Anda di halaman 1dari 26

BAB III

LEACHING

3.1. Tujuan Percobaan


- Mengetahui pengaruh lama waktu ekstraksi terhadap hasil ekstrak yang
didapatkan dengan menggunakan proses ektraksi secara Batch
- Mengetahui pengaruh suhu ekstraksi terhadap hasil ekstrak yang didapatkan
dengan menggunakan ekstraksi secara Batch.
3.2. Tinjauan Pustaka
Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan zat aktif dari suatu campuran komponen
padatan atau cairan dengan menggunakan bantuan pelarut. Pelarut berguna untuk
memisahkan atau mengekstrak substansi yang ingin dipisahkan tanpa melarutkan zat-zat
yang tidak ingin dipisahkan (Prayudo, 2015).
Jenis-jenis ekstraksi antara lain:
1. Ekstraksi cair-cair
Ekstraksi cair-cair atau yang dikenal dengan ekstraksi Solvent adalah proses
pemisahan fase cair yang memanfaatkan perbedaan kelarutan zat terlarut yang akan
dipisahkan antara larutan asal dan pelarut pengekstrak (Solvent), apilkasi ekstraksi cair-
cair tebagi menjadi dua kategori yaitu aplikasi yang bersaing langsung dengan operasi
pemisahan lain dan aplikasi yang tidak mungkin dilakukan oleh operasi pemisahan lain
(Mirwan, 2013).
2. Ekstraksi padat-cair
Ekstraksi padat- cair (Leaching) adalah proses ekstraksi suatu konstituen yang dapat
larut (Solute) pada suatu campuran padatan (Solid) dengan menggunakan pelarut.
Leaching digunakan untuk memisahkan atau menghilangkan Solute yang tidak
diinginkan pada suatu komponen padatan. Dua fase akan saling berkontak dan Solute
akan berdifusi dari suatu padatan ke fase cair, Leaching dapat disebut juga pencucian
(Geankoplis, 1993).
Pelarut minyak atau lemak yang biasa digunakan dalam proses ekstraksi antara lain:
- Etanol, etanol sering digunakan sebagai pelarut dalam laboratorium karena
mempunyai kelarutan yang relatif tinggi dan bersifat inert sehingga tidak bereaksi
dengan komponen lainnya. Etanol memiliki titik didih yang rendah sehingga
memudahkan pemisahan minyak dari pelarutnya dalam proses destilasi
- n-Heksana, n-heksana merupakan pelarut yang paling ringan dalam mengangkat
minyak yang terkandung dalam biji-bijian dan mudah menguap sehingga
memudahkan untuk Refluk. Pelarut ini memiliki titik didih antara 65-70 oC
- Isopropanol, isopropanol merupakan jenis pelarut polar yang memiliki massa jenis
0,789 g/ml. Pelarut ini mirip dengan etanol yang memiliki kelarutan yang relatif tinggi.
Isopropanol memiliki titik didih 81-82 oC
- Etil Asetat, Etil Asetat merupakan jenis pelarut yang bersifat semi polar. Pelarut ini
memiliki titik didih yang relatif rendah yaitu 77 oC, sehingga memudahkan pemisahan
minyak dari pelarutnya dalam proses destilasi
- Aseton, Aseton larut dalam berbagai perbandingan dengan air, etanol, dietil eter, dll.
Ia sendiri juga merupakan pelarut yang penting. Aseton digunakan untuk membuat
plastik, serat, obat-obatan, dan senyawa-senyawa kimia lainnya
- Metanol, pelarut methanol merupakan pelarut yang paling banyak digunakan dalam
proses isolasi senyawa organik bahan alam (Diana, 2012).
Beberapa metode ekstraksi yang dapat digunakan adalah sebagai berikut:
1. Maserasi, merupakan metode sederhana yang paling banyak digunakan. Cara ini
sesuai, baik untuk skala kecil maupun skala industri
2. Ultrasound-Assisted Solvent Extraction, merupakan metode maserasi yang
dimodifikasi dengan menggunakan bantuan Ultrasound (sinyal dengan frekuensi
tinggi, 20 kHz)
3. Perkolasi, pada metode perkolasi, serbuk sampel dibasahi secara perlahan dalam
sebuah perkulator (wadah silinder yang dilengkapi dengan kran pada bagian
bawahnya)
4. Soxhlet, metode ini dilakukan dengan menempatkan serbuk sampel dalam sarung
selulosa (dapat digunakan kertas saring) dalam klonsong yang ditempatkan diatas labu
dan dibawah kondensor
5. Refluks dan destilasi uap, pada metode Refluks, sampel dimasukkan bersama pelarut
kedalam labu yang dihubungkan dengan kondensor. Destilasi uap memiliki proses
yang sama dan biasanya digunakan untuk mengekstraksi minyak esensial (campuran
berbagai senyawa menguap) (Mukhriani, 2014).
Berikut merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi laju ekstraksi antara lain:
1. Ukuran partikel
Semakin kecil ukuran partikel berarti semakin besar luas permukaan kontak antara
padatan dan pelarut dan semakin pendek jarak difusi Solute sehingga kecepatan
ekstraksi lebih besar. Pemotongan dan pembelahan bahanbahan yang akan
diekstraksi membantu pengontakan antara padatan dengan pelarut karena pecahnya
sel-sel yang mengandung Solute tersebut
2. Pelarut
Pelarut merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam proses ekstraksi
sehingga banyak yang harus diperhatikan. Dalam pemilihan pelarut, pelarut harus
melarutkan ekstrak yang diinginkan saja
3. Suhu
Kelarutan akan meningkat seiring dengan kenaikan suhu untuk menghasilkan laju
ekstraksi yang tinggi. Koefisien difusi juga akan bertambah tinggi seiring dengan
kenaikan suhu sehingga meningkatkan laju ekstraksi. Batas suhu ditentukan untuk
mencegah kerusakan pada bahan. Secara umum, suhu ekstraksi adalah 60–90°C
4. Pengadukan
Pengadukan dapat meningkatkan perpindahan material dari permukaan partikel ke
larutan atau dapat mempercepat proses pencampuran antara solute dengan pelarut
5. Waktu
Waktu berpengaruh terhadap banyaknya komponen yang terekstrak. Semakin lama
waktu ekstraksi maka akan semakin banyak komponen yang terekstrak (Mc Cabe,
2000).
Banyak subtansi biologi baik yang organik maupun yang anorganik berada dalam
suatu campuran dalam bentuk zat padat. Subtansi - subtansi tersebut dapat dipisahkan
dengan menggunakan proses Leaching. Leaching adalah proses ekstraksi dengan
mengambil Solute yang diinginkan atau dibuang dari fase solid dengan dikontakkan
menggunakan fase Liquid. Contoh yang paling umum dalam proses Leaching ialah gula
dari Beet dengan menggunakan air panas (Geankoplis, 1993).
Proses Leaching (Ekstraksi padat-cair) dipengaruhi oleh beberapa faktor anta lain:
1. Laju difusi yaitu bila ekstraksi dikontrol oleh mekanisme difusi Solute melalui luas
permukaan zat, maka ukuran partikel yang akan diolah harus lebih kecil agar jarak
perembesan tidak terlalu jauh
2. Pengadukan yaitu meningkatkan rasio difusi Solute dari permukaan partikel kedalam
larutan yang mengontrol maka penggunaan pelarut lebih optimal. Pelarut biasanya
digunakan viskositas yang rendah
3. Suhu operasi yaitu meningkatkan kelarutan Solute yang akan diekstraksi bertambah
atau meningkat dengan sebanding dengan kenaikan suhu dan laju difusi. Semakin
tinggi suhu operasi dan semakin cepat laju putaaran permukaan pengadukan partikel
akan semakin cepat terdistribusi
4. Waktu yaitu berbanding lurus dengan ekstrak yang dihasilkan, semakin lama waktu
proses Leaching maka akan semakin banyak Solute yang dihasilkan (Aji, 2013).
Macam-macam zat pelarut:
- Pelarut polar, yaitu pelarut yang dapat larut dalam air, misalnya air dan alkohol
- Pelarut non polar, yaitu pelarut yang dapat larut dalam lemak, misalnya eter dan
aseton.
Pada dasarnya pelarut sangat mempengaruhi proses ekstraksi. Pemilihan pelarut pada
umumnya dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain :
1. Selektivitas Pelarut dapat melarutkan semua zat yang akan diekstrak dengan cepat dan
sempurna
2. Titik didih pelarut Pelarut harus mempunyai titik didih yang cukup rendah sehingga
pelarut mudah diuapkan tanpa menggunakan suhu tinggi pada proses pemurnian dan
jika diuapkan tidak tertinggal dalam minyak
3. Pelarut tidak larut dalam air
4. Pelarut bersifat inert sehingga tidak bereaksi dengan komponen lain
5. Harga pelarut semurah mungkin
6. Pelarut tidak mudah terbakar (Guether, 1897).
Kesetimbangan dalam leaching tercapai ketika solute dilarutkan oleh solvent. Data
kesetimbangan dapat digambarkan dalam diagram persegi panjang yang sebagai fraksi
berat untuk tiga komponen, yaitu Solute (A), inert atau padatan yang diuraikan (B) dan
Solvent (C). yang dua fasenya adalah fase Overflow (cairan) dan fase Underflow (slurry).

Gambar 3.1. Beberapa diagram kesetimbangan


yang khusus, (a) keadaan untuk vertikal (tie lines)
dan y = xA. (b) keadaan dimana yA  xA untuk garis
lurusnya
Pada gambar 3.1. (a) adalah sebuah diagram kesetimbangan yang khusus menunjukkan
dimana Solute A dapat diuraikan secara tidak terhingga pada Solvent C. Pada gambar 3.1.
(b) garis dasi tidaklah vertikal.

Gambar 3.2. Aliran proses Single Stage leaching


Pada gambar 3.2. proses Leaching Single-Stage menunjukkan dimana V pada kg/h (lbm/h)
akan larutan yang Overflow dengan komposisinya xA dan L pada kg/h akan cairan pada
kelarutan Slurry dengan komposisi yA yang didasarkan pada kecepatan aliran yang
diberikan B kg/h akan Solute bebas padatan kering.
Gambar 3.3. Kesetimbangan material untuk Single Stage
Pada gambar 3.3. titik M adalah titik potong dari dua garis. Jika Lo yang masuk adalah
Feed padatan kasar yang untuk dilepaskan dengan ketidakadaan Solvent C.
Counter-current Multistage Leaching

Gambar 3.4. Proses aliran untuk Counter-Current Multistage Leaching


Pada gambar 3.4. proses Flow Sheet untuk Counter-Current Multistage Leaching untuk
ekstraksi cair-cair. Fase Slurry L tersusun akan padatan inert (B) dan sebuah fase cair A
dan C adalah Underflow yang kontinyu dari setiap Stage.

Gambar 3.5. Jumlah Stage untuk Multistage Counter-Current


Leaching
Gambar 3.5. yang mana adalah diagram operasi untuk proses, yang biasanya aliran dan

komposisi akan Lo dan VN+1 yang diketahui dan konsentrasi keluaran yAN sudah diatur.

Konsentrasi akan inert atau padatan yang tidak dapat larut B pada campuran larutan atau
campuran Slurry dapat dinyatakan pada:
kg B
N .................................................................... (3.1)
kg A  kg C
kg A
xA  (Overflow liquid) .................................... (3.2)
kg A  kg C
kg A
yA  (liquid dalam Slurry) .............................. (3.3)
kg A  kg C
Dimana xA adalah fraksi wt akan Solute A pada liquid Overflow dan yA adalah fraksi wt
akan A dalam sebuah dasar padatan bebas pada hubungan cairan dengan Slurry atau
Underflow.
Persamaan neraca massa pada proses Single Stage Leaching adalah:

L0 + V2 = L1 + V1 = M ..................................................... (3.4)

Persamaan neraca komponen pada proses Single Stage Leaching adalah

L0 yAO + V2 XA2 = L1 yA1 + V1 XA1 = MxAM .................................. (3.5)

B = N0 L0 + 0 = N1 L1 + 0 = Nm M ................................................ (3.6)

Persamaan neraca massa pada proses Multi Stage Leaching adalah:

L0 + VN+1 = LN + V1 = M .............................................................. (3.7)

Persamaan neraca komponen pada proses Multi Stage Leaching adalah

L0 yAO + VN+1 XAN+1 = LN yAN + V1 XA1 = MxAM ........................... (3.8)

B = N0 L0 + 0 = NN LN + 0 = NM M ............................................... .(3.9)
Keterangan:
B = Laju alir Solute (tanpa padatan) (kg/h)
L0 = Laju alir masuk cairan di Slurry (kg/h)
L1 = Laju alir keluar cairan di Slurry (kg/h)
V1 = Laju alir Solvent keluar (kg/h)
V2 = Laju alir Solvent masuk (kg/h)
M = Total laju alir (kg/h)
yA0 = Komposisi komponen A di Slurry masuk
yA1 = Komposisi komponen A di Slurry keluar
XA1 = Komposisi komponen A di Solvent keluar
XA2 = Komposisi komponen A di Solvent masuk
XAM = Komposisi komponen A total
N0 = Konsentrasi Inert di Slurry masuk
N1 = Konsentrasi Inert di Slurry keluar
NM = Konsentrasi Inert total
NN = Konsentrasi Inert di Slurry keluar pada multistage
LN = Laju alir keluar cairan di Slurry pada multistage (kg/h)
VN+1 = Laju alir Solvent masu pada Multistage (kg/h)
XAN+1 = Komposisi komponen A di Solvent masuk pada Multistage
(Geankoplis,1993).
Besi (Fe) dan seng (Zn) merupakan logam esensial yang dibutuhkan manusia dalam
jumlah kecil <100 mg/hari, yang sangat berperan bagi metabolism tubuh. Kandungan
logam Fe dan Zn di dalam cuplikan berbagai bahan makanan biasanya terdapat dalam
jumlah relatif kecil, sehingga untuk analisisnya diperlukan metode untuk memiliki
sensitivitas dan selektivitas bagus. Metode AAN terlah banyak digunakan dalam
penelitian kandungan makronutrien dan mikronutrien.
Gambar 3.6. Hasil penentuan konsentrasi Zn dan Fe dalam cuplikan bahan
makanan menggunakan ko-AANI
Pada gambar 3.6. ditampilkan konsentrasi unsur Zn dan Fe dalam berbagai jenis
bahan pangan. Dari gambar ini dapat diketahui bahwa konsentrasi unsur Zn di dalam
cuplikan jenis daging cukup tinggi antara 146-198 g/g, dan Fe > 100 g/g kecuali pada
daging ayam kadar Zn dan Fe tidak setinggi dalam cuplikan daging jenis lainnya, kadar
Zn: 30,21  1,69 g/g dan Fe 27,06  2,12 g/g. Ada beberapa jenis sayuran yang
memiliki kadar Fe cukup tinggi, >200 g/g yaitu sawi putih, kangkung, cesim, bayam,
seledri dan daun bawang (Mulyaningsih, 2009).
Penentuan panjang gelombang maksimum merupakan langkah penting yang harus
dilakukan dalam analisa menggunakan spektrofotometri UV-Vis. Tujuannya karena pada
panjang gelombang maksimum terjadi perubahan absorbansi yang paling besar untuk
setiap satuan konsentrasi sehingga memiliki kepekaan maksmum, yang jika dilakukan
pengukuran berulang dapat meminimalisir kesalahan akibat pengulangan pengukuran.
Gambar 3.7. Kurva penentuan panjang gelombang maksimum
kompleks [Fe(fenantrolin)3]2+ dengan pereduksi Na2S2O3 pada rentang
450-600 nm dengan interval 5 nm

Pada gambar 3.7. absorbansi maksimum berada pada rentang 500-520 nm, namun belum
begitu terlihat puncaknya. Sehingga dilakukan pengukuran pada panjang gelombang yang
lebih sempit, pada rentang 500-520 nm dengan interval 1 nm agar data panjang
gelombang maksimum yang diperoleh lebih terlihat.

Gambar 3.8. Kurva penentuan panjang gelombang maksimum


kompleks [Fe(fenantrolin)3]2+ dengan pereduksi Na2S2O3 pada rentang
500-520 nm dengan interval 1 nm

Pada gambar 3.8. ditunjukkan bahwa absorbansi maksimum terdapat pada panjang
gelombang 509 nm dengan absorbansi 0,231
Gambar 3.9. Kurva penentuan panjang gelombang maksimum
kompleks [Fe(fenantrolin)3]2+ dengan pereduksi NH2OH.HCl
pada rentang 500-520 nm dengan interval 1 nm
Gambar 3.9. ditunjukkan bahwa absorbansi maksimum terdapat pada panjang gelombang
512 nm dengan absorbansi 0,504 (Devita, 2017).
Teknik-teknik Leaching yang digunakan di pertambangan:
1. Dump Leaching, adalah sebuah teknik dimana secara umum dijalankan akan tambang
sisa biji tembaga yang dibasahi dengan air atau asam sulfat yang sebagai media cair
untuk memisahkan garam tembaga
2. Heap Leaching, adalah sebuah teknik dimana dijalankan akan tambang atau yang
dihancurkan (umumnya>5mm) dan atau mengelompokkan biji-biji yang menumpuk
lebih yang salah satunya direkayasa blok membaran
3. Tank Leaching, adalah suatu teknik dimana menghancurkan atau memperhalus biji-
biji atau melambungkan intisarinya secara kimiawi yang diperlakukan pada tangki
terbuka dibawah tekanan atmosferik
4. Pressure Leaching, adalah suatu teknik dimana biji dasar atau intisari yang
mengapung yang secara kimiawinya diperlakukan pada reaktor (autoclave) dibawah
tekanan dan temperatur
5. In-situ Leaching, adalah suatu teknik yang digunakan dalam mendapatkan kembali
tembaga, biji uranium pada pengaturan hidrogeologikal yang cocok (Kumar, 2015).
3.3 Variabel Percobaan
A. Variabel tetap
- Jumlah bahan (bayam merah) : 100 gram
- Volume pelarut (air) :2L
B. Variabel berubah
- Waktu ekstraksi : 5, 10, 15, 20 menit
- Suhu pelarut : 50 oC dan 80 oC
3.4. Alat dan Bahan
A. Alat-alat yang digunakan: B. Bahan-bahan yang digunakan:
- Beakerglass - Aquadest (H2O)
- corong - bayam merah
- kolom ekstraktor
- neraca digital
- piknometer
- pompa
- Spektrofotometer
- Stopwatch
- tangki penampung (pemanas)
- Thermometer
3.5. Prosedur Percobaan
A. Persiapan Bahan
- Menyiapkan bayam merah dipotong kasar sebanyak 100 gram.
- Memasukkan pelarut air sebanyak 2 liter ke dalam tangki pemanas.
B. Prosedur Proses Ekstraksi Warna
- Memasukkan air sebagai pelarut pada tangki pemanas sebanyak 2 liter dan
memanaskan sampai suhu 50oC.
- Memasukkan bahan kedalam kolom ekstraktor sebanyak 100 gram
- Membuka valve (globe valve) dari tangki pemanas ke dalam kolom ekstraktor
setelah pelarut (air) mencapai suhu 50oC.
- Menghidupkan pompa dan motor ekstraktor, mengalirkan pelarut kedalam
kolom ekstraktor dengan menggunakan spray.
- Mengeluarkan larutan warna yang telah terbentuk dari kolom ekstraktor dengan
membuka valve dari tangki ekstraktor ke dalam tangki penampung.
- Kemudian mengulangi prosedur diatas dengan waktu: 5, 10, 15, 20 menit.
- Dan mengulangi kembali pada waktu yang sama dengan suhu 80oC.
C. Menghitung Densitas Larutan Warna
- Menimbang piknometer kosong dan mencatat berat serta volume piknometer
kosong.
- Mengambil beberapa mL larutan warna dan memasukkannya ke dalam
piknometer sampai penuh.
- Menimbang piknometer yang telah terisi dengan larutan warna dan
mencatatnya.
- Menghitung massa jenisnya dengan menggunakan rumus:


berat piknometer isi - berat piknometer kosong
Volume piknometer
D. Menghitung Absorbansi
- Kalibrasi kuvet menggunakan Aquadest.
- Mengisi kuvet dengan hasil eksraksi yang telah didapatkan
- Membaca % Trasmitan menggunakan alat spektrofotometer.

3.6. Gambar Peralatan

Gambar 3.10. Instrumentasi ekstraksi padat-cair (Leaching)


Keterangan gambar:
1. Thermo Controler
2. Tombol pompa
3. Tombol Heater
4. Tombol motor penggerak
5. Box control
6. Gate valve
7. Baut penyambung
8. Sprayer
9. Kolom ekstraktor
10. Keranjang (tempat bahan)
11. Globe valve
12. Pompa
13. Check valve
14. Tangki pemanas
15. Heater
16. Flowmeter.

Gambar 3.11. Spektrofotometer


Keterangan:
1. Tombol turn on-off
2. Insert blank (larutan blanko)
3. Insert Unknown (larutan limbah)
4. Set tempat sampel
5. Skala pembacaan panjang gelombang (λ)
6. Set panjang gelombang
7. Kabel listrik
8. Set zero
9. Skala pembacaan (%T )
10. Set mode
11. Set Function
3.7. Data Pengamatan
Tabel 3.1. Data hasil pengamatan densitas larutan warna suhu 50°C.
No. t (menit) Piknometer Piknometer  (gr/ml)
 rata-rata
kosong isi

0,998
24,52
10 14,54 24,51 0,997
1. 0,9975
24,515 0,9975

24,51 0,997

15 14,54 24,48 0,994 0,9955


2.
24,495 0,9955

24,45 0,991

20 24,47 0,993
14,54 0,992

3. 24,46 0,992

24,49 0,995

25 24,49 0,995
14,54 0,995

4. 24,49 0,995

24,4 0,986

5. 30 14,54 24,49 0,995 0,9905

24,445 0,9905
Tabel 3.2. Data hasil pengamatan densitas larutan warna suhu 80°C.
t Piknometer Piknometer
No.    rata-rata
(menit) kosong isi

0,993
24,47
1. 10 14,54 24,46 0,992 0,9925
24,465 0,9925

24,45 0,991

2. 15 14,54 24,46 0,992 0,9915

24,455 0,9915

24,46 0,992
3. 20 14,54 24,47 0,993 0,9925

24,465 0,9925

24,48 0,994

4. 25 14,54 24,47 0,993 0,9935

24,475 0,9935

24,38 0,984
5. 30 14,54 24,44 0,99 0,987

24,41 0,987
Tabel 3.3. Data hasil pengamatan absorbansi larutan warna 50C
No. t (menit) %T Absorbansi A rata-rata

26 0,7

1. 10 26 0,7 0,6666667
25,5 0,6

24,5 0,61

2. 15 25,5 0,6 0,607

24,5 0,61

22 0,68

3. 20 22 0,68 0,68

22 0,68

19 0,73

4. 25 19 0,73 0,73

19 0,73

19 0,73

5. 30 20 0,7 0,715

19,5 0,715
Tabel 3.4. Data hasil pengamatan absorbansi larutan warna 80C
No. t (menit) %T Absorbansi A rata-rata

8 1,1

1. 10 8 1,1 1,1
8 1,1

6 1,2

2. 15 6 1,2 1,2

6 1,2

5,5 1,25

3. 20 6 1,2 1,233

5,5 1,25

5 1,3

4. 25 5,5 1,25 1,283

5 1,3

5,5 1,25

5. 30 5 1,3 1,283

5 1,3

Tabel 3.6. Data hasil pengamatan absorbansi larutan warna pada suhu 50 oC pada  455
No t (menit) Absorbansi

1 10 0,667

2 15 0,607

3 20 0,680

4 25 0,730

5 30 0,715
Tabel 3.7. Data hasil pengamatan absorbansi larutan warna pada suhu 80 oC pada  455
No t (menit) Absorbansi

1 10 1,1

2 15 1,2

3 20 1,233

4 25 1,283

5 30 1,283

3.8. Hasil Perhitungan


Tabel 3.8. Hasil perhitungan regresi pada kalibrasi untuk larutan standart dengan
menggunakan Spektrofotometer
No. Konsentrasi Fe (ppm) (x) Absorbansi (y) x2 x .y

1 2 0,29 4 0,58

2 4 0,49 16 1,96

3 6 0,7 36 4,2

4 8 0,9 64 7,2

5 10 1,1 100 11

Σ 30 3,48 220 24,94


Tabel 3.9. Hasil perhitungan densitas larutan warna (g/mL) untuk waktu ekstraksi
10, 15, 20, 25, dan 30 menit pada suhu 50°C.

Volume Densitas
Waktu Suhu Piknometer Piknometer Densitas
rata-rata
(menit) (oC) kosong (g) isi (g) piknometer (mL) (g/mL)
(g/mL)

24,52 0,998
10 50 14,54 24,51 10 0,997
0,9975
24,515 0,9975

24,51 0,997
15 50 14,54 24,48 10 0,994 0,9955

24,495 0,9955

24,45 0,991

20 50 14,54 24,47 10 0,993 0,992

24,46 0,992

24,49 0,995
25 50 14,54 24,49 10 0,995 0,995

24,49 0,995

24,4 0,986

14,54 24,49 10 0,995 0,9905


30 50
24,445 0,9905
Tabel 3.10. Hasil perhitungan densitas larutan warna (g/mL) untuk waktu ekstraksi 10,
15, 20, 25, dan 30 menit pada suhu 80°C.
Volume Densitas
Waktu Suhu Piknometer Piknometer Densitas
piknometer rata-rata
(menit) (oC) kosong (g) isi (g) (g/mL)
(mL) (g/mL)

0,993
24,47
10 80 14,54 24,46 10 0,992 0,9925
24,465 0,9925

24,45 0,991

15 80 14,54 24,46 10 0,992 0,9915

24,455 0,9915

24,46 0,992
20 80 14,54 24,47 10 0,993 0,9925

24,465 0,9925

24,48 0,994

14,54 24,47 10 0,993 0,9935


25 80
24,475 0,9935

24,38 0,984
14,54 24,44 10 0,99 0,987
30 80
24,41 0,987
Tabel 3.11. Hasil perhitungan konsentrasi Fe (ppm) pada larutan warna pada suhu 50 °C.

Waktu Absorbansi Konsentrasi Fe


(menit) (rata-rata) (ppm)

0,667 5,714
10
15 0,607 5,123

20 0,68 5,842

25 0,73 6,334

30 0,715 6,187

Tabel 3.12. Hasil perhitungan konsentrasi Fe (ppm) pada larutan warna pada suhu 80°C.

Waktu Absorbansi Konsentrasi Fe


(menit) (rata-rata) (ppm)

10 1,100 9,980

15 1,2 10,966

20 1,233 11,291

25 1,283 11,783

30 1,283 11,783

3.9. Daftar Grafik

1,2
1 y = 0,1015x + 0,087
Absorbansi

0,8 R² = 0,9999
0,6
0,4
0,2
0
0 5 10 15
Konsentrasi Fe (ppm)

Grafik 3.1. Menentukan regresi kalibrasi spektrofotometri


7
6
5 y = 0.0019x + 0.417
Absorbansi R² = 0.118
4
3
2
1
0
0 5 10 15 20 25 30 35
Waktu (menit)

Grafik 3.2. Hubungan absorbansi dengan waktu pada suhu 50 oC

14
12
10 y = 0,0885x + 9,3911
Absorbansi

R² = 0,8801
8
6
4
2
0
0 5 10 15 20 25 30 35
Waktu (menit)

Grafik 3.3 Hubungan absorbansi dengan waktu pada suhu 80 oC


7
6
Konsentrasi Fe (ppm) 5 y = 0,0432x + 4,9773
R² = 0,52
4
3
2
1
0
0 5 10 15 20 25 30 35
Waktu (menit)

Grafik 3.4. Hubungan konsentrasi dengan waktu pada suhu 50 oC

14
12
Konsentrasi Fe (ppm)

10
y = 0.0286x + 3.8324
8 R² = 0.969
6
4
2
0
0 5 10 15 20 25 30 35
Waktu (menit)

Grafik 3.5 Hubungan konsentrasi dengan waktu pada suhu 80 oC


3.10. Pembahasan
- Pada kurva standart y = ax + b menyatakan bahwa hubungan konsentrasi larutan
(x) dan absorbansi (y) dalam penentuan kadar zat warna pada berbagai variabel
terdapat pada Grafik 3.1. Hubungan antara konsentrasi larutan (x) dan absorbansi
(y) dalam penentuan persamaan kalibrasi konsentrasi Fe didalam larutan dengan
persamaan y = 0,1015x + 0,087.
- Pada Grafik 3.2. Hubungan antara absorbansi dengan waktu pada suhu 50 oC sesuai
teori adalah berbanding lurus, tetapi pada percobaan di suhu 10 menuju 20 menit
hasilnya tidak sesuai dengan teori. Kemungkinan hal ini disebabkan karena pada
waktu tersebut pelarut air kurang maksimal dalam mengekstrak zat warna pada
bayam merah, juga kemungkinan dikarenakan terdapat penurunan suhu pada proses
pengadukan bahan di dalam kolom ekstraksi dan pengaruh pada efisiensi alat
sehingga mempengaruhi hasil ekstraksi tersebut.
- Pada Grafik 3.3. Hubungan antara absorbansi dengan waktu pada suhu 80 oC secara
teori adalah berbanding lurus. Pada grafik tersebut menunjukkan grafik yang
berbanding lurus artinya semakin lama waktu ekstraksi maka nilai absorbansi akan
semakin meningkat.
- Pada Grafik 3.4. Hubungan antara konsentrasi Fe (ppm) dengan waktu pada suhu
50 oC sesuai teori adalah berbanding lurus, tetapi pada percobaan suhu 50 oC
hasilnya tidak sesuai dengan teori. Dimana pada waktu 10 menit menuju 15 menit
mengalami penuruan sedangkan pada waktu 15 menit menuju 20 menit mengalami
kenaikan. Pada waktu 20 menit menuju 25 menit mengalami kenaikan sampai
waktu 30 menit.
- Pada Grafik 3.5. Hubungan antara konsentrasi Fe (ppm) dengan waktu pada suhu
80 oC sesuai teori berbanding lurus. Dimana pada waktu 10 menit sampai 30 menit
mengalami kenaikan.
3.11. Kesimpulan
- Dalam percobaan ini, pengaruh lama waktu ekstraksi terhadap hasil ekstrak yang
didapat tidak berbanding lurus. Seharusnya sesuai dengan teori semakin lama waktu
ekstrak maka semakin banyak hasil ekstrak yang didapat namun data yang didapat
pada percobaan mengalami ketidakstabilan.
- Pengaruh antara suhu operasi terhadap hasil ekstrak yang didapat tidak berbanding
lurus dimana suhu yang digunakan adalah 50 oC dan 80 oC. Hal ini menunjukkan
data tidak sesuai dengan teori dimana secara teori semakin tinggi suhu operasi yang
digunakan maka hasil ekstrak yang didapat akan semakin besar.
DAFTAR PUSTAKA

Aji, Amri., Meriatna., Anita. 2013. Pembuatan Pewarna Makanan dari Kulit Buah
Manggis dengan Proses Ekstraksi. Aceh : Fakultas Teknik Universitas
Malikussaleh Aceh
Devita, D.P., Djarot., Fredy. 2017. Perbandingan Kondisi Optimum Pereduksi Natrium
Tiosulfat (Na2SO3) dan Hidroksilamin Hidroklorida (NH2OH.HCl) Pada Analisis
Kadar Total Besi Secara Spektrofotometri UV-Vis. Surabaya: Jurusan Kimia
Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)
Diana, Ari., dkk. 2012. Polaritas Pelarut Sebagai Pertimbangan Dalam Pemilihan
Pelarut Untuk Ekstraksi Minyak Bekatul Dari Bekatul Varietas Ketan (Oriza Sativa
Gatinosa). Surakarta: Univeristas Sebelas Maret Surakarta
Geankoplis, C. J. 1997. Transport Processes and Unit Operations 3rd Edition. Englewood
Cliffs, NJ. U.S.A.: Prentice-Hall Inc
Guenther. 1987. Minyak Atsiri Jilid 1. Jakarta: Universitas Indonesia (UI) Press
Kumar, Arum., Vengatasalam. 2015. Mineral Benefication by Heap Leaching Technique
In Mining. India: National Institutte of Technology Karnataka Suratkhal India
McCabe, W.L. Smith,J.C. and Harriot., P,. 2000. Unit Operation of Chemical
Engineering 6th .ed. New York: McGraw Hill
Mirwan, Agus. 2013. Keberlakuan Model HB-GFT- Sistem N-Heksana-MEK-AIR Pada
Ekstarksi Cair-Cair Kolom Isian. Banjarmasin: Universitas Lambung Mangkurat
Mulyaningsih, TR. 2009. Kandungan Unsur Fe dan Zn Dalam Pangan Produk Pertanian,
Peternakan, dan Perikanan dengan Metode k0- AANI. Tangerang: Pusat Teknologi
Bahan Industri Nuklir BATAN
Prayudo, A.N, dkk. 2015. Koefisien Transfer Massa Kurkumin dari Temulawak.
Surabaya: Jurusan Teknik Kimia Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai