Di susun oleh:
Kelompok 3:
RUTENG
2019/2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. PENGERTIAN
B. ANATOMI FISIOLOGI
1. ANATOMI DARAH
Darah adalah jaringan cair dan terdiri atas dua bagian, bagian cair yang
disebut plasma dan bagian padat yang disebut sel-sel darah. (Pearce Evelyn, 2008 :
133).Sel-sel darah, ada tiga macam yaitu :
a. Eritrosit (sel darah merah)
Eritrosit merupakan cakram bikonkaf yang tidak berhenti, ukurannya
kira-kira 8 m, tidak dapat bergerak, banyaknya kira-kira 5 juta dalam
mm3.Fungsi dari eritrosit adalah mengikat CO2 dari jaringan tubuh untuk
dikeluarkan melalui paru-paru. Eristrosit di buat dalam sumsum tulang, limpa
dan hati, yang kemudian akan beredar keseluruh tubuh selama 14-15 hari, setelah
itu akan mati. Eritrosit berwarna kuning kemerahan karena didalamnya
mengandung suatu zat yang disebut hemoglobin. Warna ini akan bertambah
merah jika didalamnya banyak mengandung O2.
Hemoglobin adalah protein yang terdapat pada sel darah merah.Berfungsi
sebagai pengangkut oksigen dari Paru-Paru dan dalam peredaran darah untuk
dibawa ke jaringan dan membawa karbon dioksida dari jaringan tubuh ke Paru-
Paru. Hemoglobin mengandung kira-kira 95% Besi ( Fe ) dan berfungsi
membawa oksigen dengan cara mengikat oksigen menjadi Oksihemoglobin dan
diedarkan keseluruh tubuh untuk kebutuhan metabolisme.Disamping Oksigen,
hemoglobin juga membawa Karbondioksida dan dengan Karbon monooksida
membentuk ikatan Karbon Monoksihemoglobin (HbCO), juga berperan dalam
keseimbangan ph darah.
Sintesis hemoglobin terjadi selama proses Eritropoisis, pematangan sel
darah merah akan mempengaruhi fungsi hemoglobin. Proses pembentukan sel
darah merah ( Eritropoeisis) pada orang dewasa terjadi di sumsum tulang seperti
pada tulang tengkorak, vertebra, pelvis, sternum, iga, dan epifis tulang-tulang
panjang. Pada usia 0-3 bulan intrauterine terjadi pada yolk sac, pada usia 3-6
bulan intrauterine terjadi pada hati dan limpa. Dalam proses pembentukan sel
darah merah membutuhkan bahan zat besi, vitamin B12, asam folat, vitamin B6 (
piridoksin ), protein dan faktor lain. Kekurangan salah satu unsur diatas akan
mengakibatkan penurunan produksi sel darah sehingga mengakibatkan Anemia
yang ditandai dengan Kadar hemoglobin yang rendah/kurang dari normal.
b. Leukosit (sel darah putih)
Sel darah yang bentuknya dapat berubah-ubah dan dapat bergerak dengan
perantara kaki palsu (pseudopodia) mempunyai bermacam-macam inti sel
sehingga dapat dibedakan berdasar inti sel. Leukosit berwarna bening (tidak
berwarna), banyaknya kira-kira 4.000-11.000/mm3.
Leukosit berfungsi sebagai serdadu tubuh, yaitu membunuh dan
memakan bibit penyakit atau bakteri yang masuk ke dalam tubuh jaringan RES
(Retikulo Endotel Sistem). Fungsi yang lain yaitu sebagai pengangkut, dimana
leukosit mengangkut dan membawa zat lemak dari dinding usus melalui limpa
ke pembuluh darah. Sel leukosit selain didalam pembuluh darah juga terdapat di
seluruh jaringan tubuh manusia. Pada kebanyakan penyakit disebabkan karena
kemasukan kuman atau infeksi maka jumlah leukosit yang ada dalam darah akan
meningkat.
c. Plasma darah
Bagian darah encer tanpa sel-sel darah warna bening kekuningan hampir
90% plasma darah terdiri dari :
1) Fibrinogen yang berguna dalam proses pembekuan darah.
2) Garam-garam mineral (garam kalsium, kalium, natrium, dan lain-lain yang
berguna dalam metabolisme dan juga mengadakan osmotik).
3) Protein darah (albumin dan globulin) meningkatkan viskositas darah dan
juga menimbulkn tekanan osmotik untuk memelihara keseimbangan cairan
dalam tubuh.
4) Zat makanan (zat amino, glukosa lemak, mineral, dan vitamin).
5) Hormon yaitu suatu zat yang dihasilkan dari kelenjar tubuh.
(Pearce Evelyn, 2008 : 121-167)
FISIOLOGI DARAH
AIDS adalah gejala dari penyakit yang mungkin terjadi saat system imun
dilemahkan oleh virus HIV. Penyakit AIDS disebabkan oleh Human Immunedeficiency
Virus (HIV), yang mana HIV tergolong ke dalam kelompok retrovirus dengan materi
genetik dalam asam ribonukleat (RNA), menyebabkan AIDS dapat membinasakan sel T-
penolong (T4), yang memegang peranan utama dalam sistem imun. Sebagai akibatnya,
hidup penderita AIDS terancam infeksi yang tak terkira banyaknya yang sebenarnya
tidak berbahaya, jika tidak terinfeksi HIV (Daili, 2005)
Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu :
a. Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada
gejala.
b. Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu likes
illness.
c. Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala tidak ada.
d. Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat
malam hari, BB menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi
mulut.
e. AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali
ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai
system tubuh, dan manifestasi neurologist.
AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi, pria maupun wanita. Yang
termasuk kelompok resiko tinggi adalah :
a. Lelaki homoseksual atau biseks.
b. Orang yang ketagian obat intravena
c. Partner seks dari penderita AIDS
d. Penerima darah atau produk darah (transfusi).
e. Bayi dari ibu/bapak terinfeksi.
D. PATOFISIOLOGI DAN PATOFLODIAGRAM
Sel T dan makrofag serta sel dendritik / langerhans ( sel imun ) adalah sel-sel
yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) dan terkonsentrasi dikelenjar
limfe, limpa dan sumsum tulang. Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi
sel lewat pengikatan dengan protein perifer CD 4, dengan bagian virus yang bersesuaian
yaitu antigen grup 120. Pada saat sel T4 terinfeksi dan ikut dalam respon imun, maka
Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel lain dengan meningkatkan
reproduksi dan banyaknya kematian sel T4 yang juga dipengaruhi respon imun sel killer
penjamu, dalam usaha mengeliminasi virus dan sel yang terinfeksi.
Virus HIV dengan suatu enzim, reverse transkriptase, yang akan melakukan
pemograman ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat double-
stranded DNA. DNA ini akan disatukan kedalam nukleus sel T4 sebagai sebuah provirus
dan kemudian terjadi infeksi yang permanen. Enzim inilah yang membuat sel T4 helper
tidak dapat mengenali virus HIV sebagai antigen. Sehingga keberadaan virus HIV
didalam tubuh tidak dihancurkan oleh sel T4 helper. Kebalikannya, virus HIV yang
menghancurkan sel T4 helper. Fungsi dari sel T4 helper adalah mengenali antigen yang
asing, mengaktifkan limfosit B yang memproduksi antibodi, menstimulasi limfosit T
sitotoksit, memproduksi limfokin, dan mempertahankan tubuh terhadap infeksi parasit.
Kalau fungsi sel T4 helper terganggu, mikroorganisme yang biasanya tidak menimbulkan
penyakit akan memiliki kesempatan untuk menginvasi dan menyebabkan penyakit yang
serius.
Menurunya jumlah sel T4, maka system imun seluler makin lemah secara
progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya fungsi sel T
penolong. Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV ) dapat tetap
tidak memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun-tahun. Selama waktu ini,
jumlah sel T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel perml darah sebelum infeksi
mencapai sekitar 200-300 per ml darah, 2-3 tahun setelah infeksi.
Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala-gejala infeksi ( herpes zoster dan jamur
oportunistik ) muncul, Jumlah T4 kemudian menurun akibat timbulnya penyakit baru
akan menyebabkan virus berproliferasi. Akhirnya terjadi infeksi yang parah. Seorang
didiagnosis mengidap AIDS apabila jumlah sel T4 jatuh dibawah 200 sel per ml darah,
atau apabila terjadi infeksi opurtunistik, kanker atau dimensia AIDS.
PATHWAY
E. MANIFESTASI KLINIK
Menurut Mandal (2004) tanda dan gejala penyakit AIDS menyebar luas dan pada
dasarnya dapat mengenai semua sistem organ. Penyakit yang berkaitan dengan infeksi
HIV dan penyakit AIDS terjadi akibat infeksi dan efek langsung HIV pada jaringan
tubuh. Adanya HIV dalam tubuh seseorang tidak dapat dilihat dari penampilan luar.
Orang yang terinfeksi tidak akan menunjukan gejala apapun dalam jangka waktu yang
relatif lama (±7-10 tahun) setelah tertular HIV. Masa ini disebut masa laten. Orang
tersebut masih tetap sehat dan bisa bekerja sebagaimana biasanya walaupun darahnya
mengandung HIV. Masa inilah yang mengkhawatirkan bagi kesehatan masyarakat,
karena orang terinfeksi secara tidak disadari dapat menularkan kepada yang lainnya. Dari
masa laten kemudian masuk ke keadaan AIDS dengan gejala sebagai berikut:
Gejala Mayor:
a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
Gejala Minor:
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan
b. Adanya herpes zostermultisegmental dan herpes zoster berulang
c. Kandidias orofaringeal
d. Limfadenopati generalisata
e. Ruam
Menurut Anthony (Fauci dan Lane, 2008), gejala klinis HIV/AIDS dapat dibagikan
mengikut fasenya.
1. Fase akut
Sekitar 50-70% penderita HIV/AIDS mengalami fase ini sekitar 3-6 minggu
selepas infeksi primer. Gejala-gejala yang biasanya timbul adalah demam,
faringitis, limpadenopati, sakit kepala, arthtalgia, letargi, malaise, anorexia,
penurunan berat badan, mual, muntah, diare, meningitis, ensefalitis, periferal
neuropati, myelopathy, mucocutaneous ulceration, dan erythematous
maculopapular rash. Gejala-gejala ini muncul bersama dengan ledakan plasma
viremia. Tetapi demam, ruam kulit, faringitis dan mialgia jarang terjadi jika
seseorang itu diinfeksi melalui jarum suntik narkoba daripada kontak seksual.
Selepas beberapa minggu gejala-gajala ini akan hilang akibat respon sistem imun
terhadap virus HIV. Sebanyak 70% dari penderita HIV akan mengalami
limfadenopati dalam fase ini yang akan sembuh sendiri.
2. Fase asimptomatik
Fase ini berlaku sekitar 10 tahun jika tidak diobati. Pada fase ini virus HIV akan
bereplikasi secara aktif dan progresif. Tingkat pengembangan penyakit secara
langsung berkorelasi dengan tingkat RNA virus HIV. Pasien dengan tingkat RNA
virus HIV yang tinggi lebih cepat akan masuk ke fase simptomatik daripada
pasien dengan tingkat RNA virus HIV yang rendah.
3. Fase simptomatik
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah
terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir
pada penyakit yang disebut AIDS.
F. PEMERIKSAAAN DIAGNOSTIK
Pada daerah di mana tersedia laboratorium pemeriksaan anti-HIV, penegakan
diagnosis dilakukan melalui pemeriksaan serum atau cairan tubuh lain (cerebrospinal
fluid) penderita.
1. ELISA (enzyme linked immunosorbent assay)
ELISA digunakan untuk menemukan antibodi (Baratawidjaja). Kelebihan teknik
ELISA yaitu sensitifitas yang tinggi yaitu 98,1 %-100% (Kresno). Biasanya
memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah infeksi. Tes ELISA telah
menggunakan antigen recombinan, yang sangat spesifik terhadap envelope dan
core (Hanum, 2009).
2. Western Blot
Western blot biasanya digunakan untuk menentukan kadar relatif dari suatu
protein dalam suatu campuran berbagai jenis protein atau molekul lain. Biasanya
protein HIV yang digunakan dalam campuran adalah jenis antigen yang
mempunyai makna klinik, seperti gp120 dan gp41 (Kresno, 2001).
Western blot mempunyai spesifisitas tinggi yaitu 99,6% - 100%. Namun
pemeriksaan cukup sulit, mahal membutuhkan waktu sekitar 24 jam (Hanum,
2009).
3. PCR (Polymerase Chain Reaction)
Kegunaan PCR yakni sebagai tes HIV pada bayi, pada saat zat antibodi maternal
masih ada pada bayi dan menghambat pemeriksaan secara serologis maupun
status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok risiko tinggi dan sebagai
tes konfirmasi untuk HIV-2 sebab sensitivitas ELISA rendah untuk HIV-2
(Kresno, 2001). Pemeriksaan CD4 dilakukan dengan melakukan
imunophenotyping yaitu dengan flow cytometry dan cell sorter. Prinsip
flowcytometry dan cell sorting (fluorescence activated cell sorter, FAST) adalah
menggabungkan kemampuan alat untuk mengidentifasi karakteristik permukaan
setiap sel dengan kemampuan memisahkan sel-sel yang berada dalam suatu
suspensi menurut karakteristik masing-masing secara otomatis melalui suatu
celah, yang ditembus oleh seberkas sinar laser. Setiap sel yang melewati berkas
sinar laser menimbulkan sinyal elektronik yang dicatat oleh instrumen sebagai
karakteristik sel bersangkutan. Setiap karakteristik molekul pada permukaan sel
manapun yang terdapat di dalam sel dapat diidentifikasi dengan menggunakan
satu atau lebih probe yang sesuai. Dengan demikian, alat itu dapat
mengidentifikasi setiap jenis dan aktivitas sel dan menghitung jumlah masing-
masing dalam suatu populasi campuran (Kresno, 2001).
G. KOMPLIKASI
1. Oral lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis,
peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi,
dehidrasi, penurunan berat badan, keletihan dan cacat.
a) Kandidiasis oral
Kandidiasis oral adalah suatu infeksi jamur, hampir terdapat secara
universal pada semua penderita AIDS serta keadaan yang berhubungan
dengan AIDS. Infeksi ini umumnya mendahului infeksi serius lainnya.
Kandidiasi oral ditandai oleh bercak-bercak putih seperti krim dalam
rongga mulut. Tanda –tanda dan gejala yang menyertai mencakup keluhan
menelan yang sulit serta nyeri dan rasa sakit di balik sternum (nyeri
retrosternal). Sebagian pasien juga menderita lesi oral yang mengalami
ulserasi dan menjadi rentan terutama terhadap penyebaran kandidiasis ke
sistem tubuh yang lain.
b) Sarcoma Kaposi
Sarcoma Kaposi (dilafalkan KA- posheez), yaitu kelainaan malignitas yang
berkaitan dengan HIV yang sering ditemukan , merupakan penyakit yang
melibatkan lapisan endotil pembuluh darah dan limfe.
2. Neurologik
a) Kompleks dimensi AIDS karena serangan langsung HIV pada sel saraf,
berefek perubahan kepribadian, kerusakan, kemampuan motorik,
kelemahan, disfasia, dan isolasi sosial. Sebagian basar penderita mula-mula
mengeluh lambat berpikir atau sulit berkonsentrasi dan memusatkan
perhatian. Penyakit ini dapat menuju dimensia sepenuhnya dengan
kelumpuhan pada stadium akhir. Tidak semua penderita mencapai stadium
akhir ini.
b) Enselophaty akut karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia,
ketidakseimbangan elektrolit, meningitis/ ensefalitis. Dengan efek sakit
kepala, malaise, demam, paralise total/ parsial.Ensefalopati HIV. Disebut
pula sebagai kompleks demensia AIDS (ADC; AIDS dementia complex),
ensefalopati HIV terjadi sedikitnya pada dua pertiga pasien –pasien AIDS.
Keadaan ini berupa sindrom klinis yang ditandai oleh penurunan progresif
pada fungsi kognitif, perilaku dan motorik. Tanda –tanda dan gejalanya
dapat samar- samar serta sulit dibedakan dengan kelelahan, depresi atau
efek terapi yang merugikan terhadap infeksi dan malignansi.
c) Infark serebral kornea sifilis meningovaskuler, hipotensi sistemik, dan
menarik endokarditis.
d) Neuropati karena inflamasi demielinasi oleh serangan HIV dengan disertai
rasa nyeri serta patirasa pada akstremitas, kelemahan, penurunan refleks
tendon yang dalam, hipotensi orthostatik dan impotensi.
3. Gastrointestinal
a) Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma
dan sarkoma Kaposi. Dengan efek penurunan berat badan, anoreksia,
demam, malabsorbsi, dan dehidrasi.
b) Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma, sarcoma kaposi, obat illegal,
alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik, demam
atritik.
c) Penyakit anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal
yang sebagai infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal,
gatal-gatal dan diare.
4. Respirasi
Infeksi karena pneumocystic carinii, cytomegalovirus, virus influenza,
pneumococcus, dan strongyloidiasis dengan efek nafas pendek, batuk, nyeri,
hipoksia, keletihan gagal nafas.
5. Dermatologi
Lesi kulit stafilokokus: virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis , reaksi otot,
lesi scabies, dan dekopitus dengan efek nyeri, gatal, rasa terbakar, infeksi
sekunder dan sepsis.
6. Sensorik
a) Pandangan: Sarkoma kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan.
b) Pendengaran: otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan
pendengaran dengan efek nyeri.
H. PENATALAKSANAAN
Non Farmakologi
1. Fisik
Aspek fisik pada PHIV ( pasien terinfeksi HIV ) adalah pemenuhan kebutuhan
fisik sebagai akibat dari tanda dan gejala yang terjadi. Aspek perawatan fisik
meliputi :
a) Universal Precautions
Universal precautions adalah tindakan pengendalian infeksi sederhana yang
digunakan oleh seluruh petugas kesehatan, untuk semua pasien setiap saat,
pada semua tempat pelayanan dalam rangka mengurangi risiko penyebaran
infeksi.
Selama sakit, penerapan universal precautions oleh perawat, keluraga, dan
pasien sendiri sangat penting. Hal ini di tunjukkan untuk mencegah
terjadinya penularan virus HIV.
Prinsip-prinsip universal precautions meliputi:
Menghindari kontak langsung dengan cairan tubuh. Bila mengenai
cairan tubuh pasien menggunakan alat pelindung, seperti sarung
tangan, masker, kacamata pelindung, penutup kepala, apron dan
sepatu boot. Penggunaan alat pelindung disesuakan dengan jenis
tindakan yang akan dilakukan.
Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan, termasuk
setelah melepas sarung tangan.
Dekontaminasi cairan tubuh pasien.
Memakai alat kedokteran sekali pakai atau mensterilisasi semua alat
kedokteran yang dipakai (tercemar).
Memelihara kebersihan tempat pelayanan kesehatan.
Membuang limbah yang tercemar berbagai cairan tubuh secara benar
dan aman.
b) Peran perawat dan pemberian ARV
1) Manfaat penggunaan obat dalam bentuk kombinasi adalah:
Memperoleh khasiat yang lebih lama untuk memperkecil
kemungkinan terjadinya resistensi.
Meningkatkan efektivitas dan lebih menekan aktivitas virus. Bila
timbul efek samping, bisa diganti dengan obat lainnya, dan bila
virus mulai rasisten terhadap obat yang sedang digunakan bisa
memakai kombinasi lain.
2) Efektivitas obat ARV kombinasi:
AVR kombinasi lebih efektif karena memiliki khasiat AVR yang
lebih tinggi dan menurunkan viral load lebih tinggi dibandingkan
dengan penggunaan satu jenis obat saja.
Kemungkinan terjadi resistensi virus kecil, akan tetapi bila pasien
lupa minum dapat menimbulkan terjadinya resistensi.
Kombinasi menyebabkan dosis masing-masing obat lebih kecil,
sehingga kemungkinan efek samping lebih kecil.
c) Pemberian nutrisi
Pasien dengan HIV/ AIDS sangat membutuhkan vitamin dan mineral
dalam jumlah yang lebih banyak dari yang biasanya diperoleh dalam
makanan sehari- hari. Sebagian besar ODHA akan mengalami defisiensi
vitamin sehingga memerlukan makanan tambahan
HIV menyebabkan hilangnya nafsu makan dan gangguan penyerapan
nutrient. Hal ini berhubungan dengan menurunnya atau habisnya
cadangan vitamin dan mineral dalam tubuh. Defisiensi vitamin dan
mineral pada ODHA dimulai sejak masih dalam stadium dini. Walaupun
jumlah makanan ODHA sudah cukup dan berimbang seperti orang sehat,
tetapi akan tetap terjadi defisiensi vitamin dan mineral.
d) Aktivitas dan istirahat
1) Manfaat olah raga terhadap imunitas tubuh
Hamper semua organ merespons stress olahraga. Pada keadaan akut ,
olah raga akan berefek buruk pada kesehatan, olahraga yang
dilakukan secara teratur menimbulkan adaptasi organ tubuh yang
berefek menyehatkan
2) Pengaruh latihan fisik terhadap tubuh
Perubahan system tubuh
Olahraga meningkatkan cardiac output dari 5 i/menit menjadi
20 1/menit pada orang dewasa sehat. Hal ini menyebabkan
peningkatan darah ke otot skelet dan jantung.
Sistem pulmoner
Olahraga meningkatkan frekuensi nafas, meningkatkan
pertukaran gas serta pengangkutan oksigen, dan penggunaan
oksigen oleh otot.
Metabolisme
Untuk melakukan olah raga, otot memerlukan energi. Pada olah
raga intensitas rendah sampai sedang, terjadi pemecahan
trigliserida dan jaringa adiposa menjadi glikogen dan FFA (free
fatty acid). Pada olahraga intensitas tinggi kebutuhan energy
meningkat, otot makin tergantung glikogen sehingga
metabolisme berubah dari metabolisme aerob menjadi anaerob
2. Psikologis (strategi koping)
Mekanisme koping terbentuk melalui proses dan mengingat. Belajar yang
dimaksud adalah kemampuan menyesuaikan diri (adaptasi) pada pengaruh
internal dan eksterna
3. Sosial
Dukungan social sangat diperlukan PHIV yang kondisinya sudah sangat parah.
Individu yang termasuk dalamdan memberikan dukungan social meliputi
pasangan (suami/istri), orang tua, anak, sanak keluarga, teman, tim kesehatan,
atasan, dan konselor.
Farmakologis :
Belum ada penyembuhan bagi AIDS, sehingga pencegahan infeksi HIV perlu
dilakukan. Pencegahan berarti tidak kontak dengan cairan tubuh yang tercemar
HIV.
a. Pengendalian Infeksi Oportunistik
Bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan pemulihan infeksi
opurtunistik, nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi yang
aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis
harus dipertahankan bagi pasien di lingkungan perawatan kritis.
b. Terapi AZT (Azidotimidin)
Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif
terhadap AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral Human
Immunodeficiency Virus (HIV) dengan menghambat enzim pembalik
traskriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS yang jumlah sel T4 nya < 3 .
Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan Human Immunodeficiency
Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3.
Status nutrisi : intake nutrisi Tentukan jumlah kalori dan jenis nutrisi
2. Monitoring Cairan
Aktivitas :
Tentukan riwayat jumlah dan jenis
asupan cairan dan kebiasaan
eliminasi
Menentukan faktor risiko yang
mungkin untuk
ketidakseimbangan cairan
pantau berat
Memantau asupan dan keluaran
Memantau BP , denyut jantung ,
dan status pernapasan
Pantau tekanan darah ortostatik
dan perubahan irama jantung ,
yang sesuai
Jauhkan catatan yang akurat dari
intake dan output
Memantau membran mukosa ,
tugor kulit , dan haus
Monitor Warna, kuantitas , dan
berat jenis urine
Pantau distensi vena leher , ronki
di paru-paru , edema perifer , dan
berat badan
Memantau perangkat akses vena ,
yang sesuai
Pantau adanya tanda dan gejala
ascites
Catatan kehadiran adanya vertigo
pada naiknya
Berikan cairan , sesuai
Batasi asupan cairan dan
mengalokasikan , sesuai
Menjaga ditentukan laju aliran
intravena
Berikan agen farmakologis untuk
meningkatkan output urin , yang
sesuai
Berikan dialisis , sesuai , mencatat
respon pasien