Anda di halaman 1dari 22

UNDANG UNDANG KOSMETIKA

(Makalah Etika Profesi dan Per-UU Kesehatan)

Dosen Pengampu:
Robby Candra Purnama.,M.Kes.,Apt.

Disusun Oleh :
Nira Ambar Sari 19500024
Nur Gusti Mulyani 19500026
Okta Tri Wahyuna 19500027

ANALIS FARMASI DAN MAKANAN


UNIVERSITAS MALAHAYATI
BANDAR LAMPUNG
2020

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “
UNDANG UNDANG KOSMETIKA”.
Adapun makalah ini telah kami usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan
berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar proses pembuatannya. Untuk itu, tidak lupa
kami sampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam
pembuatannya.

Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik
dari segi penyusun bahasa maupun dari segi lainnya. Oleh karena itu dengan lapang dada dan
tangan terbuka kami membuka selebar-lebarnya bagi pembaca untuk memberi saran dan
kritik kepada sehingga kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhirnya penyusun mengharapkan semoga makalah yang berjudul “UNDANG UNDANG


KOSMETIKA” dapat diambil hikmah dan manfaatnya. Akhir kata penulis ucapkan terima
kasih.

Bandar Lampung, Mei 2020

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................................2
BAB I....................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.................................................................................................................................4
1.1. Latar Belakang............................................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................................................5
1.3 Tujuan..........................................................................................................................................5
BAB II...................................................................................................................................................6
TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................................................6
2.1 Kosmetika....................................................................................................................................6
2.2. Cara Produksi Kosmetika yang Baik........................................................................................10
2.1.1 Tenaga Kerja.......................................................................................................................10
2.2.2 Bangunan............................................................................................................................11
2.2.3 Peralatan.............................................................................................................................11
2.2.4 Sanitasi dan Higiene...........................................................................................................12
2.2.5 Pengolahan dan Pengemasan..............................................................................................12
2.2.6 Pengawasan Mutu...............................................................................................................14
2.3 Dasar Hukum Peraturan di Bidang Kosmetik............................................................................15
BAB III................................................................................................................................................17
PEMBAHASAN.................................................................................................................................17
BAB IV...............................................................................................................................................21
PENUTUP...........................................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kosmetika telah dikenal sejak dahulu kala. Bahan-bahan kecantikan berupa minyak-minyak
hewan maupun tumbuhan, rempah, tanah liat,madu, susu, arang dan lain-lainnya. Hipocrates
pada abad (460 - 377 SM), seorang bapak ilmu kedokteran telah membuat resep-resep
kosmetika dan menghubungkannya dengan ilmu kedokteran. Melalui berbagai tempat dan
waktu ilmu untuk mempersolek diri meluas dan menyebar ke dalam berbagai kalangan
masyarakat di dunia ini. Perawatan kecantikan yang bersumber pada pengetahuan nenek
moyang, merupakan tradisi turun-temurun menurut adat istiadat masing-masing daerah. Pada
tulisan Jawa kuno kita dapat menemukan uraian tentang pembuatan jamu jamu tradisionil
baik untuk kesehatan maupun untuk kecantikan, suatu hal yang bila dikembangkan tidak
kalah artinya dengan kosmetika manapun. Meskipun demikian, pada dewasa ini di dalam
lapisan masyarakat Indonesia kecenderungan untuk memakai kosmetika tradisionil masih
sedikit. Sebagian terbesar lainnya baik pemakai atau salon-salon kecantikan yang bertebaran
di seluruh pelosok Indonesia masih menggunakan kosmetika modern dengan cara aplikasi
dan sistem yang diambil dari negara-negara maju seperti Eropa, Amerika atau Jepang.
Peraturan Menteri Kesehatan R.I. No. 220/Menkes/per/IX/1976, menjelaskan bahwa yang
dimaksud kosmetika adalah bahan atau campuran bahan untuk digosokkan, dioleskan,
dituangkan, dipercikkan atau disemprotkan pada, dimasukkan dalam, dipergunakan pada
badan atau bagian badan manusia dengan maksud untuk membersihkan, memelihara,
menambah daya tarik atau mengubah rupa dan tidak termasuk obat. Meskipun definisi
kosmetik demikian jelas, ternyata faktanya antara kosmetika ditambah dengan zat-zat
pembunuh bakteri atau jasad renik lain, anti jerawat, anti gatal, anti produk keringat dan lain-
lainnya. Beberapa penyelidik menyebutkan sebagai kosmedik.

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang diatas maka didapat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Peraturan perundang-undangan apa saja yang terkait kosmetika?
2. Apa saja masalah yang dapat timbul terkait pemalsuan dan efek samping produk
kosmetik yang timbul karena penambahan bahan berbahaya?
3. Bagaimana peran pemerintah dalam mengatasi permasalahan terkait pemalsuan produk
kosmetik yang beredar di pasaran?

1.3 Tujuan
Tujuan dalam pembuatan makalah ini untuk:
1. Mengetahui peraturan perundang-undangan yang terkait kosmetika.
2. Mengetahui masalah yang dapat timbul terkait pemalsuan dan efek samping produk
kosmetik yang timbul karena penambahan bahan berbahaya.
3. Mengetahui peran pemerintah dalam mengatasi permasalahan terkait pemalsuan produk
kosmetik yang beredar di pasaran.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kosmetika
Menurut keputusan kepala Badan POM Republik Indonesia No. HK.00.05.4.1745 tentang
kosmetik, Kosmetik adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada
bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ genital bagian luar)
atau gigi dan mukosa mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah
penampilan dan atau memperbaiki bau badan atau melindungi atau memelihara tubuh pada
kondisi baik. Kosmetik yang diproduksi dan atau diedarkan harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. Menggunakan bahan yang memenuhi standar dan persyaratan mutu serta persyaratan lain
yang ditetapkan;
b. Diproduksi dengan menggunakan cara pembuatan kosmetik yang baik;
c. Terdaftar dan mendapat izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Berdasarkan bahan dan penggunaannya serta untuk maksud evaluasi produk kosmetik
dibagi 2 (dua) golongan :
1. Kosmetik golongan I adalah :
a. Kosmetik yang digunakan untuk bayi;
b. Kosmetik yang digunakan disekitar mata, rongga mulut dan mukosa lainnya;
c. Kosmetik yang mengandung bahan dengan persyaratan kadar dan penandaan;
d. Kosmetik yang mengandung bahan dan fungsinya belum lazim serta belum diketahui
keamanan dan kemanfaatannya.
2. Kosmetik golongan II adalah kosmetik yang tidak termasuk golongan I

Industri yang memenuhi persyaratan Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik diberikan
Sertifikat oleh Kepala Badan POM. Penerapan Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik
dilaksanakan secara bertahap dengan memperhatikan kemampuan industri kosmetik.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik
ditetapkan oleh Kepala Badan Kosmetik sebelum diedarkan harus didaftarkan untuk
mendapatkan izin edar dari Kepala Badan POM.
Pihak yang berhak untuk mendaftarkan adalah:
a. produsen kosmetik yang mendapat izin usaha Industri;
b. perusahaan yang bertanggung jawab atas pemasaran;
c. badan hukum yang ditunjuk atau diberi kuasa oleh perusahaan dari negara asal
Permohonan izin edar diajukan secara tertulis kepada Kepala Badan dengan mengisi formulir
dan disket pendaftaran dengan sistem registrasi elektronik yang telah ditetapkan, untuk
dilakukan penilaian.
Penilaian kosmetik golongan I dilakukan dalam 2 (dua) tahap yaitu :
a. Proses pra penilaian merupakan tahap pemeriksaan kelengkapan dan keabsahan dokumen;
b. Proses penilaian merupakan proses evaluasi terhadap dokumen dan data pendukung.
Penilaian kosmetik golongan II hanya dilakukan terhadap kelengkapan dan keabsahan
Dokumen. Kerahasiaan keterangan dan atau data dalam permohonan izin edar dijamin
oleh Kepala Badan.
Izin edar kosmetik dibatalkan apabila :
a. Kosmetik dinyatakan tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan
yang dapat merugikan masyarakat
b. Produsen, perusahaan atau Badan Hukum tidak memenuhi persyaratan
c. Terkena sanksi.
Wadah kosmetik harus dapat:
a. melindungi isi terhadap pengaruh dari luar.
b. Menjamin mutu, keutuhan dan keaslian isinya

Wadah harus dibuat dengan mempertimbangkan keamanan pemakai dan dibuat dari bahan
yang tidak mengeluarkan atau menghasilkan bahan berbahaya atau suatu bahan yang
dapat mengganggu kesehatan, dan tidak mempengaruhi mutu. Tutup wadah harus
memenuhi persyaratan. Untuk melindungi wadah selama di peredaran, wadah dapat diberi
pembungkus yang terbuat dari bahan yang dapat melindungi wadah selama di
peredaran. Wadah dan pembungkus harus diberikan penandaan yang berisi informasi
yang lengkap, objektif dan tidak menyesatkan. Penandaan harus berisi informasi yang sesuai
dengan data pendaftaran yang telah disetujui. Penandaan harus terlebih dahulu mendapat
persetujuan dari Kepala Badan POM. Penandaan kosmetik tidak boleh berisi informasi
seolah-olah sebagai obat. Penulisan pernyataan atau keterangan dalam penandaan harus jelas
dan mudah dibaca menggunakan huruf latin dan angka arab. Penandaan yang ditulis dengan
bahasa asing, harus disertai keterangan mengenai kegunaan, cara penggunaan dan
keterangan lain dalam Bahasa Indonesia.

Pada etiket wadah dan atau pembungkus harus dicantumkan informasi/ keterangan
mengenai:
a. Nama produk;
b. Nama dan alamat produsen atau importir / penyalur;
c. Ukuran, isi atau berat bersih;
d. Komposisi dengan nama bahan sesuai dengan kodeks kosmetik indonesia atau
nomenklatur lainnya yang berlaku;
e. Nomor izin edar;
f. Nomor batch /kode produksi;
g. Kegunaan dan cara penggunaan kecuali untuk produk yang sudah jelas
penggunaannya;
h. Bulan dan tahun kadaluwarsa bagi produk yang stabilitasnya kurang dari 30
i. Penandaan lain yang berkaitan dengan keamanan dan atau mutu.

Apabila seluruh informasi tidak memungkinkan untuk dicantumkan pada etiket wadah,
maka dapat menggunakan etiket gantung atau pita yang dilekatkan pada wadah atau brosur
Nama Produk dapat berupa nama umum atau nama dagang. Nama produsen atau
importir/penyalur harus dicantumkan secara lengkap. Bagi kosmetik impor, selain nama
importir harus dicantumkan pula nama produsen. Bagi kosmetik lisensi, disamping nama
produsen yang memproduksi, harus dicantumkan pula nama pemberi lisensi. Bagi
kosmetik kontrak, disamping nama produsen yang memproduksi, harus dicantumkan pula
nama pemberi kontrak. Alamat produsen atau importir harus sekurang-kurangnya
mencantumkan nama kota dan atau negara. Ukuran, isi atau berat bersih dapat dicantumkan
dengan istilah “netto”. Pernyataan netto menunjukkan secara seksama ukuran atau isi atau
berat bersih dalam wadah. Pernyataan netto pada kosmetik yang berbentuk aerosol adalah isi
termasuk propelan. Pernyataan netto harus dinyatakan dalam satuan metrik, atau satuan
metrik dan satuan lainnya.

Penulisan nama bahan kosmetik dalam komposisi harus mengacu pada Kodeks Kosmetika
Indonesia atau standar lain yang diakui. Penandaan lain pada etiket harus dicantumkan
sesuai persyaratan penandaan bahan. Pada sediaan yang berbentuk aerosol harus
dicantumkan peringatan sebagai berikut :

a. Perhatian! Jangan sampai kena mata dan jangan dihirup;


b. Awas! Isi bertekanan tinggi, dapat meledak pada suhu diatas 50°C. jangan ditusuk,
jangan disimpan ditempat panas, di dekat api, atau dibuang ditempat pembakaran
sampah.
Kosmetik hanya dapat diiklankan setelah mendapat izin edar. Iklan harus berisi :
(a) Informasi yang objektif, lengkap dan tidak menyesatkan.
(b) Informasi sesuai data pendaftaran yang telah disetujui
Kosmetik tidak boleh diiklankan seolah-olah sebagai obat. Ketentuan tentang periklanan
diatur lebih lanjut oleh Kepala Badan POM.
Pemberian bimbingan terhadap penyelenggaraan kegiatan produksi, impor, peredaran dan
penggunaan kosmetik dilakukan oleh Kepala Badan. Dalam melakukan pemberian
bimbingan, Kepala Badan POM dapat mengikutsertakan organisasi profesi dan asosiasi
terkait. Pemberian bimbingan diarahkan untuk :
a. Menjamin mutu dan keamanan kosmetik yang beredar;
b. Meningkatkan kemampuan teknik dan penerapan Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik;
c. Mengembangkan usaha di bidang kosmetik.
Pengawasan dilakukan oleh Kepala Badan POM, mencakup pelaksanaan fungsi sekurang-
kurangnya standardisasi, penilaian, sertifikasi, pemantauan, pengujian, pemeriksaan,
penyidikan. Pemeriksaan dilakukan terhadap kegiatan produksi, impor, peredaran,
penggunaan, dan promosi kosmetik. Dalam melaksanakan pemeriksaan Kepala Badan POM
dapat mengangkat Pemeriksa yang berwenang untuk :
a. Memasuki setiap tempat yang digunakan atau diduga digunakan dalam kegiatan
produksi, impor, distribusi, penyimpanan, pengangkutan, dan penyerahan kosmetik
untuk memeriksa, meneliti, dan mengambil contoh segala sesuatu yang digunakan
dalam kegiatan produksi, impor, distribusi, penyimpanan, pengangkutan dan penyerahan
kosmetik;
b. Melakukan pemeriksaan dokumen atau catatan lain yang memuat atau diduga memuat
keterangan mengenai kegiatan produksi, impor, distribusi, penyimpanan, pengangkutan dan
penyerahan kosmetik termasuk menggandakan atau mengutip keterangan tersebut;
c. Memerintahkan untuk memperlihatkan izin usaha atau dokumen lain.
Setiap orang yang bertanggung jawab atas tempat dilakukannya pemeriksaan oleh
pemeriksa mempunyai hak untuk menolak pemeriksaan apabila pemeriksa yang
bersangkutan tidak dilengkapi dengan tanda pengenal dan surat tugas pemeriksaan. Apabila
hasil pemeriksaan oleh pemeriksa menunjukkan adanya dugaan atau patut diduga adanya
tindak pidana di bidang kosmetik segera dilakukan penyidikan oleh penyidik Badan
Pengawas Obat dan Makanan. Pelanggaran terhadap ketentuan dalam keputusan ini dapat
diberikan sanksi administratif berupa :
a. Peringatan tertulis;
b. Penarikan kosmetik dari peredaran termasuk penarikan iklan;
c. Pemusnahan kosmetik;
d. Penghentian sementara kegiatan produksi, impor, distribusi, penyimpanan,
pengangkutan dan penyerahan kosmetik;
e. Pencabutan sertifikat dan atau izin edar
Selain dikenai sanksi administratif dapat pula dikenakan sanksi pidana sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2.2. Cara Produksi Kosmetika yang Baik

2.1.1 Tenaga Kerja

a. Persyaratan Umum
Menurut Kemenkes RI No. 965/MENKES/ SK/XI/1992 tenaga kerja yang melaksanakan
kegiatan produksi kosmetika hendaknya memenuhi persyaratan sesuai dengan jenis
pekerjaaan yang dilakukan antara lain :
1. Sehat fisik dan mental;
2. Tidak berpenyakit kulit, berpenyakit menular atau luka terbuka;
3. Mengenakan pakaian kerja yang bersih;
4. Memakai penutup rambut dan alas kaki yang sesuai untuk yang bekerja diruangan
produksi dan memakai sarung tangan serta masker apabila diperlukan;
5. Memiliki pengetahuan, keterampilan dan kemampuan sesuai dengan tugasnya;
6. Mempunyai sikap dan kesadaran yang tinggi untuk melaksanakan Cara Produksi
Kosmetika yang Baik.
b. Penanggung jawab teknis
1. Warga negara Indonesia;
2. Mempunyai kualifikasi sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya;
3. Mempunyai wewenang yang cukup untuk melaksanakan tugasnya;
4. Mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai berikut :
a. Menyiapkan prosedur produksi berupa ketentuan tertulis dan mengawasi pelaksanaannya;
b. Menetapkan persyaratan bahan, alat dan prosedur produksi serta memeriksa kebenarannya;
c. Bertanggung jawab terhadap keamanan dan mutu kosmetika;
d. Bertanggung jawab terhadap kebersihan sarana termasuk higiene dan sanitasi;
e. Mengevaluasi prosedur produksi untuk memastikan bahwa prosedur tersebut, tetap
memberikan hasil yang diinginkan;
f. Menyiapkan materi dan melaksanakan pelatihan bagi tenaga kerja yang menangani proses
produksi terutama yang berkaitan dengan karakteristik bahan dan bahayanya;
g. Ikut serta dalam menentukan rancang bangun sarana dan bahan bangunan yang digunakan
agar mudah dibersihkan, dan dipelihara serta tahan terhadap air atau bahan-bahan kimia
untuk memudahkan pelaksanaan sanitasi.

2.2.2 Bangunan
1. Bebas dari pencemaran yang berasal dari lingkungan, seperti pencemara udara, tanah dan
air, sehingga dapat mencegah pengotoran maupu pencemaran produk.
2. Konstruksi serta tata ruang yang memadai sehingga memudahkan pemeliharaan,
pembersihan, sanitasi, dan pelaksanaan kerja serta dapat mencegah terjadinya pencemaran
silang antara produk dan bahan baku.
3. Lantai dan dinding hendaknya dibuat dari bahan kedap air, permukaannya rata dan halus,
bebas dari keretakan dan mudah dibersihkan. Pertemuan antara lantai dan dinding hendaknya
tidak membentuk sudut mati (melengkung).
4. Dilengkapi penerangan dan ventilasi udara yang memadai sesuai untuk kegiatan didalam
bangunan tersebut.
5. Mempunyai fasilitas sanitasi yang terencana dan teratur berupa :
a. sarana penyediaan air bersih;
b. kamar kecil;
c. tempat cuci tangan;
d. kamar ganti pakaian;
e. tempat sampah;
f. sarana pembuangan air limbah.

2.2.3 Peralatan
1. Peralatan dan perlengkapan yang dipergunakan untuk memproduksi kosmetika hendaknya
sesuai dengan jenis produksi.
2. Permukaan yang berhubungan dengan bahan maupun produk kosmetika hendaknya tidak
bereaksi, tidak mengadsorbsi dan tidak melepaskan serpihan.
3. Peralatan hendaknya mudah dibersihkan dan disanitasi.
4. Peralatan hendaknya ditata dan dipasang, sedemikian rupa agar memudahkan proses
produksi dan perawatannya.
5. Peralatan bebas dari unsur atau serpihan logam, minyak pelumas, dan bahan bakar
sehingga tidak mencemari hasil produksi.
6. Peralatan setelah digunakan harus dibersihkan dan disimpan dalam kondisi yang bersih.
7. Petunjuk cara pembersihan peralatan hendaknya tertulis secara rinci dan jelas diletakkan
pada tempat yana mudah dilihat.
8. Peralatan yang digunakan untuk produksi kosmetika hendaknya tidak digunakan untuk
kegiatan lain.
9. Alat timbang, pengukur, penguji dan pencatat harus ditera atau dikaliberasi secara berkala.
10. Peralatan dan perlengkapan laboratorium disesuaikan dengan persyaratan pengujian
setiap bentuk sediaan kosmetika dan prosedur pengujiannya.
11. Peralatan produksi dan laboratorium hendaknya dirawat secara teratur agar tetap
berfungsi dengan baik dan mencegah terjadinya pencemaran yang dapat merubah identitas,
mutu dan kemurnian produk.

2.2.4 Sanitasi dan Higiene


Pada setiap aspek produk kosmetika hendaknya dilakukan upaya untuk menjamin
terwujudnya kondisi yang memenuhi persyaratan kesehatan. Upaya tersebut hendaknya
dilakukan terhadap tenaga kerja, bangunan, peralatan, bahan, proses produksi, pengemas dan
setiap hal yang dapat merupakan sumber pencemaran produk. Sumber pencemaran
hendaknya dihilangkan melalui suatu program sanitasi dan higiene yang menyeluruh dan
terpadu.

2.2.5 Pengolahan dan Pengemasan


Pengolahan dan pengemasan hendaknya dilaksanakan dengan mengikuti ketentuan tertulis
sehingga dapat menghasilkan produk seperti yang dikehendaki.
A. Bahan baku dan bahan pengemas
1. Bahan baku dan bahan pengemas hendaknya tidak membahayakan dan memenuhi
persyaratan mutu yang berlaku;
2. Bahan baku dan persyaratan mutunya belum ditetapkan dalam buku resmi dapat mengacu
pada sumber lain yang disetujui oleh Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
3. Tidak menggunakan bahan yang dilarang untuk memproduksi kosmetika:
4. Spesifikasi dan metoda pengujian bahan pengemas dapat ditetapkan bersama antara
pemasok dan produsen;
5. Bahan baku dan bahan pengemas yang diterima dari pemasok hendaknya dikarantina
terlebih dahulu sampai mendapat tanda pelulusan dari bagian pengawasan mutu
6. Bahan baku yang diterima dari pemasok hendaknya disimpan sesuai dengan ketentuan
dalam buku resmi atau peraturan yang berlaku;
7. Bahan baku dan bahan pengemas yang ada dalam persediaan hendaknya diperiksa dan
diuji ulang secara berkala untuk memberi keyakinan bahwa mutu bahan-bahan tersebut dalam
kondisi yang baik;
8. Bahan baku dan bahan pengemas yang boleh digunakan untuk proses produksi harus
memiliki tanda pelulusan;
9. Penimbangan, perhitungan dan penyerahan bahan baku dan bahan pengemas hendaknya
dicatat dan dibuktikan kebenarannya.
B. Pengolahan
1. Semua peralatan dan bahan yang digunakan harus sesuai dengan prosedur tertulis sehingga
tidak terjadi kekeliruan dan pencemaran;
2. Kondisi sekitar tempat pengolahan hendaknya bebas dari bahan, produk, alat dan dokumen
yang tidak diperlukan;
3. Hendaknya dihindari terjadinya pencemaran silang antar produk, yang disebabkan oleh
pengolahan beberapa produk dalam waktu yang sama atau berurutan dalam ruangan yang
sama;
4. Kegiatan pengolahan yang memerlukan kondisi tertentu, hendaknya dilakukan pengawasan
yang seksama misalnya pengaturan suhu, tekanan, waktu dan kelembaban;
5. Hendaknya dilakukan pengawasan selama proses untuk mencegah hal-hal yang
menimbulkan kerugian terhadap produk jadi;
6. Produk antara dan produk ruahan disimpan dalam wadah dengan label yang menunjukkan
identitas nomor kode produksi dan statusnya serta dicegah terjadinya pencemaran.
C. Pengemasan
1. Sebelum dilakukan pengemasan, hendaknya dapat dipastikan kebenaran identitas,
keutuhan, mutu produk ruahan, bahan pengemas dan penandaannya;
2. Proses pengemasan hendaknya mengikuti ketentuan tertulis;
3. Pada kemasan produk jadi, harus dicantumkan nomor kode produksi pada bagian yang
mudah dilihat;
4. Produk jadi yang telah lolos uji dari bagian Pengawasan Mutu hendaknya disimpan secara
teratur dan rapi untuk mencegah terjadinya resiko pencemaran serta memudahkan
pemeriksaan, pengambilan dan pemeliharaannya.;
2.2.6 Pengawasan Mutu
Pengawasan mutu merupakan bagian yang penting dari Cara Produksi Kosmetika yang Baik
agar kosmetika yang diproduksi memenuhi persyaratan mutu yang sesuai dengan tujuan
penggunaannya.
A. Hendaknya setiap produsen kosmetika mempunyai bagian Pengawasan Mutu.
B. Pengawasan mutu hendaknya dirancang dengan tepat untuk menjamin bahwa tiap produk
kosmetika yang diproduksi mempunyai mutu dan keamanan sesuai dengan standar yang
ditetapkan.
C. Bagian Pengawasan Mutu hendaknya mempunyai laboratorium penguji kimia, biologi dan
mikrobiologi dengan peralatan yang diperlukan. Apabila hal ini tidak memungkinkan dapat
menggunakan jasa laboratorium yang diakui oleh Pemerintah.
D. Bagian Pengawasan Mutu bersama-sama dengan bagian produksi dan bagian pembelian
menentukan dan mengevaluasi pemasok yang mampu dan dapat dipercaya dalam
menyediakan bahan baku dan bahan pengemas agar didapat bahan dengan spesifikasi yang
diinginkan.
E. Bagian Pengawasan Mutu hendaknya melakukan uji stabilitas terhadap setiap produk jadi,
terutama produk yang menggunakan bahan pengawet.
F. Bagian Pengawasan Mutu wajib melakukan pemantauan terhadap produk jadi, baik yang
masih berada di lingkungannya maupun di peredaran secara berkala.
G. Bagian Pengawasan Mutu wajib menyimpan contoh pertinggal dari bahan baku, bahan
pengemas dan produk jadi.
2.2.7 Inspeksi Diri
A. lnspeksi diri dilakukan secara berkala agar seluruh rangkaian produksi selalu memenuhi
Cara Produksi Kosmetika Yang Baik.
B. Kelemahan dan kekurangan yang terjadi pada produksi hendaknya diperbaiki.

2.3 Dasar Hukum Peraturan di Bidang Kosmetik


Undang–Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sebagai dasar berbagai peraturan
yang mengatur pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Dalam undang-undang tersebut
dijelaskan ketentuan mengenai peredaran kosmetika, tindakan terhadap pelanggaran dan
tindak pidana terhadap peredaran kosmetik tanpa ijin edar diatur dalam beberapa pasal, yaitu:
Pasal 106 ayat (3)
“Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan penarikan dari peredaran
sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah memperoleh izin edar , yang kemudian terbukti
tidak memenuhi persyaratan mutu dan/ atau keamanan dan/atau kemanfaatan dapat disita dan
dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Pasal 189 ayat (1)
Selain penyidik polisi Negara Republik Indonesia, kepada pejabat pegawai negeri sipil
tertentu di lingkungan pemerintahan yang menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan juga
diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk mengadakan penyidikan tindak
pidana di bidang kesehatan.
Pasal 189 ayat (2)
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak
pidana di bidang kesehatan;
b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang didugamelakukan tindak pidana di
bidang kesehatan;
c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan
dengan tindak pidana di bidang kesehatan;
d. Melakukan pemeriksaan atas surat dan/ataudokumen lain tentang tindak pidana di
bidang kesehatan;
e. Melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara tindak
pidana di bidang kesehatan;
f. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di
bidang kesehatan;
g. Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan
adanya tindak pidana di bidang kesehatan.

Pasal 189 ayat (3)


Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh penyidik sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Pasal 196
Setiap orang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat
kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan kemanan, khasiat atau
kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 197
Setiap orang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat
kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 106 ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling
banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah).

BAB III

PEMBAHASAN

Peredaran produk-produk kosmetik sangat luas dan pesat di Indonesia , terutama di kota-kota
besar. Dalam artikel berita www.tempo.co.id yang diakses Jumat 18 November 2016,
diberitakan bahwa Badan Pengawasan Obat dan Makanan dibantu oleh aparat kepolisian,
Jakarta pada tanggal 19 Desember 2014 melakukan penggerebegan pabrik pembuatan
kosmetik palsu merk-merk ternama di sebuah ruko di kawasan Peta Selatan, Kalideres,
Jakarta Barat. Dalam penggerebekan tersebut, polisi berhasil mengamankan 200 kardus berisi
kosmetik palsu. Selain para pemalsu memanfaatkan merk dasebuah produk yang terdaftar,
merka pun memanfaatkan desain kemasan baik itu kemasan luar (karton, dus, dll) ataupun
desain kemasan yang berhubungan langsung dengan isi (content). Penyalahgunaan desain
kemasan ini pun, sangat merugikan bagi konsumen. Berdasarkan hasil observasi,
produkproduk palsu tersebut dikemas dengan desain kemasan yang memiliki merk dagang
yang terdaftar. Sebenarnya merk dagang, dan desain sebuah produk, baik yang berada dalam
kemasan atau logo sebuah produk dilindungi oleh HKI (Hak Kekayaan Intelektual). HKI
meliputi Hak Cipta (seni, sastra, dan ilmu pengetahuan lainnya), Paten (invensi teknologi),
Merk (symbol dagang barang dan jasa ), Desain Industri (penampilan produk industri),
Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (desain tata letak rangkaian IC), dan Rahasia Dagang
(informasi rahasia yang bernilai ekonomi). Dalam penggunaan desain kemasan legal menjadi
desain kemasan produk palsu berkaitan dengan pelanggaran hak dalam penyalahgunaan
desain industri.
Dalam artikel tersebut BPOM juga mengumumkan 68 jenis kosmetik yang ternyata positif
mengandung bahan berbahaya yaitu Merkuri (Hg), Hidroquinon, Asam Retinoat (Retinoic
Acid), zat warna Rhodamin (Merah K.10) dan Merah K.3. Merkuri (Hg) merupakan bahan
berbahaya yang dapat berdampak buruk pada kesehatan kulit dan bisa menimbulkan
keracunan bila digunakan dalam waktu yang lama kendati cuma dioleskan pada permukaan
kulit namun Merkuri (Hg) mudah diserap masuk ke daalam darah, lalu memasuki ke saraf
tubuh. Maka dari itu Merkuri (Hg) tidak boleh dipergunakan dalam kosmetik, sedangkan
Hidroquinon pemakaiannya tidak boleh lebih dari 2 persen itupun harus dibawah pengawasan
dokter. Jadi tidak bisa sembarangan digunakan.
Hasil dari penelitian Badan POM mengatakan produk kosmetik tersebut mengandung
Merkuri (Hg) yang dapat membahayakan kesehatan. Karena pemakaian dari produk tersebut
ada konsumen mengalami gatal-gatal pada kulit dan timbul bintik-bintik seperti jerawat.yang
cukup banyak pada muka. Konsumen telah dirugikan yang harusnya dengan memakai produk
kosmetik whitening cream kulit menjadi halus dan cerah namun yang terjadi sebaliknya kulit
menjadi rusak. Kurangnya informasi yang diberikan oleh pelaku usaha telah melanggar hak-
hak konsumen. Kurangnya pengawasan dari Badan POM menyebabkan produk-produk
kosmetik yang mengandung bahan berbahaya masih beredar dipasaran sehingga mudah
ditemukan oleh para konsumen. Banyaknya beredar merk-merk kosmetik yang dijual
dipasaran dengan kemasan yang menarik, dan menjanjikan akan mendapatkan hasil dalam
waktu singkat perlu diwaspadai oleh masyarakat. Konsumen harus lebih waspada serta jeli
sebelum membeli produk kosmetik. Produk kosmetik yang mengandung bahan berbahaya
memiliki efek samping yang berdampak pada kerusakan kulit akibat dari pemakaian produk
tersebut yang sebelumnya tidak ada keterangan atau petunjuk dokter. Berdasar keputusan
presiden dibentuk Badan POM, yang bertugas di bidang pengawasan obat dan makanan
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, berdasarkan
Peraturan Menkes RI Nomor 445/Menkes/PER/V/1998 tentang bahan, zat warna, substratum,
zat pengawet, dan tabir surya pada kosmetik serta Keputusan Kepala Badan POM
No.HK.00.05.4.1745 tentang kosmetik, penggunaannya sudah dilarang. Berdasarkan
penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa isi dari kosmetik palsu memiliki kandungan
bahan-bahan berbahaya bagi kesehatan jika dipergunakan terus-menerus. Merkuri atau air
raksa, termasuk logam berbahaya yang dalam konsentrasi kecil pun dapat bersifat racun.
Pemakaian merkuri dalam kosmetik dapat menyebabkan bintik hitam pada kulit, alergi, dan
iritasi kulit. Tak hanya itu, pemakaian dalam dosis tinggi bisa menyebabkan kerusakan otak
permanen, ginjal, serta gangguan perkembangan janin. Hidroquinon termasuk obat keras.
Bahaya pemakaiannya tanpa pengawasan dokter dapat menyebabkan iritasi kulit, kulit
menjadi merah dan rasa terbakar. Selain itu juga dapat mengakibatkan kelainan ginjal, kanker
darah maupun kanker sel hati. Adapun bahan pewarna merah K.10 (rhodamin B) dan merah
K.3 adalah zat warna sintetis. Umumnya digunakan sebagai zat warna kertas, tekstil, atau
tinta. Jika ini dipakai sebagai kosmetik, efek yang diakibatkan dapat berupa iritasi saluran
napas serta kerusakan hati.
Cara dalam mengatasi pemalsuan produk kosmetik yaitu sebagai berikut :
1. Dari Produsen
Dalam kasus pemalsuan kosmetik yang pertama dirugikan adalah produsen kosmetik yang
asli, penyalahgunaan merk dagang merka oleh oknum pemalsu membuat kerugian bagi pihak
produsen kosmetik asli. Para produsen membuat program meredesain kemasan produk
kosmetik merka untuk menghindari pemalsuan, namun hal tersebut tidak memberikan hasil
yang memuaskan kosmetik merk merka yang palsu masih saja menarik perhatian para
konsumen.
2. Dari Konsumen
Konsumen merupakan unit terakhir dalam sistem peredaran kosmetik palsu. Untuk itu,
dengan merubah perilaku konsumen untuk tidak tergiur dengan produk kosmetik palsu, dan
memberikan pengetahuan dalam mengidentifikasi produk palsu agar berhati-hati dalam
membeli, dapat menekan angka peredaran kosmetik maka penggunaan kosmetik palsu akan
menurun sehingga peredaran kosmetik palsu pun akan semakin berkurang. Berdasarkan hasil
analisis masalah dapat disimpulkan bahwa faktor utama yang dapat mempengaruhi kasus
pemalsuan salah satunya adalah konsumen yang merupakan faktor penentu dalam mengatasi
angka pemalsuan produk kosmetik. Maka dari itu, perlu adanya persuasi untuk merubah
perilaku konsumen dalam menanggapi masalah pemalsuan kosmetik.
3. Dari Pemerintah
Aparat dan lembaga terkait memiliki kekuatan hukum dalam menindak oknum pemalsu
kosmetik. Tindakan dan hukum berlapis yang mengancam para pemalsu tidak membuat
merka jera karena merka memiliki seribu satu cara dalam melakukan pemalsuan produk.
Pemerintah membuat undang-undang dalam menanggapi masalah pemalsuan produk
kosmetik. Pemerintah pun menggerakkan aparat dan lembaga terkait seperti BPOM untuk
melakukan penggerebekan dan aksi sweeping.
Kurangnya perhatian masyarakat terhadap produk yang aman dan penegakan hukum yang
masih sangat kurang. Implementasi Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK) juga kurang berjalan dengan baik, ini
dapat dilihat dari berkali-kali dilakukan razia terhadap produk-produk kosmetik yang tidak
terdaftar dan
mengandung bahan berbahaya, namun di pasaran tetap saja banyak produk-produk tersebut
masih terjual bebas.
Penanganan perlindungan konsumen selama ini belum dilaksanakan terpadu, sehingga
kepentingan konsumen terhadap hak dan kewajibannya masih belum sesuai yang diharapkan,
maka upaya memberdayakan masyarakat konsumen dipandang perlu penanganan masalah
perlindungan konsumen yang terpadu dan komprehensif.
Pasal 8 ayat (1) butir a UUPK yang berbunyi: “Pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau
memperdagangkan barang dan atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan
standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Pasal 8 ayat (2)
UUPK yang berbunyi: “Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat
atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang
dimaksud”.
Konsumen sebagai pemakai barang dan atau jasa tentu saja mempunyai kepentingan-
kepentingan tertentu. Kepentingan-kepentingan konsumen itu perlu dilindungi, oleh sebab itu
dalam UUPK diatur hak-hak konsumen yaitu pasal 4 UUPK. Sebenarnya ada hubungan
antara konsumen dan pelaku usaha. Dari sisi bisnis, pelaku usaha harus mengakui bahwa
konsumen merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kelangsungan bisnisnya. Disisi lain
konsumen dalam memenuhi kebutuhan hidupnya senantiasa tergantung pada keberadaan
barang dan atau jasa yang ada di pasaran sebagai suatu out put dari kegiatan pelaku usaha.
Oleh karena itu, produsen selaku pelaku usaha yang kegiatannya memperdagangkan produk-
produk kosmetik harus memperhatikan ketentuan mengenai keamanan produk itu sendiri
yang harus memenuhi syarat-syarat dan pengawasan kosmetik yang telah dikeluarkan oleh
pemerintah Republik Indonesia. Faktor keamanan dan tidak merugikan kesehatan merupakan
hak konsumen yang sangat penting.
Akses informasi tentang kualitas suatu produk sangat penting bagi konsumen. Pertama :
konsumen memiliki wawasan yang lebih luas, untuk selanjutnya dapat menentukan pilihan
satu produk berdasarkan informasi yang dapat dipercaya. Kedua : apabila dilapangan
ditemukan produk yang tidak sesuai dengan standar yang telah dikeluarkan pemerintah dan
berakibat menimbulkan kerugian dipihak konsumen maka konsumen dapat mengajukan
tuntutan ganti rugi kepada produsen atau pelaku usaha.
Dengan diberlakukannya UUPK dapat membatasi produsen dalam memasarkan barangnya
karena merka hanya mematuhi sejumlah larangan yang ditentukan dalam UUPK, namun
bukan berarti kepentingan pelaku usaha tidak ikut menjadi perhatian, teristimewa karena
keberadaan perekonomian nasional banyak ditentukan oleh para pelaku usaha.

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
1. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kosemtik tercantum pada Keputusan
kepala Badan POM Republik Indonesia No. HK.00.05.4.1745 yaitu dalam mengingat
Undang–Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
2. Kosmetik mengandung bahan berbahaya seperti Merkuri (Hg), Hidroquinon, Asam
Retinoat (Retinoic Acid), zat warna Rhodamin (Merah K.10) dan Merah K.3. Merkuri (Hg)
dapat berdampak buruk pada kesehatan kulit dan bisa menimbulkan keracunan bila
digunakan dalam waktu yang lama kendati, cuma dioleskan pada permukaan kulit namun,
Merkuri (Hg) mudah diserap masuk ke dalam darah, lalu memasuki ke sistem saraf tubuh.
Maka dari itu Merkuri (Hg) tidak boleh dipergunakan dalam kosmetik, sedangkan
Hidroquinon pemakaiannya tidak boleh lebih dari 2 persen itupun harus dibawah pengawasan
dokter. Jadi tidak bisa sembarangan digunakan,
3. Pemerintah membuat undang-undang dalam menanggapi masalah pemalsuan produk
kosmetik. Pemerintah pun menggerakkan aparat dan lembaga terkait seperti BPOM untuk
melakukan penggerebekan dan aksi sweeping serta menindak oknum pemalsu kosmetik.
4.2 Saran
1. Perlu adanya sosialisasi dari pemerintah tentang informasi kosmetik kepada masyarakat
untuk memberikan pengetahuan dalam mengidentifikasi produk palsu agar masyarkat
berhati-hati dalam membeli produk kosmetik penggunaan kosmetik palsu akan menurun dan
dapat berdampak berkurangnya peredaran kosmetik palsu dan berbahaya,
2.Perlu adanya resolusi undang-undang terkait kosmetik dan penyalahgunaannya agar
produsen yang tidak bertanggung jawab jera dalam memalsukan serta menambahkan bahan
berbahaya ke dalam produk kosmetik.

DAFTAR PUSTAKA
http://www.tempo.co/read/news/2014/12/19/060629716/BPOM-Rilis-10-Kosmetik-
Berbahaya-Apa-Saja. Diakses pada 18 November 2016.
Badan POM. 2003. Kosmetika. Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia:
Jakarta
Endang Sri Wahyuni. 2003. Aspek Hukum Sertifikasi dan Keterkaitannya dengan
Perlindungan Konsumen. PT.Citra Aditya Bakti: Bandung, hlm.158
Djajadisastra, 2005. Tekhnologi Kosmetik. Departemen Farmasi FMIPA Universitas
Indonesia: Tangerang.
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. 2001. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen. PT.
Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, hlm. 1
Kemenkes RI. 1992. Cara Produksi Kosmetika yang Baik. Menteri Kesehatan Republik
Indonesia: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai