Anda di halaman 1dari 6

UJI KUANTATIF PROTEIN

PENDAHULUAN
Analisis kuantitatif merupakan analisis untuk menentukan konsentrasi suatu analit di dalam
sampel. Analisis protein merupakan salah satu metode yang paling banyak digunakan dalam
penelitian dalam bidang ilmu hayati. Estimasi konsentrasi protein diperlukan dalam penelitian
dibidang biokimia, mikrobiologi, biologi sel, biologi molekuler dan aplikasi penelitian lainnya.
Beberapa hal seperti sensitifitas dan tingkat kespesifikan dalam metode analisis kuantitatif,
termasuk analisis protein sangat perlu diperhatikan. Sensitifitas uji berhubungan dengan limit
deteksi dari analit yang dapat dianalisis dengan menggunakan metode yang dipilih. Sedangkan
spesifisitas pengujian berkaitan dengan seberapa baik pengujian dalam membedakan antara
analit yang diminta dan zat yang dapat mengganggu analisis.
Berbagai batasan analisis dan metode sudah banyak dikembangkan dan prosedurnya tersedia
untuk digunakan dalam mengukur konsentrasi protein. Sebagian besar analisis protein
menggunakan metode uji spektrofotometri protein. Terdapat tiga metode dasar yang digunakan
dalam analisis protein secara kuantitatif yaitu metode absorbansi UV, uji pengikatan zat warna
menggunakan kolorimetri dan analisis yang berbasis deteksi intensitas fluorescent yang
dihasilkan dari suatu reaksi kimia.

Metode analisis protein yang beragam memiliki kelebihan dan keterbatasannya sendiri. Faktor-
faktor yang harus diperhatikan dalam memilih metode analisis adalah:
1. Sensitifitas metode
2. adanya zat yang mengganggu dalam analisis
3. waktu yang tersedia untuk pengujian.

Beberapa metode analisis untuk menganalisis protein secara kuantitatif menggunakan metode
spektrofotometri disajikan dalam Gambar 1.

Gambar 1. Metode analisis protein secara kuantitatif menggunakan metode spektrometri.


Beberapa parameter perbandingan analisis kuantitatif protein secara spektrofotometri disajikan
pada Table 1. berikut ini
Tabel 1. Perbandingan beberapa metode analisis kuantitatif protein menggunakan
spektrofotometri.

Metode Sensitifitas Waktu Reagen Kekurangan


Biuret Rendah 20-30 menit Alkaline Destruktif
(1-20 mg) CuSO4 terhadap sampel
protein
Lowry Tinggi 40-60 menit Cu+ Destruktif
(-5 µg) Folin-Ciocalteu terhadap sampel
reagent protein
Bradford Tinggi 15 menit Coomassie Destruktif
(-1 µg ) brilliant blue G- terhadap sampel
250 protein
BCA Tinggi 60 menit Cu+2, Destruktif
(1 µg ) Bicinchoninic terhadap sampel
acid protein
Spectrophoto- Sedang ----- tidak -----
metric (50-100 µg ) menggunakan
(A280/A260) reagen

METODE ANALISIS PROTEIN SECARA KOLORIMETRI


Semua analisis protein secara kolorimetri memerlukan standar protein untuk memperkirakan
konsentrasi sampel. Standar protein yang umum digunakan dalam analisis protein adalah bovine
serum albumin (BSA), bovine gamma globulin, dan imunoglobulin (digunakan untuk
perhitungan konsentrasi antibodi).

Metode Uji Biuret


Uji biuret didasarkan pada pembentukan kompleks ion tembaga dengan protein. Pada reaksi ini,
tembaga sulfat ditambahkan untuk larutan protein dalam larutan alkali. Warna ungu atau
keunguan aakan dihasilkan, yang dihasilkan dari pembentukan kompleks antara ion tembaga dan
ikatan peptida. Reaksi biuret dengan protein tidak tergantung pada komposisi protein; oleh
karena itu, komposisi asam amino pada protein bukan merupakan faktor penentu. Namun
demikian, kemurnian protein dan kondisi asosiasi dapat mempengaruhi hasil yang diperoleh
dengan reagen biuret. Reaksi biuret agak tidak sensitif dibandingkan dengan metode lain pada
penentuan protein kolorimetri. Panjang gelombang yang digunakan pada analisis menggunakan
uji Biuret adalah 540-550 nm.
Gambar 2. Prinsip reaki uji Biuret yang menghasilkan pembentukan kompleks antara ion
tembaga dan ikatan peptida.

Metode Lowry
Uji protein Lowry didasarkan pada reaksi biuret dengan langkah-langkah tambahan dan reagen
untuk meningkatkan sensitivitas deteksi. Dalam reaksi biuret, tembaga berinteraksi dengan
empat atom nitrogen peptida untuk membentuk kompleks tembaga. Lowry menambahkan asam
phosphomolybdat/phosphotungstat juga dikenal sebagai reagen Folin-Ciocalteu. Pereaksi ini
berinteraksi dengan ion tembaga dan rantai samping tirosin, triptofan, dan sistein untuk
menghasilkan warna biru-hijau yang dapat dideteksi antara panjang gelombang 650nm dan
750nm. Kisaran sensitifitas deteksi protein pada metode Lowri adalah adalah antara 5–100μg.

Gambar 3. Prinsip reaki uji Lowry yang terdiri dari dua tahap yaitu pembentukan kompleks
antara ion tembaga dan ikatan peptide, dan penambahan reagen Folin-Ciocalteu yang
membentuk warna biru.
Metode Bradford
Metode Bradford menggunakan pengikatan zat warna biru Coomassie Briliant G-250 yang
sangat baik untuk protein, yang menghasilkan kompleks protein zat warna kompleks dengan
peningkatan absorbansi molar untuk penentuan konsentrasi protein. Penggunaan pewarna
Coomassie Briliant G-250 sebagai reagen kolorimetri untuk deteksi dan kuantisasi total protein
pertama kali dijelaskan oleh Dr. Marion Bradford pada tahun 1976 (Bradford, 1976).
Dalam suasana regaen asam, protein berikatan dengan pewarna Coomassie. Ini menghasilkan
perubahan spektrum dari warna kemerahan/coklat (maksimum absorbansi pada λ 465 nm) ke
warna biru (maksimum absorbansi pada λ 610 nm). Perbedaan antara dua bentuk pewarna
terbesar terjadi pada λ 595 nm, sehingga panjang gelombang ini merupakan panjang gelombang
optimal untuk mengukur warna biru dari kompleks pewarna-protein Coomassie.
Pengembangan warna dalam tes protein Bradford berhubungan dengan adanya asam amino basa
tertentu (terutama arginin, lisin dan histidin) dalam protein. Kekuatan van der Waals dan
interaksi hidrofobik juga berpartisipasi dalam pengikatan pewarna oleh protein. Jumlah ligan
pewarna Coomassie yang terikat pada setiap molekul protein sebanding dengan jumlah muatan
positif yang ditemukan pada protein. Asam amino bebas, peptida dan protein dengan berat
molekul rendah tidak menghasilkan warna dengan pereaksi pewarna Coomassie. Secara umum,
massa peptida atau protein harus setidaknya 3000 dalton agar dapat dideteksi dengan reagen ini.

Gambar 4. Struktur kimia pewarna Comassie Briliant Blue (C47H48N3NaO7S2; BM 854,02) yang
merupakan reagen pada analisis protein menggunakan metode Bradford.
Metode Bicinchoninic Acid Assay (BCA)
BCA Protein Assay diperkenalkan oleh Smith, et al., Pada tahun 1985. Sejak itu telah menjadi
metode yang paling populer untuk deteksi kolorimetri dan kuantisasi total protein. Satu manfaat
khusus adalah bahwa, tidak seperti metode lain yang tersedia pada waktu itu (mis., Uji Bradford
dan Lowry), BCA Protein Assay kompatibel dengan sampel yang mengandung surfaktan hingga
5% (deterjen). Selain itu, Assay BCA merespons lebih beragam terhadap protein berbeda
daripada metode Bradford.
BCA Protein Assay menggabungkan reaksi biuret yang diinduksi protein dengan analisis secara
kolorimetri yang sangat sensitif dan selektif dari kation Cupro yang dihasilkan (Cu1 +) oleh asam
bicinchoninic (BCA). Ada dua tahap dalam anailis menggunakan metode BCA, pertama adalah
reaksi biuret, yang menghasilkan warna biru samar hasil dari pengurangan ion cupri ke ion
cuprous. Yang kedua adalah pengkhelatan BCA dengan ion tembaga, menghasilkan warna ungu
yang lebih jelas. Produk reaksi berwarna ungu dibentuk oleh pengkhelatan dua molekul BCA
dengan satu ion cuprous. Kompleks BCA / tembaga larut dalam air dan menunjukkan absorbansi
linier yang kuat pada λ 562 nm dengan meningkatnya konsentrasi protein. Warna ungu dapat
diukur pada panjang gelombang antara 550 nm dan 570 nm dengan kehilangan sinyal minimal
(kurang dari 10%). Pereaksi BCA kira-kira 100 kali lebih sensitif (batas deteksi lebih rendah)
daripada pereaksi biuret.

Gambar 5. Reaksi BCA dengan ion tembaga. Dua molekul BCA mengikat masing-masing
molekul tembaga yang telah direduksi oleh reaksi biuret yang dimediasi peptida.
PROSEDUR PERCOBAAN
Alat dan Bahan
Reagen A terdiri dari 2 g Natrium KaliumTtartrat x 4 H20, 100 g Natrium Karbonat, 500 ml 1N
NaOH, H20 hingga satu liter (yaitu, 7mM Na-K tartrat, 0,81M Natrium Karbonat, konsentrasi
akhir NaOH 0,5N). Dapat disimpan sampai batas waktu 2 hingga 3 bulan.
Reagen B terdiri dari 2 g Natrium Kalium Tartrat x 4 H20, 1 gm tembaga sulfat (CuSO4. 5H20),
90 ml H20, 10 ml 1N NaOH (konsentrasi akhir 70 mM Na-K tartrat, 40 mM tembaga sulfat).
Dapat disimpan sampai batas waktu 2 hingga 3 bulan.
Reagen C terdiri dari 1 vol reagen Folin-Ciocalteau diencerkan dengan 15 kali volume
menggunakan akuades.

Prosedure Kerja
Kurva Standard
Siapkan Standar sebagaimana ditunjukkan di bawah ini dalam tabung reaksi (16x100 mm).

Konsentrasi 0 2.5 5 7.5 10 12.5 15 17.5 20


Protein (μg/mL)
Standard 2mg/mL 0 1.25 2.5 3.75 5 6.26 7.5 8.75 10
BSA (μL)
H20 (μL) 200 198.75 197.5 196.25 195 193.75 192.5 191.25 190

1) Tambahkan 1,0 ml setiap pengenceran standar, dan sampel yang mengandung protein yang
tidak diketahui, atau buffer (sebagai control negatif) ke 0,90 ml reagen A dalam tabung
reaksi terpisah dan campurkan dengan baik.
2) Inkubasikan tabung selama 10 menit pada water bath pada suhu 50 C, lalu dinginkan
hingga suhu kamar.
3) Tambahkan 0,1 ml reagen B ke setiap tabung, campur, inkubasi selama 10 menit pada suhu
kamar.
4) Dengan cepat tambahkan 3 ml reagen C ke setiap tabung, campur dengan baik, inkubasi 10
menit dalam rendaman 50 C, dan dinginkan hingga suhu kamar. Volume pengujian akhir
adalah 5 ml.
5) Ukur absorbansi pada λ 750 nm dalam cuvette 1 cm.
6) Plotkan Absorbansi sebagai sumbu Y dan konsentrasi sebagai sumbu X untuk memperoleh
kurva standar BSA, lalu hitung nilai a dan b persamaan regresi linier Y = a + bX yang
diperoleh
7) Berdasarkan rumus regresi linier yang diperoleh, dan nilai absorbansi sampel yang telah
diukru, hitunglah konsentrasi protein pada sampel yang diukur.

Anda mungkin juga menyukai