Anda di halaman 1dari 23

TINJAUAN PUSTAKA

THYROTOXIC PERIODIC PARALYSIS

Definisi

Thyrotoxic periodic paralysis (TPP) adalah paralisis lokal ataupun

general yang terjadi secara episodik dan berulang disertai dengan hipokalemia

dan memiliki kaitan dengan komplikasi tirotoksikosis.1,2 TPP merupakan suatu

kondisi yang serius dan merupakan komplikasi hipertiroidisme yang berpotensi

fatal akibat dari perpindahan kalium dalam jumlah besar dari ruang

ekstraseluler ke intraseluler. Keadaan ini lebih sering dijumpai pada laki-laki

keturunan Asia. Kebanyakan dari pasien-pasien TPP ini justru tidak mengalami

secara jelas gejala dan tanda hipertiroidisme.2,3

Epidemiologi

TPP merupakan suatu komplikasi tirotoksikosis yang cukup dikenal

pada populasi masyarakat di Asia termasuk Cina, Jepang, Vietnam, Filipina

dan Korea. Angka kejadinnya pada pasien dengan tirotoksikosis di jepang dan

cina adalah 1,8 dan 1,9%.3 Sedangkan secara keseluruhan, di Asia dijumpai

insidensi TPP sebanyak 2% dari seluruh populasi penderita tirotoksikosis. 4

Angka kejadian secara keseluruhan di seluruh wilayah negara-negara Barat

tidak diketahui, namun di Amerika Utara, angka kejadiannya pada pasien

tirotoksikosis dilaporkan sebesar 0,1-0,2%. Beberapa kasus yang terjadi secara

sporadis pernah dilaporkan pada penduduk ras Kaukasia, Afro-Amerika,


Indian-Amerika, serta Hispanik. Populasi masyarakat Indian-Amerika

diperkirakan memiliki resiko lebih tinggi terhadap kejadian TPP, hal ini

disebabkan adanya bukti bahwa nenek moyang masyarakat indian-amerika

berasal dari Asia yang bermigrasi ke Amerika Utara 11.000-23.000 tahun yang

lalu.3

Meskipun tirotoksikosis sendiri lebih banyak dijumpai pada populasi

wanita, namun angka kejadian TPP sendiri lebih sering dijumpai pada laki-laki.

Di Cina pada tahun 1967, TPP terjadi pada 13% pasien tirotoksikosis

sedangkan pada wanita hanya 0,17%. Pada tahun 1957, beberapa publikasi

menuliskan insidensi TPP pada penderita tirotoksikosis di Jepang yakni 8,67%

pada pria dan 0,4% pada wanita. Secara keseluruhan, rasio angka kejadian TPP

antara laki-laki dan perempuan adalah sebesar 17:1 hingga 70:1. Namun

belakangan ini terdapat penurunan insidensi TPP di jepang pada tahun 1991

yakni sebesar 4,4% pada laki- laki dan 0,04% pada perempuan.2,3

Patogenesis

Patogenesis TPP hingga saat ini masih belum jelas. Hipokalemia terjadi

sebagai akibat perpindahan kalium yang masif dari kompartemen ekstraseluler

ke intraseluler terutama sel otot. Hal ini terjadi diyakini sebagai akibat

peningkatan aktifitas pompa natrium- kalium-adenosin trifosfatase (Na/K-

ATPase) (gambar 1). Berbagai data menunjukkan adanya peningkatan dalam

jumlah serta aktifitas pompa Na/K-ATPase pada pasien TPP. Peningkatan

jumlah dan aktifitas tersebut berbeda signifikan dengan pasien tirotoksikosis


tanpa TPP. Jika keadaan tirotoksikosisnya telah berhasil dikendalikan, maka

aktifitas Na/K-ATPase akan kembali pada kadar yang serupa dengan orang

normal. Hormon tiroid dapat meningkatkan aktifitas Na/K-ATPase pada otot

rangka, hati dan ginjal sehingga menyebabkan influks kalium ke ruang

intraseluler. Subunit Na/K-ATPase yang terutama diekspresikan pada keadaan

ini antara lain subunit α1, α2, β1, β2, dan β4. Pada kelima gen subunit ini terlihat

adanya peningkatan aktifitas thyroid hormone-responsive elements (TREs).

Peningkatan aktifitas Na/K-ATPase oleh hormon tiroid ini terjadi melalui

mekanisme transkripisional dan paska-transkripsional.3


Gambar 1. Mekanisme kelemahan otot akut pada thyrotoxic periodic paralysis.

Peningkatan aktifitas dan jumlah pompa Na/K-ATPase dan pengaruhnya terhadap

kecepatan influks kalium semestinya dapat diimbangi dengan proses homeostasis dimana

efluks kalium juga seharusnya meningkat. Oleh karena itu, seharusnya terdapat faktor lain

yang berperan dimana pada TPP terjadi pula gangguan proses efluks kalium. Beberapa studi

menunjukkan pada kasus TPP dan FHPP terjadi penurunan efluks kalium melalui gerbang

Kir pada sel-sel otot interkostal. Selain itu, diketahui bahwa insulin dan katekolamin juga

ternyata tidak hanya meningkatkan kerja Na/K-ATPase namun memiliki efek menghambat

gerbang Kir juga. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa terdapat mutasi gen yang

mengkode gerbang Kir yang spesifik pada otot rangka yakni Kir2.6 pada pasien TPP. Hal ini

berkaitan dengan serangan akut paralisis.5


Gambar 2. Penurunan jumlah gerbang efluks kalium. Peningkatan aktifitas Na/K-ATPase
menyebabkan hipokalemia inisial, sementara penurunan gerbang keluar Kir disebabkan
oleh hipokalemia inisial itu sendiri, mutasi yang mengakibatkan penurunan fungsi, serta
inhibisi hormon (insulin, adrenergik) sehingga kalium terperangkap dalam sel.

Selain itu, hormon tiroid juga dapat mempengaruhi Na/K-ATPase melalui rangsangan

katekolamin. Hal ini dikarenakan pada tirotoksikosis, terdapat peningkatan respon β-

adrenergik, sehingga pengobatan dengan agen penghambat β-adrenergik non-selektif dapat

mencegah dan mengobati serangan paralisis. Selain peningkatan respon adrenergik, pada

pasien TPP terdapat respon insulin yang berlebihan terhadap masukan glukosa oral

dibandingkan dengan pasien dengan tirotoksikosis tanpa TPP. Insulin telah diketahui mampu

untuk meningkatkan aktifitas Na/K-ATPase, oleh karena itu dapat dimengerti bagaimana

insulin dapat menyebabkan influks kalium ke intrasel. Respon hirperinsulinemia inilah yang

menjelaskan hubungan antara TPP dengan riwayat konsumsi makanan berkarbohidrat tinggi

ataupun cemilan-cemilan manis. Selanjutnya, olahraga merupakan suatu keadaan yang dapat

melepaskan kalium ke ekstrasel dari sel-sel otot rangka sedangkan istrahat akan mendorong

pengembalian kalium ke dalam sel. Hal ini menjelaskan mengapa beistirahat setelah olahraga
dapat mencetuskan terjadinya serangan paralisis dan bila olahraga tetap dilanjutkan, maka

serangan paralisis dapat dicegah.2,3

Secara keseluruhan, dapat dilihat bahwa pasien-pasien TPP memiliki beberapa faktor

predisposisi (pemicu) yang dapat meningkatkan aktifitas Na/K-ATPase, baik melalui

rangsangan hormon tiroid secara langsung, ataupun secara tidak langsung melalui stimulasi

adrenergik, insulin dan aktifitas fisik.3

Gambaran Klinis

Pasien TPP biasanya laki-laki dewasa berusia 20-40 tahun, namun demikian ada pula

yang melaporkan kejadiannya pada usia remaja. Serangannya berupa kelemahan otot mulai

dari ringan hingga kelumpuhan total yang bersifat episodik, sementara dan berulang (tabel 1).

Tabel 1. Diagnosis TPP

Manifestasi Klinis TPP

Gambaran umum

Laki-laki usia dewasa muda (20-40 tahun)

Sporadis, tidak ditemukan anggota keluarga yang memiliki gejala yang


serupa Paralisis akut berulang yang kembali sembuh sempurna
Keterlibatan anggota gerak > batang tubuh

Dipicu oleh asupan karbohidrat dalam jumlah besar, diet tinggi garam, alkohol serta
aktifitas fisik berat Riwayat hipertiroidisme pada keluarga
Gambaran klinis hipertiroidisme (lebih sering tidak terlalu jelas)

Pemeriksaan Laboratorium

Hipokalemia, hipofosfatemia serta hipomagnesemia (ringan)


Keseimbangan asam basa normal
Jumlah ekskresi kalium rendah (rasio kalium dan kreatinin urin rendah, TTKG rendah)
Hipofoasfaturia
Hiperkalsiuria

Pemeriksaan tiroid abnormal (TSH rendah, T4 dan T3 total maupun bebas meningkat, ambilan T3
meningkat)

Elektrodiagnostik
Elektrokardiograf Sinus takikardia

Perubahan terkait hipokalemia : gelombang U prominen, interval PR memanjang, amplitudo


gelombang P meningkat, kompleks QRS melebar Blok atrioventrikuler derajat satu Aritmia
atrium dan ventrikuler

Elektromiografi : gabungan potensial aksi otot gelombang rendah tanpa adanya perubahan
setelah pemberian epinefrin

Keterlibatan otot-otot proksimal lebih berat dibanding dengan otot-otot distal. Gejala

yang muncul awalnya menyerang ekstremitas bawah kemudian berlanjut ke otot panggul dan

ekstremitas atas. Fungsi sensoris tidak terganggu. Otot-otot yang terlibat bisa saja tidak

simetris. Kelumpuhan yang terjadi saat pasien datang ke dokter dapat berupa tetraparesis

yang menyerupai sindroma Gullain-Barre, mielitis transversum serta kompresi akut sumsum

tulang ataupun histeria. Fungsi saluran cerna dan saluran kemih tidak pernah terganggu. Otot-

otot pernafasan jarang terlibat namun kelumpuhan total otot-otot pernafasan serta mata

pernah dilaporkan pada serangan yang berat. durasi serangan dapat berlangsung dalam

beberapa jam hingga 72 jam, dimana terdapat episode sembuh sempurna di antara serangan.

Serangan yang terjadi dapat didahului dengan gejala-gejala prodromal seperti nyeri, kram,

serta kaku pada otot yang terlibat. Pada kebanyakan pasien, didapati penurunan yang nyata

bahkan menghilangnya refleks tendon dalam.3

Tabel 2. Diagnosa Hipertiroid


Serangan TPP biasanya muncul beberapa jam setelah pasien makan dalam jumlah

yang banyak, cemilan-cemilan manis, alkohol, aktiitas fisik berat ataupun saat bangun pagi

hari. Serangan yang terjadi akibat dipicu oleh olahraga yang berat terjadi bukan di saat pasien

tersebut berolahraga namun saat pasien beristirahat, dan serangan tersebut bisa saja tidak

terjadi jika pasien melanjutkan kembali olahraganya. Pada daerah subtropis, variasi
jumlah kasus pada tiap musim kemungkinan terjadi akibat adanya peningkatan jumlah

aktifitas di luar rumah atau jumlah konsumsi minuman yang manis saat musim panas. TPP

hanya terjadi jika pasien dalam kondisi hipertiroidisme. Jika kadar hormon tiroid sudah

mencapai nilai normal (eutiroid), maka serangan tidak akan muncul. Kelumpuhan yang

terjadi pada TPP mirip dengan gejala yang juga terjadi pada familial hypokalemic periodic

paralysis (FHPP) kecuali bahwa pada TPP terdapat bukti hipertiroidisme (tabel 2).3,4 Selain

itu, TPP merupakan suatu kondisi yang diturunkan secara autosomal dominan pada ras

kaukasia sedangkan TPP merupakan suatu penyakit yang sporadis dan jarang diturunkan

secara familial.2,3

Tabel. 2 Perbendaan antara TPP dan FHPP

TPP FHPP
Usia (Tahun) 20-40 <20
Jenis Kelamin Predominan laki-laki Tidak berbeda
Hereditas Sporadis Autosomal Dominan
Etnisitas Asia, Indian- Kaukasia/Asia
Amerika/hispanik,
kaukasia
Riwayat Keluarga Riwayat Tirotoksikosis Riwayat Paralisis
Hipokalemi
Gambaran Klinis Ada Tidak ada
Hipertiroid
Predisposisi Genetik Berkaitan dengan SNPs Mutasi Cav1.1
(R5258H, R1239H,
dari Cav1.1 (-476A à
R1239G), Nav1.4
G, intron 2 nt 57G à (R669H, R672G,
R672H), Kv3.4 (R83H)
A, intron 26 nt 67A à G)

Pemeriksaan

Penunjang

Hipertiroidisme

Adanya bukti hipertiroidisme merupakan perbedaan yang mendasar antara TPP dan

FHPP. Hormon tiroid pada sebagian besar pasien TPP hanya meningkat sedikit. Studi-studi

sebelumnya menunjukkan hanya 10% penderita TPP dengan gejala tirotoksikosis, sedangkan
selebihnya tanpa gejala. Hal yang demikian mnyebabkan TPP sulit didiagnosis pada awal
pemeriksaan. Mayoritas kasus hipertiroidisme yang berkaitan dengan TPP adalah penyakit

Graves, meskipun kondisi lain seperti tiroiditis, struma nodular toksik, adenoma toksik,

tumor pituitari yang mensekresi TSH, mengkonsumsi preparat T4, serta kesalahan dalam

pemberian Iodine dapat pula bertindak sebagai penyebab.3

Elektrolit

Tanda utama dari TPP adalah hipokalemia. Nilai kalium pada saat pemeriksaan awal

biasanya kurang dari 3 mmol/liter bahkan bisa mencapai 1,1 mmol/liter. Kadang-kadang,

apabila pasien telah memasuki fase penyembuhan dari paralisisnya, kalium serum dapat

kembali normal. Hipokalemia terjadi bukan akibat kehilangan kalium dari tubuh melainkan

akibat perpindahan yang masif ke dalam sel. Ekskresi kalium urin pada keadaan ini normal

atau justru rendah, sementara keseimbangan asam basa juga normal. Demikian pula tidak

dijumpai kehilangan kalium dari feses pada keadaan ini. beratnya paralisis memiliki korelasi

positif dengan beratnya hipokalemia, namun beratnya hipokalemia tidak memiliki kaitan

dengan beratnya tirotoksikosis ataupun tingginya kadar hormon tiroid. Aritmia ventrikuler

yang mengancam jiwa dan berakibat fatal akibat hipokalemia pernah dilaporkan.3

Selain hipokalemia, dapat pula terjadi hipofosfatemia dan hipomagnesemia.

Hipofosfatemia yang terjadi bervariasi mulai dari ringan hingga sedang (0,36-0,77

mmol/liter). Kadar fosfat serum ini dapat kembali normal jika pasien telah memasuki fase

penyembuhan meskipun tanpa suplementasi. Hal ini telah dipastikan berdasarkan terjadinya

hiperfosfatemia rebound pada pasien yang telah memasuki fase penyembuhan setelah

sebelumnya mendapat terapi preparat fosfat. Pada TPP, hipofosfatemia yang terjadi

kemungkinan akibat influks fosfat ke dalam sel mengikuti proses transport masuknya kalium.

Proses terjadinya hipomagnesemia juga hampir sama dengan hipofosfatemia, namun influks

magnesium ke dalam sel lebih disebabkan karena peningkatan aktifitas katekolamin yang
dilepas selama adanya stress. Pemeriksaan elektrolit urin akan didapat hiperkalsiuruia serta

hipofosfaturia.3,4

Pada duapertiga TPP dapat dijumpai juga adanya peningkatan kadar kreatinin

fosfokinase yang berasal dari otot, khususnya jika faktor pemicunya adalah aktifitas fisik.

Komplikasi berupa rhabdomiolisis juga dapat terjadi pada serangan yang berat.3

Pemeriksaan elektrodiagnostik

Elektromiogram (EMG) yang dilakukan saat kelemahan/kelumpuhan spontan sedang

berlangsung akan menunjukkan gambaran khas perubahan miopati dengan gambaran

penurunan amplitudo potensial aksi gabungan otot rangka, hal ini tidak akan berubah setelah

pemberian/stimulasi epinefrin. Sintem konduksi syaraf dalam keadaan ini terlihat normal

termasuk juga tidak terdapat keterlibatan sistem syaraf tepi. Sama halnya dengan FHPP, uji

latihan dapat menghasilkan abnormalitas pada gambaran EMG pada saat munculnya

paralisis. Gangguan respon otot ini, dapat membaik jika pasien dalam keadaan eutiroid.3

Gambaran abnormal pada elektrokargiogram (EKG) lebih banyak dijumpai pada TPP

dibandingkan pada hypokalemic periodic paralysis akibat penyebab lainnya. Kelainan-

kelainan EKG yang dapat ditemukan pada TPP antara lain : sinus takikardia, gelombang U

yang menonjol, pemanjangan interval PR, peningkatan amplitudo gelombang P, peningkatan

voltase QRS, kompleks QRS yang melebar, aritmia ventrikel, serta blok atriventrikuler

derajat satu.3,4,7
Gambar 3. EKG 12 sadapan memperlihatkan irama sinus takikardia, pemanjangan interval PR : 240
ms (sebagian gelombang P tertutupi oleh kompleks gelombang repolarisasi sebelumnya), depresi
segmen ST serta pemanjangan interval QT-U : 440 ms.

Diagnosa Banding

Diagnosa banding kelumpuhan akut/paralisis yang terjadi tanpa mengetahui nilai

kalium serum dapat mencakup pada gangguan tautan neuromuskuler, penyakit-penyakit saraf

spinalis, polineuropati, miopati akut primer serta gangguan psikiatrik maupun gangguan

fungsional (tabel 3).8

Tabel 3. Diagnosa banding kelumpuhan akut

Diagnosa Banding Kelumpuhan Akut


Gangguan tautan neuromuskuler
Myasthenia gravis

Intoksikasi organofosfat

Intoksikasi botulismus

Sindroma Eaton-Lambert
Penyakit saraf
Spinalis Mielitis transversal
Poliomielitis
Tumor metastasis
Tumor primer tulang belakang
Sklerosis lateral amiotropik

Polineuropati

Paralisis periodik

Gangguan elektrolit

Mioglobinuria

Polimiositis

Miopati alkoholik

Distropi muskuler
Gangguan psikiatik dan fungsional
Pura-pura sakit
Gangguan konversi
Sindroma Munchausen
Diagnosa banding hipokalemia dapat dilihat berdasarkan proses terjadinya

hipokalemia tersebut. Kalium dapat berkurang akibat pergeseran trans-seluler, kehilangan

kalium melalui ginjal ataupun gastrointestinal (tabel 3). Secara umum paralisis periodik

hipokalemik (hypoPP) dapat dibagi menjadi hypoPP familial dan non-familial. hypoPP

familial lebih banyak terjadi ada kelompok ras kaukasia non-hispanik sedangkan hypoPP

non-familial termasuk juga TPP seperti telah disebutkan lebih banyak pada negara-negara

Asia.4,5

Tabel 4. Diagnosa Banding Paralisis Hipokalemik


Ketidak Seimbangan Kalium Penyebab

Pergeseran tran-seluler Obat-obatan (tokolitik, toksisitas teofilin,


toksisitas kloroquin)
kelebihan dosis insulin
Thyrotoxic periodic paralysis
Familial periodic paralysis
Sporadic periodic paralysis
Keracunan barium
Kehilangan kalium melalui ginjal Obat-obatan : diuretik Hiperaldosteronisme
primer
Pseudohiperaldosteronisme : konsumsi akar
manis
Sindroma Bartter, sindroma Gitelman
Renal tubular asidosis
Lain-lain : Sindroma nefrotik, nekrosis
tubular akut, ketoasidosis diabetik, serta
ureterosigmoidostomy
Kehilangan kalium melalui saluran Penyakit celiac, Tropical sprue
gastrointestinal
Diare infeksius : enteritis karena Salmonella,
enteritis karena Strongyloides, enterokolitis
karena Yersinia
Sindroma short bowel
Penatalaksanaan

1. Hipokalemia

Koreksi penyebab dari hipokalemia merupakan bagian dari terapi hipokalemia.

Indikasi koreksi kalium dibagi dalam :

a) Indikasi mutlak : pemberian kalium mutlak segera diberikan yaitu pada keadaan

pasien sedang dalam pengobatan digitalis, pasien dengan ketosidosis diabetik, pasien

dengan kelemahan otot pernafasan dan pasien dengan hipokalemia berat (1000 mg

[25 mmol]

b) Indikasi kuat : kalium harus diberikan dalam waktu tidak terlalu lama yaitu pada

keadaan insufisensi coroner/ iskemia otot jantung, ensefalopati hepatik dan pasien

menggunakan obat yang dapat menyebabkan perpindahan kalium dari ekstra ke

intrasel.

c) Indikasi sedang : pemberian kalium tidak perlu segera, seperti pada hipokalemia

ringan ( K 3-3,5 mEq/L).

Kalium dapat diberikan secara oral atau intravena. Kalium intrvena diberikan

pada pasien yang tidak mampu minum obat.

Pemerian kalium oral :

Pemberian Kalium 40-60 mEq dapat meningkatkan kadar kalium 1-1,5 mEq/L

dan pemberian 135-60 mEq dapat meningkakan kadar kalium 2,5-3,5 mEq/L.

Pemberian kalium intravena :

Kecepatan pemberian KCL melalui vena perifer 10 mEq per jam, atau melalui

vena sentral 20 mEq per jam atau lebih pada keadaan tertentu. - Konsentrasi cairan
infus KCL bila melalui vena perifer, KCL maksimal 60 mEq dilarutkan dalam NaCl

isotonis 1000 ml karena bila melebihi dapat menimbulkan rasa nyeri dan

menyebabkan sclerosis vena. - Konsentrasi cairan infus kalium bila melalui vena

central, KCL maksimal 40 mEq dilarukan dalam NaCl isotonis 100 ml.

Pada keadaan aritmia yang berbahaya atau adanya kelumpuhan otot pernafasan,

KCL dapat diberikan dengan kecepatan 40-100 meq/jam. KCL sebanyak 20 meq

dilarutkan dalam 100 ml NaCl isotonik.

Sediaan yang dipilih adalah kalium khlorida karena meningkatkan kalium

plasma lebih cepat dibandingkan kalium bikarbonat, kalium fosfat atau kalium sitrat.

Konsumsi makanan yang mengandung banyak kalium diantaranya :

1) Kandungan kalium >1000 mg [25 mmol]/100 daun ara kering, sirup gula,

rumput laut

2) Kandungan kalium >500 mg [12.5 mmol]/1 seperti buah kering diantaranya

kacang-kacangan, Alpukat, sereal, Gandum, kacang kapri

3) Kandungan kalium >250 mg [6.2 mmol]/100 g) adalah sayursayuran, bayam,

tomat, brokoli, labu, bit, wortel, kembang kol, kentang, buah-buahan,pisang,

blewah, kiwi, jeruk, mangga, daging sapi, babi, daging sapi muda, kambing.

2. Hipertiroid

Penatalaksanaan hipertiroid dapat mencakup pemberian obat antitiroid, ablasi

radioaktif iodine, dan pembedahan. Semua opsi terapi efektif pada pasien Grave’s

disease, sedangkan pada pasien toksik adenoma atau toksik multinodular goitre

hendaknya memilih ablasi radioaktif iodine dan pembedahan karena perjalanan

penyakitnya jarang mengalami remisi jika menggunakan medikamentosa saja. [5]

Obat Antitiroid
Obat antitiroid yang digunakan adalah propylthiouracil, carbimazole, dan

methimazole. Mekanisme kerja golongan obat ini adalah menghambat oksidasi dan

organifikasi iodine melalui inhibisi enzim tiroid peroksidase dan menghambat

proses coupling iodotirosin menjadi T4 dan T3. Khusus propylthiouracil mempunyai

keuntungan lainnya yakni mampu mengurangi konversi T4 menjadi T3 di jaringan

perifer.

Pedoman European Thyroid Association merekomendasikan carbimazole dan

methimazole sebagai obat pilihan pertama pada pasien Grave’s disease yang tidak

hamil. Efek samping ringan terapi antitiroid adalah pruritus, artralgia dan gangguan

ringan saluran pencernaan. Sedangkan efek samping serius pada terapi ini adalah

agranulositosis, hepatitis, dan vaskulitis.

Dosis propylthiouracil yang direkomendasikan adalah 50-300 mg per oral setiap

8 jam. Dosis methimazole adalah 5-120 mg per oral per hari.

Terapi Ablasi Radioaktif Iodine

Terapi ablasi radioaktif iodine bisa digunakan sebagai terapi pilihan pertama

untuk penatalaksanaan Grave’s disease, toksik adenoma, dan toksik multinodular

goitre. Kontraindikasi absolut terapi ini adalah kehamilan, menyusui, sedang

program hamil, ketidakmampuan untuk mematuhi rekomendasi keamanan radiasi,

dan pada kasus active moderate-to-severe or sight-threatening Graves’ orbitopathy.

Dosis optimal terapi radioaktif iodine menggunakan pendekatan dosis tetap dan

dosis kalkulasi sesuai data tes radioaktif iodine uptake. Sejumlah penelitian

menemukan tidak ada perubahan signifikan pada hasil terapi dengan dua pendekatan

tersebut. Pada umumnya, dosis tetap 10-15mCi digunakan untuk Grave’s

disease sedangkan 10-20 mCi untuk toksik nodular goitre.


Efek samping akibat terapi radioaktif adalah memperburuk Graves

orbitopathy dan menimbulkan tiroiditis akut. Tiroiditis akut akibat terapi radioaktif

hanya bersifat sementara dan cukup diterapi dengan obat anti inflamasi, steroid, dan

beta adrenergik bloker.

Tiroidektomi

Hingga saat ini, tiroidektomi merupakan terapi paling sukses dalam mengobati

hipertiroid akibat Grave’s disease dan toksik nodular goitre. Teknik near-

total atau total thyroidectomy merupakan prosedur pilihan sesuai rekomendasi

pedoman klinis. Tiroidektomi disarankan bagi pasien-pasien dengan karakteristik

seperti ukuran goitre yang besar, low uptake of radioactive iodine, atau kombinasi

keduanya. Tiroidektomi juga disarankan pada pasien suspek kanker tiroid,

dan moderate-to-severe Graves orbitopathy. Kontraindikasi terapi ini adalah

kehamilan. Efek samping tiroidektomi meliputi hipokalsemia akibat terangkatnya

kelenjar paratiroid dan cedera pada recurrent laryngeal nerve.

Terapi Lain

Terapi lain yang bisa diberikan pada pasien dengan hipertiroid antara lain

penghambat beta adrenergik, agen iodine, dan glukokortikoid.

Penghambat Beta Adrenergik

Penghambat beta adrenergik yang biasa digunakan adalah atenolol atau propranolol.

Penghambat beta adrenergik tidak mempengaruhi sintesis hormon tiroid, namun

digunakan untuk mengontrol gejala seperti palpitasi dan aritmia. Penghambat beta

adrenergik direkomendasikan pada semua pasien simptomatik, terutama pasien usia

tua dengan denyut nadi istirahat > 90 kali per menit atau ada disertai kondisi

kardiovaskuler. Propanolol lebih dipilih karena memiliki kemampuan menghambat

konversi T3 menjadi T4 di perifer. Dosis propanolol yang dapat digunakan adalah


10-40 mg per oral setiap 8 jam. Sedangkan dosis atenolol yang dapat digunakan

adalah 25-100 mg per oral sekali sehari.

Agen Iodine

Pada pasien yang alergi terhadap thionamide, agen iodine eliksir seperti saturated

solution of potassium iodide (SSKI) dan potassium iodide-iodine atau Lugol

solution bisa digunakan. Terapi ini memanfaatkan fenomena Wolff-Chaikoff,

dimana pemberian dosis iodine dalam jumlah tertentu dapat menyebabkan inhibisi

temporer organifikasi iodine pada kelenjar tiroid sehingga mengurangi sintesis

hormon tiroid. Akan tetapi, efek tersebut hanya bertahan sekitar 10 hari saja.

Glukokortikoid

Glukokortikoid mampu menghambat konversi T4 ke T3 di jaringan perifer.

Glukokortikoid dapat digunakan pada kasus hipertiroid yang berat atau badai tiroid.

Glukokortikoid yang dapat digunakan adalah prednison 20-40 mg per oral per hari

selama maksimal 4 minggu.


Kesimpulan

TPP merupakan kondisi yang lebih sering dijumpai di Asia. Diagnosis pada awal

pemeriksaan cenderung terlambat akibat gambaran klinis tirotoksikosis yang sering tidak

jelas dan gambaran paralisis yang mirip dengan tipe paralisis lain yang lebih sering terjadi.

Diagnosis dan penanganan yang cepat sangat diperlukan untuk menghindari komplikasi

kardiopulmonal. TPP merupakan suatu kondisi penyakit yang dapat ditangani secara baik jika

status eutiroid dapat dicapai.3,4


Daftar Pustaka

1. “Thyrotoxic periodic paralysis”, Dorland’s illustrated medical dictionary,


32nd ed.

Elsevier Saunders, Philadelphia 2012.

2. Kung AWC (2006). Thyrotoxic periodic paralysis: A diagnostic

challange. The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism

91(7):2490–2495. doi: 10.1210/jc.2006-0356

3. Lam L, Nair R J, Tingle L. Thyrotoxic periodic paralysis. Proc (Bayl


Univ Med Cent)

2006;19:126–129

4. Ling SH, Huang CL. Mechanism of thyrotoxic periodic paralysis.

American Society of Nephrology. 23: ccc–ccc, 2012. doi:

10.1681/ASN.2012010046

5. Vijayakumar A, Ashwath G, Thimmappa D. Thyrotoxic periodic

paralysis: clinical challenges. Hindawi Publishing Corporation. Journal

of Thyroid Research Volume 2014, Article ID 649502, 6 pages

http://dx.doi.org/10.1155/2014/649502

6. Goldberger ZD. An electrocardiogram triad in thyrotoxic periodic


paralysis. Circulation.

2007;115:e179-e180. doi: 10.1161/CIRCULATIONAHA.106.652396

7. Wimmer PJ, Mannow AE, Bredenderg AE. Thyrotoxic periodic

paralysis. Hospital Physician, July 2001; hal 53-57 , 69.


8. Lulsegged A, Wlodek C, Rossi M. Thyrotoxic periodic paralysis. Case

reports and an up- to-date review of the literature. Hindawi Publishing

Corporation. Case Reports in Endocrinology. Volume 2011, Article ID

867475, 4 pages. doi:10.1155/2011/867475

9. McFadzean AJS, Yeung R. (1967). Periodic paralysis complicating

thyrotoxicosis in Chinese. Br Med J 1:451–455

Anda mungkin juga menyukai