Anda di halaman 1dari 4

UAS Akustik Organologi & Musik Nusantara

Fian Panekenan
1704005

Alat Musik “SASANDO”

Sasando merupakan alat musik tradisional yang berasal dari kebudayaan


Rote, Nusa Tenggara Timur. Sasando merupakan alat musik berdawai yang
dimainkan dengan cara dipetik dengan menggunakan jari dan termasuk dalam
kelompok alat musik Kordofon. Masyarakat pulau Rote percaya kalau sasando
merupakan jati diri bagi masyarakat pulau Rote itu sendiri juga suatu
kebanggan karena sudah mendunia. Sejarah sasando memiliki banyak versi
dengan cerita lisan berdasarkan legenda yang berbeda-beda, ada versi
Sangguana, versi Luminang dan Balialang, versi Lunggi Lain dan Balok Ama
Sina, dan versi Pupuk Soroba. Berikut uraian cerita dari masing-masing versi
sasando:
1. Versi Sangguana
Versi ini menceritakan kalau sasando dibuat oleh seseorang bernama
Sangguana dimana ia memiliki bakat seni yang luar biasa. Awalnya
Sangguana terdampar di Pulau Ndana saat mencari ikan dengan temannya
bernama Mankoa yang kemudian dibawah oleh penduduk setempat ke
istana menghadap Raja. Karena bakat seninya itu ia tidak dibuang oleh
Raja bahkan membuat hati sang putri raja terpikat. Suatu hari sang Putri
menyuruh Sangguana untuk membuat alat musik yang belum pernah
dimainkan oleh orang lain. Kemudian Sangguana mengikuti permintaan
sang Putri dan lewat mimpi ia mendapat inspirasi untuk membuat alat
musik yang memiliki bentuk yang sangat indah dengan suara yang sangat
merdu kemudian diciptakanlah alat musik yang diberi nama “Sandu”.
Selanjutnya alat musik itu dimainkan Sangguana dihadapan putri dengan
lagu yang berjudul “Sari Sandu” dan sang Putri sangat menikmatinya lalu
diberikanlah alat musik itu kepada sang Putri sebagai hadiah yang
kemudian alat musik itu diberi nama Depo Hitu artinya sekali petik tujuh
dawai bergetar.
2. Versi Luminang dan Balialang
Cerita ini berawal dari pengembala domba yang membawa seelai daun
lontar untuk dijadikan sebagai alat menimba air. Untuk melipat daun lotar
mereka membuang bagian tengah dan saat melepas tali menjadi kencang.
Tanpa sengaja ditarik keras menimbulkan bunyi nada berbeda-beda, karena
sering putus mereka mencungkil lidi-lidi tersebut. Akhirnya mereka mulai
mengerti ketika dikaitkan dengan rapat akan menimbulkan nada tinggi dan
jika dikaitkan renggang akan menghasilkan nada rendah.
3. Versi Lunggi Lain dan Balok Ama Sina
Pada cerita ini berawal dari dua orang sahabat yang mengembala domba
bersama yakni Lunggi Lain dan Balok Ama Sina. Saat mereka membuat
haik dari daun lontar antara jari-jari dari lembaran daun terdapat benang
yang dimana ketika ditarik menimbuklan bunyi. Kemudian didapatlah ide
untuk membuat suatu alat musik petik yang meniru bunyi pada gong
dengan dicongkel tulang daun lotarnya kemudian diganjal dengan kayu.
Untuk membuat suara lebih merdu kemudian mereka mengganti kayu
dengan bambu.
Adapun sumber lain yang menceritakan kalau Lunggi Lain dan Balok Ama
Sina terkena penyakit kusta yang diasingkan. Keduanya selalu bersama
hingga Lunggi Lain jatuh dan tertidur dibawah rumpun lontar. Sementara
itu, temannya Balo Aman yang masih mampu berjalan mencari nira untuk
makan bersama. Ketika ditinggalkan Balo Aman, Lunggi Lain terganggu
tidurnya karena mendengar suara dentingan. Begitu mendengar suara
tersebut Lunggi Lain menjadi sehat. Ia pun merasa penasaran kemudian
dicarinya suara dentingan itu, beberapa waktu kemudian ia melihat ke atas
ada laba-laba yang sedeng membuat sarang dan disitu ia mengetahui asal
bunyi dentungan tersebut. Kemudian hal itu diceritakan kepada Balo Aman
dan diikutinya petunjuk dari Lunggi Lain sehingga penyakitnya pun hilang.
Dari sini mereka mendapatkan ide dari sarang laba-laba untuk membuat
alat musik, mereka mengumpulkan daun lontar dan dilekukkan dibentuk
sedemikian rupa sehingga berwujud setengah lingkaran agak lonjong.
Untuk dawainya diambil dari serat bambu yang dihaluskan. Saat mereka
memainkan alat musik itu keluarlah bunyi dentungan yang indah dan
merdu.
4. Versi Pupuk Soroba.
Pada cerita ini Pupuk Soroba terinspirasi saat ia menyaksikan seekor laba-
laba besar sedang memainkan jaring sampai terdengar bunyi yang indah
kemudian dibuatlah alat musik dari daun lontar mentah lalu di ganjal dan
dipetik.

Dari hasil cerita legenda di atas diketahui bahwa Pupuk Soroba yang
menciptakan alat musik sasando pertama kali pada akhir abad ke XIII. Pupuk
soroba adalah anak dari pasangan Bapak Soroba Sera dan Ibu Koa Tande.
Pupuk soroba tidak meninggalkan turunan, namun alat musik ini terus
dilestarikan dari setiap generasi sampai dengan sekarang. (Menurut Pendeta St.
J. Merukh 1872).
Berdasarkan sejarah sasando mengalami berbagai perubahan mulai dari bentuk
hingga nada yang dihasilkan sesuai dengan perkembangan zaman sehingga
sasando saat ini menjadi tiga yaitu:
1. Sasando Gong
Sasando Gong mempunyai nada pentatonik yang dimainkan dengan irama
gong dan dinyanyikan dengan lagu khas Pulau Rote. Sasando gong
biasanya juga Sasando gong awalnya hanya berdawai 7 buah atau 7 nada
lalu berkembang menjadi 11 dawai.
2. Sasando Biola
Sasando jenis ini mengalami perkembangan dengan nada diatonis.
Bentuknya hampir sama dengan sasando gong tapi lebih besar
diameternya. Sasando biola berkembang pada abad ke-18. Sasando ini
memiliki 30 nada karena mirip dengan biola yang kemudian berkembang
menjadi 32 dan 36 dawai.
3. Sasando Elektrik
Sasando elektrik merupakan perkembangan dari sasando biola. Umumnya
memiliki 30 dawai yang ditambahkan alat teknologi. Sasando elektrik
dibuat oleh Amoldus Aden, ia adalah musisi Sasando yang mendapat
piagam penghargaan dari Gubernur Nusa Tenggara Timur pada tahun
2008.
Sasando biasanya dimainkan untuk mengiring nyanyian, mengiringi tari,
menghibur saat ada kedukaan dan acara-acara penduduk di Pulau Rote.
Sasando bisa dimainkan oleh siapapun.
Sasando memiliki bahan utama berupa bambu yang membentuk tabung
panjang dan pada bagian tengahnya melingkar dari atas ke bawah yang diberi
penyangga atau ganjalan yang disebut senda oleh penduduk Rote. Untuk
tempat senar atau dawainya direntangkan mengelilingi tabung bambu,
bertumpu dari atas ke bawah. Fungsi senda ini yaitu untuk memberikan nada
yang berbeda-beda ketika senar dipetik. Lalu diatur nadanya dengan
mengetoknya. Kemudian tabung sasando ditaruh dalam sebuah wadah yang
terbuat dari anyaman daun lontar atau disebut juga haik (bahasa pasar penduduk
setempat disebut tuak). Haik merupakan resonator untuk alat musik sasando.
cara pembuatan sasando yaitu: pertama, potong bambu sesuai ukuran yang
ditentukan, lalu tutup ujung bambu dengan kayu jati sehingga adanya rongga
didalam. Kedua, gambar atau lukis bambu agar menarik selanjutnya dilapisi
dengan pernis agar awet dam tidak luntur. Ketiga, bentuk daun lontar menjadi
setengah lingkaran. Gunakan lidi daun lontar yang diiris tipis sebagai tali
pengikat lembar satu dengan lembar lain. Kemudian biarkan selama 4 hari
sampai mengering dan menjadi keras. Terakhir, satukan tabung bambu yang
sudah dipasangkan sinar dengan daun lontar yang dirangkai sebelumnya.
Penduduk pulau Rote memakai daun lontar karena tanaman ini sangat banyak
dan mudah ditemukan.

Anda mungkin juga menyukai