Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Post Apendisitis

Asuhan Keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan

pada praktik keperawatan yang langsung diberikan kepada klien pada

berbagai tatanan pelayanan kesehatan, dalam upaya pemenuhan

Kebutuhan Dasar Manusia dengan menggunakan metodologi proses

keperawatan dan berpedoman pada standar keperawatan, dilandasi kode

etik dan etika keperawatan dalam lingkup wewenang serta tanggung jawab

keperawatan (DPP PPNI, 1999).

Asuhan Keperawatan dilaksanakan dalam bentuk proses

keperawatan yang meliputi tahap pengkajian, diagnosis keperawatan,

intervensi keperawatan, implementasi keperawatan, dan evaluasi (DPP

PPNI, 1999).

1. Pengkajian

Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan

merupakan proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari

berbagai sumber untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status

kesehatan pasien baik fisik, mental, sosial, dan lingkungan

( Manurung, 2011).

6
7

a. Anamnesis

Pasien post op Apendisitis masuk ke unit perawatan, pasien

diamati terhadap patensi jalan napas, kualitas pernapasan dicatat,

seperti kedalaman, frekuensi, dan bunyi napas. Sering kali, karena

medikasi nyeri, pernapasan menjadi melambat. Pernapasan pendek

dan cepat adalah akibat nyeri, balutan yang terlalu ketat, dilatasi

lambung, atau obesitas. Pernapasan yang bising disebabkan karena

obstruksi oleh sekresi atau lidah. Pertimbangan dasar dalam

mengkaji fungsi kardiovaskular adalah memantau pasien terhadap

tanda-tanda syok dan hemoragi. Penampilan pasien, nadi,

pernapasan, tekanan darah, dan suhu tubuh digunakan untuk

menentukan fungsi kardiovaskular. Kondisi umum pasien dikaji

dan dicatat, termasuk apakah warna kulit baik atau sianotik, apakah

kulit teraba dingin dan kusam atau hangat dan lembab, atau apakah

terdapat mukus yang berlebihan dalam tenggorok dan dalam

hidung.

b. Pemeriksaan Fisik

Menurut Nuraruf dan Kusuma (2015), pemeriksaan fisik meliputi:

1) Status kesehatan umum

Kesadaran biasanya composmentis, ekspresi wajah, menahan

sakit ada tidaknya kelemahan.


8

2) Integumen

Ada tidaknya edema, sianosis, pucat, pemerahan luka

pembedahan pada abdomen sebelah kanan bawah.

3) Kepala dan leher

Ekspresi wajah kesakitan, pada konjungtiva apakah ada warna

pucat.

4) Thorax dan paru

Apakah bentuknya simetris, ada tidaknya sumbatan jalan

napas, gerakan cuping hidung maupun alat bantu napas,

frekuensi pernafasan biasanya normal (16-20 kali permenit).

Apakah ada ronchi, wheezing, stidor.

5) Abdomen

Pada post operasi biasanya sering terjadi ada tidaknya

peristaltik pada usus ditandai dengan distensi abdomen, tidak

flatus dan mual, apakah bisa kencing spontan atau retensi urine,

distensi supra pubis, periksa apakah mengalir lancar, tidak ada

pembuntuan serta terfiksasi dengan baik.

6) Ekstremitas

Apakah ada keterbatasan dalam aktivitas karena adanya nyeri

yang hebat dan apakah ada kelumpuhan atau kekakuan.


9

c. Pemeriksaan Diagnostik

1) Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium untuk Apendisitis terdiri dari

pemeriksaan darah lengkap dan pemeriksaan protein reaktif.

Pada pemeriksaan darah lengkap yang dijadikan penanda untuk

apendisitis akut adalah leukositosis dan neutrofilia.

Peningkatan sel darah putih lebih dari 10.000/ml menandakan

Apendisitis sederhana, sedangkan peningkatan lebih dari

18.000/ml menandakan Apendisitis dengan perforasi.

Peningkatan C-reactive protein (CRP) biasanya terjadi pada

Apendisitis yang gejalanya telah timbul lebih dari 12 jam. Dari

kombinasi ketiga temuan tersebut dapat meningkatkan

sensitifitas diagnosis untuk Apendisitis akut sebesar 97%-100%

(Sevinc,2016).

2) Pemeriksaan Radiologi

a) Apendikogram

Pemeriksaan apendikogram dilakukan dengan

meminta pasien untuk meminum cairan kontras kemudian

dilakukan pengambilan X-ray. Prosedur ini cukup invasif

dan radiatif sehingga membutuhkan indikasi yang kuat

untuk penggunaannya. Kecurigaan terjadinya Apendisitis

pada pemeriksaan ini adalah jika tidak terdapat pengisian

dari cairan kontras atau pengisian sebagian, ditemukan


10

gambar lumen yang ireguler, dan adanya edema mukosa

lokal pada ujung caecum (Kusuma et al, 2015).

b) Ultrasonografi (USG)

Alat pencitraan yang paling sering digunakan sebagai

penunjang diagnosis Apendisitis adalah USG, walaupun

akurasinya lebih rendah dibanding CT-Scan dan MRI.

Ultrasonografi menjadi pilihan utama karena

penggunaannya yang mudah, murah, dan tidak invasif.

Tingkat akurasi USG sangat bergantung pada operator dan

alat yang digunakan. Faktor lain yang mempengaruhi hasil

USG adalah obesitas, gas dalam lengkungan usus di depan

apendiks, jumlah cairan inflamasi di sekitar apendiks, dan

posisi dari apendiks (Hussain et al, 2014).

c) CT-Scan

Pemeriksaan Computed Tomography (CT-Scan) pada

dasarnya merupakan pemeriksaan imaging yang paling

diakui untuk membantu penegakan diagnosis Apendisitis

pada orang dewasa. Di Amerika CT-Scan digunakan pada

86% pasien Apendisitis, dengan sensitifitas sebesar 92,3%.

Namun bahaya radiasi dan keterbatasan sarana merupakan

masalah dari penggunaan alat ini (Bhangu et al, 2015).


11

d) MRI

Penggunaan Magnetic Resonance Imaging (MRI)

dapat mengurangi resiko dari radiasi, namun tujuan khusus

dan spesifitasnya dalam mendiagnosis akut abdomen masih

dipertanyakan. Selain itu tidak semua rumah sakit di dunia

memiliki sarana yang memadai untuk MRI, dan

penggunaannya yang tidak bisa langsung merespon

keadaan darurat menjadi kekurangan dari alat ini (Bhangu

et al,2015).

3) Pemeriksaan Histopatologi

Pemeriksaan Histopatologi merupakan baku emas dalam

mengkonfirmasi diagnosis Apendisitis. Kriteria yang

digunakan ahli patologi untuk menentukan diagnosis

Apendisitis adalah sebagai berikut : a) Terdapat peradangan

transmural pada apendiks. b) Adanya granulosit pada mukosa

atau di dalam epitel apendiks (Zarandi, 2014).

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis

mengenai respon klien terhadap masalah kesehatan atau proses

kehidupan yang dialaminya baik yang berlangsung aktual maupun

potensial (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016). Diagnosa keperawatan

bertujuan untuk mengidentifikasi respons klien individu, keluarga dan


12

komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan (Tim

Pokja SDKI DPP PPNI, 2016).

Adapun masalah keperawatan yang dapat dirumuskan pada

pasien post op Apendisitis yaitu:

a. Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan nyeri dibuktikan

dengan nyeri saat bergerak, enggan melakukan pergerakan, merasa

cemas saat bergerak.

b. Perlambatan Pemulihan Pascabedah berhubungan dengan

gangguan mobilitas dibuktikan. dengan waktu penyembuhan yang

memanjang, membutuhkan bantuan untuk perawatan diri

c. Defisit Perawatan Diri berhubungan dengan penurunan

motivasi/minat, kelemahan dibuktikan dengan minat melakukan

perawatan diri kurang, menolak melakukan perawatan diri.

3. Intervensi keperawatan

Perencanaan atau intervensi keperawatan untuk pasien

gangguan mobilitas fisik, untuk tujuan keperawatan dan kriteria hasil

mengacu pada perencanaan atau intervensi keperawatan standar

intervensi keperawatan indonesia (SIKI), menurut Tim Pokja SIKI

DPP PPNI (2018).

a. Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan nyeri dibuktikan

dengan nyeri saat bergerak, enggan melakukan pergerakan, merasa

cemas saat bergerak.

Tujuan :
13

Setelah dilakukan tindakan keperawatan maka Mobilitas Fisik

meningkat dengan kriteria hasil: pergerakan ekstremitas

meningkat, rentang gerak (ROM) meningkat, nyeri menurun,

kecemasan menurun, dan gerakan terkoordinasi.

Tindakan keperawatan :

1) Dukungan Ambulasi : identifikasi adanya nyeri atau keluhan

fisik lainnya, identifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi,

fasilitasi melakukan mobilisasi fisik, fasilitasi aktivitas

ambulasi dengan alat bantu, jelaskan tujuan dan prosedur

ambulasi, ajarkan ambulasi sederhana yang harus dilakukan

seperti berjalan dari tempat tidur ke kamar mandi.

2) Dukungan Mobilisasi : identifikasi adanya nyeri atau keluhan

fisik lainnya, identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan,

fasilitasi melakukan pergerakan, libatkan keluarga untuk

membantu pasien dalam meningkatkan pergerakan, jelaskan

tujuan dan prosedur mobilisasi, dan anjurkan melakukan

mobilisasi.

b. Perlambatan Pemulihan Pascabedah berhubungan dengan

gangguan mobilitas dibuktikan. dengan waktu penyembuhan yang

memanjang, membutuhkan bantuan untuk perawatan diri

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan maka Pemulihan

Pascabedah meningkat dengan kriteria hasil: mobilitas meningkat,


14

kemampuan perawatan diri meningkat, waktu penyembuhan yang

menurun, area luka operasi membaik.

Tindakan keperawatan :

1) Perawatan Luka : monitor karakteristik luka, monitor tanda-

tanda infeksi, pertahankan teknik steril saat melakukan

perawatan luka, jadwalkan perubahan posisi setiap 2 jam atau

sesuai kondisi pasien, jelaskan tanda dan gejala infeksi,

anjurkan mengkonsumsi makanan tinggi kalori dan protein, dan

kolaborasi pemberian antibiotik jika perlu.

2) Edukasi Mobilisasi : identifikasi kesiapan dan kemampuan

menerima informasi, identifikasi indikasi dan kontraindikasi

mobilisasi, jadwalkan waktu pendidikan kesehatan sesuai

kesepakatan dengan pasien dan keluarga, ajarkan cara

mengidentifikasi kemampuan mobilisasi, dan demonstrasikan

cara melatih rentang gerak.

c. Defisit Perawatan Diri berhubungan dengan penurunan

motivasi/minat, kelemahan dibuktikan dengan minat melakukan

perawatan diri kurang, menolak melakukan perawatan diri.

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan maka Perawatan Diri

meningkat dengan kriteria hasil: minat melakukan perawatan diri

meningkat, verbalisasi keinginan melakukan perawatan diri, dan

mampu mempertahankan kebersihan diri.


15

Tindakan keperawatan :

1) Dukungan Perawatan Diri : identifikasi kebutuhan alat bantu

kebersihan diri, berpakaian, berhias dan makan, sediakan

lingkungan yang terapeutik, dampingi dalam melakukan

perawatan diri sampai mandiri, dan anjurkan melakukan

perawatan diri secara konsisten sesuai kemampuan.

4. Implementasi Keperawatan

Pelaksanaan atau implementasi merupakan bagian aktif dalam

asuhan keperawatan yang dilakukan oleh perawat sesuai dengan

rencana tindakan. Tindakan ini bersifat intelektual, teknis, dan

interpersonal berupa berbagai upaya untuk memenuhi kebutuhan dasar

manusia.

Menurut Kozier et al(2010), implementasi keperawatan

merupakan sebuah fase dimana perawat melaksanakan rencana atau

intervensi yang sudah dilaksanakan sebelumnya. Berdasarkan SIKI,

implementasi terdiri atas melakukan dan mendokumentasikan yang

merupakan tindakan khusus yang digunakan untuk melaksanakan

intervensi.

a. Dukungan Ambulasi adalah memfasilitasi pasien untuk

meningkatkan aktivitas berpindah. Ambulasi dini adalah tahapan

kegiatan yang dilakukan segera pada pasien pasca operasi dimulai

dari bangun dan duduk sampai pasien turun dari tempat tidur dan

mulai berjalan dengan bantuan alat sesuai dengan kondisi pasien.


16

Adapun manfaat ambulasi yaitu untuk memperbaiki sirkulasi,

mencegah flebotrombosis, mengurangi komplikasi immobilisasi

pasca operasi, dan mempercepat pasien pasca operasi. Ambulasi

sangat penting dilakukan pada pasien pasca operasi karena jika

pasien membatasi pergerakannya di tempat tidur dan sama sekali

tidak melakukan ambulasi pasien akan semakin sulit untuk

memulai berjalan (Kozier, 2010).

b. Dukungan Mobilisasi adalah memfasilitasi pasien untuk

meningkatkan aktivitas pergerakan fisik. Mobilisasi adalah suatu

kondisi dimana tubuh dapat melakukan kegiatan dengan bebas.

Mobilisasi diperlukan untuk meningkatkan kesehatan,

memperlambat proses penyakit khususnya penyakit degeneratif

dan untuk aktualisasi. Mobilisasi menyebabkan perbaikan sirkulasi,

membuat napas dalam dan menstimulasi kembali fungsi

gastrointestinal normal, dorong untuk menggerakkan kaki dan

tungkai bawah (Kozier, 2010).

c. Perawatan Luka adalah mengidentifikasi dan meningkatkan

penyembuhan luka serta mencegah terjadinya komplikasi luka.

Tindakan perawatan luka dapat mempercepat proses penyembuhan

luka serta mencegah supaya tidak terjadi infeksi pada luka, dan

mencegah bertambahnya kerusakan jaringan.

d. Dukungan Perawatan Diri adalah memfasilitasi pemenuhan

kebutuhan perawatan diri. Memberikan dukungan/memfasilitasi


17

pasien dalam melakukan perawatan diri seperti, mandi,

mengenakan pakaian, BAB/BAK, minat melakukan perawatan diri,

dan mempertahankan kebersihan mulut.

5. Evaluasi

Evaluasi keperawatan menurut Kozier et al (2010) adalah fase

kelima atau terakhir dalam proses keperawatan. Evaluasi dilakukan

terus menerus pada respon klien terhadap tindakan yang telah

dilaksanakan. Hasil yang diharapkan pada evaluasi yaitu pasien

menunjukkan tanda-tanda kebutuhan mobilitas fisik terpenuhi setelah

melakukan implementasi keperawatan dengan melihat gejala yang

dialami pasien dan pelaksanaan keperawatan sesuai dengan penyakit.

B. Mobilisasi Fisik Pada Pasien Post Op Apendisitis

1. Pengertian Mobilisasi fisik

Mobilisasi adalah suatu kegiatan untuk melatih hampir semua

alat tubuh dan meningkatkan fleksibilitas sendi. Mobilisasi merupakan

suatu kebutuhan dasar manusia yang diperlukan oleh individu untuk

melakukan aktivitas sehari-hari yang berupa pergerakan sendi, sikap,

gaya berjalan, latihan maupun kemampuan aktivitas.

Mobilisasi dini adalah suatu usaha untuk menggerakkan bagian

tubuh secara bebas dan normal baik secara aktif maupun pasif untuk

mempertahankan sirkulasi, memelihara tonus otot dan mencegah

kekakuan otot. Menggerakkan badan atau melatih kembali otot-otot

dan sendi pasca operasi akan merilekskan pikiran dan mengurangi


18

dampak negatif dari beban psikologis yang tentu saja berpengaruh

terhadap pemulihan fisik.

Mobilisasi post operasi yaitu proses aktivitas yang dilakukan

post pembedahan dimulai dari latihan ringan di atas tempat tidur

sampai dengan pasien bisa turun dari tempat tidur, berjalan ke kamar

mandi, dan berjalan ke luar kamar (Smeltzer & Rismalia, 2015).

2. Pengertian Post Op Apendisitis

Apendisitis merupakan peradangan yang terjadi pada lapisan

mukosa dari apendiks vermiformis yang kemudian dapat menyebar ke

bagian lainnya dari apendiks. Peradangan ini terjadi karena adanya

sumbatan atau infeksi pada lumen apendiks. Apendisitis yang tidak

segera ditangani dapat menyebabkan beberapa komplikasi seperti

perforasi atau sepsis, bahkan dapat menyebabkan kematian (Craig,

2017).

Apendiktomi adalah pembedahan atau operasi pengangkatan

apendiks (Haryono, 2012). Apendiktomi merupakan pengobatan

melalui prosedur tindakan operasi hanya untuk penyakit apendisitis

atau penyingkiran/pengangkatan usus buntu yang terinfeksi.

Apendiktomi dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan risiko

perforasi lebih lanjut seperti peritonitis atau abses (Pristahayuningtyas,

2015).

Post apendiktomi merupakan peristiwa setelah dilakukannya

tindakan pembedahan pada apendik yang mengalami inflamasi.


19

Kondisi post operasi dimulai saat pasien dipindahkan ke ruang

pemulihan dan berakhir sampai evaluasi selanjutnya. Pasien yang telah

menjalani pembedahan dipindahkan ke ruang perawatan untuk

pemulihan post pembedahan (memperoleh istirahat dan kenyamanan)

(Mutaqqin, 2009).

Aktivitas keperawatan post operasi berfokus pada peningkatan

penyembuhan pasien dan melakukan penyuluhan. Peran perawat yang

mendukung proses kesembuhan pasien yaitu dengan memberikan

dorongan kepada pasien untuk melakukan mobilisasi setelah operasi.

Mobilisasi penting dilakukan karena selain mempercepat proses

kesembuhan juga mencegah komplikasi yang mungkin muncul

( Muttaqin, 2009).

3. Gangguan mobilitas fisik pada pasien post op Apendisitis

Gangguan pemenuhan aktivitas biasanya terjadi pada pasien

dengan kondisi gangguan persyarafan seperti stroke, gangguan

kardiovaskuler karena intoleransi, ataupun kondisi pasca pembedahan

akibat dari nyeri yang dirasakan. Kondisi pembedahan yang

mengalami gangguan pemenuhan ADL dapat terjadi pada pasien post

craniotomi, post thorakostomi, post fraktur, maupun post apendiktomi.

Pada pasien post apendiktomi seringkali pasien merasakan nyeri yang

mengakibatkan pasien takut untuk mengubah posisi dan melakukan

aktivitas.
20

Pemenuhan aktivitas sehari-hari klien post apendiktomi banyak

bergantung pada perawat maupun keluarga klien. Klien post

apendiktomi sebaiknya dilakukan mobilisasi dini untuk

mengembalikan fungsi pemenuhan aktivitas sehari-harinya. Mobilisasi

dini dapat dilakukan 6-12 jam post pembedahan. Mobilisasi dini

memiliki banyak keuntungan yaitu tidak memerlukan biaya yang

mahal, dapat mengurangi length of stay di rumah sakit sehingga dapat

menekan biaya perawatan, dapat terhindar dari infeksi nosokomial, dan

dapat memandirikan pasien sesegera mungkin.

4. Jenis – Jenis Mobilisasi fisik

Mobilisasi dbagi menjadi beberapa jenis. Jenis mobilisasi

diantaranya adalah mobilisasi penuh dan mobilisasi sebagian

(temporer dan permanen). (Hidayat, 2009).

a. Mobilisasi Penuh

Mobilisasi penuh merupakan kemampuan seseorang untuk

bergerak secara penuh dan bebas sehingga dapat melakukan

interaksi sosial dan menjalankan peran sehari-hari.

b. Mobilisasi Sebagian

Mobilisasi sebagian merupakan kemampuan seseorang

untuk bergerak dengan batasan jelas dan tidak mampu bergerak

secara bebas karena dipengaruhi oleh gangguan saraf motorik dan

sensorik pada daerah tubuhnya. Mobilisasi sebagian dibagi menjadi

dua jenis, yaitu:


21

1) Mobilisasi sebagian temporer, merupakan kemampuan individu

untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya sementara.

Mobilisasi temporer dapat disebabkan oleh trauma reversibel

pada sistem musculoskeletal, contoh dislokasi sendi dan tulang.

2) Mobilisasi sebagian permanen, merupakan kemampuan

individu untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya menetap.

Mobilisasi sebagian permanen disebabkan oleh rusaknya sistem

saraf reversibel, contohnya terjadi hemiplegia karena stroke,

paraplegi karena cedera tulang belakang, poliomyelitis karena

terganggunya sistem syaraf motorik dan sensorik.

5. Tujuan dan Manfaat Mobilisasi Fisik

Mobilisasi sangat bermanfaat untuk seseorang, diantaranya

dapat membuat tubuh menjadi lebih segar, memperbaiki tonus otot dan

sikap tubuh, mengontrol berat badan, mengurangi stres, serta dapat

meningkatkan relaksasi, merangsang peredaran darah ke otot dan

organ tubuh lain sehingga meningkatkan kelenturan tubuh, pada anak

dapat merangsang pertumbuhan (Asmadi, 2008). Latihan mobilisasi

juga dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi, mencegah

dekubitus, merangsang peristaltik serta mengurangi adanya nyeri.


22

6. Faktor – Faktor Mobilisasi Fisik

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan mobilisasi fisik pasien post

op apendisitis:

a. Usia

Usia merupakan faktor hambatan yang dapat

mempengaruhi dalam pelaksanaan mobilisasi dini, karena pasien

yang berusia lebih muda biasanya lebih kuat dan lebih siap dalam

pelaksanaan mobilisasi dini setelah pembedahan dari pada pasien

dengan usia lebih tua.

b. Kondisi Kesehatan Paisen

Perubahan status kesehatan dapat mempengaruhi sistem

muskuloskeletal dan sistem saraf berupa penurunan koordinasi.

Pasien post operasi merasa takut untuk bergerak karena merasakan

nyeri pada luka bekas operasi dan luka bekas trauma. Efek

imobilisasi pada sistem kardiovaskuler adalah hipotensi ortostatik.

c. Emosi

Kondisi psikologi seseorang dapat memudahkan perubahan

perilaku yang dapat menurunkan kemampuan ambulasi yang baik.

Pasien khawatir dan cemas lebih mudah lelah karena mengeluarkan

energi yang kucup besar dalam ketakutan dan kecemasannya jadi

mereka mengalami keletihan secara fisik dan emosional.

Perasaan yang dialami pasien post apendiktomi terhadap

luka operasi yang belum sembuh akan menimbulkan rasa takut


23

untuk melakukan mobilisasi, sehingga rasa takut tersebut dapat

menjadi penghambat bagi mereka untuk melakukan mobilisasi.

d. Fisik

Pasien yang baru saja menjalani operasi seperti operasi

apendiktomi, keadaan fisik pasien tersebut belum kembali pulih

pada keadaan sebelumnya. Hal tersebut dapat membuat pasien

merasa enggan untuk melakukan mobilisasi, selain rasa nyeri yang

dirasakan juga membuat pasien merasa lemah dan hanya ingin

berbaring di tempat tidur saja (Rismalia, 2013).

e. Gaya Hidup

Gaya hidup dapat mempengaruhi mobilitas. Tingkat

kesehatan seseorang dapat dilihat dari gaya hidupnya dalam

melakukan aktivitas dan mendefinisikan aktivitas sebagai sesuatu

yang mencakup kerja, permainan yang berarti, dan pola hidup yang

positif.

f. Dukungan Sosial

Keterlibatan anggota keluarga dalam rencana asuhan

keperawatan pasien dapat memfasilitasi proses pemulihan,

membantu pasien mengganti balutan, membantu pelaksanaan

latihan ambulasi.

g. Pengetahuan

Pasien yang sudah diajarkan mengenai gangguan mobilitas

akan mengalami peningkatan alternatif penanganan. Informasi


24

mengenai apa yang diharapkan termasuk sensasi selama dan

setelah penanganan dapat memberanikan pasien untuk

berpartisipasi secara aktif dalam pengembangan dan penerapan

penanganan. Informasi yang diberikan tentang prosedur perawatan

dapat mengurangi ketakutan pasien.

7. Dampak Mobilisasi Post Op Apendisitis

Dampak mobilisasi bagi pasien post op apendisitis menurut

Pristahayuningtyas, 2015:

a. Peningkatan sirkulasi

1) Nutrisi untuk penyembuhan mudah didapat pada daerah luka

2) Mencegah trimboplebitis

3) Peningkatan kelancaran fungsi ginjal

b. Pengurangan rasa nyeri

Klien post operasi apendiktomi menyatakan bahwa skala

nyeri sebelum dan sesudah dilakukan mobilisasi dini mengalami

penurunan dari rata-rata 7.75 menjadi 5.6.

c. Peningkatan berkemih

Mencegah retensi urin. Normalnya dalam waktu 6-8 jam

setelah anestesi, pasien akan mendapatkan kontrol berkemih secara

volunter, tergantung jenis pembedahan yang dilakukan.

d. Peningkatan metabolisme

1) Mencegah berkurangnya tinus otot

2) Mengembalikan keseimbangan nitrogen


25

e. Peningkatan peristaltik

1) Memudahkan terjadinya flatus

2) Mencegah distensi abdominal dan nyeri akibat gas

3) Mencegah konstipasi

4) Mencegah ileus peristaltik

f. Mengurangi lamanya perawatan, mencapai nilai efektifitas dan

efisiensi pelayanan seperti biaya perawatan, fungsi fisik segera

pulih, dan mengurangi sikap ketergantungan.

8. Penatalaksanaan Gangguan Mobilitas pada Pasien Post Op

Apendisitis

Mobilisasi dapat dilakukan sedini mungkin mulai dari 6-12

setelah operasi dan harus dibawah pengawasan perawat untuk

memastikan bahwa latihan tersebut dilakukan dengan tepat dan dengan

cara yang aman. Latihan tersebut melalui tahap-tahap yaitu (Rismalia,

2010):

a. Pada saat awal (6 sampai 12 jam setelah operasi)

Pergerakan fisik bisa dilakukan di atas tempat tidur dengan

menggerakkan tangan dan kaki yang bisa diketuk dan diluruskan,

mengontraksikan otot termasuk juga menggerakkan badan lainnya

seperti miring ke kanan atau miring ke kiri setiap 2 jam.

b. Pada 12 sampai 24 jam berikutnya

Jika pasien mampu beradaptasi untuk melakukan miring kanan dan

miring kiri, selanjutnya pasien dibantu untuk bergerak secara


26

bertahap dari posisi berbaring ke posisi duduk sampai semua tanda

pusing hilang. Posisi ini dapat dicapai dengan menaikkan bagian

kepala tempat tidur.

c. Pada hari kedua atau hari ketiga pasca operasi

Apabila pasien dapat duduk di tempat tidur tanpa mengeluh pusing

bantu pasien untuk menjuntaikan kaki di samping tempat tidur

sambil digerak-gerakkan, jika tanda-tanda vital normal dan pasien

tidak mengeluh pusing bantu pasien untuk berdiri di samping

tempat tidur dan bantu pasien untuk berjalan perlahan dalam jarak

2-3 meter.

d. Hari keempat pasien dibantu untuk berjalan ke kamar mandi dan

jika luka operasi kering, pemenuhan nutrisi baik, hasil pemeriksaan

penunjang baik, tidak ada komplikasi lainnya, perawat dapat

memberitahu dokter agar pasien boleh dipulangkan.

Anda mungkin juga menyukai