Anda di halaman 1dari 15

KARYA ILMIAH

HUBUNGAN GANJA DAN BUDAYA ACEH

DISUSUN OLEH :
NAMA 1. FARID MAULANA
2. M FATHAN RIFQI
KELAS XI IPS 5
MAPEL BAHASA INDONESIA

SMA NEGRI 3 KETAPANG


Kata pengantar

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, dengan rahmat dan
karuniaNYA penyusunan makalah ini selesai sesuai dengan apa yang diharapkan.
Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada junjungan kita nabi besar
Muhammad SAW dan tak lupa saya ucapkan terimakasih atas semua pihak yang
ikut membantu penyusunan makalah tentang budaya ganja di nusantara.
Penyusunan makalah ini tidak lain bertujuan untuk mengenalkan bahwa
ganja memiliki pengaruh budaya di nusantara, kami sebagai penulis tidak lupa
mohon saran dan kritik dari segala kekurangan baik itu dari isi atau kosa kata
yang terdapat pada makalah ini.
Terimakasih.
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………………………………………………. i


KATA PENGANTAR ……………………………………………… ii
DAFTAR ISI ………………………………………………………… iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang …………………………………………………


B. Rumusan Masalah ……………………………………………
C. Tujuan …………………………………………….. 
D. Manfaat …………………………………………..

BAB II PEMBAHASAN

BAB III PENUTUP

A. Simpulan …………………………………………………………
B. Saran ………………………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Mengobrol tentang ganja saja orang mengira kita adalah pemakai ganja.
Masyarakat sekarang sangat takut berbicara tentang ganja di muka umum. padahal
ganja merupakan tatanan budaya indonesia yang tidak diketahui banyak orang.
Sebelum kita membahas tentang hubungan ganja dan budaya, saya
memberitahukan beberapa faktor penting bila ganja legal di indonesia yaitu :

1. Kebutuhan medis
2. Kebutuhan industri
3. menumbuhkan ekonomi

GANJA DAN BUDAYA ACEH

Ganja, itulah yang akan tersirat di benak setiap orang ketika berbicara
mengenai Aceh, bumi yang kaya dengan hasil alam mulai dari minyak bumi, gas
alam dan masih banyak lagi yang di kandung oleh provinsi yang terkenal dengan
sebutan bumi Serambi Mekah tersebut. Bahkan pada zaman DOM (daerah
Operasi Militer) dahulu, sangat banyak kisah-kisah ataupun kejadian yang luput
dari media baik cetak maupun televisi. Namun ikonik Aceh sebagai lumbung
ganja tak pernah lekang hingga saat ini.

Dari kalangan pemerintah sendiri sebenarnya menyadari bahwa hampir di


tiap kabupaten di provinsi Aceh di tumbuhi tanaman ganja yang mana untuk
memberantasnya tidak semudah membalik telapak tangan. Budaya dan etika
rakyat Aceh sendiri sudah menganggap ganja sebagai kebutuhan sehari-hari yang
digunakan untuk bumbu masakan maupun untuk untuk media rekreasi seperti
rokok. Ganja di Aceh di tanam oleh rakyat Aceh sendiri. Bila kita jumpai di setiap
daerah di Aceh pada saat acara kenduri misalnya, penggunaan ganja sudah
menjadi tradisi dalam hidangan kuliner gulai kambing dan gulai itik yang
biasanya dicampur dengan bunga dan biji ganja yang menjadi bumbu wajib. Itulah
ciri khas gulai Aceh. Bang Din, seorang tukang masak spesialis gulai kambing
dari daerah bagian selatan Aceh mengatakan “Kalau tidak di kasih ganja, mana
enak gulai kambing saya?” Bang Din selalu terlihat hampir di setiap acara kenduri
mulai dari kenduri perkawinan maupun kenduri sunat rasul. Bila dia sudah mulai
memasak gulai ia pasti bertanya ke tuan rumah atau ke anak muda setempat untuk
mencari bumbu khas Aceh yang satu itu.

Namun belakangan ini ganja sepertinya sudah tidak lagi menjadi bagian
dari kehidupan rakyat Aceh, ganja sudah memasuki taraf yang memprihatinkan.
Ganja dijadikan lahan bisnis oleh para mafia (bandar narkoba) demi mencari
keuntungan pribadi. Mereka membuka lahan-lahan hutan hanya untuk menanam
ganja dalam skala besar. Mereka tidak mempedulikan kaidah-kaidah ganja itu
sendiri, seperti kapan waktu tanam dan kapan waktu panen. Secara tidak langsung
perbuatan seperti itumerugikan rakyat Aceh sendiri, karena para mafia tersebut
hanya memodali para pekerja untuk berladang ke tengah hutan tanpa
mempedulikan keselamatan para peladang tersebut. Para peladang baru akan sadar
ketika mereka akhirnya tersangkut dengan hukum. Apakah mereka bersalah?
sementara mereka butuh uang untuk menopang kehidupan keluarganya. Karena
memiliki keahlian dalam menanam ganja mereka dimanfaatkan oleh para mafia
dengan di iming-imingi sedikit uang.

Banyak pro dan kontra tentang tanaman ganja di Aceh mengingat sangat
banyaknya doktrin-doktrin anti ganja yang disusupkan ke masyarakat Aceh. Tapi
itu semua hanya mampu menyentuh kalangan perkotaan di Aceh, tidak dengan
warga pedalaman maupun perkampungan. Akan tetapi rakyat Aceh masih banyak
yang belum berani angkat bicara mengenai tanaman yang satu ini.

Hingga saat ini ganja tetap merupakan tanaman kebanggaan Rakyat Aceh.
Hanya segelintir orang di Aceh yang membenci tanaman ini yang mungkin
dikarenakan suatu alasan, yaitu ganja adalah narkoba!
Semoga ekonomi rakyat Aceh bisa membaik bila ganja di legalkan demi
kepentingan kesehatan dan industri di tanah air, mengingat begitu ahlinya rakyat
Aceh dalam bercocok tanam ganja di alam liar di bumi Serambi Mekah ini.

KHASIAT GANJA DALAM BUDAYA MELAYU

“ Jika pemerintah ingin memusnahkan tanaman ganja di Aceh, mereka


harus menghapus semua sejarah, budaya, naskah kuno dan memori Bangsa Aceh
yang sudah ada sebelumnya”
(T.A. Sakti, Budayawan)

Pernyataan keras seorang T.A. Sakti yang dikenal sebagai dosen, penulis,
pemerhati lingkungan serta ahli naskah kuno Aceh ini dilontarkan dalam sebuah
dialog interaktif TVRI Aceh bulan Maret 2015 lalu. Dalam dialog tersebut hadir
sebagai nara sumber adalah Kapolda Aceh, Kepala BNN Provinsi Aceh serta
beberapa tokoh muda pemerhati narkotika di wilayah Propinsi Nangroe Atjeh
Darussalam.

T.A. Sakti menunjukan Kitab Tajul Muluk cetakan ke-3 tahun 1938


Pagi itu, 6 Mei 2015, saya berkunjung ke rumah sederhana T.A. Sakti.
Rumah mungil yang asri dengan halaman cukup luas, kami ngobrol santai di
sebuah “berugak” (bale – bale; saung) yang ada di pojok depan rumahnya.
Disuguhkannya kami secangkir kopi dan kemudian mengalir diskusi kecil
mengenai Kitab Melayu berjudul Tajul Muluk.

Kitab Tajul Muluk adalah sebuah naskah kuno yang berasal dari Arab,
dibawa masuk ke Aceh oleh saudagar dan pedagang dari Persia serta Negeri Rum
(Turki) sekitar abad ke-16. Naskah asli dari manuskrip kuno tersebut awalnya
adalah tulisan tangan dengan menggunakan huruf dan bahasa Arab. Tidak
diketahui pasti kapan kitab tersebut ditulis, hanya saja diterangkan di dalam kitab
yang sudah diterjemahkan ke tulisan Arab – Melayu tersebut, bahwa orang yang
mengumpulkan naskah asli tulisan tangan ini adalah Haji Ismail Aceh. Kemudian
setelah terkumpul, beliau menterjemahkannya dalam bahasa Melayu dan tetap
menggunakan huruf Arab dalam penulisannya. Kebetulan T.A. Sakti masih
menyimpan naskah asli Tajul Muluk cetakan yang ke-3 tahun 1938.

Hampir semua naskah dan manuskrip kuno yang ada di rumahnya,


terutama tentang Aceh, sudah diduplikasi oleh beliau dengan cara di foto copy dan
laminasi. Hal ini mengacu pada kejadian bencana Tsunami yang terjadi di Aceh
beberapa tahun lalu. Tsunami telah mengakibatkan beberapa koleksi naskah kuno
serta manuskrip yang ada di rumahnya rusak, beberapa masih bisa terselamatkan
termasuk Kitab Tajul Muluk ini.

Mengenai isi dari Kitab Tajul Muluk itu sendiri adalah membahas tentang
semua hal yang menyangkut sendi–sendi kehidupan manusia beserta alam
sekitarnya, tidak hanya tentang pengobatan saja. Dalam beberapa bab bagiannya
juga dibahas tentang menentukan musim tanam untuk petani atau melaut untuk
nelayan, kemudian mengenai hari baik untuk melakukan suatu hal, pengobatan,
tuntunan perilaku serta budi pekerti yang positif dan masih banyak lagi. Bahkan
beberapa hal seperti yang ada di dalam budaya Cina juga dibahas di Tajul Muluk
ini, seperti Hong Shui dan Feng Shui. Atau juga bahasan yang bisa kita jumpai di
dalam Primbon Jawa, mengenai hari baik serta hitungannya dalam angka, tafsir
mimpi dan lain sebagainya. Pada dasarnya Tajul Muluk memang membahas
masalah kehidupan, ini yang ditandaskan oleh T.A. Sakti dalam diskusi kecil kami
saat itu.

Kemudian diskusi kami meruncing pada satu topik hangat, yaitu


pengobatan tradisional yang salah satu bahannya memanfaatkan tanaman ganja.
Pengobatan di dalam Kitab Tajul Muluk dibahas tersendiri dan terpisah pada
sebuah bab. Beberapa penyakit serta cara mengobatinya pun diterangkan dengan
gamblang di sini, sangat detail. Mulai dari bahan obat yang digunakan, takaran
hingga proses mengolahnya sampai cara menggunakan obat tersebut juga
dijelaskan sangat rinci. Sedikit yang membedakannya dengan dunia pengobatan
modern adalah hanya terletak pada penamaan jenis penyakit. Misal, di dalam
Tajul Muluk disebutkan nama penyakit “manis darah”, jika di dunia medis
modern biasa disebut dengan “diabetes” atau “kencing manis”.

Pada bagian lain, T.A. Sakti juga membacakan isi salah satu resep
pengobatan yang ada di dalam Kitab Tajul Muluk dan bisa digunakan untuk
menjadi obat bagi semua “penyakit tua” (penj.: degeneratif). Beberapa bahan obat
yang disebutkan adalah lada hitam, jinten, gula batu, bunga Kanja (Ganja),
Ofifum (Opium), dan sebagainya. Di halaman resep tersebut juga disebutkan
takaran serta cara mengolahnya menjadi sebuah “majun” (pil bulat) serta aturan
dosis pemakainnya.

Diskusi terus berlanjut dengan bahasan yang lebih luas lagi, kali ini
tentang budaya pengobatan tradisional masyarakat Aceh di masa lampau dan yang
masih terus berlangsung hingga saat ini serta masih dipraktekkan. Menurut T.A.
Sakti, pengobatan tradisional menggunakan ganja di Aceh masih ada hingga saat
ini. Salah satu contohnya adalah untuk mengobati penyakit “manis darah”,
masyarakat di sana menggunakan bagian akar dari tanaman ganja dengan cara
direbus menggunakan air kemudian diminum. Belum lagi dengan pemanfaatan
lainnya, misal untuk penyedap masakan dan mengempukkan daging
menggunakan biji ganja. Hal tersebut sudah berlangsung turun temurun dan
menjadi bagian kehidupan masyarakat Aceh yang selama ini samar terdengar,
sudah lumrah di telinga awam tetapi terkesan tabu untuk dibicarakan di khalayak
umum. T.A. Sakti meyakini bahwa diluar Tajul Muluk sebenarnya masyarakat
Aceh sudah mengenal budaya ganja ratusan tahun silam serta sangat paham
tentang pembenargunaannya. (oleh Tim Riset Yayasan Sativa Nusantara: Amank
Raga)

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam Makalah ini secara umum adalah “Bagaimanakah sudut
pandang ganja dalam budaya melayu (aceh) ”. Secara rinci, rumusan masalah
yang dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. bagaimana rakyat aceh mencampur ganja terhadap makanan?


2. bagaimana ganja di olah, oleh rakyat aceh?
3. bagaimana khasiat ganja dalam budaya melayu?
4. bagaimana ganja mengobati penyakit “manis darah” (diabetes)?

C. Tujuan

Adapun tujuan disusunnya Makalah ini, yaitu?

1. Mengetahui ganja sebagai bumbu makanan


2. Mengetahui olahan ganja
3. Memahami efek ganja dalam budaya melayu
4. Memahami cara pengolahan ganja menjadi obat
D. Manfaat

Adapun manfaat dalam penyusunan Makalah ini yaitu

1. Mengetahui ganja memiliki hubungan yang erat dengan aceh.


2. Memahami budaya sama saja dengan melestarikan budaya.
3. Memahami ganja bukan narkotika tetapi tumbuhan yang memiliki sejuta
khasiat.
4. Sebagai media maupun sumber informasi yang dapat digunakan dalam
proses belajar.
BAB II PEMBAHASAN

Dia itu baru saja tiba. Sambil tersenyum dia langsung menyapa dan
duduk di kursi yang telah tersedia di warung kopi Smea, Lampineng,
Banda Aceh. Lalu memesan secangkir kopi saring robusta.

Setelah menyeruput beberapa kali sembari dia bakar rokok di


tangannya, dia membuka pembicaraan tentang keberadaan ganja di Aceh.
Ganja di Aceh bukan hal yang baru. Sejak zaman kerajaan dulu, ganja
sudah menjadi penyedap masakan.

Tarmizi A Hamid yang akrab disapa Cek Midi, seorang kolektor


manuskrip kuno di Aceh. Dalam Kitab Tajulmuluk, sebuah manuskrip
kuno yang dimilikinya, ganja memang sudah menjadi komoditi penting
untuk menyajikan masakan yang lezat masa kerajaan Aceh dulu. Zaman
dulu, tanaman ganja bahkan menjadi penghias di halaman rumah.
Tanaman ini tumbuh di mana saja, bahkan menjadi tumpang sari untuk
berbagai tanaman di perkebunan.

Mengapa pada zaman dulu ganja kerap digunakan pada makanan?


Cek Midi ternyata memiliki penilaian sendiri. Dari literatur manuskrip
kuno yang dia temukan, selain untuk penyedap rasa. Ganja juga digunakan
untuk bahan pengawet makan yang alami, tanpa tercampur dengan zat
kimia yang berbahaya untuk kesehatan.

"Selain penyedap rasa, dulu juga dipergunakan untuk anti basi


makanan," kata Cek Midi kepada merdeka.com beberapa waktu lalu.

Secara budaya, masyarakat Aceh dulu memang telah lama


mengonsumsi ganja untuk hal positif. Bukan penggunaan yang negatif
seperti saat ini dijadikan rokok yang bisa memabukkan. Anak-anak muda
masa kini, sebutnya, telah menyalahgunakan tumbuhan 'ajaib' yang
tumbuh subur di Serambi Makkah. Padahal, beberapa Negara di Eropa,
ganja bisa menjadi komoditi yang produktif, untuk dijadikan berbagai
pengobatan dan produk alternatif lainnya.

Sejak beberapa abad lalu, penggunaan ganja di Aceh juga untuk


kepentingan positif. Masa kerajaan dulu, nyaris tidak ditemukan
penyalahgunaan tanaman yang diharamkan pemerintah saat ini.

Ganja dipercaya sejak dulu oleh masyarakat Aceh bisa menjadi


pengobatan alternatif. Diyakini bisa menyembuhkan berbagai macam
penyakit yang diderita oleh masyarakat, seperti rematik, asam urat, obat
penambah stamina dan juga sejumlah pengobatan lainnya.

"Obat bius, rematik itu sangat bagus. Dulu memang dijadikan


obat," terangnya.

Lalu mengapa sekarang tanaman ini diharamkan? Tanaman ganja


diharamkan melalui Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang
Narkotika yang memasukkan ganja dalam kategori narkotika golongan I.
Pemerintah juga sudah pernah mengatur secara khusus pertanian ganja
lewat Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1980 tentang Ketentuan
Penanaman Papaver, Koka, dan Ganja.

Berdasarkan PP ini lembaga pendidikan atau lembaga pengetahuan


bisa menanam ganja setelah memperoleh izin. Lembaga ini harus
membuat laporan setiap enam bulan sekali mengenai lokasi, luas tanaman,
dan hasil. Kalau ada kehilangan, lembaga dimaksud harus melapor ke
polisi.
"Hanya pemerintah yang bisa mengelola tanaman ini pada hal yang
positif. Sebenarnya ganja itu investasi menjanjikan di Indonesia,"
tukasnya.

Cek Midi, lelaki kelahiran Pidie 48 tahun silam ini mengaku, pada
era 1970-an dulu tanaman ganja mudah ditemukan di halaman rumah
warga Aceh. Tanaman marijuana ini ditanam bukan untuk dijadikan rokok
atau disalahgunakan oleh masyarakat kala itu. Akan tetapi, selain untuk
penghias di depan rumah.

Tanaman ini juga dijadikan bahan dasar bumbu masak oleh ibu-ibu
rumah tangga. Bumbu masak ini tentunya tidak mengandung zat kimia
seperti decade sekarang melalui penyedap rasa instan tersedia di pasar.

Penggunaan ganja sebagai bumbu masak pun tidak berlebihan.


Hanya secukupnya untuk penyedap atau agar daging yang dimasak bisa
lebih cepat matang. Karena masakan daging ada dicampur sedikit biji
ganja akan mempermudah lunak daging, sehingga lezat untuk disantap.
BAB III PENUTUP

A. SIMPULAN
Melekat nya ganja dengan kehidupan masyarakat aceh dalam
kehidupan sehari-hari, maka pemerintah sangat sulit untuk memisahkan
simbiosis tersebut, dan ganja di tanah serambi mekkah tersebut sangat
susah di basmi karena tanah nya yang sangat subur biji ganja yang jatuh
lah menjadi sumber kenapa ganja sangat subur sekali di aceh. Menurut
masyarakat Aceh, ganja bukan lah narkotika tetapi sebuah tanaman yang
berkhasiat sejak jaman kerajaan. Maka inilah yang dikatakan
“HUBUNGAN GANJA DAN BUDAYA ACEH”.
B. SARAN
Warisan budaya itu semua adalah cerminan, bahwa leluhur kita
bangsa Indonesia memiliki kecerdasan yang luar biasa dalam menciptakan
karya budaya beserta simbol-simbol filosofinya. Saya yakin, bahwa ini
semua untuk diwariskan kepada anak cucunya, kita semua di jaman
milenial ini.

Di jaman sekarang, di mana kemajuan teknologi telah demikian


pesat, tak seharusnya kita lalai dengan peninggalan-peninggalan bersejarah
tersebut, oleh karena itu kita sebagai anak muda dan warga indonesia
jangan berpura pura tuli dan buta tentang hubungan ganja dengan daerah
aceh tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.lgn.or.id/khasiat-ganja-dalam-kitab-melayu/

http://www.lgn.or.id/sejarahwan-aceh-angkat-bicara-soal-awal-mula-persebaran-
pohon-ganja

https://www.merdeka.com/peristiwa/jejak-ganja-di-zaman-kerajaan-aceh.html

Anda mungkin juga menyukai