Anda di halaman 1dari 23

CRITICAL BOOK REPORT

“HUBUNGAN BUDAYA DAN AGAMA KRISTEN”


(Dosen pengampu : Maniur Banjarnahor , M.Pd.K.)

DISUSUN OLEH :

Nama : Kevin Boijogy Batubara


Nim : 5182131008
Kelas : PTE-A’18

JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK ELEKTRO


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2020

i
KATA PENGANTAR

Pertama-tama saya mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, sebab telah
memberikan rahmat dan karuniaNya serta kesehatan kepada kami, sehingga mampu
menyelesaikan tugas Critical Book Review (CBR) ini yang berjudul “Pandangan Agama Kristen
Terhadap Pidana Mati”. Tugas Critical Book Review (CBR) ini dibuat untuk memenuhi salah
satu mata kuliah kami yaitu ”Pendidikan Agama Kristen”.
Tugas ini disusun dengan harapan dapat menambah pengetahuan dan wawasan kita semua.
Kami menyadari bahwa tugas Critical Book Review ini masih jauh dari kesempurnaan. Apabila
dalam tugas ini terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, kami mohon maaf karena
sesungguhnya manusia itu pasti mempunyai salah. Hanya Maha Kuasa yang paling sempurna,
karena ilmu kami belum seberapa banyak. Karena itu kami sangat menantikan saran dan kritik
dari pembaca yang sifatnya membangun untuk dapat menyempurnakan tugas Critical Book
Review ini.

Akhir kata kami berharap semoga tugas Critical Book Review ini dapat memberikan
wawasan dan pengetahuan bagi siapa saja yang akan memerlukannya di masa maupun waktu
yang akan datang. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Medan, April 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang........................................................................................................1
B. Tujuan....................................................................................................................1
C. Manfaat..................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Identitas buku.........................................................................................................2
B. Ringkasan Isi buku.................................................................................................3
BAB III PEMBAHASAN
A. Kelebihan.............................................................................................................18
B. Kekurangan..........................................................................................................18
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan..........................................................................................................19
B. Saran....................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Rasionalisasi Pentingnya Critical Book Report


Mahasiswa adalah salah satu sumber daya manusia yang dimiliki oleh setiap negara,
termasuk Indonesia. Seorang mahasiswa harus peka terhadap perkembangan zaman dan
informasi yang ada disekitarnya. Berbagai cara dapat dilakukan untuk mendapatkan informasi,
salah satu nya adalah dengan membaca buku. Membaca buku adalah suatu kegiatan yang sangat
penting bagi seorang mahasiswa dalam proses belajarnya dikampus.

Membaca buku dianggap sangat penting karena buku merupakan sumber ilmu dan
informasi yang dapat dipercaya. Kecanggihan teknologi dan perkembangan zaman juga tidak
terlepas dari peran buku dalam kehidupan ini. Oleh sebab itu, seorang mahasiswa harus menjadi
buku sebagai “teman” untuk mendapatkan ilmu dan informasi. Tidak hanya membaca buku,
seorang mahasiswa juga harus dapat menilai buku yang dibacanya apakah sudah baik atau
belum. Kegiatan penilaian ini dapat kita sebut dengan “Critical Book Report”. Critical Book
Report dapat dilakukan mahasiswa secara sederhana. Sebelum melakukan penilaian mahasiswa
harus terlebih dahulu memahami isi buku yang di kritik kemudian dapat membandingkannya
dengan buku lain sebagai pembanding untuk menilai buku yang dikritik.

B. Tujuan PenulisanCritical Book Report


1) Untuk mengetahui isi buku dengan cara membuat ringkasannya.
2) Untuk mengetahui keunggulan dan kelemahan buku yang dikritik.
3) Untuk mengetahui perbandingan buku yang dikritik dengan buku yang lain.

C. Manfaat Penulisan Critical Book Report


1) Agar menambah wawasan melalui isi buku yang diringkas.
2) Agar mengetahui keunggulan dan kelemahan buku yang di kritik.
3) Agar mengetahui perbandingan buku yang dikritik dengan buku yang lain

iv
D. Identitas Buku

Identitas Buku I
1. Judul Buku : Pendidika Agama Kristen (Buku Utama)
2. Edisi : Pertama (I)
3. Penulis                         : Pdt. Dr. Sampitmo Habeahan, M.Th, M.Pd. dkk
4. Penerbit                  : CV. Permata Mitra Sari
5. Tahun terbit : 2017
6. Kota Terbit : Medan
7. ISBN : 978-602-1516-14-0

Identitas Buku Pembanding

1. Judul Buku : Pengantar ilmu Agama (Buku Pembanding)


2. Edisi : ke lima (5)
3. Penulis                     : Koentjaraningrat
4. Penerbit       : PT Renaka Cipta
5. Tahun terbit : 1990
6. Kota Terbit : Jakarta
7. ISBN : 978-602-6470-02-7

(Sampul Buku Pertama) (Sampul Buku Pembanding)

v
BAB II
RINGKASAN ISI BUKU

RINGKASAN BUKU UTAMA


I. Kebudayaan Dipandang Dari Sudut Alkitab
Kebudayaan menurut Alkitab dapat dilihat dari beberapa aspeknya, yaitu: (1) Allah
memberikan manusia ‘tugas kebudayaan’ karena pada dasarnya ‘manusia memiliki gambar
seorang pencipta’ (Kej.1:26-27) dan manusia diberi TUGAS agar ‘menaklukkan dan memerintah
bumi’ (Kej.1:28). Jadi, manusia menerima suatu mandat dari Allah dan mandat itu adalah
MANDAT kebudayaan. Lebih jelas lagi disebutkan bahwa: “Tuhan Allah mengambil manusia
itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.”
(Kej.2:15); (2) Sesuai Mazmur 150 kita dapat melihat bahwa TUJUAN kebudayaan yang utama
adalah untuk ‘memuliakan dan mengasihi Allah, dan agar kebudayaan itu digunakan untuk
melayani dan mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri.’

Mandat budaya Sebagai panggilan suara kenabian yang mewartakan kebenaran alkitab
didalam memandang seluruh problematika kehidupan disegala bidangbaik pendidikan
ekonomi,sosial,hukum,kemasyarakat dll. Bila Alkitab berbicara begitu positif mengenai
kebudayaan, mengapa kebudayaan menjadi suatu yang dipersoalkan? Apa yang
menyebabkannya? Penyimpangan kebudayaan terjadi misalnya dalam peristiwa ‘Menara Babel’
dimana tujuan kebudayaan menyimpang diarahkan untuk penyembahan berhala dan kebanggaan
diri/kelompok (Kej.11). Tema dosa yang merusak tujuan kebudayaan adalah ‘ingin  menjadi
seperti Allah’ (Kej.3:5) dan ‘mencari nama’ (Kej.11:4). Jadi dosa telah menyimpangkan
kebudayaan sehingga berpotensi  bukan saja untuk tidak memuliakan penciptanya, sebaliknya
malah digunakan untuk alat meninggikan diri dan menantang Allah.

Memang tidak mudah untuk melihat kuasa dosa itu kelihatan di dalam kebudayaan, kadang-
kadang terlihat dari ‘hasil’ kebudayaan seperti patung lalu disembah, musik digunakan untuk
memuliakan manusia & dosa dan menyembah dewa-dewi, dan filsafatpun dapat digunakan tidak
sesuai dengan firman Allah (Kol.2:8). Kadang-kadang kuasa dosa terlihat dari ‘cara

vi
menggunakan’ hasil kebudayaan itu. Rekayasa genetika dengan kloningnya menghadapi bahaya
kearah ini, demikian juga penyalah gunaan senjata nuklir. Film & Sinema dengan jelas

menunjukkan betapa hasil kebudayaan telah dikuasai dosa pornografi, sadisme dan
okultisme tanpa bisa dibendung. Sesuatu yang mendukacitakan Allah pencipta manusia dan
kemanusiaan. Yesus berfirman: “Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang kepada adat-
istiadat manusia.” (Mrk.6:8)

II. Sikap Kristen Terhadap Kebudayaan


Sikap umat Kristen menghadapi kebudayaan dapat digolongkan ke dalam lima macam, yaitu:
(1)   Antagonistis, yaitu sikap menentang dan menolak, atau sikap negatif terhadap semua hasil
dan penggunaan kebudayaan, sikap ini melihat pertentangan iman dan kebudayaan yang tidak
terdamaikan antara iman Kristen dan kebudayaan dalam segala aspeknya;
(2)   Akomodasi, adalah sikap yang sebaliknya dari antagonistis yaitu menyesuaikan diri dengan
kebudayaan yang ada. Agama kristen dikorbankan demi kepentingan kebudayaan yang ada.
Akomodasi demikian sering kita lihat dalam hubungan dengan agama-agama animis dan adat
istiadat sehingga terjadi sinkretisme yang berbahaya. Sikap demikian terlihat misalnya dalam
usaha untuk menganggap bahwa ‘semua agama itu sama saja’ atau yang belakangan ini lebih
dikenal sebagai ‘semua agama menuju yang SATU’ (inklusivisme);
(3)   Dominasi, biasa dilakukan dalam gereja RK dimana sesuai teologia Thomas Aquinas yang
menganggap bahwa ‘sekalipin manusia dalam dosa telah merosot citra ilahinya karena kejatuhan
dalam dosa’, pada dasarnya manusia tidak jatuh total, melainkan masih memiliki kehendak bebas
yang mandiri. Itulah sebabnya dalam menghadapi kebudayaan kafir sekalipun, umat bisa
melakukan akomodasi secara penuh dan menjadikan kebudayaan kafir itu menjadi bagian iman,
namun kebudayaan itu disempurnakan dan disucikan oleh sakramen yang menjadi alat anugerah
ilahi;
(4)   Dualisme, sikap ini mendua yang memisahkan agama dan budaya secara dikotomis.  Pada
satu pihak terdapatlah dalam kehidupan manusia beriman kepercayaan kepada pekerjaan Allah
dalam Tuhan Yesus Kristus, namun manusia yang sama tetap berdiri di dalam kebudayaan kafir
dan hidup di dalamnya. Peran penebusan Tuhan Yesus yang mengubah hati manusia yang
berdosa dan mengubahnya menjadi kehidupan dalam iman tidak ada artinya dalam menghadapi
vii
kebudayaan. Manusia beriman hidup dalam kedua suasana atau lapangan baik agama maupun
kebudayaan secara bersama-sama;
(5)   Pengudusan, adalah yang tidak menolak secara total (antagonistis) namun juga tidak
menerima secara total (akomodasi), tetapi dengan sikap keyakinan yang teguh bahwa kejatuhan
manusia dalam dosa tidak menghilangkan kasih Allah atas manusia melainkan menawarkan
pengampunan dan kesembuhan bagi manusia untuk memulai suatu kehidupan yang lebih baik
dengan mengalami transformasi kehidupan etika dan moral. Manusia melakukan dan menerima
hasil kebudayaan selama hasil-hasil itu memuliakan Allah, tidak menyembah berhala, dan
mengasihi sesama dan kemanusiaan. Sebaliknya, bila kebudayaan itu memenuhi salah satu atau
malah ketiga sikap budaya yang salah itu, umat beriman harus menggunakan firman Tuhan untuk
mengkuduskan kebudayaan itu sehingga terjadi transformasi budaya ke arah ‘memuliakan
Allah’, ‘tidak menyembah berhala’, dan ‘mengasihi manusia dan kemanusiaan.’

Kelihatannya Alkitab lebih condong untuk mengajarkan umat Kristen agar melakukan sikap
‘Pengudusan’ sebagai kesaksian iman Kristiani dalam kehidupan berbudaya. Rasul Paulus
memberikan peringatan agar: “Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan
filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak
menurut Kristus.” (Kol.2:8).

III. Sikap Gereja Terhadap Kebudayaan

H.Richard Niebuhr dari Yale University di Amerika Serikat telah membuat bagan tentang
sikap gereja terhadap kebudayaan dalam bukunya Christ and Culture atau Kristus dan
Kebudayaan. Ia telah menjelajahi sikap-sikap gereja terhadap kebudayaan sepanjang zaman
dalam 5 sikap:

1. Gereja anti kebudayaan


2. Gereja dari kebudayaan
3. Gereja diatas kebudayaan
4. Gereja dan kebudayaan dalam hubungan paradoks
5. Gereja pengubah kebudayaan

viii
Dapatlah kita simpulkan bahwa sikap gereja terhadap kebudayaan adalah :
1. Gereja menentang kebudayaan khususnya terhadap unsure-unsur yang secara total
bertentangan dengan injil, umpanya terhadap culture agama, suku, dan tata kehidupan
yang tidak membangun seperti poligami, perjudian, perhambaan.
2. Menerima unsur-unsur kebudayaan yang bersesuaian dengan injil dan bermanfaat bagi
kehidupan.
3. Menerima unsure-unsur kebudayaan tertentu dan mentransformasikannya dengan injil.
Umpanya tata perkawinan, seni tari, dll. Sehingga dapat menjadi sarana injil.

Bagi mereka yang takut akan Allah, rasanya semua tindakan kita dalam menerima adat-
istiadat perlu berorientasi pada Allah dan kehendak-Nya, ini menghasilkan empat pertimbangan
berikut, yaitu sikap menghadapi adat-istiadat yang:
(1) Memuji dan memuliakan Allah
(2) Tidak menyembah berhala
(3) Mencerminkan kekudusan Allah
(4) Mengasihi manusia dan kemanusiaan.
Keempatnya berurutan dari atas ke bawah dimana memuji dan memuliakan Allah adalah tugas
utama umat Kristen (Mazmur 150) dan ketiga lainnya diukur dari apakah itu meneguhkan
kepujian dan kemuliaan Allah atau tidak.
Lalu adakah tingkat-tingkat pertumbuhan yang menentukan umat kristen bersikap?
Kedewasaan umat kristen dalam bersikap perlu mengarah pada kecenderungan kelima yaitu
transformatif, yaitu ia hidup dengan mentransformasikan setiap adat-istiadat agar sesuai dengan
kepujian, kemuliaan dan kehendak Allah. Ia semula hidup berkajang dalam dosa dan melakukan
adat-istiadat dimana kuasa dosa banyak berpengaruh. Pengenalannya akan Tuhan Yesus Kristus
membawanya kepada pertobatan (metanoea) dimana ia mulai merasakan perubahan arah dalam
hidupnya dari dosa menuju kebenaran, dan seperti apa yang dikatakan oleh rasul Paulus: Jadi
siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya
yang baru sudah datang (2Kor.5:17).
Dari perubahan yang transformatif inilah ia terus menerus melakukan trasformasi dari dosa
menuju kebenaran sehingga kehidupannya makin hari makin baik. Rasul Paulus mengatakan
ix
bahwa: Bukan seolah-olah aku telah memperoleh hal ini atau telah menjadi sempurna, melainkan
aku mengejarnya (Flp.3:12). Namun, harus disadari bahwa transformasi itu bukanlah hasil usaha
manusia dengan kekuatannya sendiri tetapi sebagai hasil interaksi iman kita yang mendatangkan
rahmat Allah: Dan semuanya itu dari Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan
kita dengan diri-Nya dan yang telah mempercayakan pelayanan perdamaian itu kepada kami
(2Kor.5:18).
IV. Budaya yang harus dikembangkan jaman Modern ini
Banyak orang ingin sukses tapi tidak santun. Ada orang pintar karena tidak santun maka
sulit diterima keberadaannya. Ada pemimpin karena pribadinya tidak santun maka
kepemimpinannya juga sulit diterima kehadirannya. Dalam hal hubungannya dengan iman
Kristen aktifitas berkirir yang kritis itu dan dalam upaya untuk berkarya, maka judul di atas erat
kaitannya dalam kerangka untuk mengerti dan melakukan kehendak Tuhan. Dalam kerangka
itulahlah tiap orang Kristen harus kritis dan berkarya. Oleh sebab itu judul tsb menarik untuk
dibaca bagi mereka yang hidupnya ingin sukses. Sebab berbicara tentang kata “kritis” dan
“karya”, adalah dua kata yang saling melengkapi. Misalnya, Firman Tuhan berkata, “Sebab itu,
janganlah kamu bodoh, tetapi usahakanlah supaya kamu mengerti kehendak Tuhan” (Efesus
5:17). Tetapi juga kita dituntut untuk berkarya. Firman Tuhan berkata:  “Apa pun juga yang
kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk
manusia” (Kol.3:23).
Ke dua nats di atas ini, tujuannya agar agar hari-hari hidup setiap umat dapat bermakna
dan bernilai. Tegasnya, menjadi orang yang paling sukses. Kesuksesan yang akan kita capai
tidak bergantung pada bukan berapa banyak uang yang kita kumpulkan, atau berapa besar karya-
karya yang akan kita capai. Kesuksesan juga bukan terletak pada berapa banyak pekerjaan yang
kita lakukan, atau berapa tingginya posisi yang kita miliki. Kesuksesan kita diukur dari seberapa
jauh kita mengerti dan melakukan kehendak Tuhan. Kritis berpikir dan santun berkarya
tujuannya agar kita mengerti dan melakukan kehendak Tuhan.
Kita perlu terus belajar, terus menambah pengetahuan dan belajar dari kegagalan atau
keberhasilan, pada waktu sulit atau tenang, bahkan diharuskan untuk belajar atas perubahan yang
ada, bukan lihai atau licik, tapi cerdik. Jadi, dalam mengkritisi zaman ini agar orang-orang
percaya jangan hanyut terbawa arus atau tergilas atau ketinggalan, tercecer, dalam

x
perkembangan zaman. Para pemimpin gereja harus membantu umatnya menyadari bahaya
zaman ini dengan melengkapi mereka melalui upaya perlengkapan iman yang terus bertumbuh
dewasa, agar mampu mengahadapi serigala zaman ini.
Dengan demikian hidup beragama itu ialah berpikir dan berkarya berdasarkan Kitab Suci atau
Alkitab. Di dalam Firman tsb dijelaskan, manusia tidak diciptakan Tuhan Allah
seperti robotyang kemampuan berpikirnya sebatas yang terprogram. Tetapi diciptakan dengan
penuh kesadaran akan dirinya, alam dan Tuhannya. Maksudnya, beragama yang benar, atau

beriman kepada Tuhan Pencipta langit dan bumi dengan segala isinya, tujuannya agar
dalam memelihara ciptaanNya tiap orang Kristen terpanggil untuk  setia dan mengasihinya
dengan caraNya sendiri. Di sanalah sifat santun itu menjadi penting. Yaitu, mengkiritisi
panggilanNya agar membawa pengenalan akan Tuhan secara benar (Kel 3:13 – 4:1ff).  Semuan
itu diarahkan agar iman kepercayaan kita semakin bertumbuh dan bekerkembang sesuai dengan
talenta yang dimilikinya. Demikianlah proses mengerti dan melakukan kehendak Allah.
Manusia tidak berjalan dalam kehendak yang kaku, tetapi selalu ada di dalam pembaruan,
baik itu kebudayaan, ilmu pengetahuan, teknologi dan sebagainya.
Lebih dari itu, berpikir kritis, santun berkarya bagaikan kompas hidup yang tepat bagi
manusia melihat pemandangan yang  luas (ke depan) dan beragam objek yang memukau
perhatian dan sekaligus mengundang banyak pertanyaan tentang objek-objek yang terpapar di
depan kita. Tuhan menghendaki agar kita membangun pekerjaan dan pelayanan yang sungguh-
sungguh berkenan kepada-Nya. Itu berarti kita tidak bekerja atau melayani secara sembarangan,
atau mengambil muka kepada pimpinan (Ef.6:6), tetapi “dengan rela menjalankan
pelayanannya seperti orang-orang yang melayani Tuhan, bukan manusia.”
Atas dasar itulah, sifat mengkritisi harus ditopang sikap santun agar karya-karya yang kita
lakukan menjadi berkat bagi diri kita sendiri, tentu juga bagi orang lain. Dalam hal ini, kita dapat
belajar dari hamba Tuhan abad 1 itu, Yaitu Rasul Paulus. Karena dia juga berpikir kritis terhadap
tradisi umat Israel yang sangat dikenalnya dan diihayatinya itu, tetapi dia terbuka pada tuntutan
baru dari iman yang berpusat pada  Yesus Kristus yang mati dan bangkit itu, sehingga dia
melihat dan percaya bahwa kita tidak dapat diselamatkan oleh Taurat (Yahudi), melainkan hanya
oleh Yesus Kristus sebagai penggenapan Hukum Taurat itu. Berdasarkan pernyataannya itulah,

xi
kepada orang-orang percaya sepanjang zaman dia menyerukan melalui tulisannya kepada jemaat
Tessalonika itu : “ujilah  segala sesuatu dan peganglah yang baik  ( 1 Tes 5 : 21 ).
Berpikir kritis adalah senana dengan tuntutan Alkitab itu sendiri, seperti kita lihat dalam
sikap Rasul Paulus di atas. Mengkritisi dengan demikian agar kita bertindak hati-hati atau
waspada (santun). Sebagai gereja yang memang berpusat pada Alkitab – ingat prinsip dasar
Martin Luther “Sola Scriptura” abad XVI itu  Dengan kata lain, Alkitab adalah buku kesaksian
iman, bukan buku tentang fakta-fakta historis (historia), fakta-fakta biologis, antropologis atau
fakta-fakta  ilmu-ilmu lainnya.
Berpikir Kritis dan santun berkarya sangat tepat dihubungkan dengan merespons  Firman Tuhan.
Itu yang dimaksudkan dengan  tetap selalu memegang yang baik. Yaitu, adanya kesadaran dan
tindakan menjadi sesuatu yang urgen dalam tata sosial dan orde kehidupan kita agar lebih
beradab dan bermartabat, sekaligus menjadi daya hidup dan autentisitas iman agar hidup
semakin bermakna. Tuhan menghendaki agar kita makin mengenal dan mengasihi Dia, serta
semakin dewasa seperti Kristus (Efesus 4:13 dan 5:21). Hal itu juga yang ditegaskan Allah
melalui Nabi Yeremia: “… Barangsiapa mau bermegah, baiklah bermegah karena yang berikut,
bahwa Ia memahami dan mengenal Aku” (9:24).  Seruan itu telah menjadi kerinduan dan ambisi
rasul Paulus: “Yang kukehendaki adalah mengenal Dia” (Fil.3:10).
Akhirnya,  berpikir kritis, dan santun berkarya, kita akan menguji segala sesuatu dengan tujuan 
supaya kita memegang yang baik, melakukannya dalam tindakantindakan konkrit dalam
pelayanan di gereja. Sebab gereja dan umat Kristen  yang menyatakan Ktistus mestilah seirama
dengan tindakan Kristus di dunia  ini. Oleh karena itu, betapa pun sibuknya, jangan melalaikan
hubungan pribadi dengan Tuhan. Pelihara dan tingkatkan kualitas saat teduh. Tuhan
menghendaki agar kita membangun keluarga yang berpusatkan Kristus (Efesus 5:21-6:4). Amin.

RINGKASAN BUKU PEMBANDING


Hubungan Agama Kristen & Budaya (Pertemuan Injil dan kebudayan)

Injil diberitakan ditengah-tengah dunia yang penuh kebudayaan yang bentuknya dapat
diumpamakan seperti kuelapis. Lapisan-lapisan kebudayaan itu misalnya di Indonesia terdiri
dari lapisan yang diwarnai oleh agama pribumi, Hinduisme, Buddhisme, Islam, Kristen dan
terakhir modernisme. Intensitas pengaruh itu berbeda satu dengan lain bergantung pada
xii
etnografis, geografis dan sejarah masing-masing wilayah. Tetapi bagaimanapun Injil yang
diberitakan itu tetap berhadapan dengan kebudayaan bangsa-bangsa dan suku-suku.

Dalam pertemuan injil dan kebudayaan tersebut, secara khusus adalah dengan unsur-unsur
kebudayaan yang pasti terdapat dalam semua kebudayaan yang dinamai unsur kebudayaan
universal, terdiri dari : Sisten relegi dan upacara keagamaan, Sistem dan organisasi masyarakat,
Sistem pengetahuan, Sistem bahasa, Sistem Kesenian, Sistem Mata pencaharian, dan Sistem
teknologi. Lapisan-lapisan kebudayaan itu tidak statis, masing-masing salingberpenetarasi,
maka unsur kebudayaan yang universal itu selalu berada dalam perobahan.

Demikianlah Injil selalu berhadapan dengan unsur-unsur kebudayaan tersebut dengan


membawa nilai Injil secara khusus dengan sistem religi,sistem pengetahuan, kesenian dan mata
pencaharian. Sewaktu Yesus memberitakan Injil, Ia ditentang oleh Yudaisme dalam soal-soal
doktrin dan kesucian, perkawinan,sistem ekonomi yang berlandaskan usaha kerja, sedang Injil
menekankan anugerah Allah sebagai jaminan kehidupan (Mattius 5 : 25-34); tentangkasih dan
keadilan yang menentang hukum balas-membalas (Mattius 5 : 38-48).

Hal yang sama terjadi setelah Injil dibawa keluar Israel ke masyarakat Hellenisme dan
Romawi. Injil menentang absolutisme kekaisaran romawi dimana kaisar dianggap dan dipuja
sebagai Tuhan dan agama rakyat yang politheistis dan hubungan seksual termasuk dalam
sistem religi yang membuat tata susila yang permissif, sini tari yang membangkitkan birahi dan
bentuk-bentuk olah raga yang tidak manusiawi. Oleh sebab itu gereja tidak dapat tidak harus
menentukan sikap terhadap kebudayaan yang dihadapinya.

Sikap Gereja terhadap kebudayaan

H. Richard Niebuhr dari Yale University di Amerika serikat telah membuat bagan tentang
sikap Gereja terhadap kebudayaan dalam bukunya Christ and Culture atau Kristus dan
kebudayaan. Ia telah menjelajahi sikap-sikap Gereja terhadap kebudayaan sepanjang zaman
dalam 5 sikap, yaitu :

1. Gereja anti kebudayan


2. Gereja dari kebudayaan
3. Gereja diatas kebudayaan
xiii
4. Gereja dan kebudayaan dalam hubungan paradoks
5. Gereja pengubah kebudayaan
Ini adalah gambaran –gambaran umum, sedang dapat kita benarkan pendapat yang mengatakan
bahwa tidak ada gereja yang secara murni mengambil salah satu sikap tersebut. Namun ada
baiknya kita membicarakan posisi-posisi itu satu persatu :

Posisi 1 : Gereja memandang dunia di bawah kekuasaan si jahat sebagai kerajaan kegelapan.
Warga Gereja disebut oleh Injil adalah anak-anak terang, karena itun tidak hidup dalam
kegelapan. Dunia kegelapan ini dikuasai oleh nafsu kedagangan, nafsu mata, kesombongan.
Semua itu akan berlalu sebab mereka akan dikalahkan oleh iman kepada Kristus (Niebuhr, 56).

Sikap menentang kebudayaan ini telah dilancarkan oleh Tertullianus tokoh Gereja abad ke 2. Ia
mengatakan bahwa konflik-konflik orang percaya bukan dengan alam tetapi dengan
kebudayaan. Dosa asal itu menurut Tertullianus disebarkan oleh kebudayaan melalui
pendidikan anak. Olehn karena itu kata tertullianus tugas Gereja adalah menerangi semua
orang yang sudah berada di bawah ilusi kebudayan, supaya mereka dibawa kepada
pengetahuan akan kebenaran. Yang paling buruk dari kebudayaan adalah agama sosial, kafir
atau politheisme, hawa nafsu dan kemaksiatan(Niebuhr, 60). Tetapi pada pihak lain,
tertullianus menganjurkan agar Gereja memupuk kebersamaan, tidak meninggalkan pertemuan
umum, tempat pemandian, kede, penginapan, pasar mingguan tempat perdgangan sebab Gereja
dengan semua itu numpang bersama dalam dunia. Selanjutnya kata Tertullianus, kami berlayar
bersama berjuang denganmu, mengolah tanah denganmu bahkan dalam bidang seni untuk
umum. Pada pihak lain Tertullianus mengajak orang menjauhi keterlibatan dalam soal-soal
kenegaraan, antara lain menolak dinas militer sebab melanggar perintah Injil yang melarang
menggunakan pedang dan tidak ikut dalam sumpah setia kepada kaisar dan keturut sertaan
dalam upacara kafir. Ia menolak bentuk kekristenan yang berfusi dengan Stoa dan Plato.
Menurut pendapatnya, tidak ada hubungan Kristus dengan filsafat. Walau Tertullianus tidak
menolak seluruh kebudayaan, tapi Niebuhr menyebutnya termasuk dalam posisi Gereja lawan
kebudayaan.

xiv
Posisi 2 : Gereja dari kebudayaan

Kelompok yang menganut paham ini merasa tidak ada ketegangan besar antara gereja dan dunia,
antara Injil dan hukum-hukum sosial, antara karya rahmat Illahi dengan karya manusia. Mereka
menafsirkan kebudayaan melalui Kristus danberpendapat bahwa pekerjaan dan pribadi Kristus
adalah sangan sesuai dengan kebudayaan. Dipihak lain, kelompok ini berpendapat jika Kristus
ditafsirkan melalui kebudayaan, maka hal-hal yang terbaik dalam kebudayaan adalah cocok
dengan ajaran dan kehidupan Kristus. Namun penyesuaian ini bukan sembarangan,sebab telah
dilakukan juga penjungkiran bagian-bagian kebudayaan yang tidak sesuai dengan Injil dan
bagian-bagian Injil yang tidak sesuai dengan adat istiadat sosial (Niebuhr : 94).

Tetapi kaum Gnostik Kristen menafsirkan Kristus sepenuhnya sesuai dengan konsep
kebudayaan, tidak ada pertentangan antara keduanya. Dengan demikian ada perdamaian Injil
dengan kebudayaan dan karena itu kekristenan telah menjadi sistem agama dan filsafat dan
Gereja hanya sebagai perhimpunan religius bukan sebagai gereja atau masyarakat baru. Tokoh-
tokoh penyesuaian ini dalam sejarah Gereja adalah Clemens (200) dan Origines (185-254)-
(Fuklaan-Berkhof, 1981 : 41). Pada abad pertengahan posisi Gereja dari kebudayaan
dilanjutkan oleh Petrus Abelardus (1079-1142) yang mengakui karya Filsuf Socrates dan Plato
sebagai guru mendidik walaupun lebih rendah tingkatnya tyetapi bersesuaian dengan ajaran
Yesus (Niebuhr, 100).

Tokoh yang lain adalah Ritschl yang menggagasi untuk merekonsiliasi kekristenan dengan
kebudayaan. Kelompok ini secara keseluruhan disebut Protestantisme kebudayaan melalui
gagasan tentang kerajaan Allah yang telah disamakan dengan suatu kerajaan umat manusia
yang terhimpun dalam suatu keluarga, di bawah ikatan kebajikan, perdamaian, keperluan
bersama. Perhimpunan ini terbentuk melalui aksi moral secara timbal balik dari anggota-
anggotanya yaitu suatu aksi melalui pertimbangan alamiah (Niebuhz, 109). Dalam gagasan ini,
kesetiaan orang kepada Kristus menentukan orang untuk berpartisipasi secara aktif dalam karya
kebudayaan (Niebuhr, 110)

Posisi 3 : Gereja diatas kebudayaan.


Pandangan ini berawal dari pandangan tingkatan hirarkis dari alam (natural) dan spiritual
(rohani). Menurut Thomas Aquinas (1225-1274), kebudayaan menciptakan aturan suatu
xv
kehidupan sosial yang ditemukan oleh akan budi manusia yang dapat dikenal oleh semua yang
berakal sehat sebab bersifat hukum alam. Tapi disamping hukum alam ada hukum Ilahi yang
dinyatakan Allah melalui para Nabi yang melampaui hukum alam. Sebagian hukum Ilahi adalah
harmonis dengan hukum alam dan sebagaian lagi melampauinya dan itulah menjadi hukum dari
hidup supernatural manusia (ordo supernaturalis). Hukum Ilahi terdapat dalam perintah: jualah
semua apa yang kamu miliki, berikan kepada orang miskin sedang hukum alam terdapat dalam
perintah kamu tidak boleh mencuri, yaitu hukum yang sama dapat ditemui oleh akal manusia dan
didalam wahyu. Dari contoh itu Thomas Aquinas menyimpilkan bahwa hukum alam yang
ditemui yang terdapat dalam kodrat hidup manusia berada dubawah ordo supernaturalis.Manusia
dalam hidupnya sudah kehilangan ordo supernaturalis dan untuk dapat memulihkannya kembali
hanyalah melalui sakraman.Gereja berada dalam ordo supernatulis. Oleh karena itu kebudayaan
berada di bawah hirarkis gwereja. Dengan itu pada abad pertengahan gereja menguasai seluruh
kebudayaan dalam tatanan Corpus Christianum.

Posisi 4 : Hubungan Gereja dan kebudayaan dalam paradoks.


Dalam pandangan ini, iman dan kebudayaan dipisahkan. Orang beriman (Kristen) berada
dalamdua suasana yaitu berada dalam kebudayaan dan sekaligus berada dalam anugerah Allah
dalam Kristus. Oleh sebab itu orang beriman dihimpit oleh dua suasana yaitu hidup dalam iman
dan hidp dalam kebudayaan. Dalam sejarah Gereja, Marcian seorang tokoh gereja abad ke 2
yang berpendirian bahwa dalam kebudayaan manusia di bawah Allah yang rendah derajadnya
yang dinamainya domiurgos sedang dalam pembaharuan ciptaan, manusia hidup di bawah
Allah Rahmani. Dengan itu ia telah mempelopori hidup secara dualisme. Ajaran ini ditolak
gereja pada masa itu dan dikategorikan sebagai ajaran sesat.Pandangan dualisme kelihatan juga
secara samar dalam ajaran Marthin Luther yang mencetuskan reformasi pada tahun 1517
Menurut dia orang beriman hidup dalam dua kerajaan, yaitu kerajaan Allah yang rohani dan
kerajaan duniawi. Kerajaan Allah adalah suatu kerajaan anugerah dan kemuliaan, tetapi
kerajaan duniawi adalah suatu kerajaan kemurkaan dan kekerasan. Kedua kerajaan itu tidak
dapat dicampur adukkan. Masing-masing lingkungan menurutaturannya. Jadi manusia hidup
dalam dua tatanan yaitu tatanan kebudayaan berdasarkan hukum alam dan tatanan rohani yaitu
tatanan surgawi. Ada kesan bahwa Marthin Luther tidak menghubungkan tatanan duniawi
dengan yang surgawi sehingga kehidupan dalam kebudayaan dan surgawi tidak berhubungnan.
xvi
Dengan itu ada kemungkinan orang tidak lagi membawa imannya dalam kehidupan dalam
kebudayaan (Niebuhr, 194).

Pada abad ini pandangan itu dipertahankan oleh seorang Teolog bernama William Roger.
Manusia menurut Roger, harus berbakti kepada Allah maupun raja, kendati ada
keteganganantara keduanya. Orang beriman seyogianya hanya berbakti kepada Allah tetapi tidak
dapat tidak harus berbakti kepada kebudayaan. Kita tidak dapat tidak hidup seperti ampibi, yaitu
hidup dalam rahmat Allah dan sekaligus dalam kebudayaan. Kedua lingkungan ini terpisah dan
tidak saling berhubungan. Hal ini mungkin bahwa seorang dapat hidup berdasarkan imannya
pada lingkungan rohani atau hidup menurut imannya pada lingkungan rahmat dan pada pihak
lain ia hidup menurut aturan duniawi dalam lingkungan dunia (Niebuhr:207).

Posisi 5 : Gereja pengubah kebudayaa

Banya orang Kristen sepanjang abad tidak menyetujui keempat pendirian tersebut baik dalam
teori maupun dalam politik. Mereka juga tidak bersedia menyerah kepadakebudayaan karena
mereka memahami kebudayaan mempunyai kelemahan-kelemahan. Mereka juga menolak
takluk kepada kebudayaan yang dipaksakan gereja sebab kebudayaan yang dipaksakan gereja
selalu berbentuk sintesa antara kerajaan Allah dan kerajaan dunia dan ada kecenderungan
memandang kebudayaan yang masih berdosa ini dianggap suci sebab berada di bawah gereja.
Tapi adalah tidak benar, jika dikatakan bahwa kerajaan Allah telah diwujudkan dalam
kebudayaan yang diciptakan gereja (Verkugl, 1982 : 49).

Sikap gereja yang tepat menurut H. R. Niebuhr adalah sikap gereja pengubah
kebudayaan.Seorang teolog bernama Augustinus (354-430) telah mempelopori sikap gereja
pengubah kebudayaan. Posisi ini berangkat dari pendirian bahwa tidak ada suatu kodrat yang
tidak mengandung kebaikan, karena itu kodrat setan sendiripun tidaklah jahat, sejauh itu adalah
kodrat, tapi ia menjadi jahat karena dirusak (Niebuhr, 239). Tetapi Allah kata Augustinus,
memerintah dan mengatasi manusia dalam pribadi dan sosial mereka yang rusak. Pandangan
ini berasal dari pemahaman bahwa oleh sifat kreatifitas Allah maka Allah tetap menggunakan
dengan baik kehendak manusia yang jahat sekalipun, sehingga m,anusia dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya melalui kebudayaannya. Sikap Allah ini mendapat wujudnya dalam Yesus
Kristus yang telah datang kepada manusia yang telah rusak untuk menyembuhkan dan
xvii
memperbaharui apa yang telah ditulari melalui hidup dan kematiannya, ia mengatakan
kebesaran kasih Allah dan tentang begitu dalamnya dosa manusia (241). Denganjalan Injilnya
ia memulihkan apa yang telah rusak dan memberi arah baru terhadap kehidupan yang telah
rusak (242). Atas pemikiran teologis tersebut, Agustinus meletakkan gagasan Injil pengubah
kebudayaan atau Injil adalah Conversionis terhadap kebudayaan. Pemikiran Augustinis ini
dilanjutkan oleh Johanes Calvin pada awal abad ke 16. Titik tolak pikirannya berawal pada
pandangannya bahwa hukum-hukum kerajaan Allah telah ditulis dalam kodrat manusia dan
dapat terbaca dalam kebudayaannya. Dengan itu hidup dan kebudayaan manusia dapat
ditransformasikan sebab kodrat dan kebudayaan manusia dapat dicerahkan, sebab mengandung
kemungkinan itu pada dirinya sebagai pemberian Ilahi. Oleh sebab itu Injil harus
diaktualisasikan dalam kebudayaan supaya kebudayaan lebih dapat mensejahterakan manusia
(245-246).

Gereja dan kebudayaan di Indonesia

Seperti telah disinggung sebelumnya, unsur-unsur kebudayaan yang dihadapi Injil di Indonesia
sarat dengan pengaruh agama-agama, mulai dari agama pribumi, Hindu, Buddha dan Islam
dalam intensitasyang berbeda-beda. Pengaruh itu dalam bentuk lapisan-lapisan, namun saling
berpenetrasi antara satu dengan yang lain. Secara umum dapat dikatakan pengaruh Hindu dan
Islam berpengaruh dalam kebudayaan Jawa, sedang di Indonesia bagian timur terdapat
pengaruh agama pribumi dan Islam. Di Sumatwera Utara khususnya diantara orang Batak
terdapat pengaruh agama Hindu dan agama pribumi.Sewaktu Injil diberitakan kepada suku-
suku bangsa di Indonesia maka Injil berhadapan dengan unsur-unsur kebudayaan setempat.
Persoalan kita bagaimana sikap gereja terhadap kebudayaan setempat.Gereja-gereja berlatar
belakang reformasi yang membawa Injil ke Indonesia menekankan sekali kemurnian Injil dan
disiplin kehidupan umat sesuai nilai-nilai yang termuiat dalam Injil. Oleh sebab itu geraja
selalu mengawasi agar unsur-unsur yang bertentangan dengan Injil tidak memasuki kehidupan
umat Kristen. Oleh karena itu gereja menolak kultus roh nenek moyang dan semua ritus-ritus
untuk menguatkan roh atau jiwa seseorang. Tujuan utama penolakan ini, agar tidak terjadi
penyembahan kepada ilah-ilah selain dari Allah Jahweh (Keluaran 20 : 2-5).

xviii
Tetapi gereja menyadari bahwa simbol-simbol yang digunakan masyarakat adalh bermuatan
agama sedang bagi masyarakat pribumi suatu simbol selalu identik dengan yang disimbolkan.
Oleh sebab itu gereja tidak saja menolak kultus kepada yang bukan Allah tetapi juga
mendesakralisasikan suatu simbol sehingga dapat menjadi sarana untuk mencapai
kesejahteraan manusia.Upaya ini nampak jelas dalam penerimaan gereja terhadap tatanan
masyarakat Batak yang dinamai dilikan na tolu, yaitu tiga tungku (Batak toba, Angkola,
Simalungun dan Dairi) atau sangkep si telu (Batak Karo). Tatanan ini bersumber dari
kepercayaan orang Batak kepada tiga Dewata, yang pertama berkediaman di dunia atas, yang
kedua di dunia tengah dan ketiga di dunia bawah. Berdasarkan pandangnan kosmologis
tersebut, maka masyarakat Batak dibagi atas unsur hula-hula atau kalimbubu (Karo) yaitu
kelompok si pemberi dara, dongan atau senina (Karo) yaitu kelompok satu klan dan boru atau
anak beru (Karo) yaitu kelompok si pengambil dara.

Ketiga dewata itu diharapkan selalu harmonis agar kehidupan manusia di dunia tengah tidak
diganggu oleh dunia bawah dan atas. Harapan ini terungkap dalam doa orang Karo bunyinya:
turunlah dewata diatas, naiklah dewata di bawah dan duduklah dewata ditengah. Sebagaimana
harus ada keharmonisan antara dunia atas, tengah dan bawah, demikian juga ketiga unsur
kerabat tersebut harus selalu bertindak dalam keserasian. (Ph. L. Tobing, the structure of Batak
Belief in the High God: 1963:28-29) Bahwa orang batak memahami seluruh kosmos sebagai
keselueruhan dunia bawah, tengah dan atas. Dalam totalitas ini, masing-masing dunia yang tiga
itu mempunyai fungsi, melalui mana keserasian dan keberadaan manusia itu mungkin.
Penghapusan salah satu dari totalitas itu berarti pemusnahan jagad raya dan juga keberadaan
masing-masing. Demikian juga keberadaan kosmos yang menjadi bagian dari pada ruang
adalah kesatuan totaliter. Tanpa memandang luas kecil operasinya, ia adalah kesatuan dari
kuasa-kuasa yang bertentangan (terjemahan : penulis).Gereja mengadopsi tatanan dalihan na
tolu tau sangkep si telu tersebut dengan mencopot unsur mythologisnya dan menanamkan nilai-
nilai etis agama Kristen kedalamnya agar peran masing-masing unsur lebih rasional dan
fungsional.Hal yang sama dilakukan gerja-gereja dalam kebudayaan setempat di Indonesia
antara lain gereja di Ambon mengadopsi tatanan “pela gandong” yaitu suatu ikatan sosial
masyarakat berdasarkan ikrar nenek moyang pada waktu yang tidak diketahui lagi, tetapi tetap
diteruskan kepada generasi-generasi seterusnya tanpa membedakan agama yang merekla
xix
anut.Kepatuhan orang terhadap tatanan dalihan na tolu maupun pela gandong tersebut bukan
semata-mata oleh ikatan hukum, tapi mengandung nilai-nilai moral dan oleh sebab itu
kepatuhan tersebut bersifat devasi atau ibadah dan orang yang melanggarnya dikategorikan
sebagai pelanggar moral.

xx
BAB III
PEMBAHASAN
A. KELEBIHAN BUKU
Dari kedua buku yang telah di review penulis menemukan keungulan setiap buku dan
memiliki ke unggulan tersebut:
1. Buku Utama : Keunggulan yang terdapat pada buku utama ialah pembahasan yang
sangat luas dan mencakup ke aspek-aspek lainnya, kemudian tata bahasa dan penulisan
yang rapi, membuat pembaca lebih tertarik untuk memhaminya lebih dalam dan cocok
untuk digunakan sebagai buku acuan pembelajaran.
2. Buku Pembanding : Keunggulan yang terdapat pada buku pembanding sama seperti
keunggulan yang terdapat pada buku utama, ialah tata bahasa nya yang bagus dan rapi
dan penulisan yang bagus

B. KELEMAHAN ISI BUKU

Penulis juga menemukan kelemahan dari kedua buku tersebut dan akan menerapkannya
seperti:

1. Buku utama : Kelemahan pada buku utama ialah pada halaman 152 paragraf ke 3
terdapat kata sebahagian yang menurut penulis itu terlalu baku, kecuali dengan
penambahan kata depan (se)
2. Buku Pembanding : Penulis juga menemukan ada beberapa penulisan kata yang salah
dalam buku tersebut, seperti di halaman 48, 52 dengan paragraf yang berbeda-beda
seperti kata “sala” yang seharusnya “salah” dan kata “perumpaman” yang seharusnya
“perumpamaan”

xxi
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan

Dari ringkasan buku dan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Melalui
pertemuan Injil dengan sub kultur-sub kultur di Indonesia timbullah kebudayaan sub
kultur Kristen di Indonesia. Hal ini mengatakan tidak ada kebudayaan Kristen yang
universal di Indonesia. Dengan itu agama Kristen telah menjadi salah satu sumber
kekuatan untuk melahirkan kebudayaan. Oleh sebab kelokalan itu maka kebudayaan sub
kultur Kristen itu tidak seluruhnya menyapa semua manusia disegala zaman dan tempat.
Hal itu berarti Injil yang universal itu dijadikan menjadi Injil yang lokal, yang menjawab
persoalan dan kebutuhan lokal. Proses ini dapat menjadi ancaman sebab Injil yang
universal dikaburkan dalam kelokalannya.

B. Saran
Menurut penulis buku yang pantas untuk dibuat sebagai buku acuan pembelajaran
ialah buku utama karena buku tersebut sangat membahas secara luas dan terperinci
sehingga penggunapun bisa mengerti dengan maksud dari buku tersebut.

xxii
DAFTAR PUSTAKA

Sampitmo H.dkk, 2017. Pendidikan Agama Kristen, Medan, CV. Pertama Mitra Sari.
Koentjaraningrat,1990,Pengantar Ilmu Atropologi, Jakarta, PT. Renaka Cipta

23

Anda mungkin juga menyukai