Anda di halaman 1dari 29

KEPERAWATAN ANAK

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN ANAK


SINDROM NEFRITIK AKUT

Pembimbing :
Amelia Arnis, M.,Nurs

Mata Kuliah :
Keperawatan Anak

Disusun Oleh :
Amira Hijriani (P17120118004)
Indah Permata Sari (P17120118011)
Nadia Millenia (P17120118018)
Salsabilla Aulia Jatmiko (P17120118021)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAKARTA 1


JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM SARJANA TERAPAN DAN PENDIDIKAN PROFESI NERS
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan
karunia-Nya, kelompok kami dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi
dan melengkapi tugas mata kuliah. Dalam penulisan makalah ini penulis merasa
masih banyak kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi dalam
penyelesaian kasus, mengingat kemampuan akan penulis. Untuk itu, kritik dan
saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan makalah ini.

Dalam penulisan makalah ini kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada
pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada
:

Amelia Arnis, M.,Nurs selaku Pembimbing dan Dosen Penanggungjawab mata


kuliah Keperawatan Anak yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran
dalam pelaksanaan bimbingan, pengarahan dan dorongan dalam rangka
menyelesaikan makalah ini.

Dengan demikian, kami berharap makalah ini dapat bermanfaat dan menambah
wawasan pembaca mengenai Asuhan Keperawatan pada Pasieng Anak dengan
Sindrom Nefritik Akut.

Jakarta, 20 April 2020

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................1
DAFTAR ISI............................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................3
A. Latar Belakang..............................................................................................3
B. Rumusan Masalah.........................................................................................4
C. Tujuan...........................................................................................................5
BAB II TINJAUAN TEORI...................................................................................6
A. Anatomi dan Fisiologi...................................................................................6
B. Pengertian......................................................................................................9
C. Etiologi........................................................................................................10
D. Patofisiologi................................................................................................10
E. Manifestasi Klinik.......................................................................................15
F. Klasifikasi...................................................................................................15
G. Pemeriksaan Diagnostik..............................................................................16
H. Penatalaksanaan Medis...............................................................................16
I. Komplikasi..................................................................................................18
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN.................................................................19
A. Pengkajian...................................................................................................19
B. Diagnosis Keperawatan...............................................................................20
C. Intervensi Keperawatan...............................................................................20
D. Implementasi Keperawatan.........................................................................24
E. Evaluasi Keperawatan.................................................................................25
BAB IV PENUTUP...............................................................................................26
A. Kesimpulan.................................................................................................26
B. Saran............................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................27

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sindrom Nefritik Akut (SNA) merupakan kumpulan gambaran klinis berupa
oliguria, edema, hipertensi yang disertai adanya kelainan urinalisis (proteinuri
kurang dari 2 gram/hari dan hematuri serta silinder eritrosit). Sindrom nefritik
dan sindrom nefrotik memiliki gejala yang sama, kecuali dua perbedaan
gejala yang signifikan seperti hipertensi dan gips sel darah merah (Putu dan
Sidharta, 2019).

Etiologi SNA sangat banyak, diantaranya kelainan glomerulopati primer


(idiopati), glomerulopati pasca infeksi, DLE, vaskulitis dan nefritis herediter
(sindroma Alport). SNA merupakan salah satu manifestasi klinis
Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus (GNAPS), dimana terjadi suatu
proses inflamasi pada tubulus dan glomerulus ginjal yang terjadi setelah
adanya suatu infeksi streptokokus pada seseorang (Renny A Rena & Suwitra,
2009).

Istilah SNA sering digunakan bergantian dengan Glomerulonefritis Akut


(GNA). GNA  ini adalah suatu istilah yang sifatnya lebih umum dan lebih
menggambarkan proses histopatologi berupa proliferasi dan inflamasi sel
glomeruli akibat proses imunologik. Jadi, SNA merupakan istilah yang
bersifat klinik dan GNA merupakan istilah yang lebih bersifat histologic
(Rauf S, 2012).

Di negara berkembang, penyebab terbanyak sindrom nefritis akut pada anak


adalah Glomerulonefritis Akut Pasca Infeksi Streptococcus (GNAPS).
Glomerulonefritis adalah penyebab signifikan kelainan ginjal yang
menyebabkan 10% -15% kasus gagal ginjal stadium akhir di Amerika
Serikat. Pada glomerulonefritis primer, penyakit ini hampir seluruhnya
terbatas pada ginjal (seperti pada IgAN atau APSGN) pada glomerulonefritis

3
sekunder, terdapat peradangan yang lebih luas (seperti pada lupus
erythematosus sistemik (SLE) atau vaskulitis sistemik) (Appel, dkk. 2010).

Peran perawat pada kasus ini adalah mempertahankan status cairan dalam
batas normal dengan melakukan balance cairan pada anak, mencegah
kelelahan dengan menganjurkan melakukan aktifitas sesuai dengan
kemampuan anak, mempertahankan integritas kulit dengan mengkaji apabila
ada edema dapat meninggikan ekstremitasnya, meningkatkan status nutrisi
dengan menimbang BB setiap hari, mempertahankan pembatasan sodium dan
cairan sesuai program, memantau BUN dan creatinin , memonitor kecemasan
anak agar anak menjadi rileks dan lebih kooperatif dalam pemberian asuhan
keperawatan sehingga hasil yang diharapkan dapat tercapai dan anak tidak
mengalami komplikasi yang lebih parah dari penyakitnya. (Noer MS, 2011).

Berdasarkan masalah-masalah diatas, kelompok tertarik untuk menulis


tentang “Asuhan Keperawatan Sindrom Nefritik Akut pada Anak”.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari Sindrom Nefritik Akut?
2. Apa penyebab dari Sindrom Nefritik Akut
3. Bagaimana patofisiologi dari Sindrom Nefritik Akut?
4. Bagaimana manifestasi klinis dari Sindrom Nefritik Akut?
5. Apa saja klasifikasi dari Sindrom Nefritik Akut?
6. Apa saja pemeriksaan diagnostik dari Sindrom Nefritik Akut?
7. Apa saja komplikasi dari Sindrom Nefritik Akut?
8. Bagaimana penatalaksanaan medis dari Sindrom Nefritik Akut?
9. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien anak dengan Sindrom
Nefritik Akut?

4
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu mengetahui asuhan keperawatan pada pasien anak
dengan Sindrom Nefritik Akut.
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu mengetahui anatomi dan fisiologis ginjal
b. Mahasiswa mampu mengetahui definisi tentang Sindrom Nefritik
Akut
c. Mahasiswa mampu mengetahui penyebab Sindrom Nefritik Akut
d. Mahasiswa mampu mengetahui patofisiologi Sindrom Nefritik
Akut
e. Mahasiswa mampu mengetahui manifestasi klinis dari Sindrom
Nefritik Akut
f. Mahasiswa mampu mengetahui klasifikasi dari Sindrom Nefritik
Akut
g. Mahasiswa mampu mengetahui pemeriksaan diagnostik dari
Sindrom Nefritik Akut
h. Mahasiswa mampu mengetahui komplikasi dari Sindrom Nefritik
Akut
i. Mahasiswa mampu mengidentifikasi penatalaksanaan medis
Sindrom Nefritik Akut

5
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Anatomi dan Fisiologi

Sumber: Tortora dan Derrickson, 2011

Ginjal atau Renal adalah suatu organ yang letaknya retroperitoneal pada
dinding abdomen dextra dan sinistra columna vertebralis setinggi vertebra T12
hingga L3. Ginjal kanan terletak lebih rendah daripada ginjal kiri dikarenakan
besarnya lobus hepar. Ginjal dibungkus oleh tiga lapis jaringan yaitu, kapsula
renalis yang merupakan jaringan terdalam, jaringan lapisan kedua yaitu
adiposa dan jaringan terluar adalah fascia renal. Ketiga lapisan jaringan ini
berfungsi sebagai pelindung dari trauma serta memfiksasi ginjal (Tortora dan
Derrickson, 2011).

Masing-masing ginjal manusia terdiri dari sekitar satu juta nefron yang
masing- masing dari nefron tersebut memiliki tugas untuk membentuk urin.
Ginjal tidak dapat membentuk nefron baru, oleh sebab itu, pada trauma,
penyakit ginjal, atau penuaan ginjal normal akan terjadi penurunan jumlah
nefron secara bertahap. Setelah usia 40 tahun, jumlah nefron biasanya
menurun setiap 10 tahun. Berkurangnya fungsi ini seharusnya tidak

6
mengancam jiwa karena adanya proses adaptif tubuh terhadap penurunan
fungsi faal ginjal (Sherwood, 2001).

Sumber: Tortora dan Derrickson, 2011

Setiap nefron memiliki 2


komponen utama yaitu glomerulus dan tubulus. Glomerulus (kapiler
glomerulus) dilalui sejumlah cairan yang difiltrasi dari darah sedangkan
tubulus merupakan saluran panjang yang mengubah cairan yang telah difiltrasi
menjadi urin dan dialirkan menuju keluar ginjal. Glomerulus tersusun dari
jaringan kapiler glomerulus bercabang dan beranastomosis yang mempunyai
tekanan hidrostatik tinggi (kira-kira 60mmHg), dibandingkan dengan jaringan
kapiler lain.

Kapiler-kapiler glomerulus dilapisi oleh sel-sel epitel dan seluruh glomerulus


dilingkupi dengan kapsula Bowman. Cairan yang difiltrasi dari kapiler
glomerulus masuk ke dalam kapsula Bowman dan kemudian masuk ke tubulus
proksimal, yang terletak pada korteks ginjal. Dari tubulus proksimal kemudian
dilanjutkan dengan ansa Henle (Loop of Henle). Pada ansa Henle terdapat
bagian yang desenden dan asenden. Pada ujung cabang asenden tebal terdapat
makula densa. Makula densa juga memiliki kemampuan kosong untuk
mengatur fungsi nefron. Setelah itu dari tubulus distal, urin menuju tubulus
rektus dan tubulus koligentes modular hingga urin mengalir melalui ujung

7
papilla renalis dan kemudian bergabung membentuk struktur pelvis renalis
(Berawi, 2009).

Terdapat 3 proses dasar yang berperan dalam pembentukan urin yaitu filtrasi
glomerulus reabsorbsi tubulus, dan sekresi tubulus. Filtrasi dimulai pada saat
darah mengalir melalui glomerulus sehingga terjadi filtrasi plasma bebas-
protein menembus kapiler glomerulus ke kapsula Bowman. Proses ini dikenal
sebagai filtrasi glomerulus yang merupakan langkah pertama dalam
pembentukan urin. Setiap hari terbentuk rata-rata 180 liter filtrat glomerulus.
Dengan menganggap bahwa volume plasma rata-rata pada orang dewasa
adalah 2,75 liter, hal ini berarti seluruh volume plasma tersebut difiltrasi
sekitar enam puluh lima kali oleh ginjal setiap harinya. Apabila semua yang
difiltrasi menjadi urin, volume plasma total akan habis melalui urin dalam
waktu setengah jam. Namun, hal itu tidak terjadi karena adanya tubulus-
tubulus ginjal yang dapat mereabsorpsi kembali zat-zat yang masih dapat
dipergunakan oleh tubuh. Perpindahan zat-zat dari bagian dalam tubulus ke
dalam plasma kapiler peritubulus ini disebut sebagai reabsorpsi tubulus. Zat-
zat yang direabsorpsi tidak keluar dari tubuh melalui urin, tetapi diangkut oleh
kapiler peritubulus ke sistem vena dan kemudian ke jantung untuk kembali
diedarkan. Dari 180 liter plasma yang difiltrasi setiap hari, 178,5 liter diserap
kembali, dengan 1,5 liter sisanya terus mengalir melalui pelvis renalis dan
keluar sebagai urin. Secara umum, zat-zat yang masih diperlukan tubuh akan
direabsorpsi kembali sedangkan yang sudah tidak diperlukan akan tetap
bersama urin untuk dikeluarkan dari tubuh. Proses ketiga adalah sekresi
tubulus yang mengacu pada perpindahan selektif zat-zat dari darah kapiler
peritubulus ke lumen tubulus. Sekresi tubulus merupakan rute kedua bagi zat-
zat dalam darah untuk masuk ke dalam tubulus ginjal. Cara pertama adalah
dengan filtrasi glomerulus dimana hanya 20% dari plasma yang mengalir
melewati kapsula Bowman, sisanya terus mengalir melalui arteriol eferen ke
dalam kapiler peritubulus. Beberapa zat, mungkin secara diskriminatif
dipindahkan dari plasma ke lumen tubulus melalui mekanisme sekresi tubulus.
Melalui 3 proses dasar ginjal tersebut, terkumpullah urin yang siap untuk
diekskresi (Sherwood, 2001).

8
Ginjal memainkan peranan penting dalam fungsi tubuh, tidak hanya dengan
menyaring darah dan mengeluarkan produk-produk sisa, namun juga dengan
menyeimbangkan tingkat-tingkat elektrolit dalam tubuh, mengontrol tekanan
darah, dan menstimulasi produksi dari sel-sel darah merah. Ginjal mempunyai
kemampuan untuk memonitor jumlah cairan tubuh, konsentrasi dari elektrolit-
elektrolit seperti sodium dan potassium, dan keseimbangan asam-basa dari
tubuh. Ginjal menyaring produk-produk sisa dari metabolisme tubuh, seperti
urea dari metabolisme protein dan asam urat dari uraian DNA. Dua produk
sisa dalam darah yang dapat diukur adalah Blood Urea Nitrogen (BUN) dan
kreatinin (Cr). Ketika darah mengalir ke ginjal, sensor-sensor dalam ginjal
memutuskan berapa banyak air dikeluarkan sebagai urin, bersama dengan
konsentrasi apa dari elektrolit-elektrolit. Contohnya, jika seseorang
mengalami dehidrasi dari latihan olahraga atau dari suatu penyakit, ginjal akan
menahan sebanyak mungkin air dan urin menjadi sangat terkonsentrasi. Ketika
kecukupan air dalam tubuh, urin adalah jauh lebih encer, dan urin menjadi
bening. Sistem ini dikontrol oleh renin, suatu hormon yang diproduksi dalam
ginjal yang merupakan sebagian daripada sistem regulasi cairan dan tekanan
darah tubuh (Ganong, 2009).

B. Pengertian
Sindrom Nefritik Akut adalah sekumpulan gejala yang terjadi dengan
beberapa kelainan yang menyebabkan pembengkakan dan peradangan pada
glomeruli di ginjal, atau glumeruonefritis (MedlinePlus, 2020). Menurut
Hilmanto (2005) sindrom nefritik akut (SNA) adalah penyakit glomerulus
yang ditandai oleh adanya edema, hematuria, hipertensi dan berbagai derajat
insufisiensi ginjal. Menurut Pardede dan Puspita (2014) Sindrom nefritik akut
merupakan kumpulan gejala klinik berupa proteinuria, hematuria, azotemia,
silinder eritrosit pada urin, oliguria, dan hipertensi yang terjadi secara akut.

9
C. Etiologi
1. Faktor Infeksi
a. Nefritis yang timbul setelah infeksi Streptococcus Beta
Hemolyticus (Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus).
Sindroma nefritik akut bisa timbul setelah suatu infeksi oleh
streptokokus, misalnya strep throat (radang tenggorokan). Kasus
seperti ini disebut glomerulonefritis pasca streptokokus.
Glomeruli mengalami kerusakan akibat penimbunan antigen dari
gumpalan bakteri streptokokus yang mati dan antibodi yang
menetralisirnya. Gumpalan ini membungkus selaput glomeruli
dan mempengaruhi fungsinya. Nefritis timbul dalam waktu 1-6
minggu (rata-rata 2 minggu) setelah infeksi dan bakteri
streptokokus telah mati, sehingga pemberian antibiotik akan
efektif (Medlineplus, 2019).
b. Nefritis yang berhubungan dengan infeksi sistemik lain :
endokarditis bakterialis subakut dan Shunt Nephritis. Penyebab
post infeksi lainnya adalah virus dan parasit, penyakit ginjal dan
sistemik, endokarditis, pneumonia. Bakteri : diplokokus,
streptokokus, staphylokokus. Virus: Cytomegalovirus,
coxsackievirus, Epstein-Barr virus, hepatitis B, rubella. Jamur dan
parasit : Toxoplasma gondii, filariasis, dll (Medlineplus, 2019).
2. Penyakit Multisistemik
Menurut (Medlineplus, 2019):
a. Lupus Eritematosus Sistemik
b. Purpura Henoch Schonlein (PHS) (1,6
3. Penyakit Ginjal Primer
Menurut (Konsensus IDAI. 2012):
a. Nefropati IgA

10
D. Patofisiologi
Glomerulonefritis akut didahului oleh infeksi ekstra renal terutama di traktus
respiratorius bagian atas dan kulit oleh kuman streptococcus beta hemoliticus
golongan A tipe 12,4,16,25,dan 29. Hubungan antara glomerulonefritis akut
dan infeksi streptococcus dikemukakan pertama kali oleh Lohlein pada tahun
1907 dengan alasan timbulnya glomerulonefritis akut setelah infeksi
skarlatina, diisolasinya kuman streptococcus beta hemoliticus golongan A,
dan meningkatnya titer anti-streptolisin pada serum penderita.

Antara infeksi bakteri dan timbulnya glomerulonefritis akut terdapat masa


laten selama kurang 10 hari. Kuman streptococcus beta hemoliticus tipe 12
dan 25 lebih bersifat nefritogen daripada yang lain, tapi hal ini tidak diketahui
sebabnya. Kemungkinan factor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan factor
alergi mempengaruhi terjadinya glomerulonefritis akut setelah infeksi kuman
streptococcus.

Patogenesis yang mendasari terjadinya GNAPS masih belum diketahui


dengan pasti. Berdasarkan pemeriksaan imunofluorosensi ginjal, jelas kiranya
bahwa GNAPS adalah suatu glomerulonefritis yang bermediakan imunologis.
Pembentukan kompleks-imun in situ diduga sebagai mekanisme patogenesis
glomerulonefritis pascastreptokokus (Konsensus IDAI. 2012).

Hipotesis lain yang sering disebut adalah neuraminidase yang dihasilkan oleh
streptokokus, merubah IgG menjadi autoantigenic. Akibatnya, terbentuk
autoantibodi terhadap IgG yang telah berubah tersebut. Selanjutnya terbentuk
komplek imun dalam sirkulasi darah yang kemudian mengendap di ginjal.

Streptokinase yang merupakan sekret protein, diduga juga berperan pada


terjadinya GNAPS. Sreptokinase mempunyai kemampuan merubah
plaminogen menjadi plasmin. Plasmin ini diduga dapat mengaktifkan sistem
komplemen sehingga terjadi cascade dari sistem komplemen. Pada
pemeriksaan imunofluoresen dapat ditemukan endapan dari C3 pada
glomerulus, sedang protein M yang terdapat pada permukaan molekul, dapat

11
menahan terjadinya proses fagosistosis dan meningkatkan virulensi kuman.
Protein M terikat pada antigen yang terdapat pada basal membran dan IgG
antibodi yang terdapat dalam sirkulasi.

Pada GNAPS, sistem imunitas humoral diduga berperan dengan


ditemukannya endapan C3 dan IgG pada subepitelial basal membran.
Rendahnya komplemen C3 dan C5, serta normalnya komplemen pada jalur
klasik merupakan indikator bahwa aktifasi komplemen melalui jalur
alternatif. Komplemen C3 yang aktif akan menarik dan mengaktifkan
monosit dan neutrofil, dan menghasilkan infiltrat akibat adanya proses
inflamasi dan selanjutnya terbentuk eksudat. Pada proses inflamasi ini juga
dihasilkan sitokin oleh sel glomerulus yang mengalami injuri dan proliferasi
dari sel mesangial (Konsensus IDAI. 2012).

Dari hasil penyelidikan klinis imunologis dan percobaan pada binatang


menunjukkan adanya kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab
glomerulonefritis akut. Beberapa ahli mengajukan hipotesis sebagai berikut:

1. Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada membrane


basalis glomerulus dan kemudian merusaknya.
2. Proses auto imun kuman streptococcus yang nefritogen dalam tubuh
menimbulkan badan auto-imun yang merusak glomerulus.
3. Streptococcus nefritogen dengan membrane basalis glomerulus
mempunyai komponen antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti
yang langsung merusak membrane basalis ginjal.

Kompleks imun atau anti Glomerular Basement Membrane (GBM) antibodi


yang mengendap/berlokasi pada glomeruli akan mengaktivasi komplemen
jalur klasik atau alternatif dari sistem koagulasi dan mengakibatkan
peradangan glomeruli, menyebabkan terjadinya:

1. Hematuria, Proteinuria, dan Silinderuria (terutama silinder eritrosit).


2. Penurunan aliran darah ginjal sehingga menyebabkan Laju Filtrasi
Ginjal (LFG) juga menurun. Hal ini berakibat terjadinya oligouria dan
terjadi retensi air dan garam akibat kerusakan ginjal. Hal ini akan

12
menyebabkan terjadinya edema, hipervolemia, kongesti vaskular
(hipertensi, edema paru dengan gejala sesak nafas, rhonkhi,
kardiomegali), azotemia, hiperkreatinemia, asidemia, hiperkalemia,
hipokalsemia, dan hiperfosfatemia semakin nyata, bila LFG sangat
menurun.
3. Hipoperfusi yang menyebabkan aktivasi sistem renin-angiotensin.
Angiotensin 2 yang bersifat vasokonstriktor perifer akan meningkat
jumlahnya dan menyebabkan perfusi ginjal semakin menurun. Selain
itu, LFG juga makin menurun disamping timbulnya hipertensi.

Angiotensin 2 yang meningkat ini akan merangsang kortek adrenal untuk


melepaskan aldosteron yang menyebabkan retensi air dan garam ginjal dan
akhirnya terjadi hipervolemia dan hipertensi.

Pathway
Neuraminidase
Terbentuk
mengubah Ig G
Steptococcus Infeksi pada antibodi
menjadi autoimun
Beta Traktus
Hemoloiticus Respitatory

Reaksi Kompleks imun


Antigen – dalam darah
Antibodi

Aktivasi jalur Terperangkap Sirkulasi ke


komplemen membran basal glomerulus
(Chemotaksis)

Lesi dan Peradangan Sindrom Nefritik


pada glomerulus Akut (SNA)

B1 B2 B3 B4 B5 B6
(Breathing) (Blood) (Brain) (Bladder) (Bowel) (Bone)

Aktivasi Kerusakan Penurunan Penurunan Aktivasi Penurunan


polimorfonu struktur fungsi ginjal fungsi ginjal polimorfonu fungsi ginjal
klear (PMN) ginjal klear (PMN)
dan dan
trombosit Laju filtrasi Laju filtrasi trombosit Laju filtrasi
menuju glomerular glomerular menuju glomerular
Sintesis
tempat lesi (GFR ) (GFR ) tempat lesi (GFR )
eritropoetik
menurun menurun menurun
menurun
13
Terbentuk Terbentuk
jaringan Aldosteron Aldosteron jaringan Aldosteron
Anemia
parut di meningkat meningkat parut di meningkat
Kebocoran Transpor O2 Retensi Na+ Retensi Na+ Kebocoran Retensi Na+
kapiler menurun kapiler
glomerulus glomerulus

Hipoksemia Retensi H2O Retensi H2O Dilusi


plasma
Proteinuria Proteinuria
ECF (Cairan ECF (Cairan
O2 tidak Ekstraseluler) Ekstraseluler) Hipervolemia
masuk ke meningkat meningkat Diet rendah
Hipoalbuminemia
jaringan protein
Anemia
Difusi cairan Hipertensi Edema
Hipoksia
ke ekstra sel Defisit
Nutrisi 5L
Peningkatan
Perfusi Hipervolemia (letih, lesu, 
Retensi TIK
Perifer lemah,
cairan di
Tidak lunglai, dan
rongga perut
Efektif Sakit kepala lelah)

Asites
Nyeri Akut Intoleransi
Aktivitas
Menekan
diafragma

Ekspansi otot
pernapasan tidak
optimal

Nafas tidak
adekut

Pola Nafas
Tidak Efektif

14
E. Manifestasi Klinik
Secara historis, sindrom nefritik ditandai oleh darah dalam urin (hematuria),
tekanan darah tinggi (hipertensi), penurunan output urin <400 mL / hari
(oliguria), red blood cell cast, piuria, dan proteinuria ringan hingga sedang
(Kibble, 2009).

Tanda dan gejala yang konsisten dengan sindrom nefritik meliputi:

1. Hematuria (darah dalam urin)


2. Proteinuria (protein dalam urin) mulai dari sub-nefrotik (<3,5 g/hari)
hingga >10 g/hari, meskipun jarang di atas tingkat proteinuria kisaran
nefrotik
3. Hipertensi (tekanan darah pada saat istirahat terus-menerus 130/80 atau
140/90 mmHg)
4. Penglihatan kabur
5. Azotemia (peningkatan plasma urea dan kreatinin)
6. Oliguria (produksi urin <400 ml / hari)
7. Red blood cell cast (terlihat dengan analisis urin dan mikroskop
8. Piuria (sel darah putih atau nanah dalam urin)

F. Klasifikasi
Ada beberapa jenis nefritis akut: (Macon et al, 2018).
1. Nefritis interstitial
Pada nefritis interstitial, ruang antara tubulus ginjal menjadi meradang.
Peradangan ini menyebabkan ginjal membengkak.
2. Pielonefritis
Pielonefritis adalah peradangan ginjal, biasanya karena infeksi bakteri.
Pada sebagian besar kasus, infeksi dimulai di dalam kandung kemih dan
kemudian bermigrasi ke ureter dan masuk ke ginjal. Ureters adalah dua
tabung yang mengangkut urin dari setiap ginjal ke kandung kemih.
3. Glomerulonefritis
Jenis nefritis akut ini menghasilkan peradangan pada glomeruli. Ada
jutaan kapiler di dalam setiap ginjal. Glomeruli adalah kelompok kecil

15
kapiler yang mengangkut darah dan berperan sebagai unit penyaringan.
Glomeruli yang rusak dan meradang mungkin tidak menyaring darah
dengan benar.
(Macon et al, 2018).

G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan Lab:
a. Blood electrolytes
b. Blood urea nitrogen (BUN)
c. Creatinine
d. Creatinine clearance
e. Potassium test
f. Protein dalam urine
g. Urinalysis
2. Biopsi ginjal:
Biopsi ginjal akan menampilkan peradangan dari glomeruli
3. Pemeriksaan untuk mengetahui penyebab dari Sindrom Nefritik Akut
diantaranya:
a. ANA titer for lupus
b. Antiglomerular basement membrane antibody
c. Antineutrophil cytoplasmic antibody for vasculitis (ANCA)
d. Blood culture
e. Culture of the throat or skin
f. Serum complement (C3 and C4)

H. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan yang direkomendasi pada penderita SNA post streptokokus
adalah terapi simtomatik yang berdasar pada derajat keparahan penyakit
secara klinis. Tujuan utama dari pengobatan adalah mengendalikan hipertensi
dan edema. Selama fase akut, penderita dibatasi aktivitasnya dengan
pemberian diet 35 kal/kg berat badan perhari, pembatasan diet protein hewani
0,5. 0,7 gram/kg berat badan perhari, lemak tak jenuh, dan rendah garam

16
yaitu 2 gram natrium perhari. Asupan elektrolit pun harus dibatasi. Natrium
20 meq perhari, rendah kalium yaitu kurang dari 70 . 90 meq perhari serta
kalsium 600.1000 mg perhari. Restriksi cairan secara ketat dengan
pembatasan cairan masuk 1 liter perhari, guna mengatasi hipertensi.

Pengobatan hipertensi dapat dengan menggunakan diuretik kuat, atau bila


hipertensi tetap tidak teratasi pilihan obat selanjutnya adalah golongan
calcium channel blocker, ACE inhibitor atau bahkan nitroprusid intravena
bagi hipertensi maligna. Pada beberapa kasus berat dengan kondisi
hiperkalemi dan sindrom uremia yang berat diindikasikan untuk hemodialisa.

Terapi steroid intravena terutama diindikasikan untuk glomerulonefritis tipe


kresentik dengan luas lesi lebih dari 30% glomerulus total. Metil prednisolon
500 mg intravena perhari terbagi dalam 4 dosis selama 3 – 5 hari. Namun
beberapa referensi menyebutkan tidak diindikasikan untuk pemberian terapi
steroid dalam jangka panjang.
Antibiotika diindikasikan untuk pengobatan infeksi streptokokus. Pilihan obat
yang direkomendasikan adalah penicillin G oral 4 x 250 mg selama 7- 10
hari.
Penderita pada kasus ini diberikan diet 2500 Kkal dan tinggi protein.
Pengobatan dengan injeksi phenoxy metilprednisolon 2 x 62,5 mg, injeksi
furosemid 3 x 20 mg dan kaptopril 2 x 25 mg. Dilakukan monitoring
keseimbangan cairan, elektrolit serta tanda vital secara ketat.

Pada umumnya terdapat 4 kemungkinan perjalanan penyakit dari sindrom


nefritis akut pasca infeksi streptokokus, yaitu kematian selama masa akut
dapat disebabkan infeksi sekunder terutama infeksi paru (pneumonia),
bendungan paru akut, ensefalopati hipertensif, dan hiperkalemi. Angka
kematian biasanya kurang dari 5% berkat kemajuan terapi misalnya
pemberian obat-obat antihipertensi yang poten/kuat,
hemodialisis/peritonealdialisis, dan transplantasi ginjal (Renny A Rena &
Suwitra, 2009).

17
I. Komplikasi
Ketika kondisi gejala membaik seperti rentensi cairan dan tekanan darah tiggi
dapat menghilang dalam waktu 1 atau 2 minggu. Anak - anak cenderung
melakukan lebih baik daripada orang dewasa dan biasanya pulih sepenuhnya.
Jarang mereka mengembangkan komplikasi atau berkembang menjadi
penyakit ginjal kronis dan prospek ini tergantung pada penyakit yang
menyebabkan glomerulonefritis ini.

18
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Data demografi
2. Riwayat kesehatan
Perubahan eliminasi urine : output urine ↓
3. Keadaan umum
Lelah, pusing, nausea, vomiting, berat badan ↑
4. TTV
Tekanan darah ↑
5. Pemeriksaan fisik
a. Mata : konjungtiva anemis, penglihatan kabur
b. Edema pada wajah, ekstremitas
c. Abdomen : asites
d. Batuk berdahak atau kemerahan, dipsnea, crackles
e. Nyeri abdomen/pinggang
6. B1 (Breatihing) : Biasanya tidak didapatkan adanya gangguan pola
nafas dan jalan nafas walau secara frekuensi mengalami peningkatan
terutama pada fase akut. Pada fase lanjut di dapatkan adanya gangguan
pola nafas dan jalan nafas yang merupakan respons edema pulmoner
dan efusi fleura.
7. B2 (Blood ) : Sering ditemukan penurunan curah jantung respons
sekunder dari peningkatan beban volume.
8. B3 (Brain) : Didapatkan adanya edema wajah terutama periorbital,
konjungtiva anemis, penglihatan kabur, status neurologi mengalami
perubahan sesuai dengan tingkat parahnya azotemia pada sistem saraf
pusat.
9. B4 (Bladder). Perubahan warna urine output (hematuria, piuria).

19
10. B5 (Bowel). Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia sehingga
sering didapatkan penurunan intake nutrisi kurang dari kebutuhan.
Didapatkan asites pada abdomen.
11. B6 (Bone). Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum, efek
sekunder dari edema tungkai dari keletihan fisik secara umum.

B. Diagnosis Keperawatan
Menurut PPNI (2018) dan PPNI (2019) intervensi keperawatan pada anak
dengan sindrom nefrtik akut antara lain :

1. Pola Napas b.d penurunan ekpansi paru d.d dispnea, pengguanan otot
bantu pernapasan, fase ekspirasi memanjang, pola napas abnormal,
tidak memproduksi hb secara normal.
2. Hipervolemia b.d gangguan mekanisme regulasi d.d dispnea, edema
perifer, berat badan meningkat dalam waktu singkat (edema), oliguria.
3. Defisit Nutrisi b.d faktor psikologis d.d berat badan menurun minimal
10% dibawah rentang ideal.
4. Perfusi Jaringan Tidak Efektif b.d peningkatan tekanan darah d.d
pengisian kapiler >3 detik, nadi perifer menurun atau tidak teraba, akral
teraba dingin, warna kulit pucat, turgor kulit menurun, edema.
5. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen d.d frekeunsi jantung meningkat >20% dari kondisi istirahat
6. Nyeri akut b.d agen peningkatan TIK d.d mengeluh nyeri, tampak
meringis, gelisah, frekuensi nadi meningkat, sulit tidur.

C. Intervensi Keperawatan
Perencanaan adalah suatu kategori dari perilaku keperawatan dimana tujuan
berpusat pada klien dan hasil yang di perkirakan ditetapkan dan intervensi
keperawatan dipilih untuk mencapai tujuan tersebut (Potter & Perry, 2005).
Menurut Bulechek dkk dalam Nursing Interventions Classification (NIC)
(2013), intervensi keperawatan merupakan suatu perawatan yang dilakukan
perawat berdasarkan penilaian klinis dan pengetahuan perawat untuk
meningkatkan outcome pasien/klien.

20
Menurut PPNI (2018) dan PPNI (2019) intervensi keperawatan pada anak
dengan sindrom nefritik akut antara lain:
1. Pola Napas Tidak Efektif
a. Tujuan dan Kriteria Hasil :
Setelah dilakukan intervensi keperawatan, maka pola napas
membaik dengan kriteria hasil :
1) Dispnea cukup menurun
2) Penggunaan otot bantu napas cukup menurun
3) Pemanjangan fase ekspirasi cukup menurun
4) Frekuensi napas cukup membaik
5) Kedalaman napas cukup membaik
b. Intervensi Keperawatan :
Manajemen Jalan Napas
Obervasi :
1) Monitor pola napas (frekuensi, pola napas, kedalaman,
usaha napas)
Terapeutik :
1) Posisikan semi fowler atau fowler
2) Berikan minum hangat
3) Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi (keluarga) :
1) Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak ada
kontraindikasi

2. Hipervolemia
a. Tujuan dan kriteria hasil :
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam
maka keseimbangan cairan meningkat dengan kriteria hasil :
1) Mempertahankan output urine dalam batas normal
2) Edema cukup menurun
3) Tekanan darah membaik (120/80 mmHg)
4) Tidak terjadi penurunan berat badan

21
b. Intervensi :
Manajemen Hipervolemia
Observasi :
1) Identifikasi penyebab hypervolemia
2) Monitor status hemodinamik (mis: frekuensi jantung, TD,
MAP, CVP, PAP,PCWP,CO,CI).
3) Monitor intake dan output cairan
4) Monitor tanda hemokonsentrasi (mis : kadar natrium, BUN,
hematokrit, berat jenis urine)
5) Monitor tanda peningkatan tekanan onkotik (mis: kadar
protein dan albumin meningkat)
6) Monitor kecepatan infus secara ketat
7) Monitor efek samping diuretic (mis: hipotensi ortortostatik,
hypovolemia, hipokalemia, hyponatremia
Terapeutik :
1) Timbang BB setiap hari pada waktu yang sama
2) Batasi asupan cairan dan garam
3) Tinggikan Kepala tempat tidur 30-400
Edukasi (keluarga)
1) Anjurkan melapor jika haluaran urin <0,5 mL/Kg/jam
dalam 6 jam
2) Anjurkan melapor jika BB bertambah >1 kg dalam sehari
3) Ajarkan cara mengukur dan mencatat asupan dan haluan
nutrisi
4) Ajarkan cara membatasi cairan
Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian diuretik

3. Defisit Nutrisi
a. Tujuan dan Kriteria Hasil:
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24jam maka
status nutrisi membaik dengan kriteria hasil:

22
1) Porsi makanan yang dihabiskan cukup meningkat menjadi
¾ porsi
2) Perasaan cepat kenyang cukup menurun
3) Nyeri abdomen menurun
4) Frekuensi makan cukup membaik dengan makan 2-3x
sehari
5) Nafsu makan cukup membaik

b. Intervensi Keperawatan
Manajemen Nutrisi
Observasi

1) Identifikasi status nutrisi


2) Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
3) Identifikasi makanan yang disukai
4) Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient
5) Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastric
6) Monitor asupan makanan
7) Monitor berat badan
8) Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
Terapeutik

1) Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis. piramida


makanan)
2) Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai agar
anak tertarik untuk memakan makanannya.
3) Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
4) Berikan suplemen makanan untuk meningkatkan nafsu
makan anak
5) Hentikan pemberian makanan melalui selang nasogastrik,
jika asupan oral ditoleransi

23
Kolaborasi

1) Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan


2) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah
kalori dan jenis nutrient yang dibutuhkan

Promosi Berat Badan


Observasi
1) Identifikasi kemungkinan penyebab BB kurang
2) Monitor adanya mual dan muntah
3) Monitor jumlah kalori yang dikonsumsi sehari-hari
4) Monitor BB
Terapeutik
1) Hidangkan makanan secara menarik
2) Berikan suplemen
3) Berikan pujian pada pasien/keluarga untuk peningkatan
yang dicapai
Edukasi (keluarga)
1) Jelaskan peningkatan asupan kalori yang dibutuhkan.

D. Implementasi Keperawatan
Implementasi yang merupakan komponen dari proses keperawatan adalah
katagori dari prilaku keperawatan dimana tindakan yang diperlukan untuk
mencapai tujuan dan hasil yang dipekirakan dari asuhan keperawatan
dilakukan dan diselesaikan. Dalam teori, implementasi dari rencana asuhan
keperawatan mengikuti komponen perencanaan dari proses keperawatan.
Namun demikian, di banyak lingkungan perawatan kesehatan, implementasi
mungkin dimulai secara langsung setelah pengkajian (Potter & Perry, 2005).

24
E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang merupakan
perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil akhir yang teramati
dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Evaluasi
dilakukan secara berkesinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga
kesehatan lainnya. Jika hasil evaluasi menunjukkan tercapainya tujuan dan
kriteria hasil, klien bisa keluar dari siklus proses keperawatan. Jika
sebaliknya, klien akan masuk kembali ke dalam siklus tersebut mulai dari
pengkajian ulang (reassessment) (Asmadi, 2008).

25
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Menurut Pardede dan Puspita (2014) Sindrom nefritik akut merupakan
kumpulan gejala klinik berupa proteinuria, hematuria, azotemia, silinder
eritrosit pada urin, oliguria, dan hipertensi yang terjadi secara akut. Penyebab
sindrom nefritik akut antara lain faktor infeksi, penyakit multisistemik,
penyakit ginjal kronik (Medlineplus, 2019). Secara historis, sindrom nefritik
ditandai oleh darah dalam urin (hematuria), tekanan darah tinggi (hipertensi),
penurunan output urin <400 mL / hari (oliguria), red blood cell cast, piuria,
dan proteinuria ringan hingga sedang (Kibble, 2009). Ada beberapa jenis
nefritis akut antara lain, nefritis intertitial, pielonefritis, glomerulonefritis
(Macon et al, 2018). Penatalaksanaan yang direkomendasi pada penderita
SNA post streptokokus adalah terapi simtomatik yang berdasar pada derajat
keparahan penyakit secara klinis. Tujuan utama dari pengobatan adalah
mengendalikan hipertensi dan edema. Ketika kondisi gejala membaik seperti
rentensi cairan dan tekanan darah tiggi dapat menghilang dalam waktu 1 atau
2 minggu. Anak - anak cenderung melakukan lebih baik daripada orang
dewasa dan biasanya pulih sepenuhnya.

B. Saran
Kami sadar makalah keperawatan anak ini masih kurang sempurna. Kami
mengharapkan masukan kritik dan saran yang membangun untuk
kesempurnaan makalah kami. Terima kasih atas kritik dan saran yang telah
diberikan.

26
DAFTAR PUSTAKA

Appel GB, Kaplan AA, Glassock RJ, Sheridan AM. Overview Of The
Classification And Treatment Of Rapidly Progressive Crescentic
Glomerulonephritis. Oct 2010 [cited 2016 August 18]. Available from: URL:
www.uptodate.com.

Asmadi. 2008. Konsep Dasar Keperawatan, Jakarta: EGC

Berawi, K.N. 2009. Fisiologi Ginjal dan Cairan Tubuh. Edisi 2. Bandar Lampung
: Penerbit Universitas Lampung.

Ganong, W.F. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 20. Jakarta: EGC.

Hilmanto, Dany. (2005). Artikel Prevalensi Hipertensi Ensefalopati Pada Anak


Dengan Sindrom Nefritik Akut Di RS/ Perjan Dr. Hasan Sadikin Bandung.
Universitas Katolik Atma Jaya.

Kibble, Jonathan David. (2009). Medical Physiology : The Big Picture. Halsey,
Colby Ray. New York: McGraw-Hill. p. 221.

Konsensus IDAI. 2012. Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus. Jakarta.

Macon, Brindles L., Yu, W., Nall, R. 2018. Acute Nephritis. San Francisco:
Healthline Media. https://www.healthline.com/health/acute-nephritic-
syndrome.html

Medlineplus. (2019). Acute Nephritic Syndrome. Retrieved from


https://medlineplus.gov/ency/article/000495.html

Noer MS. Gomerulonefritis akut pasca Streptococcus. Dalam: Noer MS,


Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV, Alatas H, Tambunan T, et al.,
penyunting. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia; 2011. h. 57-61.

27
Pardede, S. O & Puspita, R. (2014). Diagnosis dan Tata Laksana
Glomerulonefritis Progresif Cepat pada Anak. Departemen Ilmu Kesehatan
Anak FKUI-RSCM, Jakarta.

Potter, P & Perry, A. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses
dan Praktik. Edisi 4. Jakarata: EGC.

PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator


Diagnostik. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan


Keperawatan. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan


Keperawatan. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

Putu, I.G. Heri dan Sidharta, Jodi L. 2019. Diagnostic Problems in a Patient with
Nephritic Syndrome. Denpasar: Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Rauf S, Albar H, Aras J. Konsensus Glomerulonefritis Akut Pasca Streptococcus.


Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012

Renny A Rena, N., & Suwitra, K. (2009). Seorang Penderita Sindrom Nefritik
Akut Pasca Infeksi Streptokokus. Journal of Internal Medicine, 10(3).

SNA pada Anak. 2010. http://dp-coass.blogspot.com/2010/05/sna-pada-anak.html


(diakses pada 26 April 2020)

Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC.p462-8.

Tortora, G, J., Derrickson, B. 2011. Principles of Anatomy and Physiology


Maintenance and Continuity of The Human Body 13 th Edition. USA : John
Willey dan Sans Inc.

28

Anda mungkin juga menyukai