Laringitis TB
Laringitis TB
LARINGITIS TUBERKULOSIS
Penyaji:
Pembimbing:
Dr. H. Sofyan Effendi, Sp. THT-KL
1
2012
HALAMAN PENGESAHAN
LARINGITIS TUBERKULOSIS
Disusun oleh :
Yarah Azzilzah, S.Ked 04104705264
Siti Rohani, S.Ked 04104705275
Ari Dwi Prasetyo, S.Ked 04081001063
Zelfi Primasari, S.Ked 04081001072
Nopriansyah, S.Ked 54081001057
R. Pramudianto, S.Ked 04104905001
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan referat ini dalam batas waktu yang telah ditentukan.
Referat yang berjudul “Laringitis Tuberkulosis” ini merupakan salah satu
syarat untuk mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Ilmu Penyakit
Telinga Hidung dan Tenggorok Fakultas Kedokteran UNSRI/Rumah Sakit Dr.
Mohammad Hoesin Palembang.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. H. Sofyan Effendi, Sp.
THT-KL yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan
referat ini.
Penulis menyadari banyak kekurangan dalam referat ini, baik susunan
maupun materi yang disajikan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun untuk perbaikan di masa yang akan datang.
Akhir kata, semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
3
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................... ii
KATA PENGANTAR.......................................................................................... iii
DAFTAR ISI......................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL................................................................................................. v
DAFTAR GAMBAR............................................................................................ vi
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
BAB II LARINGITIS TUBERKULOSIS.......................................................... 3
2.1. Anatomi Laring............................................................................. 3
2.2. Fisiologi Laring............................................................................. 9
2.3. Definisi.......................................................................................... 12
2.4. Epidemiologi................................................................................. 13
2.5. Etiologi.......................................................................................... 13
2.6. Patogenesis.................................................................................... 13
2.7. Gambaran Klinis........................................................................... 16
2.8. Diagnosis....................................................................................... 19
2.9. Diagnosis Banding........................................................................ 22
2.9. Penatalaksanaan............................................................................ 23
2.10. Prognosis....................................................................................... 25
2.11. Komplikasi.................................................................................... 25
BAB III KESIMPULAN....................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 27
4
DAFTAR TABEL
5
DAFTAR GAMBAR
6
BAB I
PENDAHULUAN
7
tetapi, sering kali setelah diberi pengobatan, tuberkulosis parunya sembuh tetapi
laringitis tuberkulosisnya menetap. Hal ini terjadi karena struktur mukosa laring
yang sangat lekat pada kartilago serta vaskularisasi yang tidak sebaik di paru,
sehingga bila sudah mengeni kartilago, pengobatannya lebih lama.3
Oleh karena itu, pembahasan mengenai laringitis tuberculosis lebih lanjut
diperlukan agar dapat memberi pengetahuan mengenai cara diagnosis dan
penatalaksanaan yang tepat guna mencegah komplikasi yang akan terjadi.
8
BAB II
LARINGITIS TUBERKULOSA
9
ligamentum kornikulofaringal, ligamentum hiotiroid lateral, ligamentum
hiotiroid medial, ligamentum hioepiglotika, ligamentum ventrikularis,
ligamentum vokal yang menghubungkan kartilago aritenoid dengan
kartilago tiroid dan ligamentum tiroepiglotika.3,4
Laring berbentuk piramida triangular terbalik dengan dinding
kartilago tiroidea di sebelah atas dan kartilago krikoidea di sebelah
bawahnya. Os Hyoid dihubungkan dengan laring oleh membrana tiroidea.
Tulang ini merupakan tempat melekatnya otot-otot dan ligamenta serta
akan mengalami osifikasi sempurna pada usia 2 tahun.3,4
10
Yaitu ruangan yang terletak antara pita suara palsu dengan pita suara
sejati serta membentuk rongga yang disebut ventrikel laring Morgagni.
Rima Vestibuli.
Merupakan celah antara pita suara palsu.
Rima glottis
Di depan merupakan celah antara pita suara sejati, di belakang
antara prosesus vokalis dan basis kartilago aritenoidea.
Vallecula
Terdapat diantara permukaan anterior epiglotis dengan basis lidah,
dibentuk oleh plika glossoepiglotika medial dan lateral.
Plika Ariepiglotika
Dibentuk oleh tepi atas ligamentum kuadringulare yang berjalan
dari kartilago epiglotika ke kartilago aritenoidea dan kartilago kornikulata.
11
Terletak antara plika ariepiglotika dan permukaan dalam kartilago
tiroidea.
Incisura Interaritenoidea
Suatu lekukan atau takik diantara tuberkulum kornikulatum kanan
dan kiri.
Vestibulum Laring
Ruangan yang dibatasi oleh epiglotis, membrana kuadringularis,
kartilago aritenoid, permukaan atas proc. vokalis kartilago aritenoidea dan
m.interaritenoidea.
12
dan dua per lima belakang dibentuk oleh prosesus vokalis dari kartilago
aritenoidea dan disebut intercartilagenous portion.
13
Persarafan
Laring dipersarafi oleh cabang N. Vagus yaitu Nn. Laringeus
Superior dan Nn. Laringeus Inferior (Nn. Laringeus Rekuren) kiri dan
kanan.4,5
1. Nn. Laringeus Superior.
Meninggalkan N. vagus tepat di bawah ganglion nodosum,
melengkung ke depan dan medial di bawah A. karotis interna dan
eksterna yang kemudian akan bercabang dua, yaitu : Cabang Interna ;
bersifat sensoris, mempersarafi vallecula, epiglotis, sinus pyriformis
dan mukosa bagian dalam laring di atas pita suara sejati. Cabang
Eksterna ; bersifat motoris, mempersarafi m. Krikotiroid dan m.
Konstriktor inferior.
2. N. Laringeus Inferior (N. Laringeus Rekuren).
Berjalan dalam lekukan diantara trakea dan esofagus, mencapai laring
tepat di belakang artikulasio krikotiroidea. N. laringeus yang kiri
mempunyai perjalanan yang panjang dan dekat dengan Aorta sehingga
mudah terganggu. Merupakan cabang N. vagus setinggi bagian
proksimal A. subklavia dan berjalan membelok ke atas sepanjang
lekukan antara trakea dan esofagus, selanjutnya akan mencapai laring
tepat di belakang artikulasio krikotiroidea dan memberikan persarafan:
Sensoris, mempersarafi daerah sub glotis dan bagian atas trakea
Motoris, mempersarafi semua otot laring kecuali M. Krikotiroidea
Pendarahan
Laring mendapat perdarahan dari cabang A. Tiroidea Superior dan
Inferior sebagai A. Laringeus Superior dan Inferior.4,5
1. Arteri Laringeus Superior
Berjalan bersama ramus interna N. Laringeus Superior menembus
membrana tirohioid menuju ke bawah diantara dinding lateral dan
dasar sinus pyriformis.
14
2. Arteri Laringeus Inferior
Berjalan bersama N. Laringeus Inferior masuk ke dalam laring melalui
area Killian Jamieson yaitu celah yang berada di bawah M.
Konstriktor Faringeus Inferior, di dalam laring beranastomose dengan
A. Laringeus Superior dan memperdarahi otot-otot dan mukosa laring.
15
Laring mempunyai tiga sistem penyaluran limfe, yaitu:4,5
1. Daerah bagian atas pita suara sejati, pembuluh limfe berkumpul
membentuk saluran yang menembus membrana tiroidea menuju
kelenjar limfe cervical superior profunda. Limfe ini juga menuju ke
superior dan middle jugular node.
2. Daerah bagian bawah pita suara sejati bergabung dengan sistem limfe
trakea, middle jugular node, dan inferior jugular node.
3. Bagian anterior laring berhubungan dengan kedua sistem tersebut dan
sistem limfe esofagus. Sistem limfe ini penting sehubungan dengan
metastase karsinoma laring dan menentukan terapinya.
16
dan vibrasi laring serta adanya ruangan resonansi seperti rongga mulut,
udara dalam paru-paru, trakea, faring, dan hidung. Nada dasar yang
dihasilkan dapat dimodifikasi dengan berbagai cara. Otot intrinsik
laring berperan penting dalam penyesuaian tinggi nada dengan
mengubah bentuk dan massa ujung-ujung bebas dan tegangan pita
suara sejati.
2. Fungsi Proteksi.
Benda asing tidak dapat masuk ke dalam laring dengan adanya
reflek otot-otot yang bersifat adduksi, sehingga rima glotis tertutup.
Pada waktu menelan, pernafasan berhenti sejenak akibat adanya
rangsangan terhadap reseptor yang ada pada epiglotis, plika
ariepiglotika, plika ventrikularis dan daerah interaritenoid melalui
serabut afferen N. Laringeus Superior. Sebagai jawabannya, sfingter
dan epiglotis menutup. Gerakan laring ke atas dan ke depan
menyebabkan celah proksimal laring tertutup oleh dasar lidah. Struktur
ini mengalihkan makanan ke lateral menjauhi aditus dan masuk ke
sinus piriformis lalu ke introitus esofagus.
3. Fungsi Respirasi.
Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk
memperbesar rongga dada dan M. Krikoaritenoideus Posterior
terangsang sehingga kontraksinya menyebabkan rima glotis terbuka.
Proses ini dipengaruhi oleh tekanan parsial CO2 dan O2 arteri serta pH
darah. Bila pO2 tinggi akan menghambat pembukaan rima glotis,
sedangkan bila pCO2 tinggi akan merangsang pembukaan rima glotis.
Hiperkapnia dan obstruksi laring mengakibatkan pembukaan laring
secara reflektoris, sedangkan peningkatan pO2 arterial dan
hiperventilasi akan menghambat pembukaan laring. Tekanan parsial
CO2 darah dan pH darah berperan dalam mengontrol posisi pita suara.
4. Fungsi Sirkulasi.
17
Pembukaan dan penutupan laring menyebabkan penurunan dan
peninggian tekanan intratorakal yang berpengaruh pada venous return.
Perangsangan dinding laring terutama pada bayi dapat menyebabkan
bradikardi, kadang-kadang henti jantung. Hal ini dapat karena adanya
reflek kardiovaskuler dari laring. Reseptor dari reflek ini adalah
baroreseptor yang terdapat di aorta. Impuls dikirim melalui N.
Laringeus Rekurens dan Ramus Komunikans N. Laringeus Superior.
Bila serabut ini terangsang terutama bila laring dilatasi, maka terjadi
penurunan denyut jantung.
5. Fungsi Fiksasi.
Berhubungan dengan mempertahankan tekanan intratorakal agar
tetap tinggi, misalnya batuk, bersin dan mengedan.
6. Fungsi Menelan.
Terdapat 3 (tiga) kejadian yang berhubungan dengan laring pada
saat berlangsungnya proses menelan, yaitu: Pada waktu menelan faring
bagian bawah (M. Konstriktor Faringeus Superior, M. Palatofaringeus
dan M. Stilofaringeus) mengalami kontraksi sepanjang kartilago
krikoidea dan kartilago tiroidea, serta menarik laring ke atas menuju
basis lidah, kemudian makanan terdorong ke bawah dan terjadi
pembukaan faringoesofageal. Laring menutup untuk mencegah
makanan atau minuman masuk ke saluran pernafasan dengan jalan
menkontraksikan orifisium dan penutupan laring oleh epiglotis.
Epiglotis menjadi lebih datar membentuk semacam papan penutup
aditus laringeus, sehingga makanan atau minuman terdorong ke lateral
menjauhi aditus laring dan maduk ke sinus piriformis lalu ke hiatus
esofagus.
7. Fungsi Batuk.
Bentuk plika vokalis palsu memungkinkan laring berfungsi sebagai
katup, sehingga tekanan intratorakal meningkat. Pelepasan tekanan
secara mendadak menimbulkan batuk yang berguna untuk
18
mempertahankan laring dari ekspansi benda asing atau membersihkan
sekret yang merangsang reseptor atau iritasi pada mukosa laring.
8. Fungsi Ekspektorasi.
Dengan adanya benda asing pada laring, maka sekresi kelenjar
berusaha mengeluarkan benda asing tersebut.
9. Fungsi Emosi.
Perubahan emosi dapat menyebabkan perubahan fungsi laring,
misalnya pada waktu menangis, kesakitan, menggigit dan ketakutan.
2.3. Definisi
Laringitis merupakan suatu proses inflamasi pada laring yang dapt
terjadi, baik secara akut maupun kronik. Laringitis akut biasanya terjadi
mendadak dan berlangsung dalam kurun waktu kurang lebih 3 minggu.
Bila gejala telah lebih dari 3 minggu dinamakan laringitis kronis.
Radang akut laring pada umumnya merupakan kelanjutan dari
rinofaringitis akut (common cold). Sedangkan laringitis kronik merupakan
radang kronis laring yang dapat disebabkan oleh sinusitis kronis, deviasi
septum yang berat, polip hidung atau bronkitis kronis. Mungkin juga
disebabkan oelh penyalahgunaan suara (vocal abuse) seperti berteriak-
teriak atau biasa berbicara keras.9
Laringitis kronis dibagi menjadi laringitis kronik non spesifik dan
spesifik. Laringitis kronik non spesifik dapat disebabkan oleh faktor
eksogen (rangsangan fisik oleh penyalahgunaan suara, rangsangan kimia,
infeksi kronik saluran napas atas atau bawah, asap rokok) atau faktor
endogen (bentuk tubuh, kelainan metabolik). Sedangkan laringitis kronik
spesifik disebabkan tuberkulosis dan sifilis.10
Salah satu bentuk laringitis kronis spesifik adalah laringitis
tuberkulosis. Laringitis tuberkulosis adalah proses inflamasi pada mukosa
pita suara dan laring yang terjadi dalam jangka waktu lama yang
disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosa.6
19
2.4. Epidemiologi
Sebagaimana insidensi dan prevalensi tuberkulosis paru yang
mengalami penurunan, kejadian laringitis tuberkulosis juga mengalami
penurunan, meskipun kecenderungan peningkatan kejadian laringitis
tuberkulosis dalam beberapa tahun terakhir.11
Dulu, dinyatakan bahwa penyakit ini sering terjadi pada kelompok
usia muda yaitu 20 – 40 tahun. Dalam 20 tahun belakangan, insidens
penyakit ini pada penduduk yang berumur lebih dari 60 tahun jelas
meningkat. Saat ini tuberkulosis dalam semua bentuk dua kali lebih sering
pada laki-laki dibanding dengan perempuan. Tuberkulosis laring juga
lebih sering terjadi pada laki-laki usia lanjut, terutama pasien-pasien
dengan keadaan ekonomi dan kesehatan yang buruk, banyak diantaranya
adalah peminum alkohol.12
2.5. Etiologi
Hampir selalu disebabkan tuberkulosis paru. Setelah diobati
biasanya tuberkulosis paru sembuh namun laringitis tuberkulosisnya
menetap, karena struktur mukosa laring sangat lekat pada kartilago serta
vaskularisasi tidak sebaik paru. Infeksi laring oleh Mycobacterium
tuberculosa hampir selalu sebagai komplikasi tuberkulosis paru aktif, dan
ini merupakan penyakit granulomatosis laring yang paling sering.10,11,12
2.6. Patogenesis
Laringitis tuberkulosis umumnya merupakan sekunder dari lesi
tuberkulosis paru aktif, jarang merupakan infeksi primer dari inhalasi basil
tuberkel secara langsung.10,11,12,13 Secara umum, infeksi kuman ke laring
dapat terjadi melalui udara pernapasan, sputum yang mengandung kuman,
atau penyebaran melalui darah atau limfe.9
Berdasarkan mekanisme terjadinya laringitis tuberkulosis
dikategorikan menjadi 2 mekanisme, yaitu:
20
Laringitis tuberkulosis primer jarang dilaporkan dalam literatur
medis. Laringitis tuberkulosis primer terjadi jika ditemukan infeksi
Mycobacterium tuberculosa pada laring, tanpa disertai adanya
keterlibatan paru. Rute penyebaran infeksi pada laringitis tuberkulosis
primer yang saat ini diterima adalah invasi langsung dari basil tuberkel
melalui inhalasi.13,14 Berdasarkan penelitian yang dilakukan Shin dkk
(2000), menyatakan bahwa sebanyak 40,6% pasien dengan laringitis
tuberkulosis memiliki paru yang normal.15
21
M. Tuberculosis ke sel Th1. Th1 kemudian berproliferasi dan dapat
kembali ke tempat awal infeksi. Restimulasi oleh sel penyaji setempat
menghasilkan produksi IFN dan mengaktifasi makrofag. Bila
eliminasi mikroorganisme ini gagal akan berlanjut pada inflamasi
kronik terjadi dimana patogen persisten di dalam tubuh, maka terjadi
pengalihan respon imun berupa reaksi hipersensitifitas tipe lambat
membentuk granuloma.16
Setelah kontak awal dengan antigen, sel Th disensitisasi,
berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel DTH (delayed type
hypersensitivity) dimana pengerahan makrofag yang berkelanjutan
akan membentuk sel-sel epitloid berupa sel datia dalam granuloma.16
Tuberkel yang avaskular berisikan daerah perkijuan di tengah
dikelilingi oleh sel epiteloid dan di bagian perifer oleh sel-sel
mononukleus. Kemudian tuberkel-tuberkel ini bersatu membentuk
nodul. Karena letaknya di subepitel, epitel yang melampisinya
mungkin hilang dan sering terjadi ulserasi dengan infeksi sekunder.
Proses ini pertama kali cenderung akan mengenai prosesus vokalis dan
epiglotis.11,12
Adanya tuberkel mungkin akan merangsang terjadinya hiperplasia
epitel dan jaringan fibrosis subepitel. Hal ini mungkin bermanifestasi
pada daerah interaritenoid berupa penebalan yang menyerupai
pakiderma. Prosesus vokalis mungkin di tutupi oleh nodul yang
menyerupai morbili. Hal ini merupakan manifestasi dari proses
perbaikan karena hanya ditemukan sedikit perkijuan pada lesi.11,12
Edema jelas pada keadaan lebih lanjut dan mungkin terjadi sebagai
akibat obstruksi jaringan limfe oleh granuloma. Edema dapat timbul di
fossa interaritenoid, kemudian ke aritenoid, plika vokalis, plika
ventrikularis, epiglottis serta terakhir ialah subglotik. Epiglotis dan
jaringan ikat di atas aritenoid merupakan tempat yang paling tampak
edema.9,11,12
22
Penyembuhan tuberkulosis laring disertai oleh pembentukan kapsul
jaringan fibrosa dan jaringan menggantikan tuberkel.
Stadium Infiltrasi
Mukosa laring bagian posterior mengalami pembengkakan dan
hiperemis pada bagian posterior, kadang-kadang dapat mengenai pita
suara. Pada stadium ini mukosa laring berwarna pucat.
Kemudian di daerah submukosa terbentuk tuberkel, sehingga
mukosa tidak rata, tampak bintik berwarna kebiruan. Tuberkel makin
membesar dan beberapa tuberkel yang berdekatan bersatu, sehingga
mukosa diatasnya meregang. Pada suatu saat, karena sangat meregang,
maka akan pecah dan terbentuk ulkus.
Stadium Ulserasi
23
Ulkus yang timbul pada akhir stadium infiltrasi membesar. Ulkus
ini dangkal, dasarnya ditutupi perkijuan dan dirasakan sangat nyeri oleh
pasien.
Stadium Perikondritis
Ulkus makin dalam sehingga mengenai kartilago laring terutama
kartilago aritenoid dan epiglottis. Dengan demikian terjadi kerusakan
tulang rawan, sehingga terbentuk nanah yang berbau, proses ini akan
melanjut dan terbentuk sekuester. Pada stadium ini pasien sangat buruk
dan dapat meninggal dunia. Bila pasien dapat bertahan maka proses
penyakit berlanjut dan msuk dalam stadium terakhir yaitu
fibrotuberkulosis.
Stadium Fibrotuberkulosis
Pada stadium ini terbentuk fibrotuberkulosis pada dinding
posterior, pita suara dan subglotik.
24
Gambar 5. Temuan Laringoskopi pada Laringitis Tuberkulosis, A. Lesi
Ulseratif (pada seluruh laring), B. Lesi Granuloma (pada glotis posterior),
C. Lesi Polyploid (pada plika vokalis palsu kanan), D. Lesi Nonspesifik
(pada plika vokalis kanan)
Gejala Klinis
Tergantung pada stadiumnya, disamping itu terdapat gejala sebagai
berikut:
- Rasa kering, panas, dan tertekan di daerah laring.
- Suara parau yang berlangsung berminggu-miggu, sedangkan pada
stadium lanjut dapat timbul afoni.
- Hemoptisis.
- Nyeri waktu menelan yang lebih hebat bila dibandingkan dengan nyeri
karena radang lainnya, merupakan tanda yang khas.
- Keadaan umum buruk.
25
- Pada pemeriksaan paru (secara klinis dan radiologis) terdapat proses
aktif (biasanya pada stadium eksudatif atau pada pembentukan
kaverne).
2.8. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesa
Pada anamnesa dapat ditanyakan:
- Kapan pertama kali timbul serta faktor yang memicu dan
mengurangi gejala
- Riwayat pekerjaan, termasuk adanya kontak dengan bahan yang
dapat memicu timbulnya laringitis seperti debu, asap.
- Penggunaan suara berlebih
- Penggunaan obat-obatan seperti diuretik, antihipertensi,
antihistamin yang dapat menimbulkan kekeringan pada mukosa
dan lesi pada mukosa.
- Riwayat merokok
- Riwayat makan
- Suara parau atau disfonia
- Batuk kronis terutama pada malam hari
- Stridor karena adanya laringospasme bila sekret terdapat disekitar
pita suara
- Disfagia dan otalgia
26
3. Laboratorium
- Pemeriksaan Bakteriologik
Bahan pemeriksaan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis.
Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari
dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan
lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL),
urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH).
- Kultur kuman
Peran biakan dan identifikasi M.tuberkulosis pada penanggulangan
TB khususnya untuk mengetahui apakah pasien yang bersangkutan
masih peka terhadap OAT yang digunakan.
27
Gambar 6. Laringitis Tuberkulosis
5. Foto toraks
Untuk melihat apabila terdapat pembengkakan dan adanya
gambaran tuberkulosis paru. CT scanning dan MRI juga dapat
digunakan dan memberikan hasil yang lebih baik. Gambaran
radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
- Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus
atas paru dan segmen superior lobus bawah.
- Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak
berawan atau nodular.
28
6. Pemeriksaan patologi anatomi
Pada gambaran makroskopi tampak permukaan selaput lendir
kering dan berbenjol-benjol sedangkan pada mikroskopik terdapat
epitel permukaan menebal dan opaque, pembentukan granuloma, sel
besar Langhans, serbukan sel radang menahun pada lapisan
submukosa.
- Karsinoma laring
29
Karsinoma laring memberikan gejala yang serupa dengan laringitis
tuberkulosa. Serak adalah gejala utama karsinoma laring, namun
hubungan antara serak dengan tumor laring tergantung pada letak
tumor.
2.10. Penatalaksanaan
1. Terapi non medikamentosa
- Mengistirahatkan pita suara dengan cara pasien tidak banyak
berbicara.
- Menghindari iritan yang memicu nyeri tenggorokan atau batuk
misalnya goreng-gorengan, makanan pedas.
- Konsumsi cairan yang banyak.
- Berhenti merokok dan konsumsi alkohol.
30
Tabel 1. Dosis Obat Anti Tuberkulosis
Obat Dosis harian Dosis 2x/minggu Dosis 3x/minggu
(mg/kgbb/hari) (mg/kgbb/hari) (mg/kgbb/hari)
INH 5-15 (maks. 300 mg) 15-40 (maks. 900 15-40 (maks. 900
mg) mg)
Rifampisin 10-20 (maks. 600 10-20 (maks. 600 15-20 (maks. 600
mg) mg) mg)
Pirazinamid 15-40 (maks. 2 g) 50-70 (maks. 4 g) 15-30 (maks. 3 g)
Etambutol 15-25 (maks. 2,5 g) 50 (maks. 2,5 g) 15-25 (maks. 2,5 g)
Streptomisin 15-40 (maks. 1 g) 25-40 (maks. 1,5 g) 25.40maks. 1,5 g)
3. Operatif
Tindakan operatif dilakukan dengan tujuan untuk pengangkatan
sekuester. Trakeostomi diindikasikan bila terjadi obstruksi laring.
Trakeostomi
Trakeostomi adalah tindakan membuat luabang pada dinding
depan/anterior trakea untuk bernafas. Trakeostomi dilakukan atas
indikasi, berikut:
- Mengatasi obstruksi laring
- Mengurangi ruang rugi (dead air space) di saluran napas bagian
atas seperti daerah rongga mulut, sekitar lidah, dan faring.
- Mempermudah penghisapan secret dari bronkus pada pasien yang
tidak dapat mengeluarkan secret secara fisiologik.
- Untuk memasang respirator (alat bantu pernapasan).
- Untuk menambil benda asing dari subglotik, apabila tidak
mempunyai fasilitas bronkoskopi.
Trakeostomi pada kasus laringitis tuberkulosis dilakukan atas indikasi
yaitu jika terjadi obstruksi laring dan mengurangi ruang rugi di saluran
napas bagian atas seperti daerah rongga mulut, sekitar lidah, dan
faring.
31
2.11. Prognosis
Tergantung pada keadaan sosial ekonomi pasien, kebiasaan hidup
sehat serta ketekunan berobat. Bila diagnosa dapat ditegakkan pada
stadium dini maka prognosisnya baik.4,5
2.12. Komplikasi
Pada laringitis akibat peradangan yang terjadi dari daerah lain
maka dapat terjadi inflamasi yang progresif dan dapat menyebabkan
kesulitan bernafas. Kesulitan bernafas ini dapat disertai stridor baik pada
periode inspirasi, ekspirasi atau keduanya. Pada laringitis tuberkulosis
dapat terjadi sekuele, di antaranya stenosis glotis posterior, stenosis
subglotis, paralisis plika vokalis, dan persisten disfonia
BAB III
32
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
33
1. Yvette E Smulders, dkk. Laryngeal tuberculosis presenting as a supraglottic
carcinoma: a case report and review of the literature. Smulders et al; licensee
BioMed Central Ltd. 2009 [Diakses tanggal 28 April 2012]. Didapatkan dari:
http://www.jmedicalcasereports.com/content/3/1/9288
4. Ballenger, J.J. Anatomy of the larynx. In : Diseases of the nose, throat, ear,
head and neck. 13th ed. Philadelphia: Lea & Febiger; 1993.
6. Adam GL, Boies LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Pentakit THT, Edisi
keenam. Jakarta: EGC; 1999. Hal 369-377
7. Lee, K.J. Cancer of the Larynx. In; Essential Otolaryngology Head and Neck
Surgery . Eight edition. Connecticut: McGraw-Hill; 2003. Hal 724-736, 747,
755-760.
34
11. Probst, Rudolf, Gerhard Grevers, Heinrich Iro. Basic Otorhinolaryngology :
Infectious Disease of Larynx and Trachea. New York: Thieme; 2006. Hal
354-361
12. Ballenger JJ, Penyakit Telinga Hidung, Tenggorok Kepala dan Leher,
Penyakit Granulomatosis Kronik Laring, Edisi ketigabelas. Jakarta: Penerbit
Binarupa Aksara; hal 547-558
15. Shin JE, Nam SY, Yoo SJ, Kim SY. Changing trends in clinical
manifestations of laryngeal tuberculosis. Laryngoscope 2000; 110: 1950-
1953s.
16. Baratawijdaja KG. Imunologi Dasar Edisi 7. Balai penerbit FK UI. Jakarta.
2006; h. 145, 170-173.
35