Anda di halaman 1dari 30

JOURNAL READING

EFEK SAMPING PEMAKAIAN OBAT ANTIPSIKOTIK

Disusun Oleh :

Dian Rahayu Ningtias

Pembimbing :

dr. Salikur, Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

RUMAH SAKIT JIWA DR. SOEHARTO HEERDJAN JAKARTA

PERIODE 10 JUNI 2019 – 13 JULI 2019


KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat-Nya yang
begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tugas Journal
Reading yang berjudul “Efek Samping Pemakaian Obat Antipsikotik” pada
kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Jiwa Rumah Sakit Jiwa DR. Soeharto
Heerdjan.
Pertama-tama kami ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak
yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini, terutama
kepada dr. Salikur, Sp.KJ selaku pembimbing yang telah memberikan ilmu dan
bimbingannya, serta rekan-rekan seperjuangan sehingga journal reading ini dapat
diselesaikan. Penulis berharap journal reading ini dapat memenuhi tugas yang
diberikan pada kepaniteraan klinik di Rumah Sakit Jiwa DR. Soeharto Heerdjan.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak
kekurangan, oleh karena itu segala kritik dan saran dari semua pihak yang
membangun guna menyempurnakan makalah ini sangat penulis harapkan.
Demikian yang penulis dapat sampaikan, semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi berbagai pihak.

Jakarta, Juni 2019

Penyusun

i
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Dian Rahayu Ningtias

NIM : 03014052

Universitas : Trisakti

Judul : Efek Samping Pemakaian Obat Antipsikotik

Bagian : Ilmu Kesehatan Jiwa

Pembimbing : dr. Salikur, Sp.KJ

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Dan Melengkapi Salah

Satu Syarat Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian

Ilmu Kesehatan Jiwa

Di Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan

Jakarta, Juni 2019

Pembimbing

dr. Salikur, Sp.KJ

ii
DAFTAR ISI

Hal

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................................iii

BAB I TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................1

1.1 Antipsikotik ................................................................................................1

1.2 Klasifikasi Antipsikotik..............................................................................2

1.3 Efek Merugikan Antipsikotik.....................................................................2

BAB II JOURNAL READING................................................................................5

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................16

iii
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Antipsikotik
Antipsikotik bermanfaat pada terapi psikosis akut maupun kronik, suatu
gangguan jiwa berat. Ciri terpenting obat antipsikotik adalah (1) berefek
antipsikosis; (2) dosis besar tidak menyebabkan koma dalam ataupun anestesia;
(3) dapat menimbulkan gejala ekstrapiramidal yang reversibel atau irreversibel.
Pada neuroleptik yang lebih baru, efek samping ini minimal sehingga antipsikotik
menurut efek samping ekstrapiramidal yang ditimbulkan terbagi menjadi
antipsikotik tipikal dan atipikal; (4) tidak ada kecenderungan untuk menimbulkan
ketergantungan fisik dan psikis.1

Efek samping ini ada yang dapat ditolerir oleh pasien , ada yang lambat
dan ada yang sampai membutuhkan obat simptomatis untuk meringankan
penderitaan pasien. Dalam penggunaan obat antipsikotik yang ingin dicapai
adalah “optimal response with minimal side effect”. Efek samping juga dapat
irreversible, seperti (gerakan berulang involunter pada : lidah, wajah,
mulut/rahang, dan anggota gerak, dimana pada waktu tidur gejala tersebut
menghilang). 2

1.2 Klasifikasi Antipsikotik


Obat antipsikotik diklasifikasikan sebagai berikut:1

A. Antipsikosis tipikal golongan fenotiazin : Klorpromazin, flufenazin,


perfenazin,tioridazin, trifluperazin

B. Antipsikosis tipikal golongan lain : Klorprotiksen, droperidol, haloperidol,


loksapin, molindon, tioktiksen

C. Antipsikosis atipikal : Klozapin, olanzapin, risperidon, quetiapin, sulpirid,


ziprasidon, aripriprazol, zotepin, amilsulpirid

1
2
1.3 Efek Merugikan Antipsikotik
Kebanyakan efek-efek yang tidak diinginkan dari obat-obat antnipsikotik
merupakan perluasan dari dampak farmakologis obat itu sendiri, tetapi beberapa
diantaranya merupakan alergi dan ada yang idiosinkratik.

Antipsikotik Generasi pertama (FGAs) bekerja dengan memblokade


neuroreseptor dopamin D2. Untuk mendiskusikan perbedaan efek samping dari
FGAs (First Generation Antipsychotic), kita menggunakan istilah “low potency”
dan “high potency”, tidak ditujukan untuk efektivitas klinis, tetapi untuk
menyatakan kemampuan dalam mengikat neuroreseptor dopamin D2 ini.

Antipsikotik Genersi Kedua (SGAs) di perkenalkan pada tahunn 1989


ketika peneliti menemukan clozapin yang lebih efektif dari clorpromazine, dengan
gejala ekstrapiramidal yang lebih sedikit. Antipsikotik baru ini dianggap atipikal
karena target obat ini neuroreseptor selain dopamin. Dengan pengecualian
clozapin lebih efektif untuk pengobatan pasien resistan, pemilihan antipsikotik
bergantung pada potensi efek samping pada masing-masing individu.

Efek-efek yang tidak diinginkan pada pengobatan menggunakan antipsikotik


(Tabel 3):

A. Sedasi
Sedasi adalah umum terjadi dengan penggunaan obat antipsikotik dan efek
samping ini terkait dosis. Ini dapat menjadi penyebab kurangnya
kepatuhan dan jika terus-menurus dapat mengganggu fungsi sosial dan
fungsi khusus. Banyak pasien menjadi toleran terhadap efek sedatif seiring
berjalannya waktu. FGA Low potencys dan clozapin adalah yang paling
berefek sedatif, dengan beberapa efek dari olanzapin (zyprexa) dan
quetiapin (seroquel). Mengantuk dapat diatasi dengan menurunkan dosis,
berubah ke dosis tunggal tidur, atau beralih ke obet dengan efek sedasi
yang lemah2.
3
B. Hipotensi
Hipotensi dapat terjadi dengan semua pengobatan antipsikotik, tergantung
pada derajat antagonis α1-adrenoreceptor, terutama FGAs low potency dan
clozapin. Hal ini juga dapat terjadi dengan penggunaan risperidon
(risperdal) dan queitapin, terutama dengan titrasi cepat. Efek ini lebih
sering terjadi pada orang dewasa tua, sedang mengkonsumsi obat tekanan
darah, dan mereka yang memiliki penyakit kardiovaskular. Dengan dosis
titrasi yang hati-hati pasien mungkin dapat toleran dengan efek ini. Pilihan
untuk menangani efek ini termasuk penurunan atau membagi dosis atau
beralih ke pengobatan dengan efek antiadrenergik yang lebih rendah.
C. Efek antikolinergik
Efek antikolinergik termasuk sembelit, retensi urin, mulut kering,
penglihatan kabur, dan gangguan kognitif. Gejala-gejala ini dapat
menyebabkan masalah lain seperti kerusakan gigi, jatuh atau obstruksi
gastrointestinal. FGAs low potency dan olanzapin sangat mungkin
menyebabkan efek antikolinergik, olanzapin dan quetiapin
memperlihatkan efek samping tersebut pada dosis tinggi. Jika diperlukan,
dosis dapat diturunkan atau dibagi untuk mengurangi gejala ini.
D. Gejala Ekstrapiramidal
Obat antipsikotik menyebabkan 4 gejala ekstrapiramidal utama:
pseudoparkinsonism, akatisia, distonia akut dan tardive diskinesia. Tiga
pertama biasanya dimulai dalam beberapa minggu setelah memulai
pengobatan baru (atau meningkatkan dosis). Gejala-gejala ini dapat
menyebabkan ketidaknyamanan, stigma sosial, dan kepatuhan yang buruk.
Mereka lebih mungkin terjadi jika dilakukan peningkatan dosis dari FGAs
high potency, seperti haloperidol dan kecil kemungkinannya dengan FGAs
yang memiliki blokade dopamin yang lebih lemah. Beberapa meta-
analisis, membandingkan SGAs dengan haloperidol, menunjukkan SGAs
cenderung menyebabkan gejala ekstrapiramidal. Namun, studi terbaru

4
membandingkan SGAs dengan FGAs low potency tidak menunjukkan
perbedaan ini.
E. Pseudoparkinsonism
Pseudoparkinsonism adalah sindrom reversibel yang mencakup
tremulousness di tangan dan lengan, kekakuan pada lengan dan bahu,
bradikinesia, akinesia, hipersalivasi, muka topeng, gaya berjalan terseok-
seok. Adanya gejala bradikinesia atau akinesia dapat membuat dilema
diagnostik, dengan gejala menyerupai depresi atau bahkan gejala negatif
skizofrenia (yaitu ketidakmampuan untuk memusatkan perhatian dengan
baik, hilangnya rasa kesenangan, hilangnya keinginan atau gerakan,
disorganisasi atau kemiskinan isi pikir, afek datar, penarikan sosial).
Pilihan pengobatan termasuk pengurangan dosis atau penambahan agen
kolinergik oral (misalnya, benztropin, dipenhidramin (benadril)); dokter
harus ingat pengobatan ini dapat menyebabkan efek samping.
F. Akasia
Yaitu suatu kondisi yang secara subyektif dirasakan oleh penderita berupa
perasaan tidak nyaman, gelisah, dan merasa harus selalu menggerak-
gerakkan tungkai, terutama kaki. Pasien sering menunjukkan kegelisahan
dengan gejala-gejala kecemasan dan atau agitasi. Sering sulit dibedakan
dari rasa cemas yang berhubungan dengan gejala psikotiknya. Peningkatan
kegelisahan yang terjadi setelah mendapat antipsikotik tipikal harus selalu
diperhitungkan kemungkinan akatisia. Pengobatan akatisia dapat
mencakup pengurangan dosis bila memungkinkan, atau penambahan beta-
bloker dosis rendah, seperti propanolol (inderal) dengan dosis 20-80 mg
per hari.
G. Reaksi distonia
Reaksi distonia adalah kontraksi kejang otot, termasuk krisis oculogyric,
retrocollis, torticollis, trismus, opisthotonos, atau laryngospasm. Reaksi-
reaksi ini tidak nyaman dan dapat mengancam hidup jika tidak ditangani.

5
Intervensi sering memerlukan pemberian obat antikolinergik intravena
atau intramuskular.
H. Tardif diskinesia

Tardif diskinesia adalah gangguan gerakan spontan yang dapat terjadi


dengan pengobatan antipsikotik jangka panjang, dan mungkin tidak
reversibel bahkan jika obat dihentikan. biasanya melibatkan daerah
orofasial, tetapi semua bagian tubuh dapat terlibat. Gerakan abnormal
dapat mencakup sentakan mioklonik, tics, chorea, dan distonia. Mereka
menjadi sangat jelas ketika pasien bergerak, tapi berkurang selama
relaksasi dan menghilang selama tidur. Faktor risiko dari tardif diskinesia
termasuk terapi jangka panjang dengan FGAs pada dosis yang lebih tinggi,
usia yang lebih tua, jenis kelamin perempuan, dan gangguan afektif
bersamaan. Upaya untuk mengobati tardif diskinesia biasanya dimulai
dengan menghentikan agen penyebab atau beralih ke satu dengan risiko
yang lebih rendah, namun bukti tidak cukup untuk menunjukkan bahwa ini
atau perawatan lainnya nyata mengurangi gejala setelah onset.
I. Hiperprolaktemia
Antipsikotik menyebabkan kadar prolaktin yang tinggi dengan
menghalangi penghambatan tonik yang normal pada sel mammotropic
hipofisis dari produksi dopamin oleh hipotalamus. Hyperprolactinemia
lazimnya timbul dengan penggunaan FGA apapun, serta dengan
risperidone SGA (hingga 60 persen perempuan dan 40 persen laki-laki),
dan tergantung dosis. Tampaknya menjadi jarang dengan SGAs lainnya,
tetapi telah dilaporkan dengan penggunaan olanzapine dan ziprasidone
(Geodon) pada dosis tinggi. Hiperprolaktinemia dapat asimtomatik, tetapi
dapat menyebabkan ginekomastia, galaktore, oligo-atau amenore,
disfungsi seksual, jerawat, hirsutisme, infertilitas, dan hilangnya kepadatan
mineral tulang. Gejala sering muncul dalam beberapa minggu sejak
memulai konsumsi antipsikotik atau meningkatkan dosis, tetapi juga dapat

6
muncul setelah penggunaan jangka panjang yang stabil. Ada bukti yang
berkembang bahwa hiperprolaktinemia kronis dari antipsikotik dapat
menyebabkan osteoporosis dan peningkatan risiko patah tulang pinggul.
Sebuah analisis kasus-kontrol terbaru dari database praktek umum yang
besar di Inggris menunjukkan bahwa risiko patah tulang pinggul adalah
2,6 kali lebih tinggi pada pasien yang memakai antipsikotik yang
meningkatkan prolaktin dibandingkan dengan populasi umum. Dokter
harus secara rutin menanyakan tentang gejala yang mungkin
mencerminkan hiperprolaktinemia pada pasien yang memakai antipsikotik
yang meningkatkan prolaktin dan, jika ada, mengukur tingkat serum
prolaktin. Adanya osteoporosis, efek samping seksual, atau kanker
payudara terkait prolaktin mungkin diperlukan beralih ke antipsikotik yang
tidak meningkatkan kadar prolaktin, seperti aripiprazole (Abilify) atau
quetiapine.
J. Disfungsi Seksual
Sampai dengan 43 persen pasien yang memakai obat antipsikotik
melaporkan masalah dengan disfungsi seksual, dampak negatif
menyedihkan yang dapat menyebabkan kekurangan kepatuhan
pengobatan. Penggunaan antipsikotik dapat mempengaruhi semua tahapan
fungsi seksual, termasuk libido, gairah, dan orgasme. Kedua FGAs dan
SGAs dapat mengganggu gairah dan orgasme pada pria dan wanita. FGAs
terutama telah ditemukan menyebabkan disfungsi ereksi dan ejakulasi
pada pria, termasuk spontan, nyeri, atau retrograde ejakulasi, serta
priapism.
K. Agranulositosis
Dalam kasus yang jarang terjadi, clozapine dapat menyebabkan
neutropenia (absolute neutrophil count [ANC] kurang dari 1.500 sel per
mm 3 [1.50 × 10 9 per L]) dan agranulositosis (ANC kurang dari 500 sel
per mm 3 [0.50 × 10 9 per L]) yang dapat menyebabkan infeksi fatal.
Agranulositosis terjadi kira-kira dari 1 persen pasien, hampir selalu dalam
7
waktu tiga bulan pengobatan awal (84 persen). Risiko meningkat dengan
usia yang lebih tua, jenis kelamin perempuan, dan ras Asia. US Food and
Drug Administration (FDA) mengharuskan clozapine hanya tersedia
melalui program-program yang memantau jumlah sel darah putih
mingguan untuk bulan pertama, setiap dua minggu untuk enam bulan ke
depan, dan bulanan setelahnya. Menurut pedoman FDA, obat harus
dihentikan jika jumlah sel darah putih turun di bawah 3.000 sel per mm 3
(3,00 × 10 9 per L) atau tingkat ANC di bawah 1.500 sel per mm.
L. Aritmia Jantung
Semua antipsikotik dapat berkontribusi untuk perpanjangan repolarisasi
ventrikel (interval QT memanjang), yang pada gilirannya dapat
menyebabkan torsades de pointes dan kematian jantung mendadak. Efek
ini paling ditandai dengan FGA low potency thioridazine dan ziprasidone
SGA, dan tergantung dosis. Insiden kematian jantung mendadak antara
pasien yang memakai antipsikotik adalah sekitar dua kali lipat dari
populasi umum. Dokter harus menghindari menggabungkan antipsikotik
obat dengan obat lain yang memperpanjang interval QT yang dikoreksi
(misalnya, kelas I dan III obat antiaritmia, antidepresan trisiklik, beberapa
antibiotik). Sebelum memulai sebuah obat antipsikotik, risiko dan manfaat
harus ditimbang dengan hati-hati dan meninjau pasien. Dokter khususnya
harus waspada dalam menilai gejala jantung potensial pada populasi ini.
Walaupun mungkin bijaksana untuk memeriksa diawal atau setelah
pemeriksaan elektrokardiografi, terutama dengan pasien risiko tinggi,
efektivitas yang belum terbukti.
M. Kejang
Semua antipsikotik dapat menurunkan ambang kejang. Mereka harus
digunakan dengan hati-hati pada pasien yang memiliki riwayat kejang dan
pada mereka dengan gangguan otak organik. Umumnya, antipsikotik
dengan efek penenang yang lebih, semakin menurunkan ambang kejang.
Kejang yang paling umum terjadi jika menggunakan FGAs low potency
8
dan clozapine, terutama pada dosis yang lebih tinggi. Depot Antipsikotik
tidak boleh digunakan pada pasien dengan epilepsi.
N. Isu Sindrom Metabolik
Kenaikan berat badan merupakan efek samping umum menggunakan obat
antipsikotik, dan dapat cepat dan sulit untuk dikontrol. Pertambahan berat
kelihatannya tidak tergantung dalam rentang dosis terapi normal. Efeknya
lebih buruk dengan clozapine dan olanzapine; minimal dengan
aripiprazole dan ziprasidone; dan menengah dengan antipsikotik lain,
termasuk FGAs low potency. Obat antipsikotik dapat berkontribusi untuk
berbagai kelainan glikemik, resistensi insulin ringan sampai ketoasidosis
diabetik, serta memburuknya kontrol glikemik pada pasien dengan
diabetes yang sudah ada sebelumnya. Meskipun FGAs dan SGAs dapat
menyebabkan masalah ini, variabel-risiko terbesar adalah dengan
clozapine dan olanzapine. Besarnya risiko sulit untuk diukur karena begitu
banyak faktor risiko diabetes lainnya yang hadir pada populasi ini.
Meskipun berat badan terkait dengan antipsikotik jelas memberikan
kontribusi, tampaknya ada efek independen lain juga. Dislipidemia juga
dikaitkan dengan beberapa obat-obatan antipsikotik, dengan peningkatan
mencatat terutama dalam tingkat trigliserida. FGAs low potency dan SGAs
clozapine, olanzapine, quetiapine dan dikaitkan dengan risiko terjadinya
hiperlipidemia yang lebih tinggi. Secara keseluruhan, gangguan
metabolisme tampaknya terbesar dengan clozapine dan olanzapine,
quetiapine dan menengah dengan FGAs low potency, dan terendah dengan
aripiprazole, risperidone, ziprasidone, dan FGAs High potency.
O. Pasien Tua
Obat antipsikotik telah digunakan pada pasien yang lebih tua yang
memiliki psikosis terkait demensia. Pada bulan April 2005, FDA
mengeluarkan peringatan kotak untuk SGAs setelah meta-analisis
menunjukkan peningkatan 1,6 sampai 1,7 kali lipat risiko kematian yang
terkait dengan penggunaan SGAs pada populasi ini. Pada bulan Juni 2008,
9
setelah dua studi kohort besar menunjukkan risiko yang sama dengan
FGAs, penyebab menigkatnya angka mortalitas sebagian dari kematian
jantung mendadak, serta kecelakaan serebrovaskular.
Saat ini, tidak ada obat yang disetujui untuk pengobatan demensia terkait
psikosis. Sebelum obat diresepkan, intervensi perilaku harus dicoba.
Setiap penggunaan antipsikotik untuk psikosis terkait demensia harus
didahului dengan diskusi dengan pasien, keluarga, dan pengasuh tentang
peningkatan risiko kecelakaan serebrovaskular dan kematian. 3-5
P. Sindroma Neuroleptik Maligna

Merupakan reaksi idiosinkrasi yang sangat serius dengan gejala utama


berupa rigiditas, hiperpiretik, gangguan sistem syaraf otonom dan
delirium. Gejala biasanya berkembang dalam periode waktu beberapa jam
sampai beberapa hari setelah pemberian antipsikotik. Febris tinggi dapat
mencapai 41oC atau lebih, rigiditas dengan ciri kaku seperti pipa disertai
peningkatan tonus otot kadang-kadang sampai terjadi myonecrosis. Bila
pasien dehidrasi, myoglobinuria bisa sangat parah sampai terjadi gagal
ginjal. Ketidakstabilan sistem otonom dapat tampak sebagai hipertensi
atau hipotensi, takikardi, diaporesis dan pallor. Kemungkinan terjadi
cardiac arrythmia. Kesadaran berfluktuasi dapat sampai delirium, bahkan
kejang-kejang dan koma. Efek terhadap sistem kardiovaskuler yang sering
terjadi adalah orthostatic (postural) hipotensi yaitu turunnya tekanan darah
pada saat perubahan posisi tubuh terutama dari posisi tidur ke posisi
berdiri tiba-tiba. Dapat juga terjadi sudden unexplained death walaupun
sangat jarang.1

Berikut tabel perbandingan risiko efek saping dari obat antipsikotik :

10
BAB 2
11
JOURNAL READING

ABSTRAK

John Muench, ANN M. Hamer


Departemen Farmasi dan Health & Science, Universitas Oregon.
AM Fam Physician

Latar belakang. Pemakaian obat- obatan antipsikotik memiliki pertimbangan


yang sulit antara manfaat dan efek sampingnya.

Tujuan. untuk menjelaskan efek samping dari pemakaian obat antipsikotik.

Kesimpulan: Efek samping pemakaian obat- obatan antipsikotik akan


menimbukan berbagai efek samping, diantaranya Sedasi, Hipotensi, Efek
Antikolinergik, Gejala Ekstrapiramidal, Hiperprolactinemia, disfungsi seksual,
Agranulositosis, Aritmia, Kejang, Sindrom Metabolik, Pasien tua.

Kata kunci: Sedasi, Hipotensi, Efek Antikolinergik, Gejala Ekstrapiramidal,


Hiperprolactinemia, disfungsi seksual, Agranulositosis, Aritmia, Kejang, Sindrom
Metabolik, Pasien tua.

1. PENDAHULUAN
12
Sejak ditemukannya klorpromazin, suatu neuroleptik golongan
fenotiazin pada tahun 1950, pengobatan untuk psikosis terutama
skizofrenia terus dikembangkan. Istilah neuroleptik sebagai sinonim
antipsikotik berkembang dari kenyataan bahwa obat antipsikotik sering
menimbulkan gejala saraf berupa gejala ekstrapiramidal. Dengan
dikembangkannya golongan baru yang hampir tidak menimbulkan gejala
ektrapiramidal istilah neuroleptik tidak lagi dapat dianggap sinonim dari
istilah antipsikotik. Selanjutnya ditemukan generasi kedua antipsikotik
yaitu haloperidol, yang penggunaannya cukup luas hingga selama 4
dekade.
Pada tahun 1990, ditemukan klozapin yang dikenal sebagai
generasi pertama antipsikotik golongan atipikal. Disebut atipikal karena
golongan obat ini sedikit menyebakan reaksi ekstrapiramidal (EPS :
extrapyramidal symptom) yang umum terjadi dengan obat antipsikotik
tipikal yang ditemukan lebih dahulu. Sejak ditemukan klozapin,
pengembangan obat baru golongan atipikal ini terus dilakukan. Hal ini
terlihat dengan ditemukannya obat baru yaitu risperidon, olanzapin,
zotepin, ziprasidon dan lainnya.5
Kebanyakan antipsikotik golongan tipikal mempunyai afinitas
tinggi dalam menghambat resepor dopamin 2, hal inilah yang diperkirakan
menyebabkan reaksi ekstrapiramidal yang kuat. Obat golongan atipikal
pada umumnya mempunyai afinitas yang lemah terhadap dopamin 2,
selain itu juga memiliki afinitas terhadap reseptor dopamin 4, serotonin,
histamin, reseptor muskarinik, dan reseptor alfa adrenergik. Golongan
antipsikotik atipikal diduga efektif untuk gejala positif (seperti bicara
kacau, halusinasi, delusi) maupun gejala negatif (miskin kata-kata, afek
yang datar, menarik diri dari lingkungan, inisiatif menurun) pasien
skizofrenia. Golongan antipsikotik tipikal umumnya hanya berespon untuk
gejala positif.1

13
2. JURNAL
Pemakaian obat- obatan antipsikotik memiliki pertimbangan yang
sulit antara manfaat untuk meringankan gejala psikotik dan resiko efek
samping yang akan mengganggu bahkan terkadang memperpendek usia.
Ada lebih banyak variabilitas di antara obat-obatan antipsikotik spesifik
daripada di antara kelas antipsikotik generasi pertama dan kedua.
Antipsikotik generasi kedua yang lebih baru, terutama clozapine dan
olanzapine, umumnya cenderung menyebabkan lebih banyak masalah
yang berkaitan dengan sindrom metabolik, seperti obesitas dan diabetes
mellitus tipe 2. Juga, sebagai sebuah kelas, antipsikotik generasi pertama
yang lebih tua lebih mungkin dikaitkan dengan gangguan gerakan, tetapi
ini terutama berlaku untuk obat-obatan yang terikat erat dengan
neuroreseptor dopaminergik, seperti haloperidol, dan kurang benarnya
obat yang mengikat dengan lemah, seperti sebagai chlorpromazine. Efek
antikolinergik sangat menonjol dengan antipsikotik generasi pertama yang
lebih lemah, serta dengan clozapine antipsikotik generasi kedua. Semua
obat antipsikotik dikaitkan dengan peningkatan kemungkinan sedasi,
disfungsi seksual, hipotensi postural, aritmia jantung, dan kematian
jantung mendadak. Dokter perawatan primer harus memahami profil efek
samping individual dari obat-obatan ini. Mereka harus waspada terhadap
terjadinya efek samping, bersedia untuk menyesuaikan atau mengganti
obat sesuai kebutuhan (atau bekerja dengan rekan psikiatrik untuk
melakukannya), dan bersiap untuk mengobati sekuele medis yang
dihasilkan.
Obat-obatan antipsikotik secara efektif mengurangi intensitas
halusinasi psikotik, yang memungkinkan sebagian besar pasien dengan
skizofrenia untuk dipulangkan ke dalam perawatan komunitas.
Antipsikotik generasi pertama (FGA) bekerja melalui blokade
neuroreceptor dopamin D2, dan serangkaian antipsikotik baru
dikembangkan dengan blokade dopamin yang lebih kuat. Untuk
14
membahas perbedaan dalam profil efek samping FGA, kami menggunakan
istilah "potensi rendah" dan “potensi tinggi,” bukan untuk menunjukkan
keefektifan klinisnya, tetapi lebih untuk menunjukkan potensi mereka
dalam mengikat neuroreseptor dopamin D2 ini. Menguraikan FGA yang
dipilih, dosis pemeliharaan yang biasa, dan potensi relatif dari blokade
neuroreseptor dopamin D2.

15
Antipsikotik generasi kedua (SGA) diluncurkan pada tahun 1989
ketika para peneliti menemukan bahwa clozapine (Clozaril) lebih efektif
daripada chlorpromazine, dengan lebih sedikit gejala ekstrapiramidal.
Anti-psikotik baru ini dianggap atipikal karena mereka menargetkan
neuroreseptor selain hanya dopamin. Selama dua dekade terakhir, SGA
16
telah mendominasi preferensi resep di Amerika Serikat dengan asumsi
bahwa mereka lebih efektif dan lebih aman daripada FGA. Daftar SGA
dipasarkan di Amerika Serikat, tahun di mana masing-masing
diperkenalkan, dan biasanya dosis harian.
Hasil dari dua studi yang didanai publik baru-baru ini dirancang
untuk mengevaluasi efektivitas perawatan ini dalam kondisi dunia nyata
telah mempertanyakan preferensi resep ini. Studi Klinis Anti-psikotik dari
Intervensi Efektivitas penelitian dirancang untuk membandingkan
perphenazine FGA dengan beberapa SGA, menggunakan "semua-
penyebab penghentian" sebagai ukuran proksi untuk efektivitas. 4 Utilitas
Biaya Obat Antipsikotik Terbaru dalam Studi Schizophrenia mengukur
kualitas kehidupan dan langkah-langkah efektivitas lainnya. Tidak ada
penelitian yang menunjukkan perbedaan yang jelas dalam efektivitas
antara FGA dan SGA non-clozapine.
Dengan pengecualian bahwa clozapine lebih efektif untuk pasien
yang resistan terhadap pengobatan, 6 pilihan antipsikotik harus bergantung
pada potensi efek samping pada pasien individu. Perbandingan umum
antara kelas FGA dan SGA kurang membantu daripada perbandingan di
antara obat-obatan tertentu karena masing-masing menyajikan tantangan
sendiri dalam hal menyeimbangkan efektivitas dengan keamanan dan
tolerabilitas. Artikel ini mengulas beberapa efek samping yang lebih
penting dari antipsikotik, dan termasuk tabel ringkasan risiko komparatif.

17
SEDASI
Sedasi umum terjadi pada obat antipsikotik dan berhubungan dengan
dosis. Ini bisa menjadi penyebab kepatuhan yang buruk dan, jika terus-
menerus, dapat mengganggu fungsi sosial dan kejuruan. Banyak pasien
menjadi toleran terhadap efek sedatif dari waktu ke waktu. FGA dan
clozapine dengan potensi rendah adalah yang paling menenangkan, dengan
beberapa efek dari olanzapine (Zyprexa) dan quetiapine (Seroquel). Jika
kesadaran somnolen dapat dikurangi dengan menurunkan dosis, mengubah
ke dosis sebelum tidur, atau beralih ke obat penenang yang kurang sedasi.
HIPOTENSI
Hipotensi ortostatik dapat terjadi pada semua obat antipsikotik, tergantung
pada derajat antagonisme α1-adrenoreseptor, terutama dengan potensi
FGA rendah dan clozapine. Ini juga dapat terjadi dengan risperidone
(Risperdal) dan quetiapine, terutama dengan titrasi cepat. Efek ini lebih
18
umum pada orang dewasa yang lebih tua (dengan risiko jatuh), mereka
yang menggunakan obat tekanan darah, dan mereka yang memiliki
penyakit kardiovaskular lainnya. Dengan titrasi dosis yang cermat, pasien
dapat menjadi toleran terhadap efek ini. Opsi pengobatan termasuk
mengurangi atau membagi dosis atau beralih ke obat dengan efek
antiadrenergik yang lebih rendah
EFEK ANTIKOLINERGIK
Efek antikolinergik termasuk sembelit, retensi urin, mulut kering,
penglihatan kabur dan, kadang-kadang, gangguan kognitif. Gejala-gejala
ini dapat menyebabkan masalah lain seperti kerusakan gigi, jatuh, atau
obstruksi saluran cerna. FGA dan clozapine dengan potensi rendah sangat
mungkin menyebabkan efek antikolinergik; olanzapine dan quetiapine
telah terbukti melakukannya dengan dosis tinggi. Bila diperlukan, dosis
dapat diturunkan atau dibagi untuk membantu mengatasi masalah ini.
GEJALA EKSTRAPIRAMIDAL
Obat antipsikotik menyebabkan empat gejala ekstrapiramidal utama:
pseudoparkinsonisme, akatisia, distonia akut, dan tardive dyskinesia. Tiga
yang pertama biasanya dimulai dalam beberapa minggu setelah memulai
pengobatan baru (atau meningkatkan dosis). Gejala-gejala ini dapat
menyebabkan ketidaknyamanan, stigma sosial, dan kepatuhan yang buruk.
Mereka lebih mungkin terjadi dengan dosis tinggi FGA berpotensi tinggi,
seperti haloperidol (sebelumnya Haldol), dan lebih kecil kemungkinannya
dengan FGA yang memiliki blokade dopamin yang lebih lemah. Beberapa
meta-analisis, sebagian besar membandingkan SGA dengan haloperidol,
telah menunjukkan bahwa SGA cenderung menyebabkan gejala
ekstrapiramidal.6 Namun, penelitian terbaru membandingkan SGA dengan
potensi lebih rendah FGA belum menunjukkan perbedaan ini.
PSEUDOPARKINSONISME
Pseudoparkinsonisme adalah sindrom reversibel yang meliputi
tremulousness di tangan dan lengan, kekakuan di lengan dan bahu,
19
bradikinesia, akinesia, hipersalivasi, facies bertopeng, dan gaya berjalan
yang menyeret. Kehadiran bradikinesia atau akinesia dapat menciptakan
dilema diagnostik, dengan gejala yang menyerupai depresi atau bahkan
gejala negatif skizofrenia (yaitu, ketidakmampuan untuk memperhatikan,
kehilangan rasa senang, kehilangan keinginan atau dorongan, kehilangan
kemauan atau dorongan, disorganisasi atau pemiskinan pikiran dan
ucapan, perataan pengaruh, dan penarikan sosial). Opsi pengobatan
termasuk pengurangan dosis atau penambahan agen antikolinergik oral
(mis., Benztropine, diphenhydramine [Benadryl]); dokter harus ingat
bahwa obat-obatan ini dapat menyebabkan efek sampingnya sendiri.
AKATHISIA
Akathisia digambarkan secara subyektif sebagai perasaan gelisah batin
yang dapat dimanifestasikan sebagai mondar-mandir berlebihan atau
ketidakmampuan untuk tetap diam untuk waktu yang lama. Mungkin sulit
untuk membedakan akathisia dari kecemasan dan agitasi psikiatris.
Pengobatan akathisia dapat mencakup pengurangan dosis jika
memungkinkan, atau penambahan beta blocker dosis rendah, seperti
propranolol (Inderal) dengan dosis 20 hingga 80 mg per hari.
REAKSI DISTONIK
Reaksi distonik adalah kontraksi kejang otot, termasuk krisis okulogi,
retrocollis, torticollis, trismus, opisthotonos, atau laringospasme. Reaksi-
reaksi ini tidak nyaman dan dapat mengancam jiwa jika tidak ditangani.
Intervensi sering membutuhkan pemberian agen antikolinergik intravena
atau intramuskuler.
DISKINESIA TARDIF
Tardive dyskinesia adalah kelainan gerakan tak disengaja yang dapat
terjadi dengan pengobatan antipsikotik jangka panjang, dan mungkin tidak
dapat dibalikkan bahkan jika obatnya dihentikan. Tardive dyskinesia
biasanya melibatkan daerah orofacial, tetapi semua bagian tubuh dapat
terlibat. Gerakan abnormal dapat termasuk sentakan mioklonik, tics,
20
chorea, dan dystonia. Mereka menjadi paling jelas ketika pasien
terangsang, tetapi rileks saat relaksasi dan menghilang saat tidur. Faktor-
faktor risiko untuk mengembangkan diskinesia tar-dive termasuk terapi
jangka panjang dengan FGA dengan dosis yang lebih tinggi, usia yang
lebih tua, jenis kelamin wanita, dan gangguan afektif bersamaan.6. Upaya
untuk mengobati tardive dyskinesia biasanya dimulai dengan
menghentikan agen yang menyinggung atau beralih ke yang lebih rendah.
risiko, tetapi bukti tidak cukup untuk menunjukkan bahwa ini atau
pengobatan lain secara nyata mengurangi gejala setelah onset.
HIPERPROLACTINEMIA
Antipsikotik menyebabkan kadar prolaktin yang tinggi dengan
menghalangi penghambatan tonik normal pada sel mamotrop hipofisis
dopamin yang diproduksi di hipotalamus. Hiperprolaktinemia sering
terjadi pada penggunaan FGA apa pun, juga dengan SGA risperidone
(hingga 60 persen wanita dan 40 persen pria), dan tergantung pada dosis.
Tampaknya jauh lebih umum dengan SGA lain, tetapi telah dilaporkan
dengan penggunaan olanzapine dan ziprasidone (Geodon) pada dosis
tinggi.
Hiperprolaktinemia dapat asimptomatik, tetapi dapat menyebabkan
ginekomastia, galaktorea, oligo atau amenore, disfungsi seksual, jerawat,
hirsutisme, infertilitas, dan hilangnya kepadatan mineral tulang. Gejala
sering muncul dalam beberapa minggu setelah mulai antipsikotik atau
meningkatkan dosis, tetapi juga dapat muncul setelah penggunaan stabil
jangka panjang.
Ada bukti yang berkembang bahwa hiperprolaktinemia kronis dari
antipsikotik dapat menyebabkan osteoporosis dan peningkatan risiko patah
tulang pinggul. Analisis kasus-kontrol baru-baru ini dari database praktik
umum besar di Inggris menunjukkan bahwa risiko patah tulang pinggul
adalah 2,6 kali lebih tinggi pada pasien yang menggunakan antipsikotik
peningkat prolaktin dibandingkan dengan populasi umum. Dokter harus
21
secara rutin menanyakan tentang gejala yang mungkin mencerminkan
hiperprolaktinemia pada pasien yang menggunakan antipsikotik penambah
prolaktin dan, jika ada, mengukur kadar prolaktin serum. Kehadiran
osteoporosis, efek samping seksual, atau kanker payudara yang bergantung
pada prolaktin mungkin mengharuskan untuk beralih ke antipsikotik yang
tidak meningkatkan kadar prolaktin, seperti aripiprazole (Abilify) atau
quetiapine.
DISFUNGSI SEKSUAL
Hingga 43 persen pasien yang menggunakan obat antipsikotik melaporkan
masalah dengan disfungsi seksual, efek samping yang menekan yang dapat
menyebabkan kepatuhan pengobatan yang buruk. Penggunaan antipsikotik
dapat mempengaruhi semua fase fungsi seksual, termasuk libido, gairah,
dan orgasme. Baik FGA dan SGA dapat merusak gairah dan orgasme pada
pria dan wanita. FGA terutama telah ditemukan menyebabkan disfungsi
ereksi dan ejakulasi pada pria, termasuk ejakulasi spontan, menyakitkan,
atau retrograde, serta priapisme.
ARITMIA
Semua antipsikotik dapat berkontribusi pada perpanjangan repolarisasi
ventrikel (interval QT yang berkepanjangan), yang pada gilirannya dapat
menyebabkan torsades de pointes dan kematian jantung mendadak. Efek
ini paling ditandai dengan thioridazine FGA potensi rendah dan
ziprasidone SGA, dan tergantung pada dosis. Insiden kematian jantung
mendadak di antara pasien yang memakai antipsikotik adalah sekitar dua
kali lipat dari populasi umum.

Dokter harus menghindari kombinasi obat antipsikotik dengan obat lain


yang memperpanjang interval QT yang diperbaiki (mis., Obat antiaritmia
kelas I dan III, antidepresan trisiklik, beberapa antibiotik; lihat
http://www.arizonacert.org). Sebelum memulai pengobatan antipsikotik,
risiko dan manfaatnya harus ditimbang dan ditinjau dengan cermat oleh
22
pasien. Dokter harus sangat waspada dalam menilai potensi gejala jantung
pada populasi ini. Meskipun mungkin bijaksana untuk memeriksa
elektrokardiografi awal atau pasca-perawatan, terutama dengan pasien
risiko yang lebih tinggi, efektivitas melakukannya belum terbukti.
KEJANG
Semua antipsikotik dapat menurunkan ambang kejang. Mereka harus
digunakan dengan hati-hati pada pasien yang memiliki riwayat kejang dan
pada mereka yang memiliki gangguan otak organik. Secara umum,
semakin penenang antipsikotik, semakin rendah ambang kejang. Kejang
paling sering terjadi pada FGA dan clozapine dengan potensi rendah,
terutama pada dosis yang lebih tinggi. Depot antipsikotik tidak boleh
digunakan pada pasien dengan epilepsi karena tidak dapat segera ditarik.
SINDROM METABOLIK
Pertambahan berat badan adalah efek samping yang umum dari
menggunakan obat anti-psikotik, dan bisa cepat dan sulit dikendalikan.
Kenaikan berat badan tampaknya tidak tergantung dosis dalam rentang
terapi normal. Efeknya lebih buruk dengan clozapine dan olanzapine;
minimal dengan aripiprazole dan ziprasidone; dan menengah dengan
antipsikotik lain, termasuk FGA dengan potensi rendah.
Obat-obatan antipsikotik dapat berkontribusi pada berbagai kelainan
glikemik, dari resistensi insulin ringan hingga ketoasidosis diabetikum,
serta memburuknya kontrol glikemik pada pasien dengan diabetes yang
sudah ada sebelumnya. Meskipun FGA dan SGA dapat menyebabkan
masalah ini, risikonya beragam — risiko terbesar adalah dengan clozapine
dan olanzapine. Besarnya risiko sulit untuk dihitung karena begitu banyak
faktor risiko diabetes lain yang hadir dalam populasi ini. Meskipun
kenaikan berat badan yang terkait dengan antipsikotik jelas berkontribusi,
tampaknya ada efek independen lainnya juga.
Dislipidemia juga dikaitkan dengan beberapa obat antipsikotik, dengan
peningkatan yang tercatat terutama pada kadar trigliserida. FGA dengan
23
potensi rendah dan SGA clozapine, olanzapine, dan quetiapine dikaitkan
dengan risiko hiperlipidemia yang lebih tinggi. Secara keseluruhan,
gangguan metabolisme nampak paling baik dengan clozapine dan
olanzapine, intermediate dengan quetiapine dan potensi FGA rendah, dan
terendah dengan aripiprazole, risperidone, ziprasidone, dan potensi FGA
tinggi. Pedoman untuk mencegah dan memantau perubahan metabolik
pada pasien yang menggunakan SGA ditunjukkan pada Tabel

3. KESIMPULAN DAN SARAN


3.1 Kesimpulan
 Antipsikotik bermanfaat pada terapi psikosis akut maupun kronik,
suatu gangguan jiwa berat
 Dalam penggunaan obat antipsikotik yang ingin dicapai adalah
“optimal response with minimal side effect”
24
 Pemberian obat-obatan antipsikotik didasarkan pada gejala klinis yang
timbul dan efek samping masing-masing obat.
 Obat-obatan antipsikotik terbagi atas 2 jenis yaitu golongan tipikal
yang hanya bekerja dengan menghambar reseptor dopamin D2 dan
golongan atipikal yang selain menghambat reseptor dopamin D2, dia
juga menghambat reseptor serotonin 5HT2.
3.2 Saran
 Dalam penggunaan klinis obat psikotropik selalu mempertimbangkan
asas manfaat dan risiko,
 Dampak dari efek samping selalu perlu diwaspadai dan dipersiapkan
penanggulangannya.

DAFTAR PUSTAKA
1. Setiabudi R. 2009. Farmakologi dan Terapi FKUI. Jakarta:Balai Penerbit
FKUI.

25
2. Maslim R.2007. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Jakarta
: PT. Nuh Jaya
3. Elvira SD.2010. Buku ajar psikiati. Badan penerbit fakultas kedokteran
universitas indonesia
4. Muench J and Hamer AM. 2010. Adverse effect of Antipsychotic Medication.
American Family Physician.
5. Katzung.2002. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 8 Buku 2 hal:249.
Jakarta :EGC

26

Anda mungkin juga menyukai