Anda di halaman 1dari 19

BAB II

PROSES TURUNNYA AL-QUR’AN

A. Proses Turunnya Al-Qur’an


Al-Qur’an Al-Karim diturunkan oleh Allah SWT dalam tiga fase, yaitu:
1. Nuzul Al-Qur’an ke Lauh Mahfuzh
Keberadaan Al-Qur’an di Lauh Mahfuzh disebutkan secara jelas di dalam
Al-Qur’an. Allah SWT berfirman:

)٢٢( ٍ‫) فِيْ َل ْو ٍح مَّحْ فُ ْوظ‬٢١( ‫َب ْل ه َُو قُرْ ٰانٌ َّم ِج ْي ۙ ٌد‬
Artinya: “Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al-Qur’an yang
mulia . Yang tersimpan dalam Lauh Mahfuzh.” (Q.S. Al-Buruj [85]: 21-22)

Menurut Ibn Katsir, Al-Qur’an yang mulia, berada di Lauh Mahfuzh,


artinya berada disuatu tempat yang tinggi, yang terpelihara dari segala bentuk
penambahan, pengurangan, pemalsuan dan perubahan.
Kapan dan bagaimana cara Al-Qur’an diturunkan ke Lauh Mahfudz
adalah masalah ghaib (hanya Allah SWT yang mengetahuinya). Yang jelas kata
Sayyid Quthub, keberadaan Al-Qur’an di Lauh Mahfuzh menunjukan bahwa Al-
Qur’an terpelihara dan akan selalu menjadi rujukan akhir, yang mencangkup
segala persoalan, dan kepadanyalah dikembalikan semua perkataan.
Menurut az-Zarqani Al-Qur’an diturunkan ke Lauh Mahfudz sekaligus,
tidak bertahap seperti tatkala diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw argumen
az-Zarqani: Pertama, teks ayat sendiri menunjukan hal itu. Kedua, tidak ada
alasan Al-Qur’an harus diturunkan secara bertahap pada fase ini, karena hikmah
diturunkannya Al-Qur’an secara bertahap tidak akan terwujud dan juga tidak
diperlukan.

2. Nuzul Al-Qur’an ke baitul Izzah


Dari Lauh Mahfudz, Al-Qur’an diturunkan sekaligus ke Baitul Izzah di
Langit Dunia. Berdasarkan Firman Allah berikut ini:

4
5

)٣( ‫ِا َّنٓا اَ ْن َز ْل ٰن ُه ِفيْ َل ْي َل ٍة م ُّٰب َر َك ٍة ِا َّنا ُك َّنا ُم ْنذ ِِري َْن‬
Artinya: “Sesungguhnya kami menurunkannya pada suatu malam yang
diberkahi dan sesungguhnya kamilah yang memberi peringatan.” (Q.S. Ad-
Dukhan [44]: 3)

)١( ‫ِا َّنٓا اَ ْن َز ْل ٰن ُه فِيْ َل ْي َل ِة ْال َق ْد ِر‬


Artinya: “Sesungguhnya kami telah menurunkanyya (Al-Qur’an) pada
malam kemuliaan.” (Q.S. Al-Qadar [97]: 1)

)١٨٥ .(.... ُ‫ِٓي ا ُ ْن ِز َل ِف ْي ِه ْالقُرْ ٰان‬


ْٓ.ْ ‫ان الَّذ‬
َ ‫ض‬َ ‫َش ْه ُر َر َم‬
Artinya: “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan,
bulan yang didalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an….” (Q.S. Al-Baqarah
[2]: 185)

Tiga ayat diatas menjelaskan bahwa Al-Qur’an diturunkan pada satu


malam yang diberkahi, yaitu malam kemuliaan (lailatul qadr) dan malam itu
adalah salah satu dari malam-malam Ramadhan. Menurut az-Zarqani yang
dimaksud dengan turunnya Al-Qur’an dalam tiga ayat diatas bukanlah turunnya
kepada Nabi Muhammad Saw, tetapi turun yang lain, karena sebagaimana
diketahui, Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw secara berangsur-
angsur bukan hanya satu malam saja. Beberapa riwayat yang shahih dari Ibn
Abbas menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah turunnya Al-Qur’an dari Lauh
Mahfuzh ke Baitul Izzah di Langit Dunia.
Beberapa riwayat yang dimaksud oleh az-Zarqani tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Riwayat Hakim
Artinya:“Dari Sa’id ibn Jâbir, dari Ibn ‘Abbâs, dia berkata: Al-Qur’an itu
dipisahkan dari az-Dzikr, lalu diletakkan di Bait al-‘Izzah di Langit Dunia; Maka
Jibril AS mulai menurunkannya kepada Nabi SAW dan membacanyakannya
secara tartil.”
b. Riwayat Nasa’I, Hakim, dan Baihaqi
Artinya: “Dari Daud ibn Abi Hind, dari ‘Ikrimah, dari Ibn ‘Abbâs, dia berkata:
Al-Qur’an diturunkan sekaligus ke Langit Dunia pada malam Qadar, kemudian
6

diturunkan sesudah itu dalam 20 tahun. Kemudian dia membaca firman Allah
SWT (Dan Al Quran itu telah kami turunkan dengan berangsur-angsur agar
kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan kami
menurunkannya bagian demi bagian-Al-Isrâ’ 106)”
c. Riwayat Baihaqi, Hakim dan lain-lain
Artinya: “Dari Mansur ibn al-Mu’tamir, dari Sa’îd ibn Jâbir, dari Ibn ‘Abbâs
RA, tentang firman Allah (“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al
Quran) pada malam kemuliaan.” (Q.S. AlQadar 97:1), dia berkata: Al-Qur’an
diturunkan sekaligus pada malam Qadar ke Langit Dunia, tempat turunnya
secara berangsurangsur. Lalu Allah menurunkannya kepada Rasulullah SAW
bagian demi bagian. Allah SWT berfirman: (Berkatalah orangorang yang kafir:
“Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?”;
demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya
secara tartil (teratur dan benar). (Q.S. Al-Furqân 25:32)
Ketiga riwayat Hakim, Nasa’i, dan Baihaqi diatas, yang menyatakan
bahwa Al-Qur’an diturunkan sekaligus ke Baitul Izza pada malam qadar
semuanya bersumber dari Ibn Abbas, bukan dari Rasulullah SAW. Artinya dari
segi sanad riwayatnya berstatus maukuf, bukan marfu’. Akan tetapi menyangkut
masalah ghaib, dimana Ibn Abbas tidak mungkin dapat mengetahuinya sendiri
tanpa pemberitahuan dari Nabi Muhammad Saw, maka riwayat tersebut sekalipun
maukuf dia bersifat marfu’.

3. Nuzul Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW


Dari Baitul Izzah, di Langit Dunia, kemudian Al-Qur’an diturunkan
kepada Nabi Muhammad Saw pertama kali pada malam qadar, malam yang
diberkati, yaitu pada salah satu malam bulan Ramadhan. Setelah itu Al-Qur’an
diturunkan secara berangsur angsur selama kurang lebih 23 tahun.
Sebagian ulama seperti asy-Syabi, sebagaimana dikutip al-Qaththan,
berpendapat berbeda dengan Ibn Abbas bahwa tiga ayat sebelumnya (Q.S 44;3,
97;1, dan 2;185) tidaklah menunjukkan turunnya Al-Qur’an dari Lauh Mahfuzh
7

ke Baitul Izzah di Langit Dunia, tetapi menunjukkan permulaan turunnya Al-


Qur’an kepada Rasulullah SAW. Permulaan turunnya Al-Qur’an itu terjadi pada
malam qadar malam yang diberkati, yang terjadi pada bulan Ramadhan. Sesudah
itu Al-Qur’an diturunkan secara berangsur angsur kurang lebih 23 tahun.
Dan juga, keistimewaan bulan Ramadhan lailatul qadar yang merupakan
malam yang diberkahi itu tidak akan kelihatan oleh manusia kecuali apabila yang
dimaksudkan oleh ketiga ayat diatas adalah turunnya Al-Qur’an kepada
Rasulullah SAW.
Ayat yang pertama kali diturunkan kepada Rasulullah SAW menurut
pendapat yang paling popular yang kuat berdasarkan H.R. Bukhari dan Muslim
dari Aisyah Ummul Mu’minin adalah lima ayat pertama surat Al-‘Alaq.
Kapankanh lima ayat pertama itu diturunkan? Menurut para mufassir dan
ulama Ulumul Qur’an, lima ayat tersebut diturunkan pada malam 17 Ramadhan.
Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan surat Al-Anfal ayat 41:

‫رْ ٰبى َو ْال َي ٰت ٰمى‬..ُ‫ذِى ْالق‬.ِ‫ ْو ِل َول‬.‫ ٗه َولِلرَّ ُس‬.‫اَنَّ هّٰلِل ِ ُخم َُس‬.‫يْ ٍء َف‬.‫ا َغ ِن ْم ُت ْم مِّنْ َش‬..‫وا اَ َّن َم‬.ْٓ .‫َواعْ َل ُم‬
ٰ ‫هّٰلل‬
ِ .‫ْن هّٰللاالس َِّبي ِْل ِانْ ُك ْن ُت ْم ٰا َم ْن ُت ْم ِبا ِ َو َمآ اَ ْن َز ْل َنا َعلى َع ْب ِد َنا َي ْو َم ْالفُرْ َق‬
‫و َم‬.ْ .‫ان َي‬. ِ ‫َو ْال َم ٰس ِكي‬
ِ ‫ْن َواب‬
)٤١( ‫مْع ۗ ِن َو ُ َع ٰلى ُك ِّل َشيْ ٍء َق ِد ْي ٌر‬ ٰ ‫ْال َت َقى ْال َج‬
Artinya: “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh
sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul,
kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu
beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami
(Muhammad) di hari Furqân, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Yang dimaksud dengan hari Al-Furqan ialah hari jelasnya kemenangan


orang islam dan kekalahan orang kafir, yaitu hari bertemunya dua pasukan di
peperangan Badar, pada, hari Jum’at 17 Ramadhan tahun ke-2 Hijriah. Tanggal
itulah (bukan tahunnya) yang dugunakan oleh para mufassir untuk menentukan
tanggal turunnya Al-Qur’an pertama kali yang kemudian dikenal sebagai hari
Nuzulul Quran.

B. Hikmah Diturunkannya Al-Qur’an secara Berangsur-angsur


8

Kitab suci Al-Qur’an diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi


Muhammad Saw secara berangsur-angsur dalam dua priode, Makkah dan
Madinah. Priode Makkah dimulai pada malam 17 Ramadhan selama 12 tahun 5
bulan 13 hari. Sedangkan priode Madinah dimulai tanggal 1 Rabi’ al-Awwal
tahun ke-10 dari Hijrah selama 9 tahun 9 bulan 9 hari. Jadi total lama kedua
priode tersebut adalah 22 tahun 2 bulan dan 22 hari. Tentang Al-Qur’an
diturunkan berangsur-angsur tersebut dijelaskan oleh Allah SWT dalam firman-
Nya:,

ٍ ‫اس َع ٰلى م ُْك‬


)١٠٦( ‫ث وَّ َن َّز ْل ٰن ُه َت ْن ِز ْياًل‬ ِ ‫َوقُرْ ٰا ًنا َف َر ْق ٰن ُه لِ َت ْق َراَهٗ َع َلى ال َّن‬
Artinya: “Dan Al Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-
angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami
menurunkannya bagian demi bagian.” (Q.S. Al-Isra [17]: 106)

Turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur itu mendapatkan celaan dari


orang-orang kafir. Allah SWT berfirman:

َ ِ‫ذل‬.ٰ .‫دَ ًة ۛ َك‬..‫ة وَّ ا ِح‬.


َ ‫ك ۛ لِ ُن َثب‬
َ ‫ؤا َد‬.َ .ُ‫هٖ ف‬..‫ِّت ِب‬
‫ك‬ ً .‫رْ ٰانُ جُمْ َل‬..ُ‫ ِه ْالق‬.‫َو َقا َل الَّ ِذي َْن َك َفر ُْوا َل ْواَل ُن ِّز َل َع َل ْي‬
)٣٢( ‫َو َر َّت ْل ٰن ُه َترْ ِت ْياًل‬
Artinya: “Berkatalah orang-orang yang kafir: “Mengapa Al Qur'an itu
tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?”; demikianlah supaya Kami
perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan
benar).” (Q.S.Al-Furqan [25]: 32)

Dalam anggapan orang-orang kafir, baik Ahlul Kitab maupun kaum


musyrikin, kitab-kitab yang datang dari Tuhan, lazimnya diturunkan secara
sekaligus. Mereka meragukan Al-Qur’an, sebab diturunkan dengan cara-cara
yang dianggapnya berbeda dari cara penurunan kitab-kitab samawi lainnya.
Karena itu, mereka mengemukakan pertanyaan: “Kenapa Al-Qur’an tidak
diturunkan sekaligus?” Dalam ayat di atas Allah menjelaskan salah satu hikmah
Al-Qur’an diturunkan secara bertahap, yaitu untuk menguatkan hati Nabi dalam
menerima dan menyampaikan kalam Allah kepada umat manusia. Dan juga
9

dengan seringnya Nabi menerima wahyu, hati Nabi semakin kuat menghadapi
celaan dan tantangan orangorang kafir.

Secara tidak langsung ayat ini membenarkan bahwa kitab-kitab suci


sebelum Al-Qur’an seperti Taurat, Zabur, dan Injil, tidak diturunkan secara
berangsur-angsur atau terpisah-pisah, tetapi diturunkan sekaligus. Andaikata
kitab-kitab suci sebelum Al-Qur’an diturunkan juga secara berangsur-angsur,
tentu Allah akan meluruskan pandangan mereka. Akan tetapi nyatanya Allah
tidak membantahnya, malah menjelaskan hikmah kenapa Al-Qur’an diturunkan
secara berangsur-angsur. Sebagai perbandingan, tatkala orang-orang kafir
mencela Nabi kenapa makan minum dan berjalan-jalan di pasar (Q.S. Al-Furqan
[25]: 27) seolah-olah dalam anggapan mereka nabi-nabi sebelumnya tidak makan
dan berjalan-jalan di pasar, maka Allah menjawabnya bahwa rasul-rasul sebelum
Muhammad pun makan dan berjalan-jalan di pasar (Q.S. Al-Furqan [25]: 20)

Di samping memantapkan hati Nabi, turunnya Al-Qur’an secara


berangsur-angsur juga merupakan mukjizat bagi beliau, untuk menjawab dan
mematahkan tantangan orang-orang kafir. Seringkali mereka mengajukan
pertanyaan-pertanyaan dengan maksud melemahkan dan menantang, juga untuk
menguji kenabian Rasulullah. Mereka pernah menanyakan tentang kiamat kapan
datangnya, menanyakan tentang Zul Qarnain, dan juga pernah menantang Nabi
untuk menurunkan azab dan sebagainya, maka turunlah ayat yang menjawabnya.

Turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur juga memudahkan Nabi


untuk membacakannya kepada umat, menjelaskan dan memberikan contoh-
contoh pelaksanaannya. Bayangkan jika Al-Qur’an diturunkan sekaligus tentu
akan memberatkan Nabi jika harus membacakan dan menjelaskannya sekaligus,
mengingat betapa banyaknya ayat dengan segala pelajaran, petunjuk dan hukum
yang terkandung di dalamnya.

Bagi umat Islam sendiri, diturunkannya Al-Qur’an secara berangsur-


angsur (munajjaman) memudahkan mereka untuk menghafal, mencatat, dan
10

memahami Al-Qur’an. Kita bisa bayangkan, alangkah sukarnya (dengan sarana


tulis menulis yang sangat terbatas) menghafal dan mencatat sekaligus enam ribu
lebih ayat Al-Qur’an. Lebih dari itu, selain membebaskan umat dari kesulitan
teknis menghafal dan mencatat, dengan diturunkannya secara berangsur-angsur,
umat lebih mudah memahami dan menghayatinya karena Al-Qur’an turun
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dan merespon peristiwa-peristiwa
yang terjadi dalam kehidupan nyata. Sehingga Al-Qur’an betul-betul dapat
berfungsi menjadi petunjuk kehidupan.

Turunnya Al-Qur’an secara berangsung-angsur sangat besar pengaruhnya


dalam proses dakwah Islam dan pembentukan umat. Pada priode Makkah
diturunkan lebih dahulu ayat-ayat yang berhubungan dengan tauhid dan keadilan
sosial. Barulah pada priode Madinah diturunkan ayat-ayat tentang hukum dalam
berbagai aspek kehidupan, baik hukum keluarga, tentang harta benda, pidana dan
pemerintahan. Ayat-ayat tentang hukum pun diturunkan secara bertahap sesuai
dengan kondisi masyarakat pada waktu itu, seperti tahapan penurunan ayat
tentang riba dan khamar.

Di atas semua itu, turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur adalah


bukti yang pasti bahwa Al-Qur’an al-Karim diturunkan dari sisi Yang Maha
Bijaksana dan Maha Terpuji. Sekalipun ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan sebagian
demi sebagian, sedikit demi sedikit dalam rentang waktu lebih kurang 23 tahun,
tetapi rangkaian ayat demi ayat, surat demi suratnya begitu serasi, padat, cermat,
satu sama lain saling bertaut dan terjalin bagaikan untaian mutiara yang indah
yang belum pernah ada bandingannya dalam perkataan manusia. Andaikata Al-
Qur’an ini perkataan manusia yang disampaikan dalam berbagai situasi, peristiwa
dan kejadian, tentulah di dalamnya terjadi ketidak serasian dan saling
bertentangan satu dengan yang lain, serta sulit terjadi keseimbangan.

Ringkasnya hikmah diturunkannya Al-Qur’an secara berangsur-angsur


adalah sebagai berikut:
11

a. Untuk menguatkan hati Nabi Muhammad Saw dalam menerima dan


menyampaikan kalam Allah kepada umat manusia. Dan juga dengan
seringnya Nabi menerima wahyu, hati Nabi semakin kuat menghadapi celaan
dan tantangan orang-orang kafir.
b. Merupakan mukjizat bagi Nabi untuk menjawab dan mematahkan tantangan
orang-orang kafir.
c. Memudahkan Nabi untuk membacakannya kepada umat, menjelaskan dan
memberikan contoh-contoh pelaksanaannya.
d. Memudahkan umat pada masa itu untuk menghafal, mencatat, dan memahami
Al-Qur’an.
e. Memberikan pengaruhnya yang besar dalam proses dakwah Islam dan
pembentukan umat.
f. Merupakan bukti yang pasti bahwa Al-Qur’an al-Karim diturunkan dari sisi
Yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji.

C. Proses Pemeliharaan Al-Qur’an pada Zaman Rasulullah

Pemeliharaan al-Qur’an dapat dilakukan melalui dua metode, yaitu:


dengan cara menghafal dan dengan cara menulis atau mengkondifikasikannya.
Dalam literatur ulumul Qur’an dua metode ini dikenal dengan istilah jam’u al-
Qur’an yang terjemahan bebasnya dapat berarti pengumpulan Al-Qur’an.

Pemeliharaan Al-Qur’an pada masa Nabi Saw. Pada masa ini dilakukan
dengan cara hafalan seperti yang dilakukan oleh Nabi sendiri dan diikuti juga oleh
para sahabatnya, maupun secara penulisan yang dilakukan oleh para sahabat
pilihan atas perintah Nabi Muhammad Saw. Dalam hal ini, setiap nabi selesai
menerima ayat-ayat Al-Qur’an yang diwahyukan kepadanya, nabi lalu
memerintahkan kepada para sahabat tertentu untuk menuliskannnya disamping
juga untuk menghafalnya.
12

Selain itu perlu diakui pula bahwa bangsa arabpada masa turunnya Al-
Qur’an berbeda dalam budaya arab yang begitu tinggi, ingatan mereka sangat
kuat dan hafalannya cepat serta daya pikirnya begitu terbuka.  Begitu datang Al-
Qur’an kepada mereka dengan struktur bahasa yang indah dan luhur serta
mengandung ajaran yang suci, mereka merasa amat kagum, dan karenanya
mereka mencurahkan kekuatan untuk menghafal ayat-ayat Al-Qur’an. Mereka
putar haluan hafalannya dari bait-bait syair kepada Al-Qur’an yang menyejukkan
dan membangkitkan roh dan jiwa mereka.

Mereka saling berlomba dalam membaca dan mempelajari Al-Qur’an.


Segala kemampuanya dicurahkan untuk menguasai dan menghafal ayat-ayat Al-
Qur’an. Kemudian juga mengajarkannya kepada semua anggota keluarga (istri
dan anak) serta anggota masyarakat lainnya.

Adapun terhadap umat islam yang lokasi perkampungannya jauh dari


Rasulullah, diadakan utusan untuk mengajar dan membacakan ayat-ayat Al-
Qur’an yang diwahyukan serta kandungan ajarannya. Mereka itu terdiri dari para
ahli A-Qur’an, antara lain seperti Mush’ab bin Umair dan Ummi Maktum.
Keduanya diutus Nabi Saw. Kepada penduduk madinah pada masa sebelum
hijrah. Begitu pula Mu’adz bin Jabal diutus Nabi Saw kepada penduduk kota
Makkah pada masa sesudah hijrah. 

Rasulullah Saw Senantiasa membakar semangat umatnya untuk


menghidupkan gerakan pemasyarakatan Al-Qur’an, hingga tidak seorangpun dari
kalangan sahabat yang awam terhadap Al-Qur’an yang menjadi pedoman hidup
dan kehidupannya.

Ubadah bin Shamit menceritakan:” apabila ada seorang yang masuk islam,
maka Rasul segera menetapkan seorang daripada sahabatnya untuk menjadi
pengajar Al-Qur’an baginnya.

Dengan usaha seperti demikian, hampir seluruh sahabat Nabi hafal Al-
Qur;an, dan sebagian dari mereka telah menguasai Al-Qur’an dengan benar sesuai
13

dengan makna dan maksudnya yang diajarkan Rasul kepada mereka. Demikianlah
Allah Swt. Mengaruniakan kepada generasi pertama dari umat islam itu kekuatan
yang luar biasa.

Disamping itu semua, Al-Qur’an juga telah dijadikan Allah Swt. Sebagai
bacaan yang mudah untuk diingat dan dihafal, sebagaimana disebutkan dalam
surat Al-Qamar ayat 17 yang artinya:

“Dan sesungguhnya telah kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran,


maka adakah orang yang mengambil pelajaran? (QS Al-Qamar : 17)

Dengan demikian, maka memudahkan para sahabat pilihan yang hidup


sezaman dengannya sebagai penghafal Al-Qur’an, yang jumlah mereka tidak
sedikit. Diantara para penulis wahyu Al-Qur’an terkemuka adalah sahabat pilihan
yang ditunjuk Rasul dari kalanga orang yang terbaik dan indah tulisannya seperti
empat orang yang kemudian menjadi khalifah rasyidin ( Abu Bakar sidiq, Umar
bin Khattab , Utsman bin Affan Dan Ali bin Abu Tholib). Selain itu juga banyak
dari kalangan sahabat yang menuliskan Al-Qur’an atas kemauan mereka sendiri.

Penulisan Al-Qur’an pada masa nabi itu tidak terkumpul dalam satu
mushaf, yang ada pada seseorang belum tentu dimiliki oleh orang lain. Akan
tetapi yang jelas bahwa disaat Rasulullah Saw. Berpulang kerahmatullah, Al-
Qur’an telah dihafal dan ditulis dalam mushaf. Denga wafatnya Rasulullah, maka
berakhirlah masa turunya Al-Qur’an. Kemudian Allah mengilhamkan penulisnya
kepada para khalifah ar-rasydin sesuai denga janji-Nya yang benar kepada umat
tentang jaminan pemeliharaan Al-Qur’an sepanjang jaman.

D. Proses Pemeliharaan Al-Qur’an pada Zaman Khulafaur Rasyidin


1. Pemeliharaan Al-Qur’an di Masa Abu Bakar RA

Ketika Rasulullah SAW meninggal, Al-Qur’an belum dihimpun di dalam


satu mushaf karena masih menunggu kemungkinan adanya penghabisan sebagian
14

hukum dan tilawahnya. Ketika penurunan wahyu sudah terputus dengan


meninggalnya Rasulullah maka Allah mengilhamkan kepada para khalifah yang
terpimpin melakukan penghimpunan Al-Qur’an. Saat itu kondisi yang ada Al-
Qur’an hanya dihapal oleh para sahabat dan orang-orang yang terpilih, maka
sesuai dengan janji Allah SWT yang akan menjamin keterpeliharaannya bagi
ummat ini.

Pada hakekatnya Al Quran juga telah dihimpun pada masa Rasulullah


SAW atas petunjuk Jibril kepadanya, kemudian yang kedua masa Abu Bakar al-
Shiddiq dan ketiganya pada masa Usman bin Affan dengan penerbitan surat-
suratnya.

Pada masa Rasulullah SAW terdapat beberapa sahabat yang bertugas


sebagai penulis wahyu. Apabila diturunkan ayat-ayat Al-Qur’an, Nabi memanggil
mereka agar menulisnya diatas sarana penulisan yang ada pada waktu; satu
nashkah untuk disimpan di tempat Nabi SAW dan yang lainnya untuk penulis itu
sendiri. Pada waktu  Nabi SAW meninggal, lembaran-lembaran tulisan itu dan
yang lainnya berada pada istri-istri beliau .

Diceritakan bahwa Bukhari meriwayatkan di dalam shahihnya dari Zaid


bin Tsabit , ia berkata : “Abu Bakar ra memintaku datang berkenan dengan
kematian para sahabat di peristiwa Yamamah , pada saat itu Umar ra berada di
sisinya, lalu Abu Bakar berkata: “Sesungguhnya Umar ra datang kepadaku
mengatakan bahwa para penghapal Al-Qur’an banyak terbunuh di peristiwa
Yamamah dan sesungguhnya aku khawatir akan terbunuhnya para penghapal Al-
Qur’an (yang masih ada ini) di berbagai tempat lalu dengan itu banyak bagian Al-
Qur’an yang hilang; karena itu aku mengusulkan agar kamu memerintahkan
penghimpunan Al-Qur’an. Kemudian aku berkata pada Umar: “Bagaimana kita
akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW?
15

Lalu Umar berkata; “Demi Allah, ini adalah kebaikan”. Maka Umar pun
terus mendesakku sehingga Allah SWT melapangkan dadaku untuk itu dan aku
(sekarang) sependapat dengan Umar.

Zaid berkata bahwa, “Abu Bakar berkata: Sesungguhnya kamu adalah


pemuda yang bijaksana, kami tidak menyangsikanmu, karena kamu pernah
menjadi penulis wahyu bagi Nabi SAW maka periksalah Al-Qur’an dan
himpunlah”. Demi Allah, seandainya mereka menugasiku untuk memindahkan
salah satu gunung, sungguh itu tidaklah lebih berat bagiku ketimbang apa yang ia
perintahkan kepadaku yaitu menghimpun Al-Qur’an.

Jati diri Zaid bin Tsabit sendiri begitu istimewa sehingga tak heran Abu
Bakar dan Umar diberikan kelapangan dada untuk memberikan tugas tersebut
pada Zaid bin Tsabit, yang mana sebagai pengumpul dan pengawas komisi ini
Zaid bin Tsabit  dibantu Umar sebagai sahibul fikrah yakni pembantu khusus.
Beberapa keistimewaan tersebut diantaranya adalah:

a. Berusia muda, saat itu usianya di awal 20-an (secara fisik & psikis kondisi
prima).
b. Akhlak yang tak pernah tercemar, ini terlihat dari pengakuan Abu Bakar yang
mengatakan bahwa, “Kami tidak pernah memiliki prasangka negatif terhadap
anda.”
c. Kedekatannya dengan Rasulullah SAW, karena semasa hidup Nabi, Zaid
tinggal berdekatan dengan beliau.
d. Pengalamannya di masa Rasulullah SAW masih hidup sebagai penulis wahyu
dan dalam satu kondisi tertentu pernah Zaid berada di antara beberapa sahabat
yang sempat mendengar bacaan Al-Qur’an malaikat jibril bersama Rasulullah
SAW di bulan Ramadhan.
e. Kecerdasan yang dimilikinya menunjukkan bahwa tidak hanya karena
memiliki  vitalitas dan energi namun kompetensinya dalam kecerdasan
spiritual dan intelektual.
16

Di sebutkan Abu Bakar RA mengatakan pada Zaid, “Duduklah di depan


pintu gerbang Masjid Nabawi jika ada orang membawa (memberi tahu) anda
tentang sepotong ayat dari Kitab Allah SWT dengan kesaksian 2 orang maka
tulislah. Hal ini bermakna bahwa kesaksian 2 orang saksi erat hubungannya
dengan hafalan yang diperkuat dengan bukti tertulis dimana Qur’an diwahyukan.
Bukan itu saja 2 orang sahabat tersebut juga menyaksikan bahwa orang yang
menerima ayat tersebut seperti yang diperdengarkan Rasulullah SAW. Tujuannya
adalah agar menerima sesuatu yang telah ditulis di hadapan Nabi bukan hanya
berdasarkan hafalan semata-mata.

Waktu pengumpulan Zaid terhadap Al-Qur’an sendiri sekitar 1 tahun, ini


dikarenakan dalam mengerjakannya Zaid sangat hati-hati sekalipun ia seorang
pencatat wahyu yang utama dan hafal seluruh Al-Qur’an. Dalam melakukan
pekerjaannya ini Zaid berpegangan pada:

a. Ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis di hadapan Nabi Muhammad SAW dan


yang disimpan di rumahnya
b. Ayat-ayat yang dihafal oleh para sahabat yang hapal Al-Qur’an

Buah hasil kerja Zaid sangat teliti dan hati-hati sehingga memiliki akurasi
yang sangat tinggi. Hal ini dikarenakan  :

a. Menulis hanya ayat Al-Qur’an yang telah disepakati mutawatir riwayatnya


b. Mencakup semua ayat Al-Qur’an yang tidak mansukh at-tilawah
c. Susunan ayatnya seperti yang dapat kit abaca pada ayat-ayat yang tersusun
dalam Al-Qur’an sekarang ini
d. Tulisannya mencakup al-ahruf al-sab’ah sebagaimana Al-Qur’an itu
diturunkan
e. Membuang segala tulisan yang tidak termasuk bagian dari Al-Qur’an.

Senada dengan itu, Az Zargani menyebutkan bahwa ciri-ciri penulisan Al-


Qur’an pada masa khalifah Abu Bakar ini adalah :
17

a. Seluruh ayat Al-Qur’an dikumpulkan dan ditulis dalam satu mushaf


berdasarkan penelitian yang cermat dan seksama
b. Tidak termasuk di dalamnya ayat-ayat Al-Qur’an yang telah mansukh atau di
Nasakh bacaannya
c. Seluruh ayat Al-Qur’an yang ditulis di dalamnya telah diakui
kemutawatirannya.

Kekhusususan hasil kerja Zaid sendiri membedakan dengan catatan para


sahabat yang menjadi dokumentasi pribadi. Catatan mereka yang masih
mencakup ayat-ayat yang mansukh at-tilawah, ayat-ayat yang termasuk kategori
riwayat al-ahad, catatan doa dan tulisan yang diklasifikasikan sebagai sebagai
tafsir dan takwil.

Maka sebagaimana Allah telah melapangkan dada Abu Bakar dan Umar
sebelumnya dan akhirnya Allah pulalah yang melapangkan dadaku maka aku
periksa Al Qur’am dan aku menghimpunnya dari pelepah kurma, batu-batu tulis
dan dada-dada para sahabat sehingga aku mendapati akhir surat At-Taubah pada
Abu Khuzaimah al-Anshari ; aku tidak mendapatkannya pada sahabat lainnya ,
yaitu ayat laqad ja’akum rasulu(n)…..  sampai akhirAt-Taubah. Maka mushaf-
mushaf itu disimpan oleh Abu Bakar sampai ia meninggal kemudian disimpan
oleh Umar sampai ia meninggal dan selanjutnya disimpan oleh Hafsah binti
Umar.

2. Pemeliharaan Al-Qur’an  dari  Masa Usman bin Affan r.a Hingga Sekarang

Pada masa khalifahan Usman bin Affan ra umat Islam mulai menyebarkan
jihad Islam ke arah utara sampai Azerbaijan dan Armenia. Berasal dari suku
kabilah dan provinsi yang beragama sejak awal pasukan tempur memiliki dialek
yang berlainan. Nabi Muhammad SAW sendiri memang telah mengajarkan
membaca Al-Qur’an berdasarkan dialek mereka masing-masing lantaran dirasa
sulit untuk meninggalkan dialek mereka secara spontan. Namun kemudian adanya
18

perbedaan dalam penyebutan atau membaca Al-Qur’an yang kemudian


menimbulkan kerancuan dan perselisihan dalam masyarakat.

Bukhari  meriwayatkan dari Anash  bahwa Hudzaifah bin al-Yaman


pernah datang kepada Usman , waktu itu Hudzaifah memimpin penduduk Syam
dan Iraq dalam menaklukkan Armenia dan Azarbaijan, maka ia terkejut oleh
perselisihan mereka (antara penduduk Syam dan Iraq) dalama qira’ah 135, lalu ia
berkata pada Usman, “Selamatkanlah umat ini sebelum mereka berselisih
sebagaimana perselisihan orang-orang Yahudi dan Nashrani”.
Maka Usman meminta pada Hafsah agar meminjamkan mushaf-nya untuk
ditranskrip dalam beberapa mushaf kemudian Usman meminta pada Zaid bin
Tsabit, Abdullah bin al-Zubair , Sa’d bin Abi Waqqash dan Abdul Rahman bin al-
Harits bin Hisyam lalu mereka pun menterjemahkan kepada beberapa mushaf  .
Usman berkata kepada kepada 3 tokoh Quraisy tersebut,  “Apabila kalian bertiga
berselisih dengan Zaid tentang sesuatu dari Al-Qur’an maka tulislah ia dengan
bahasa Quraisy karena ia diturunkan dengan bahasa mereka.”

Pesan ini mereka lakukan dengan baik. Kemudian setelah penulisan


beberapa mushaf tersebut maka dikirimkan setiap mushaf ke berbagai pusat
Islam, masing-masing salinan Al-Qur’an ini disediakan sebagai otoritas rujukan
bagi masyarakat yang dari situ mereka membuat lagi salinannya dan kepadanya
mereka merujukkan bila muncul perbedaan pembacaan mushaf antar kota.
Adapun mushaf di Madinah sebagai mushaf al-Iman yang menjadi rujukan
terakhir umat Islam. 

Ide tentang penyeragaman bacaan Al-Qur’an sendiri digulirkan sahabat


Huzaifah bin al Yaman. Kesaksian Huzaifah tentang perselisihan umat Islam
disebabkan perbedaan bacaan ditanggapi oleh Usman dengan positif. Ia
menyadari bahwa perbedaan bacaan ini muncul lantaran adanya perbedaan bacaan
para guru yang mengajarinya berpangkal pada beberapa alternatif yang
dimunculkan oleh sab’atu ahruf.
19

Dalam kaitan ini seperti yang dikutip Sirojuddin dalam Nur Faizah
berkata bahwa Usman tidak bermaksud seperti maksud Abu bakar dalam
mengumpulkan Al-Qur’an namun hanya ingin menyatukan versi qira’at umat
Islam ke dalam Qira’at tetap yang diketahui berasal dari Rasulullah SAW serta
membatalkan berbagai Qira’at yang bukan dari beliau. Sehingga Usman telah
memberikan ruang ragam dialeknya menjadi satu dialek saja yakni dialek quraisy.

Adapun mushaf Hafsah binti Umar kelak dimusnahkan pada masa


pemerintahan Marwan bin Hakam dari Dinashti Umayyah. Tindakan Marwan
dilakukan demi mengamankan keseragaman mushaf Al-Qur’an yang telah
diupayakan oleh Khalifah Usman serta untuk menghindari keragu-raguan umat
Islam di masa yang akan datang terhadap mushaf Al-Qur’an jika masih terdapat
dua macam mushaf yakni mushaf Usman dan mushaf Hafsah.

Az Zarqani  sendiri mencatat bahwa ciri-ciri mushaf yang disalin pada


Khalifah Usman adalah sebagai berikut:

a. Ayat-ayat Al-Qur’an yang tertulis di dalamnya seluruhnya berdasarkan


riwayat yang mutawwir berasal dari Rasulullah
b. Tidak terdapat di dalamnya ayat-ayat Al Quran yang mansukh atau diNasakh
bacaannya
c. Susunan menurut urutan wahyu
d. Tidak terdapat di dalamnya yang tidak tergolong pada Al-Qur’an seperti apa
yang ditulis oleh sebagian sahabat dalam mushaf masing-masing sebagai
penjelasan atau keterangan terhadap ayat-ayat tertentu
e. Mushaf yang ditulis pada masa khalifah usman tersebut mencakup “tujuh
huruf” dimana Al-Qur’an diturunkan dengannya

Dari penjelasan ini maka periodesasi pengumpulan Al Quran tersebut


terdapat perbedaan yang prinsipil yang diutarakan oleh Az Zargani yakni:

a. Penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad dilakukan untuk mencatat


dan menulis setiap wahyu yang diturunkan kepadanya dengan menertibkan
20

ayat-ayat di dalam surah-surah tertentu sesuai dengan petunjuk Rasulullah


Saw
b. Saat khalifah Abu Bakar pengumpulan tulisan-tulisan Al Quran menurut
urutan turunnya wahyu, dikarenakan kekhawatiran banyaknya penghafAl-
Qur’an yang meninggal dalam peperangan
c. Saat khalifah Usman dilakukan penyalinan mushaf menjadi beberapa mushaf
dengan tertib ayat maupun surahnya sebagaimana yang ada sekarang,
dikarenakan adanya perpecahan dikalangan umat Islam dipicu oleh perbedaan
Qira’at Al-Qur’an.

Kondisi umat Islam sesudah adanya mushaf yang dilakukan pada khalifah
Usman sendiri sangat hati-hati, cermat dan teliti ketika menyalin dengan bahasa
mereka. Salah satunya terlihat pada gubernur Mesir Abdul Aziz ibn Marwan yang
menyuruh orang untuk menunjukkan bahwa suatu kesalahan dalam salinan
tersebut jika terjadi kesalahan maka berikan padanya seekor kuda dan 30 dinar,
diantaranya yang memeriksa adalah seorang qori yang dapat menunjukkan suatu
kesalahan yaitu kesalahan naj’ah padahal sebenarnya na’jah.

Mushaf Utsmani tidak memakai tanda baca seperti titik dan syakal karena
semata-mata didasarkan pada watak pembawaan orang-orang Arab murni di mana
mereka tidak memerlukan syakal, titik dan tanda baca lainnya seperti yang kita
kenal sekarang ini. Pada masa itu tulisan hanya terdiri atas beberapa simbol dasar,
hanya melukiskan struktur konsonan dari sebuah kata yang sering menimbulkan
kekAburan lantaran hanya berbentuk garis lurus semata.

Ketika bahasa Arab mulai mendapat berbagai pengaruh dari luar karena
bercampur dengan bahasa lainnya maka para penguasa mulai melakukan
perbaikan-perbaikan yang membantu cara membaca yang benar. Perlunya
pembubuhan tanda baca dalam penulisan Qur’an mulai dirasakan ketika Ziyad bin
Samiyah menjadi gubernur Basrah pada masa pemerintahan khalifah Mu’awiyah
bin Abi Sufyan (661-680M). Ia melihat telah terjadi kesalahan di kalangan kaum
21

muslimin dalam membaca Al-Qur’an. Sebagai contoh kesalahan dalam membaca


firma Allah SWT dalam surat 9:3.

Melihat kenyataan seperti itu Ziyad meminta Abu al-Aswad al Duali


untuk memberikan syakal. Ia memberi tanda fathah atau tanda bunyi (a) dengan
membubuhkan tanda titik satu di atas huruf, tanda kasrah atau tanda bunyi (i)
dengan membubuhkan tanda titik satu dibawah huruf, tanda dammah atau tanda
bunyi (u) dengan membubuhkan tanda titik satu terletak di antara bagian-bagian
huruf sementara tanda sukun atau tanda konsonan (huruf mati) ditulis dengan cara
tidak membubuhkan tanda apa-apa pada huruf yang bersangkutan .

Kemudian tanda baca Abu Al-Aswad tersebut disempurnakan lagi oleh


ulama sesudahnya pada masa dinashti Abbasiyah yaitu oleh al-Khalil bin Ahmad.
Ia bersependapat bahwa asal usul fathah ialah alif, kasrah dan ya dan dammah
adalah wawu.

Kemudian fathah dilambangkan dengan tanda sempang di atas huruf,


kasrah di bawah huruf dan dammah dengan wawu kecil di atas huruf sedangkan
tanwin dengan mendobelkannya.

Ia juga memberi tanda pada tempat alif yang dibuang dengan warna
merah, pada tempat hamzah yang dibuang dengan hamzah warna merah tanpa
huruf. Pada nun dan tanwin yang berhadapan dengan huruf ba diberi tanda iqlab
dengan warna merah. Nun dan tanwin berhadapan dengan huruf halqiyah diberi
tanda sukun dengan warna merah.

Begitu pula pada masa khalifah Bani Umayyah yang Kelima,, Abdul
Malik bin Marwan memerintahkan seorang ulama bernama al-Hajjaj bin Yusuf
as-Saqafi untuk menciptakan tanda-tanda huruf Qur’an. Untuk mewujudkan hal
tesebut diberikan tugas tersebut al-Hajjaj menugaskan kepada Nashr bin Ashin
dan Yahya bin Ya’mur . Akhirnya mereka berhasil menciptakan tanda-tanda pada
huruf Al-Qur’an dengan membubuhkan titik pada huruf-huruf yang serupa untuk
membedakan huruf yang satu dengan yang lainnya. Misalnya, huruf dal dengan
22

huruf zal, huruf ba dengan huruf ta dan huruf sa. Demikianlah huruf-huruf
sebagaimana yang kita kenal seperti saat ini.

Jadi tampak bahwa perbaikan Rasm al-Utsmani terjadi melalui tiga proses
yakni:

a. Pemberian syakal yang dilakukan oleh Abu al-Aswad al-Duali


b. Pemberian a’jam, titik yang dilakukan oleh Abdul Malik bin Marwan dan al-
Hajjaj
c. Perubahan syakal pemberian Abu al-Aswad ad-Duali menjadi seperti
sekarang ini yang dilakukan oleh al-Khalil.

Al-Qur’an sendiri pertama kali dicetak di Hamburg Jerman pada tahun


1113 H. Salah satu mushaf hasil cetakan pertama ini konon terdapat di Dar al-
Kutub al-Arabiyah, Kairo Mesir. Sementara di Turki pertama kali dicetak pada
1129 H kemudian menyusul di Iran 1248 H. Madinah saat ini terdapat percetakan
Al-Qur’an yang diklaim terbesar di dunia. Percetakan itu mulai dibangun oleh
Raja Fahd pada tanggal 2 November 1982. Pada Oktober 1984 dimulai diproduksi
dengan berbagai ukuran, dengan komplek yang lengkap mulai dari masjid, show
room produksi sekaligus toko tempat penjualan, asrama karyawan, klinik dan
perpustakaan.

Anda mungkin juga menyukai