Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
A. Latar Belakang................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................. .......2
A. Konsep Dasar Post Operatif.....................................................................2
B. Konsep Dasar TTV……………………………………………………..3
C. Konsep Dasar Tingkat Kesadaran…………………………………… 17
D. Konsep Dasar Intake dan Ouput……………………………………....23
E. Konsep Dasar Perdarahan……………………………………………..28
F. Konsep Dasar Muntah………………………………………………...30
G. Konsep Dasar Peristaltik Usus……………………...........................31
H. Konsep Dasar Suction………………………………………………...35
I. Observasi Ruang Perawatan Pasca Anesthesia…………………...….37
LAMPIRAN SOP......................................................................................41
BAB III PENUTUP......................................................................................... 75
A. Kesimpulan...................................................................................... 75
B. Saran................................................................................................. 76
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................77
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tindakan operasi adalah sebuah tindakan yang bagi sebagian besar
klien adalah sesuatu yang menakutkan dan mengancam jiwa klien. Hal ini
dimungkinkan karena belum adanya pengalaman dan dikarenakan juga
adanya tindakan anestesi yang membuat klien tidak sadar dan membuat klien
merasa terancam takut apabila tidak bisa bangun lagi dari efek anestesi.
Tindakan operasi membutuhkan persiapan yang matang dan benar-benar teliti
karena hal ini menyangkut berbagai organ, terutama jantung, paru,
pernafasan. Untuk itu diperlukan perawatan yang komprehensif dan
menyeluruh guna mempersiapkan tindakan operasi sampai dengan benar-
benar aman dan tidak merugikan klien maupun petugas.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
B. KONSEP DASAR TTV
Pengertian Tanda – Tanda Vital
Tanda – tanda vital merupakan cara yang cepat dan efisien dalam
memantau kondisi klien atau mengidentifikasi masalah dan mengevaluasi
respons terhadap intervensi yang diberikan. Penggunaan tanda – tanda vital
memberikan data dasar untuk mengetahui respons terhadap stress
fisiologi/psikologi, respons terapi medis dan keperawatan. Hal ini sangatlah
penting sehingga disebut tanda – tanda vital.
Waktu untuk mengukur tanda – tanda vital:
Saat klien pertama kali masuk ke fasilitas
Saat memeriksa klien pada kunjungan rumah
Di rumah sakit/fasilitas kesehatan dengan jadwal rutin sesuai program
Sebelum dan sesudah prosedur bedah atau diagnostic invasif
Sebelum, saat, dan setelah transfuse darah
Saat keadaan umum klien berubah
Sebelum, saat, dan sesudah pemberian obat.
Sebelum dan sesudah intervensi keperawatan yang mempengaruhi tanda –
tanda vital
Saat klien mendapat gejala fisik yang non spesifik
Menggigil adalah respon tubuh terhadap perbedaan suhu dalam tubuh.
Jenis – Jenis Tanda – Tanda Vital
1. Tekanan Darah
Tekanan darah adalah tekanan yang ditimbulkan pada dinding
arteri. Darah mengalir karena adanya perubahan tekanan, dimana terjadi
perpindahan dari area bertekanan tinggi ke area bertekanan rendah.
Tekanan puncak terjadi saat ventrikel berkonstraksi dan disebut tekanan
sistolik. Tekanan darah sistemik atau arterial merupakan indicator yang
paling baik untuk kesehatan kardiovaskuler. Tekanan diastolic adalah
tekanan terendah yang terjadi saat jantung beristirahat. Tekanan darah
biasanya digambarkan sebagai rasio tekanan sistolik terhadap tekanan
diastolic, dengan nilai dewasa normalnya berkisar dari 100/60 – 140/90.
Rata – rata tekanan darah normal biasanya 120/80.
3
Menurut Hayens (2003) tekanan darah timbul ketika bersikulasi di
dalam pembuluh darah berperan penting dalam proses ini di mana jantung
sebagai pompa muscular yang menyuplai tekanan untuk menggerakkan
darah dan pembuluh darah yang memiliki dinding yang elastic dan
kehanan yang kuat. Tekanan darah di ukur dalam satuan millimeter air
raksa (mmHg). Untuk mengukur tekanan darah maka perlu dilakukan
pengukuran darah secara rutin.
a. Masalah Yang Harus Dikaji Pada Tekanan Darah
Hipertensi
Hipertensi merupakan tekanan darah tinggi yaitu tekanan diastolic
mencapai 140mmHg atau lebih, terapi tekanan diastolik kurang dari
90mmHg dan tekanan diastolik masih dalam kisaran normal.
Hipertensi ini sering ditemukan pada usia lanjut sejalan dengan
bertambahnya usia, hampir setiap orang mengalami kenaikan tekanan
darah. Tekanan diastolik terus meningkat sampai usia 80 kemudian
berkurang perlahan – lahan bahkan menurun drastis. Hipertensi ini
juga disebabkan oleh berbagai masalah kebutuhan nutrisi, seperti
penyebab dari adanya obesitas serta asupan kalsium, natrium dan gaya
hidup.
Penatalaksanaan hipertensi juga dapat menganjurkan pasien untuk
memakai obat anti hipertensi dan turunkan jumlah dosisnya yang
disediakan dengan langkah - langkah :
1) Menurunkan berat badan bila terdapat kelebihan (indek masa
tubuh lebih dari 27 kg)
2) Meningkatkan aktivitas fisik aerobik (30/35 menit/hari)
3) Mengurangi asupan natrium (< 100 mmol Na/2,4 gr Na/ 6gr
Nacl/hari)
4) Mempertahankan asupan kalsium yang adekuat (90 mmHg/hari)
5) Berhenti merokok dan mengurangi asupan lemak jenuh dan
kolesterol dalam makanan.
4
Yang perlu dikaji pada pasien hipertensi:
1) Aktivitas dan istirahat
Gejala: kelemahan, letih, nafas pendek, gaya hidup menonton
Tanda : frekuensi jantung meningkat, perubahan irama jantung
takipnea.
2) Sirkulasi
a) Gejala: riwayat hipertensi, arteri korosis penyakit jantung
koroner/katup dan penyakir cerebral vaskuler
b) Kenaikan tekanan darah (pengukuran serial dan kenaikan
tekanan darah) diperlukan untuk menegakkan diagnosis.
c) Bunyi jantung terdengar S2 pada dasar S3 (CHF dini) S4
(pengerasan ventrikel kiri/hipertrofi ventrikel kiri.
d) Desiran vaskuler terdengar diatas karotis
e) DVJ (distensi vena jugularis)
f) Ekstermitas : perubahan warna kulit, suhu dingin, pengisian
kapiler mungkin lambat tertunda (vasokontriksi).
g) Kulit pucat, sianosis dan diaphoresis (konghesif/inpoksemia)
kemerahan (veoktamusisoma)
3) Integritas ego
Gejala : riwayat perubahan kepribadian ansietas, depresi, atau
marah kronik.
Tanda : gelisah, penyempitan kontinu pertahanan, gerak tangan,
sempit, peningkatan pola bicara.
4) Eliminasi
Gejala : gangguan ginjal saat ini/yang lalu seperti infeksi atau
riwayat penyakit masa lalu
5) Makanan dan cairan
Gejala : makanan yang disukai yang dapat mencakup makanan
tinggi garam, lemak, kolesterol, keju, telur, gula merah.
Tanda : berat badan normal atau obeisitas, adanya edema,
konghesti vena. DVJ/Distensi Vena Jugularis.
5
6) Nyeri
Gejala : angina (penyakit arteri koroner/keterlibatan jantung
(nyeri hilang timbul pada tungkai).
7) Pernafasan
Gejala : dispnea yang berkaitan dengan aktivitas atau kerja
takipnea, ortopnea, dispnea nontural, potok sismol,
batuk tanpa seputum, riwayat merokok.
Tanda : bunyi nafas tambahan, distress respiorasi atau
penggunaan otot aksesoris pernafasan sianosis.
8) Keamanan
Gejala : gangguan koordinasi atau cara berjalan, episode
perestasia, unilateral, transen, hipotensi postural.
9) Penyuluhan
Gejala : faktor – faktor resiko keluarga: hipertensi
arteroskalerosis, penyakit jantung, DM, penyakit
cerebros vaskuler ginjal.
b. Batasan normal tekanan darah
Umur Tekanan sistolik/diatolik (mmHg)
1 bulan 86/54
6 bulan 90/60
1 tahun 96/65
2 tahun 99/65
4 tahun 99/65
6 tahun 100/60
8 tahun 105/60
10 tahun 110/60
12 tahun 115/60
14 tahun 118/60
16 tahun 120/65
2. NADI
Nadi adalah gerakan atau aliran darah pada pembuluh darah arteri
yang dihasilkan oleh kontraksi dari ventrikel kiri jantung. Denyut nadi
6
adalah rangsangan kontraksi jantung yang dimulai dari Nodes Sinouri
Atau Nodus Sinos Atrial yang merupakan bagian atas serambi kanan
jantung. Salah satu indikator kesehatan jantung adalah terjadinya
peningkatan denyut nadi pada saat beristirahat. Pemeriksaan nadi sangat
penting dilakukan agar petugas kesehatan yang melakukan pemeriksaan
nadi dapat mengetahui keadaan nadi (frekuensi irama dan kuat lemah nadi
). Mengukur denyut nadi yang terasa pada pembuluh darah arteri yang
disebabkan oleh gelombang darah yang mengalir di dalamnya sewaktu
jantung memompa darah ke dalam aorta atau arteri.
Tujuan pemeriksaan nadi adalah :
Untuk mengetahui kerja jantung
Untuk menegetahui jumlah denyut jantung yang terasa pada pembuluh
darah.
Untuk menentukan denyut nadi normal atau tidak.
Kecepatan denyut jantung bereaksi terdapat rangsangan yang
ditimbulkan oleh system saraf simpatis dan saraf parasimpatis, beberapa
hal yang mempengaruhi jumlah denyut: emosi, nyeri, aktivitas, dan obat-
obatan. Kecepatan denyut nadi bertambah bila tekanan darah turun karena
jantung berusaha meningkatkan keluarnya darah.
a. Masalah Yang Harus Dikaji Pada Pemeriksaan Nadi
Kecepatan Nadi (Pulse Rate)
Pulse Rate (jumlah denyutan perifer yang dirasakan selama 1
menit) à dihitung dengan menekan arteri perifer dengan menggunakan
ujung jari.
1) Tachycardia: nadi >100 -150 x/mntà jantung overwork à
oksigenasi sel tidak adequat
2) Palpitasi : perasaan berdebar-debar, sering menyertai tachycardi
3) Bradycardia : denyut nadi < 60 x/mnt àkejadian lebih sedikit
dibandingkan tachycardia
Denyut Nadi sangat fluktuatif dan meningkat dengan : Exercise,
illness, Injury, Emotions.
7
b. batasan normal nadi
Usia Denyut nadi (x/permenit)
Balita 120-160
Anak 90 – 140
Pra sekolah 80 – 110
Sekolah 75 – 100
Remaja 60 – 90
Dewasa 60-100
3. PERNAFASAN
Pernafasan atau respirasi adalah peristiwa menghirup udara dari
luar yang mengandung O2 (oksigen) ke dalam tubuh, serta
menghembuskan udara yang banyak mengandung CO2 (karbon dioksida)
sebagai sisa dari oksidasi keluar tubuh. Penghisapan ini disebut inspirasi
dan menghembuskan disebut ekspirasi. Secara normal orang dewasa
bernafas kira – kira 16 – 20 x/menit, sementara bayi dan anak kecil lebih
cepat daripada orang dewasa. Naiknya kecepatan bernafas disebut
polypnea. Jika suhu badan naik kecepatan bernafas bertambah, karena
tubuh berusaha melepaskan diri dari kelebihan panas. Pemeriksaan
pernafasan merupakan pemeriksaan yang dilakukan untuk menilai proses
pengambilan oksigen dan pengeluaran karbon dioksida. Pemeriksaan ini
bertujuan untuk menilai frekuensi, irama, kedalaman dan tipe atau pola
pernafasan.
Faktor – faktor yang mempengaruhi pola pernafasan:
1) Faktor fisiologis
- Menurunnya kemampuan meningkatkan O2 seperti pada anemia
8
dan merokok
- Dewasa, muda dan pertengahan, diet yang tidak sehat, kurang
aktivitas, stress yang mengakibatkan penyakit jantung dan paru.
- Dewasa tua adanya proses penuaan yang mengakibatkan
kemungkinan arteriosklerosis, elastisitas menurun
3) Faktor perilaku
- Nutrisi
4) Faktor lingkungan
- Tempat kerja
- Suhu lingkungan
- Stress
9
1) Ritme pernafasan
- Eupnea : irama normal
2) Palpasi
a) Nyeri dada tekan :kemungkinan fraktur iga
b) Kesimetrisan ekspansi dada
Caranya :
- letakkan kedua telapak tangan secara datar
Caranya :
- Letakkan tangan sama dengan cara pemeriksaan ekspansi dada
- Anjurkan pasien menyebut tujuh-tujuh / enem-enam
- rasakan getaran
Kurang bergetar : pleura effusion, pneumothoraks
- lakukan pada seluruh permukaan dada (atas,bawah,kiri,kanan,
depan,belakang)
3) Perkusi
a) Suara perkusi
10
- Paru normal : sonor/resonan
- Pneumothoraks : hipersonor
- Jaringan padat (jantung, hati) : pekak/datar
- Daerah yang berongga : tympani
- Batas organ
b) Sisi dada kiri : dari atas ke bawah ditemukan sonor/resonan-
tympani : ICS 7/8 (Paru-lambung)
c) Sisi dada kanan : ICS 4/5 (paru-Hati)
d) Dinding posterior :-Supraskapularis (3-4jari di pundak) batas
atas paru
- Setinggi vertebratorakal 10 garis skapula batas bawah
paru
4) Auskultasi
a) Suara / bunyi nafas vesikuler
- Terdengar disemua lapang paru normal
- Bersifat halus, nada rendah
- Inspirasi lebih panjang dari ekspirasi
- Bronchovesikuler
b) Ruang interkostal pertama dan kedua area interskapula
c) Nada sedang, lebih kasar dari vesikuler
d) Inspirasi sama dengan ekspirasi
e) Bronchial
f) Terdengar di atas manubarium,
g) Bersifat kasar, nada tinggi
h) Inspirasi lebih pendek dari ekspirasi
i) Suara ucapan
j) Anjurkan penderita mengucapkan tujuh-tujuh berulang2 secara
berisik sesudah inspirasi
k) Lakukan dengan intonasi yang sama kuat sambil
mendengarkan secara sistematik disemua lapang paru dengan
menggunakan stetoskop
l) Bandingkan bagian kiri dan kanan
11
5) Suara Tambahan
a) Ronchi (ronchi kering)
Suara yang tidak terputus, akibat adanya getaran dalam lumen
saluran pernafasan karena penyempitan : ada sekret
kental/lengket
b) Rales (ronchi basah)
Suara yang terputus, akibat aliran udara melewati cairan dan
terdengar pada saat inspirasi
c) Wheezes – wheezing
Suara terdengar akibat obstruksi jalan napas, terjadi
penyempitan sehingga ekspirasi dan inspirasi terganggu, sangat
jelas terdengar saat ekspirasi.
4. SUHU
Pemeriksaan suhu merupakan salah satu pemeriksaan yang
digunakan untuk menilai kondisi metabolisme dalam tubuh , dimana
tubuh menghasilkan panas secara kimiawi melalui metabolisme darah.
Suhu tubuh perlu dijaga keseimbangannya, yaitu antara jumlah panas
yang hilang dengan jumlah panas yang diproduksi. Proses pengaturan
12
suhu terletak pada hypothalamus dalam sistem saraf pusat. Bagian depan
hypothalamus dapat mengatur pembuangan panas dan bagian
hypothalamus belakang mengatur upaya penyimpanan panas.
Perubahan suhu tubuh diluar kisaran normal akan mempengaruhi
titik pengaturan hypothalamus. Perubahan ini berhubungan dengan
produksi panas berlebihan, kehilangan panas minimal, atau kombinasi hal
di atas. Sifat perubahan akan mempengaruhi jenis masalah klinis yang
dialami klien
Faktor yang mempengaruhi suhu tubuh:
Usia : pengaturan suhu tubuh tidak stabil sampai pubertas, lansia
sangat sensitif terhadap suhu yang ekstrem.
Olahraga: meningkatkan produksi panas.
Kadar hormon: perempuan mengalami frekuensi suhu tubuh yang
lebih besar dari laki – laki.
Lingkungan : suhu tubuh secara normal berubah 0,5˚ selama 24 jam
titik terendah pada pukul 1 – 4 dini hari.
Masalah yang harus dikaji pada pemeriksaan suhu
1) Demam
Demam bisa terjadi disebabkan karena mekanisme
pengeluaran panas tidak mampu untuk memertahankan
kecepatan pengeluaran kelebihan produksi panas sehingga
mengakibatkan suhu dalam tubuh menjadi tidak normal.
Demam merupakan mekanisme pertahanan yang penting.
Peningkatan ringan suhu sampai 39°C meningkatkan sistem
imun tubuh. Demam juga meruapakan bentuk pertarungan
akibat infeksi karena virus menstimulasi interferon (substansi
yang bersifat melawan virus).
Pola demam berbeda bergantung pada pirogen. Peningkatan
dan penurunan jumlah pirogen berakibat puncak demam dan
turun dalam waktu yang berbeda.
Selama demam, metabolisme meningkat dan konsumsi
oksigen bertambah. Metabolisme tubuh meningkat 7% untuk
13
setiap derajat kenaikan suhu. Frekuensi jantung dan
pernapasan meningkat untuk memenuhi kebutuhan metabolik
tubuh terhadap nutrient. Metabolisme yang meningkat
menggunakan energi yang memproduksi panas tambahan.
2) Hipertermia
Hipertermia adalah peningkatan suhu tubuh sehubungan
dengan ketidakmampuan tubuh untuk meningkatkan
pengeluaran panas atau menurunkan produksi panas.
Setiap penyakit atau trauma pada hipotalamus dapat
memengaruhi mekanisme pengeluaran panas. Hipertermia
malignan adalah kondisi bawaan dimana tidak dapat
mengontrol produksi panas yang terjadi ketika orang yang
rentan menggunakan obat-obatan anastetik tertentu.
3) Hipotermia
Pengeluaran panas akibat paparan terus-menerus terhadap
dingin memengaruhi kemampuan tubuh untuk memproduksi
panas sehingga akan mengakibatakan hipotermia. Hipotermia
diklasifikasikan melalui pengukuran suhu inti:
- Ringan: 33°-36°.
- Sedang: 30°-33°.
- Berat: 27°-30°.
14
berlangsung, disritmia jantung akan berlangsung, kehilangan
kesadaran, dan tidak responsif terhadap stimulus nyeri.
5) Heat Stroke
Lingkungan dengan suhu tinggi dapat memengaruhi
mekanisme pengeluaran panas. Kondisi ini disebut heat stroke.
Penderita heat stroke tidak berkeringat karena kehilangan
elektrolit sangat berat dan malfungsi hipotalamus. Heat stroke
dengan suhu yang lebih besar dari 40,5°C mengakibatkan
kerusakan jaringan pada sel dari semua organ tubuh.
Itulah beberapa kondisi penyakit yang disebabkan oleh
adanya perubahan suhu tubuh. Adanya perubahan suhu tubuh
memang sangat sulit dicegah dan manusia hanya dapat
melakukan peminimalan resiko dari penyakit-penyakit yang
berkaitan dengan perubahan suhu tubuh seperti demam,
kelelahan, heat stroke, dan lainnya.
15
kesehatan tubuhnya memiliki daya imun yang kuat.
Batasan normal pemeriksaan suhu
Suhu (Derajat
Usia
Celcius)
3 bulan 37,5
1 tahun 37,7
3 tahun 37,2
5 tahun 37,0
7 tahun 36,8
9 tahun 36,7
13 tahun 36,6
16
pada tahun 1974 (Majalahkesehatan.com, 2011).
GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang digunakan untuk menilai
tingkat kesadaran pasien, (apakah pasien dalam kondisi koma atau
tidak) dengan menilai respon pasien terhadap rangsangan yang
diberikan. Respon pasien yang perlu diperhatikan mencakup 3 hal
yaitu reaksi membuka mata , bicara dan motorik (Nursingbegin.com,
2009).
Skala Koma Glasgow (GCS), memberikan tiga bidang fungsi
neurologik, memberikan gambaran pada tingkat responsif pasien dan
dapat digunakan dalam percarian yang luas pada saat mengevaluasi status
neurologik pasien yang mengalami cedera kepala. Evaluasi ini tidak dapat
digunakan pengkajian neurologik yang lebih dalam, cukup hanya
mengevaluasi motorik pasien, verbal dan respon membuka mata. Elemen-
elemen ini selanjutnya dibagi menjadi tingkat-tingkat yang berbeda.
Masingmasing respon diberikan sebuah angka (tinggi untuk normal
dan rendah untuk gangguan), dan penjumlahan dari gambaran ini
memberikan indikasi beratnya keadaan koma dan sebuah prediksi
kemungkinan yang terjadi dari hasil yang ada.Nilai terendah adalah 3
(respon paling sedikit), nilai tertinggi adalah 15 (paling berespon)
(Smeltzer & Bare, 2001).
Semakin rendah nilai GCS, semakin banyak defisit dan semakin tinggi
tingkat mortalitasnya. Nilai GCS terbukti konsisten pada regio-regio
berbeda dengan mekanisme dan pengobatan yang berbeda. Penilaian
ini juga dapat dilakukan di lapangan sebelum dibawa ke rumah sakit
(Greenberg, 2008).
17
konversasi, atau dapat dibangunkan oleh perintah atau pertanyaan
yang disampaikan dengan suara yang keras.
c. Nyeri. Bagaimana respon pasien terhadap rangsang nyeri.
3. Poin GCS
a. Buka mata Nilai total : 4
1) Buka mata tidak ada meskipun dirangsang : nilai 1
2) Buka mata jika ada nyeri : nilai 2
3) Buka mata jika diajak bicara/ disuruh : nilai 3
4) Buka mata spontan : nilai 4
b. Respon motorik Nilai total : 6
1) Respon motor tidak ada : nilai 1
2) Respon motor ektensi : nilai 2
3) Respon motor fleksi abnormal : nilai 3
4) Respon motor menghindari nyeri : nilai 4
5) Respon motor tunjuk/lokalisir nyeri : nilai 5
6) Respon motor menurut perintah : nilai 6
c. Respon verbal Nilai total : 5
1) Respon verbal tidak ada : nilai 1
2) Respon verbal tanpa arti : nilai 2
3) Respon verbal tak benar : nilai 3
4) Respon verbal bicara ngacau : nilai 4
5) Respon verbal orientasi baik : nilai 5
(Healthyenthusiast.com, 2014).
3. Cara penulisan
Cara penulisannya berurutan E-V-M sesuai nilai yang didapatkan.
Penderita yang sadar = compos mentis GCSnya 15 (4-5-6), sedang
penderita koma dalam, GCSnya 3 (1-1-1). Bila salah satu reaksi tidak
bisa dinilai, misal kedua mata bengkak sedang V dan M normal,
penulisannya X-5-6. Bila ada trakheostomi sedang E dan M normal,
penulisannya 4-X-6. Atau bila tetra parese sedang E dan V normal,
18
penulisannya 4-5-X. Atau jika ditotal skor GCS dapat diklasifikasikan :
a. Skor 14-15 : compos mentis
b. Skor 12-13 : apatis
c. Skor 11-12 : somnolent
d. Skor 8-10 : stupor
e. Skor < 5 : koma (Lenterabiru.com, 2010).
5. Kualitas Kesadaran
a. Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar
sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan
sekelilingnya.
b. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan
dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
c. Delirium yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu)
memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berkhayal.
d. Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon
psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat
pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi,
mampu memberi jawaban verbal.
e. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi
ada respon terhadap nyeri.
f. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon
terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun
reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya)
(Ruhyanudin, 2011).
5. Cara pengukuran GCS
Hal utama yang harus diperhatikan dalam proses pengukuran GCS
19
adalah tentang ketelitian. Teliti adalah cermat atau seksama, berhati-hati,
penuh perhitungan dalam berpikir dan bertindak, serta tidak tergesa-
gesa dan tidak ceroboh dalam melaksanakan pekerjaan. Sikap
ketelitian sangat dibutuhkan dalam mencapai hasil yang maksimal.
Islam mengajarkan kepada setiap muslim untuk bersikap teliti dalam setiap
pekerjaan. Allah tidak menyukai makhluknya yang bekerja dengan
tergesagesa karena bisa menimbulkan kesalahan dan kegagalan dalam
mencapai suatu tujuan.
Adapun langkah-langkah dalam pengukuran GCS adalah:
a. Pasien dibaringkan di atas tempat tidur
b. Nilai status pasien, adakah kelainan gawat yang harus ditangani
terlebih dahulu/tidak.
c. Periksa kesadaran pasien dengan GCS (dewasa) dan PCS (anak-anak)
d. Glasgow Coma Scale (GCS) :
1) Eye/mata :
- saat dokter mendatangi pasien, pasien spontan membuka mata dan
memandang dokter : skor 4.
- pasien membuka mata saat namanya dipanggil atau
diperintahkan untuk membuka mata oleh dokter : skor 3.
- pasien membuka mata saat dirangsang nyeri (cubitan) : skor 2.
2) Verbal :
- pasien berbicara secara normal dan dapat menjawab pertanyaan
dokter dengan benar (pasien menyadari bahwa ia ada di rumah
sakit, menyebutkan namanya, alamatnya, dll) : skor 5.
- pasien dapat berbicara normal tapi tampak bingung, pasien tidak
tahu secara pasti apa yang telah terjadi pada dirinya, dan
memberikan jawaban yang salah saat ditanya oleh dokter : skor 4.
- pasien mengucapkan kata “jangan/stop” saat diberi rangsang nyeri,
20
tapi tidak bisa menyelesaikan seluruh kalimat, dan tidak bisa
menjawab seluruh pertanyaan dari dokter : skor 3.
- pasien tidak bisa menjawab pertanyaan sama sekali, dan hanya
mengeluarkan suara yang tidak membentuk kata (bergumam) : skor
2.
- pasien tidak mengeluarkan suara walau diberi rangsang nyeri
(cubitan) : skor 1.
3) Motorik :
- pasien dapat mengikuti perintah dokter, misalkan “Tunjukkan pada
saya 2 jari!” : skor 6.
- pasien tidak dapat menuruti perintah, tapi saat diberi rangsang nyeri
(penekanan ujung jari/penekanan strenum dengan jari-jari tangan
terkepal) pasien dapat melokalisir nyeri : skor 5.
- pasien berusaha menolak rangsang nyeri : skor 4.
21
D. Konsep Dasar Intake dan Output Cairan
Intake Cairan
Intake cairan yaitu jumlah atau volume kebutuhan tubuh manusia akan
cairan per hari. Selama aktivitas dan temperatur yang sedang seorang
dewasa minum kira-kira 1500 ml per hari, sedangkan kebutuhan cairan
tubuh kira-kira 2500 ml per hari sehingga kekurangan sekitar 1000 ml per
hari diperoleh dari makanan, dan oksidasi selama proses metabolisme.
22
3 2 tahun 11,8 1350-1500
4 6 tahun 20 1800-2000
5 10 tahun 28,7 2000-2500
6 14 tahun 45 2200-2700
7 18 tahun 54 2200-2700
Output Cairan
Output cairan yaitu jumlah atau volume kehilangan cairan pada tubuh
manusia per hari. Kehilangan cairan tubuh melalui empat rute (proses)
yaitu :
a. Urine
Proses pembentukan urine oleh ginjal dan ekskresi melalui traktus
urinarius merupakan proses output cairantubuh yang utama. Dalam
kondisi normal output urine sekitar 1400-1500 ml per 24 jam, atau
sekitar 30-50 ml per jam pada orang dewasa. Pada orang yang sehat
kemungkinan produksi urine bervariasi dalam setiap harinya, bila
aktivitas kelenjar keringat meningkat maka produksi urine akan
menurun sebagai upaya tetap mempertahankan keseimbangan dalam
tubuh.
23
b. IWL (Insesible Water Loss)
IWL terjadi melalui paru-paru dan kulit. Melalui kulit dengan
mekanisme diffusi. Pada orang dewasa normal kehilangan cairan tubuh
melalui proses ini adalah berkisar 300-400 ml per hari, tetapi bila
proses respirasi atau suhu tubuh meningkat maka IWL dapat
meningkat.
c. Keringat
Berkeringat terjadi sebagai respon terhadap kondisi tubuh yang panas,
respon ini berasal dari anterior hypotalamus, sedangkan impulsnya
ditransfer melalui sumsum tulang belakang yang dirangsang oleh
susunan syaraf simpatis pada kulit.
d. Feses
Pengeluaran air melalui feses berkisar antara 100-200 ml per hari, yang
diatur melalui mekanisme reabsorbsi di dalam mukosa usus besar
(kolon).
Iwl
- Paru : 350 -400 ml
- Keringat : 100 ml
24
Iwl
- dewasa : 15 cc/kg BB/hari
- anak : (30-usia{tahun}cc/kgBB/hari
b. Tujuan
- Menentukan status keseimbangan cairan tubuh klien
c. Prosedur
- Menentukan jumlah cairan yang masuk ke dalam tubuh klien, terdiri
dari air minum, air dalam makanan, air hasil oksidasi (metabolisme),
cairan intra vena.
- Menentukan jumlah cairan yang keluar dari tubuh klien, terdiri dari
urine, keringat, feses, muntah, insensible water loss (IWL).
- Menentukan keseimbangan cairan tubuh klien dengan rumus : INTAKE
OUTPUT
- Mendokumentasikan
- Cairan Interstitial = 15 %
25
- Cairan Transceluler = 1-3 %
26
Prinsip yang harus terpenuhi untuk melakukan terapi cairan yaitu
memenuhi kebutuhan normal per hari, pantau kekurangan atau kehilangan
cairan (Sjamsunidajat dkk, 2010). Pengembalian cairan merupakan
penatalaksanaan pada pasien dehidrasi yaitu dengan rehidrasi oral dan
rehidrasi intravena. Rehidrasi oral merupakan penggantian cairan melalui oral
dimana pasien diberikan minuman yang mengandung glukosa dan elektrolit.
Sedangkan rehidrasi intravenadiberikan apabila kehilangan cairan yang
bersifat berat atau mengancam nyawa, cairan yang diberikan seperti
dekstrosa, Natrium Clodira (NaCl) 0,9%, larutan Ringer Laktat (RL) (Black
& Hawks, 2014). Kekurangan volume cairan tubuh atau dehidrasi menjadi
suatu masalah pada klien postoperasi.
27
eksplorasikembali.
b. Bendungan di sebelah distal dari tempat bekas luka operasi
bisamenimbulkan udema dan nyeri di daerah tersebut
2. Kesadaran
Pemanjangan pemulihan kesadaran, merupakan salah satu penyulit
yangsering dihadapi di ruang pulih. Banyak faktor penyulit yang sering
dihadapi diruang pulih. Banyak faktor yang terlibat dalam penyulit ini.
Apabila hal ini terjadidiusahakan memantau tanda vital yang lain dan
mempertahankan fungsinya agartetap adekuat. Disamping itu pasien
belum sadar tidak merasakan adanya tekanan,jepitan atau rangsangan
pada anggota gerak, mata atau pada kulitnya sehinggamudah mengalami
cedera, oleh karena itu posisi pasien diatur sedemikian rupa,mata ditutup
dengan plester atau kasa yang basah sehingga terhindar dari cedera
sekunder selama durasi operasi. Masalah gelisah dan berontak, seringkali
mengganggu suasana ruang pulih bahkan bisa membahayakan dirinya
sendiri. Penyebab gaduh gelisah pasca bedah adalah :
1) Pemakaian ketamin sebagai obat anestesia
2) Nyeri yang hebat
3) Hipoksia
4) Buli-buli yang penuh
5) Stres yang berlebihan prabedah
6) Pasien anak-anak, seringkali mengalami hal ini
28
pasien akan mengalami ancaman gagal napas akut.
4. Aktivitas Motorik
Pemulihan aktivitas motorik pada penggunaan obat pelumpuh
otot,berhubungan erat dengan fungsi respirasi. Bila masih ada efek sisa
pelumpuh otot,pasien mengalami hipoventilasi dan aktivitas motorik yang
lain juga belumkembali normal. Petunjuk yang sangat sederhana untuk
menilai pemulihan otot adalah menilai kemampuan pasien untuk
membuka mata atau kemampuan untuk menggerakkan anggota gerak
terutama pada pasien menjelang sadar. Kalau sarana memadai, dapat
dilakukan uji kemampuan otot rangka dengan alat perangsang saraf.
29
F. Konsep Dasar Observasi Muntah
Observasi Muntah Pasien Post Operasi
Komplikasi yang sering terjadi setelah tindakan anestesi dan pembedahan
adalah nyeri,mual,danmuntah.Post Operative Nausea Vomiting (PONV)
adalah mual dan muntah yang terjadi setelah pembedahan dan sebelum pasien
pulang dari rumah sakit (Nileshwar, 2014). PONV dapat memperlama masa
pemulihan pasien, menghambat aktivitas dan berdampak pada membesarnya
biaya perawatan yang harus dikeluarkan karena alasan tersebut PONV harus
ditangani dengan serius. Mual dan muntah (PONV) dapat terjadi pada 80%
pada pasien yang menjalani pembedahan dan anestesi, keadaan ini menjadi
perhatian utama pada perawatan di ruang pemulihan dan menjadi skala
prioritas bagi seorang petugas anestesi (Gwinnutt,2011).
Mual muntah pasca operasi atau Post operatif nausea and vomiting
(PONV) adalah efek samping yang sering terjadi setelah tindakan anestesi
angka kejadian lebih kurang 1/3 dari seluruh pasien yang menjalani operasi
atau terjadi pada 30% sampai 70% pada pasien rawat inap yang timbul dalam
24 jam pertama. PONV bisa mengakibatkan dehidrasi, ketidakseimbangan
elektrolit, jahitan menjadi tegang dan terbuka, hipertensi vena danperdarahan,
ruptur esofagus dan keadaan yang membahayakan jiwa pada jalan nafas
walaupun komplikasi yang lebih berat lebih jarang terjadi. Setiap kejadian
muntah akan memperlama keluarnya pasien dari ruang pemulihan selama
kurang lebih 20 menit (Gan,2008).
PONV terdiri dari 3 gejala utama yang dapat timbul segera atau setelah
operasi yang terdiri dari nausea, vomiting, dan reacting. Nausea adalah
sensasi subjektif akan keinginan untuk muntah tanpa gerakan ekspulsif otot,
jika berat akan berhubungan dengan peningkatan sekresi kelenjar ludah,
gangguan vasomotor dan berkeringat.
30
G. Konsep Dasar Observasi Peristaltik Usus
1. Pengertian
Bising usus merupakan salah satu suara yang bisa didengarkan
melalui stetoskop di perut, khususnya di sekitar pusar. Suara ini
dihasilkan dari bunyi udara dan cairan di dalam usus yang bergerak
karena adanya peristaltik usus. Pada orang dewasa yang sehat, frekuensi
bising usus normalnya bisa berkisar antara 5 hingga 30 kali per menit.
Pada beberapa kondisi, bising usus bisa meningkat, misalnya
dikarenakan: Belum makan, perut kosong, Diare (peningkatan frekuensi
BAB lebih dari 3 kali dalam sehari disertai konsistensi feses yang cair),
bisa terjadi akibat infeksi saluran cerna, malabsorpsi makanan,
intoleransi, keracunan makanan, hipertiroidisme, hiperkalsemia,
sindroma iritasi usus, radang usus, efek samping obat, dan sebagainya.
Selain itu, bisa juga bising usus mengalami penurunan, contohnya akibat
adanya: Ileus paralitik (lumpuh usus), Peritonitis (peradangan pada
selaput yang membungkus rongga perut), dan sebagainya.
Untuk mengkonfirmasi hasil pemeriksaan bising usus, diperlukan
evaluasi lebih lanjut, yakni berdasarkan hasil wawancara, pemeriksaan
fisik lainnya, dan juga tes penunjang, misalnya rontgen, tes darah, USG,
endoskopi, dan sebagainya. Sebab itu, Diperlukan pemeriksaan langsung
oleh tenaga medis yang profesional untuk bisa menilai apakah bising
usus tergolong normal atau tidak, dan bila tidak, penanganan seperti apa
yang perlu dilakukan untuk mengidentifikasi penyebabnya serta
menentukan penanganan terbaik.
31
reseptor muskarinik pada pleksus mienterikus intestinal (Guyton, 2007).
Fungsi dari pleksus mienterikus ini adalah mengatur aktivitas motorik
disepanjang usus, dan apabila asetilkolin dihambat pelepasannya maka
akan terjadi penurunan kecepatan konduksi gelombang eksitatori
disepanjang dinding usus halus sehingga dapat menurunkan motilitas
usus (Sjamsuhidajat & Jong, 2010). Disfungsi gastrointestinal seperti
distensi abdomen pasca operasi, penurunan peristaltik dan pengerasan
feses dapat dicegah dengan meningkatkan hidrasi dan aktivitas yang
adekuat (Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever, 2010).
Ambulasi dini dapat membantu meningkatkan tonus saluran
gastrointestinal dan dinding abdomen dan menstimulasi peristaltik usus
sehingga dapat mengurangi kemungkinan distensi abdomen pasca
operatif. Hal ini didasarkan pada struktur anatomi kolon di mana
gelembung udara bergerak dari bagian kanan bawah ke atas menuju
fleksus hepatik, mengarah ke fleksus spleen 28 kiri dan turun kebagian
kiri bawah menuju rektum. Dampak ambulasi terhadap sistem
gastrointestinal yaitu adanya gerakan peristaltik usus sehingga dapat
memudahkan terjadinya flatus, mencegah distensi abdomen dan nyeri
akibat adanya gas dalam abdomen, serta mencegah terjadinya illeus
paralitik (Kozier, Erb, Berman & Snyder, 2010).
Mendengarkan peristaltik usus dengan meletakkan diafragma
stetoskop pada kuadran kiri bawah abdomen, dengarkan suara peristaltik
usus , hitung selama satu menit, normal peristaltik usus orang dewasa
adalah 5-35 x/menit. Suara denting tinggi disertai oleh distensi perut
menunjukkan bahwa usus tidak berfungsi dengan baik. Tanyakan apakah
pasien telah flatus (membuang gas) yang menandakan bahwa fungsi usus
telah normal kembali (Potter & Perry, 2010).
32
menentukan adanya distensi yang mungkin terjadi akibat akumulasi gas.
Pada klien yang baru menjalani operasi abdomen, distensi terjadi jika
klien mengalami perdarahan internal. Distensi juga terjadi pada klien
yang mengalami ileus paralitik akibat operasi pada bagian usus. Paralisis
usus dengan distensi dan gejala obstruksi akut ini mungkin juga
berhubungan dengan pemberian obat-obatan antikolinergik (Potter &
Perry, 2005).
Sejak obstetri dan ginekologi profesional telah secara tradisional
menunda intake oral post operasi pada pasien post operasi seksio sesaria
sampai kembalinya fungsi sistem gastrointestinal yang digolongkan
dengan gejala seperti peristaltik, munculnya flatus atau tinja, defekasi,
dan timbulnya rasa lapar. Ketika pasase flatus pertama kali muncul yaitu
kentut, hal ini telah diketahui sebagai pertanda akan kembalinya fungsi
sistem gastrointestinal (Ledari et al., 2013).
Bertolak dari hal tersebut diketahui bahwa terdapat beberapa tanda
dan gejala pemulihan fungsi sistem gastrointestinal post operasi yaitu:
adanya peristaltik usus, munculnya flatus pertama, defekasi yang pertama
kali, dan serta timbulnya rasa lapar post operasi. Gerakan fungsional
gastrointestinal meliputi gerakan propulsif dan gerakan mencampur.
Gerakan propulsif (peristaltik) menyebabkan makanan bergerak maju
sepanjang saluran dengan kecepatan yang sesuai untuk terjadinya
pencernaan dan absorpsi. Rangsangan umum untuk peristaltik adalah
peregangan usus saat sejumlah makanan terkumpul pada bagian manapun
di dalam usus yang akan merangsang sistem saraf enterik untuk
menimbulkan kontraksi usus dan menimbulkan gerakan peristaltik.
Adapun gerakan Mencampur diperlukan agar isi usus tercampur rata
setiap waktu (Syaifuddin, 2009) .
Refleks lokal dipicu oleh bidang sensoris di dalam dinding esofagus,
perut, dan usus atau oleh kemosensor di epitelium mukosa dan pemicu
kontraksi dan relaksasi dari serabut otot halus daerah sekitarnya. Refleks
peristaltik ada di sepanjang bagian oral (ca. 2 mm) and anal (20 sampai
dengan 30 mm). Hal ini di mediasi oleh bagian interneuron dan
33
membantu untuk mendorong isi dari lumen melewati traktus
gastrointestinal (peristalsis) (Despopoulos & Silbernagl, 2003).
Selama proses menelan atau deglution, lidah mendorong bolus dari
makanan masuk ke dalam tenggorokan. Nasofaring secara refleksif
terblok, pernapasan terhambat, korda fokalis tertutup dan epiglotis
menutup trakea sementara sfingter esofageal atas terbuka. Gelombang
peristaltik mendorong bolus ke kedalam perut. Apabila bolus ini
berhenti/ tersangkut, peregangan di daerah tersebut akan memicu
timbulnya gelombang peristaltik yang kedua (Despopoulos & Silbernagl,
2003).
Perut dapat dibagi menjadi segmen proksimal dan distal. Refleks
vasofagal yang dipicu oleh proses menelan bolus makanan menyebabkan
sfingter esofageal bawah terbuka dan bagian perut proksimal melebar
untuk beberapa saat (receptive relaxation). Hal ini berlanjut ketika
makanan telah memasuki perut (refleks akomodasi vasofagal).
Akibatnya, tekanan intestinal meningkat dengan cepat dikarenakan
proses pengisisan yang meningkat. Kontrasi tonik dari perut proksimal
yang terutama menjalankan fungsinya sebagai reservoir, yang secara
perlahan mendorong isi perut menuju perut bagian distal. Di sekitar batas
atas merupakan zona pace maker dimana kontraksi gelombang peristaltik
berasal terutama karena stimulasi lokal dinding perut (dalam respon
terhadap stimulasi refleks dan gastrin). Gelombang peristaltik paling kuat
di bagian antrum dan menjalar ke pilorus. Kimus dibawa menuju pilorus,
kemudian ditekan dan didorong kembali setelah pilorus menutup.
Dengan demikian makananpun diproses (Despopoulos & Silbernagl,
2003).
34
1. Pengertian
Suction ( Penghisapan lender ) merupakan tindakkan keperawatan yang
dilakukan pada klien yang tidak mampu mengeluarkan sekret atau lendir
secara mandiri dengan menggunakan alat penghisap. Suction merupakan
suatu metode untuk mengeluarkan secret jalan nafas dengan menggunakan
alat via mulut, nasofaring, atau trakeal
2. Prinsip
Prinsip Suction (4 A)
1. Aseptik : Segala upaya yang dilakukan untuk mencegah masuknya
mikroorganisme ke dalam tubuh yang kemungkinan besar akan
mengakibatkan infeksi.
2. Asianotik : Tindakan yang tidak boleh menimbulkan sianosis.
3. Afektif : Tindakan yang dilandaskan gaya atau makna yang
menunjukan perasaan dan emosi.
4. Atraumatik : Tindakan yang mencegah terjadinya trauma
3. Komplikasi
- Hipoksia
- Trauma jaringan
4. Kriteria
a) Kelengkapan alat penghisap lender dengan ukuran slang yang tepat
b) Menggunakan satu selang penghisap lendir steril untuk satu klien
c) Menggunkan slang penghisap lendir yang lembut
d) Penghisapan dilakukan dengan gerakan memutar dan intermitten
e) Observasi tanda-tanda vital
35
5. Indikasi
a) Klien mampu batuk secara efektif tetapi tidak mampu membersihkan
sekret dengan mengeluarkan atau menelan.
b) Ada atau tidaknya secret yang menyumbat jalan nafas, dengan ditandai
terdengar suara pada jalan nafas, hasil auskultasi yaitu ditemukannya
suara crakels atau ronchi, kelelahan pada pasien. Nadi dan laju
pernafasanmeningkat, ditemukannya mucus pada alat bantu nafas.
c) Klien yang kurang responsive atau koma yang memerlukan
pembuangan secret oral
36
I. Obeservasi Ruang Perawatan Pasca Anesthesia
1. Pengertian
Recovery Room (RR) adalah suatu ruangan yang terletak di dekat
kamar bedah, dekat dengan perawat bedah, ahli anesthesia dan ahli bedah
sendiri, sehingga apabila timbul keadaan gawat pasca-bedah, klien dapat
segera diberi pertolongan. Selama belum sadar betul, klien dibiarkan tetap
tinggal di RR. Setelah operasi, klien diberikan perawatan yang sebaik-
baiknya dan dirawat oleh perawat yang berkompeten di bidangnya (ahli
dan berpengalaman).
Ruang pemulihan hendaknya diatur agar selalu bersih, tenang, dan alat-
alat yang tidak berguna disingkirkan. Sebaliknya, semua alat yang
diperlukan harus berada di RR. Sirkulasi udara harus lancar dan suhu di
dalam kamar harus sejuk. Bila perlu dipasang AC. Bila pengaruh obat bius
sudah tidak berbahaya lagi, tekanan darah stabil-bagus, perafasan lancar-
adekuat dan kesadaran sudah mencukupi (lihat Aldered Score), barulah
klien dipindahkan ke kamarnya semula (bangsal perawatan).
Syarat Ruangan
a. Tenang, bersih dan bebas dari peralatan yang tidak dibutuhkan
b. Warna ruangan lembut dan menyenangkan
c. Pencahayaan tidak langsung
d. Plafon kedap suara
e. Peralatan yang mengontrol atau menghilangkan suara (ex : karet
pelindung tempat tidur supaya tidak mengeluarkan suara saat terbentur)
f. Tersedia peralatan standart : alat bantu pernafasan; oksigen,
laringoskop, set trakeostomi, peralatan bronkial, kateter, ventilator
mekanis dan perlatan suction)
g. Peralatan kebutuhan sirkulasi : aparatus tekanan darah, peralatan
parenteral, plasma ekspander, set intravena, defibrilator, kateter vena,
dan tourniquet
h. Balutan bedah, narkotik dan medikasi kedaruratan
i. Set kateterisasi dan peralatan drainage
j. Tempat tidur pasien yang dapat diakses dengan mudah, aman dan dapat
37
digerakkan dengan mudah
k. Suhu ruangan berkisar antara 20 –22.2oC dengan ventilasi ruangan yang
baik.
38
gambaran tentang status klien, hasil pembedahan dan adanya komplikasi.
Rasa cemas akan meningkat jika dokter bedah menginformasikan
keluarga tentang lamanya pembedahan dan jika klien masih berada dalam
ruang operasi melebihi waktu yang diperkirakan. Perawat dapt membantu
keluarga menghilangkan rasa khawatir dengan menjelaskan alas an
penundaan yang normal, seperti perlunya persiapan ruang operasi atau
adanya keterlambatan papembedahan sebelumnya. Apabila lama klien
berada di RR bertambah, perawat dapat menjelaskan pada keluarga bahwa
klien lebih lama disanan untuk diobservasi. Apabila klien mengalami
komplikasi, dokter bedah bertanggung jawab untuk menjelaskan tentang
apa yang terjadi selama pembedahan berlangsung.
1. Persiapan di unit klinis
Ruang pasien dipersiapkan sehingga memberi fasilitas kepada
kepindahan pasien serta dilaksanakan pemantauan. Keluarga diberitahu
bahawa pasien akan kembali. Banyak ahli bedah suka menceritakan hasil
bedah dengan keluarganya segera setelah boperasi usai dan mengunjungi
pasien dan menceritakan apa yang ditemukan secara singkat dan
memberi jaminan. Keluarga pasien kebanyakan suka cemas tentang
kondisi pasien dan suka tidak bisa menanggapi apa yang ahli bedah
terangkan kepada mereka. Pasien sering menderita amnesia pada jam-jam
pertama mulai sadar dan tidak dapat mengingat apa yang sudah dikatakan
kepadanya.
Perawat harus mengetahui apa yang sudah dikatakan kepada pasien
dan keluarganya sehingga bisa memberi jawaban jika mereka ditanya.
Keluarga juga harus mengetahui apa yang diharapkan bila pasien kembali
ke unit.
2. Persiapan bangsal untuk pasien yang kembali dari kamar bedah
a. Menyiapkan tempat tidur terbuka untuk pasien bedah agar
perpindahan berjalan lancer.
b. Disiapkan cukup selimut (pasien masih suka kedinginan).
c. Perintang-perintang lalu lintas dipindahkan.
d. Persiapan perlengkapan :
39
- Tiang infuse
- Sphygmomanometer
40
LAMPIRAN SOP
PROSEDUR TINDAKAN
PEMERIKSAAN SUHU TUBUH
A ) PENGUKURAN TEMPERATUR AXILA
41
NO Aktivitas Dilakukan
ya tidak
Skor
1 Perawat mencuci tangan
2 Meletakkan alat di dekat
klien
3 Memakai handscoen bersih
4 Meminta klien untuk duduk atau
berbaring, pastikan klien merasa
nyaman
5 Gulung lengan baju klien atau buka
baju atas sampai axila terlihat
6 Gulung lengan baju klien atau buka
baju atas sampai axila terlihat
7 Pastikan thermometer siap (jika
menggunakan thermometer raksa suhu
awal <35°C)
8 Pasang thermometer pada daerah
tengah axila, minta klien untuk
menurunkan lengan atas dan
meletakkan lengan bawah diatas
dada.
42
1 kapas alkohol atau dengan
menggunakan sabun-savlon-air
bersih lalu keringkan dengan kasa
1 Perawat Menyampaikan informasi
2 hasil pemeriksaan kepada
Klien/keluarga dan
mengkomunikasikan tindakan
sudah selesai
1 Perawat melepas handscoen dan
3 mencuci tangan
1 Mencatat Hasil Pemeriksaan di status
4 Klien dan merapikan baju Klien
Evaluasi :
Klien Bersih, rapi dan
nyaman
Tempat tidur rapi
Perawat mampu menyimpulkan hasil
dari pemeriksaan apakah Klien
Hipotermia, Normal, Pireksia/febris
atau Hipertermia.
b) PENGUKURAN TEMPERATUR ORAL
1 Perawat mencuci tangan
2 Meletakkan alat di dekat klien
3 Memakai handscoen bersih
4 Meminta klien untuk duduk atau
berbaring, pastikan klien merasa
nyaman
5 Siapkan thermometer atau turn on
pada thermometer elektrik
6 Tempatkan ujung thermometer
dibawah lidah klien pada sublingual
7 Minta klien menutup mulut
8 menjelaskan pada klien bahwa
pengukuran akan berlangsung
selama 3-5 menit atau sampai alarm
berbunyi pada thermometer elektrik
43
9 Ambil thermometer dan baca
hasilnya
1 Bersihkan termometer dengan kapas
0 alkohol atau dengan menggunakan
sabun-savlon-air bersih lalu
keringkan dengan kasa
1 Perawat Menyampaikan informasi
1 hasil pemeriksaan kepada
Klien/keluarga dan
mengkomunikasikan tindakan sudah
selesai.
1 Perawat melepaskan handscoen dan
2 mencuci tangan
1 Mencatat Hasil Pemeriksaan di status
3 Klien dan Rapikan baju Klien
1 Evaluasi :
4 Klien Bersih, rapi dan
nyaman
Tempat tidur rapi
Perawat mampu menyimpulkan hasil
dari pemeriksaan apakah Klien
Hipotermia, Normal,
Pireksia/febris atau Hipertermia.
c) PENGUKURAN TEMPERATUR RECTAL
1 Perawat mencuci tangan
2 Meletakkan alat di dekat klien
3 Memakai handscoen bersih
4 Menjelaskan tujuan dan
prosedur pemeriksaan pada
klien
5 Bantu klien berbaring kearah
lateral sinistra atau dekstra
dengan kaki fleksi Pada bayi
periksa keadaan anus klien
44
6 Olesi thermometer dengan
jelly/lubricant
7 Minta klien untuk nafas dalam
dan masukkan thermometer
ke lubang anus sedalam 3 cm
(jangan paksakan bila ada
tahanan/hambatan)
8 Jelaskan pada klien bahwa
pengukuran akan berlangsung
selama 5 menit atau sampai
alarm
berbunyi pada thermometer
elektrik
9 Ambil thermometer dan baca
hasilnya
1 Bersihkan termometer dengan
0 kapas alkohol atau dengan
menggunakan sabun-savlon-
air
bersih lalu keringkan dengan
kasa
1 Perawat Menyampaikan
1 informasi hasil pemeriksaan
kepada Klien/keluarga dan
mengkomunikasikan tindakan
45
udah selesai.
1 Perawat melepaskan
2 handscoen dan mencuci
tangan
1 Mencatat Hasil Pemeriksaan
3 di status Klien dan Rapi kan
baju Klien
1 Evaluasi :
4 Klien Bersih, rapi dan
nyaman
Tempat tidur rapi
Perawat mampu
menyimpulkan hasil dari
pemeriksaan apakah Klien
Hipotermia, Normal,
Pireksia/febris atau
Hipertermia
d) PENGUKURAN TEMPERATUR AURAL
1 Perawat mencuci tangan
2 Meletakkan alat di dekat klien
3 Memakai handscoend bersih
4 menjelaskan tujuan dan
prosedur pemeriksaan pada
klien
5 Siapkan thermometer
tympani, jika klien
menggunakan alat bantu
dengar, keluarkan
dengan hati-hati dan tunggu
hingga 1-2 menit
6 Bersihkan telinga dengan
kapas
7 Buka bagian luar telinga,
dengan perlahan-lahan
masukkan thermometer
sampai liang
46
telinga.
8 Tekan tombol untuk
mengaktifkan thermometer
9 Pertahankan posisi thermometer
selama pengukuran sampai muncul
suara atau timbul tanda cahaya pada
thermometer
47
Perawat mampu
menyimpulkan hasil dari
pemeriksaan apakah
KlienHipotermia, Normal,
Pireksia/febris atau
Hipertermia
e) PENGUKURAN TEMPERATUR TEMPORAL
1 Perawat mencuci tangan
2 Meletakkan alat di dekat klien
3 Memakai handscoen bersih
4 menjelaskan tujuan dan
prosedur pemeriksaan pada
klien
5 melepaskan topi/penutup
kepala klien, sibak dahi klien,
bersihkan dengan
menggunakan
kapas
6 Letakkan sisi lensa
thermometer pada bagian
tengah dahi klien antara alis
dan batas rambut
7 Tekan dan tahan tombol SCAN, geser
perlahan menyamping dari dahi hingga
bagian atas telinga (terdengar bunyi
„BIP‟ dan lampu merah akan menyala)
48
detik, untuk mematikannya
segera, tekan dan lepaskan
tombolSCAN dengan cepat)
9 Menyampaikan informasi
hasil pemeriksaan
kepada Klien/keluarga dan
mengkomunikasikan tindakan
sudah selesai.
1 Perawat melepaskan
0 handscoen dan mencuci
tangan
1 Mencatat Hasil Pemeriksaan
1 di status Klien. Rapikan baju
Klien
1 Evaluasi :
2 Klien Bersih, rapi dan
nyaman
Tempat tidur rapi
Perawat mampu
menyimpulkan hasil dari
pemeriksaan apakah Klien
Hipotermia, Normal,
Pireksia/febris atau
Hipertermia.
B. PEMERIKSAAN FREKUENSI NAFAS
1 Perawat mencuci tangan
2 Memakai handscoen bersih
3 Menjelaskan tujuan dan
prosedur pemeriksaan pada
klien
4 Bantu klien membuka baju,
jaga privasi klien
5 Memposisikan Klien untuk
berbaring/duduk, pastikan
klien merasa nyaman
6 Lakukan inspeksi atau palpasi
49
dengan kedua tangan pada
punggung / dada untuk
menghitung gerakan
pernapasan selama minimal 1
menit
7 Dokumentasikan hasil
pemeriksaan (frekuensi nafas,
irama nafas reguler/ireguler,
dan
tarikan otot bantu pernafasan)
8 Perawat Menyampaikan
informasi hasil pemeriksaan
kepada Klien/keluarga dan
mengkomunikasikan tindakan
sudah selesai.
9 Perawat melepaskan
handscoen dan mencuci
tangan
1 MenDokumentasikan hasil
0 pemeriksaan (frekuensi nafas,
irama nafas reguler/ireguler,
dan tarikan otot bantu
pernafasan)di status Klien.
Rapikan baju Klien
1 Evaluasi :
1 Klien Bersih, rapi dan
nyaman
Tempat tidur rapi
Perawat mampu
menyimpulkan hasil dari
pemeriksaan apakah Klien
Takipnea atau Bradipnea
C. PEMERIKSAAN NADI
1 Perawat mencuci tangan
2 Memakai handscoen bersih
50
3 Menjelaskan tujuan dan
prosedur pemeriksaan pada
klien
4 Bantu klien membuka baju,
jaga privasi klien
5 Bantu Klien untuk duduk atau
berbaring, pastikan Klien
merasa nyaman.
6 Gunakan ujung dua atau tiga
jari (jari telunjuk, jari tengah
dan jari manis ) untuk meraba
salah satu dari 9 arteri.
7 Tekan arteri radialis untuk
merasakan denyutan
51
nyaman
Tempat tidur rapi
Perawat mampu
menyimpulkan hasil dari
pemeriksaan apakah Klien
Lokasi pemeriksaan denyut
nadi dan Skala ukuran
kekuatan/kualitas nadi
D. PEMERIKSAAN TEKANAN DARAH
1 Mengucapkan Basmallah
2 Perawat mencuci tangan
3 Meletakkan alat di dekat klien
4 Memakai handscoen bersih
5 Menjelaskan tujuan dan
prosedur pemeriksaan pada
klien
6 Pilih manset
tensimeter/sphygmomanomet
er sesuai dengan ukuran
lengan Klien
7 Tempatkan Klien dalam posisi
nyaman (duduk/berbaring)
dengan lengan rileks, sedikit
menekuk pada siku dan bebas
dari tekanan oleh pakaian
8 Palpasi arteri brachialis.
9 Pasang manset melingkari
lengan atas dimana arteri
brachialis teraba, secara rapi
dan tidak
terlalu ketat (2,5 cm di atas
siku) dan sejajar jantung
1 Raba nadi radialis atau
0 brachialis dengan satu tangan.
1 Tutup bulb screw tensimeter
1
52
1 Pasang bagian diafragma
2 stetoskop pada perabaan
pulsasi arteri brachialis
1 Pompa
3 tensimeter/sphygmomanomet
er dengan cepat sampai
30mmHg di atas hilangnya
Pulsasi
1 Turunkan tekanan manset
4 perlahan-lahan sampai pulsasi
arteri teraba
1 Dengarkan melalui stetoskop,
5 sambil menurunkan perlahan-
lahan 3mmHg/detik dan
melaporkan saat mendengar
bising „dug‟ pertama (tekanan
sistolik)
1 Turunan tekanan manset
6 sampai suara bising „dug‟ yang
terakhir (tekanan diastolik)
1 Rapikan alat-alat yang telah
7 digunakan
1 Rapikan dan berikan posisi
8 yang nyaman pada Klien
1 Perawat Mengucapkan
9 Menyampaikan informasi
hasil pemeriksaan
kepada Klien/keluarga dan
mengkomunikasikan tindakan
sudah selesai.
2 Perawat melepaskan
0 handscoen dan mencuci
tangan
2 Mendokumentasikan hasil
1 pemeriksaan di status klien.
53
Rapikan baju klien
2 Evaluasi :
2 Klien Bersih, rapi dan
nyaman
Tempat tidur rapi
Perawat mampu
menentukan sistolik
dan diastolik
Perawat mampu mengkategori
tekanan darah Klien
DILAKUKAN
NO AKTIFITAS YA TIDAK SKOR
A. EYE RESPONSE
1. Spontan 4
2. Terhadap suara 3
Meminta klien
membuka mata.
3. Terhadap 2
rangsang nyeri
Tekan pada saraf
supraorbital atau
54
kuku jari.
4. Tidak ada reaksi 1
dengan rangsang
nyeri klien tidak
membuka mata
B. VERBAL RESPONSE
5. Berorientasi 5
baik
Menanyakan
dimana ia berada,
tahu waktu, hari,
bulan
6. Bingung 4
(confused)
Menanyakan
dimana ia berada,
kapan opname di
Rumah sakit
(dapat
mengucapkan
kalimat, namun
ada disorientasi
waktu dan
tempat)
7. Tidak tepat 3
Dapat
mengucapkan
kata-kata, namun
tidak berupa
kalimat dan tidak
tepat
8. Mengerang 2
Mengeluarkan
suara yang tidak
55
punya arti, tidak
mengucapkan
kata, hanya suara
mengerang
9. Tidak ada 1
jawaban (suara
tidak ada)
C. MOTORIK RESPONSE
10. Menurut 6
perintah
Misalnya
menyuruh klien
mengangkat
tangan.
11. Mengetahui 5
lokasi nyeri
Berikan rangsang
nyeri dengan
menekan jari pada
supra orbita. Bila
klien mengangkat
tangan sampai
melewati dagu
untuk menepis
rangsang nyeri
tersebut berarti
dapat mengetahui
lokasi
Nyeri
12. Reaksi 4
menghindar
Menolak
rangsangan nyeri
pada anggota
56
gerak.
13. Reaksi fleksi 3
(dekortikasi)
Berikan rangsang
nyeri misal
menekan dengan
objek seperti
ballpoint pada jari
kuku. Bila
terdapat reaksi
fleksi berarti
ingin menjauhi
rangsang nyeri.
14. Extensi spontan 2
(decerebrasi)
Memberikan
rangsang nyeri
yang cukup
adekuat Terjadi
ekstensi pada
siku.
15. Tidak ada 1
gerakan/reaksi
Rangsang yang
diberikan harus
cukup adekuat
57
SOP MENGHITUNG DAN MEMANTAU BALANCE CAIRAN
58
A
Pelaksanaa 1. Menghitung in take oral
n
(minum)
2. Menghitung in take oral
(makan)
3. Menghitung in take parenteral
4. Menentukan cairan
metabolisme
5. Menghitung out put urine
6. Menghitung out put feces
7. Menghitung out put abnormal
(muntah, drain, perdarahan
dll)
8. Menghitung out put IWL
9. Menghitung balance cairan
Dalam air tubuh terlarut
zat – zat :
1. Elektrolit terdiri dari
Kalium , Natrium ,
Cholorida
2. Non elektrolit terdiri dari
glukosa , protein , dan lemak
3. Kebutuhan air dalam
elektroit setiap hari
a. Orang dewasa Air
30 – 35 cc / kg BB
Natrium ± 1.5 met / kg
BB ( 100 met / hari atau
5,9 gr)
b. Anak Bayi sesuai
dengan berat barat
0 – 10 kg 100 ml / kg
BB (milliliter /
59
cc/kg/BB)
10-20 kg 100 ml /kg BB
+ 50 ml / kg BB atau
diatas 10 Kg >20
1500ml/kg/BB
+20ml/kg BB
diatas 20 kg Natrium ±
2 met / kg BB Kalium ±
met /kg BB
Terminasi 1. Mengevaluasi hasil tindakan
yang telah dilakukan
2. Berpamitan dengan pasien
3. Merapihkan & kembalikan
alat ke tempat semula
4. Mencuci tangan
5. Mencatat kegiatan dalam
lembar catatan keperawatan
60
SOP SUCTION
Dilakukan
N Aktifitas Ya Tid S
o ak k
. o
r
1 Persiapan Alat :
. 1. Alat Nonsteril
a. Alat penghisap lendir
(suction) dengan botol
berisi larutan desinfektan.
Misal : Lysol 2%
b. 2 kom kecil tertutup : 1 kom
kecil tertutup berisi
aquades/NaCl 09% dan 1
kom kecil tertup berisi
larutan desinfektan (savlon)
c. Tongue spatel bila perlu
d. Kertas tissue
e. Kantong balutan kotor
61
f. Plester dan gunting
g. 1 botol NaCl 0,9%
h. Nierbeken/bengkok
i. Oksigen
j. Stetoskop
k. Jellly
2. Alat Steril :
a. Keteter penghisap (suction)
steril.
- Anak usia 2-5
tahun : 6-8F
- Usia sekolah 6-10
tahun : 8-10F
- Remaja-Dewasa :
10-16F
b. Pinset Steril
c. Kasa steril
d. Sarung tangan/handscoon
steriL
2 Persiapan Pasien dan Lingkungan :
. 1. Menjelaskan kepada pasien
tentang tindakan yang akan
dilakukan
2. Menjaga privasi pasien
3 Pelaksanaan :
. 1. Jelaskan prosedur yang akan di
laksanakan
2. Cuci tangan
3. Atur posisi Klien
- Klien sadar : posisi semi
fowler kepala miring ke
62
satu sisi (oral suction)
dan posisi fowler
dengan leher ekstensi
(nasal suction)
- Klien tidak sadar
baringkan klien dengan
posisi lateral
menghadap pelaksana
tindakan (oral/nasal
suction)
4. Meletakkan nierbeken di dekat
pasien
5. Gunakan sarung tangan
6. Hubungkan kateter penghisap
dengan slang alat penghisap
7. Mesin penghisap dihidupkan.
Atur daya hisap sesuai
kebutuhan pasien, yaitu 110-
150 mmHg untuk orang
dewasa, 95-110 mmHg untuk
anak-anak dan 50-85 mmHg
untuk bayi
8. Lakukan penghisapan lendir
dengan memasukkan kateter
penghisap ke dalam kom berisi
savlon baru kamudian ke kom
berisi aquadest atau NaCl 0,9%
untuk mempertahankan
kesterilan
9. Lakukan hiperoksigenasi 100%
63
dengan resuscitator bag (jika
ETT)
10. Masukkan kateter penghisap
dalam keadaan tidak
menghisap
11. Tarik dengan memutar kateter
penghisap 10-15 detik
12. Bilas kateter dengan savlon
setelah itu bilas dengan
aquades atau NaCl 0.9%
13. Lakukan penghisapan antara
penghisapan pertama dengan
berikutnya, minta pasien
untuk bernapas dalam dan
batuk. Apabila pasien
mengalami distres
pernapasan, biarkan istirahat
20-30 detik sebelum
melakukan penghisapan
berikutnya
14. Setelah selesai,
dokumentasikan kegiatan
(catat sputum : banyaknya,
kekentalan, warna) hasil dari
auskultasi dan respon pasien
terhadap prosedur yang
dilakukan
15. Cuci tangan setelah prosedur
dilakukan
4 Evaluasi
. 1. Klien yang mempertahankan
64
frekuensi pernapasan normal
2. Jalan napas dengan klien yang
tidak dapat batuk dengan
adekuat bersihdari sekret
3. Meningkatnya suara napas
4. Menurunnya Peak Inspiratory
Pressure,
menurunnyaketegangan
saluran pernapasan,
meningkatnya
dinamikcampliance paru,
meningkatnya tidal volume.
5. Adanya peningkatan dari nilai
arterial bloodgas, atau saturasi
oksigenyang bisa dipantau
dengan pulse oxymeter.
6. Hilangnya sekret pulmonal.
65
SOP PERAWATAN LUKA
66
Selimut mandi
Kapas alcohol
Larutan nacl 0,9 %
3 Prosedur Pelaksanaan
1. Jelaskan prosedur
perawatan pada pasien.
2. Tempatkan alat yang
sesuai.
3. Cuci tangan.
4. Buka pembalut dan buang
pada tempatnya.
5. Bila balutan lengket pada
bekas luka, lepas dengan
larutan steril atau NaCl.
6. Bersihkan bekas plester
dengan wash
bensin/aseton (bila tidak
kontra indikasi), dari arah
dalam keluar.
7. Desinfektan sekitar luka
dengan alkohol 70%.
8. Buanglah kapas kotor pada
tempatnya dan pinset kotor
tempatkan pada bengkok
dengan larutan
desinfektan.
9. Bersihkan luka dengan
NaCl 0,9 % dan
keringkan.
10. Oles luka dengan betadine
2 % (sesuai order dari
dokter) dan tutup
67
lukadengan kasa steril.
11. Plester perban atau kasa.
12. Rapikan pasien.
13. Alat bereskan dan
cucitangan.
14. Dokumentasi
68
c. Riwayat pembedahan/penyakit dahulu
d. Riwayat psiko-sosial
Riwayat pola hidup dan aktifitas pasien sehari-hari
Masalah psikiatri (misalnya depresi, cemas, ide ingin bunuh
diri)
e. Obat-obatan dan alergi
Daftar obat-obatan yang dikonsumsi pasien untuk mengurangi
nyeri
f. Riwayat keluarga
Evaluasi riwayat medis keluarga terutama penyakit genetik.
g. Asesmen sistem organ yang komprehensif, evaluasi gejala
kardiovaskular, pulmoner, gastrointestinal, neurologi,
reumatologi, genitourinaria, endokrin dan muskuloskeletal,
psikiatri dan penyakit penyerta yang lain.
ASESMEN NYERI
a. Numeric Rating Scale digunakan untuk pasien dewasa dan anak
yang usianya lebih 8 tahun.
Instruksi : pasien ditanya mengenai intensitas nyeri yang
dirasakan dan dilambangkan dengan angka antara 0 – 10.
0 = tidak nyeri
1 – 3 = nyeri ringan (sedikit mengganggu aktivitas sehari-hari)
4 – 6= nyeri sedang (gangguan nyata terhadap aktivitas sehari-
hari)
7 – 10 = nyeri berat (tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari)
69
nyerinya dengan angka.
Instruksi : petugas menyesuaikan / memilih gambar mana yang paling
sesuai dengan keadaan pasien.
0 = ekspresi rilek, tidak merasa nyeri sama sekali
2 = sedikit nyeri
4 = cukup nyeri
6 = lumayan nyeri
8 = sangat nyeri
10 = amat sangat nyeri (tak tertahankan)
Keterangan GAMBAR WONG BAKER :
Dikatakan nyeri ringan (skala nyeri 1-3) apabila : hasil pengkajian
menunjukkan gambar 2 dan 4.
Dikatakan nyeri Sedang (skala nyeri 4-6 )apabila : hasil pengkajian
menunjukkan gambar 6.
Dikatakan nyeri Berat (skala nyeri 7-10 ) apabila: hasil pengkajian
menunjukkan gambar 8 dan 10.
71
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Keperawatan post operatif adalah periode akhir dari keperawatan
perioperatif. Selama periode ini proses keperawatan diarahkan pada
menstabilkan kondisi pasien pada keadaan equlibrium fisiologis pasien,
menghilangkan nyeri dan pencegahan komplikasi. Pengkajian yang cermat
dan intervensi segera membantu pasien kembali pada fungsi optimalnya
dengan cepat, aman dan nyaman.
Komplikasi dari post operatif, yaitu syok, hemorrhagi, thrombosis
vena profunda (VTP), embolisme pulmonal, komplikasi pernapasan, retensi
urin, komplikasi gastrointestinal.
Jadi, Upaya yang dapat dilakukan diarahkan untuk mengantisipasi dan
mencegah masalah yang kemungkinan mucul pada tahap ini. Pengkajian dan
penanganan yang cepat dan akurat sangat dibutuhkan untuk mencegah
komplikasi yang memperlama perawatan di rumah sakit atau membayakan
diri pasien. Memperhatikan hal ini, asuhan keperawatan post operatif sama
pentingnya dengan prosedur pembedahan itu sendiri.
Fase pasca operatif dimulai dengan masuknya pasien ke ruang
pemulihan (recovery room) dan berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada
tatanan klinik atau di rumah. Lingkup aktivitas keperawaan mecakup
72
renatang aktivitas yang luas selama periode ini. Pada fase ini fokus
pengkajian meliputi efek agen anstesi dan memantau fungsi vital serta
mencegah komplikasi. Aktivitas keprawatan kemudian berfokus pada
peningkatan penyembuhan pasien dan melakukan penyuluhan, perawatan
tindak lanjut dan rujukan yang penting untuk penyembuhan dan rehabilitasi
serta pemulangan.
B. Saran
Bagi perawat yang memberikan asuhan keperawatan pada klien
dengan post operatif harus lebih memperhatikan dan tahu pada bagian-bagian
mana saja dari asuhan keperawatan pada klien dengan post operatif ini yang
perlu ditekankan.
Untuk pasien semestinya harus lebih tanggap terhadap pengkajian-
pengkajian yang dilakukan perawat dalam memeberikan asuhan keperawatan
khususnya dalam asuhan keperawatan pada klien dengan post operatif, karena
peningkatan penyembuhan pasien dan melakukan penyuluhan, perawatan
tindak lanjut dan rujukan untuk penyembuhan dan rehabilitasi serta
pemulangan sangat penting bagi pasien maupun perawat.
73
DAFTAR PUSTAKA
Eforia, Amalia. (2015, Januari 21). Retrieved April 12, 2020, from Scribd :
https://www.scribd.com/document/121445820/Makalah-Post-Op.
Fitria, dkk. (2017). Pengukuran TTV, Pengukuran Fisik, dan Pengkajian
Keperawatan. Mataram : sekolah tinggi ilmu Mataram.
Herman, Andi. (2019). Pengaruh Intervensi Keperawatan Kombinasi Chewing
Gum Dan Mobilisasi Dini Terhadap Peningkatan Peristaltik Usus Dan
Flatus Pada Pasien Post Seksio Sesare. Tesis. Surabaya : Program Studi
Magister Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga.
Putri, Reni. (2016, Juni 24). Retrieved April 12, 2020, from Scribd :
https://www.scribd.com/doc/316639880/Perawatan-Di-Ruang-Recovery.
Sela, Nanda (2018, Februari 04). Retrieved April 12, 2020, from Scribd :
https://www.scribd.com/document/370743402/Sop-Luka-Steril.
74
Tiwi. (2018, Januari 12). Retrived April 12, 2929. From :
http://eprints.undip.ac.id/43913/3/BAB_II.pdf
Wahyuni, Sri. (2017). Pengaruh Ambulasi Dini Terhadap Pemulihan Pasien Post
Operasi Abdomen. Tesis. Medan : Program Studi Magister Ilmu
Keperawatan Minat Studi Keperawatan Medikal Bedah pada Fakultas
Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
75