Renvoi - Arindra Purnama
Renvoi - Arindra Purnama
Oleh:
ARINDRA PURNAMA
( 1810111018 )
DOSEN PENGAMPUH:
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ANDALAS
KETERTIBAN UMUM
Ketertiban Umum adalah lembaga dalam HPI yang memungkinkan sang Hakim untuk
mengenyampingkan hukum asing yang seharusnya diberlakukan sesuai dengan apa yang
diatur dalam ketentuan HPI, karena dianggap bertentangan dengan sendi-sendi azasi
Hukum nasional sang Hakim.
Sebagai contoh:
I. Perbudakan :
Bagi orang-orang asing yang berasal dari Negara yang mengakui perbudakan (spt. Afrika),
jika timbul perselisihan diantara mereka (hubungan budak-majikan), meski menurut HPI
Indonesia ic Pasal 16 AB menentukan hukum personil WNA itu yg harus diterapkan, maka
Hakim (Indonesia) tidak akan menggunakannya / mengenyampingkan, karena hal itu
(perbudakan) dianggap bertentangan dengan sendi-sendi azasi sistim hukum Indonesia.
Lembaga ketertiban umum ini harus seirit dan seselektif mungkin, dipergunakan jika
diperlukan sekali sebagai “ultimum remedium” karena jika terlalu banyak digunakan akan
dicap sebagai bangsa yang munafik, hanya mementingkan hukum sendiri (As a Shield not as
a sword – sebagai perisai/pelindung, bukan sebagai pedang).
III. Konsep Anglo Saxon = “Public Policy” maksudnya adalah bahwa Hakim pengadilan
berpatokan pada sikap Executif mengenai pelaksanaan ketertiban umum. Bila pihak Executif
mengakui suatu Negara sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat, maka Yudikatif tidak
berwenang untuk mengadili perkara-perkara yang berkaitan dengan tindakan dari Negara
tersebut.
Keterkaitan
- tidak dapat ditentukan secara apriori apa yang termasuk ketertiban umum, tergantung
pada factor-faktor diatas. Sang hakimlah yang menentukan apakah suatu tindakan termasuk
ketertiban umum atau tidak.
Istilah “hak-hak yang diperoleh” sering disebut dengan right and obligations created abroad
atau hak dan kewajiban hukum yang terbit berdasarkan hukum asing. Yang menjadi
persoalan dalam HPI, apakah hak dan kewajiban hukum yang dimiliki seseorang berdasarkan
kaedah-kaedah dari suatu sistim hukum asing tertentu harus diakui atau tidak oleh lex fori
(Sunaryati hartono).
Menurut Prof. SUDARGO GAUTAMA:
Dalam HPI masalah “Vested rights” ini dikemukakan untuk memasalahkan sejauh mana
perubahan-perubahan yang terjadi terhadap fakta-fakta akan mempengaruhi berlakunya
kaedah-kaedah hukum yang semula digunakan.
Contoh:
A WNI dan berdasarkan hukum Indonesia telah diakui sah sebagaim ppemegang hak milik
atas suatu benda bergerak. Pada suatu saat A mengubah status keWNannya menjadi WN
Republik Rakyat Cina. Menurut hukum positif cina, dianggap saja A belum dapat dianggap
sebagai pemilik yang sah atas benda bergerak itu.
Masalah:
Apakah karena perubahan keWNan dari Indonesia menjadi Cina, hak milik atas barang
bergerak yang semula melekat pada A, kemudian akan dianggap tidak ada ?
Jika Hakim atau hukum RRCina menganggap bahwa “suatu pemilikan atas benda bergerak
dianggap sah berdasarkan hukum yang seharusnya berlaku, akan tetap diakui sahdi mana
pun hak itu hendak ditegakkan”, maka dapatlah dikatakan bahwa pengadilan Cina
menerima prinsip “hak-hak yang diperoleh” (vested right)
Hak dan kewajiban hukum yang telah diperoleh seseorang berdasarkan suatu kaedah
hukum haruslah dihormati oleh siapa saja, termasuk oleh lex fori, kecuali bila pengakuan
terhadap hak-hak semacam itu akan menimbulkan akibat yang bertentangan dengan public
order dari masyarakat forum.
Dalam arti yang terbatas, maka Vested rights atau hak-hak yang diperoleh akan bererti:
“Hak-hak yang dimiliki seseorang (suatu subjek hukum) berdasarkan kaedah hukum asing
dapat diakui didalam yuridiksi lex fori, selama pengakuan itu tidak bertentangan dengan
kepentingan umum masyarakat lex fori”.
Dengan kata lain: “Hak-hak yang diperoleh” dapat diakui selama pengakuan itu tidak
bertentangan dengan ketertiban umum lex fori atau dengan asas-asas keadilan yang hidup
dalam masyarakat forum.
PENYELUDUPAN HUKUM
Istilah-istilah:
- Wetsontduiking (Belanda), “fraude a la loi” (Perancis), “fraus legis” (Latin),
“Gesetzesumgehung”, das Handeln in fraudem legis” (Jerman), “fraudulent creation of point
of contacts” (Inggris), “frode alla legge” (Italia).
Contoh kasus:
Gretna Green
Sebuah desa di Scotlandia dekat dengan England yang menjadi tempat perlindungan bagi
orang-orang Inggris yang hendak menikah tanpa persetujuan dari orang tua mereka.
Perkawinan orang-orang Indonesia di Penang atau Singapura
- larangan menikah karena adanya ketentuan larangan kawin sebelum lewat 300 hari bagi
perempuan menurut BW, disiasati dengan melakukan perkawinan di Penang atau Singapur;
- kalau sekarang banyak digunakan oleh pasangan yang berbeda agama.
-Perceraian:
Kasus Cerai kawin di ZEVENBURGEN
Bagi WN Italia dan Austria yang tidak bias bercerai (karena hukumnya tidak mengenal cerai,
hanya sepakat pisah) pergi ke Honggaria naturalisasi jadi WN Honggaria dan anggota jemaat
protestan di gereja Zevenburgen, maka keputusan pisah meja & tempat tidur bias diubah
menjadi perceraian;