Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

DIVERTIFIKASI DAN PENGEMBANGAN PRODUK HASIL PERIKANAN

PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN MENGGUNAKAN TEKNOLOGI


PENGASAPAN, FERMENTASI DAN BY-PRODUCT
HASIL PERIKANAN

OLEH :

SITTI RAHMADINA
L051 17 1002

PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN


DEPARTEMEN PERIKANAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020
I. PENDADULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai negara yang dikelilingi oleh lautan, Indonesia mempunyai panjang pantai
±81.000 km dengan luas perairan pantainya adalah ± 6.846.000 km. Ini menunjukkan
bahwa Indonesia memiliki potensi yang baik untuk mengembangkan dan memanfaatkan
kekayaan lautnya terutama ikan. Pemanfaatan ikan kemudian berkembang kearah
komersial untuk diekspor dan diperdagangkan sebagai bahan mentah dan bahan jadi.
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil dan pengekspor ikan yang cukup penting
di Asia. Untuk meningkatkan produksi dan kualitas pengolahan ikan serta memanfaatkan
lahan perairan Indonesia maka upaya pengembangan budidaya ikan laut masih perlu dikaji
dan dipelajari. Hasil-hasil percobaan ini diharapkan dapat dikembangkan sebagai
usaha pengolahan ikan yang berdaya guna dan berhasil guna.
Hasil perikanan merupakan komoditi yang cepat mengalami kemunduran mutu, atau
mengalami pembusukan, karena ikan mempunyai kandungan protein (18-30 %) dan air
yang cukup tinggi (70-80%) sehingga merupakan media yang baik bagi perkembangan
bakteri pembusuk. Terutama di daerah tropis seperti Indonesia yang suhunya relatif tinggi
sehingga dapat mempercepat laju kemunduran mutunya. Dengan kelemahan tersebut telah
dirasakan sangat menghambat usaha pemasaran hasil ikan bahkan menimbulkan kerugian
besar, terutama pada saat produksi ikan melimpah.
Oleh karena itu perlu dilakukan usaha untuk meningkatkan daya simpan dan kualitas
produk perikanan melalui proses pengolahan atau pengawetan. Prinsip pengolahan ikan
pada dasarnya bertujuan melindungi ikan dari pembusukan dan kerusakan.  Selain itu juga
untuk memperpanjang daya awet  dan mendiversifikasikan produk olahan hasil perikanan.
Pengolahan hasil perikanan dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti dengan
menggunakan teknologi pengasapan, fermentasi dan by-product hasil perikanan atau
memandaatkan limbah hasil perikanan tersebut.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan diuraikan dalam makalah ini, yaitu:
1. Bagaimana pengolahan atau pengawetan ikan dengan menggunakan teknologi
pengasapan?
2. Bagaimana pengolahan ikan dengan menggunakan teknik fermetasi?
3. Bagaimana pengolahan atau pemanfaatan limbah hasil perikanan pada by-product?
C. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengolahan atau pengawetan ikan dengan menggunakan teknologi
pengasapan
2. Untuk mengetahui pengolahan ikan dengan menggunakan teknik fermetasi
3. Untuk mengetahui pengolahan atau pemanfaatan limbah hasil perikanan menjadi by-
product
4.
II. PEMBAHASAN

A. PENGASAPAN
1. Dasar Pengolahan Ikan Dengan Pengasapan
Pengasapan ikan adalah salah satu cara mengolah dan mengawetkan ikan yang
cukup popular di Indonesia. Cara ini dapat dijumpai di berbagai daerah, namun jumlahnya
tidak sebanyak produk pengasinan atau pengeringan. Pengasapan dapat menunda proses
kemunduran mutu ikan, namun dalam waktu yang tidak terlalu lama, tidak seperti ikan asin
atau ikan kering. Tujuan pengasapan pada ikan ada tiga hal. Pertama, mengolah ikan agar
siap untuk dikonsumsi langsung. Kedua, memberi cita rasa yang khas agar lebih disukai
konsumen. Ketiga, memberikan daya awet melalui pemanasan, pengeringan dan reaksi
kimiawi asap dengan jaringan daging ikan pada saat proses pengasapan berlangsung
(Sulistijowati S et al, 2011).
Pengasapan juga bertujuan untuk mengeluarkan uap dari unsur-unsur senyawa fenol
atau aldehid dari jenis kayu yang dilekatkan pada tubuh ikan atau untuk memasukkan unsur-
unsur tersebut ke dalam tubuh ikan sehingga menghasilkan rasa dan aroma yang khas,
serta mengeringkan ikan sehingga didapat efek pengawetan yang diharapkan. Rasa lezat
yang menjadi ciri khas produk ikan yang diasap, terutama dari senyawa fenol dan aldehid
yang efektif untuk menahan berkembang biaknya mikroorganisme.
Pengawetan dengan pengasapan sudah lama dilakukan manusia dengan
pemanggangan dan pengasapan, ikan dapat disimpan lebih lama dan memberikan cita rasa
yang khas dan disukai. Istilah pengasapan (smoking) diartikan untuk penyerapan
bermacam-macam senyawa kimia yang berasal dari asap kayu ke dalam ikan, disertai
dengan setengah pengeringan dan biasanya didahului dengan proses penggaraman. Jadi,
istilah smoke curing meliputi seluruh proses yang dimulai dari tahap persiapan bahan
mentah sampai ke pengasapan terakhir yang mengakibatkan perubahan warna, flavor dan
tekstur ikan. Sedangkan tujuan pengasapan dalam pengawetan ikan adalah untuk
mengawetkan dan memberi warna serta rasa asap yang khusus pada ikan (Sulistijowati S et
al, 2011).

2. Jenis-jenis Proses Pengasapan


Selanjutnya, akan dijelaskan di bawah ini, ada lima jenis proses pengasapan yaitu,
pengasapan dingin(cold smoking), pengasapan hangat (warm smoking), pengasapan
panas(hot smoking), pengasapan cair (liquid smoke), dan pengasapan listrik (electric
smoking).
a. Pengasapan panas (Hot smoking)
Pada pengasapan panas, suhu asap mencapai 120-140oC dalam waktu 2-4 jam,
dan suhu pada pusat ikan dapat mencapai 60oC. Pada pengasapan panas ini di samping
terjadi penyerapan asap, ikan juga menjadi matang. Rasa ikan asap ini sangat sedap dan
berdaging lunak, tetapi tidak tahan lama, dengan kata lain harus dikonsumsi secepatnya.
Kecuali bila suhu ruang penyimpanan rendah. Hal ini disebabkan oleh kadar air dalam
daging ikan masih tinggi (>50%). Menurut Horner (1992), untuk mengurangi akumulasi
Polynuclear Aromatic Hydrocarbon (PAH) pada ikan, maka selama pengasapan panas
suhunya harus diturunkan (70-80oC).
b. Pengasapan hangat (warm smoking)
Bahan baku ikan, setelah direndam dalam larutan garam, diasap kering pada suhu
sekitar 30oC, kemudian secara bertahap suhu dinaikkan. Bila telah mencapai suhu 90oC,
proses pengasapan selesai. Proses ini menitikberatkan pada pentingnya aroma dan cita
rasa produk dan bertujuan menghasilkan produk yang diasap yang lembut dan kadar garam
kurang dari 5% serta kadar air sekitar 50%. Produk yang dihasilkan dari proses ini
mengandung kadar air yang relatif tinggi, sehingga mudah busuk, mutu produknya juga
cepat menurun selama proses penyimpanan, sehingga harus disimpan dalam suhu rendah.
c. Pengasapan dingin (cold smoking)
Pada pengasapan dingin suhu asap tidak boleh melebihi 20-40 oC dalam waktu 1-3
minggu, kelembaban (RH) yang terbaik adalah antara 60-70 persen. Kelembaban di atas 70
persen menyebabkan proses pengeringan berlangsung sangat lambat. Bila di bawah 60
persen permukaan ikan mengering terlalu cepat, dan akan menghambat penguapan air dari
dalam daging. Selama pengasapan, ikan akan menyerap banyak asap dan menjadi kering,
sebab airnya terus menguap. Supaya tahan lama biasanya ikan diasapi dengan metode ini.
Produk asap dengan cara ini disebut ikan kayu, karena memang sangat keras seperti kayu.
Kadar airnya 20-40 persen. Produk dapat disimpan selama lebih dari satu bulan.
d. Pengasapan cair (liquid smoking)
Dalam proses ini, aroma asap yang dihasilkan pada proses pengasapan diperoleh
tanpa melalui proses pengasapan, melainkan melalui penambahan cairan bahan pengasap
(smoking agent) ke dalam produk. Asap cair merupakan campuran larutan dari disperse
asap kayu dalam air yang dibuat dengan mengkondensasikan asap hasil pirolisis kayu.
Metode penambahan bahan pengasap ke dalam ikan, dapat dilakukan melalui penuangan
langsung, pengasapan, pengolesan atau penyemprotan. Melalui proses ini tidak diperlukan
lagi ruang tempat pengasapan atau alat pengasap yang menjadi keuntungan dari proses ini,
namun aroma produk yang dihasilkan jauh di bawah dari aroma produk yang dilakukan
dengan proses pengasapan sesungguhnya.
Berdasarkan hasil penelitian (Swastawati et al, 2017), Pengasapan dengan metode
berbeda (tradisional dan asap cair) pada ikan asap berpengaruh nyata terhadap
karakteristik kimia (fenol, pH), mikrobiologi (TPC dan E.coli) dan sensori. Ikan asap dengan
metode asap cair relative mempunyai kualitas lebih baik dibandingkan metode tradisional.
Dengan nilai mikrobiologi E.coli yang lebih rendah menunjukkan metode asap cair (Ac) lebih
higienis dibandingkan metode tradisional (Tr)
e. Pengasapan listrik (electric smoking)
Metode pengasapan listrik, ikan diasapi dengan asap yang telah terkena pancaran
gelombang listrik, ikan diasapi dengan asap yang telah terkena pancaran gelombang
elektromagnetik yang berbentuk korona yang dihasilkan oleh tenaga listrik (asap yang
bermuatan listrik). Pada metode ini asap yang bermuatan listrik tersebut dapat melekat ke
permukaan ikan lebih mudah daripada metode pengasapan panas atau dingin.

3. Faktor yang Mempengaruhi Pengasapan


Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengasapan (Wibowo, 1996), antara lain :
a. Suhu Pengasapan
Pada awal pengasapan, ikan masih basah dan permukaan kulitnya diselimuti
lapisan air. Dalam keadaan ini asap akan mudah menempel pada lapisan air
permukaan ikan. Agar penempelan dan pelarutan asap dapat berjalan efektif, suhu
pengasapan awal sebaiknya rendah. Jika dilakukan pada suhu tinggi, lapisan air
pada permukaan tubuh ikan akan cepat menguap dan daging ikan akan cepat
matang. Kondisi ini akan menghambat proses penempelan asap sehingga
pembentukan warna dan aroma asap kurang baik. Setelah warna dan aroma
terbentuk dengan baik, suhu pengasapan dapat dinaikkan untuk membantu proses
pengeringan dan pematangan ikan.
b. Kelembaban Udara
Kisaran kelembaban udara (Rh) yang ideal untuk pengasapan adalah 60% -
70% dan suhunya sekitar 29°C. Jika Rh yang lebih tinggi dan 79% proses
pengeringan selama pengasapan berjalan lambat karena panas dari hasil
pembakaran masih belum mampu mengurangi kelembaban. Sebaliknya jika Rh
kurang dari 60%, permukaan ikan akan terlalu cepat matang.
c. Jenis Kayu
Jenis kayu menentukan mutu asap yang dihasilkan dan pada akhirnya
menentukan mutu ikan asap. Untuk pengasapan dingin sebaiknya menggunakan
serbuk gergaji dari jenis kayu keras sedangkan untuk pengasapan panas
menggunakan batang atau potongan kayu keras dari jenis separo kayu jati. Jenis-
jenis kayu yang mengandung resin atau damar seperti kayu pinus kurang baik untuk
pengasapan karena menghasilkan rasa pahit pada ikan, sehingga tidak enak untuk
dikonsumsi.
d. Perlakuan sebelum pengasapan
Biasanya dengan penggaraman ikut menentukan mutu pengasapan. Faktor
lain yang berpengaruh adalah mutu ikan yang akan diasap, jumlah asap dan
ketebalan asap. Mutu ikan akan berpengaruh karena bila ikan yang diasap sudah
mengalami kemunduran mutu maka produk yang dihasilkan juga akan tidak sesuai
dengan harapan. Sedangkan jumlah asap dan ketebalan asap akan berpengaruh
pada cita rasa, bau dan warna. Semakin tebal asap semakin baik pula produk yang
akan dihasilkan.

4. Produk Pengasapan Ikan

Nama Nama
Gambar produk Uraian singkat cara membuatnya
Ikan produk

Bandeng Bandeng Ikan bandeng dibersihkan,disiangi dan


Asap dicuci. Lalu ikan direndam dengan 3 kg
garam ke dalam 10 liter air selama 30
menit. Ikan dibilas dengan air dan
ditiriskan. Ikan kemudian digantung di
atas batang besi, bagian perut ikan
dibuka dengan menggunakan batang
lidi. Pengasapan di lemari asap
menggunakan arang, sabut dan
tempurung kelapa, tahap 1 pengasapan
dingin (55-60oC) selama 4 jam dan
tahap 2 pengasapan panas (75-80 oC)
selama 2 jam. Kemudian didinginkan
dan di kemas.
Tuna Tuna asap Ikan tuna sirip kuning dipisahkan
sirip kepalanya, dibelah dua dan dipotong
kuning menjadi beberapa bagian setebal 1-2
cm. Ikan dicuci dan ditiriskan, lalu ikan
ditusuk dengan lidi. Tungku
pengasapan ikan disiapkan kemudian
api dinyalakan dengan cara membakar
sabut kelapa. Pada saat sabut kelapa
sudah terbakar merata, api dimatikan
dan sabut kelapa yang terbakar disebar
merata keseluruh bagian dasar tungku.
Langkah selanjutnya adalah
meletakkan parapara yang terbuat dari
bambu di atas tungku kemudian ikan
disusun di atas para-para dan diasapi
selama 35 - 40 menit.
Cakalang Cakalang Ikan cakalang dibelah, disiangi dan
asap dibersihkan. Ikan dijepit dan ditusuk
menggunakan bamboo lalu dicuci dan
ditiriskan sampai kering selama 3-5
menit. Ikan disusun di tempat
pengasapan, pengasapan dilakukan
dengan metode penggasapan panas.
Ikan yang telah matang diangkat dan
didinginkan. Selanjutnya ikan diolesi
dengan minyak goreng/minyak kelapa
pada permukaan ikan. Proses ini
dilakukan agar ikan tampak mengkilap
dan menarik.
Ikan Ikan Sebelum diletakkan di atas rak
terbang/t terbang pengasapan yang terbuat dari bambu,
uing- asap ikan terbang terlebih dahulu direndam
tuing di air garam. Setelah itu diletakkan di
atas rak pengasapan hingga ikan
berwarna kecoklatan.  Ikan asap yang
sudah matang ini bisa langsung
dimakan, atau disimpan. Kayu yang
digunakan untuk mengasapi ikan tuing-
tuing ini biasanya adalah kayu bakau
atau kayu mangrove.
Cumi Snack Penyiangan (pembuangan isi perut,
cumi cumi asap kantong tinta, kepala, kulit, tulang
belakang dan sirip), bagian punggung
dibelah, pencucian dengan air bersih.
Cumi di rebus pada suhu 80-90 °C
selama 3 menit, lalu pengasapan
selama 8 jam pada suhu 70-80 °C.
Kemudian perendaman Cumi-Cumi
Asap Dalam Air Abu Merang Padi
Konsentrasi 1,0% selama 1 jam.
Selanjutnya cumi dipotong lebar 2 cm,
digoreng dan dibumbui
Lele Lele asap Ikan lele dibelah dua dan disiangi, lalu
dicuci bersih dan ditiriskan. Rendam
ikan lele dalam larutan garam 20-25%
selama 30-60 menit. Kemudian tiriskan
dan angin-anginkan sampai
permukaannya kering. Nyalakan kayu
bakar dalam rumah asap, sampai
didapat asap yang tebal dengan
o
temperatur ruang 60 – 100 C. Atur ikan
di atas rak pengasapan kemudian
lakukan proses pengasapan selama 2-
4 jam sampai ikan kering, matang dan
berwarna kuning kecoklatan mengkilap
lalu dinginkan.

B. FERMENTASI
1. Dasar-dasar Fermentasi
Fermentasi merupakan suatu cara pengolahan melalui proses memanfaatkan
penguraian senyawa dari bahan-bahan protein kompleks. Protein kompleks tersebut
terdapat dalam tubuh ikan yang diubah menjadi senyawa-senyawa lebih sederhana dengan
bantuan enzim yang berasal dari tubuh ikan atau mikroorganisme serta berlangsung dalam
keadaan yang terkontrol atau diatur.
Proses fermentasi yang terjadi pada ikan merupakan proses penguraian secara
biologis atau semibiologis terhadap senyawa-senyawa komplek terutama protein menjadi
senyawasenyawa yang lebih sederhana dalam keadaan terkontrol. Selama proses
fermentasi, protein ikan akan terhidrolisis menjadi asam-asam amino dan peptida, kemudian
asam-asam amino akan terurai lebih lanjut menjadi komponen-komponen lain yang
berperan dalam pembentukan cita rasa produk.
Cara fermentasi pada dasarnya hanya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Proses fermentasi yang memungkinkan terjadinya penguraian atau transformasi
yang nantinya akan mampu menghasilkan suatu produk dengan bentuk dan sifat
yang sama sekali berbeda (berubah) dari keadaan awalnya. Misalnya saja dalam
pengolahan terasi, kecap ikan dan ikan peda.
2. Proses fermentasi yang menghasilkan senyawa-senyawa, secara nyata akan
memiliki kemampuan atau daya awet dalam produk yang diolah tersebut, misalnya
dalam pembuatan ikan peda.

Proses fermentasi bahan makanan pada dasarnya sebagai hasil kegiatan beberapa
jenis mikroorganisme diantara beribu-ribu jenis bakteri, khamir dan kapang. Oleh karena itu,
dalam membahas berbagai jenis mikroorganisme yang berperan dalam fermentasi bahan
makanan tradisional, akan bertitik tolak dari ketiga jenis mikroorganisme di atas, yaitu
bakteri, khamir dan kapang.

2. Jenis Fermentasi
a. Fermentasi Garam
Fermentasi garam dapat dibedakan dengan dua cara, yaitu :
 Fermentasi dengan cara penggaraman kering, biasanya dilakukan terhadap ikanikan
yang mempunyai kandungan lemak rendah.
 Fermentasi dengan cara penggaraman basah, yaitu merendam di dalam larutan garam
dan cara tersebut biasanya dilakukan terhadap ikan-ikan berlemak tinggi. Fermentasi
dengan cara penggaraman basah biasanya juga terjadi fermentasi laktat.
Pada cara itu, sering ditambahkan cuka, bumbu-bumbu dan bahan pengawet
lainnya. Penambahan garam dalam fermentasi ikan mempunyai beberapa fungsi antara
lain :
 Meningkatkan rasa ikan
 Membentuk tekstur yang diinginkan
 Mengotrol mikroorganisme, yaitu merangsang pertumbuhan mikroorganisme yang
diinginkan berperan dalam fermentasi, dan menghambat pertumbuhan
mikroorganisme pembusuk dan patogen.

b. Fermentasi Laktat
Fermentasi asam laktat dapat terjadi sebagai akibat aktivitas bakteri asam laktat yang
dibedakan menjadi dua kelompok yaitu :
 Bakteri asam laktat homofermentatif. Bakteri ini dapat mengubah 95% dari glukosa
atau heksosa lainnya menjadi asam laktat. Karbondioksida dan asam-asam volatil
lainnya juga dihasilkan, tetapi jumlahnya sangat kecil.
 Bakteri asam laktat heterofermentatif, mengubah glukosa dan heksosa lainnya
menjadi asam laktat, etanol, asam asetat, asam format dan CO2 dalam jumlah yang
hampir sama

3. Faktor yang Mempengaruhi Fermentasi


Fermentasi bahan pangan merupakan hasil kegiatan beberapa mikroorganisme.
Agar proses fermentasi dapat berjalan dengan baik, tentunya beberapa faktor yang
mempengaruhi kegiatan dari mikroorganisme perlu pula diperhatikan. Sehingga apabila
kita berbicara mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi proses fermentasi, tentunya
tidak lepas dari kegiatan mikroorganisme itu sendiri. Beberapa faktor utama yang
mempengaruhi proses fermentasi meliputi suhu, oksigen, air dan substrat.
 Suhu, sebagai salah satu faktor lingkungan terpenting yang mempengaruhi dan
menentukan macam organisme yang dominan selama fermentasi. Beberapa hal
sehubungan dengan suhu untuk setiap mikroorganisme dapat digolongkan sebagai
berikut :
- Suhu minimum, di bawah suhu itu pertumbuhan mikroorganisme tidak terjadi
lagi.
- Suhu optimum, sebagai suhu yang memungkinkan pertumbuhan
mikroorganisme paling cepat.
- Suhu maksimum, di atas suhu itu pertumbuhan mikroorganisme tidak
mungkin terjadi lagi.
 Oksigen, proses fermentasi harus diatur sebaik mungkin untuk memperbanyak
atau menghambat pertumbuhan mikroba tertentu. Setiap mikroba membutuhkan
oksigen yang berbeda jumlahnya untuk pertumbuhan atau membentuk sel-sel
baru dan untuk fermentasi.
 Substrat, seperti halnya makhluk lain, mikroorganisme juga membutuhkan suplai
makanan yang akan menjadi sumber energi, dan menyediakan unsur-unsur kimia
dasar untuk pertumbuhan sel. Substrat (makanan) yang dibutuhkan oleh mikroba
untuk kelangsungan hidupnya berhubungan erat dengan komposisi
kimianya.Kebutuhan mikroorganisme akan substrat juga berbeda-beda. Ada yang
memerlukan substrat lengkap dan ada pula yang tumbuh subur dengan substrat
yang sangat sederhana. Hal itu karena beberapa mikroorganisme ada yang
memiliki sistem enzim (katalis biologis) yang dapat mencerna senyawa-senyawa
yang tidak dapat dilakukan oleh mikroorganisme lain.Komposisi kimia hasil
pertanian yang terpenting adalah ptotein, karbohidrat dan lemak. Pada pH 7,0
protein mudah sekali digunakan oleh bakteri sebagai substrat. Karbohidrat seperti
pektin, pati dan lainnya merupakan substrat yang baik bagi kapang dan beberapa
khamir.
 Air, mikroorganisme tidak dapat tumbuh tanpa adanya air. Air dalam substrat
yang digunakan untuk pertumbuhan mikroorganisme dinyatakan dalam istilah water
activity atau aktivitas air = aw, yaitu perbandingan antara tekanan uap dari larutan
(P) dengan tekanan uap air murni (Po) pada suhu yang sama.

4. Produk Fermentasi
a. Peda
Merupakan produk fermentasi dengan bahan baku ikan. Pada umumnya dibuat
untuk ikan yang berkadar lemak tinggi. Selama atau pada waktu fermentasi akan terjadi
perubahan kimia antara lain proses reaksi pada lemak yang memberikan cita rasa
khas.Jenis ikan yang dapat diolah menjadi ikan peda antara ain ikan Kembung, ikan Layang,
Selar, ikan Mas, Tawes dan ikan Mujair. Tetapi ternyata hasil yang paling memuaskan
adalah ikan Kembung, baik Kembung betina maupun jantan.
Sedangkan untuk jenis ikan lainnya memiliki cita rasa yang masih kalah dengan ikan
Kembung bila diolah menjadi peda. Berdasarkan pembuatannya dikenal dua jenis peda,
yaitu peda putih dan peda merah. Perbedaan itu dikarenakan bahan baku yang digunakan.
Ciri-ciri peda yang baik antara lain berwarna merah segar, tekstur dagingnya maser, pHnya
6,0-6,4, rasanya khas disebabkan adanya proses fermentasi.
Pada umunya, konsumen lebih menyukai peda yang berwarna merah. Hal ini karena
peda yang berwarna merah kandungan lemaknya tinggi yang akan memenuhi cita rasa
peda. Kandungan lemak peda merah berkisar antar 7-14% yang memberikan rasa gurih.
Warna yang kemerahan merupakan salah satu faktor disenangi oleh konsumen. Disamping
itu tekstur peda merah lebih maser dibandingkan peda putih.
b. Terasi
Merupakan satu produk olahan dari hasil perikanan sebagai usaha pemanfaatan ikan
atau udang yang berkualitas rendahadalah terasi. Terasi merupakan produk perikanan yang
berbentuk pasta. Bahan baku yang biasa digunakan untuk terasi berkualitas baik.
Sedangkan terasi bermutu rendah biasanya dibuat dari limbah ikan, sisa ikan sortiran
dengan bahan tambahan biasanya tepung tapioka atau tepung beras, dan berbagai jenis
ikan kecil (teri) atau udang kecil (rebon). Umumnya terasi digunakan untuk campuran
membuat sambal, adakalanya digunakan pula untuk campuran pada masakan lain.
c. Kecap ikan
Sebagai salah satu produk fermentasi ikan. Kecap ikan memiliki cita rasa yang
berbeda dengan kecap yang dibuat dari kacang kedelai. Warnanya bening kekuningan
sampai coklat muda dengan rasa asin yang relatif serta banyak mengandung
senyawasenyawa nitrogen. Selain komponen nitrogen, kecap ikan juga mengandung
mineral yang penting bagi tubuh, contohnya garam NaCl atau garam kalsium. Kecap ikan
mempunyai kandungan gizi tinggi karena mengandung nitrogen. Pada proses pengolahan
kecap protein ikan akan terhidrolisis.
Berdasarkan hasil penelitian selama proses, amino nitrogen akan mengalami
peningkatan tetapi akan terjadi penurunan total nitrogen. Amino nitrogen merupakan unsur
gizi yang baik untuk tubuh karena mudah dicerna. Mikroba yang telah berhasil diisolasi dari
produk kecap ikan antara lain bakteri halofilik dan khamir. Kapang yang ditemukan seperti
Cladosporium herbarum, Aspergillus fumigatus dan Penicillium notatum. Sedangkan dari
jenis khamir berupa Caudida clausenii.
d. Bekasam
Merupakan produk olahan ikan dengan cara fermentasi yang rasanya asam. Olahan
tersebut banyak dikenal di daerah Jawa Tengah dan Sumatera Selatan. Ikan yang dapat
digunakan sebagai bekasam merupakan jenis ikan air tawar seperti Lele, ikan Mas, Tawes,
ikan Gabus, Nila dan Mujair.Pengolahan bekasam di daerah Kalimantan Selatan
umumnya dikenal dengan nama samu. Bahan baku berupa ikan Gabus, ikan Betok, ikan
Sepat siam dan Sepat rawa dengan penambahan garam sekitar 15-20%, dan ditambahkan
samu atau beras ginseng sebanyak 15%, kemudian difermentasi + satu minggu sampai
menghasilkan aroma dan rasa yang khas bekasam.

C. BY- PRODUCT
By product adalah suatu hasil sampingan yang diperoleh dari suatu proses produksi
selain dari yang dihasilkan oleh suatu produk utamanya ataupun hasil sampingan dari suatu
jenis produk pangan yang bukan merupakan hasil utamanya atau sering disebut dengan
limbah. Limbah yang tidak dimanfaatkan tentu saja akan menimbulkan masalah
pencemaran lingkungan yang serius jika tidak cepat ditangani. Limbah tersebut dianggap
sebagai sesuatu yang tidak lagi memiliki nilai guna dan juga nilai ekonomis karena itu limbah
tersebut memerlukan penanganan yang baik dan benar. Selain dapat menimbulkan
pencemaran, limbah juga akan menjadi sumber pertumbuhan mikroba yang dapat
mengganggu kesehatan tubuh manusia (Firlianty, 2009).
Untuk meminimalisasi dampak tersebut maka perlu dilakukan usaha untuk
memanfaatkan limbah ini dengan cepat dan tepat, dengan harapan produk yang dihasilkan
dari limbah ini dapat memiliki nilai guna dan nilai ekonomis, serta menanamkan konsep
pengolahan limbah berbasis zero waste kepada masyarakat. Sebagai salah satu alternatif
yang paling efektif dan efisien dalam menanggulangi limbah yang dihasilkan dari
pengolahan adalah dengan penerapan konsep zero waste melalui optimalisasi pemanfaatan
pada limbah menjadi bahan baku pada pengembangan produk baru (Haryati dan Munandar,
2012).
1. Bahan Baku By Product
Jenis-jenis bahan baku yang digunakan untuk membuat makanan dari hasil samping
perikanan, sebagai berikut.
 Kepala ikan adalah bagian kepala dari tubuh ikan, di mana terdapat insang, mata ikan,
dan mulut ikan. Bagian kepala ikan dapat diolah menjadi hidangan yang lezat dan
bergizi seperti: gulai kepala ikan atau sup kepala ikan. Bagian kepala ikan masih
memiliki sedikit daging serta nikmat menyatap bagian mata ikan, memiliki nilai nutrisi
yang hampir sama dengan bagian tubuh utama di mana terdapat daging ikan, sehingga
dapat memenuhi kebutuhan gizi serta memiliki nilai jual.
 Kulit ialah bagian paling luar daging. Kulit merupakan organ tunggal tubuh paling berat,
kulit juga merupakan hasil ternak yang paling tinggi nilai ekonominya, yaitu sekitar 59%
dari nilai keseluruhan produk yang dihasilkan oleh seekor ternak. Kulit mempunyai
banyak fungsi antara lain sebagai alat perasa, pelindung jaringan di bawahnya,
memberi bentuk, mengatur suhu tubuh, tempat sintesis vitamin D. Kulit dapat diolah
menjadi produk pangan seperti kerupuk dan masakan lainnya.
 Selain kepala ikan yang bisa mengurangi terjadinya osteoporosis ternyata tulang ikan
juga dapat membantu menguatkan dan memperkokoh tulang tubuh manusia, karena
tulang ikan mengandung kalsium, fosfor, dan vitamin D yang sangat dibutuhkan oleh
tubuh dalam menjaga kokohnya tulang. Tulang ikan biasanya dikeringkan dan digiling
menjadi tepung, setelah menjadi tepung ini baru bisa diversifi kasi dalam bentuk olahan
berupa cemilan, seperti pangsit ikan, stik ikan, kerupuk, dan lainnya.Mengolah hasil
samping dari bahan baku perikanan dan peternakan harus melalui beberapa uji coba
yang membutuhkan ketelitian, ketekunan dan kesabaran karena waktu yang dibutuhkan
relatif lama untuk menghasilkan produk pangan sampingan yang bermanfaat bagi tubuh
manusia yang memiliki nilai gizi yang tinggi, sehat, dikemas dengan
penampilan/kemasan yang menarik dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi.

2. By Product
Berikut ini adalah beberapa hasil penelitian terkait dengan pemanfaatan limbah
hasil perikanan (By product) :
a. Pemanfaatan limbah tulang ikan tuna (Thunnus sp.)
Tepung tulang ikan yang dihasilkan berbentuk bubuk halus berwarna putih
kekuningan hingga kuning tergantung pada waktu autoclaving dan frekuensi perebusan
yang dilakukan. Kadar abu yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar 77,54-84,22 (% bb).
Nilai ini lebih tinggi dibandingkan kadar abu yang diperoleh pada tepung tulang komersial.
Protein tulang ikan sebagian besar terdiri atas protein kolagen dengan asam amino
penyusun utamanya adalah prolin, glisin dan alanin. Dalam kondisi alami protein fibriler
atau skleroprotein ini sulit untuk dicerna oleh enzim pepsin dan pankreatin (Winarno, 1997)
atau tripsin dan kemotripsin menjadi asam-asam amino (Alais dan Linden, 1991). Oleh
karena itu perlu proses hidrolisis dan pelarutan protein tersebut dengan cara pemanasan.
Proses tersebut juga sangat berguna untuk memisahkan dan memanfaatkan kalsium
fosfatnya

b. Pemanfaatan limbah kulit udang


Chitosan udang yang dihasilkan telah memenuhi standar Badan Riset Kelautan dan
Perikanan (2006). Aplikasi chitosan terhadap hasil perikanan ikan layang pindang
menunjukkan chitosan mampu menghambat laju pertumbuhan bakteri sehingga dapat
digunakan sebagai alternatif pengawet alami.
Pemanfaatan kulit udang menjadi “edible coating” chitosan bukan saja memberikan
nilai tambah pada usaha pengolahan udang, akan tetapi juga dapat menanggulangi
masalah pencemaran lingkungan yang ditimbulkan, terutama masalah bau yang dikeluarkan
serta estetika lingkungan yang kurang bagus.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pindang ikan Layang dengan perlakuan
pencelupan chitosan dapat menekan laju pertumbuhan bakteri dibandingkan dengan
pindang ikan Layang yang tanpa pencelupan dalam larutan chitosan [9], diketahui bahwa
jumlah koloni bakteri tanpa pelapisan chitosan lebih pesat pertumbuhannya dibandingkan
dengan pindang ikan dengan pelapaisan chitosan. Chitosan juga dapat digunakan sebagai
pengawet karena sifat-sifat yang dimilikinya yaitu dapat menghambat pertumbuhan
mikroorganisme perusak dan sekaligus melapisi produk yang diawetkan sehingga terjadi
interaksi yang minimal antara produk dan lingkungannya. Mekanisme kerja chitosan lewat
dua cara. Pertama, chitosan bisa membunuh bakteri, dengan cara mengikat organisme
patogen dengan polication bermuatan positif. Organisme pun tidak bisa tumbuh atau
bergerak. Kedua, chitosan akan melapisi kulit luar produk yang diawetkan, sehingga rasa
dari dalam tidak bisa keluar dan kontaminan dari luar tidak bisa masuk
III. KESIMPULAN

Hasil perikanan merupakan komoditi yang cepat mengalami kemunduran mutu,


atau mengalami pembusukan. Oleh karena itu perlu dilakukan usaha untuk
meningkatkan daya simpan dan kualitas produk perikanan melalui proses pengolahan
atau pengawetan. Prinsip pengolahan ikan pada dasarnya bertujuan melindungi ikan
dari pembusukan dan kerusakan.  Selain itu juga untuk memperpanjang daya
awet  dan mendiversifikasikan produk olahan hasil perikanan. Pengolahan hasil
perikanan dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti dengan menggunakan
teknologi pengasapan, fermentasi dan by-product hasil perikanan atau memandaatkan
limbah hasil perikanan tersebut.
Pengasapan adalah salah satu cara memasak, memberi aroma, atau proses
pengawetan makanan, terutama daging, ikan. Makanan diasapi dengan panas dan
asap yang dihasilkan dari pembakaran kayu, dan tidak diletakkan dekat dengan api
agar tidak terpanggang atau terbakar.
Fermentasi merupakan suatu cara pengolahan melalui proses memanfaatkan
penguraian senyawa dari bahan-bahan protein kompleks. Protein kompleks tersebut
terdapat dalam tubuh ikan yang diubah menjadi senyawa-senyawa lebih sederhana
dengan bantuan enzim yang berasal dari tubuh ikan atau mikroorganisme serta
berlangsung dalam keadaan yang terkontrol atau diatur.
By product adalah suatu hasil sampingan yang diperoleh dari suatu
proses produksi selain dari yang dihasilkan oleh suatu produk utamanya
ataupun hasil sampingan dari suatu jenis produk pangan yang bukan
merupakan hasil utamanya atau sering disebut dengan limbah.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2015. Mengolah Produk Perikanan dengan Fermentasi. Kementerian


Kelautan dan Perikanan
Sulistijowati S Rieny, Otong S.D., Jetty N., Eddy A., Zalinar U. 2011.
Mekanisme Pengasapan Ikan. UNPAD Press. Bandung.
Swastawati Fronthea, Ima W., Eko S. 2008. Pemanfaatan Limbah Kulit Udang
Menjadi Edible Coating Untuk Mengurangi Pencemaran Lingkungan.
Jurnal Vol 4(4): 101-106.
Trilaksani Wini, Ella S., Muhammad N. 2006. Pemanfaatan Limbah Tulang Ikan
Tuna (Thunnus sp.) Sebagai Sumber Kalsium Dengan Metode Hidrolisis
Protein. Buletin Teknologi Hasil Perikanan Vol. IX(2): 35-45.

Anda mungkin juga menyukai