Anda di halaman 1dari 21

SEJARAH TURUNNYA DAN PENULISAN AL-QUR’AN

DISUSUN OLEH

SITI NUR AZIZAH 1830202300

UMMI KOMALA SARI 1830202314

WIDIA FARADISYAH 1830202320

WIDIA SARI 1830202321

DOSEN PENGAMPU:

SYARNUBI M.Pd.I

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH

PALEMBANG

2019

0
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah sumber utama ajaran Islam dan merupakan pedoman hidup bagi
setiap muslim. Al-Qur’an bukan sekedar memuat petunjuk tentang hubungan manusia
dengan Tuhannya, tetapi juga mengatur hubungan manusia dnegan sesamanya
(hablum min Allah wa hbalum min an-nas), bahkan hubungan manusia dengan alam
sekitarnya. Untuk memahami ajaran Islam secara sempurna (kaffah), maka langkah
pertama yang harus dilakukan adalah memahami kandungan isi al-Qur’an dan
mengamalkannya dalam kehidupn sehari-hari secara sungguh-sungguh dan konsisten.
Al-Quran sebagaimana diketahui, diturunkan dalam bahasa Arab, baik lafal
maupun uslub-nya. Suatu bahasa yang kaya akan kosa kata dan sarat kandungannya.
Kendati al-Qur’an berbahasa Arab, tidak berarti bahwa semua orang Arab atau orang
yang mahur dalam bahasa Arab, dapat memahami al-Qur’an secara rinci. Bahkan
menurut Ahmad Amin, para sahabat sendiri tidak sanggup memahami kandungan al-
Qur’an dengan hanya sekedar mendengarkannya dari Rasulallah saw., karena untuk
memahami al-Qur’an tidak cukup hanya dengan kemampuan dan menguasai bahasa
Arab saja, tetapi juga berbagai ilmu penunjangan (ilmu alat).
Hasbi Ash-Shiddieqy menyatakan bahwa untuk dapat memahami al-Qur’an
dengan sempurna, bahkan untuk menterjemahkannya, diperlukan sejumlah ilmu
pengetahuan tertentu, yang disebut ulum al-Qur’an. Bagian ini membahas tiga
permasalahan yaitu: pertama, mengungkapkan sejarah turunnya al-Qur’an, kedua,
sejarah penulisan al-Qur’an.

B. Rumusan Masalah
1. Kapan turunnya Al-Qur’an?
2. Bagaimana Jibril mengambil wahyu?
3. Bagaimana Jibril menurunkannya kepada Nabi Muhammad SAW.?
4. Bagaimana penulisan al-Qur’an pada masa Nabi?

1
5. Bagaimana penyempurnaan tulisan Al-Qur’an tersebut?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui kapan turunya Al-Qur’an.
2. Untuk mengetahui bagaimana Jibril mengambil wahyu.
3. Untuk mengetahui bagaimana proses Jibril menurunkan Al-Qur’an kepada Nabi
Muhammad SAW.
4. Untuk mengetahui penulisan al-Qur’an pada masa Nabi.
5. Untuk mengetahui penyempurnaan tulisan al-Qur’an tersebut.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Turunnya Al-Qur’an


1. Kapan Turunnya Al-Qur’an
Permulaan turunnya wahyu itu pada tanggal 17 Ramadhan, ketika Nabi
Muhammad SAW berusia empat puluh satu tahun.1
Firman Allah SWT yang artinya:
     ...
   
  
    
  
“jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada
hamba Kami (Muhammad) di hari Fruqan, hari bertemunya dua pasukan” (QS.
Al-Anfal: 41).
Telah memberikan isyarat kepada ketetapan tanggal dan bulan itu, sebab dua
pasukan, yaitu pasukan muslimin dan pasukan musyrikin di Badar terjadi pada
tanggal 1 Ramadhan, tahun 2 Hijriyah. Pada tanggal dan bulan yang sama ketika Nabi
Muhammad SAW berusia empat puluh satu itulah permulaan turunnya Al-Qur’an.2
An-nuzul secara bahasa berarti al-hulul, yaitu penurunan. An-nuzul juga
bermakna bergeraknya sesuatu dari atas kebawah. Dengan demikian, an-nuzul adalah
proses turunnya pemberitaan dengan melalui lafaz-lafaz dala bentuk huruf-huruf.
Maksudnya, turunnya yang membawa Al-Qur’an baik turunnya ke langit dunia
maupun kepada Nabi Muhammad SAW. oleh karenanya Al-qur’an memiliki tiga
periode:3
a. Ketika di Bait al-Muhfuz.

1
Ibrahim Al Ibyarly, Pengenalan Sejarah Al-Qur’an, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
1993), hlm: 43
2
Ibid.
3
Abdul Hamid, Pengantar Studi Al-Qur’an, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), hlm: 15

3
b. Kemudian diturunkan ke langit dunia.
c. Kemudian diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Proses yang pertama, tidak seorang pun yang mengetahuinya apakah
keberadaan Al-Qur’an di Lauh al-Mahfuz di bawa oleh Jibril a.s atau tidak, hanya
Allah yang tahu. Namun Allah SWT telah memberitahukan kepada kita lewat firman-
Nya:
     
  
Artinya : “Bahkan ia adalah Al-Qur’an yang mulia, yang (tersimpan) dalam
Lauh Mahfuzh”. (Q.S al-Buruj {85}:21-22).
    
  
Artinya : “sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada
kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh).” (Q.S al-Waqiah {56}: 77-78)
Ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an telah ada di Lauh al-Mahfuz. Lauh al-Mahfuz
ialah tempat azali yang tertulisnya segala sesuatu baik yang ada maupun yang belum
ada. Kewajiban kita adalah mengimaninya, karena tidak terdapat satu pun dalil
tentang bagaimana proses Al-Qur’an sehingga ada di Lauh al-Muhfuz dan seperti apa
pena yang digunakan untuk menulisnya.4
Adapun proses kedua, yaitu turunnya Al-Qur’an dari Lauh al-Mahfuz ke langit
dunia. Yaitu suatu tempat yang dikenal dengan nama Bait al-Izzah. Apakah Al-
Qur’an itu diturunkan secara keseluruhan setelah kenabian ataukah sebelum
kenabian? Namun pendapat yang lebih kuat bahwa Al-Qur’an diturunkan secara
keseluruhan dari Lauh al-Mahfuz ke langit dunia sebelum kenabian. Hal ini sesuai
dengan ayat-ayat Al-Qur’an seperti tersebut di bawah ini :5
   
 

4
Ibid., hlm. 16
5
Ibid., hlm. 16-17

4
Artinya : sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al-qur’an) pada malam
kemuliaan. (Q.S al-Qadr: 1)
   
     
Artinya : sesungguhnya kami menurunkannya pda suatu malam yang
diberkahi, dan sesungguhnya kami-lah yang memberi peringatan. (Q.S Ad-
Dukhaan: 3)

    


  
  
 

Artinya : bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-


Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai
petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). (Q.S al-Baqarah:
185)
Ayat-ayat di atas menunjukkan, bahwa Al-Qur’an diturunkan secara keseluruhan
ke langit dunia pada bulan Ramadhan malam laitul kadar. Tidak ada satu pun dalil
yang mengatakan bahwa Al-Qur’an diturunkan kepad Nabi Muhammad SAW pada
bulan Ramdhan secara keseluruhan. Hak ini didukung oleh beberapa ayat sebagi
berikut :6
    
    
    
  
Artinya : Berkatalah orang-orang yang kafir, mengapa Al-Qur’an itu tidak
diturunkan kepadanya sekalian turun saja? Demikianlah supaya Kami perkuat

6
Ibid.

5
hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar). (Q.S
al-Furqaan:32)
  
   
  
Artinya : Dan Al-Qur’an itu telah kami turunkan dengan berangsur-angsur, agar
kamu membacakannya perlahan-lahan kepada mausia dan kami menurunkannya
bagian demi bagian. (Q.S al-Israa’: 106)
Dari kedua ayat di atas cukup jelas menerangkan bahwa Al-Qur’an diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW tidak sekaligus dalam satu waktu, tepi secara
bertahap (munajjaman). Namun yang jadi permasalahannya adalah pada malam ke
berapakah ia diturunkan? Beberapa ahli tafsir mengatakan bahwa Al-Qur’an itu di
turunkan dari Lauh al-Muhfuz ke langit dunia pada malam kedua puluh empat (24)
bulan Ramadhan, sebagaimana yang dikatakan oleh ibnu kasir dan para ahli tafsir
lainnya.7 Dengan demikian, hilanglah pendapat yang mengatakan bahwa Al-Qur’an
itu diturunkan pada malam ketujuh belas bulan Ramadhan, sebagaimana yang
diperingati oleh sebagian besar masyarakat Muslim Indonesia pada umumnya yang
dikenal dengan malam Nuzul Al-Qur’an.8

2. Bagaimana Turunnya Al-Qur’an


Penerimaan wahyu Al-Qur’an di luar jangkauan penalaran akal manusia. Selama
14 abad yang silam tidak ada seorang rasul yang muncul, dan dalam memahami
fenomena wahyu kita semata-mata menunjuk pada laporan authentric dari Nabi
Muhammad SAW. dan orang-orang kepercayaan menyaksikan kehidupan beliau.
Fenomena penerimaan wahyu ini mengejutkan banyak pihak. Ini dapat dilihat dari
peranan Nabi Muhammad yang dipersiapkan secara bertahap, suatu masa yang penuh
dengan kebimbangan dalam melihat berbagai kejadian, fenomena, dan visi pandangan

7
Ibid., hlm. 18
8
Ibid.

6
yang ada, juga ikut bagian dalam mempersiapkan kematangan jiwanya, dimana
malaikat Jibril berulang kali memperkenalkan diri. Malaikat Jibril untuk pertama kali
memperkenalkan diri ketika beliau berkhalwat di Gua Hira.9
Jibril a.s. menurunkan Al-Qur’an ini dengan cara terpisah tergantung pada waktu
dan keadaan yang terjadi, seperti ketika Nabi Muhammad SAW ditanya tentang suatu
hal yang membutuhkan ayat Al-Qur’an maka turunlah ayat tersebut sebagian
jawabannya. Namun ayat yang pertama kali diturunkan terdapat dalam surah al-Alaq
(96) ayat 1-5. Sebagian pendapat mengatakan bahwa awal surah al-Alaq diturunkan
pada malam kejutuh belas bulan (17) Ramadhan, bukan turunnya Al-Qur’an.
Seandainnya pun pendapat ini dibenarkan, maka harus mendatangkan dalil yang kuat
dan jelas. Begitu pula surah dan ayat yang pertama kali diturunkan juga tidak terlepas
dari perdebatan para ulama, hal ini tidak terlepas atau ada hubungannya dengan
kelahiran dan kewafatan nabi Muhammad SAW. Allah-lah yang tahu. Didalam Hadis
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, bahwa ayat yang pertama kali
turun adalah surah al-Alaq namun tidak disebutkan malam keberkahan ia
diturunkan.10
“Bahwa Aisyah r.a istri Nabi Muhammad SAW berkata : Peristiwa awal
turunnya wahyu kepada Rasulullah SAW adalah diawali dengan ar-Ru’yah ash-
Shadiqah (mimpi yang benar) yang beliau lihat adalah sesuatu yang menyerupai
belahan cahaya subuh. Dan di dalam dirinya dimasukkan perasaan untuk selalu
ingin menyendiri. Maka beliau pun memutuskan untuk berdiam diri di dalam Gua
Hira, beribadah di dalamnya pada malam hari selama beberapa hari dan untuk itu
beliau membawa bekal. Setelah perbekalannya habis, maka beliau kembali dan
mengambil bekal. Begitulah seterusnya sehingga kebenaran pun datang pada beliau,
yakni saat beliau berada di dalam Gua Hira. Malaikat mendatanginya seraya
berkata : Iqra’ (Bacalah). Maka Rasulullah SAW menjawab, ‘aku tidak bisa

9
Yusron Masduki, Sejarah Turunnya Al-Qur’an Penuh Fenomenal (Muatan Nilai-Nilai
Psikologi dalam Pendidikan), Medina-Te, Vol. 16 No. 1, 2017, hlm: 41
10
Hamid, Op.Cit., hlm: 19

7
membaca’. Beliau menjelaskan : Lalu malaikat pun menarik dan menutupiku, hingga
aku pun merasa kesusahan. Kemudian malaikat itu kembali lagi padaku dan berkata,
Iqra’( Bacalah). Aku menjawab,’Aku tidak bisa membaca’. Malaikat itu menarikku
kembali dan mendekapku hingga aku merasa kesulitan, lalu memerintahkan
kepadaku untuk kedua kalinya seraya berkata Iqra’ (Bacalah). Aku menjawab, ‘aku
tidak bisa membaca’. Ia menarik lagi dan mendekapku ketiga kalinya hingga aku
merasa kesusahan. Kemudian malaikat itu menyuruhku kembali seraya membaca:
   
     
    
    
    
Maka dengan badan yang menggigil, akhirnya Rasulullah SAW kembali kepada
khadijah seraya berkata, ‘Selimutilah aku. Selimutilah aku.’ Hingga perasaan takut
beliaupun hilang. Setelah itu, beliau berkata kepada khadijah, ‘wahai Khadijah, apa
yang terjadi denganku, sungguh aku merasa khawatir atas diriku sendiri’. Akhirnya,
beliau pum menuturkan kejadian yang beliau alami. Khadijah berkata, ‘Tidak,
bergembiralah engkau Demi Allah, Allah tidak akan mencelakakanmu selama-
lamanya. Sesungguhnya engkau benar-benar seorang yang senantiasa menyambung
silaturahmi, seorang yang jujur kata-katanya, menolong yang lemah, memberi
kepada orang yang tak punya, engkau jua memuliakan tamu dan membela
kebenaran’.11
Akhirnya khadijah pergi dengan membawa beliau hingga bertemu dengan
Waraqah bin Naufal, ia adalah anak pamannya khadijah, yakni saudara bapaknya.
An-Naufal adalah seorang penganut agama Nasrani pada masa jahiliyah. Ia seorang
yang menulis kitab Arab. Ia menulis dari kitab injil dengan bahasa Arab. Saat itu, ia
telah menjadi Syekh yang tua renta lagi buta. Khadijah berkata padanya, ‘wahai

11
Ibid., hlm. 21-22

8
anak pamanku. Dengarkanlah tuturan dari anak saudaramu.’ Waraqah pun berkata,
‘Wahai anak pamanku apa yang telah kamu lihat?’ Maka Nabi SAW pun
mengabarkan padanya tentang kejadian yang telah beliau alami. Kemudian Waraqah
pun berkata, ‘ini adalah Namus yang pernah diturunkn kepada Musa. Sekiranya aku
masih muda dan sekiranya aku masih hidup…’ ia mengatakan beberapa kalimat.
Kemudian Rasulullah SAW bertanya: ‘Apakah mereka akan mengusirku?’ Waraqah
menjawab, ‘Ya, tidak ada seorang pun yang datang dengan membawa seperti apa
yang kamu bawa, kecuali ia akan disakiti. Dan sekiranya aku masih mendapati hari
itu, niscaya ak akan menolongmu dengan pertolongan yang hebat.’ Tidak lama
kemudian, Waraqah pun meninggal, sementara wahyu terputus hingga membuat
Rasulullah SAW sedih.” (HR. Bukhari)12

3. Bagaimana Jibril Mengambil Wahyu


Pembahasan ini cukup rumit untuk diketahui, namun penulis akan
mengungkapnya melalui pendapat-pendapat ulama. Pendapat pertama, mengatakan
bahwa Jibril a.s. menghafalkan dari Lauh al-Mahfuz kemudian memberikannya
kepada Nabi Muhammad SAW. pendapat ini dikatakan oleh Attiby. Pendapat yang
kedua, dikatakan oleh al-Baihaqi dalam menafsirkan ayat surah al-Qadr ayat
pertama, ia mengatakan bahwa kami telah mendengarkan al-Malik dan kami
memahaminya, dan kami telah menurunkan apa yang kami dengarkan. Pendapat al-
Baihaqi ini dikuatkan oleh at-Thafu, Nabi bersabda: “jikalau Allah berfirman tentang
wahyu, maka seluruh langit dan bumi akan bergetar karena ketakutan; jikalau
terdengar oleh penduduk langit, maka seluruhnya tunduk dalam keadaan bersujud
kemudian yang pertama kali mengangkat kepalanya adalah malaikat Jibril a.s.”
kemudian Allah menfirmankan wahyunya.13
Dari dua pendapat di kebenarannya hanya Allah yang mengetahuinya, pendapat
ini juga di dukung oleh Hadis Bukhari, Abu Daud.

12
Ibid.hlm. 23
13
Ibid.

9
“Dari Abu Hurairah yang Nabi SAW menyampaikan kepadanya, beliau bersabda:
‘Jika Allah memutuskan suatu keputusan di langit, maka malaikat akan mengepak-
ngepakkan sayapnya karena tunduk kepada titah-Nya, seolah-olah kepakan sayapnya
seperti rantai diatas batu licin’. Ali berkata, ‘Sedang lainnya berkata, seperti batu
licin yang menembus mereka. Allah berfirman: (apabila ketakutan telah hilang dari
hati mereka, mereka bertanya apa yang difirmankan Rabb kalian? Mereka menjawab
Kebenaran, dan Dia Maha Tinggi lagi Maha Besar).” (QS. Saba: 34). (HR.
Bukhori).

4. Bagaimana Jibril a.s. Menurunkannya Kepada Nabi Muhammad SAW


Nabi SAW menerima wahyu dari Jibril a.s. dalam dua keadaan:
Pertama terdengar seperti suara lonceng yang berbunyi keras, dan cara inilah
yang paling berat bagi Nabi SAW, hal ini sesuai dengan firman
Allah dan juga Hadis Rasul.14
   
 
Artinya: Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu
perkataan yang berat. (QS. Al-Muzammil: 5)

“Bahwa al-Haris bin Hisyam bertanya kepada Rasulallah saw:


‘Wahai Rasulallah, bagaimana caranya wahyu turun kepada
engkau? Maka Rasulallah SAW menjawab: ‘terkadang dating
kepadaku seperti suara gemerincing loncneg dan cara ini yang
paling berat buatku, lalu terhentu sehingga aku dapat mengerti apa
yang disampaikan.” (HR. Bukhori)

Kedua Jibril a.s. datang kepada Muhammad SAW dalam keadaan

14
Ibid., hlm. 26

10
seperti manusia biasa, yaitu menyerupai seorang laki-laki, dan Al-
Qur’an tidak pernah diturunkan kecuali melalui Malaikat Jibril a.s.
dan tidak pernah diturunkan kecuali Nabi dalam keadaan terjaga.
Adapun yang disebutkan oleh as-Suyuti dalam al-Itsqhan, setelah ia
menyebutkan tentang turunnya wahyu baik dalam keadaan sadar
maupun dalam keadaan tidur, namun pendapatnya tidak didukung
oleh dalil yang kuat.15
“Dan terkadang datang malaikat menyerupai seorang laki-laki lalu
berbicara kepadaku, maka aku ikuti apa yang diucapkannya. Aisyah
berkata: sungguh aku pernah melihat turunnya wahyu kepada
beliau pada suatu hari yang sangat dingin lalu terhenti, dan aku
lihat dahi beliau mengucurkan keringat.” (HR. Bukhori).

B. Sejarah Penulisan AL-Qur’an


1. Penulisan Al-Qur’an Masa Nabi
Penulisan Al-Qur’an sudah dimulai pada masa Nabi Muhammad SAW, nerjalan
seiring dengan penghafalan dan penyebaran. Penghafalannya dimungkinkan
mengingat bangsa Arab dikenal sangatkuat ingatan dan hafalannya, terutama dalam
merekam silsilah keturunan dan riwayat dan sejarah kabilah-kabilah mereka.
Sedangkan penulisan al-Qur’an dimungkinkan mengingat budaya tulis menulis juga
sudah dikenal pada masa itu, seperti syair-syair Arab yang ditulis dan digantung
(mu’allaqat) di dinding Ka’bah.16 Jadi, walaupun tingkat literasi masyarakat Arab
waktu itu masih sangat rendah, tidak berarti tulis menulis sama sekali tidak dikenal.
Adapun penyebrangan al-Qur’an secara massal terjadi seiring penyebaran Islam
itu sendiri. Jadi sejak awal diturunkannya, al-Qur’an telah didengar dan
diperdengarkan, dihafal dan dicatat, dipelajari dan diajarkan, serta disebarluaskan
15
Ibid.
16
Syamsudin Arif, Tekstualisasi Al-Qur’an: Antara Kenyataan dan Kesalapahaman, Jurnal
Tsaqafah, Vol. 12, No. 2, 2016, hlm: 329

11
dengan cara-cara tersebut di atas. Sudah tentu penulisan al-Qur’an dilakukan swcara
berangsur-angsur. Setiap kali wahyu turun, maka Rasulullah SAW akan menyuruh
para sahabatnya untuk menghafal dan menuliskannya, pada berbagai media, seperti
lempengan batu (ikhaf), lembaran kulit (riqa), maupun tulang binatang (aktaf), kayu
(aqtab), dan pelepah kurma (‘asib).17
Kemudian supaya tidak terjadi kekeliruan dan pencampuradukan, beliau dangan
tegas melarang para sahabat waktu itu agar tidak menulis atau mencata perkataan
(hadis) beliau : “Jangan mencatat apapu dariku. Jika ia yang mencatat sesuatu dariku
selain al-Qur’an, maka hendaklah ia menghapusnya.” Maksudnya cukup jelas, supaya
dibedakan dan dipisahkan antara catatan al-Qur’an dan catatan hadis beliau. Proses
perekaman dengan cara ini berlangsung selama bertahun-tahun, sejalan dengan
terjadinya penghafalan, pengajaran, dan penyebaran al-Qur’an yang merupakan inti
ajaran Islam.18
Para penulis wahyu Al-Qur’an dari sahabat-sahabat terkemuka yang diangkat
sebagai sekretaris, seperti Ali bin Abi Thalib, Muawiyyah ra, ‘Ubai din K’ab ra. Dan
Zaid binTsabit ra. Setiap ayat turun, Nabi merintahkan mereka untuk menulisnya dan
menunjukkan tempat ayat tersebut dalam surah, bukan hanya pada lempengan tempat
menulis harus tersusun sesuai dengan surah yang ditunjukkan pada Nabi, tetapi juga
disampaikan pada sahabat ayat yang turun itu dan dalam hapalan sahabat dimasukkan
pada surah yang ditunjuk, jadi ada kecocokan antara hapalan dnegan bukti fiksi dari
ayat yang tertulis, sehingga penulisan pada lembar itu membantu penghafalan
didalam hati.19
Di samping itu sebagian sahabat juga menuliskan Al-Qur’an yang turun itu atas
kemauan mereka sendiri, tanpa perintah oleh Rasulallah SAW. Mereka
menuliskannya pada pelepah kurma, lempengan batu, dan lontar, kulit atau daun
kayu, pelana, potongan tulang belulang. Zaid bin Tsabit berkata, ‘kami menyusun Al-

17
Ibid., hlm: 329
18
Ibid.
19
Nasrudin, Sejarah Penulisan AL-Qur’an (Kajian Antropologi Budaya), Jurnal Rihlal Vol.
II. No. 1, 2015, hlm: 56

12
Quran dihadapan Rasulallah pada kulit binatang.’ Ini menunjukkan betapa besar
kesulitan yang dipikul para sahabat dalam menulis Al-Qur’an. Alat-alat tulis tidak
cukup tersedia bagi mereka, selain sarana-sarana tersebut. Dan dengan demikian,
penulisan Al-Qur’an ini semakin menambah hafalan mereka.20
Nabi saw. setelah menerima wahyu langsung menyampaikan wahyu tersebut
kepada para sahabat agar mereka menghafalnya sesuai dengan hafalan Nabi, tidak
kurang dan tidak lebih. Dalam rangka menjaga kemurnian al-Qur’an, selain ditempuh
lewat jalur hafalan, juga dilengkapi dengan tulisan. Fakta sejarah menginformasikan
bahwa segera setelah menerima al-Qur’an, Nabi saw. memanggil para sahabat yang
pandai menulis, untuk menulis, untuk menulis ayat-ayat yang baru saja diterimanya
disertai informasi tempat dan urutan setiap ayat dalam suratnya. Ayat-ayat tersebut
ditulis dalam pelepah-pelepah kurma, batu-batu, kulit-kulit, atau tulang-belulang
binatang.21
Penulisan pada masa ini belum terkumpul menjadi satu mushaf disebabkan
beberapa faktor, yakni: tidak adanya faktor pendorong untuk membukukan al-Qur’an
menjadi satu mushaf mengingat Rasulallah masih hidup di samping banyaknya
sahabat menghafal al-Qur’an , dan sama sekali tidak ada unsur-unsur yang diduga
akan mengganggu kelestarian al-Qur’an. Al-Qur’an diturunkan secara berngsur-
angsur, maka suatu hal yang logis bila al-Qur’an baru bisa dibukukan dalam satu
mushaf setelah Nabi saw. wafat. Selama proses turunnya al-Qur’an, maish terdapat
kemungkinan adanya ayat-ayat al-Qur’an yang mansukh.22

2. Pembukuan Masa Abu Bakar Ash-Shiddieq


Abu Bakar ra. menjalankan urusan Islam sesudah Rasulallah. Ia dihadapkan
kepada peristiwa-peristiwa besar berkenan dengan kemurtadan sebagian orang Arab.

20
Ibid.
21
Abdu Halim, , Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat Pres,
2002) hlm: 17-18
22
Ibid.

13
Karena itu segera menyipkan oasukan dna mengirimkannya untuk memerangi orang-
orang yang murtad itu.
Peperangan yamamah yang terjadi pada tahun 12 H melibatkan sejumlah besar
sahabat yang hafal al-Qur’an. Dalam peperangan ini tujuh puluh qari’ (penghafal Al-
Qur’an) dari para sahabat Umar bin Khatab ra. merasa sangat khawatir melihat
kenyataan ini, lalu ia menghadap Abu Bakar ra. dan mengajukan usul kepadanya agar
mengumpulkan dan membukukan al-Qur’an karena dikhawatirkan akan musnah,
sebab peperangan Yamamah telah banyak membunuh para qari’.23
Abu Bakar memilih Zaid bin Tsabit, mengingat kedudukan dalam qira’at,
penulisan, pemahaman dan kecerdasan serta kehadiran nya pada masa pembacaan
Rasullullah saw. Zaid ibn Tsabit melaksanakan tugas di bawah petunjuk Abu Bakar
dan Umar yang berat dan mulia tersebut dengan sangat hati hati. Hasil kerja zaid yang
telah berupa muzhaf al-Qur’an disimpan oleh Abu Bakar sampai akhir hayatnya.
Setelah itu berpindah ketangan Umar ibn Khattab. Sepeninggal Umar mushaf
disimpan oleh Hafshah binti Umar. Adapun karakeristik penulisan al-Quran pada
masa Abu Bakar ini adalah sebagai berikut :24
1. Seluruh ayat al-Quran di kumpulkan dan di tulis dalam satu mustaf berdasarkan
penelitian yang cermat dan seksama.
2. Meniadakan ayat-ayat al-Quran yang telah mansukh.
3. Seluruh ayat yang ada telah di akui kemutawatirannya.
4. Dialek Arab yang dipakai dalam pembukuan ini berjumlah 7 (qira’at)
sebagaimana yang ditulis pada kulit unta pada masa Rasullullah.

3. Pembukuan Usman bin Affan


Pada masa pemerintahan Usman, wilayah Negara Islam telah meluas sampai ke
Tripoli Barat, Armenia dan Azarbajian. Para pemeluk Islam di masing masing daerah
mempelajari serta menerima bacaan al-Quran dari sahabat ahli qira’at di daerah yang

23
Nasrudin, Op.Cit., hlm: 57-58
24
Abdu Halim, Op.Cit., hlm: 19

14
bersangkutan. Versi qira’at yang dimiliki dan diajarkan oleh masing masing ahli
qira’at satu sama lainnya berlainan, masing masing saling membanggakan versi
qira’at mereka dan saling mengakui bahwa versi qira’at mereka yang paling baik dan
benar. Usman segera mengundang para sahabat dari Anshar dan Muhajirin untuk
bermusyawarah mencari jalan keluar dari masalah serius tersebut.akhirnya dicapai
suatu kesepakatan agar mushaf Abu Bakar disalin kembali menjadi beberapa mushaf.
Untuk terlaksananya tugas tersebut , khalifah Utsman menunjuk satu tim yang terdiri
dari empat orang sahabat, yaitu Zaid ibn Tsabit, Abdullah ibn Zubair, Sa’id ibn al-As
dan Abd al-Rahman ibn Al-Haris ibn Hisyam. Beberapa karakteristik mushaf al-
Quran yang ditulis pada masa Usman ibn ‘Affan antara lain :
1. Ayat ayat al –Quran yang ditulis seluruhnya berdasarkan riwayat yang
mutawatir.
2. Tidak membuat ayat ayat yang mansukh.
3. Surat surat maupun ayat-ayatnya telah disusun dengan tertib sebagaimana al-
Quran yang kita kenal sekarang.
4. Tidak membuat sesuatu yang tidak tergolong al-Quran, seperti yang ditulis
sebagian sahabat Nabi dalam masing masing mushafnya.
5. Dialek yang dipakai dalam mushaf ini hanya dialek Quraisy saja, Dengan alasan
bahwa al-Quran diturunkan dengan bahasa arab Quraisy sekalipun pada mulanya
diizinkan membacanya dengan menggunakan dialek lain.

4. Penyempurnaan Tulisan Al-Qur’an


Sepeninggalan Utsman, mushaf al-Qur’an belum diberi tanda baca seperti baris
(barakaf) dan tanda pemisah ayat, karena daerah kekuasan Islam semakin meluas ke
berbagai penjuru yang berlainan dialek dan bahasanya. Dengan adanya perbedaan
tersebut dirasa perlu adanya tindakan preventif dalam memelihara umat dari
kekeliruan membaca dan memahami Al-Qur’an.
Pada masa Khalifah Muawiyyah ibn Abi Sufan (40-60 H) oleh Imam Abu al-
Aswad al-Duali, mushaf al-Qur’an diberi harakat atau baris yang berupa titik merah.

15
Untuk “a” (fathah) di sebelah atas huruf, “u: (dhammah) di depan huruf dan “i”
(kasrah) di bawah huruf. Sedangkan syiddah berupa huruf lipat dua dengan dua itik
di atas huruf.25
Usaha selanjutnya dilakukan pada masa khalifah Abdul Malik ibn Marwan (65-
68H). adalah orang murid Abu al-Aswad al-Duali, yaitu Nasar ibn Ashim dan Yahya
ibn Ya’mar yang memberi tanda untuk beberapa huruf yang sama seperti “ba”, “ta”,
dan “tsa”.
Dalam berbagai huruf sumber diriwayatkan bahwa ‘Ubadillah bin Ziyad (w. 67
H) memerintahkan kepada seorang yang berasal dari Persia untuk menambahkan
huruf alif (mad) pada dua kata yang semestinya dibaca dengan suara panjang.
Misalnya kanat menjadi kânat.
5. Kritik sekitar kodifikasi al-Qur’an
Terdapat beberapa kritik yang dilontarkan oleh para orientalis dan dari kalangan
Syi’ah berikut beberapa kritik.
a. Di dalam mushaf Ubay ibn Ka’ab terdapat ayat-ayat berupa do’a qunut yang
dinamakan surat al-khal’u dan surat al-Hafdu. Keduanya ternyata tidak termuat
dalam mushaf Usmani. Ini berarti, para sahabat yang bertugas sebagai tim
penulisan al-Qur’an (tim empat) telah membuang sebagian ayat-ayat al-Qur’an.
Tim empat sebagaimana telah diuraikan di atas sangat berhati-hati dalam hal
penulisan al-Qur’an. Mereka hanya memasukkan ayat ke dalam mushaf, ia
benar-benar terbukti kemutawatirannya. Dengan demikian, dua ayat yang
termuat dalam mushaf Ubay tersebut memang tidak tergolong ke dalam al-
Qur’an. Kenapa jika bukan termasuk al-Qur’an, Ubay ibn Ka’ab menulis daua
ayat tersebut dalam mushaf-nya.? Sebenarnya pertanyaan ini tidak perlu muncul
jika seseorang mencermati sejarah penulisan wahyu al-Qur’an , seperti
katerangan atau penjelasan Nabi SAW. terhadap ayat-ayat al-qur’an tertentu

25
Ibid., hlm: 23

16
yang hanya digunakan untuk kepentingan mereka sendiri, bukan untuk orang
lain.26
b. Ibn Mas’ud tidak mencantukan atau memasukkan surat al-Fatihah dan al-
Mu’awwizatain (al-Falaq dan al-Nas) di dalam mushaf nya. Hal ini dikarenakan
ia menganggap ketiga surat al-Qur’an tersebut bukan al-Qur’an. Dengan
demikian al-Qur’an yang ada sekarang mengandung kalam yang bukan al-
Qur’an. Tuduhan di atas bisa dimentahkan dengan berbagai jawaban berikut :27
1. Apa yang diriwayatkan tentang Ibn Mas’ud yang mengingkari al-Fatihah dan
al-Muawwizatain sebagai al-Qur’an adalah tidak benar.
2. Karena ketiga surat tersebut tidak diragukan lagi ke Qur’anannya, maka Ibn
mas’ud tidak perlu lagi mencantumkan nya dalam al-Qur’an.
3. Seandainya diterima kebenaran riwayat yang menyatakan bahwa Ibn Mas’ud
mengingkari ke-Qur’anan surah al-fatihah dan al-Mu’awwizaitun, bahkan
seluruh al-qur’an sekalipun, hal ini tidak akan mengurangi dan
menggoyahkan kemutawatiran al-qur’an yang tertulid dalam mushaf Utsmani
4. Penolakan Ibn Mas’ud itu terjadi sebelum ia yakin. Tetapi setelah ia
mengetahui dan menyakininya ia kembali kepada pendapat jama’ah.
c. Ayat-ayat al-Qur’an tidak seluruhnya mutawatir, karena Zaid bin Tsabit pernah
mengatakan bahwa waktu mengumpulkan al-Qur’an pada masa Abu bakar tidak
menemukan akhir surat al-Taubah kecuali pada Abu Khuzaimah al-Anshari. Zaid
mendasarkan kodifikasi al-Qur’an pada beberapa riwayat abad bukan mutawir
seperti yang diklaim kaum muslimin seluruhnya.
d. Sebagian kaum syiah ekstrim menuduh Abu Bakar dan Usman telah memalsukan
sebaian ayat-ayat al-Qur’an da menghilangkan banyak ayat dan suratnya.
Menurut mereka sebenrnya al-Qur’an terdiri dari 17.000 ayat. Ayat-ayat tentang
keutamaan Ahl al-Bait yang terdapat dalam surat al-An’an dan al-Ahzab juga
dihilangkan, sementara surat al-Wilayah dihilangkan sama sekali.

26
Ibid., hlm: 23-24
27
Ibid., hlm. 25

17
Tuduhan tersebut tidak berdasarkan sama sekali. Seandainya tuduhan-tuduhan
tanpa bukti dapat diterima tentunya umat manusia tidak akan pernah mendapatkan
kebenaran. Tuduhan-tuduhan tersebut ditolak oleh kalangan mereka sendiri yang
masih berakal sehat. Al-Tabrasi dalam Majma’ Bayan-nya berkata: “Adapun tuduhan
bahwa al-Qur’an sebenarnya lebih banyak dari yang ada sekarang disepakati
kebatilannya. Sedangkan tuduhan bahwa telah terjadi pengurangan, memang
diriwayatkan dari sebagai kaum kami, tetapi tidaklah demikian.28
Masih banyak lagi tuduhan, kritik dan hujatan terhadap penulisan al-Qur’an baik
dari kalangan kaum muslimin sendiri maupun dari para orientalis seperti Richard bell
dan Montgomery Watt.29

28
Ibid., hlm. 27
29
Ibid., hlm. 28

18
BAB III

PENUTUPAN
Simpulan
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan yaitu:
1. An-nuzul secara bahasa berarti al-hulul, yaitu penurunan. An-nuzul juga
bermakna bergeraknya sesuatu dari atas kebawah. Dengan demikian, an-nuzul
adalah proses turunnya pemberitaan dengan melalui lafaz-lafaz dala bentuk
huruf-huruf. Maksudnya, turunnya yang membawa Al-Qur’an baik turunnya ke
langit dunia maupun kepada Nabi Muhammad SAW.
2. Jibril a.s. menurunkan Al-Qur’an ini dengan cara terpisah tergantung pada waktu
dan keadaan yang terjadi, seperti ketika Nabi Muhammad SAW ditanya tentang
suatu hal yang membutuhkan ayat Al-Qur’an maka turunlah ayat tersebut
sebagian jawabannya.
3. Cara penulisan Al-Qur’an pada masa Rasulallah adalah dengan mengangkat
beberapa orang penulis yang dianggap mahir dan dipercaya oleh Nabi.
Penulisannya di berbagai media yang merupakan hardcopy dari ayat yang
dibacakan Nabi SAW. sekaligus juga dihafalkan ayat tersebut dalam hati.
4. Pada masa Khalifah Muawiyyah ibn Abi Sufan (40-60 H) oleh Imam Abu al-
Aswad al-Duali, mushaf al-Qur’an diberi harakat atau baris yang berupa titik
merah. Untuk “a” (fathah) di sebelah atas huruf, “u: (dhammah) di depan huruf
dan “i” (kasrah) di bawah huruf. Sedangkan syiddah berupa huruf lipat dua
dengan dua itik di atas huruf.

19
DAFTAR PUSTAKA

Al Ibyarly, Ibrahim. 1993. Pengenalan Sejarah Al-Qur’an. Jakarta: PT RajaGrafindo


Persada.

Hamid, Abdul. 2016. Pengantar Studi Al-Qur’an. Jakarta: Prenadamedia Group.

Masduki, Yusron. 2017. Sejarah Turunnya Al-Qur’an Penuh Fenomenal (Muatan


Nilai-Nilai Psikologi dalam Pendidikan). Palembang: Medina-Te.
Volume 16. Nomor 1 (hlm: 39-50).

Nasrudin. 2015. Sejarah Penulisan AL-Qur’an (Kajian Antropologi Budaya).


Makassar: Jurnal Rihlal. Volume II. Nomor 1 (hlm: 53-68).

Halim, Abdul. 2002. Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki Jakarta:


Ciputat Pres.

Arif, Syamsudin. 2016. Tekstualisasi Al-Qur’an: Antara Kenyataan dan


Kesalapahaman. Ponorogo: Jurnal Tsaqafah. Volume 12, Nomor 2. (hlm:
325-352)

20

Anda mungkin juga menyukai