Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN PRAKTIKUM

Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Praktikum Biologi dalam Kehidupan Sehari-hari

Dosen Pengampu :
Dr. Drh. Heru Nurcahyo, M.Kes
Prof. Dr. Djukri, MS

Disusun Oleh:
Desy Purwasih
(20708251008)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SAINS


FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN DAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan Laporan Praktikum Biologi dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun tujuan dari penulisan laporan ini yaitu untuk memenuhi tugas mata kuliah praktikum
biologi dalam kehidupan sehari-hari. Laporan ini juga dapat dijadikan wawasan pagi para
pembaca dan juga bagi penulis. Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Bapak Dr. Drh.
Heru Nurcahyo, M.Kes dan Prof. Dr. Djukri, MS selaku Dosen Pengampu matakuliah ini yang
telah membimbing saya untuk menyelesaikan laporan ini. Terima kasih juga untuk semua pihak
yang terlibat dalam praktikum yang dilakukan.
saya menyadari, laporan dari hasil penelitian saya masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu permohonan maaf saya sampaikan, juga kritik dan saran yang membangun akan saya
nantikan untuk perbaikan laporan ini agar didapatkan hasil yang sempurna.

Yogyakarta, 11 Juni 2021


Hormat Saya,

Desy Purwasih

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................................ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................................iii
PRAKTIKUM I.............................................................................................................................1
PRAKTIKUM II..........................................................................................................................10
PRAKTIKUM III........................................................................................................................18
PRAKTIKUM IV.........................................................................................................................23
PRAKTIKUM V..........................................................................................................................31

iii
PRAKTIKUM I
TEKANAN DARAH

A. Tujuan Praktikum
A.1. Tujuan Kegiatan
1. Mengatahui pengaruh aktivitas tubuh terhadap tekanan darah systole dan diastole
2. Mengetahui pengaruh suhu terhadap tekanan darah systole dan diastole.
3. Mengetahui pengaruh posisi tubuh terhadap tekanan darah sistol dan diastole
A.2. Kompetensi Khusus
1. Mahasiswa dapat melakukan pengukuran tekanan darah systole dan diastole.
2. Mahasiswa dapat menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan darah sistole
dan diastole.
B. Alat dan Bahan
Pengukuran tekanan darah sistole dan diastole memerlukan alat-alat dan bahan sebagai berikut:
1. Tensimeter dengan sabuk tekannya.
2. Stetoskop.
3. Stopwatch.
C. Metode Praktikum
 Jenis Kegiatan : Eksperimen
 Obyek Pengamatan : Tekanan darah arteri
 Alat dan bahan : Tensimeter dan stetoskop
Cara kerja :
1. Lilitkan sabuk yang telah dilengkapi dengan pompa dan tensimeter pada lengan atas
tepatnya diatas sendi siku. Letakkan kepala stetoskop pada bawah sabuk tekan tepat di
atas arteri radialis selanjutnya dengarkan suara denyut jantung.
2. Pompa sampai sabuk tekan menekan lengan dan suara jantung tidak terdengar lagi.
Setelah itu kendorkan sekrup pengatur pada pompa sedemikian rupa sehingga udara
keluar (nggembos) dan pantau suara jantung dengan seksama
3. Apabila suara jantung terdengar (koroskof), maka hal itu menunjukkan tekanan sistole,
teruskan penggembosan dan monitor terus suara jantung.

1
4. Lakukan pengukuran ini beberapa kali pada keadaan sebelum dan sesudah dikompres es
selama 5 menit, sebelum dan setelah melakukan aktivitas, dan pada keadaan duduk dan
berdiri.
D. Landasan Teori
Tekanan darah merupakan tekanan yang dihasilkan oleh darah terhadap pembuluh darah.
Tekanan darah ini dipengaruhi oleh volume darah dan elastisitas pembuluh darah.
Peningkatan tekanan darah disebabkan oleh peningkatan volume darah atau elastisitas
pembuluh darah. Sebaliknya, penurunan volume darah akan menurunkan teknana darah.
(Setiawan, 2010)
Pada manusia, besar tekanan darah di dalam pembuluh darah dikenal dengan sebutan
tekanan darah arteri rata-rata yang mana adalah gaya utama yang mendorong darah kearah
jaringan. Tekanan ini harus diukur secara ketat dengan dua alasan. Pertama, tekanan tersebut
harus cukup tinggi untuk menghasilkan gaya dorong yang cukup; tanpa tekanan ini, otak dan
jaringan lain tidak akan menerima aliran yang adekuat seberapapun penyesuaian lokal
mengenai resistensi arteriol ke organ-organ tersebut yang dilakukan. Kedua, tekanan tidak
boleh terlalu tinggi sehingga menimbulkan beban kerja tambahan bagi jantung dan
meningkatkan resiko kerusakan pembuluh serta kemungkinan rupturnya pembuluh-pembuluh
halus (Sherwood, 2011)
Mekanisme-mekanisme yang melibatkan integrasi berbagai komponen sistem sirkulasi
dan sistem tubuh lain penting untuk mengatur tekanan darah arteri rata-rata. Dua penentu
utama tekanan darah arteri rata-rata adalah curah jantung dan resistensi perifer total.
Perubahan setiap faktor tersebut akan mengubah tekanan darah kecuali apabila terjadi
perubahan kompensatorik pada variabel lain sehingga tekanan darah konstan. Aliran darah ke
suatu jaringan bergantung pada gaya dorong berupa tekanan darah arteri rata-rata dan derajat
vasokonstriksi arteriol-arteriol jaringan tersebut. Karena, tekanan arteri rata-rata bergantung
pada curah jantung dan derajat vasokonstriksi arteriol, jika arteriol di salah satu jaringan
berdilatasi, arteriol di jaringan lain akan mengalami konstriksi untuk mempertahan-kan
tekanan darah arteri yang adekuat, sehingga darah mengalir tidak saja ke jaringan yang
mengalami vasodilatasi tetapi juga ke otak, yang harus mendapatkan pasokan darah yang
konstan. Dengan demikian variabel kardiovaskuler harus terus menerus diubah untuk
mempertahankan tekanan darah yang konstan walaupun kebutuhan jaringan akan darah

2
berubah-ubah (Rumampuk, 2015).
Darah yang mengalir di dalam tubuh, dipompa oleh jantung. Untuk memompa jantung
ini, diperlukan suatu tekanan yang disebut dengan tekanan darah. Ada 2 nilai tekanan darah
yang digunakan sebagai ukuran dasar yaitu sistole dan diastole. Sistole adalah tekanan ketika
jantung mempompa darah, sedangkan diastole adalah tekanan pada jantung saat periode
istirahat di antara detak jantung. Sebagai contoh, jika seseorang memiliki tekanan darah
110/70 mmHg artinya tekanan darah sistole nya adalah 110 mmHg dan tekanan darah diastole
nya 70 mmHg (Albustomi et al., 2017)
Nilai rata-rata sistole adalah 100-140 mmHg, sedangkan nilai rata-rata tekanan diastole
60-90 mmHg. Pada wanita tekanan darahnya 5-10 mmHg lebih rendah dari pria. Tekanan
darah normal sekitar 120/80 mmHg. Bila tekanan darah dibawah normal, dinilai sebagai darah
rendah atau hypotension. Tekanan darah manusia berfluktasi naik turun dari jam ke jam
sesuai kebutuhan. Didalam pembuluh darah leher (carotid artery) terdapat pusat pengendali
tekanan darah (bororeceptor) yang mengatur akan menaikkan bila tekanan darah turun dan
akan menurunkan bila tekanannya meninggi. Pengaturan ini bekerja secara otomatis (Hull,
1996)
Ada beberapa faktor yang mempunyai pengaruh besar terhadap tekanan darah, faktor-
faktor tersebut yaitu: 1. Umur. Tekanan darah sistole menjadi lebih tinggi apabila umur naik
lebih dari 60 tahun. Ini terjadi karena seringnya terdapat perubahan arteri Oskleriotik di
pembuluh darah dan arteri menjadi kaku. 2. Jenis Kelamin Dalam keadaan normal laki-laki
mempunyai tekanan darah lebih tinggi dibanding dengan perempuan. 3. Keadaan Mental atau
Emosi Seseorang yang diperiksa tekanan darahnya dengan keadaan emosi tidak stabil,
tekanan darahnya cenderung lebih tinggi dibandingkan jika diperiksa dengan keadaan emosi
yang lebih tenang. 4. Kegemukan Orang yang gemuk memiliki tekanan darah yang lebih
tinggi karena tebalnya jaringan lemak yang melingkari lengan. 5. Olahraga Seseorang yang
membiasakan diri berolahraga secara teratur mempunyai tekanan darah relatif normal
dibanding seseorang yang jarang berolahraga. 6. Kebiasaan Seseorang yang mempunyai
kebiasaan minum kopi, merokok, pecandu alkohol cenderung mempunyai tekanan darah lebih
tinggi dibanding mereka yang tidak melakukannya. 7. Keadaan Setelah Bekerja Keadaan
setelah bekerja dapat menyebabkan perubahan tekanan darah, biasanya tekanan darah
meningkat, terutama pada pekerja yang mengeluarkan banyak tenaga. 8. Keadaan Lingkungan

3
Sekitar Lingkungan dimana seseorang berada juga dapat mempengaruhi tekanan darah
(Moerdowa, 1984),
Penyakit yang ditimbulkan dari ketidakstabilan tekanan darah ini sangat berbahaya.
Gangguan pada tekanan darah terdapat dua macam, antara lain hipotensi (darah rendah) dan
hipertensi (darah tinggi). Hipertensi adalah peningkatan yang terjadi diatas normal yang
digambarkan oleh sistole dan diastole (Shadien, 2010). Sedangkan darah rendah atau
hipotensi adalah menurunnya sistole hingga 20-30% dibandingkan dengan pengukuran sistole
saat normal menunjukkan <100 mmHg.
Tekanan darah seseorang di nyatakan baik apabila sistole menunjukkan 140 mmHg
bahkan lebih jika diastole dibawah 90 mmHg termasuk dalam batas normal, jadi masalah ini
disebut Isolated Systolik Hipertension atau ISH. Apabila seseorang berada pada salah satu
dari kedua kondisi tersebut maka perlu diwaspadai. Jika seseorang berada pada kondisi
tekanan darah yang tidak stabil akan sangat berbahaya karena dapat menyebabkan berbagai
penyakit diantaranya stroke, jantung koroner, diabetes, dan ginjal (Kumaat, n.d.)
Perbedaan tekanan antara sistole dan diastole disebut tekanan nadi dan normalnya
berkisar antara 30 sampai 50 mmHg. Batas terendah tekanan sistole pada orang dewasa
diperkirakan 105 mmHg, dan batas teratas ialah 150 mmHg. Pada wanita tekanan darahnya
ialah 5 sampai 10 mmHg lebih rendah dari pada pria (Pearce, 2002).

E. Hasil
1. Hasil Pengukuran Tekanan Darah Sebelum dan Sesudah Kegiatan Lari

Sebelum Kegiatan Setelah Kegiatan


No Nama Umur Tekanan Tekanan No Nama Umur Tekanan Tekanan
(tahun) Sistole Diastole (tahun) Sistole Diastole
1. Dewi 13 100 60 1. Dewi 13 110 80
2. Ifa 32 110 70 2. Ifa 32 120 80
3. Matus 38 110 80 3. Matus 38 120 100
4. Mahfud 35 120 90 4. Mahfud 35 130 110
5. Amel 26 100 80 5. Amel 26 120 90
Rata2 123,2 108 76 Rata2 123,2 120 92

4
2. Hasil Pengukuran Tekanan Darah Sebelum dan Sesudah dikompres es batu selama
5 menit

Umu Sebelum Sesudah


No. Nama
r Sistole Diastole Sistole Diastole
1. Wana 23 110 90 90 90
2. Andi 23 110 80 100 80
3. Liwa 23 100 80 90 70
4. Yani 35 105 80 100 75
5. Cici 39 115 70 98 70
Rata-rata 108 80 97 77

3. Hasil Pengukuran Tekanan Darah saat Berbaring dan Duduk

Berbaring Duduk
No. Nama Umur
Sistole Diastole Sistole Diastole
1. Zifa 22 130 80 120 80
2. Atiba 24 110 70 110 90
3. Nina 25 120 70 120 90
4. Umi 24 120 60 110 70
5. Mamiq 45 110 60 100 60
Rata-rata 118 68 112 78

F. Pembahasan
Percobaan pertama yakni untuk mengetahui tekanan darah sebelum dan sesudah
kegiatan berlari. Dari hasil percobaan pada 5 orang yang ada di rumah. Diperoleh bahwa
sebelum melakukan kegiatan lari rata-rata tekanan darah systole adalah 108 mmHg,
sedangkan pada diastole yaitu 76 dan setelah melakukan aktivitas berupa lari keliling
halaman sebanyak 3 kali putaran ternyata tekanan darah systole naik menjadi 120 mmHg
dan pada diastole menjadi 92. Jadi dapat disimpulkan bahwa tekanan darah baik systole dan
diastole naik setelah melakukan aktivitas dari pada sebelum melakukan aktivitas. Hal

5
tersebut disebabkan karena pada saat beraktivitas sel tubuh memerlukan pasokan O2 yang
banyak akibat dari metabolisme sel yang bekerja semakin cepat pula dalam menghasilkan
energi. Sehingga peredaran darah di dalam pembuluh darah akan semakin cepat dan curah
darah yang dibutuhkan akan semakin besar. Akibat adanya vasodilatasi pada otot jantung
dan otot rangka serta vasokontriksi arteriol yang menyebabkan arteriol menyempit dan kerja
jantung tiap satuan waktupun bertambah sehingga volume darah pada arteriol akan
meningkat dan tekanannyapun meningkat. Dapat dikatakan bahwa volume darah yang
masuk dari arteri ke jantung meningkat. Sedangkan pada saat tidak beraktivitas kondisi
tekanan darah relative lebih stabil karena kebutuhan oksigen tubuh masih terpenuhi dan
tidak membutuhkan oksigen dengan segera untuk menggantikan oksigen yang hilang karena
proses atau aktivitas fisiologik.
Hasil percobaan ini sesuai dengan hasil penelitian Manansang (2018) yang menjelaskan
bahwa saat melakukan aktivitas, tekanan darah akan naik cukup banyak. Demikian juga
setelah latihan aktivitas selesai, tekanan darah akan turun sampai di bawah normal dan
berlangsung selama 30-120 menit. Kenaikan frekuensi denyut jantung dan aktivitas paru
akan sesuai dengan intensitas latihan. Semakin tinggi intensitas (misal berjalan, berlari,
bersepeda,dan berenang semakin cepat) maka denyut jantung akan terasa semakin cepat
yang sesuai dengan azas Conconi, yaitu terdapat hubungan linier antara frekuensi denyut
jantung dan intensitas latihan. Selain itu, meningkatnya hormon epinefrin saat latihan yang
cukup berat akan menyebabkan semakin kuatnya kontraksi otot jantung. Meskipun demikian
TDS/ systol tidak langsung melonjak tinggi, karena pengaruh epinefrin pada pembuluh
darah dapat menyebabkan pelebaran (dilatasi). Pelebaran pembuluh darah sangat tergantung
kondisinya. Jika pembuluh sudah mengalami arterio-sklerosis, maka pembuluh darah akan
kaku dan tidak elastis sehingga pelebaran menjadi terbatas. Dengan demikian kenaikan
tekanan darah saat latihan dapat terjadi. Peningkatan pelebaran pembuluh darah saat latihan
juga disebabkan karena meningkatnya suhu tubuh. Banyaknya keringat yang keluar akan
menyebabkan plasma darah keluar dan volume darah menurun, sehingga tekanan darah tidak
naik berlebihan Tekanan darah baik TDS (tekanan darah sistol) maupun TDD (tekanan
darah diastole) dapat meningkat sangat tinggi ketika seorang atlet angkat besi mengangkat
barbel. Hal inimterjadi karena banyak otot rangka yang berkontraksi sehingga mendesak
pembuluh-pembuluh darah. Tekanan yang naik cukup tinggi tersebut terjadi hanya sesaat,

6
begitu angkatan dilepaskan akan turun kembali ke normal. Agar tidak mengalami hal yang
fatal maka penyandang tekanan darah tinggi jika berolahraga harus berhati-hati, jangan
melaksanakan dengan intensitas tinggi secara mendadak. Perlu disiapkan lebih dahulu
semua otot agar pembuluh-pembuluh darah di seluruh tubuh sudah melebar. Jika pembuluh
belum siap, sedangkan jantung memompa dengan kuat sangat dimungkinkan adanya
kenaikan tekanan yang cukup tinggi. Oleh karena itu jangan mengangkat beban yang sangat
berat secara mendadak.
Percobaan kedua yakni mengukur tekanan darah sebelum dan sesudah dikompres es
batu sema 5 menit. Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suhu terhadap
tekanan darah sistole dan diastole. Alat dan bahan yang digunakan yaitu stetoskop,
tensimeter, stopwatch, dan es batu. Adapun langkah kerja yang dilakukan oleh praktikan
yaitu pada kegiatan kedua yaitu membandingkan tekanan darah pada saat sebelum dan
sesudah dikompres es. Diperoleh hasil rata-rata tekanan darah sebelum dikompres yaitu 108
untuk sistole, serta diastole menunjuk angka 80. Sedangkan setelah dikompres es selama 5
menit tekanan darah sistole dan diastole secara berurutan adalah 97 dan 77. Berdasarkan
hasil, percobaan didapatkan bahwa dalam tekanan sistole maupun diastole dalam keadaan
dikompres es rata-ratanya menjadi lebih rendah dari keadaan normal.
Hal ini telah sejalan dengan hasil penelitian Dewi (2011), yang menjelaskan bahwa pada
lingkungan kerja panas, tubuh mengatur suhunya dengan penguapan keringat yang
dipercepat dengan pelebaran (vasodilatasi) pembuluh darah tepi yang disertai meningkatnya
denyut nadi dan tekanan darah. Faktor penyebab tekanan darah meningkat antara lain
olahraga, umur, jenis kelamin, emosi, stres, obesitas, konsumsi alkohol, merokok,
kebisingan, masa kerja, lama paparan panas serta beban kerja,sehingga beban kardiovaskuler
bertambah dan curah jantung meningkat. Maka hal tersebut terjadi sebaliknya jika suhu
lingkungan menurun yakni terjadi vasokontraksi pembuluh darah serta tekanan darah
menurun.
Percobaan ketiga yakni mengukur tekanan darah saat duduk dan berbaring. Dari hasil
percobaan pengukuran tekanan darah pada posisi duduk dan berbaring pada 5 orang
menunjukkan rata2 sistol maupun diastole mengalami peningkatan dari posisi berbaring ke
posisi duduk . Adapun rata-rata tekanan sistol saat berbaring adalah 118 mmHg meningkat
pada posisi duduk yakni 112 mmHg. Selain itu, rata-rata tekanan darah diastole pada posisi

7
berbaring yakni 68 mmHg menjadi meningkat pada posisi duduk yakni 78 mmHg. Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian Julianto, dkk (2020) yang menjelaskan bahwa pada posisi
duduk TDS dan TDD dapat lebih tinggi dibandingkan dengan berbaring dan berdiri,
mengingat pada posisi ini pengembalian darah ke jantung menjadi menurun, namun disatu
sisi afterload bisa menjadi lebih meningkat dikarenakan kemungkinan adanya aterosklerosis
pada aorta dan arteri serta adanya tahanan pada arteri femoralis karena posisi duduk. Pada
posisi berdiri walaupun pengambalian darah vena juga kemungkinanya akan lebih rendah
karena adanya gaya grafitasi bumi, namun dengan adanya gaya grafitasi bumi ini
memudahkan jantung untuk memompakan darah lebih mudah sehingga TDS dan TDD lebih
menurun. Ketika seseorang berbaring, maka jantung akan berdetak lebih sedikit
dibandingkan saat sedang duduk maupun berdiri. Hal ini disebabkan saat orang berbaring ,
maka efek gravitasi pada tubuh akan berkurang yang membuat lebih banyak darah mengalir
kembali ke jantung melalui pembuluh darah. Jika darah yang kembali ke jantung lebih
banyak, maka tubuh mampu memompa lebih banyak setiap denyutnya. Hal ini berarti
denyut jantung yang diperlukan per menitnya untuk memenuhi kebutuhan darah, oksigen
dan nutrisi akan menjadi lebih sedikit dan cardiac out put menurun. Cardiac output yang
menurun menyebabkan tekanan darah menurun. Pendapat ini didasari pada teori konsep
tentang fisiologi tekanan.

G. Kesimpulan
1. Tekanan darah sistolik maupun diastolik sebelum dan sesudah melakukan aktivitas lari
berbeda bermakna dimana terjadi peningkatan tekanan darah sistolik maupun diastolic
setelah melakukan aktivitas lari.
2. Tekanan darah systole dan diastole akan turun pada suhu yang rendah karena saat tubuh
manusia berada pada temperature yang relatif rendah, pembuluh-pembuluh darah akan
menyempit (vasokonstriksi), terutama pembuluh darah perifer. Tujuan vasokonstriksi
tersebut adalah untuk menjaga panas tubuh agar tidak keluar. Yang ditandai juga dengan
turunnya tekanan darah sistol dan diastol.

8
3. tekanan darah sistolik maupun diastolic antara posisi duduk dan posisi berbaring berbeda
bermakna dimana terjadi peningkatan tekanan darah sistolik maupun diastolik dari posisi
berbaring ke posisi duduk.

DAFTAR PUSTAKA

Albustomi, Y., W, D. A., Studi, P., Masyarakat, K., Masyarakat, F. K., & Airlangga, U. (2017).
JPH RECODE Vol. 1 No. 1 (2017). 1(1), 22–29.
Hull, A. 1996. Penyakit Jantung Hipertensi dan Nutrisi. Bumiaksara. Jakarta
Kumaat, N. A. (n.d.). Kata Kunci : Senam Aerobik , Tekanan Darah. 51–58.
Moerdowa. 1984. Masalah Hipertensi. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. h. 8-9, 65, 75-76.
Pearce Evelyn C. 2002. Anatomi Fisiologi Paramedis. Penerbit Gramedia: Jakarta.
Rumampuk, J. (2015). Pengaruh posisi duduk dan berdiri terhadap tekanan darah sistolik dan
diastolik pada pegawai negeri sipilkabupaten minahasa utara 2. 3.
Setiawan R, Sari F. Fisiologi Kardiovaskular. Jakarta: EGC, 2010; p. 26-35.
Shadien, M. 2012. Mengenal Penyakit Hipertensi, Diabetes, Stroke, dan Serangan Jantung:
Pencegahan dan Pengobatan Alternatif. Jakarta. Keens Books.
Sherwood L. Pembuluh Darah dan Tekanan Darah. Dalam: Yesdelita N, Editor. Fisiologi
Manusia dari sel ke sistem. Edisi ke-6. Jakarta: EGC, 2011.
Julianto, A., & Yudono, D. D. T. (2020). Analisis Perbedaan Hasil Pengukuran Tekanan Darah
Pasien Hipertensi Pada Posisi Duduk, Berdiri dan Berbaring: Analysis of Differences in
Blood Pressure Measurement Results for Hypertension Patients in Sitting, Standing and
Supine. Profesi (Profesional Islam): Media Publikasi Penelitian, 18(1), 15-21.
Manansang, G. R., Rumampuk, J. F., & Moningka, M. E. (2018). Perbandingan tekanan darah
sebelum dan sesudah olahraga angkat berat. eBiomedik, 6(2).
Dewi.2011. Hubungan Tekanan Panas dengan Tekanan Darah pada Karyawan Farmasi. Lporan
Khusus.UNS: Surakarta.

9
PRAKTIKUM II
PENGARUH TEKANAN OSMOTIK

A. Dasar Teori
Darah adalah suatu jaringan tubuh yang terdapat di dalam pembuluh darah yang
warnannya merah. Warna merah itu keadaannya tidak tetap tergantung pada banyaknya kadar
oksigen dan karbondioksida didalamnya. Darah yang banyak mengandung karbon diogsida
warnanya merah tua. Adanya oksigen dalam darah di ambil dengan cara bernapas, dan zat
tersebut sangat berguna pada peristiwa pembakaran/ metabolisme di dalam tubuh.

Darah adalah cairan yang tersusun atas plasma cair (55%), yang komponen utamanya
adalah air, dan sel-sel yang mengambang di dalamnya (45%). Plasma kaya akan protein-protein
terlarut lipid, dan karbohidrat. Limfe sangat mirip dengan plasma, hanya saja kosentrasinya
sedikit lebih rendah total tubuh darah sendiri merupakan satu per dua belas berat tubuh, dan pada
manusia umumnya volume darah adalah kurang dari lima liter (George, 1999).

Darah adalah jaringan hidup yang bersirkulasi mengelilingi seluruh tubuh dengan perantara
jaringan arteri, vena dan kapilaris, yang membawa nutrisi, oksigen, antibodi, panas, elektrolit dan
vitamin ke jaringan seluruh tubuh. Darah manusia terdiri atas plasma darah, globulus lemak,
substansi kimia (karbohidrat, protein dan hormon), dan gas (oksigen, nitrogen dan karbon
dioksida). Sedangkan plasma darah terdiri atas eritrosit (sel darah merah), leukosit (sel darah
putih) dan trombosit (platelet) (Watson, 2002).

Menurut Djukri dan Heru (2015), cairan tubuh hakekatnya merupakan pelarut zat-zat yang
terdapat dalam tubuh, dengan demikian mengandung berbagai macam zat yang diperlukan oleh
sel dan sisa-sisa metabolisme yang dibuang oleh sel. Selain itu, cairan tubuh juga pemberi
suasana pada sel, sebagai contoh kehangatan (suhu), kekentalan (viskositas), dan keasaman (pH)
yang dipengaruhi oleh faktor-faktor fisik maupun kimiawi dari dalam dan luar tubuh. Zat-zat
yang diperlukan sel antara lain:

1. Oksigen untuk pembakaran dan menghasilkan energi ensimatis.


2. Makanan dalam bentuk sari-sari makanan (glukosa, asam lemak, dan asam amino) untuk
membentuk energi, dinding sel, dan sintesa protein.
3. Vitamin

10
4. Mineral sebagai katalisator proses ensimatis.
5. Air untuk pelarut dan media proses kimiawi dalam sel.
Zat-zat yang dihasilkan oleh sel anatara lain:

1. Karbon dioksida dari proses pembakaran.


2. Protein dari sintesis di ribosoma.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi cairan interseluler antara lain:
1. Suhu,
2. Derajat keasaman (pH), dan
3. Kekentalan (viskositas) cairan.
Bila sel dimasukkan kedalam suatu larutan tanpa menyebabkan sel membengkak atau
mengkerut disebut larutan isotonis, oleh karena tidak terjadi perubahan osmosis, yang terjadi
hanyalah meningkatnya volume cairan ekstrasel. Larutan NaCl 0,9% atau dextrose 5%
merupakan contoh larutan isotonis. Larutan isotonis mempunyai arti klinik yang penting karena
dapat diinfuskan kedalam darah tanpa menimbulkan gangguan keseimbangan osmosis antara
cairan ekstrasel dan intrasel (Siregar, 1995).

Cairan yang memiliki kekentalan atau konsentarasi sama dengan cairan dalam sel disebut
isotonis (osmotic equilibrium), lebih tinggi daripada dalam sel disebut hipertonis, dan lebih
rendah daripada sel disebut hiipotonis. Cairan hipertonis akan menarik air secara osmosis dari
sitoplasma eritrosit ke luar sehingga eritrosit akan mengalami penyusutan dan membran selnya
tampak berkerut-kerut atau yang disebut krenasi atau plasmolysis. Sebaliknya, cairan hipotonis
akan menyebabkan air berpindah ke dalam sitoplasma eritrosit sehingga eritrosit akan
menggembung (plasmoptysis) yang kemudian pecah (hemolisis) (Djukri dan Heru, 2015)

Krenasi merupakan proses pengkerutan sel darah akibat


adanya larutan hipotonis dan hipertonis. Faktor penyebab
krenasi yaitu adanya peristiwa osmosis yang
menyebabkan adanya pergerakan air dalam sel sehingga
ukuran sel menjadi berkurang atau mengecil. Proses yang
sama juga terjadi pada tumbuhan yaitu plasmolisis
dimana sel tumbuhan juga mengecil karena dimasukkan
dalam larutan hipertonik. Krenasi ini dapat

11
dikembalikkan dengan cara menambahkan cairan isotonis ke dalam medium luar eritrosit
(Watson, 2002).

Menurut Lakitan (2001), faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan osmotik larutan


adalah:

a. Konsentrasi: peningkatan konsentrasi larutan mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan


osmosis.

b. Ionisasi molekul terlarut: tekanan osmosis.

c. Hidrasi molekul terlarut: air yang berikatan dengan molekul terlarut disebut hidrasi air.
Hidrasi air dapat meningkatkan tekanan osmosis.

d. Temperatur: tekanan osmosis meningkat seiring denganpeningkatan temperatur.

Mekanisme mengembang dan mengkerut sel saat sel dalam larutan diakibatkan karena
aliran air keluar dari vakuola tengah. Vakuola tengah akan mengkerut dan protoplasma serta
dinding sel yang menempel juga akan keluar bersama vakuola itu, jika penurunannya terlalu
besar maka protoplasma akan terlepas dari dinding sel waktu mengkerut itulah protoplasma akan
mengalami serangkaian bentuk tidak beraturan, akhirnya berbentuk membulat yang dianggap
terpengaruh oleh gaya permukaan. Jika telah terlepas dari pengaruh tegangan, dinding sel tidak
lagi mengkerut bersama protoplasma sebab dinding sel lebih kaku sifatnya. Ruang yang
terbentuk antara dinding sel dan protoplasma yang mengkerut akan terisi oleh larutan yang
masuk dengan lebar melalui dinding yang permeabel.

Potensial osmotik mempunyai pengertian yaitu zat cair dalam vakuola dan bagian-bagian
sel lainnya yang mengandung zat-zat terlarut di dalamnya, artinya zat cair tersebut adalah suatu
larutan dan potensial airnya (seandainya dikeluarkan dari sel adalah potensial larutan atau
potensial osmotik yang nilainya lebih rendah daripada potensial air murni.sedangkan potensial
tekanan yaitu keadaan dinding sel yang cukup mengandung air memberikan tekanan pada isi sel
yang arahnya ke luar sel. Akibatnya di dalam sel timbul tekanan hidrostatik yang arahnya ke luar
sel. Tekanan hidrostatik yang arahya keluar sel disebut turgor. Sementara plasmolisis yaitu
peristiwa keluarnya isi sel ke lingkungan akibat meningkatnya konsentrasi zat terlarut di
lingkungan. Semakin besar konsentrasi larutan maka akan semakin banyak sel yang mengalami

12
plasmolisis. Faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan osmosis anatara lain konsentrasi, ionisasi
molekul, hidrasi, dan temperatur.

B. Tujuan
B.1. Tujuan Kegiatan
1. Unutk mengetahui kecepatan hemolisis dan krenasi eritrosit pada berbagai konsentrasi
larutan.
2. Untuk mengetahui persentase hemolisis eritrosit pada berbagai konsentrasi larutan.
B.2. Tujuan Khusus
1. Mahasiswa dapat melakukan cara penentuan kecepatan hemolisis dan krenasi
eritrosit pada berbagai konsentrasi larutan.
2. Mahasiswa dapat menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi persentase
hemolisis eritrosit pada berbagai konsentrasi larutan.
C. METODE PRAKTIKUM
C.1 Jenis kegiatan : Observasi
C.2 Objek pengamatan : Sel darah merah manusia
C.3 Bahan dan Alat :
a) Mikroskop cahaya
b) Stopwatch
c) Kaca benda dengan cekungan dan gelas penutup (Cover Glass),
d) Pipet pasteur
e) Garam fisiologis 3%, 0,9 %, 0,7 %, 0,5 %
f) Vaselin album,
g) Antikoagulan (Heparin atau Kalium Oksalat)
h) Darah perifer (probandus)

13
C.1. Cara kerja

Darah Perifer yang berada di ujung jari manis diambil sesuai SOP

1 tetes darah di teteskan pada sebuah cekungan kaca objek

kan dan diamati


NaCldi bawah
0,9% sebanyak
mikroskop
1 tetes
sertaditambahkan
diukur berapadan
banyak
diamati
waktu
di bawah
yang dibutuhkan
mikroskop serta
oleh eritrosit
diukur berapa
tersebut
banyak
mulaiwaktu
terjadiyang
hemolisis
dibutuhkan

kan dan diamati


NaCl
di bawah
3% sebanyak
mikroskop
1 tetes
sertaditambahkan
diukur berapa
danbanyak
diamati
waktu
di bawah
yangmikroskop
dibutuhkanserta
olehdiukur
eritrosit
berapa
tersebut
banyak
mulaiwaktu
terjadi
yang
hemolisis
dibutuhkan

Data dicatat

Data dibahas

Data disimpulkan

14
D. Hasil dan Diskusi
D.1. Hasil
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan oleh Sofyan Dwi Nugroho (2017)
diperoleh hasil pengamatan pengaruh tekanan osmotik terhadap membran eritrosit
yaitu:

Waktu Hemolisis / Krenasi (menit)


Larutan Kel 1 Kel 2 Kel 3 Kel 4 Kel 5 Kel 6
No
NaCl (SDN & (ANS & (EKA & (PRM & (CLR & (ERW &
GSW) LWH) ERW) EKO) OVI) LMP)
1. 0,5 % 8.40 16:35 10.51 12:03 16:15 15:07
6.45 15:40 11.57 11:20 13:17 15:12
(H) (H) (H) (H) (H) (H)
2. 0,7 % 9.40 13:06 3.28 13:15 14:20 12:05
7.20 12:27 2.33 13:20 11:04 14:36
(H) (H) (H) (H) (H) (H)

3. 0,9 % 6.35 9:35 2.20 8:40 6:10 11.15


5.40 8.55 3.10 9:01 6:26 14.21
(K) (K) (K) (K) (K) (K)

4. 3,0 % 5.30 5:58 3.25 5:30 4:30 10:23


3.23 4:45 2.57 4.00 2:00 10.09
(K) (K) (K) (K) (K) (K)
Ket: H = terjadi hemolysis; K = terjadi krenasi

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa eritrosit mengalami hemolysis pada


konsentrasi larutan NaCl 0,5% dan 0,7%, sedangkan eritrosit yang mengalami
krenasi terjadi pada konsentrasi larutan NaCl 0,9% dan 3,0%.

D.2. Diskusi
Ada dua tujuan utama dalam praktikum pengaruh tekanan osmotic terhadap
membran eritrosit, antara lain mengetahui kecepatan hemolisis dan krenasi eritrosit
pada berbagai larutan dan mengetahui faktor yang mempengaruhi kecepatan
hemolisis dan krenasi eritrosit. Untuk menjawab tujuan tersebut dilakukan praktikum
dan hasilnya dapat dilihat pada hasil tabel eksperimen. Hasil yang ditampilkan dalam
tabel merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh praktikan yang bernama

15
Sofyan Dwi Nugroho (2017)
Larutan yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah NaCl dengan
konsentrasi yang digunakan terdiri dari 0,5%, 0,7%, 0,9%, dan 3%. Setelah dicampur
dengan sampel darah diketahui bahwa larutan yang dapat membuat kondisi hemolisis
adalah larutan yang berkonsentrasi 0,5% dan 0,7%. Tanda-tanda yang muncul adalah
eritrosit terlihat menggembang atau bengkak. Larutan NaCl yang mampu membuat
kondisi eritrosit mengalami peristiwa krenasi adalah larutan yang berkonsentrasi
0,9% dan 3%. Ciri-ciri yang nampak pada peristiwa tersebut yatu eritrosit terlihat
mengecil dan mengkerut,
Secara teori peristiwa hemolisis terjadi ketika ada suatu larutan yang bersifat
hipotonik atau lebih encer dari pada eritrosit dan larutan tersebut akan ditarik oleh
sitoplasma eritrosit sehingga akan masuk kedalam eritrosit dan pada akhirnya akan
terlihat peristiwa mengembangnya eritrosit tersebut hal ini terbukti dari penglihatan
melalui mikroskop yang digunakan. Lain halnya pada peristiwa krenasi. Peristiwa ini
terjadi ketika ada suatu larutan yang memilki konsentrasi lebih pekat atau hipertonik
yang memuat sitoplasma eritrosit menuju ke larutan tersebut atau sederhananya
eritrosit ditarik keluar sehingga selnya kehilangan air yang mengakibatkan sel
tersebut terlihat mengkerut. faktor lain yang berpengaruh besar pada praktikum ini
adalah tingkat fokus yang digunakan dalam penggunaan mikroskop. Jika dalam
penggunaan mikroskop ini mengalami kesulitan maka secara tidak langsung akan
membuat praktikan dalam mencatat waktu pengukuran juga terhambat.
kecepatan terjadinya hemolisis dan krenasi dapat diidentifikasi melalui
penggunaan NaCl yang beragam. Keberagamaan larutan yang digunakan
mengakibatkan waktu terjadinya krenasi dan hemolisis juga beragam. Ketika larutan
yang digunakan adalah 0,5% dan 0,7% dapat diketahui bahwa secara umumnya
nilainya diatas 10 menit namun ada beberapa sampel darah yang hasil
pengukurannya dibawah 10 menit. Faktor yang mengakibatkan perbedaan nilai
waktu di bawah 10 menit ini diantaranya kurang telitinya praktikan dalam
menggunakan alat ukur waktu yaitu stopwatch dan nilai suhu pada setiap sampel
yang belum dilakukan identifikasi. Kecepatan terjadinya krenasi sendiri dengan
menggunakan konsentrasi larutan 0,9% dan 3% dapat diketahui secara umumnya

16
nilai waktu yang dibutuhkan antara 2-3 menit namun ada sampel darah yang nilainya
lebih dari 10 menit. Faktor yang dapat mengakibatkan nilai waktu sampai 10 menit
adalah ketidak telitian peraktikan dan tidak dilakukan identifikasi terhadap suhu
sampel orang yang diambil darahnya. Dari peristiwa krenasi dan hemolisis ini dapat
dinyatakan bahwa semakin encernya suatu larutan yang berada di luar sitoplasma
eritrosit maka akan mengakibatkan terjadinya hemolisi sedangkan semakin pekatnya
larutan yang berada diluar sitoplasma eritrosit akan mengakibatkan peristiwa krenasi.

E. Kesimpulan
1. Eritrosit mengalami hemolysis pada larutan hipotonis NaCl 0,5% dan 0,7%, yang
ditandai dengan membesarnya sel dan mengalami krenasi pada larutan hipertonis NaCl
0,9% dan 3% yang ditandai dengan mengkecil dan mengkerutnya membrane sel.
2. Kecepatan hemolysis dan krenasi dipengaruhi oleh kepekatan (konsenterasi) cairan di
luar sel. Faktor lain yang mempengaruhi yaitu , ionisasi molekul, hidrasi, usia sel dan
temperature.
3. Sel darah merah mempunyai batas toleransi tersendiri terhadap keadaan lingkungan
luarnya.
F. Daftar Pustaka
Djukri dan Heru N. 2015. Petunjuk Praktikum Biologi Lanjut. Yogyakarta: PPs UNY.
George, F. 1999. Schaum's Outline of Theory and Problems og Biology. Jakarta: Airlangga
Lakitan, B. 2001. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Nugroho, Sofyan Dwi. 2017. Laporan Resmi Praktikum Biologi: Pengaruh Tekanan Osmotik
Terhadap Membran Eritrosit. Yogyakarta.
Watson, Roger. 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk Perawat Edisi 10. Jakarta : EGC Buku
Kedokteran.
Siregar. 1995. Neuro Fisiologi edisi kelima. Bagian ilmu faal. Fakultas Kedokteran.
Universitas Hasanuddin. Makassar.

17
PRAKTIKUM III
MEREKAM GERAKAN MATA SAAT MEMBACA

A. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Merekam refleks gerakan mata saat membaca dengan menggunakan alat perekam
elektro- okulograph (EOG).

B. DASAR TEORI
Mata berperan sebagai organ sensori yang menangkap informasi visual dari
lingkungan sekitar yang selanjutnya akan diproses ke pusat penglihatan di otak. Gerakan
bola mata yang terkoordinasi dengan baik berperan penting bagi tercapainya fungsi
penglihatan ini, yaitu mengatur agar bayangan objek dapat jatuh di retina sehingga
terbentuk persepsi visual yang akurat. Gerakan bola mata dapat terjadi melalui aktivitas
dari otot ekstraokular yang memainkan peran masingmasing untuk memposisikan bola
mata ke suatu arah tertentu. Otot-otot ekstraokular mendapatkan inervasi dari tiga nervus
kranial, yaitu nervus okulomotor, troklear, dan abdusens. Neuron motorik dari ketiga
nervus kranial ini memberikan impuls saraf kepada serabut otot ekstraokular, sehingga
terjadi potensial aksi dan depolarisasi yang menyebabkan kontraksi dari otot ekstraokular.
Hasil akhir dari kontraksi otot ekstraokular ini adalah gerakan bola mata ke suatu arah
tertentu (Halim & Kuntorini, 2018).
Pada dasarnya, gerakan mata merupakan gerak refleks. Gerak refleks adalah gerak
yang dihasilkan oleh jalur saraf yang paling sederhana. Jalur saraf ini dibentuk oleh
sekuen neuron sensor, interneuron, dan neuronmotor, yang mengalirkan impuls saraf
untuk tipe reflek tertentu. Gerak refleks yang paling sederhana hanya memerlukan dua
tipe sel saraf yaitu neuron sensor dan neuron motor. Gerak refleks berjalan sangat cepat
dan tanggapan terjadi secara otomatis terhadap rangsangan, tanpa memerlukan kontrol
dari otak (Wulandari, 2012).
Gerakan bola mata dapat direkam dengan alat perekam elektro-okulagraph
(EOG). Sinyal EOG mengukur perubahan potensial listrik dari kornea (memiliki muatan
positif) terhadap retina (bermuatan negatif). Elektroda horizontal diletakkan di dekat
bagian luar canthi (temporal canthus) dan elektroda vertikal diletakkan 1 cm di bawah
mata dan 1 cm di atas mata. Selama pada pergerakan mata, kornea akan bergerak menuju
salah satu elektroda, sementara retina akan menjauh (Malhotra & Avidan, 2014). Saat
membaca kata yang sulit akan menghasilkan fiksasi yang lebih lama, menunjukkan
bahwa proses kognitif telah terjadi. Adapun kemampuan membaca orang dewasa adalah
300 kata per menit atau 0.2 detik per kata (Land, 2006).

18
Sumber: Marmor et al., 2011

C. METODE PRAKTIKUM
1. Alat dan Bahan
 Elektro-okulograph (EOG)
 Elektroda perekam
 Gel elektroda
 Kapas
 Alkohol
 Teks bacaan dalam bahasa Indonesia dan Inggris
2. Cara Kerja
 Mengatur kepekaan rekam EOG 0,15 mV/cm.
 Mengatur kecepatan rekam 25 mm/detik.
 Mengatur frekuensi rekam 0-30 Hz.
 Membersihkan kulit kepala di bagian canthus lateralis dengan kapas yang telah
ditetesi alkohol.
 Memasang elektrode perekan pada canthus lateralis nata kanan, mata kiri dan
tengah dahi.
 Membaca bacaan dalam bahasa Indonesia dan Inggris.
 Menganalisis hasil rekaman gerakan mata saat membaca.

19
D. HASIL PRAKTIKUM
Jumlah Fiksasi Durasi (detik/baris)
No Nama Bahasa Bahasa Bahasa Bahasa
Inonesia Inggris Inonesia Inggris
1 Noviana Hapsari 60 61 2.01 2.4
2 Ana Arifatul U. 48 36 1.8 2.36
3 M. Hasbi Ash. 72 61 2.4 3.1
4 Opik Prasetyo 79 76 2.34 2.2
5 Anna Astuti 44 32 1.3 1.5
6 M. Reza Pahlevi 56 43 2.8 2.25
7 Fatharani Yurian W. 54 45 1.94 2.2
8 Kurnia Imalasari 63 51 3.3 3.04
9 Dita Imanasita W. 59 58 1.74 1.71
10 Agustina Budi I. 139 78 2.77 3.44
11 Marbelisa B. 40 45 1.5 1.8
12 Fatma Ismawati 53 37 1.54 1.8
13 Andi Joko P. 50 38 1.57 2.1
14 Citra Ayuliasari 100 67 1.65 1.45
15 Hening T.R. 72 67 2.11 2.68
16 Asri F. 61 52 2.7 3.6
17 Sari Trisnaningsih 67 32 2.4 2.5
18 Shintya Galuh N.S. 53 44 1.8 1.9
19 Ayu Dien I. 75 88 1.8 2.44
Rata-rata 67 53 2.1 2.3

E. PEMBAHASAN
Praktikum ini bertujuan untuk merekam refleks gerakan mata saat membaca dengan
menggunakan alat perekam elektro-okulograph (EOG). Alat dan bahan yang dibutuhkan
antara lain elektro-okulograph (EOG), elektroda perekam, gel elektroda, kapas, alkohol, dan
teks bacaan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Prosedur kerja yang dilakukan antara lain mengatur kepekaan rekam EOG 0,15
mV/cm kemudian engatur kepekaan rekam EOG 0,15 mV/cm dan frekuensi rekam 0-30
Hz. embersihkan kulit kepala di bagian canthus lateralis dengan kapas yang telah ditetesi
alkohol lalu memasang elektrode perekan pada canthus lateralis nata kanan, mata kiri dan
tengah dahi. Membaca bacaan dalam bahasa Indonesia dan Inggris kemudian menganalisis
hasil rekaman gerakan mata saat membaca.
Hasil yang diperoleh dari 19 orang yang melakukan kegiatan merekam gerak mata
yaitu rata-rata jumlah fiksasi saat membaca teks berbahasa Indonesia yaitu 67 dan untuk
teks berbahasa Inggris diperoleh rata-rata jumlah fiksasi yaitu 53. Kemudian dari

20
penghitungan waktu/durasi saat membaca yaitu untuk teks berbahasa Indonesia rata-rata 2.1
detik per baris dan untuk teks berbahasa Inggris rata-rata 2.3 detik per baris. Dari data yang
diperoleh dalam tabel, seseorang yang memiliki jumlah fiksasi yang kecil cenderung
memiliki tingkat konsentrasi yang tinggi serta waktu/durasi yang cepat saat membaca.
Mata sebagai indera penglihatan dapat bergerak ke segala arah dalam orbitnya untuk
memperluas medan penglihatan. Gerakan mata tersebut sering disebut dengan gerakan mata
berputar (sirkuler) namun dalam praktiknya gerakan mata tersebut dibagi dalam gerakan
mata secara horisontal dan vertikal. Dalam keadaan normal, kedua bola mata (kanan dan
kiri) selalu bergerak searah atau disebut gerakan mata konjugatif. Oleh karena itu, untuk
merekam gerakan bola mata cukup dilakukan perekaman satu bola mata saja. Penempatan
elektrode perekam untuk merekam ferakan mata horisontal, pada kedua canthus temporal,
sedangkan untuk gerakan vertikal di atas dan dibawah mata.
Gerakan bola mata dapat direkam karena bola mata merupakan suatu dipollistrik yang
dapat bergerak. Hal ini disebabkan anatara kornea dan retina terdapat beda potensial yang
tetap (steady). Kornea bermuatan positif terhadap retina dan beda potensial ini akan tetap
meskipun bola mata dikeluarkan (eksisi) dari kantung mata.
Dengan menempatkan dua elektroda pada garis yang tegak lurus pada sumbu kornea-
retina, maka potensial kornea-retina ini akan menimbulkan fluktuasi potensial yang sesuai
dengan gerakan bola mata. Disebabkan karena kornea atau retina, yang berbeda polaritas
muatannya akan mendekati atau menjauhi kedua elektrode tersebut sesuai dengan gerakan
bola mata. Fluktuasi potensial yang timbul pada kedua elektrode pengukur tersebut dapat
direkam secara elektro-fisiologik. Hingga dapat dikatakan bahwa elektro-okulografi adalah
merubah kualitas gerakan bola mata menjadi kuantitas beda potensial yang direkam pada
koordinat cartesian.

F. KESIMPULAN
1. Rata-rata jumlah fiksasi saat membaca teks berbahasa Indonesia yaitu 67 dan untuk
teks berbahasa Inggris diperoleh rata-rata jumlah fiksasi yaitu 53.
2. Waktu/durasi saat membaca yaitu untuk teks berbahasa Indonesia rata-rata 2.1 detik
per baris dan untuk teks berbahasa Inggris rata-rata 2.3 detik per baris.
3. Lengkung refleks (reflex arc) merupakan unit fungsional tersederhana dari fungsi

21
sistem nervosum. Lengkung refleks terdiri atas beberapa komponen yaitu reseptor,
neuron sensoris, neuron motoris, dan afektor (otot).

DAFTAR PUSTAKA

Campbell, Neil A., Reece, J.B., & Mitchell, L.G. 2000. Biologi, Edisi Kelima Jilid Tiga. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Halim, A. L., & Kuntorini, M. S. W. (2018). Fisiologi Gerak Bola Mata. Departemen Ilmu
Kesehatan Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran.
Land, M. F. (2006). Eye movements and the control of actions in everyday life. Progress in
Retinal and Eye Research, 25(3), 296–324. https://doi.org/10.1016/j.preteyeres.2006.01.002
Malhotra, R. K., & Avidan, A. Y. (2014). Sleep Stages and Scoring Technique. In Atlas of Sleep
Medicine (Second Edition). Elsevier. https://doi.org/10.1016/b978-1-4557-1267-0.00003-5
Marmor, M. F., Brigell, M. G., McCulloch, D. L., Westall, C. A., & Bach, M. (2011). ISCEV
standard for clinical electro-oculography (2010 update). Documenta Ophthalmologica,
122(1), 1–7. https://doi.org/10.1007/s10633-011-9259-0
Nurcahyo, Heru dan Harjana, Tri. 2013. Petunjuk Praktikum Fisiologi Hewan. Yogyakarta :
FMIPA UNY.
Wulandari, I. P. (2012). Pembuatan Alat Ukur Kecepatan Respon Manusia Berbasis
Mikrokontroller At 89S8252. Jurnal Neutrino, 1(2), 208–219.
https://doi.org/10.18860/neu.v0i0.1630

22
PRAKTIKUM IV
PENGARUH SUHU LINGKUNGAN TERHADAP SUHU TUBUH

A. Dasar Teori
Suhu tubuh adalah perbedaan antara jumlah panas yang dihasilkan tubuh dengan
jumlah panas yang hilang ke lingkungan luar. Mekanisme kontrol suhu pada manusia
menjaga suhu inti (suhu jaringan dalam) tetap konstan pada kondisi lingkungan dan aktifitas
fisik yang ekstrim, namun suhu permukaan berubah sesuai aliran darah kekulit dan jumlah
panas yang hilang kelingkungan luar. Suhu normal pada manusia berkisar dari 36-38°C
(96,6 sampai 100,7°F). Pada rentang ini jaringan dan sel tubuh akan berfungsi secara
optimal. Nilai suhu tubuh juga ditentukan oleh lokasi pengukuran, pengukuran suhu
bertujuan memperoleh nilai suhu jaringan dalam tubuh. Lokasi pengukuran untuk suhu inti
yaitu rectum,membrane timpani,arteri temporalis, arteri pulmonalis, esophagus dan kandung
kemih. Lokasi pengukuran suhu permukaan yaitu kulit, oral dan aksila (Potter & Perry,
2009).
Termoregulasi adalah pengaturan suhu tubuh yang bergantung kepada produksi panas
melalui metabolisme dan pelepasan panas tersebut ke lingkungan, atau suatu proses yang
terjadi pada hewan untuk mengatur suhu tubuhnya supaya tetap konstan, paling tidak, suhu
tubuhnya tidak mengalami perubahan yang terlalu besar (Isnaeni, 2006). Panas adalah
sebuah bentuk energi yang ditransmisikan dari suatu tubuh ke yang lainnya karena adanya
perbedaan suhu. Suhu mengacu pada kemampuan tubuh untuk menyerap panas. Energi
didefinisikan sebagai kapasitas untuk melakukan kerja. Energi yang dibutuhkan untuk
mendukung fungsi normal tubuh ternak seperti respirasi, pencernaandan metabolisme untuk
pertumbuhan dan produksi susu. Pada hewan yang lebih aktif, lebih banyak energi yang
dikeluarkan untuk mendukung aktivitasnya dan faktor ekstrinsik yang paling besar
mempengaruhi metabolisme adalah temperatur (Tyler & Ensminger, 2006). Dalam produksi
panas tubuh memperoleh panas sebagai akibat dari aktivitas metabolisme jaringan tubuh dan
dari lingkungan luar bila lingkungan luar itu lebih tinggi temperaturnya (lebih panas)
ketimbang temperatur tubuh.

23
Bentuk penyesuaian fisiologinya adalah bahwa panas yang dihasilkan oleh tubuh
akan meningkat dengan menurunnya temperatur luar. Sebaliknya, temperatur sekitar
(ambient temperature) yang tinggi akan menurunkan jumlah panas yang panas yang
dihasilkan oleh tubuh. Hal itu dapat dikaitkan melambatnya aktivitas metabolisme,
menurunnya luaran kerja, dan menurunnya tonus otot. Secara umum, mekanisme yang
berlangsung untuk menghasilkan panas meliputi peningkatan aktivitas metabolisme
jaringan, peningkatan aktivitas otot, dan produksi panas (thermogenesis) tanpa aktivitas
menggigil (Indrowati, 2012). Manusia tergolong organisme homeoterm karena suhu
tubuhnya relative tetap yakni berkisar antara 36,6o – 36,9oC. Ini adalah keadaan seimbang
dalam pengeluaran dan pembuatan panas tubuh. Metabolisme merupakan proses untuk
menghasilka panas. Metabolisme alat – alat tubuh meliputi: kerja otot jantung, pernapasan,
pencernaan dan kelenjar.
Ada dua mekanisme tubuh untuk keadaan dingin yaitu : pertama, secara fisik (prinsif-
prinsif ilmu alam) yaitu pengaturan atau reaksi yang terdiri dari perubahan sirkulasi dan
tegaknya bulu-bulu badan (piloerektion)-erector villi. Kedua, secara kimia yaitu terdiri dari
penambahan panas metabolisme. Faktor-faktor yang mempengaruhi suhu tubuh terdiri atas
variasi diurnal, kerja jasmani/ aktivitas fisik, jenis kelamin, dan lingkungan. Konsep core
temperature merupakan dua bagian pengaturan suhu yaitu bagian dalam pengaturan suhu
yang bagian dalam inti suhu tubuh, yang benar-benar mempunyai suhu rata-rata 37 derajat
celsius dengan diukur pada daerah (mulut, membran timpani, vagina, esophagus/Tr)
(Guyton, 2007).
Mekanisme fisiologis dan perilaku mengatur keseimbangan antar panas yang hilang
dan dihasilkan lebih sering disebut termoregulasi, mekanisme tubuh ini harus
mempertahankan hubungan antara produksi panas dan kehilangan panas agar suhu tubuh
tetap konstan dan normal. Hubungan ini diatur oleh mekanisme neurologis dan
kardiovaskuler. Suhu tubuh diatur oleh Hipotalamus yang terletak diantara dua hemisfer
otak. Fungsi hipotalamus adalah seperti thermostat, suhu yang nyaman merupakan set point
untuk operasi sistem panas. Penurunan suhu lingkungan akan mengaktifkan pemanas,
sedangkan peningkatan suhu tubuh akan mematikan sistem pemanas tersebut (Guyton,
2007).

24
Sistem pengatur suhu tubuh terdiri atas tiga bagian yaitu: reseptor yang terdapat pada
kulit dan bagian tubuh yang lainnya, integrator didalam hipotalamus, dan efektor sistem
yang mengatur produksi panas dengan kehilangan panas. Reseptor sensori paling banyak
terdapat pada kulit. Kulit mempunyai lebih banyak reseptor untuk dingin dan hangat
dibanding reseptor yang terdapat pada organ tubuh lain seperti lidah, saluran pernapasan,
maupun organ visera lainnya. Bila kulit menjadi dingin melebihi suhu tubuh, maka ada tiga
proses yang dilakukan untuk meningkatkan suhu tubuh. Ketiga proses tersebut yaitu
mengigil untuk meningkatkan produksi panas, berkeringat untukmenghalangi kehilangan
panas, dan vasokontraksi untuk menurunkan kehilangan panas (Asmadi, 2009). Suhu
ruangan juga sangat mempengarui penurunan suhu tubuh dan proses hilangnya panas pada
tubuh. Apabila ruangan/lingkungan yang panas maka proses radiasi dan konduksi menurun
serta evaporasi tidak terjadi sebab evaporasi sangat dipengaruhi oleh faktor kelembaban
udara. Apabila kelembaban udara meningkat maka evaporasi berkurang selain itu emosi
yang tinggi dan stress dapat mempengaruhi suhu tubuh stimulasi sistem saraf simpatis dapat
memproduksi epinephrin dan norepinephrin yang akan meningkatkan aktifitas metabolik
dan produksi panas (Potter & Perry, 2009).

B. Tujuan
B.1 Tujuan Kegiatan
1. Mahasiswa dapat melakukan pengukuran suhu tubuh homeoterm dan mengamati
pengaruh suhu lingkungan terhadap suhu tubuh manusia.

B.2. Kompetensi Khusus


1. Mahasiswa dapat melakukan pengukuran suhu tubuh homeoterm dan mengamati
pengaruh suhu lingkungan terhadap suhu tubuh manusia.

C. Metode Praktikum
1. Jenis Kegiatan : Observasi
2. Obyek Pengamatan : Probandus
3. Alat dan Bahan :
a. Termometer badan

25
b. Alat kompres air
c. Air hangat
d. Air es
e. Pengukur waktu (stopwatch)

D. Cara Kerja

Mengatur termometer sampai menunjukkan skala terendah, dengan cara


mengibas-ngibaskan termometer dengan hati-hati

Meletakkan termometer pada ketiak naracoba selama kurang lebih 3 menit,


kemudian mengamati skalanya dan mencatat suhunya

Menempelkan kompres air dingin selama lima menit pada leher (sekitar arteri
jugularis), kemudian ukur suhu tubuhnya seperti di atas dan amati setiap 1 menit

Mengulangi langkah di atas dengan mengganti kompres air hangat.

Mencatat apakah ada perbedaan suhu tubuh naracoba


pada sebelum dan sesudah perlakuan

E. Hasil Praktikum

Suhu Tubuh (oC)


No Nama
Normal Paparan air dingin (oC) Paparan Air Hangat (oC)

26
Menit ke- Menit ke-
(oC) I II III IV V I II III IV V
1 Evi 37 37 37 37 37 37 37 37 37 37 37
37,
2 Nindi 37,2 37,2 37,2 37,2 37,2 37,2 37,2 37,2 37,2 37,2
2
3 Arum 37 37 37 37 37 37 37 37 37 37 37
36,
4 Nova 36,9 36 36,2 36,3 36,4 36,1 36,1 36,2 36,4 36,4
1
36,
5 Ninda 36,7 35,9 36,3 36,35 36,4 35,7 35,9 36,1 36,15 36,2
2
36,
6 Lina 36,4 36,2 36,2 36,3 36,3 36,3 36,4 36,4 36,5 36,5
3

F. Pembahasan
Praktikum yang berjudul “Pengaruh Suhu Lingkungan terhadap Suhu Tubuh” bertujuan
untuk melakukan pengukuran suhu tubuh homeoterm dan mengamati pengaruh suhu
lingkungan terhadap suhu tubuh manusia. Pada praktikum kali ini praktikan tidak dapat
melakukannya secara langsung karena terkendala pandemi Covid-19 sehingga dilarang
berpergian ke kampus maupun ke laboratorium. Untuk itu, hasil dari praktikum ini
merupakan data sekunder, yaitu berasal dari praktikum yang dilakukan oleh Pangesti, dkk
(2018) dan Septiyani, dkk (2016).
Peralatan yang dibutuhkan antara lain termometer badan (berfungsi ntuk mengukur
suhu tubuh praktikan air es dan air panas yang berperan sebagai lingkungan dingin dan
panas, gelas labu (berfungsi sebagai wadah air dan sebagai alat kompres), serta pengukur
waktu (digunakan untuk menghitung waktu saat praktikum). Praktikum ini dilakukan dengan
cara menguji perbedaan suhu tubuh subyek praktikum saat bagian belakang kepala dikenai
air hangat dan air dingin atau es. Langkah praktikum yang dilakukan pertama kali adalah
mengukur suhu tubuh awal praktikan. Pengukuran suhu tubuh ini dilakukan dengan cara
menempelkan termometer pada salah satu ketiak selama 3 menit. Sebelumnya, praktikan
harus mengibas-kibaskan termometer agar skala yang tertunjuk pada termometer adalah
angka yang terendah. Hal tersebut menghindarkan dari adanya kesenjangan antara suhu awal
27
termometer dengan suhu saat pengkuran berlangsung. Langkah selanjutnya adalah
menyiapkan air dingin sebagai kompres dengan cara menuangkan air es pada gelas labu lalu
menutupnya. Kemudian menempelkan gelas labu yang berisi air es pada leher bagian sekitar
arteri jugularis, yaitu pada bagian yang berdetak saat ditekan dengan jari. Menempelkan
gelas labu yang berisi air es pada leher dilakukan sekitar 5 menit. Setelah itu mengukur suhu
tubuh lagi dengan menggunakan termometer badan yang ditempelkan pada ketiak.
Pengukuran suhu tubuh dilakukan selama 5 menit, dan mengecek suhunya satu menit sekali.
Setelah perlakuan dengan air es selesai, praktikan mengulangi langkah percobaan tetapi
mengganti air es dengan air panas. Selain itu juga praktikan mengulangi percobaan dengan
naracoba yang lain agar data hasil yang didapatkan bisa dibandingkan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan mendapatkan hasil bahwa 3 dari 6 subyek
praktikum memiliki suhu yang konstan (tidak berubah\0 ketika diberi perlakuan. Sedangkan
3 naracoba lainnya memiliki perbedaan suhu tubuh, namun tidak signifikan. Naracoba Evi,
Nindi, dan Arum pada awal percobaan masing-masing memiliki suhu tubuh 37o, 37,2o, dan
37oC. Kemudian saat dipaparkan air dingin selama 5 menit suhu tubuh setiap naracoba tidak
berubah. Saat diberikan paparan air hangat selama 5 menit, suhu tubuh naracoba juga tidak
mengalami perubahan suhu. Sedangkan, naracoba Nova pada awal percobaan memiliki suhu
awal 36,9oC, setelah diberikan paparan air dingin selama 5 menit, suhunya mengalami
penurunan yaitu menjadi 36,4oC. Sedangkansetelah diberikan paparan air hangat nengalami
kenaikan sedikit yakni menjadi 36,4oC. Pada naracoba Ninda memiliki suh awal 36,7 oC.
Setelah diberikan paparan air dingin suhunya menurun menjadi 36,4 oC, sedangkan setelah
diberikan paparan air hangan suhunya menjadi 36,2oC. Naracoba yang terakhir yakni Lina
memiliki suhu tubuh awal sebesar 36,4oC, dan setelah diberikan paparan air dingin selama 5
menit ini suhu tubuhnya menurun sedikit menjadi 36,3oC, sedangkan setelah diberikan
paparan air hangat suhu tubuhnya menjadi 38,5oC.
Berdasarkan kegiatan percobaan yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa dengan
paparan air es maupun air hangat dapat menyebabkan timbulnya perpindahan kalor secara
konduksi. Sehingga dapat diketahui bahwa pada saat naracoba terpapar air es maka panas
tubuh naracoba tersebut dapat berpindah dari tubuh ke air es, sedangkan saat terpapar air
hangat maka memungkinkan terjadinya perpindahan kalor dari air hangat ke dalam tubuh
naracoba. Akan tetapi, dengan paparan air es atau air hangat tersebut, ketiga suhu tubuh

28
naracoba tidak mengalami perubahan yang drastis. Hal ini dapat disebabkan karena tubuh
melakukan beberapa mekanisme termoregulasi. Saat pemaparan suhu lingkungan yang lebih
rendah atau lebih tinggi dari suhu tubuh maka kelenjar hipotalamus (pengatur suhu) akan
mengintruksikan tubuh untuk menurunkan atau menaikkan proses metabolisme tubuh yang
bertujuan untuk menyeimbangan panas tubuh. Jadi, saat menyeimbangkan kondisi panas
tubuh tersebut mengakibatkan suhu tubuh yang diukur dengan termometer tidak mengalami
perubahan.
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat diketahui bahwa hasil pengamatan yang
didapatkan oleh praktikan sesuai dengan teori yang ada yang menyatakan bahwa meskipun
suhu lingkungan luar berpengaruh terhadap suhu tubuh, pada dasarnya manusia juga
memiliki mekanisme untuk tetap mempertahankan suhu tubuhnya dalam keadaan normal
atau homeoterm. Pada hasil pengamatan praktikan didapatkan hasil tidak terdapat perbedaan
antara suhu tubuh setelah diberi perlakuan air dingin maupun air hangat. Dengan kata lain
suhu lingkungan tidak berpengaruh terhadap suhu tubuh.
Panas tubuh merupakan hasil akhir dari proses oksidasi didalam tubuh. Dalam produksi
panas tubuh memperoleh panas sebagai akibat dari aktivitas metabolisme jaringan tubuh dan
dari lingkungan luar bila lingkungan luar itu lebih tinggi temperaturnya (lebih panas)
ketimbang temperatur tubuh. Bentuk penyesuaian fisiologinya adalah bahwa panas yang
dihasilkan oleh tubuh akan meningkat dengan menurunnya temperatur luar. Sebaliknya,
temperatur sekitar (ambient temperature) yang tinggi akan menurunkan jumlah panas yang
panas yang dihasilkan oleh tubuh.

G. Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan maka dapat diketahui bahwa pada
organisme homoeterm yaitu manusia, suhu tubuhnya cenderung tidak terpengaruh dengan
suhu lingkungan baik dingin maupun panas sehingga suhu tubuh manusia dapat relatif stabil
atau konstan. Hal ini dapat disebabkan karena manusia memeliki kemampuan menjaga
kestabilan suhu tubuhnya dengan melakukan mekanisme homeostasis suhu tubuh atau
termoregulasi yang dilakukan oleh organ hipotalamus.
DAFTAR PUSTAKA

29
Asmadi. (2009). Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Salemba Medika

Guyton, A.C. (2007). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC

Indrowati, N.B. (2012). Hubungan antara Kualitas Tidur Mahasiswa yang Mengikuti UKM dan
Tidak Mengikuti UKM pada Mahasiswa Reguler Fakultas Ilmu Keperawatan. Depok:
Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia. Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan,
Universitas Indonesia

Isnaeni, W. (2006). Fisiologi Hewan.Yogyakarta: Kanisius

Pangesti, N.A., Pratiwi, A.I., Finarti, E. (2018). Praktikum Biofisika: Pengaruh Suhu
Lingkungan Terhadap Suhu Tubuh. Yogyakarta: Jurusan Pendidikan IPA FMIPA UNY

Potter (Jean Piaget) & Perry. (2009). Fundamental Keperawatan Edisi 7. Terjemahan (Ferderika,
A). Jakarta: Salemba Medika:

Septiyani, A.W., Nugroho, N.W., Rafidah, N. (2016). Praktikum Biofisika: Pengaruh Suhu
Lingkungan Terhadap Suhu Tubuh. Yogyakarta: Jurusan Pendidikan IPA FMIPA UNY

Tyler, H.D. & Ensminger, M.E. (2006). Dairy cattle science. 4th edition. Pearson education, Inc.,
Upper Saddle River, New Jersey.

30
PRAKTIKUM V
PERAMBATAN BUNYI MELALUI TULANG TENGKORAK

1. Tujuan praktikum
a. Tujuan kegiatan
1) Memahami perambatan bunyi melalui tulang tengkorak dengan menggunakan
garpu tala.
2) Menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi perambatan bunyi melalui tulang
tengkorak dengan menggunakan garpu tala.
b. Kompetensi khusus
1) Menerangkan mekanisme perambatan bunyi melalui tulang tengkorak dengan
menggunakan garpu tala.
2) Menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi perambatan bunyi melalui tulang
tengkorak dengan menggunakan garpu tala.
2. Dasar teori

Gambar 1. Telinga manusia


Telinga manusia dapat dibagi menjadi tiga bagian. Telinga bagian luar terdiri atas
daun telinga dan saluran auditoris, yang mengumpulkan gelombang suara dan

31
menyalurkan ke membrane timpanik/gendang teling yang memisahkan telinga luar dan
telinga bagian tengah. Di dalam telinga bagian dalam getaran dihantarkan melalui tiga
osikel (tulang kecil)-maleus, inkus, dan sanggurdi-ke telingan dalam lewat jendela oval,
suatu membran di bawah sanggurdi. Telinga bagian dalam membuka ke dalam saluran
eustachius, yang berhubungan dengan faring. Telinga bagian ini terdiri dari suatu labirin
saluran di dalam tulang tengkorak (tulang temporal). Saluran ini dilapisi oleh membran
dan mengandung cairan yang bergerak sebagai respon terhadap suara atau pergerakan
kepala. Bagian telinga bagian dalam yang terlibat dalam pendengaran merupakan sebuah
organ berpilin yang rumit yang dikenal sebagai koklea. Di dalamnya terdapat organ Corti
yang mengandung sel reseptor telinga yang sesungguhnya, yaitu sel-sel rambut. Neuron
sensoris bersinapsis dengan sel-sel rambut. Neuron berfungsi membawa sensasi ke otak
melalui saraf auditoris (Campbell dkk., 2004: 245-246).
Telinga dalam yaitu koklea tertanam pada kavitas (cekungan tulang) dalam os
temporalis yang disebut labirin tulang, getaran seluruh tulang tengkorak dapat
menyebabkan getaran cairan pada koklea itu sendiri. Oleh karena itu, pada kondisi yang
memungkinkan, jika garpu tala diletakkan pada setiap protuberonsia tulang tengkorak
dan prosessus mastoideus dapat menyebabkan telinga mendengar getaran suara
(Syaifuddin, 2009: 233).
Skema proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh telinga
luar, lalu menggetarkan membran timpani dan diteruskan ke telinga tengah melalui
rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran tersebut melalui daya
ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan
tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasikan akan diteruskan ke telinga
dalam dan di proyeksikan pada membran basilaris, sehingga akan menimbulkan gerak
relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang
mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal
ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini
menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter ke
dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu
dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran.

32
Telinga dalam dipenuhi oleh cairan dan terdiri dari "cochlea" berbentuk spiral
yang disebut rumah siput. Sepanjang jalur rumah siput terdiri dari 20.000 sel-sel rambut
yang mengubah getaran suara menjadi getaran-getaran saraf yang akan dikirim ke otak.
Di otak getaran tersebut akan di intrepertasi sebagai makna suatu bunyi. Hampir 90%
kasus gangguan pendengaran disebabkan oleh rusak atau lemahnya sel-sel rambut telinga
dalam secara perlahan. Hal ini dikarenakan pertambahan usia atau terpapar bising yang
keras secara terus menerus. Gangguan pendengaran yang diseperti ini biasa disebut
dengan sensorineural atau perseptif. Hal ini dikarenakan otak tidak dapat menerima
semua suara dan frekuensi yang diperlukan untuk -sebagai contoh mengerti percakapan.
Efeknya hampir selalu sama, menjadi lebih sulit membedakan atau memilah pembicaraan
pada kondisi bising. (Dewi, 2009).
Untuk mengetahui adanya gangguan pada sistem pendengaran, perlu dilakukan uji
pendengaran. Ada tiga jenis gangguan pendengaran yang dapat dikenali dengan uji
pendengaran yakni: gangguanuan konduktif, gangguan sensorineural dan gabungan
keduanya atau tipe campuran. Tuli konduktif terjadi akibat tidak sempurnanya fungsi
organ yang berperan menghantarkan bunyi dari luar ke telinga dalam. Gangguan telinga
luar dan telinga tengah dapat menyebabkan tuli konduktif. Tuli sensorineural disebabkan
oleh kerusakan pada koklea atupun retrokoklea. Tuli sensorineural dapat bersifat akut
(acute sensorineural deafness) yakni tuli sensorineural yang terjadi tiba-tiba dimana
penyebab tidak diketahui dengan pasti dan chronic sensorineural deafness tuli
sensorineural yang terjadi secara perlahan.
Terdapat berbagai macam tes uji pendengaran, seperti tes ketajaman pendengaran,
tes Rinne dan tes Weber. Tes ketajaman pendengaran bertujuan untuk mengukus
sensitivitas telinga. Semakin jauh jangkauan pendengaran seseorang, semakin baik
sensitivitasnya sebaliknya semakin dekat menandakan sensitivitas pendengaran
probandus agak kurang baik. Ada sumber yang mengatakan jarak normal itu minimal
30cm.
Tes Rinne ialah tes untuk membandingkan hantaran melalui udara dan hantaran
melalui tulang pada telinga yang diperiksa. Caranya yaitu garpu tala digetarkan,
kemudian ditempelkan pada tulang mastoid sampai pendengar tidak mendengar lagi, lalu
dipindahkan ke depan liang telinga. Disini akan terdengar lagi oleh karena hantaran udara

33
lebih baik daripada melalui tulang. Ini disebut Rinne positif. Bila ada gangguan aliran
udara disebut Rinne negatif. Rinne positif terdapat pada orang normal dan pada penderita
gangguan saraf (neurosensoris). Rinne negatif terdapat pada gangguan aliran udara (tuli
konduktif), misalnya di daerah membran timpani, serumen pada liang telinga, kerusakan
tulang pendengaran, dan sebagainya.
Tes Weber ialah tes pendengaran untuk membandingkan hantaran tulang telinga
kiri dengan telinga kanan. Caranya yaitu garpu tala digetarkan dan diletakkan di verteks,
kemudian dibandingkan pendengara telinga kanan dan kiri. Pada orang normal
pendengaran telinga kanan dan kiri sama (tidak ada lateralisasi). Bila ada gangguan
konduksi, terjadi lateralisasi ke arah telinga yang sakit. Bila ada gangguan saraf, terjadi
lateralisasi ke telinga yang sehat. Hasil dinyatakan sebagai lateralisasi ke kanan/ke kiri
atau lateralisasi negatif
3. Metode:
3.1 Alat
Alat dan bahan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah:
a. Garpu tala 112 – 870 Hz
b. Arloji/jam tangan yang bersuara
c. Mistar
d. Stopwatch
3.2 Prosedur kerja
1. Tes pendengaran I
a. Menutup telinga kanan dengan kapas dan memejamkan kedua mata (ditutup
dengan kain)
b. Penguji memposisikan jam tangan di dekat telinga kiri naracoba. Perlahan-
perlahan, penguji menjauhkan sampai naracoba tidak mendengar lagi suara
arloji. Penguji mengukur dan mencatat jarak antara arloji dengan telinga kiri
naracoba. Kemudian perlahan-lahan penguji mendekatkan lagi arloji sampai
naracoba mendengar lagi suaranya. Penguji mengukur dan mencatat jarak antara
arloji dengan telinga kiri naracoba.
c. Mengulangi percobaan point b sampai lima kali

34
d. Melakukan cara yang sama untuk telinga kanan (dengan menutup telinga kiri
menggunakan kapas)
e. Membandingkan hasil percobaan antara telinga kanan dan telinga kiri
2. Percobaan Rinne (ketajaman pendengaran dengan menggunakan garpu tala)
a. Penguji menggetarkan garpu tala dan meletakkan di puncak kepala naracoba.
Mula-mula akan terdengar suara garpu tala tersebut keras dan semakin lama
semakin lemah, hingga tidak terdengar lagi. Mencatat waktu antara terdengar
sampai tidak terdengar suara lagi.
b. Ketika tidak terdengar suara tersebut, penguji memindahkan garpu tala ke dekat
telinga atau lubang telinga kanan naracoba. Dengan pemindahan letak itu,
naracoba akan mendengar suara garpu tala lagi. Mencatat waktu antara naracoba
mendengar sampai tidak mendengar lagi suara garpu tala di dekat telinga atau
lubang telinga kanan.
c. Melakukan percobaan tersebut untuk telinga kiri dan juga mengulangi percobaan
tersebut sebanyak lima kali.
d. Mencatat frekuensi garpu tala yang digunakan dan hasil percobaan.
e. Membandingkan hasil percobaan antara telinga kanan dan telinga kiri
3. Percobaan Webber (lateralisasi)
a. Penguji meletakkan pangkal garpu tala yang sudah digetarkan di puncak kepala
naracoba.
b. Naracoba menutup salah satu lubang telinga luarnya
c. Penguji menanyakan kepada naracoba pada telinga mana suara garpu tlaa
tersebut terdengar lebih keras.
d. Melakukan percobaan yang sama pada telinga lainnya
e. Membandingkan hasil yang diperoleh untuk kedua telinga
f. Mengambil kesimpulan dari hasil percobaan tersebut, apakah seseorang tersebut
tuli atau tidak
3.3 Tabulasi data
Tabel 1. Hasil pengukuran uji pendengaran dengan arloji
Telinga Kanan (cm) Telinga Kiri (cm)
No Nama Dijauhka Didekatka
Dijauhkan Didekatkan
. n n

35
1
2
Jumlah
Rata-rata
Tabel 2. Hasil pengukuran uji pendengaran Rinne
No Telinga Kanan (detik) Telinga Kiri (detik)
Nama
. Di kepala Di Telinga Di kepala Di telinga
1
2
3
4
Jumlah
Rata-rata

Tabel 3. Hasil pengukran percobaan webber


Ada/Tidak Lateralisasi
No. Nama
Telinga Kanan Telinga Kiri
1
2
3

3.4 cara analisis data


a. Kualitatif: analisis deskriptif
4. Hasil praktikum
Berdasarkan kegiatan yang telah dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut
Tabel 4. Hasil pengukuran uji pendengaran dengan arloji
Telinga Kanan (cm) Telinga Kiri (cm)
No
Nama Dijauhka Didekatka
. Dijauhkan Didekatkan
n n
1 Febrian 131,6 54,6 133,6 103,6
2 Sih 104,2 70 104,6 67,8
3 Laili 106,8 85,6 135,4 103,4
Tabel lanjutan
Telinga Kanan (cm) Telinga Kiri (cm)
No
Nama Dijauhka
. Dijauhkan Didekatkan Dijauhkan
n
4 Bintang 153 156,6 159,4 152,8
5 Galuh 130,6 122,8 177,2 186,2
6 Afri 49,2 39,6 46,4 42
7 Rita 67,6 57,4 92,8 67,8
8 Aprilita 79,4 53,6 65,6 43,4

36
9 Mukminah 47 38,4 46,8 40
10 Juwarti 32,2 27,6 38,4 33,6
11 Rina 31,8 74,6 78,8 100,6
12 Fikri 61,8 56,6 54,4 64
13 Farida 53,8 68,2 78 101,4
14 Wulandari 94,8 71,8 115,2 79,6
15 Ratna 40 36,6 57,8 45,2
16 Lia 78,6 55,2 58,6 37,4
Jumlah 1262,4 1069,2 1443 1268,8
Rata-rata 78,9 66,825 90,1875 79,3

Tabel 2. Hasil pengukuran uji pendengaran Rinne


No Telinga Kanan (detik) Telinga Kiri (detik)
Nama
. Di kepala Di Telinga Di kepala Di telinga
1 Febrian 7,6 6,4 5,8 8
2 Sih 6,8 5,6 4,4 7
3 Laili 8,4 8,4 8,2 11,6
4 Bintang 1,16 2,4 1,24 4,64
5 Galuh 1,04 1,36 1,12 1,88
6 Afri 7,4 5,2 8 6
7 Rita 16,8 11 27,2 14,6
8 Aprilita 11,2 5,2 8,6 6,8
9 Mukminah 2,14 1,82 2,04 1,9
10 Juwarti 2 2,8 1,36 1,6
11 Rina 3,67 6,34 3,67 7,24
12 Fikri 3,43 9,12 3,23 10,47
13 Farida 2,75 6,21 3,06 5,87
14 Wulandari 2,8 2,2 2,8 3
15 Ratna 2,8 2,4 3 2,6
16 Lia 2,8 2,4 3,2 2
Jumlah 82,79 78,85 86,92 95,2
Rata-rata 5,17 4,93 5,43 5,95

Tabel 3. Hasil pengukran percobaan webber


Ada/Tidak Lateralisasi
No. Nama
Telinga Kanan Telinga Kiri
1 Febrian Ada Ada
2 Sih Ada Ada
3 Laili Ada Ada
4 Bintang Ada Ada
5 Galuh Ada Ada
6 Afri Ada Ada
7 Rita Ada Ada

37
8 Aprilita Ada Ada
9 Mukminah Ada Ada
10 Juwarti Ada Ada
11 Rina Ada Ada
12 Fikri Ada Ada
13 Farida Ada Ada
14 Wulandari Ada Ada
15 Ratna Ada Ada
16 Lia Ada Ada

5. Diskusi/ pembahasan
Kegiatan praktikum ini bertujuan agar mahasiswa memahami perambatan bunyi melalui
tulang tengkorak serta faktor-faktor yang mempengaruhinya dengan menggunakan garpu
tala. Uji pendengaran yang dilakukan ada tiga macam, yang pertama adalah menguji
ketajaman pendengaran dengan cara mengukur jarak batas terdengarnya suara arloji
ketika dijauhkan, dan jarak dimana suara terdengar kembali ketika arloji didekatkan. Uji
yang kedua adalah percobaan Rinne untuk membandingkan hantaran bunyi melalui
tulang tengkorak dengan hantaran bunyi melalui udara. Uji yang ketiga adalah percobaan
weber. Percobaan ini membandingkan hantaran bunyi pada telinga kanan dan telinga kiri.
Hasil percobaan 1 adalah rata-rata jarak terjauh dimana suara detak arloji masih
terdengar adalah 153 cm untuk telinga kanan, dan 177,2 cm untuk telinga kiri. Rata-rata
jarak dimana detak arloji terdengar kembali setelah didekatkan adalah 27,6 cm untuk
telinga kanan, dan 37,4 cm untuk telinga kiri.
Uji pendengaran yang kedua adalah Percobaan Rinne. Percobaan ini menguji
kemampuan pendengaran dengan medium tulang dan syaraf,
untuk membandingkan konduksi bunyi melalui tulang dengan konveksi bunyi
melalui udara. Data berupa catatan waktu telinga mulai tidak mendengar suara pada
garpu tala yang digunakan. Pada saat probandus tidak mendengar suara garputala, penguji
dengan segera memindahkan garputala itu, ke dekat telinga kanan. Dengan pemindahan
garputala itu, maka ada dua kemungkinan yang bisa diperoleh: probandus akan
mendengar garpu tala lagi, disebut Tes Rinne Positif. Kemungkinan yang kedua adalah
probandus tidak mendengar suara garpu tala lagi, disebut Tes Rinne Negatif
Bila garputala digetarkan, maka getaran melalui udara dapat didengar dua kali lebih
lama dibandingkan melalui tulang. Normal getaran melalui tulang dapat didengar selama

38
70 detik, maka getaran melalui udara dapat didengar selama 40 detik. Perbedaan waktu
mendengar antara ketika garpu tala diletakkan di puncak kepala dan di dekat telinga
menunjukkan ada tidaknya transmisi suara melalui tulang. Jika suara garpu tala terdengar
lebih lama ketika diletakkan di puncak kepala berarti terjadi mekanisme transmisi suara
melalui tulang.
Data yang tercatat hasil percobaan Rinne ini bervariasi. Rata-rata waktu yang tercatat
naracoba tidak mendengar suara garpu tala yang diletakkan di puncak kepala adalah 5,17
detik dan lama suara garpu tala masih terdengar ketika diletakkan dekat telinga atau
lubang telinga kanan naracoba adalah 4,93 detik. Sedangkan untuk pengujian telinga kiri,
naracoba tidak mendengar suara garpu tala yang diletakkan di puncak kepala pada 5,43
detik dan waktu yang digunakan telinga masih mendengar suara garpu tala yang
diletakkan di dekat telinga atau lubang telinga kiri naracoba adalah 5,95 detik.
Hasil dari percobaan ini pada semua naracoba adalah Rinne positif, sebab naracoba
masih bisa mendengar suara garpu tala ketika garpu tala diletakkan di dekat telinga atau
lubang telinga kanan naracoba.
Uji yang ketiga adalah Percobaan Webber. Percobaan ini untuk menentukan sumber
bunyi dan hasilnya untuk menguji ada tidaknya lateralisasi pada salah satu atau kedua
telinga. Pada penderita tuli konduksi (penyebab wax atau otitis media) akan terdengar
bunyi nyaring/terang pada telinga yang sakit. Misalnya pada telinga kiri terdengar bunyi
nyaring (makin keras) maka disebut Webber laterisasi ke kiri. Begitu pula jika telinga
kanan sakit maka webber laterisasi ke kanan. Sedangkan pada penderita tuli persepsi atau
saraf, getaran garpu tala terdengar lebih keras pada telinga normal.
Hasil Percobaan Webber menunjukkan telinga yang mendengar suara pada garpu tala
lebih keras adalah telinga yang ditutup. Hal ini menunjukkan bahwa telinga naracoba
normal, karena telinga yang ditutup merupakan penggambaran dari telinga yang tidak
normal atau mengalami ketulian. Pada penderita tuli konduksi saat diperdengarkan suara
garpula maka salah satu telinga akan mendengar lebih keras dari yang lain atau
lateralisasi. Percobaan dilakukan dengan menutup salah satu telinga membuktikan bahwa
saat telinga tertutup maka akan timbul lateralisasi, hal tersebutlah yang terjadi pada
penderita tuli konduksi.

39
Ide penelitian yang dapat dikembangkan berdasarkan praktikum ini adalah pengaruh
kondisi lingkungan kerja terhadap kualitas pendengaran pekerja.
Kendala dalam praktikum ini adalah kondisi lingkungan tidak cukup tenang ketika
melakukan uji ketajaman pendengaran, sehingga ada kemungkinan data menjadi bias
karena ada gangguan suara lain dari lingkungan tempat praktikum.
6. Kesimpulan
a. Bunyi merambat melalui benda padat dan udara. Perambatan bunyi pada udara lebih
baik daripada melalui tulang tengkorak (benda padat). Faktor-faktor yang
mempengaruhi tertangkapnya sensor bunyi oleh telinga antara lain adalah kondisi
ketajaman telinga dalam menangkap getaran bunyi.
b. Hasil percobaan 1 adalah rata-rata jarak terjauh dimana suara detak arloji masih
terdengar adalah 153 cm untuk telinga kanan, dan 177,2 cm untuk telinga kiri. Rata-
rata jarak dimana detak arloji terdengar kembali setelah didekatkan adalah 27,6 cm
untuk telinga kanan, dan 37,4 cm untuk telinga kiri.
c. Hasil percobaan Rinnesemua praktikan positif ditunjukkan masih terdengarnya suara
garpu tala ketika garpu tala diletakkan di dekat telinga atau lubang telinga kanan.
d. Hasil percobaan Webber yaitu semua praktikan tidak mengalami lateralisasi karena
pada telinga yang ditutup suara garputala tidak terdengar lebih keras dari pada telinga
yang terbuka.

Daftar pustaka

Campbell, Neil A., Reece, J.B., & Mitchell, L.G. (2000).  Biologi, Edisi Kelima-Jilid
3. (Terjemahan Wasmen Manalu). Jakarta: Erlangga. (Buku asli diterbitkan tahun
1999).

Djukri & Heru Nurcahyo. (2009). Petunjuk Praktikum Biologi. Yogyakarta: Prodi PSn PPs
UNY.

Syaifuddin. (2009). Fisiologi tubuh manusia untuk mahasiswa keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika.

Dewi, Kurnia. (2009). Pemeriksaan Audiometri, Rinne, Weber test dan Scwabach test. Diambil
dari http://pemeriksaantespendengaran.blogspot.com/

40
LAMPIRAN

Gambar 1. Contoh garputala

Gambar 2. Cara test uji rinne

41

Anda mungkin juga menyukai