1 Preparat besi oral
Zat besi merupakan komponen penting dari hemoglobin, mioglobin
dan banyak enzim untuk metabolisme energi. Besi berperan terhadap
transportasi dan penyimpanan oksigen dan metabolisme oksidatif, juga
pertumbuhan dan proliferasi sel. Kebanyakan besi dalam plasma
diperuntukkan untuk proses eritropoiesis dalam sum-sum tulang. Absorsi
besi dalam duodenum mengalami proses yang kompleks yang dikontrol
beberapa protein, dipengaruhi kebutuhan zat besi tubuh, konsentrasi zat
besi dalam usus, dan integritas dinding sel.
Pemberian preparat besi secara oral harus dilanjutkan sampai
beberapa bulan, sehingga tidak hanya menormalkan kadar Hb tetapi juga
menormalkan kadar besi dalam darah. Pada salah satu penelitian, kita dapat

7
melihat wanita postpartum dengan defisiensi besi namun tanpa anemia
yang kadar besinya dapat dikembalikan hanya dengan suplemen besi.
Wanita postpartum yang mengalami defisiensi besi dan anemia
memerlukan suplemen zat besi. Zat besi biasanya diberikan sampai 6
bulan. Pada kebanyakan kasus, pemberian preparat besi secara oral tidak
cukup untuk mengobatai anemia berat, jika cadangan besi endogen juga
habis dan tidak cukup besi tersedia untuk menjamin proses eritropoiesis.
Penjelasan pertama untuk hal ini adalah kurangnya absorbsi, tidak
terpenuhi pada dosis tinggi akibat efek yang merugikan, dan kurangnya
konsentrasi transferin plasma, yang memastikan terjadinya defisiensi besi
secara fungsional. Sebagai tambahan, reaksi dapat terjadi, terutama pada
operasi persalinan dan secsio caesaria, terjadi penumpukan besi dalam
makropage dan penurunan absorbsi usus, sehingga besi tidak dapat
digunakan untuk proses hemopoiesis.
6.1.2 Transfusi Darah
Pada dekade sebelumnya, terjadi perubahan metode terapi terhadap
transfusi darah, kecuali pada kondisi kritis, karena pasien kurang dapat
menerima. Transfusi jarang diberikan dan indikasi transfusi sangat dibatasi.
Jika Hb kurang dari 7-8 g/dl pada periode postpartum, dimana sudah tidak
ada lagi perdarahan, keputusan untuk melakukan transfusi harus diambil
tergantung keadaan individu tersebut. Pada wanita yang sehat, dan tidak
ada gejala, pemberian transfusi darah kurang bermanfaat.
6.1.3 Rekombinan Human Erythropoietin (rHuEPO)
Suatu terapi alternative baru yang menjanjikan yaitu dengan
peningkatan proses eritropoiesis melalui penggunaan human erythropoietin
(rHuEPO). Eritropietin, sebuah hormon glikoprotein, yang merupakan
salah satu regulator humoral utama dari proses eritropoiesis. Pada orang
dewasa, hormon ini terutama diproduksi di sel intersisiel peritubular dari
parenkim ginjal. Setelah penyaringan dan identifikasi dari asam amino
pembentuk eritropoietin, gen manusia di klon dan diisolasi, agar dapat

8
memproduksi rHuEPO dalam jumlah besar dengan teknik mesin genetik.
Laporan pertama kali tentang aplikasi terapi ini pada tahun 1986. Sejak saat
itu terjadi peningkatan percobaan klinis dengan rHuEPO untuk koreksi
anemia. Pada banyak kasus, terapi ini memiliki efek samping yang
minimal.
Pada pasien tanpa defisiensi produksi eritropoietin, eritropoiesis yang
normal, atau anemia akibat penyebab lainnya tetap dapat diobati dengan
rHuEPO. Sebelumnya telah dilaporkan dengan hasil yang positif lima
wanita postpartum yang diobati dengan rHuEPO jangka pendek.
Karena kontradiksi hasil yang telah dilaporkan terhadap transfer
plasenta pada hewan percobaan dan belum ada penelitian sistematis pada
manusia, penggunaan rHuEPO masih terbatas untuk anemia postpartum.
6.1.4 Besi Intravena
Saat ini secara internasional telah terjadi pergeseran mode terapi untuk
anemia dari transfusi darah kepada besi intravena. Transfusi darah secara
logis akan segera mengatasi kekurangan darah terutama akibat perdarahan
yang sifatnya akut, namun efek samping transfusi yang dahulu tidak terlalu
diperhitungkan kini makin menjadi perhatian penting seiring dengan
perkembangan konsep baru di dunia kedokteran yakni patient safety.
Risiko transfusi darah yang tinggi diantaranya reaksi transfusi, berupa:
reaksi alergi; urtikaria; demam; dan lain sebagainya, penularan berbagai
jenis penyakit infeksius, semisal: hepatitis B; hepatitis C; HIV; CMV;
toxoplasma; malaria; dan lain sebagainya, ketidakcocokan darah (ABO-
Rh mismatch), hemolisis baik tipe cepat maupun lambat, alloimunisasi,
hingga transfusion related acute lung injury (TRALI) yang dapat berakibat
pada kematian. Dengan meningkatnya kekhawatiran ini maka beralihlah
mode terapi transfusi darah menjadi terapi besi intravena.
Kegagalan terapi sering terjadi dengan penggunaan preparat besi oral.
Kondisi ini terjadi ketika intake besi sudah adekuat tetapi bermasalah pada
proses absorbsi, dan distribusi besi ke sumsum tulang untuk pembentukan

9
hemoglobin. Untuk pasien seperti ini pemberian besi intravena merupakan
terapi yang lebih disukai.
Kini telah ditemukan pembawa baru besi intravena yakni sukrosa.
Dengan pemberian besi sukrosa intravena kadar hemoglobin akan
meningkat pesat dalam hitungan hari. Efek samping pun sangat minimal.
Reaksi alergi minor dilaporkan pada 0,05% kasus, sementara reaksi alergi
berat seperti anakfilakasis belum dilaporkan. Sehingga besi sukrosa
intravena dengan cepat mendapat respon yang baik di seluruh dunia untuk
kemudian secara internasional menjadi terapi pilihan pertama pada anemia.
Dalam pertemuan Network for Advancement of Transfusion Alternatives
(NATA) April 2005, penggunaan besi sukrosa intravena direkomendasikan
untuk berbagai macam kondisi anemia, diantaranya anemia pada kehamilan
serta anemia post partum.
Selain besi sukrosa, besi intravena lain yaitu besi carboxymaltose. Besi
carboximaltose merupakan preparat besi intravena non-dextran yang dibuat
untuk pemberian besi intravena dosis tinggi. Pemberian besi
carboxymaltose IV dosis tinggi terbukti efektif untuk mengatasi anemia
postpartum. Jika dibandingkan dengan SF, besi carboximaltose IV lebih
dapat ditoleransi, respon peningkatan Hb lebih cepat, korekasi terhadap
anemia lebih dapat diandalkan.
7.1 Pencegahan
Center for Disease Control and Prevention merekomendasikan untuk
melakukan skrining anemia terhadap wanita 4-6 minggu postpartum, dengan
perdarahan yang banyak sewaktu melahirkan, dan pada kelahiran kembar.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian suplemen besi pada masa
kehamilan memberikan hasil kadar hemoglobin ibu lebih tinggi sampai 2 bulan
postpartum dan konsentrasi serum feritin lebih tinggi sampai 6 bulan postpartum.
Level feritin memberikan gambaran jumlah cadangan besi dalam tubuh.
Selama kehamilan, absorbsi besi lebih efisien. Hal ini menguntungkan bagi
wanita hamil yang membutuhkan peningkatan kadar zat besi dalam tubuh.

10
Mengingat kebutuhan kalori tidak meningkat sebanyak itu (hanya membutuhkan
300 tambahan kalori), untuk mendapatkan kebutuhan zat besi diperlukan
tambahan sebesar 3000 kalori sehari. Hal ini kemudian menyebabkan suplemen
besi lebih banyak dipilih. Besi bukan hanya satu-satunya yang mampu
mempertahankan kadar hemoglobin. Banyak dari perempuan yang mengalami
anemia tidak responsif hanya dengan pemberian preparat besi saja. Asam folat,
B12 dan protein semuanya mempunyai peran pada struktur hemoglobin. Vitamin
A dan C juga memberikan kontribusi dalam absorbsi besi.
Prinsip pencegahan terjadinya anemia postpartum adalah perdarahan selama
persalinan harus diminimalkan dengan penatalaksanaan aktif pada kala tiga.
Wanita dengan risiko tinggi mengalami perdarahan harus dianjurkan untuk
melahirkan di rumah sakit. Kontrol yang ketat terhadap wanita yang berobat
dengan antikoagulan seperti low-molecular-weight-heparin (LMWH) akan
meminimalisir kehilangan banyak darah.
Berdasarkan fakta yang didukung dengan berbagai hasil penelitian,
menejemen aktif kala tiga merupakan suatu metode yang terbukti untuk
menurunkan jumlah kehilangan darah postpartum. Hb sebelum persalinan harus
dioptimalkan untuk mencegah terjadinya anemia.

8.1 Konsep Asuhan Keperawatan


1) Data Subjektif (Anamnesa)
a) Identitas
Identitas yang perlu dikaji meliputi nama lengkap, umur, suku bangsa,
agama, pendidikan, dan pekerjaan pasien beserta suami dan alamat tempat
tinggal. Pada kasus ibu nifas dengan anemia, identitas yang perlu dikaji lebih
lanjut antara lain:
(1) Umur
Wanita yang berumur kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun
berisiko mengalami pendarahan dan dapat menyebabkan ibu mengalami
anemia (Asrina, 2014).

11
(2) Pekerjaan
Menurut Ani (2013) , pekerjaan yang menggunakan banyak tenaga fisik
dapat meningkatkan risiko anemia defisiensi besi.
b) Keluhan Utama
Ibu nifas dengan anemia biasanya mengeluh merasa lemah, pucat, cepat
lelah dan nafsu makan kurang (Manuaba, 2007 dan Saifuddin, 2009).
c) Riwayat menstruasi
Menurut Manuaba (2010), gangguan menstruasi meliputi banyaknya
ganti pembalut perhari, lamanya menstruasi, keteraturan siklus menstruasi
merupakan faktor terjadinya anemia karena mempengaruhi pembentukan
darah.
d) Riwayat perkawinan
Wanita yang menikah dan hamil pada usia muda dari segi biologis,
perkembangan alat biologisnya belum optimal. Secara sosial ekonomi belum
siap mandiri dan secara medis sering mendapatkan gangguan kesehatan,
mudah mengalami abortus, perdarahan yang akan mengarah pada terjadinya
anemia (Asrina, 2014).
e) Riwayat kehamilan, persalinan dan nifas lalu
Makin sering seorang wanita mengalami kehamilan dan melahirkan
akan makin banyak kehilangan zat besi dan menjadi makin anemis
(Manuaba, 2010).
f) Riwayat Penyakit
(1) Riwayat penyakit sekarang
Seorang wanita yang sedang mengalami gangguan pencernaan seperti
mual/muntah dan diare berpotensi besar kehilangan banyak Fe yang
menyebabkan terjadinya anemia defisiensi besi (Manuaba, 2007).
(3) Riwayat kesehatan dahulu
Keluhan cepat lelah, sering pusing, mata berkunang – kunang saat
hamil muda berpotensi mengalami anemia pada masa nifas (Manuaba,
2010).

12
(4) Riwayat kesehatan keluarga
Anemia dapat diwariskan secara genetik. Gangguan herediter dapat
mempersingkat masa pakai sel darah merah dan menyebabkan anemia
(Proverawati, 2011).
g) Data Psikososial
Mempertimbangkan lingkungan sosial, keluarga klien, suami dan teman
untuk mendukung ibu selama masa pemulihan (Robson, 2011).
h) Pola Kebiasaan sehari-hari
Hal ini penting bagi bidan untuk ditanyakan kepada klien karena ada
kemungkinan klien berpantang makanan yang justru sangat mendukung
pemulihan fisiknya misalnya daging, ikan, atau telur (Ani, 2013).

2) Data Objektif
Data objektif yang bisa digunakan dalam mendukung data dasar dalam kasus
ibu nifas dengan anemia antara lain :
a) Pemeriksaan Umum
(1) Pemeriksaan Tanda – Tanda Vital (TTV)
Pada ibu nifas dengan anemia, tekanan darah cenderung normal.
(2) Keadaan Umum
Memeriksa keadaan umum untuk mengetahui keadaan ibu nifas secara
umum. Ibu nifas dengan anemia terlihat lemah dan pucat (Saifuddin, 2009).
(3) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada ibu nifas :
(a) Mata
Konjungtiva pada ibu nifas dengan anemia terlihat pucat
(b) Mulut
Pada beberapa ibu nifas yang mengalami anemia defisiensi besi terjadi
peradangan pada sudut mulut

13
(c) Payudara
Bentuk simetris atau tidak, putting susu menonjol atau tidak,
melihat pengeluaran kolostrum (Sofian, 2011)
(d) Kandug kemih
Untuk mengetahui apakah kandung kemih kosong atau tidak,
apabila teraba penuh sarankan ibu untuk buang air kecil (Marmi,2012)
(e) Extremitas atas dan bawah
Untuk memeriksa kondisi reflek patella pada lutut kanan dan lutut
kiri, serta tanda hofman.
(f) Abdomen
Untuk mengetahui bagaimana Tinggi Fundus Uteri (TFU),
bagaimana kontraksi uterus, konsistensi uterus, posisi uterus.
(g) Pengeluaran lochea
Untuk mengetahui warna, jumlah, bau, konsistensi lochea pada
umumnya ada kelainan atau tidak. Rata – rata jumlah total secret lochea
adalah sekitar 8 – 9 ons (240 – 270 mL), apabila melebihi jumlah
normal perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui
apakah Ibu mengalami anemia atau tidak.
(h) Perineum
Untuk mengetahui apakah pada perineum ada bekas jahitan atau
tidak, bersih atau tidak.

2) Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan perubahan
komponen seluler yang diperlukan untuk mengirim O2 ke sel.
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake nutrisi yang tidak adekuat.
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Caughlan S. Post-Partum Anemia: Can Prenatal Supplements Prevent It? 2009


[cited 16th November 2010]; Available from:
http://www.motherandchildhealth.com/Prenatal/prenatal.htm.
2. Huch A, Eichhorn K-H, Danko J, Lauener P-A, Huch R. Recombinant Human
Erythropoietin in The Treatment of Postpartum Anemia. Obstetrics &
Gynecologic. 1992;80:127-31.
3. Ganong WF. Reviw Of Medical Physiology 21 th ed. California: Lange Medical
Books/McGraw-Hill 2003.
4. Wolf JR, Rosner MA. Postpartum Anemia. Obstetrics & Gynocology.
1953;1:387-93.
5. B D, Wyck V, G M. Intravenous Ferric Carboxymaltose Compared With Oral
Iron in the Treatment of Postpartum Anemia A Randomized Controlled Trial.
OBSTETRICS & GYNECOLOGY. 2007;110:267-78..

15

Anda mungkin juga menyukai