Anda di halaman 1dari 9

TUGAS RESUME

MATAKULIAH HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

Oleh:

ARINDRA PURNAMA

( 1810111018 )

DOSEN PENGAMPUH:

ZIMTYA ZORA, SH., MH

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ANDALAS
KETERTIBAN UMUM
Ketertiban Umum adalah lembaga dalam HPI yang memungkinkan sang Hakim untuk
mengenyampingkan hukum asing yang seharusnya diberlakukan sesuai dengan apa yang
diatur dalam ketentuan HPI, karena dianggap bertentangan dengan sendi-sendi azasi
Hukum nasional sang Hakim.

Sebagai contoh:
I. Perbudakan :
Bagi orang-orang asing yang berasal dari Negara yang mengakui perbudakan (spt. Afrika),
jika timbul perselisihan diantara mereka (hubungan budak-majikan), meski menurut HPI
Indonesia ic Pasal 16 AB menentukan hukum personil WNA itu yg harus diterapkan, maka
Hakim (Indonesia) tidak akan menggunakannya / mengenyampingkan, karena hal itu
(perbudakan) dianggap bertentangan dengan sendi-sendi azasi sistim hukum Indonesia.

II. Perkawinan di Jerman pada zaman HITLER


Pada zaman Nazi berkuasa di Jerman (Hitler) ada UU tahun 1931 yang melarang perkawinan
antara apa yang disebut “bangsa Aria” dengan bukan Aria. Larangan nikah berdasarkan
“ras” dianggap oleh banyak Negara tidak dapat diperlakukan, karena melanggar ketertiban
umum;

Lembaga ketertiban umum ini harus seirit dan seselektif mungkin, dipergunakan jika
diperlukan sekali sebagai “ultimum remedium” karena jika terlalu banyak digunakan akan
dicap sebagai bangsa yang munafik, hanya mementingkan hukum sendiri (As a Shield not as
a sword – sebagai perisai/pelindung, bukan sebagai pedang).

Ada 3 Konsep Ketertiban Umum di dunia, yaitu :


I. Konsep Romawi:
Lembaga “Ketertiban Umum” selalu digunakan setiap kali bertentangan dengan hukum sang
Hakim, bukan dengan pengecualiannya. (As a sword not as ashield);

II. Konsep Jerman


Lembaga “ketertiban umum” dipergunakan sebagai pengecualian, sebagai rem darurat – as
a shield. Yang penting adalah bahwa “Ketertiban Umum” di Jerman sangat berkaitan erat
dengan keadaan dalam negeri (Inlandsbezithungen).

Contoh: Bremen Tobako Case


- Pemerintah RI baru merdeka menasionalisasikan perkebunan tembakau di Deli yang
dimiliki oleh orang Belanda;
- Tembakau itu lalu diexport ke Jerman, untuk dilelang di pasaran BREMEN;
- Pemilik lama perkebunan tembakau Deli tersebut mengajukan tuntutan/gugatan ke
Pengadilan Negeri Bremen Jerman, dengan tntutan: a. Ganti rugi atas nasionalisasi;
b. nasionalisasi tersebut tidak sah, karena melanggar “ke-
tertiban umum” Jerman;
- Putusan :
a. Syarat-syarat Ganti rugi adalah :
- prompt : Sudah dibayar;
- Effective : uangnya ada;
- Adequate : jumlahnya memadai.
b. Nasionalisasi RI tidak bertentangan dengan “Ketertiban
Umum” Jerman, karena tidak memenuhi syarat Inlandsbezit
hungen (kepentingan masyarakat dalam negeri Jerman).

III. Konsep Anglo Saxon = “Public Policy” maksudnya adalah bahwa Hakim pengadilan
berpatokan pada sikap Executif mengenai pelaksanaan ketertiban umum. Bila pihak Executif
mengakui suatu Negara sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat, maka Yudikatif tidak
berwenang untuk mengadili perkara-perkara yang berkaitan dengan tindakan dari Negara
tersebut.

Contoh: Princess Palay Olga Cases:


- Princess Palay Olga (PPO) adalah puteri keturunan bangsa Rusia yang lari ke Inggris ketika
terjadi revolusi di Rusia, dan menetap di Rusia;
- Beberapa tahun kemudian ia melihat ada lukisannya dan keluarganya pada keluarga WN
Inggris, ternyata mereka telah membeli lukisan tersebut pada Pemerintah Rusia;
- Ia lalu mengajukan gugatan ke Pengadilan Inggris bahwa lukisan tersebut dijual tanpa
pemberian ganti rugi;
- Menurut hukum Inggris tidak boleh ada pencabutan hak milik tanpa ada ganti rugi, Namun
Hakim Inggris menyatakan “tidak kompeten / berwenang” mengadili perkara ini;
- Bahwa pencabutan hak milik tanpa ganti rugi yang dilakukan RUSIA tidak melanggar
“ketertiban umum”, bila Negara yang melakukan perbuatan tersebut adalah Negara yang
diakui secara resmi oleh Inggris sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat (Act of State
doctrine);
- Pada saat itu Inggris sudah mengakui RUSSIA sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat.

Macam-macan Ketertiban Umum:


I. Ketertiban Umum Nasional / Intern
Kaedah-kaedah yang membatasi kebebasan dari perorangan (lebih luas dari ketertiban
umum Internasional);
Misalnya : kaedah hukum perdata mengenai batas umur atau dera
jat kekeluargaan berkaitan dengan perkawinan.
- Seorang WN mesir (Islam) di Perancis dan dianggap sudah dewasa berdasarkan hukum
nasionalnya, meskipun menurut hukum Perancis dewasa itu 21 tahun.
- Hkm Perdata Perancis mengenai kedewasaan hanya termasuk “ketertiban umum intern”
tidak bersifat “ketertiban umum internasional”, sehingga tidak cukup kuat untuk berlaku
internasional;
- Sebaliknya seorang lelaki Mesir beragama Islam tidak akan dapat diperkenankan untuk
menikah dengan seorang isteri kedua di Perancis, walaupun hukum nasionalnya
membolehkan. Ini karena hukum Perancis melarang poligami dan dianggap termasuk bidang
ketertiban international.

II. Ketertiban Umum International / Extern


Kaedah-kaedah yang bermaksud untuk melindungi kesejahteraan
Negara pada umumnya, kepentingan rakyat secara umum. Kaedah
kaedah yang membatasi kekuatan extra territorial dari kaedah
asing.
Pembatasan/ Relatifitas ketertiban Umum:
I. Faktor Waktu : - De Ferrari Case
Ketertiban umum di suatu waktu berbeda dengan ketertiban
umum di waktu lainnya.
Contoh: perceraian -> disuatu Negara yang dahulu tidak diperbo-
lehkan, sekarang menjdi bisa(pisahranjang perceraian)

II. Faktor Tempat :


Ketertiban umum disauatu tempat tidak sama dengan ketertiban
Umum di tempat lainnya.
Contoh: Poligami di Indonesaia dibolehkan, di Perancis dilarang;

III. Faktor kepentingan masyarakat / Intensitas / Inlandsbezi


Ketertiban umum yang dikaitkan dengan kepentingan suatu Negara dan mempunyai
hubungan erat dengan peristiwa-peristiwa politik, contoh :perkara : BREMEN Tobako Case

Keterkaitan
- tidak dapat ditentukan secara apriori apa yang termasuk ketertiban umum, tergantung
pada factor-faktor diatas. Sang hakimlah yang menentukan apakah suatu tindakan termasuk
ketertiban umum atau tidak.

KONSEP HAK-HAK YANG DIPEROLEH (VESTED RIGHTS)

Istilah “hak-hak yang diperoleh” sering disebut dengan right and obligations created abroad
atau hak dan kewajiban hukum yang terbit berdasarkan hukum asing. Yang menjadi
persoalan dalam HPI, apakah hak dan kewajiban hukum yang dimiliki seseorang berdasarkan
kaedah-kaedah dari suatu sistim hukum asing tertentu harus diakui atau tidak oleh lex fori
(Sunaryati hartono).
Menurut Prof. SUDARGO GAUTAMA:
Dalam HPI masalah “Vested rights” ini dikemukakan untuk memasalahkan sejauh mana
perubahan-perubahan yang terjadi terhadap fakta-fakta akan mempengaruhi berlakunya
kaedah-kaedah hukum yang semula digunakan.

Contoh:
A WNI dan berdasarkan hukum Indonesia telah diakui sah sebagaim ppemegang hak milik
atas suatu benda bergerak. Pada suatu saat A mengubah status keWNannya menjadi WN
Republik Rakyat Cina. Menurut hukum positif cina, dianggap saja A belum dapat dianggap
sebagai pemilik yang sah atas benda bergerak itu.

Masalah:
Apakah karena perubahan keWNan dari Indonesia menjadi Cina, hak milik atas barang
bergerak yang semula melekat pada A, kemudian akan dianggap tidak ada ?

Jika Hakim atau hukum RRCina menganggap bahwa “suatu pemilikan atas benda bergerak
dianggap sah berdasarkan hukum yang seharusnya berlaku, akan tetap diakui sahdi mana
pun hak itu hendak ditegakkan”, maka dapatlah dikatakan bahwa pengadilan Cina
menerima prinsip “hak-hak yang diperoleh” (vested right)

Vested Rights dapat didefenisikan sebagai :


Suatu perbuatan yang dilakukan di luar forum dapat menerbitkan suatu hak yang melekat
pada pihak penggugat dan akan dilaksanakan atau diakui oleh forum tempat hak itu
diajukan sebagai perkara.

Hak dan kewajiban hukum yang telah diperoleh seseorang berdasarkan suatu kaedah
hukum haruslah dihormati oleh siapa saja, termasuk oleh lex fori, kecuali bila pengakuan
terhadap hak-hak semacam itu akan menimbulkan akibat yang bertentangan dengan public
order dari masyarakat forum.

Dalam arti yang terbatas, maka Vested rights atau hak-hak yang diperoleh akan bererti:
“Hak-hak yang dimiliki seseorang (suatu subjek hukum) berdasarkan kaedah hukum asing
dapat diakui didalam yuridiksi lex fori, selama pengakuan itu tidak bertentangan dengan
kepentingan umum masyarakat lex fori”.
Dengan kata lain: “Hak-hak yang diperoleh” dapat diakui selama pengakuan itu tidak
bertentangan dengan ketertiban umum lex fori atau dengan asas-asas keadilan yang hidup
dalam masyarakat forum.

PENYELUDUPAN HUKUM

Istilah-istilah:
- Wetsontduiking (Belanda), “fraude a la loi” (Perancis), “fraus legis” (Latin),
“Gesetzesumgehung”, das Handeln in fraudem legis” (Jerman), “fraudulent creation of point
of contacts” (Inggris), “frode alla legge” (Italia).

- Hubungan Penyeludupan Hukum (PH) dengan Ketertiban Umum (Tibum), kedua-duanya


bertujuan agar hukum nasional digunakan dengan mengenyampingkan hukum asing. Sama-
sama mengesampingkan kaedah hukum tertentu;
- perbedaan antara PH dengan Tibum:
Tibum : Hukum nasional dianggap tetap berlaku;
(Pengesampingan dilakukan untuk kepentingan hakim)
PH : Hukum nasional tetap berlaku dan dianggap tepat pada suatu
peristiwa hukum saja, karena sifatnya menghindarkan hukum
nasional; (Casuistis dalam kasus-kasus tertentu saja, biasanya
para pihak atas saran pengacaranya);

Penyeludupan hukum (PH) : kaedah-kaedah hukum asing kadang-kadang dikesampingkan


dan menggunakan hukum nasional atau sebaliknya untuk keuntungan / tujuan tertentu.

Contoh kasus:
Gretna Green
Sebuah desa di Scotlandia dekat dengan England yang menjadi tempat perlindungan bagi
orang-orang Inggris yang hendak menikah tanpa persetujuan dari orang tua mereka.
Perkawinan orang-orang Indonesia di Penang atau Singapura
- larangan menikah karena adanya ketentuan larangan kawin sebelum lewat 300 hari bagi
perempuan menurut BW, disiasati dengan melakukan perkawinan di Penang atau Singapur;
- kalau sekarang banyak digunakan oleh pasangan yang berbeda agama.

Contoh-contoh penyeludupan hukum:


a. perkawinan untuk memperoleh kewarganegaraan;
( Wanita asing yang menikah dengan pria Indonesia, berdasarkan Psal 7, 8 UU
Kewarganegaraan tahun 1958, memperoleh kewarganegaraan Indonesia);

b. perkawinan untuk menghindari pengusiran;


( Wanita-wanita asing yang secara tergesa-gesa menikah dengan pria Belanda pada masa
perang, dengan maksud menghindarkan pengusiran oleh jawatan Imigrasi)

c. perkawinan untuk dapat bekerja;


(wanita asing yang menikah dengan pria WNI untuk dapat bekerja menghindarkan ijin kerja
khusus WNA berdasarkan Peraturan Menteri Perburuhan (UU No.3 tahun 1958)

-Perceraian:
Kasus Cerai kawin di ZEVENBURGEN
Bagi WN Italia dan Austria yang tidak bias bercerai (karena hukumnya tidak mengenal cerai,
hanya sepakat pisah) pergi ke Honggaria naturalisasi jadi WN Honggaria dan anggota jemaat
protestan di gereja Zevenburgen, maka keputusan pisah meja & tempat tidur bias diubah
menjadi perceraian;

Sifat penyeludupan Hukum:


menggunakan HPI untuk tujuan tertentu, supaya atas hubungan non hukum tertentu
diperlakukan hukum yang lain dari pada apa yang seharusnya akan dipergunakan.

Tujuan penyeludupan hukum:


untuk dapat menghindarkan suatu akibat hukum yang tidak dikehendaki atau untuk
mewujudkan suatu akibat hukum yang dapat dikehendaki.
VESTERS – DUBINK: penyeludupan hukum terjadi apabila seorang berdasarkan ketentuan-
ketentuan yang dipergunakan dalam undang-undang, tetapi melawan jiwa dan tujuannya,
secara muslihat melakukan perbuatan-perbuatan yang dimaksudkan untuk menghindarkan
berlakunya kaedah-kaedah hukum tertulis / tidak tertulis.

Akibat-akibat Penyeludupan Hukum:


a. setiap penyeludupan hukum mengakibatkan batalnya perbuatan bersangkutan.
b. Ungkapan yang terkenal: fraus omnia corrumpt, artinya penyeludupan hukum
mengakibatkan bahwa perbuatan hukum itu dalam kkeseluruhannya tidak berlaku.
c. Prinsip ini dianut oleh Perancis.
Contoh kasus : peristiwa putrid De Bauffrement.

Anda mungkin juga menyukai