Anda di halaman 1dari 45

CASE REPORT

Preeklampsia Berat

Disusun oleh :
dr. Irani Vianza

Pendamping :

dr. Kartika Radianti Wardhani

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PESANGGRAHAN
PERIODE FEBRUARI 2020-MEI 2020
JAKARTA
2020
BAB I

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS

1.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. S

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat dan tanggal lahir : Ponorogo. 12 Maret 1980

Umur : 40 tahun

Alamat : Jl. Manunggal II RT. 09/RW 02

Tanggal masuk rumah sakit : 19 Mei 2020

II. ANAMNESA
Autoanamnesa dengan pasien pada tanggal 19 Mei 2020
Keluhan utama : Tensi tinggi
Keluhan tambahan : Tidak ada

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien seorang perempuan hamil G4P2A1 berusia 40 tahun mengaku hamil 8
bulan, HPHT pada 8 Oktober 2019, perkiraan usia kehamilan 31 minggu. Pasien rutin
memeriksakan kandungannya di klinik oleh bidan sejak usia kehamilan 3 bulan, pasien
juga pernah melakukan pemeriksaan USG dan didapatkan hasil pemeriksaan baik. Pasien
lupa Riwayat imunisasi TT.
Pasien datang dari Poli Kandungan RSUD Pesanggrahan dengan keluhan temsi
tinggi. Keluhan tensi tinggi sudah ada sejak 2 minggu SMRS saat ANC di klinik. Sejak
itu pasien diberi obat anti hipertensi namun tidak diminum rutin. Pasien sudah
mendapatkan terapi PEB di Poli Kandungan RSUD Pesanggrahan yaitu MgSO4 dan
Nifedipin pada pukul 10.20 siang tadi lalu setelah itu pasien dipindahkan ke ruang
perawatan. Keluhan pandangan buram, nyeri ulu hati, pusing, mual, muntah disangkal.
Pasien mengatakan Gerakan janin aktif, keluar air-air disangkal, mulas disangkal, keluar
lendir darah dari jalan lahir disangkal. Kedua tungkai bengkak sejak 3 minggu SMRS

Riwayat Penyakit Sebelumnya


Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada yang mengalami keluhan seperti pasien di keluarga pasien.

Riwayat Obstetri
G4P2A1
1. ♀ 18 tahun, lahir aterm ditolong oleh dukun beranak
2. ♂ 16 tahun lahir aterm ditolong oleh dukun beranak
3. Abortus, tahun 2012
4. Hamil saat ini

Riwayat KB
Pasien menggunakan KB suntik 3 bulan namun sudah tidak pernah KB sejak tahun 2018

III. PEMERIKSAAN FISIK

3.1 Pemeriksaan Umum


Dilakukan pada tanggal 19 Mei 2020, pukul 21.00 WIB
▪ Keadaan umum: Tampak sakit sedang
▪ Kesadaran: Kompos mentis
▪ Tanda-Tanda Vital:
o Frekuensi nadi : 118x/menit, reguler, kuat angkat, isi cukup.
o Tekanan darah : 169/100 mmHg
o Frekuensi nafas : 20x/menit.
o Suhu tubuh : 36,6°C (suhu axila)

3.2 Status Generalis Kepala :


Bentuk kepala normocephali. Rambut hitam, terdistribusi merata, tidak mudah dicabut
Wajah :
Raut muka pasien baik dan tidak terdapat kelainan fasies.

Mata :
Palpebra tidak edema, konjungtiva tidak hiperemis, sklera tidak hiperemis, pupil bulat
isokor, refleks cahaya langsung dan tidak langsung positif pada kedua pupil, lensa
jernih, tidak ada kelainan pada bola mata pasien.

Telinga :
Bentuk daun telinga normotia, tidak menggantung, posisi tidak rendah. Liang telinga
didapati lapang, tidak nampak adanya sekret maupun serumen. Gendang telinga intak,
tidak hiperemis, berwarna putih mengkilap.

Hidung :
Bentuk hidung normal, konka hiperemis, septum nasi di tengah, selaput lendir tidak
hiperemis. Tampak pernafasan cuping hidung. Sekret (-/-).

Mulut :
Bibir lembab, tidak sianosis. Lidah tidak tremor, gusi tenang. Faring hiperemis, tonsil
tidak tampak hiperemis dan membesar.

Leher :
Pada leher tidak terdapat kelainan bentuk, kelenjar tiroid tidak teraba, tekanan vena
jugularis tidak meninggi. Trakea terdapat di tengah. Pergerakan leher bebas.

Thoraks :
Bentuk dada normochest. Tidak ditemukan adanya krepitasi maupun benjolan. Tulang-
tulang iga intak dan sela iga dalam batas normal.

Paru :
▪ Pada inspeksi tidak tampak retraksi sela iga.
▪ Pada palpasi didapatkan vokal fremitus simetris
▪ Pada perkusi sonor/sonor.
▪ Pada auskultasi didapatkan suara nafas vesikuler di kedua lapang paru kiri sama
dengan kanan, tidak ditemukan ronkhi pada lapan paru kanan dan kiri, tidak
ditemukan wheezing.
Jantung :
▪ Inspeksi : Iktus kordis tidak nampak
▪ Palpasi : Vocal Fremitus simetris
▪ Perkusi : Sonor/ sonor
▪ Auskultasi : Bunyi jantung I dan II irreguler, tidak ada murmur, tidak ada gallop.

Abdomen :
▪ Inspeksi : Tampak cembung,
▪ Auskultasi : Sulit dinilai karena hamil
▪ Perkusi : Sulit dinilai karena hamil
▪ Palpasi : Pembesaran hepar dan lien sulit dinilai karena hamil

Tulang Belakang :
Tidak tampak skoliosis, kifosis, dan lordosis.

Genitalia Eksterna :
Tidak ada kelainan bentuk.

Ekstremitas :
Akral hangat, edema ekstremitas bawah +/+, tidak ada sianosis, tonus otot baik, telapak
tangan kanan dan kiri tidak pucat, telapak kaki kanan dan kiri tidak pucat, panjang
simetris, clubbing finger tidak ada.

Kulit :
Turgor baik di keempat ektremitas, ikterik tidak tampak, sianosis tidak ada, eritema
palmaris tidak ada, perfusi kurang dari 2 detik.

Kelenjar Getah Bening :


Tidak teraba kelenjar getah bening pada submandibula, leher, supraklavikula, ketiak, lipat
paha, maupun kelenjar getah bening di daerah lain.

Status Obstetri
- Leopold
Leopold 1 : Teraba masa lunak, tidak melenting, kontraksi negative
Leopold 2 : Teraba keras seperti appan di sebelah kanan ibu , bagian-bagian kecil
di sebelah kiri ibu, DJJ 132x/menit
Leopold 3 : Teraba masa keras melenting
Leopold 4 : Teraba masa keras melenting, kedua tangan membentuk sudut
konvergen 5/5
TFU : 24 cm
Genitalia :

Inspeksi : Tidak dilakukan


VT : Tidak dilakukan

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Jenis Pemeriksaan Hasil

HEMATOLOGI
Hb 13,4 gr/dl
Ht 38 %
Leukosit 8900 /µL
Trombosit 193.000 /µL
KIMIA DARAH
Ureum 14 mg/Dl
Creatinin 0,8 mg/dL
FUNGSI HATI
SGOT 24 /µL
SGPT 3 /µL
GLUKOSA
DARAH
GDS 116mg/dL
SEROLOGI
Anti HIV Non Reaktif
HBsAg Non Reaktif
Syphillis Non Reaktif
RAPID COVID 19 Non Reaktif
URINE
LENGKAP
Protein Urine Positif 1

USG
Janin presentasi kepala tunggal hidup intra uterine
Usia kehamilan ~ 31 minggu
TBJ 1600 gram
CTG

V. RESUME
Pasien seorang perempuan hamil G4P2A1 berusia 40 tahun mengaku hamil 8 bulan,
HPHT pada 8 Oktober 2019, perkiraan usia kehamilan 31 minggu. Pasien rutin
memeriksakan kandungannya di klinik oleh bidan sejak usia kehamilan 3 bulan,. Pasien
datang dari Poli Kandungan RSUD Pesanggrahan dengan keluhan temsi tinggi. Keluhan
tensi tinggi sudah ada sejak 2 minggu SMRS saat ANC di klinik. Sejak itu pasien diberi obat
anti hipertensi namun tidak diminum rutin. Pasien sudah mendapatkan terapi PEB di Poli
Kandungan RSUD Pesanggrahan yaitu MgSO4 dan Nifedipin lalu setelah itu pasien
dipindahkan ke ruang perawatan. Keluhan pandangan buram, nyeri ulu hati, pusing, mual,
muntah disangkal. Pasien mengatakan Gerakan janin aktif, keluar air-air disangkal, mulas
disangkal, keluar lendir darah dari jalan lahir disangkal. Kedua tungkai bengkak sejak 3
minggu SMRS
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran kompos mentis, TD: 165/96 mmHg N:
125x/menit, RR: 21x/menit, Suhu : 36,6ºC. Status generalis didapatkan edema kedua tungkai. Pada
pemeriksaan obstetric didapatkan Leopold 1 teraba masa lunak, tidak melenting, kontraksi
negative, Leopold 2 teraba keras seperti appan di sebelah kanan ibu , bagian-bagian
kecil di sebelah kiri ibu, DJJ 132x/menit, Leopold 3 teraba masa keras melenting, leopold 4
teraba masa keras melenting, kedua tangan membentuk sudut konvergen 5/5. TFU 24 cm
VI. DIAGNOSA KERJA
G4P2A1 Gravida 31 minggu dengan PEB, JPKTH

VII. PENATALAKSANAAN
Nonfarmakologi :
- Pemasangan DC

Farmakologi :
- MgSO4 40% 4gr bolus pelan dilanjutkan dengan dengan MgSO4 40% 6gr drip
dalam RL selama 6 jam
- Nifedipin 10 mg/20 menit sampai dengan 4x
- Dexamethasone 2x6mg iv

VIII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationum : ad bonam

Follow Up

Hari / Tanggal Subjective, Objective, Assesment, & Planning


Selasa, S Tidak ada keluhan. Gerakan janin aktif
19 Mei
2020 O TD: 169/100 mmHg, N : 118x/menit, RR :
21.00 20x/menit S : 36,8 °C SpO2 97%
DJJ 148x/menit His tidak ada
A G4P2A1 Gravida 31 minggu dengan PEB, JPKTH
IVFD RL+MgSO4 40% 10 gr 17 tetes per menit
P Terpasang DC
Monitor TTV
Rujuk RS dengan fasilitas NICU
Mengkonfirmasi ulang ketersediaan ruang NICU RSCM
Selasa, S Tidak ada keluhan. Gerakan janin aktif
19 Mei
2020 O TD: 170/98 mmHg, N : 125 x/menit, RR :
23.50 20x/menit S : 36,8 °C SpO2 98%
DJJ 138x/menit His tidak ada
A G4P2A1 Gravida 31 minggu dengan PEB, JPKTH
IVFD RL+MgSO4 40% 10 gr 17 tetes per menit
P
Terpasang DC
Monitor TTV
Acc rujuk oleh RSCM
00.30 Pasien dirujuk ke RSCM
BAB II

PENDAHULUAN

Hipertensi merupakan salah satu komplikasi medis yang lazim terjasi dalam kehamilan
dan berkontrikbusi secara signifikan terhadap morbiditas dan mortilitas ibu dan anak. Hipertensi
merupakan tanda dari kelainan patologis, yang dapat terjadi kembali atau muncul pertama kali
selama kehamilan. Preeklampsia merupakan kelainan multisistem yang dikarakteristikan dengan
terjadinya hipertensi (tekanan darah ≥140/90 mmHg) dengan proteinuria setelah usia kehamilan
20 minggu dimana sebelumnya tidak terdapat riwayat tekanan darah tinggi (normotensive) dan
proteinuria pada wanita.

Menurut WHO, 3 penyebab utama kematian pada ibu antara lain: perdarahan (30%),
hipertensi dalam kehamilan (25%), dan infeksi (12%). WHO memperkirakan bahwa
preeclampsia memiliki insiden 7x lebih besar di negara berkembang daripada di negara maju.
Prevalensi di negara maju berkisar antara 1,3% - 6%, sementara di negara berkembang sekitar
1,8% - 18%. Sedangkan di Indonesia, angka kejadian preeclampsia adalah 128.273/tahun atau
(2)
sekitar 5,3%. Di Indonesia preeklampsia berat dan eklampsia merupakan penyebab kematian
ibu berkisar 1,5 persen sampai 25 persen, sedangkan kematian bayi antara 45 persen sampai 50
persen. (2)
Patologi dasar yang mendasari terjadinya hipertensi adalah disfungsi endotel dan
vasospasme intensif, yang memengaruhi hampir seluruh pembuluh darah, terutama pada uterus,
ginjal, basis plasenta, dan otak. Agen yang memengaruhi terjadinya disfungsi endotel dan
vasospasme masih belum diketahui secara pasti, namun berikut ini adalah 2 hal yang yang
menjadi pertimbangan yaitu meningkatnya bahan-bahan penekan sirkulasi darah dan
meningkatnya sensitivitas sistem vaskular terhadap bahan-bahan penekan sirkulasi normal
(genetik).
Primigravida, usia, riwayat keluarga, riwayat preeklampsia sebelumnya, abnormalitas
plasenta, obesitas, penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil, DM
tipe 1, primipaternitas, thrombophilia merupakan factor yang mempengaruhi terjadinya
preeklampsia.

Oleh sebab itu, klinisi yang mengawasi pasien harus memiliki pengetahuan yang baik
mengenai anatomi dan struktur plasenta, serta memahami pathogenesis terjadinya preeklampsia,
sehingga mampu menegakkan diagnosis preeklampsia secara tepat dan memberikan terapi secara
akurat untuk memperbaiki luaran/outcome dan prognosis pasien preeklampsia dan bayinya.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
3.1.1 Hipertensi Dalam Kehamilan
Hipertensi merupakan salah satu komplikasi medis yang lazim terjasi dalam kehamilan
dan berkontrikbusi secara signifikan terhadap morbiditas dan mortilitas ibu dan anak. Hipertensi
merupakan tanda dari kelainan patologis, yang dapat terjadi kembali atau muncul pertama kali
selama kehamilan. Pada negara berkembang, dengan kehamilan yang tidak terkontrol secara
adekuat, kejadian hipertensi dalam kehamilan dapat tidak terdeteksi hingga menimbulkan
komplikasi yang lebih berat. (1)
Klasifikasi hipertensi dalam kehamilan menurut National High Blood Pressure Education
Program 2010 dan ACOG (American Collage of Obstetric and Gynecology) 2013 adalah sebagai
berikut: (1)
Kelainan Definisi
Hipertensi TD ≥ 140/90 mmHg dalam 2x pengukuran dengan interval min. 6
jam
Proteinuria Ekskresi protein dalam urin ≥0,3 g /24 jam specimen atau 0,1 g/L
Hipertensi TD ≥ 140/90 mmHg pertama kali dalam kehamilan setelah UK >20
Gestasional minggu, tanpa proteinuria
Preeklamsia Wanita dengan hipertensi gestasional dengan proteiunuria
Eklamsia Wanita dengan preeklamsia yang berkomplikasi dengan kejang
grand mal dan/atau koma
HELLP syndrome  Hemolisis (H)
 Elevated liver enzymes (EL)
 Low platelet count (LP)
Hipertensi kronik Diketahui hipertensi sebelum kehamilan atau hipertensi yang
terdiagnosa pertama kali sebelum 20 minggu kehamilan
Superimposed Terjadinya proteinuria dalam onset akut pada wanita dengan
preeklamsia/eklamsia hipertensi kronik
Hipertensi kronik Penyebab tersering pada hipertensi kronik:
dengan  Hipertensi esensial
superimposed  Chronic Kidney Disease (renovascular)
preeclampsia &  Koarktasi aorta
eclampsia  Kelainan endokrin (DM, pheocromocytoma, thyrotoxicosis)
 Kelainan jaringan ikat (SLE)
Kriteria diagnosis superimposed preeclampsia:
 Onset akut proteinuria > 0,5 g/24 jam specimen
 Hipertensi agravasi
 Berkembangnya HELLP syndrome
 Berkembangnya sakit kepala, skotoma, nyeri epigastrium

3.1.2 Preeklampsia
Preeklampsia merupakan kelainan multisistem yang dikarakteristikan dengan terjadinya
hipertensi (tekanan darah ≥140/90 mmHg) dengan proteinuria setelah usia kehamilan 20 minggu
dimana sebelumnya tidak terdapat riwayat tekanan darah tinggi (normotensive) dan proteinuria
pada wanita. Edema sudah tidak dimasukkan kedalam kriteria diagnostik untuk preeklamsia
kecuali bersifat patologis. Pada beberapa kasus, edema lazim ditemukan pada kehamilan normal.
Tanda-tanda preeklamsia dapat terjadi sebelum minggu ke 20 kehamilan seperti pada kasus mola
(1)
hidatidosa, dan polihidramnion akut. Klasifikasi Preeklampsia menurut ACOG, 2013 dibagi
menjadi 2: dengan tanda perburukan dan tanpa tanda perburukan. Preeclampsia dengan tanda
perburukan adalah sebagai berikut:
3.2 Epidemiologi
Menurut WHO, 3 penyebab utama kematian pada ibu antara lain: perdarahan (30%),
hipertensi dalam kehamilan (25%), dan infeksi (12%). WHO memperkirakan bahwa
preeclampsia memiliki insiden 7x lebih besar di negara berkembang daripada di negara maju.
Prevalensi di negara maju berkisar antara 1,3% - 6%, sementara di negara berkembang sekitar
1,8% - 18%. Sedangkan di Indonesia, angka kejadian preeclampsia adalah 128.273/tahun atau
(2)
sekitar 5,3%. Di Indonesia preeklampsia berat dan eklampsia merupakan penyebab kematian
ibu berkisar 1,5 persen sampai 25 persen, sedangkan kematian bayi antara 45 persen sampai 50
persen. (2)
Menurut penelitian yang dilakukan di Yogyakarta, Indonesia, didapatkan jumlah kasus
kejadian preeklampsia/eklampisa di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta pada tahun
2007–2009 adalah 118 kasus (3,9%) dari total persalinan (3036 persalinan), yang terdiri dari 19
kasus preeklampsia (16,1 persen) dan 99 kasus eklampsia (83,9 persen). Menurut usia ibu,
didominasi oleh kelompok usia 20-35 tahun (64,4%). Berdasarkan paritas sangat didominasi oleh
kelompok primigravida dengan jumlah 82 orang (69,5%), sedangkan dari tingkat ANC ibu,
didominasi oleh kelompok penderita yang melakukan ANC kurang dari 4 kali dengan jumlah 90
orang (76,3%), berdasarkan riwayat hipertensi, didominasi oleh 99 orang (83,9%) yang tidak
memilki riwayat hipertensi. (3)

3.3 Anatomi dan Fisiologi


a. Plasenta (4)
Setelah nidasi, trofoblas terdiri atas 2 lapisan , yaitu bagian dalam disebut sitotrofoblas
dan bagian luar disebut sinsisiotrofoblas. Endometrium atau sel desidua di mana terjadi nidasi
menjadi pucat dan besar disebut reaksi desidua. Sebagian lapisan desidua mengalami fagositosis
oleh sel trofoblas. Reaksi desidua agaknya merupakan proses untuk menghambat invasi, tetapi
berfungsi sebagai sumber pasokan makanan.
Sebagian sel trofoblas terus menembus bagian dalam lapisan endometrium mendekati
lapisan basal endometrium dimana terdapat pembuluh spiralis, kemudian terbentuk lakuna yang
berisi plasma ibu. Proses pelebaran darah arteri spiralis sangat penting sebagai bentuk fisiologik
yaitu model mangkuk. Hal ini dimungkinkan karena penipisan lapisan endotel arteri akibat invasi
trofoblas yang menumpuk lapisan fibrin disana.
Proses invasi trofoblas tahap kedua mencapai bagian miometrium arteri spiralis terjadi
pada kehamilan 14-15 minggu dan saat ini perkembangan plasenta telah lengkap. Apabila model
mangkuk tersebut kurang sempurna, akan timbul kekurangan pasokan darah ibu yang berakibat
iskemia plasenta dan terjadi preeklampsia. Lakuna yang terbentuk akan menjadi ruang intervilli.
Pada minggu ke 14 kehamilan struktur plasenta berkembang penuh dan plasenta tersebut
menempati kira kira sepertiga dinding uterus. Dari akhir minggu ke 8 kehamilan, plasenta
primitif telah mensekresikan estrogen, progesteron dan relaksin. Dari kehamilan minggu ke 9
pada saat vili chorion tertanam di dalam dinding uterus , maka dihasilkan hormon disebut
chorionic gonadotrophin (hCG). Fungsi hormon hCG adalah merangsang pertumbuhan korpus
luteum dan sekresi hormon korpus luteum dan dengan demikian memelihara kehamilan sampai
plasenta dapat berfungsi sempurna.
hCG disekresikan dalam jumlah yang makin meningkat sampai akhir kehamilan trimester
pertama dan setelah itu sekresinya menurun. Karena hormon ini hanya diproduksi oleh trofoblast
dan diekresikan di dalam urin, maka adanya hormon ini di dalam analisis urin merupakan
petunjuk positif adanya kehamilan. Dari minggu ke 16 dan seterusnya maka jumlah dan ukuran
pembuluh darah fetal meningkat, sedangkan dindaing vilinya menjadi lebih tipis, sehingga
selama trimester tengah (midtrimester) permeabilitas plasenta pada kenyataanya meningkat.
Walaupun demikian selama 4 minggu terakhir kehamilan, vasa tersebut berkurang lagi karena
terdapat deposit fibrin di dalam jaringan jaringan ini.
Setelah minggu ke 20 , plasenta terus bertambah luas, tetapi tidak bertambah tebal sampai
pada kehamilan cukup umur (aterm) diameternya sekitar 23 cm , merupakan organ yang bulat,
datar, dengan ketebalan 2 cm di bagian tengahnya tetapi lebih tipis di tepi tepinya dan memiliki
berat ± 500 g.
- Struktur plasenta
Villi akan berkembang seperti akar pohon dimana di bagian tengah akan mengandung
pembuluh darah janin. Pokok villi akan berjumlah lebih kurang 200, tetapi sebagian besar yang
di perifer akan menjadi atrofik, sehingga tinggal 40-50 berkelompok sebagai kotiledon.
Luas kotiledon pada plasenta aterm diperkirakan 11 m2. Bagian tengah villi adalah stoma
yang terdiri atas fibroblas, beberapa sel besar dan cabang kapilar janin. Bagian luar villi ada 2
lapis, yaitu sinsisiotrofoblas dan sitotrofoblas yang pada kehamilan akhir lapisan sitotrofoblas
akan menipis. Ada beberapa bagian sinsisiotrofoblas yang menebal dan melipat yang disebut
simpul. Bila sitotrofoblas mengalami hipertrofi, maka itu pertanda hipoksia.
- Permukaan Maternal
Didalam uterus permukaan maternal plasenta terletak setelah uterus, terkubur dalam di
dalm desidua. Pada pengamatan setelah lahir, villi korion tersusun dalam lobi atau kotiledon.
Alur alur yang memisahkan kotiledon disebut sulci. Permukaan sulci ini berwarna merah gelap,
karena adanya darah maternal di dalam ruangan antar vili dan karena adanya darah fetal di dalam
pembuluh darahyang terdapat pada setiap villus. Spatia intervillosa berisi kira kira 150 ml darah
yang diganti paling sedikit tiga kali setiap menit. Pada cukup umur (aterm) permukaan ini teraba
agak kasar karena setelah mencapai perkembangan penuh 28 minggu kehamilan, permukaan
tersebut perlahan mulai mengalami degenerasi. Fibrin dideposisikan diatas villli, dan deposit
kalsium terlihat dengan mata telanjang pada saat aterm. Apabila satu daerah yang luas pada
jaringan plasenta mengalami fibrosis dan menjadi putih, maka keadaan tersebut disebut infark.
Daerah tersebut menjadi tidak efisien dan berhenti berfungsi.
- Permukaan Fetal
Permukaan ini menghadap ke bayi didalam kandungan dan dapat dibedakan pada
inspeksi setelah kelahiran. Dengan warnanya yang abu abu kebiruan dan permukaan yang halus
dan mengkilat. Funiculus umbilicalis berinsersi pada permukaan ini biasanya dibagian tengah,
dan pembuluh darah dapat dilihat menyebar dari funiculuc umbilicalis kemudian menghilang
karena terkubur didalam plasenta sebelum mencapai tepi plasenta. Membran amnion menutup
permukaan fetal dan dapat dilacak ke belakang dari korion sejauh insersi funikulus umbilikalis.
Korion yang berasal dari lapisan trofoblast yang sama dengan plasenta, berlanjut dengan tepi
plasenta dan tidak dapat dipisahkan dari tepi plasenta ini.
- Arus Darah Utero-Plasenta
Janin dan plasenta dihubungkan dengan tali pusat yang berisi 2 arteri dan satu vena berisi
darah penuh oksigen, sedangkan arteri yang kembali dari janin berisi darah kotor. Bila terdapat
hanya satu arteri ada resiko kelainan kardiovaskulat ini dapat pada 1 : 200 kehamilan.
Tali pusat berisi massa mukopolisakarida yang disebut jeli wharton dan bagian luar
adalah epitel amnion. Panjang tali pusat bervariasi yaitu 30-90 cm. Pembuluh darah terbentuk
seperti helix, maksudnya agar terhindar dari torsi. Tekanan darah arteri pada akhir kehamilan
diperkirakan 70/60 mmHg, sedangkan tekanan vena diperkirakan 25 mmHg. Tekanan darah
yang relatif tinggi pada kapiler, termasuk pada vili maksudnya ialah seandainya terjadi
kebocoran, darah ibu tidak masuk ke janin.
Pada kehamilan aterm arus darah pada tali pusat berkisar 350 ml/menit. Pada bagian ibu
dimana arteri spiralis menyemburkan darah, tekanan relatif rendah yaitu 10 mmHg. Arus darah
uteroplasenta pada kehamilan aterm diperkirakan 500-750 ml/menit
Patologi pada berkurangnya aliran darah uteroplasenta, misalnya pada preeklamsia
mengakibatkan perkembangan janin terhambat. Konsep yang diterima saat ini ialah implantasi
plasenta yang memang tidak normal sejak awal menyebabkan model arteri spiralis tidak
sempurna (relatif kaku). Hal ini menyebabkan sirkulasi uteroplasenta abnormal dan berakibat
reriko preeklampsia.
Ada beberapa kondisi akut yang juga mempengaruhi fungsi plasenta yaitu solusio
plasenta , plasenta previa, kontraksi hipertonik dan obat epinefrin. Angiotensin II pada kadar
faali merupakan zat yang mempertahankan arusdarah uteroplasenta karena pengaruh pada
produksi prostasiklin. Namun bila kadar tinggi dapat terjadi vasokonstriksi. Obat penghambat
angiotensin, misalnya ACE inhibitor merupakan kontra indikasi pada kehamilan. Posisi ibu tidur
terlentang pada kehamilan aterm dapat mengurangi arus darah aortokaval yang disebabkan
himpitan uterus sehingga arus darah ke uterus berkurang.
- Amnion
Merupakan membran transparan yang kuat dan sangat sulit robek . membran ini
membatasi cavitas amniotica dan mensekresikan cairan amnion. Selaput amnion merupakan
jaringan avaskular. Bagian dalam selaput yang berhubungan dengan cairan merupakan jaringan
sel kuboid yang asalnya ektoderm. Jaringan ini berhubungan dengan lapisan intersisial
mengandung kolagen I, II, III dan IV. Bagian luar dari selaput ialah jaringan mesenkim yang
berasal dari mesoderm. Lapisan amnion ini berhubungan dengan korion leave.
Lapisan dalam amnion merupakan mikrovili yang berfungsi mentransfer cairan dan
metabolik. Lapisan ini menghasilkan zat penghambat metalloproteinase. Sel mesenkim berfungsi
menghasilkan kolagen sehingga selaput menjadi lentur dan kuat. Di simpang itu, jaringan
tersebut menghasilkan sitokin IL-6, IL-8, MCP-1 (monocit cheoattractant protein-1). Zat ini
bermanfaat untuk melawan bakteri. Disamping itu, selaput amnion menghasilkan zat vasoaktif,
endotelin-1 (vasokonstriktor) dan PHRP (parathyroid hormone related protein) suatu releksan.
Dengan demikian selaput amnion mengatur peredaran darah dan tonus pembuluh lokal.
Selaput amnion juga meliputi tali pusat. Sebagian cairan akan berasal pula dari difusi
pada tali pusat. Pada kehamialn kembar dikorionik diamniotik terdapat selaput amnion dari
masing masing yang bersatu. Namun ada jaringan korion leave ditengahnya (pada USG yampak
seperti huruf Y, pada awal kehamilan). Sedangkan pada kehamilan kembar dikorionik
monoamniotik (kembar satu telur) tidak akan ada jaringan korion diantara kedua amnion (pada
USG tampak gambaran hutuf T).
Masalah pada klinik ialah pecahnya ketuban berkaitan dengan kekuatan selaput. Pada
perokok dan infeksi terjadi pelemahan pada ketahanan selaput hingga pecah. Pada kehamilan
normal hanya ada sedikit makrofag. Pada saat kelahiran leukosit akan masuk ke dalam cairan
amnion sebagai reaksi terhadap peradangan. pada kehamilan normal tidak ada IL-1 B, tetapi
pada persalinan preterm IL- 1 B akan ditemukan. Hal ini berkaitan dengan terjadinya infeksi.
Sejak awal kehamilan cairan amnion telah dibentuk. Cairan amnion merupakan
pelindungan dan bantalan untuk proteksi sekaligus menunjang pertumbuhan. Osmolalitas, kadar
natrium, ureum, kreatinin tidak berbeda dengan kadar pada serum ibu, artinya kadar di cairan
amnion merupakan hasil difusi dari ibunya. Cairan amnion mengandung banyak sel janin
(lanugo, vernik kaseosa). Fungsi cairan amnion juga penting yaitu menghambat bakteri karena
mengandung zat seperti fosfat dan seng.
- Pembentukan Cairan
Selaput amnion yang meliputi permukaan plasenta akan mendapatkan difusi dari
pembuluh darah korion di permukaan. Volume cairan amnion pada kehamilan aterm rata rata
ialah 800ml., dengan pH 7.2 dan massa jenis 1.0085 . setelah 20 minggu produksi cairan berasal
dari urin janin. Sebelumnya cairan amnion juga banyak berasal dari rembesan kulit, selaput
amnion dan plasenta. Janin juga meminum cairan amnion diperkirakan 500ml/ hari. Selain itu
ada cairan yang masuk ke paru sehingga penting untuk perkembangannya.
Secara klinik cairan amnion akan dapat bermanfaat untuk deteksi dinikelainan kromosam
dan kelainan DNA dari minggu 12 – 20 minggu.cairan amnion yang terlalu banyak disebut
polihydramnion > 2 liter yang mungkin berkaitan dengan diabetes atau trisomi 18. Sebaliknya
cairan yang kurang disebut oligohydramnion yang berkaitan dengan ginjal janin, trisomi 21 atau
13atau hipoksia janin. Oligohydramnion dapat dicurigai bila terdapat kantong amnion yang
kurang dari 2x2 cm, atau indeks cairan pada 4 kuadran kurang dari 5 cm. Setelah 38 minggu
volume akan berkurang, tetapi pada postterm oligohydramnion merupakan penanda serius
apalagi bila bercampur mekonium.
- Korion
Adalah membran opak yang lebih tipis dan rapuh. Walaupun kelihatannya lebih tebal dari
pada amnion. Karena korion ini mudah robek, maka kadang kadang potongan potongan kecil
akan terlepas pada saat persalinan dan tertinggal di dalam uterus.
- Fungsi Plasenta
1. Nutrien, plasenta mempunyai banyak enzim yang dapat mensintesis:
Karbohidrat, glukosa melewati membran plasenta dengan sangat mudah, tetapi karbohidrat yang
kompleks perlu dipecah dahulu. Sebagian disimpan sebagai glikogen untuk kebutuhan fetus.
Protein, dipecah menjadi asam asam amino sehingga dapat digunakan oleh fetus.
Lemak lebih sulit disederhanakan, dan untuk vitamin yang larut dalam lemak hanya dapat masuk
ke dalam fetus secara lambat. Sedangkan vitamin B dan c yang larut dalam air dapat dengan
mudah dipindahkan ke tubuh fetus.
Garam-garam mineral.
2. Produksi limbah dikembalikan ke peredaran darah maternal lewat villi korion, dapat
berupa produk yang mengandung nitrogen dan nutrien dan bilirubin, hasil pemecahan sel darah
merah.
3. Gas, oksihemoglobin maternal dipecah menjadi penyusunnya, yaitu oksidgen dan
hemoglobin.
Oksigen, difusikan melewati sawar plasenta untuk membentuk oksihemoglobin fetus. 20-35 ml
oksigen per menit dialirkan ke fetus. Jumlah sebenarnya bergantung pada keadaan pembuluh
darah maternal dan struktur yang ikut terlihat dalam pertukaran plasenta.
Karbon dioksida dikembalikan kme dalam plasenta untuk diekskresikan ke dalam peredaran
darah maternal.
Pasokan untuk fetus dilaksanakan di dalam vena umbilikalis dan produk limbah
dikembalikan lewat arteri umbillicale.

- Sistem Perlindungan
Melindungi jaringan fetus dari penolakan maternal. Jaringan fetus yang berbeda secara
genetik dengan ibu dapat dipandang sebagai benda asing dan dapat ditolak oleh ibu apabila tidak
terdapat plasenta. Banyak penelitian telah dipusatkan pada kenyataan ini.
Telah diperagakan di dalam laboratorium bahwa aktivitas limfosit dapat ditekan oleh
beberapa hormon seperti estrogen, progesteron, prolaktin dan hCG. Dengan demikian hormon
hormon plasenta melawan setiap kemungkinan penolakan jaringn fetus.
Perlindungan parsial terhadap infeksi. Plasenta meneruskan antibodi dari ibu yang
memberikan imunitas pasif bagi fetus terhadap penyakit yang telah menimbulkan imunitas di
dapat pada ibu. Perlindungan ini dapat terjadi sampai beberapa bukan awal kehidupan. Walaupun
demikian, fetus tidak dapat terlindung terhadap virus seperti virus rubella dan virus varicella atau
terhadap spirochaeta sifilis. Pada keadaan bila virus rubella yang ditularkan pada awal
perkembangan fetus, maka sangat mungkin terdapat efek pada jantung, mata dan telinga. Apabila
sifilis yang ditularkan dan tidak diobati maka bayi akan menderita sifilis. Apabila ibu sudah
mengalami sensitisasi, maka ibu dengan rhesus negatif akan membentuk antibodi terhadap
antigen rhesus di dalam tubuhnya apabila fetus mempunyai rhesus positif. Plasenta tidak mampu
menghalangi antibodi, dan dengan demikian antibodi antibodi tersebut akan mengalami difusi ke
dalam sistem fetal, antibodi tersebut akan mengalami difusi ke sistem fetal , merusak eritrosit
sehingga menyebabkan berbagai derajat anemia dari yang sangat ringan sampai hidrops fetalis
apabila kelainan tersebut tidak terdiagnosis dan diobati.
Organisme penyebab sifilis dan tuberkulosis juga rhesus antibodi, semuanya dapat
memengaruhi fungsi plasenta dan dapat menyebabkan penampakkan plasenta yang abnormal.
- Sistem sekresi
hCG diproduksi pada awal hari ke 9 setelah konsepsi, dan hormon ini mencapai
puncaknya pada hari ke 60. Kadar hormon ini kemudian turun dan tetap rendah sampai pada
akhir kehamilan. Fungsi hormon ini adalah untuk memelihara corpus luteum sampai plasenta
dapat menggantikannya memproduksi estrogen dan progesteron. hCG dieksresikan ke dalam urin
dan menjadi dasar untuk uji diagnostik kehamilan secara imunologis.
Estrogen meningkat selama kehamilan dan membantu mempengaruhi endometrium
dalam minggu minggu awal kehamilan. Estrogen juga mengembangkan fungsi sekresi payudara.
Pada akhir kehamilan, kenaikan estrogen maternal dominan dan bersama dengan steroid fetus
akan meransang produksi prostaglandin. Keadaan ini pada gilirannya meransang produksi
oksitosin dari glandula pituitaria anterior. Estrogen juga meningkatkan kepekaan otot otot uterus
terhadap oksitosin yang memulai kontraksi uterus dan mulainya persalinan.
Progesteron sejumlah besar disintesis dari kolesterol maternal, tetapi plasenta tidak
mempunyai enzim yang dibutuhkan untuk mengubah sejumlah kolesterol ini menjadi estrogen
(estrol, estron dan estradiol). Sintesis ini sebenarnya dilakukan oleh glandula adrenalis fetus
imatur. Kelihatannya aneh bahwa walaupun fetus tidak dapat membuat estrogen sendiri, tetapi
fetus dapat mengubah dan menggunakan estrogen ibu.

(4)
b. Fisiologi Janin
Sejak konsepsi perkembangan konsepsus terjadi sangat cepat yaitu zigot mengala mi
pembelahan menjadi morula, kemudian menjadi blastokis yang mencapai uterus dan kemudian
sel sel mengelompok, berkembang menjadi embrio sampai minggu ke 7. Setelah minggu ke 10
hasil konsepsi disebut janin. Konseptus ialah semua jaringan konsepsi yang membagi diri
menjadi berbagi jaringan embrio, korion, amnion dan plasenta.
- Embrio dan Janin
Embrio akan berkembang sejak usia 3 minggu hasil kosepsi. Secara klinik pada usia
gestasi 4 minggu dengan usg akan tampak sebagai kantong gestasi berdiameter 1 cm, tetapi
embrio belum tampak, pada minggu ke 6 dari haid terakhir – usia konsepsi 4 minggu usia
embrio berukuran 5 mm, kantong gestasi berukuran 2-3 cm. Pada saat itu akan tampak denyut
jantung secara USG. Pada akhir minggu ke 8 usia gestasi 6 minggu usia embrio berukuran 22 –
24 mm. Dimana akan tampak kepala yang relatif besar dan tonjolan jari. Gangguan atau
teratogen akan mempunyai dampak berat apabila terjadi pada gestasi kurang dari 12 minggu,
terlebih pada minggu ke 3.
- Sistem Kardiovaskuler
Tali pusat berisi satu vena dan 2 arteri. Vena ini menyalurkan oksigen dan makanan dari
plasenta ke janin. Sebaliknya kedua arteri menjadi pembuluh balik yang menyalurkan darah ke
arah plasenta untuk dibersihkan dari sisa metabolisme. Perjalanan darah dari plasenta melalui
vena umbilikalis adalah sebagai berikut. Setelah melewati dinding abdomen, pembuluh vena
umbilikal mengarah ke ata menuju hati, membagi menjadi 2. Darah yang masuk ke jantung
kanan ini mempunyai kadar oksigen seperti arteri meski bercampur sedikit dengan darah vena
kava.
Darah ini akan langsung menyemprot melalui foramen ovale pada septum, masuk ke
atrium kiri dan selanjutnya melalui ventrikel liri akan menuju aorta dan seluruh tubuh. Darah
berisi banyak oksigen itu terutama akan memperdarahi organ vital jantung dan otak.
Setelah bayi lahir , semua pembuluh umbilikal, duktud venosus dan duktus arterio
venosus akan mengerut. Pada saat lahir akan terjadi perubahan sirkulasi, dimana terjadi
perkembangan paru dan penyempitan tali pusat. Akibat peningkatan kadar oksigen pada sirkulasi
paru dan vena pulmonalis, duktus arteriosus akan menutup akan menutup dalam 3 hari dan total
pada minggu ke 2. Pada situasi dimana kadar oksigen kurang yaitu pada gagal nafas, duktus akan
relatif membuka.
- Darah Janin
Darah janin mengalami proses pembentukan yang unik yaitu bermula diproduksi di
yolksac, kemudian di hati dan akhirnya di sumsum tulang. Eritrosit janin relatif besar dan
berinti. Hemoglobin mengalami peningkatan dari 12 g/dl pada pertengahan kehamilan menjadi
18 g/dl pada aterm. Volume darah diperkirakan 78 ml.kg berat, sedangkan isi darah plasenta
segera setelah pemotongan tali pusat ialah 45 ml/kg.
- Sistem Respirasi
Gerakan napas janin telah dapat dilihat sejak kehamilan 12 minggu dan pada 34 minggu
secaraa regular gerak napas ialah 40 – 60/menit dan diantara jeda adalah periode apnea. Cairan
ketuban akan masuk sampai bronkioli, sementara di dalam alveolus terdapat cairan alveoli.
Gerak napas janin diransang oleh kondisi hiperkapnia dan peningkatan kadar glukosa.
Sebaliknya kondisi hipoksia akan menurunkan frekuensi napas. Pada aterm normal, gerak mapas
akan berkurang dan dapat apnea selama 2 jam.
Alveoli terdiri atas dua lapis sel epitel yang mengandung sel tipe I dan II. Sel tipe II
membuat sekresi fosfolipid suatu surfaktan yang penting untuk fungsi pengembangan napas.
Surfaktan yang utama ialah sfingomieling dan lesitin serta fosfatidil gliserol. Produksi
sfingomielin dan fosfatidil gliserol akan memuncak pada 32 minggu, sekalipun sudah dihasilkan
sejak 24 minggu. Pada kondisi tertentu misalnya, diabetes produksi surfaktan ini kurang , juga
pada preterm ternyata dapat diransang untuk menigkat dengan cara pemberian kortikosteroid
pada ibunya. Steroid dan faktor pertumbuhan terbukti meransang pematangan paru melalui suatu
penekanan protein yang sama. Pemeriksaan kadar L/S rasio pada air ketuban merupakan cara
untuk mengukur tingkat kematangan paru, dimana rasio L/S > 2 menandakan paru matang.
- Sistem Gastrointestinal
Perkembangan dapat dilihat diatas 12 minggu dimana akan nyata pada pemeriksaan USG.
Janin meminakan terdengar peristaltik usus. Protein dan cairan amnion yang ditelan akan
menghasilkan mekonium didalam usus. Mekonium ini akan tetap tersimpan sampai partus,
kecuali pada keadaan hipoksia atau fetal distres akan tampak cairan bercampur mekonium.
- Sistem Ginjal
Pada 22 minggu akan tampak pembentukan korpuskel ginjal di zona jukstaglomerularis
yang berfungsi filtrasi. Ginjal terbentuk sempurna pada minggu ke 36. Pada janin hanya 2% dari
curah jantung mengalir ke ginjal, mengingat sebagian besar sisa metabolisme dialirkan ke
plasenta. Sementara itu, tubuli juga mampu filtrasi sebelum glomerulus berfungsi penuh. Urin
janin menyumbang cukup banyak pada volum cairan amnion. Bila terdapat kondisi
oligohidramnion itu merupakan petanda penurunan fungsi ginjal atau sirkulasi.

3.4 Etiopatogenesis
Patologi dasar yang mendasari terjadinya hipertensi adalah disfungsi endotel dan
vasospasme intensif, yang memengaruhi hampir seluruh pembuluh darah, terutama pada uterus,
ginjal, basis plasenta, dan otak. Agen yang memengaruhi terjadinya disfungsi endotel dan
vasospasme masih belum diketahui secara pasti, namun berikut ini adalah 2 hal yang yang
menjadi pertimbangan:
 Meningkatnya bahan-bahan penekan sirkulasi darah
 Meningkatnya sensitivitas sistem vaskular terhadap bahan-bahan penekan sirkulasi
normal (genetik).
Kondisi hipertensi dalam kehamilan lebih banyak muncul pada wanita dengan karakter:
1. Terekspose villi chorialis pertama kali
2. Terekspose villi chorialis dalam jumlah yang besar, seperti pada kehamilan gemelli atau
mola hidatidosa
3. Mempunyai kondisi sebelumnya seperti aktivitas sel endotel atau inflamasi seperti
diabetes, penyakit ginjal atau jantung
4. Secara genetik mempunyai predisposisi untuk berkembang hipertensi dalam kehamilan
Preeklamsia merupakan sebuah sindrom sistemik dalam kehamilan yang bermula dari
plasenta. Preeklamsia dipikirkan sebagai akibat dari invasi sitotrofoblas yang inadekuat diikuti
dengan disfungsi endotel maternal yang meluas. Berbagai faktor seperti renin-aldosteron-
angiotensin, stress oksidatif berlebihan, inflamasi, maladaptasi sistem imun,dan genetik diduga
berperan dalam pathogenesis preeklamsia. Normalnya, sitotrofoblas ekstravili dari janin
menginvasi lapisan endotel arteri spiraslis ibu. Arteri spiralis akan diubah dari pembuluh darah
yang kecil dengan resistensi tinggi menjadi lebar sehingga perfusi plasenta untuk nutrisi janin
akan cukup. Pada preeklamsia, perubahan ini tidak terjadi dengan sempurna. Invasi sitotrofoblas
ke arteri spiralis terbatas hanya sampai pada desidua superfisialis sehingga segmen arteri pada
myometrium tetap sempit. Sitotrofoblas juga tidak mengalmai pseudovaskulogenesis karena
normalnya terjadi perubahan fenotip epitel menjasi seperti sel endotel yang memiliki permukaan
adhesi. Hal ini menyebabkan buruknya daya invasi ke arteri spiralis yang berada di miometrium.
Defek awal inilah yang menyebabkan iskemia plasenta. Plasentasi yang abnormal diperkirakan
menyebabkan lepasnya berbagai factor yang masuk ke sirkulasi maternal sehingga menyebabkan
berbagai tanda dan gejala klinis preeklamsia. Semua gejala klinis preeklamsia disebabkan oleh
endoteliosis glomerulus, peningkatan permeabilitas vascular, dan respon inflamasi sistemik ya ng
menyebabkan jejas dan/atau hipoperfusi pada organ. Manifestasi klinis biasanya terjadi setelah
usia kehamilan lebih dari 20 minggu.

3.5 Patofisiologi
Hipertensi pada kehamilan memengaruhi ibu dan anak. Dengan karakteristik
memengaruhi multi-sistem, jelaslah bahwa beberapa mekanisme patofisiologi ikut terlibat.
Faktor predominan pada patofisiologi preeklamsia dan hipertensi gestasional adalah vasospasme
maternal. Penyebab hipertensi dalam kehamilan hingga kini belum diketahiu dengan jelas.
Banyak teori yang telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam kehamilan, tetapi tidak
ada satupun teori tersebut yang dianggap mutlak benar. Teori-teori yang banyak dianut adalah:
1. Teori Kelainan Vaskularisasi Plasenta
Pada hamil normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi proses remodeling arteri
spiralis. Pada proses ini, terjadi invasi trofoblas ke dalam lapisan otot arteria spiralis, yang
menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis. Invasi
trovoblas juga memasuki jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan matriks menjadi
gembur dan memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi dan dilatasi. Hal ini memberi
dampak penurunan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular dan peningkatan aliran darah
pada utero plasenta. Akibatnya aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan
meningkat, sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin dengan baik.
Pada hipertensi dalam kehamilan proses remodeling arteri spiralis ini tidak terjadi.
Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis tidak
memungkinkan menglami distensi dan vasodilatasi. Sehingga aliran darah utero plasenta
menurun dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta.

2. Teori Iskemia Plasenta, Radikal Bebas dan Disfungsi Endotel


Terjadinya iskemia plasenta akibat kegagalan remodeling arteri spiralis meyebabkan
plasenta menghasilkan radikal bebas (oksidan).
Radikal bebas merupan senyawa yang menerima elektron atau atom yang mempunyai
elektron elektron tidak berpasangan. Salah satu oksidan penting yang sangat toxik dihasilkan
adalah radikal hidroksil, bersifat toksis terutama terhadap membran pembuluh darah. Radikal
hidroksil akan merusak membran sel, yang mengandung asam lemak tidak jenuh menjadi
peroksida lemak. Peroksida lemak selain akan merusak membran sel juga akan merusak nukleus,
dan protein sel endotel. Produksi oksidan dalam tubuh bersifat toksis, selalu diimbangi dengan
produksi antioksidan.
Akibat sel endotel terpapar peroksida lemak, maka terjadi kerusakan sel endotel yang
kerusaknnya dimulai dari membran sel endotel. Rusaknya sel endotel mengakibatkan
terganggunya fungsi endotel bahkan rusaknya seluruh struktur endotel. Keadaan ini disebut
disfungsi endotel. Pada waktu terjadi kerusakan sel endotel yang mengakibatkan disfungsi
endotel maka akan terjadi:
a. Gangguan metabolisme prostaglandin, karena salah satu fungsi endotel adalah
memproduksi prostaglandin yaitu menurunkan produksi prostasiklin (PGE2): suatu
vasodilator kuat.
b. Agregasi sel sel trombiosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan. Agregasi
tromboasit ini memproduksi tromboksan (TXA2) suatu vasokonstriksi kuat. Dalam
keadaan normal kadar prostasiklin lebih tinggi dari kadar tromboksan. Sedangkan pada
preeklampsia kadar tromboksan lebih tinggi sehingga terjadi vasokonstriksi dengan
terjadi kenaikan tekanan darah.
c. Perubahan khas pada sel endotel kapilar glomerulus
d. Peningkatan permeabilitas kapilar
e. Peningkatan produksi bahan bahan vasopresor, yaitu endotelin. Kadar NO (vasodilator
menurun).
f. Peningkatan faktor koagulasi.

3. Teori Intoleransi Imunologik Antara Ibu dan Janin


Pada perempuan hamil normal, respon imun tidak menolak adanya “ hasil konsepsi”
yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya Human Leukocyte antigen protein G (HLA-G)
yang berperan penting dalam modulasi respon imun, sehingga si ibu tidak menolak hasil
konsepsi. HLA-G pada plasenta berfungsi melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel Natural
killer ibu.
Pada plasenta hipertensi dalam kehamilan , terjadi penurunan ekspresi HLA-G yang
menyebabkan terhambatnya invasi trofoblas ke dalam desidua. HLA-G juga merangsang
produksi sitikon, sehingga memudahkan terjadinya inflamasi. Kemungkinan terjadi Imune-
Maladaptation pada preeklampsia.

4. Teori Adaptasi Kardiovaskular


Pada hamil normal, pembuluh darah refrakter terhadap bahan vasopresor. Refrakter
berarti pembuluh darah tidak peka terhadap rangsangan bahan vasopresor. Pada hipertensi dalam
kehamilan terjadi kehilangan daya refrakter dan terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan
bahan vasopresor. Banyak penelitian menyatakan bahwa kepekaan terhadap bahan vasopresor
sudah terjadi pada trimester satu.

5. Teori Genetik dan Defisiensi Gizi


Ada faktor keturunan dan familial dengan model gen tunggal. Genotip ibu lebih
menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial jika dibandingkan dengan
genotipe janin. Telah terbukti bahwa pada ibu yang mengalami preeklampsia, 26% anak
perempuannya akan mengalami preeklampsia pula.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa defisiensi gizi berperan dalam terjadinya
hipertensi dalam kehamilan. Dari penelitian menyatakan minyak ikan mengandung asam lemak
tak jenuh yang dapat menghambat produksi troboksan, menghambat aktivasi trombosit dan
mencegah vasokonstriksi pembuluh darah. Defisiensi kalsium pada diet perempuan hamil
mengakibatkan resiko terjadinya peeklampsia/eklampsia.

6. Teori Stimulus Inflamasi


Pada kehamilan normal plasenta juga melepaskan debris trofoblas, sebagai sisa-sisa
proses apoptosis dan nekrotik trofoblas akibat reaksi stres oksidatif. Bahan bahan ini yang
kemudian merangsang timbulnya proses inflamasi. Pada kehamilan normal, jumlah debris
trofoblas masih dalam batas wajar sehingga reaksi inflamasi juga masih dalam batas normal.
Berbeda pada proses apoptosis pada preeklampsia, dimana pada preeklampsia terjadi
peningkatan stres oksidatif sehingga produksi debris apoptosis dan nekrotik trofoblas juga
meningkat. Keadaan ini menimbulkan beban reaksi inflamasi dalam darah jauh lebih besar.
Respon inflamasi ini akan mengaktivaasi sel endotel dan sel makrofag yang lebih banyak pula.
Redman menyatakan, disfungsi endotel semacam ini mengakiibatkan aktivitas leukosit sangat
tinggi pada sirkulasi ibu.
Gambar 2. Perubahan invasi trofoblas pada preeclampsia dibandingkan dengan normal

Perubahan sistem dan organ pada preeclampsia


1. Volume plasma
Pada kehamilan normal, volume plasma meningkat secara bermakna (disebut
hypervolemia), untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan janin. Peningkatan tertinggi
volume plasma terjadi pada usia kehamilan 32-34 minggu. Namun, pada preeclampsia
terjadi penurunan volume plasma antara 30-40 % disbanding kehamilan normal (disebut
hipovolemia). Hipovolemia dengan adanya vasokontriksi, sehingga tejadi hipertensi.
Penurunan volume plasma berdampak luas pada organ-organ penting.

2. Hipertensi
Merupakan tanda terpenting untuk menegakkan diagnosis hipertensi dalam kehamilan.
Tekanan diastolic menggambarkan resistensi perifer, sedangkan tekanan sistolik
menggambarkan besaran curah jantung. Tekanan darah bergantung terutama pada curah
jantung, volume plasma, resistensi perifer, dan viskositas darah. Timbulnya hipertensi
adalah akibat vasospasme menyeluruh dengan ukuran tekanan darah ≥ 140/90 mmHg
selang 6 jam. Tekanan diastolic 90 mmHg dipilih sebagai batas hipertensi karena batas
tekanan diastolic 90 mmHg yang disertai proteinuria memiliki korelasi dengan kematian
perinatal tinggi. Mengingat proteinuria berkorelasi dengan nilai absolut tekanan darah
diastolic, maka kenaikan (perbedaan) tekanan darah tidak dipakai sebagai kriteria
diagnosis hipertensi, hanya sebagai tanda waspada. Mean Arterial Blood Pressure (MAP)
tidak berkorelasi dengan besaran proteinuria. MAP jarang dipakai oleh klinisi karena
kurang praktis dan sering terjadi kesalahan pengukuran.
3. Fungsi Ginjal
 Perubahan fungsi ginjal disebabkan oleh hal-hal berikut:
1. menurunnya aliran darah ke ginjal akibat hipovolemia sehingga terjadi oligouria
bahkan anuria
2. Kerusakan sel glomerulus mengakibatkan meningkatnya permeabilitas membrane
basalis sehingga terjadi kebocoran dan mengakibatkan proteinuria.
3. Terjadi Glomerullar Capillary Endotheliosis akibat sel endotel glomerular mem-
bengkak disertai deposit fibril. 

4. Gagal ginjal akut terjadi akibat nekrosis tubulus ginjal. Bila sebagian besar kedua
korteks ginjal mengalami nekrosis, maka terjadi "nekrosis koneks ginjal" yang
bersifat ireversibel. 

5. Dapat terjadi kerusakan intrinsik jaringan ginjal akibat vasospasme pembuluh
darah. Dapat diatasi dengan pemberian dopamin agar terjadi vasodilatasi pembuluh
darah ginjal.
 Proteinuria
- Proteinuria merupakan syarat untuk diagnosis preeclampsia, tetapi proteinuria
umumnya timbul jauh pada akhir kehamilan, sehingga sering dijumpai
preeclampsia tanpa proteinuria, karena janin sudah lahir lebih dulu.
- Pengukuran proteinuria, dapat dilakukan dengan
(a) urin dipstik: 100 mg/l atau +1, sekurang-kurangnya diperiksa 2 kali urin acak
selang 6 jam dan
(b) pengumpulan proteinuria dalam 24 jam. Dianggap patologis bila besaran
proteinuria > 300 mg/ 24 jam.

 Asam urat serum: umumnya meningkat > 5 mg/cc. Hal ini disebabkan oleh
hipovolemia, yang menimbulkan penurunan aliran darah ginjal dan laju filtrasi
glomerulus, sehingga sekresi asam urat menurun. Peningkatan asam urat dapat terjadi
juga akibat iskemia jaringan.
 Kreatinin: sama halnya dengan kadar asam urat serum. Dapat mencapai kadar krea-
tinin plasma > 7 mg/cc, dan biasanya terjadi pada preeklampsia berat dengan penyulit
pada ginjal.
 Oliguria dan anuria: Oliguria dan anuria terjadi karena hipovolemia sehingga aliran
darah ke ginjal menurun, berakibat pada turunnya produksi urin (oligouria), bahkan
dapat terjadi anuria. Berat ringannya oliguria menggambarkan berat ringannya
hipovolemia. Hal ini berarti menggambarkan pula berat ringannya preeklampsia.

4. Tekanan osmotik koloid plasma/tekanan onkotik
Osmolaritas serum dan tekanan onkotik menurun pada umur kehamilan 8 minggu. Pada
preeklampsia tekanan onkotik semakin menurun karena kebocoran protein dan
peningkatan permeabilitas vascular.
5. Koagulasi dan Fibrinolisis
Gangguan koagulasi pada preeklampsia, misalnya trombositopenia, jarang yang berat,
namun sering dijumpai. Oleh karena itu, hitung trombosit biasanya diperiksa pada
peempuan dengan hipertensi gestasional Pada preeklampsia terjadi peningkatan FDP,
penurunan anti- trombin III, dan peningkatan fibronektin.
6. Viskositas darah
Viskositas darah ditentukan oleh volume plasma, molekul makro: fibrinogen dan
hematokrit. Pada preeklampsia viskositas darah meningkat, mengakibatkan
meningkatnya resistensi perifer dan menurunnya aliran darah ke organ.

7. Hematokrit
Pada hamil normal hematokrit menurun karena hipervolemia, kemudian meningkat lagi
pada trimester III akibat peningkatan produksi urin. Pada preeklampsia hematokrit
meningkat karena hipovolemia yang menggambarkan beratnya preeklampsia.
8. Edema
Edema dapat terjadi pada kehamilan normai. Edema yang terjadi pada kehamilan mem-
punyai banyak interpretasi, misalnya 40% edema dijumpai pada hamil normal, 50%
edema dijumpai pada kehamilan dengan hipertensi, dan 80% edema dijumpai pada
kehamilan dengan hipertensi dan proteinuria.
Edema terjadi karena hipoalbuminemia atau kerusakan sel endotel kapilar. Edema yang
patologik adalah edema yang nondependen pada muka dan tangan, atau edema
generalisata, dan biasanya disertai dengan kenaikan berat badan yang cepat.
9. Hematologik
Perubahan hematologik disebabkan oleh hipovolemia akibat vasospasme, hipoalbumin-
emia hemolisis mikroangiopatik akibat spasme arteriole dan hemolisis akibat kerusakan
endotel arteriole. Perubahan terscbut dapat berupa peningkatan hematokrit akibat hipo-
volemia, peningkatan viskositas darah, trombositopenia, dan gejala hemolisis mikro-
angiopatik.
Disebut trombositopenia bila trombosit < 100.000 sel/ml. Hemolisis dapat me-
nimbulkan destruksi eritrosit.
10. Hepar
Dasar perubahan pada hepar ialah vasospasme, iskemia, dan perdarahan. Bila teriadi
perdarahan pada sei periportal lobus perifer, akan terjadi nekrosis sel hepar dan pe-
ningkatan enzim hepar. Perdarahan ini dapat meluas hingga di bawah kapsula hepar dan
disebut subkapsular hematoma. Subkapsular hematoma menimbulkan rasa nyeri di
daerah epigastrium dan dapat menimbuikan ruptur hepar, sehingga perlu pembedahan.
11. Neurologik
Perubahan neurologik dapat berupa:
. Nyeri kepala disebabkan hiperperfusi otak, sehingga menimbulkan vasogenik edema. o
Akibar spasme arteri retina dan edema retina dapat terjadi gangguan visus. Gangguan
visus dapat berupa: pandangan kabur, skotomata, amaurosis yaitu kebutaan tanpa;'elas
adanya kelainan dan ablasio retinae (retinal deacbment).
 . Hiperrefleksi sering dijumpai
pada oreeklampsia berat, tetapi bukan faktor prediksi terjadinya eklampsia.
 o Dapat
timbul kejang eklamptik. Penyebab kejang eklamptik belum diketahui dengan jelas.
Faktor-faktor yang menimbulkan kejang eklamptik ialah edema serebri, vasospasme
serebri dan iskemia serebri.
. Perdarahan intrakranial meskipun jarang, dapat terjadi
pada preeklampsia berat dan eklampsia.
12. Kardioaaskular
Perubahan kardiovaskular disebabkan oleh peningkamn cardiac afterload akibat hiper-
tensi dan penumnan cardiac preload akibat hipovolemia.
13. Paru
Penderita preeklampsia berat mempunyai risiko besar terjadinya edema paru. Edema paru
dapat disebabkan oleh payah jantung kiri, kerusakan sel endotel pada pembuluh darah
kapilar paru, dan menumnnya diuresis. Dalam menangani edema pani, pemasangan
Central Venous Presswre (CVP) tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya dari
pulmonary capillary uedge pressure.
14. lanin
Preeklampsia dan eklampsia memberi pengaruh buruk pada kesehatan janin yang di-
sebabkan oleh menurunnya perfusi utero plasenta, hipovolemia, vasospasme, dan ke-
rusakan sel endotel pembuluh darah plasenta.
Dampak preeklampsia dan eklampsia pada janin adalah:
 Intrauterine growth restriction (IUGR) dan oligohidramnion

 Kenaikan morbiditas dan mortalitas janin, secara tidak langsung akibat
intrauterine growth restriction, prematuritas, oligohidramnion, dan solusio
plasenta.

Gambar 3. Patofisiologi Manifestasi Klinis Preeklampsia


3.7 Faktor Resiko(1,2,4)
1. Primigravida
Pertama kali terpajan pada villi chorionic
2. Usia
Risiko hampir 2 kali lipat pada wanita >40 tahun
3. Riwayat Keluarga
Pada keluarga yang memiliki riwayat hipertensi atau preeclampsia sebelumnya risiko
meningkat hamper tiga kali lipat
4. Riwayat preeklampsia sebelumnya
Risiko meningkat hingga tujuh kali lipat
5. Abnormalitas Plasenta
Pada keadaan hiperplasentosis, misalnya: mola hidatidosa, kehamilan multipel, diabetes
mellitus, hidrops fetalis, bayi besar
6. Obesitas
Pada BMI >35kg/m2, resistensi insulin
7. Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil
8. DM tipe
9. Primipaternitas
Ibu multipara yang kemudian menikah lagi mempunyai risiko lebih besar terjadinya
hipertensi dalam kehamilan jika dibandingkan dengan suami yang sebelumnya.
10. Thrombophilia
Trombofilia adalah sekelompok kelainan pada darah yang memicu pembentukan bekuan
darah (trombosis). Keadaan ini dapat terjadi karena kelebihan faktor-faktor pembekuan darah
(prokoagulan) atau kekurangan faktor-faktor yang menghambat pembekuan darah atau
memecah bekuan darah (fibrinolisis) Banyak bukti menunjukkan bahwa perempuan penderiu
trombofilia memiliki peningkatan risiko dalam kehamilan seperti keguguran, preeklampsia
dan pertumbuhan janin terhambat.

3.8 Diagnosis
Menurut The American College of Obstetricians and Gynecologist, diagnosis preeclampsia
berat dapat ditegakkan bila ditemukan keadaan sebagai berikut :
1. Hipertensi(2)
- Kenaikan tekanan darah sistolik ≥ 160 mm Hg, atau
- Kenaikan tekanan darah sistolik ≥ 110 mmHg
Pengukuran tekanan darah dilakukan minimal 2 kali, dengan jarak beberapa 4 jam dengan
pengukuran pertama, dan dilakukan pada tangan yang sama dalam keadaan pasien berbaring.
2. Trombositopenia
Dengan hitung platelet <100.000/uL
3. Gangguan fungsi hepar yang ditandai dengan peningkatan enzim hepar yang abnormal (dua
kali lipat dari nilai normal), nyeri pada kuadran kanan atas abdomen atau nyeri epigastrium
4. Peningkatan kreatinin serum > 1,1 mg/dL
5. Edema paru
6. Serangan baru gangguan serebral dan penglihatan
7. Proteinuria(3)
Pengukuran proteinuria dilakukan uji dipstick dengan interpretasi hasil sebagai berikut :
Trace : 0,1 g/L
1+ : 0,3 g/L

2+ : 1 g/L
3+ : 3 g/L

3.9 Diagnosis Banding


Hipertensi dalam kehamilam tidak selalu di diagnose sebagai preeclampsia. Adapun
diagnose banding lainnya seperti :
- Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum umur kehamilan 20 minggu atau
hipertensi yang pertama kali didiagnosis seteiah umur kehamilan 20 minggu dan hipertensi
menetap sampai 12 minggu pascapersalinan. (sarwono)
- Hipertensi Gestational adalah hipertensi yang timbul pada kehamilan tanpa disertai
proteinuria dan hipenensi menghilang setelah 3 bulan pascapersaiinan atau kehamilan
dengan tanda-tanda preeklampsia tetapi tanpa proteinuria

3.10 Komplikasi
Komplikasi dari PEB meliputi komplikasi maternal dan fetal, dan sering terjadi pada pasien yang
tidak mandapatkan terapi.
1. Maternal
o Eclampsia
Eklampsia merupakan kasus akut pada penderita preeklampsia, yang disertai dengan
kejang menyeluruh dan koma. Eklampsia dapat timbul pada ante, intra, dan posrpartum.
Eklampsia posrpartum umumnya hanya terjadi dalam waktu 24 jam pertama setelah
persalinan (4)
o Edema paru
Pada preeklampsia berat, dapat terjadi edema paru akibat kardiogenik yaitu payah jantung
ventrikel kiri akibat peningkatan afterload sehingga kerja jantung bertambah atau non-
kardiogenik akibat kerusakan sel endotel pembuluh darah kapilar paru (4)
o Infark miokard
Infark miokard pada PEB terjadi karena vasokonstriksi dan spasme arteri yang
diakibatkan oleh hipertensi sehingg menurunkan aliran darah ke miokard.
o Stroke (2)
Stroke pada PEB terjadi karena perdarahan otak . Pada kasus PEB dimana tekanan darah
sistolik mencapai 160 mmHg maka stroke dapat terjadi. Komplikasi ini merupakan
penyebab utama kematian maternal.
o Acute Respiratory Distress Syndrome (5)
Merupakan kondisi yang mengancam nyawa dimana terjadi gangguan dalam pengambilan
oksigen ke paru dan darah dalam jumlah yang memadai. ARDS diawali oleh peningkatan
permeabilitas barier antara alveolus dan kapiler yang menyebabkan masuknya cairan ke
alveolus. Ditandai dengan pasien yang kesulitan bernafas. Nafas menjadi pendek dan
cepat. Pada pemeriksaan fisik didapatkan ronkhi yang menandakan adanya cairan pada
paru.
o Koagulopati (4)
Kebanyakan pasien preeclampsia mengalami Disseminated Intravascular Coagulopathy
(DIC). Terjadi karena kerusakan pada sel endothelial yang membuka kolagen utama
kedalam plasma dan mengaktifkan faktor koagulasi. Melalui mekanisme ini apabila
pelepasan tromboplastin cukup banyak maka akan terjadi DIC yang semakin menguras
persediaan fibrinogen dan faktor pembekuan lain. Maka terjadi gangguan pembekuan
darah yang secara lab ditandai dengan memanjangnya faktor pembekuan
o Gagal ginjal
Lesi khas pada ginjal pasien preeclampsia terutama glomeruloendoteliosis menyebabkan
penurunan perfusi dan laju filtrasi ginjal. Hal ini terjadi akibat berkurangnya volume
plasma sehingga kadar kreatinin plasma hamper dua kali lipat dibandingkan kadar normal
selama hamil.
o HELLP syndrome
Sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzymes, and Low Platelets) merupakan
komplikasi kehamilan serius yang dipicu oleh hipertensi dan sering dibahas bersama
dengan kelainan preeklampsia dan eklampsia. Sindrom HELLP umumnya terjadi di paruh
kedua masa kehamilan dan merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas maternal yang
tinggi. Trombositopenia merupakan kelainan yang paling dini dan paling sering pada
sindrom HELLP dan tampak pada semua ibu hamil yang menderitanya. Kelainan kaskade
koagulasi tampak dari pemanjangan PT, APTT, penurunan kadar fibrinogen, dan
gangguan enzim-enzim hati yang tidak terjadi jika perjalanan penyakit telah berlanjut.
Kadar LDH umumnya meninggi lebih cepat dibandingkan kelainan fungsi hati lainnya
yang mencerminkan sumbernya dari sel-sel darah merah yang mengalami hemolisis.
o Gangguan pada retina (4)
Pada PEB tampak edema retina dan spasme setempat maupun menyeluruh pada satu atau
beberapa arteri. Spasme arteri retina yang nyata dapat menunjukkan adanya PEB. Ablasio
retina biasanya disertai dengan kehilangan penglihatan. Dapat dijumpai adanya edema dan
spasme pembuluh darah orbital. Bila terjadi hal- hal tersebut, maka harus dicurigai
terjadinya preeklampsia berat. Gejala lain yang mengarah ke eklampsia adalah skotoma,
diplopia, dan ambliopia. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan peredaran darah dalam
pusat penglihatan di korteks serebri atau dalam retina.
2. Fetal(3)
o Intrauterine Fetal Death (IUFD)
o Intrauterine Growth Restriction (IUGR)/pertumbuhan janin terganggu
o Prematuritas
Menurunnya aliran darah uteroplasenta yang diakibatkan oleh spasme yang terjadi
pada PEB berakibat pada pertumbuhan janin terganggu dan juga dapat menyebabkan
gawat janin hingga kematian janin yang disebabkan kurangnya oksigenasi untuk janin.
Kenaikan tonus dari otot uterus dan kepekaan terhadap perangsangan menyebabkan
sering terjadinya partus prematurus pada pasien preeclampsia.

3.11 Penatalaksanaan (4,6)


Berdasar Williams Obstetrics, ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan
gejala-gejala preeklampsia berat selama perawatan; maka sikap terhadap kehamilannya
dibagi menjadi:
1. Aktif (agressive management):
Adalah melakukan pengakhiran kehamilan (terminasi) sambil memberikan
medikamentosa. Indikasi perawatan aktif adalah bila didapatkan satu atau lebih keadaan:
 Ibu
1. Usia kehamilan ≥ 37 minggu
2. Terdapat gejala-gejala atau tanda-tanda impending eclampsia
3. Kegagalan manajemen konservatif, seperti keadaan klinis dan laboratoris memburuk
4. Curiga terjadi solusio plasenta
5. Timbul tanda-tanda inpartu, ketuban pecah, atau perdarahan
 Janin
1. Terdapat tanda fetal distress
2. Terdapat tanda IUGR
3. NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal
4. Oligohidroamnion
 Lab
Terdapat tanda sindroma HELLP, lebih khusus menurunnya trombosit dengan cepat
Cara terminasi kehamilan dilakukan berdasarkan keadaan obstetric pasien, apakah sudah
inpartu atau belum.

2. Manajemen ekspektatif (konservatif) pada pre eklamsia


Adalah mempertahankan kehamilan bersamaan dengan pemberian medikamentosa.
Tujuan utama dari manajemen ekspektatif adalah untuk memperbaiki luaran perinatal dengan
mengurangi morbiditas neonatal serta memperpanjang usia kehamilan tanpa membahayakan
ibu. Manajemen ekspektatif tidak meningkatkan kejadian morbiditas maternal seperti gagal
ginjal, sindrom HELLP, angka seksio sesar, atau solusio plasenta. Sebaliknya dapat
memperpanjang usia kehamilan, serta mengurangi morbiditas perinatal seperti penyakit
membran hialin, necrotizing enterocolitis, kebutuhan perawatan intensif dan ventilator serta
lama perawatan. Berat lahir bayi rata -rata lebih besar pada manajemen ekspektatif, namun
insiden pertumbuhan janin terhambat juga lebih banyak. Pemberian kortikosteroid
mengurangi kejadian sindrom gawat napas, perdarahan intraventrikular, infeksi neonatal
serta kematian neonatal.
Indikasi perawatan konservatif adalah bila kehamilan preterm ≤37 minggu tanpa disertai
gejala impending eclampsia dengan keadaan janin baik. Medikamentosa sesuai dengan
penglolaan manajemen aktif. MgSO4 dihentikan selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam,
dan jika dalam 24 jam tidak menunjukkan adanya perbaikan maka kehamilan harus di
terminasi. Pasien boleh pulang jika keadaan gejala maupun tanda kembali kearah pre
eklamsia ringan.

Pengelolaan PEB mencakup pencegahan kejang, pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan,


mengatasi penyulit organ yang terlibat dan evaluasi saat tepat untuk melakukan persalinan.
Penderita PEB harus segera masuk RS untuk rawat inap dan melakukan tirah baring miring ke
satu sisi.(3Lakukan pemasangan foley cateter untuk mengukur output urin. Selain itu diet yang
diberikan adlah diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak, dan garam. Penatalaksanaan
kejang adalah dengan menggunakan MgSO4 sebagai anti kejang pilihan. MgSO4 bekerja dengan
menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada serat saraf dengan menghambat transmisi

neuromuscular. Pada pemberian magnesium akan menyebabkan kompetitif inhibition dengan


kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak terjadi.(4)
Diuretik hanya diberikan bila terdapat gejala edema paru, gagal jantung kongestif, dan edema
anasarka. Diuretik pilihan adalah Furosemid. Pemberian diuretikum dapat menyebabkan
hipovolemia, memperburuk perfusi utero-plasenta, meningkatkan hemokonsentrasi, dehidrasi
janin, dan menurunkan berat janin.(4) Keuntungan dan risiko pemberian antihipertensi pada
hipertensi ringan - sedang (tekanan darah 140 – 169 mmHg/90 – 109 mmHg), masih
kontroversial. European Society of Cardiology (ESC) guidelines 2010 merekomendasikan
pemberian antihipertensi pada tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau diastolik ≥ 90 mmHg
pada wanita dengan hipertensi gestasional (dengan atau tanpa proteinuria), hipertensi kronik
superimposed, hipertensi gestasional, hipertensi dengan gejala atau kerusakan organ subklinis
pada usia kehamilan berapa pun. Pada keadaan lain, pemberian antihipertensi direkomendasikan
bila tekanan darah ≥ 150/95 mmHg.Tekanan darah diturunkan secara bertahap, yaitu penurunan
awal sebanyak 25% hingga mencapai <160/105 atau MAP <125. (4)
Obat hipertensi yang dapat diberikan anatra lain (4):
1. Golongan Calcium channel blocker
Bekerja pada otot polos arteriolar dan menyebabkan vasodilatasi dengan menghambat
masuknya kalsium ke dalam sel. Selain sebagai anti hipertensi, nifedipin dalam persalinan
digunakan sebagai tokolitik untuk mencegah persalinan. Regimen yang direkomendasikan adalah
10 mg kapsul oral, diulang tiap 15 – 30 menit, dengan dosis maksimum 30 mg.
Nikardipin merupakan calcium channel blocker parenteral, yang mulai bekerja setelah 10
menit pemberian dan menurunkan tekanan darah dengan efektif dalam 20 menit (lama kerja 4 -6
jam). Dibandingkan nifedipin, nikardipin bekerja lebih selektif pada pembuluh darah di
miokardium, dengan efek samping takikardia yang lebih rendah. Laporan yang ada menunjukkan
nikardipin memperbaiki aktivitas ventrikel kiri dan lebih jarang menyebabkan iskemia jantung.
Dosis awal nikardipin yang dianjurkan melalui infus yaitu 5 mg/jam, dan dapat dititrasi 2.5
mg/jam tiap 5 menit hingga maksimum 10 mg/jam atau hingga penurunan tekanan arterial rata-
rata sebesar 25% tercapai. Kemudian dosis dapat dikurangi dan disesuaikan sesuai dengan
respon.

2. Golongan Beta blocker


Atenolol merupakan beta-blocker kardioselektif (bekerja pada reseptor P1 dibandingkan P2).
Atenolol dapat menyebabkan pertumbuhan janin terhambat, terutama pada digunakan untuk
jangka waktu yang lama selama kehamilan atau diberikan pada trimester pertama, sehingga
penggunaannya dibatasi pada keadaan pemberian anti hipertensi lainnya tidak efektif.
3. Metil dopa
Metildopa, agonis reseptor alfa yang bekerja di sistem saraf pusat, adalah obat antihipertensi
yang paling sering digunakan untuk wanita hamil dengan hipertensi kronis. biasanya dimulai
pada dosis 250-500 mg per oral 2 atau 3 kali sehari, dengan dosis maksimum 3 g per hari. Efek
obat maksimal dicapai 4-6 jam setelah obat masuk dan menetap selama 10-12 jam sebelum
diekskresikan lewat ginjal. Alternatif lain penggunaan metildopa adalah i.v 250-500 mg tiap 6
jam sampai maksimum 1 g tiap 6 jam untuk krisis hipertensi. Metildopa dapat melalui plasenta
pada jumlah tertentu dan disekresikan di ASI.
d. Terapi anti kejang
Terapi MgSO4 dapat digunakan sebagai anti kejang maupun profilaksis untuk
pencegahan terjadinya kejang. MgSO4 bekerja dengan menghambat atau menurunkan kadar
asetilkolin pada serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuscular. Pada pemberian
magnesium akan menyebabkan kompetitif inhibition dengan kalsium, sehingga aliran
(3)
rangsangan tidak terjadi. Guideline RCOG merekomendasikan dosis loading magnesium sulfat
4 g selama 5-10 menit, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 6 g/ 6 jam dalam RL 500cc atau
1-2 g/jam selama 24 jam post partum atau setelah kejang terakhir, kecuali terdapat alasan
tertentu untuk melanjutkan pemberian magnesium sulfat. Pemberian ulang 2 g bolus dapat
dilakukan apabila terjadi kejang berulang.(6)
Syarat pemberian MgSO4:
1. Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi diberikan Ca glukonas 10%
diberikan i.v selama 3 menit.
2. Refleks patella kuat
3. Frekuensi pernafasan >16x/menit
Pemberian MgSO4 dihentikan bila:
1. Terdapat tanda intoksikasi
2. Setelah 24 jam pasca persalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir
Bagan penatalaksanaan preeclampsia berat dengan usia kehamilan ≤34 minggu (6)
BAB IV
ANALISA KASUS

Pasien seorang perempuan hamil G4P2A1 berusia 40 tahun mengaku hamil 8 bulan,
HPHT pada 8 Oktober 2019, perkiraan usia kehamilan 31 minggu. 2 minggu yang lalu, pasien
melakukan ANC di klinik bidan dan didapatkan tensi pasien tinggi..
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran kompos mentis, TD: 165/96 mmHg N: 125x/menit,
RR: 21x/menit, Suhu : 36,6ºC. Status generalis didapatkan edema kedua tungkai. Pada pemeriksaan
obstetric didapatkan Leopold 1 teraba masa lunak, tidak melenting, kontraksi negative, Leopold
2 teraba keras seperti papan di sebelah kanan ibu , bagian-bagian kecil di sebelah kiri ibu, DJJ
132x/menit, Leopold 3 teraba masa keras melenting, leopold 4 teraba masa keras melenting,
kedua tangan membentuk sudut konvergen 5/5. TFU 24 cm
Hipertensi menurut ACOG didefinisikan sebagai TD ≥ 140/90 mmHg dalam 2x
pengukuran dengan interval min. 6 jam, sedangkan hipertensi gestasional didefinisakan sebagai
TD ≥ 140/90 mmHg pertama kali dalam kehamilan setelah UK >20 minggu, tanpa proteinuria.
Dan preeklampsia didefinisikan sebagai wanita dengan hipertensi gestasional dengan
proteiunuria.

Berdasarkan anamnesis pasien mengatakan TD tinggi sejak 2 minggu yang lalu, yang
berarti pertama kali tensi tinggi saat usia kehamilan sekitar 29 minggu. Sesuai dengan definisi
PEB yaitu kelainan multisistem yang dikarakteristikan dengan terjadinya hipertensi (tekanan
darah ≥140/90 mmHg) dengan proteinuria setelah usia kehamilan 20 minggu dimana
sebelumnya tidak terdapat riwayat tekanan darah tinggi (normotensive) dan proteinuria. Selain
itu, dilihat dari usia pasien yang sudah menginjak 40 tahun, risiko untuk terjadinya preeklampsia
meningkat 2x lipat.. Pada pemeriksaan protein urine didapatkan protein urine positif . Pada
pemeriksaan fisik didapatkan edema pada kedua tungkai, dimana 80% edema dijumpai pada
80% kehamilan dengan hipertensi dan proteinuria.

Penatalaksanaan pada pasien ini adalah dengan memasukkan pasien ke ruang rawat inap
dan melakukan tirah baring dan pemasangan folley catheter untuk memantau urine output.
Dikarenakan usia kehamilan pasien <37 minggu maka dilakukan manajemen ekspektatif
(konservatif) manajemen ekspektatif adalah mempertahankan kehamilan bersamaan dengan
pemberian medikamentosa. Tujuan utama dari manajemen ekspektatif adalah untuk
memperbaiki luaran perinatal dengan mengurangi morbiditas neonatal serta memperpanjang usia
kehamilan tanpa membahayakan ibu. Indikasi perawatan konservatif adalah bila kehamilan
preterm ≤37 minggu tanpa disertai gejala impending eclampsia dengan keadaan janin baik.
Medikamentosa sesuai dengan penglolaan manajemen aktif. MgSO4 dihentikan selambat-
lambatnya dalam waktu 24 jam, dan jika dalam 24 jam tidak menunjukkan adanya perbaikan
maka kehamilan harus di terminasi.

Pada pasien dilakukan pemberian MgSO4 40% untuk pencegahan kejang, MgSO4
bekerja dengan menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada serat saraf dengan
menghambat transmisi neuromuscular. Pada pemberian magnesium akan menyebabkan
kompetitif inhibition dengan kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak terjadi. Pada pasien juga
diberikan obat anti hipertensi yaitu nifedipine 4x10mg , nifedipine termasuk obat golongan
calcium channel blocker, obat ini bekerja pada otot polos arteriolar dan menyebabkan
vasodilatasi dengan menghambat masuknya kalsium ke dalam sel. Pemberian Dexamethasone
pada pasien dimaksudkan untuk memperbaiki luaran perinatal dengan mengurangi morbiditas
neonatal. Pemberian kortikosteroid mengurangi kejadian sindrom gawat napas, perdarahan
intraventrikular, infeksi neonatal serta kematian neonatal. Namun setelah dilakukan manajemen
ekspektatif selama sekitar 14 jam, pada pasien tidak menunjukkan adanya penurunan TD. Maka
dari itu pasien dirujuk ke RS yang memiliki fasilitas NICU untuk nantinya kehamilan pasien
akan diterminasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Dutta DC. Textbook of Obstetrics including Perinatology and Contraception. New Delhi:Jaypee
Brothers Medical Publisher (P)Ltd. 2015;256
2. The American College of Obstetricians and Gynecologist. Hypertension in Pregnancy.
Washington DC. 2013;3-4,19, 54-5
3. Clinical Practice Guideline. The Diagnosis and Management of Pre-Eclampsia and Eclampsia.
Institute of Obstetricians and Gynaecologists, Royal College of Physicians of Ireland. 2013;5.
4. Sarwono Prawirohardjo. Ilmu Kebidanan. 4 th ed. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
2014.
5. NLM. Acute Respiratory Distress Syndrome.
Diunduh dari https://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000103.htm. Diakses 22 Januari
2017
6. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap LC, Wenstrom KD. William
Obstetrics. 23rd Ed Vol.1. USA: McGrawHill Companies, 2012:30-7

Anda mungkin juga menyukai