Anda di halaman 1dari 3

Dr.

Nadia Fitrianti

C135191001

Modul : Nyeri 1

1. Hyperalgesia pada suatu pembedahan secara umum, cedera jaringan dan


inflamasi mungkin mengaktifkan serangkaian kejadian yang berujung pada
peningkatan nyeri sebagai respon terhadap suatu rangsangan berbahaya yang
diberikan, dikenal sebagai hiperalgesia (contohnya tusukan peniti menyebabkan
nyeri hebat). Hiperalgesia didefinisikan sebagai suatu pergeseran ke arah kiri pada
fungsi respon-rangsangan yang berhubungan dengan besaran nyeri terhadap
intensitas rangsangan. Hiperalgesia adalah suatu gambaran konsisten yang tampak
setelah cedera jaringan somatik maupun viseral dan inflamasi. Hiperalgesia pada
lokasi asli cedera disebut dengan hyperalgesia primer, dan hiperalgesia pada
jaringan yang tidak mengalami cedera sekitar lokasi cedera disebut dengan
hiperalgesia sekunder. Hiperalgesia primer biasanya bermanifestasi sebagai
penurunan ambang nyeri, peningkatan respon terhadap rangsangan di atas nilai
ambang, nyeri spontan, dan perluasan bidang reseptif.
2. Hyperalgesia yang diinduksi opioid  atau sensitivitas nyeri abnormal yang
diinduksi opioid ,  juga disebut hyperalgesia paradoks ,  adalah fenomena yang
terkait dengan penggunaan jangka panjang opioid seperti morfin , 
oksikodon , dan metadon .  ditandai dengan nyeri menyeluruh yang tidak terbatas
pada situs yang sakit. Seiring waktu, individu yang menggunakan opioid dapat
mengembangkan sensitivitas yang meningkat terhadap rangsangan berbahaya ,
bahkan mengembangkan respons yang menyakitkan terhadap rangsangan yang
sebelumnya tidak berbahaya ( allodynia ) Meskipun toleransi dan hiperalgesia
yang diinduksi opioid keduanya menghasilkan kebutuhan yang sama untuk
peningkatan dosis untuk menerima tingkat efek yang sama untuk mengobati rasa
sakit, namun keduanya disebabkan oleh dua mekanisme yang berbeda.  Efek
bersih yang serupa membuat kedua fenomena ini sulit dibedakan dalam
pengaturan klinis. Di bawah perawatan opioid kronis, kebutuhan individu tertentu
untuk peningkatan dosis mungkin karena toleransi, hiperalgesia yang diinduksi
opioid, atau kombinasi keduanya. Dalam toleransi, ada sensitivitas yang lebih
rendah terhadap opioid, yang terjadi melalui dua teori utama: penurunan aktivasi
reseptor (desensitisasi mekanisme antinociceptive) dan down-regulation reseptor
opioid (internalisasi reseptor membran).  Pada hiperalgesia yang diinduksi opioid,
terjadi sensitisasi mekanisme pronociceptive, yang mengakibatkan penurunan
ambang nyeri, atau allodynia.  Selain itu, apa yang tampaknya toleransi opioid
dapat disebabkan oleh hiperalgesia yang diinduksi opioid menurunkan tingkat
nyeri awal, sehingga menutupi efek analgesik obat Mengidentifikasi
perkembangan hiperalgesia sangat penting secara klinis karena pasien yang
menerima opioid untuk menghilangkan rasa sakit mungkin secara paradoks
mengalami lebih banyak rasa sakit sebagai akibat dari perawatan. Sedangkan
meningkatkan dosis opioid dapat menjadi cara yang efektif untuk mengatasi
toleransi, melakukan hal itu untuk mengkompensasi hiperalgesia yang diinduksi
opioid dapat memperburuk kondisi pasien dengan meningkatkan sensitivitas
terhadap rasa sakit sambil meningkatkan ketergantungan fisik.
3. Ya, Toleransi opioid adalah suatu proses dimana terjadi neuroadaptation (adaptasi
neuron) melalui desensitisasi reseptor sehingga efek dari obat/tranduksi sinyal
akibat penempelan ligan terhadap reseptornya berkurang, dalam hal ini yang
berfungsi sebagai ligan/obatnya adalah opioid. Toleransi opioid ini berfungsi
untuk mengurangi/menghilangkan efek penghilang rasa nyeri yang dirtimbulkan
oleh opioid di dalam tubuh.

4. Ketamin adalah suatu obat penghilang sakit kuat pada kosentrasi plasma
subanestesik, ,efek analgesik berkaitan dengan suatu interaksi antara ketamin dan
reseptor opioid di dalam sistem saraf pusat. Ketamin berinteraksi dengan reseptor
mu (μ), delta (δ), dan kappa (κ) dari berinteraksi dengan reseptor GABA opioid.
Interaksi dengan opioid reseptor ini menyebabkan ketamin sebagai antagonis pada
μ reseptor dan agonis pada κ reseptor.

5. Produk jalur siklooksigenasi (COX) dalam metabolisme asam arakidonat


mempunyai peranan yang besar pada proses inflamasi. Eikosanoid, yaitu
metabolit-metaboli asam arakidonat, meliputi prostaglandin, prostasiklin, dan
tromboksan A2, leukotrien, lipoksin dan hepoksin, berperan dalam inflamasi,
tonus otot polos, hemostasis, thrombosis, dan sekresi gastrointestinal. Dalam
proses inflamasi, berbagai jenis prostaglandin seperti PGE1, PGE2, PGI2, PGD
dan PGA2, dapat menimbulkan vasodilatasi dan demam serta berperan dalam
proses yang kompleks bersama mediator-mediator inflamasi lainnya dalam
menimbulkan nyeri. Prostaglandin mensensitisasi ujung saraf terhadap bradikinin,
histamin, dan mediator inflamasi lainnya. PGE2 dan PGI2 menurunkan ambang
dari nosiseptor sehingga mensensitisasi ujung saraf perifer terhadap stimulus rasa
sakit. PGE2 dapat meningkatkan eksitabilitas dalam transmisi nyeri pada medulla
spinalis. Oleh karena itu, pelepasan prostaglandin saat proses inflamasi akan
memperbesar mekanisme timbulnya rasa nyeri. Baik PGE2 dan PGI2 juga
berperan dalam pembentukan edema dan infiltrasi leukosit dengan meningkatkan
aliran darah pada daerah inflamasi. Dengan demikian, dengan mengurangi sintesis
prostaglandin, sensasi nyeri bisa berkurang. Enzim COX terdapat dalam 2
isoform disebut COX-1 dan COX-2. Kedua isoform tersebut dikode oleh gen yang
berbeda dan kerjanya bersifat unik. Inhibisi terhadap COX-2 diperkirakan
merupakan mekanisme utama dari efek antipiretik, analgesik, dan antiinflamasi
dari NSAID, sedangkan inhibisi terhadap COX-1 berperan besar dalam efek
samping NSAID terhadap saluran gastrointestinal. Namun, COX-1 juga berperan
dalam inflamasi. Diperkirakan bahwa COX-1 berperan dalam mekanisme
inflamasi akut dan COX-2 dalam mempertahankan produksi eikosanoid setelah
stimulus inflamasi. Secara garis besar COX-1 penting dalam pemeliharaan
berbagai fungsi di berbagai jaringan khususnya ginjal, saluran cerna dan
trombosit. Di mukosa lambung, aktivasi COX-1 menghasilkan prostasiklin yang
bersifat sitoprotektif. COX-1 ini diinduksi berbagai stimulus inflamasi.
Tromboksan A2, yang disintesis trombosit oleh COX-1, menyebabkan agregasi
trombosit, vasokonstriksi dan proliferasi otot polos. Sebaliknya prostasiklin
(PGI2) yang disintesis oleh COX-2 melawan efek tersebut dan menyebabkan
penghambatan agregasi trombosit, vasodilatasi dan efek anti-proliferatif
6. Opioid epidural dapat dibagai menjadi opioid lipofilik dan opioid hidrofilik.
Dimana opioid hidrofilik lebih lama diserap disbanding opioid lipofilik sehingga
efek yang ditimbulkan menjadi lebih lama. Opioid lipofilik : fentanyl, meperidine
yang mempunyai onset kerja yang cepat namun terbatas dalam durasi kerja dan
berefek segmental. Opioid hidrofilik : morphine yang mempunyai onset kerja
yang lambat namun dengan durasi kerja yang panjang dan berefek pada dermatom
yang lebih luas
7. Rasio injection/attempts lebih sering dicatatsebagai upaya/suntikan atau
permintaan/ pengiriman, adalah jumlah sukses dosis analgesia pasien telah
diterima dibandingkan dengan jumlah kali pasien telah menuntut dosis. Hal ini
dapat digunakan untuk “profil” kecukupan analgesia, sebuah rasio pengiriman
lebih besar dari 3. Permintaan 1 menunjukkan sebagai program pompa tidak
memadai (biasanya interval lockout adalah terlalu lama) atau pemahaman pasien
kurang.

Anda mungkin juga menyukai