Anda di halaman 1dari 54

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Meskipun lamanya tinggal di rumah sakit adalah penanda efisiensi

perawatan kesehatan, itu bukan indikator yang baik dari kualitas perawatan

kesehatan, yang lebih baik diwakili oleh hospital readmissions (HR) (Allard. et al,

2016). Hospital readmissions (HR) adalah kejadian umum dan memiliki potensi

untuk dicegah yang menyebabkan ketidaknyamanan besar bagi pasien dan

keluarga dan memerlukan biaya sistem perawatan kesehatan yang tinggi.

Diperkirakan $ 17,4 miliar dihabiskan di Amerika Serikat untuk HR yang tidak

direncanakan pada tahun 2004 (Epstein. et al, 2011). Tingkat hospital

readmissions 30 hari telah diidentifikasi sebagai indikator kualitas layanan

kesehatan yang baik dan penggunaan layanan kesehatan yang tidak perlu.

Memahami penyebab dan faktor risiko yang mengarah pada penerimaan kembali

adalah kunci untuk mengidentifikasi cara untuk mencegah terjadinya kejadian

tersebut. Periode hospital readmissions dalam 30 hari sudah banyak dijelaskan

dalam literatur; Namun, tampaknya tidak berlaku sama untuk semua alasan

potensial untuk rawat inap. HR dini (0–7 hari pasca pemulangan) dianggap lebih

kuat terkait dengan tingkat keparahan penyakit akut dan melibatkan faktor yang

terkait dengan perawatan di rumah sakit dan indikator ketidakstabilan klinis saat

pulang, sedangkan HR lanjut (8–30 hari pasca pemulangan) lebih kuat terkait

dengan faktor sosial ekonomi dan faktor keparahan penyakit kronis (Graham. et

al, 2015).
Beberapa penelitian telah menyarankan penggunaan parameter klinis dan

demografis tertentu sebagai faktor risiko untuk penerimaan kembali (Epstein. et

al, 2011). Faktor klinis termasuk penggunaan obat berisiko tinggi (antibiotik,

glukokortikoid, antikoagulan, opioid, obat antiepilepsi, antipsikotik, dan agen

hipoglikemik), polifarmasi (penggunaan 5 atau lebih obat), >6 komorbiditas, dan

kondisi klinis spesifik (penyakit paru obstruktif kronik, diabetes, gagal jantung,

stroke, kanker, sirosis, penurunan berat badan, dan depresi). Faktor-faktor

demografis meliputi tingkat sosial ekonomi, tingkat pendidikan, ukuran jaringan

sosial, dan faktor rawat inap sebelumnya. Saat ini, minat dalam mengidentifikasi

faktor-faktor risiko yang berpotensi dapat dibalik semakin meningkat, tujuan

mengidentifikasi faktor-faktor risiko tersebut adalah untuk mengurangi tingkat

readmisi di rumah sakit dan meningkatkan kualitas layanan kesehatan (Graham.

et al, 2015).

Di antara faktor-faktor risiko yang berpotensi reversibel terkait dengan

HR, status gizi pasien yang dirawat di rumah sakit telah menjadi perhatian.

Malnutrisi telah cukup lazim jika membahas tentang rumah sakit, dengan tingkat

bervariasi antara 15% -70%, dan itu berdampak negatif pada beberapa hasil

klinis. Namun demikian, mengembangkan instrumen untuk mengidentifikasi

faktor risiko untuk status gizi yang buruk dalam pengaturan rumah sakit telah

menjadi hal menantang. Status gizi baru-baru ini terbukti tidak hanya terkait

dengan lama tinggal di rumah sakit tetapi juga dengan tingkat hospital

readmisson 30 hari yang lebih tinggi (Jeejeebhoy. et al, 2015). Penurunan status

gizi pasien selama rawat inap juga dikaitkan dengan hasil yang lebih buruk,

seperti lama tinggal di rumah sakit (Allard. et al, 2016). Namun, hubungan

penurunan tersebut dengan HR belum dipikirkan dengan baik


Malnutrisi juga menyebabkan perubahan komposisi tubuh, termasuk

hilangnya massa tanpa lemak dan massa sel tubuh (Cruz-Jentoft. et al, 2010).

Malnutrisi berdampak buruk pada kesejahteraan fisik, mengganggu perawatan

kesehatan, dan meningkatkan biaya perawatan kesehatan. Prevalensi malnutrisi

yang dilaporkan dalam penelitian di Australia baru-baru ini adalah 12-53%

(Kellett. et al, 2016). Status gizi umumnya dinilai oleh indikator gizi individu yang

menilai komponen status gizi, seperti Indeks Massa Tubuh (IMT), lingkar lengan

tengah (MAC) atau calf circumference (CC), analisis biokimia, seperti plasma

albumin (PA) dan handgrip strength (HGS). Pada pasien rawat inap, status gizi

tidak hanya dipengaruhi oleh ketidakseimbangan asupan yang dimodifikasi

secara potensial oleh penyerapan makanan yang tidak normal tetapi juga

dipengaruhi oleh penyakit, trauma, sepsis, dan demam. Oleh karena itu, pada

pasien yang dirawat inap rumah sakit, gabungan dari faktor-faktor ini

dipertimbangkan bersama-sama lebih mungkin untuk memprediksi hasil akhir

daripada variabel tunggal (Real. et al, 2018).

Calf circumference (CC) atau lingkar betis adalah ukuran antropometrik

sederhana dan dapat diterapkan secara universal yang telah digunakan sebagai

penanda pengganti massa otot dalam penelitian populasi (Kusaka. et al, 2017;

Barbosa-Silva. Et al, 2016) . CC juga merupakan indikator massa otot tubuh dan

lemak subkutan. CC memiliki potensi untuk berfungsi sebagai indikator gizi buruk

karena berkorelasi erat dengan protein tubuh yang disimpan dan indikator untuk

massa bebas lemak. CC memiliki korelasi yang baik dengan massa otot rangka

appendikuler dan indeks otot rangka yang diukur dengan dual-energy X-ray

absorptiometry (DXA) (Kawakami. et al, 2015; Hwang. et al, 2018). The

European Working Group on Sarcopenia in Older People (EWGSOP)


memasukkan CC sebagai opsi untuk tindakan antropometrik untuk

mengidentifikasi hilangnya massa otot (Cruz-Jentoft. et al, 2010).

Mempertimbangkan bahwa penelitian yang dilakukan hingga saat ini tidak

mencerminkan aspek sosial ekonomi, gizi, dan aspek unik lainnya dari sistem

perawatan kesehatan di kota Makassar, sebuah studi dilakukan untuk

mengidentifikasi prediktor hospital readmissions pada pasien klinis. Penelitian ini

akan mengidentifikasi pasien yang dirawat di rumah sakit umum di kota

Makassar, Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo memiliki tujuan utama untuk

menganalisis calf circumference (CC) sebagai prediktor hospital readmissions.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah terdapat hubungan antara calf circumference (CC) terhadap risiko

hospital readmissions di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan

antara calf circumference (CC) terhadap risiko hospital readmissions di Rumah

Sakit Wahidin Sudirohusodo


1.3.2 Tujuan Khusus

Menganalisis hubungan calf circumference (CC) terhadap risiko hospital

readmissions di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Memberikan informasi ilmiah mengenai hubungan calf circumference

(CC) terhadap risiko hospital readmissions di Rumah Sakit Wahidin

Sudirohusodo sebagai bahan pengembangan ilmu kedokteran khususnya

di bidang gizi klinik.

1.4.2 Data penelitian ini sebagai data dasar untuk penelitian selanjutnya bagi

pengembangan ilmu pengetahuan, misalnya, penelitian multisenter untuk

menguji peran status nutrisi khususnya calf circumference (CC) terhadap

risiko hospital readmissions


1.4.3 Apabila terbukti calf circumference (CC) memiliki peran dalam risiko

hospital readmission maka akan mempermudah penanganan pemberian

nutrisi pada pasien klinis yang dirawat di Rumah Sakit Wahidin

Sudirohusodo.

1.5 Hipotesa Penelitian

Calf circumference (CC) yang rendah memiliki peran dalam risiko hospital

readmission pada pasien klinis yang dirawat di Rumah Sakit Wahidin

Sudirohusodo.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Otot Ekstremitas Bawah

2.1.1 Otot Ekstensor

Muskulus (m.) quadriseps femoris merupakan otot ekstensor terbesar dari

ekstremitas bawah, menyatu dengan ligamentum patella menutupi patella, insersi

pada tuberositas tibia. M. quadriseps terdiri dari m. vastus lateralis, m.

intermedius, m. medialis, dan m. rektus femoris (Thompson, 2010).

2.1.2 Otot Fleksor

m. hamstring (semi membranosus, semitendinosus, dan bisep femoris)

(Thompson, 2010).

2.1.3 Otot Rotator

m. bisep femoris (rotasi eksternal tibia dan fibula), semi tendinosus (rotasi

internal) (Thompson, 2010).


Gambar 2.1. Tampakan Lateral Kompartemen Muskulus pada Ekstremitas
Bawah (Thompson, 2010).

Gambar 2.2. Tampakan Posterior Kompartemen Muskulus pada Ekstremitas


Bawah (Thompson, 2010).

2.2 Hospital Readmission

Hospital readmissions (HR) dalam 30 hari setelah perawatan di rumah sakit

telah menarik perhatian kebijakan nasional oleh karena menarik biaya perawatan
yang sangat mahal yaitu mencakup lebih dari $ 17 miliar dan dikaitkan dengan

prognosis yang buruk (Zuckerman. et al, 2016). Hospital Readmissions dini telah

dikenali secara khusus di antara pasien usia lanjut dan pasien dengan risiko

tinggi (Real. et al, 2018).

Risiko readmission dalam 30 hari karena Gagal Jantung, Infark Miokard

Akut, atau Pneumonia masih tinggi dan bervariasi di seluruh rumah sakit di

Amerika Serikat. Pada tahun 2007 sampai tahun 2009 dilaporkan angka HR

dalam 30 hari yang berkisar antara 17% hingga 33% pada pasien yang

mengalami Gagal Jantung, 15% hingga 27% untuk pasien yang dirawat dengan

Infark Miokard Akut dan 14% hingga 26% untuk pasien dirawat dengan

Pneumonia (Dharmarajan. et al, 2013).

Readmission yang tidak direncanakan menarik biaya perawatan yang

banyak, sulit untuk diprediksi, sulit dihindari dan dihubungkan dengan

peningkatan risiko kematian, meskipun sebagian besar pasien yang dirawat di

rumah sakit akan kembali dirawat. Sekitar seperlima pasien menghabiskan

perawatan primer mereka dan selanjutnya ("sekunder") kembali dirawat di rumah

sakit yang berbeda. (Staples. Et al, 2014).

HR yang tidak direncanakan merupakan kejadian buruk dan tidak nyaman

bagi pasien, keluarga mereka, dan sistem perawatan kesehatan (Real. et al,

2018). Baru-baru ini HR yang tidak direncanakan digunakan sebagai indikator

potensial kualitas layanan kesehatan (Real. et al, 2018). Hospital Readmission

dalam 30 hari diidentifikasi sebagai indikator kualitas layanan kesehatan yang

baik dan indikator penggunaan layanan kesehatan yang tidak perlu. HR dini yaitu

pasien dirawat inap kembali 0-7 hari setelah pemulangan dianggap berkaitan

erat dengan tingkat keparahan penyakit akut dan melibatkan faktor yang terkait

dengan perawatan di rumah sakit dan indikator ketidakstabilan klinis saat pasien
dipulangkan dari rumah sakit setelah perawatan, sedangkan HR lanjut yaitu

pasien dirawat inap kembali 8-30 hari pasca-pemulangan berhubungan dengan

faktor sosial ekonomi dan tingkat keparahan penyakit kronis (Real. et al, 2018).

2.3 Prevalensi Hospital Readmission

Setiap tahun terdapat sekitar 4,5 juta orang di Amerika Serikat dan sekitar

0,2 juta orang Kanada mengalami HR yang tidak direncanakan dalam 30 hari

setelah keluar dari rawat inap (Staples. et al, 2014).

Meskipun angka HR di Amerika Serikat telah tinggi selama bertahun-tahun,

Jencks dan rekan membahas masalah ini ke dalam artikel mereka pada tahun

2009. Mereka menganalisis data pada tahun 2003-2004. Mereka menunjukkan

bahwa 19,6% pasien penerima manfaat pelayanan medis dirawat kembali ke

rumah sakit dalam waktu 30 hari setelah pemulangan dan sebanyak 34,0%

dirawat kembali dalam waktu 90 hari. Pasien medis biasa dan bedah keduanya

mengalami hal ini, meskipun pasien medis biasa memiliki angka HR dalam 30

hari yang lebih tinggi (21,1% banding 15,6% di bandingkan pasien bedah dan

menyumbang 77,1% pada pasien rawat inap. Angka HR dalam 30 hari tertinggi

diamati pada pasien dengan Gagal Jantung (26,9%), Psikosis (24,6%),

pembedahan vaskuler baru-baru ini (23,9%), Penyakit Paru Obstruktif Kronis

(22,6%), dan Pneumonia (20,1%). Selama satu dekade terakhir angka HR dalam

30 hari disesuaikan dengan risiko di antara penerima manfaat pelayanan medis

tetap relatif konstan (Kripalan. et al, 2014).

Angka HR telah dicatat pada populasi lain juga. Misalnya di rumah sakit

Veteran, angka HR dalam 30 hari untuk emua penyebab adalah 15,2% pada

tahun 2009 sampai tahun 2010. Pada tahun 2007 angka HR 30 hari di antara

orang dewasa berusia 21-64 tahun (tidak termasuk HR kebidanan) adalah


sekitar 10,7% untuk pasien penerima bantuan medis dan 6,3% untuk pasien

dengan asuransi swasta (Kripalan. et al, 2014).

2.4 Identifikasi Pasien Risiko Tinggi

Menerapkan upaya intensitas tinggi, beragam aspek untuk semua pasien

rawat inap bisa jadi tidak memungkinkan untuk kebanyakan institusi, sehingga

terdapat banyak minat dalam memprediksi pasien dengan risiko tertinggi rawat

inap untuk memungkinkan diberikan intervensi yang ditargetkan. Tiga studi

secara khusus menerapkan intervensi transisional hanya untuk pasien berisiko

tinggi, kemudian dilaporkan terjadi pengurangan risiko absolut HR dalam 30 hari

dari 11 hingga 28 poin persentase. Studi ini menggunakan daftar cek list

sederhana dari berbagai kriteria risiko untuk mendaftarkan pasien, paling sering

termasuk peningkatan usia, adanya beberapa komorbiditas penyakit lainnya, ada

tidaknya gangguan fungsional, dukungan sosial yang buruk, dan pemanfaatan

layanan kesehatan sebelumnya (Kripalan. et al, 2014).

Pasien berisiko tinggi juga dapat diidentifikasi melalui model prediksi risiko

readmission, beberapa di antaranya telah dikembangkan dan divalidasi selama

30 tahun terakhir. Ketika mempertimbangkan nilai model ini, beberapa aspek

harus dipertimbangkan termasuk model kompleksitas, ketersediaan data, dan

kinerja model. Pendekatan yang paling sederhana sangat ideal untuk dokter

yang sibuk dan sering hanya berisi empat atau lima variabel. Sebaliknya model

lain mencakup lebih dari 90 variabel yang terpisah dan memanfaatkan luasnya

data administrasi yang tersedia. Secara umum terdapat beberapa pertukaran

antara kemudahan penggunaan dan kemampuan diskriminatif model. Penting

bagi individu dan lembaga untuk mempertimbangkan dengan cermat tujuan

prediksi risiko mereka ketika memilih model untuk digunakan (Kripalan. et al,

2014).
Pertimbangan penting lainnya dalam pemilihan model adalah pemilihan

waktu ketersediaan data. Agar skor risiko HR menjadi yang paling berguna

secara klinis, maka harus dihitung cukup awal selama indeks rawat inap untuk

memberikan waktu untuk intervensi yang diperlukan. Terdapat banyak model

prediksi yang dikembangkan menggunakan database administrasi termasuk

variabel yang tidak tersedia di awal di rumah sakit, seperti durasi perawatan di

rumah sakit dan apakah pasien dipulangkan ke fasilitas perawatan terampil.

Sementara model ini mungkin memiliki kegunaan untuk keperluan penyesuaian

risiko dan perbandingan rumah sakit, mereka kurang praktis untuk real-time

prediksi klinis (Kripalan. et al, 2014).

2.5 Faktor Risiko Hospital Readmission

Memahami penyebab dan faktor risiko yang mengarah pada HR adalah

kunci untuk mengidentifikasi pencegahan HR (Real. et al, 2018). Beberapa

penelitian telah menyarankan penggunaan parameter klinis dan demografis

tertentu sebagai faktor risiko HR. Faktor risiko klinis HR yaitu penggunaan obat

berisiko tinggi (antibiotik, glukokortikoid, antikoagulan, opioid, obat antiepilepsi,

antipsikotik, dan agen hipoglikemik), polifarmasi (penggunaan 5 atau lebih obat),

memiliki lebih dari enam komorbiditas, dan kondisi klinis spesifik lain (obstruktif

kronis) seperti penyakit paru-paru, diabetes, gagal jantung, stroke, kanker,

sirosis, penurunan berat badan, dan depresi). Faktor-faktor demografis meliputi

tingkat sosial ekonomi, tingkat pendidikan, ukuran jaringan sosial, dan riwayat

rawat inap sebelumnya.

Saat ini minat dalam mengidentifikasi faktor-faktor risiko yang berpotensi

dapat semakin meningkat. Tujuan mengidentifikasi faktor risikonya adalah untuk


mengurangi angka HR di rumah sakit dan meningkatkan kualitas layanan

kesehatan (Real. et al, 2018).

Di antara faktor-faktor risiko yang berpotensi reversibel terkait dengan HR,

salah satunya adalah status gizi pasien yang dirawat di rumah sakit. Faktor

tersebut telah menerima perhatian yang meningkat. Malnutrisi cukup sering

terjadi selama perawatan di rumah sakit dengan prevalensinya bervariasi antara

15% -70% dan hal tersebut berdampak negatif pada beberapa prognosis klinis.

Status gizi baru-baru ini terbukti tidak hanya berhubungan dengan durasi

perawatan di rumah sakit tetapi juga berhubungan dengan angka admisi yang

lebih tinggi. Penurunan status gizi pasien selama rawat inap juga dikaitkan

dengan prognosis klinis yang lebih buruk, contohnya berhubungan dengan lama

nya perawatan di rumah sakit (Real. et al, 2018).

2.6 Nutrisi Klinis

Nutrisi klinis sebagian besar ditentukan oleh interaksi antara kekurangan

makanan dan proses katabolik terkait dengan penyakit dan penuaan. Nutrisi

klinis meliputi pemberian nutrisi subjek dengan penyakit jantung vaskuler,

obesitas, Diabetes Melitus Tipe 2, Dislipidaemia, alergi makanan, intoleransi,

kelaianan metabolisme kongenital serta penyakit apa pun di mana nutrisi

berperan penting seperti pada kanker, stroke, fibrosis kistik dan banyak lagi.

Selain itu nutrisi klinis mencakup pengetahuan tentang komposisi tubuh dan

gangguan metabolisme yang menyebabkan perubahan abnormal pada

komposisi dan fungsi tubuh selama penyakit akut dan kronis. Malnutrisi / kurang

gizi, kelebihan berat badan, obesitas, kelainan mikronutrien, dan sindrom re-

feeding adalah gangguan nutrisi yang jelas, sedangkan sarkopenia dan

kelemahan adalah kondisi terkait nutrisi dengan latar belakang patogen yang

kompleks dan multipel (Cederholm. et al, 2017).


2.7 Status Gizi

Status Gizi adalah keseimbangan antara kebutuhan yang dimodulasi oleh

aktivitas dan penyakit (kebutuhan) di satu sisi dan asupan nutrisi diubah oleh

penyerapan (asupan) di sisi lain. Efek yang jelas dari ketidakseimbangan antara

asupan dan kebutuhan seperti yang didefinisikan di atas adalah terjadinya

perubahan komposisi tubuh dengan terjadinya wasting otot dan kehilangan

lemak tubuh ketika asupan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Jika

ketidakseimbangan berlanjut, maka tahap kritis dicapai dengan peningkatan

keabsahan kemudian terjadi kerentanan terhadap infeksi terutama Pneumonia

dan terjadi keterlambatan penyembuhan yang semuanya dianggap sebagai

komplikasi yang memperpanjang durasi perawatan di rumah sakit dan menjadi

faktor HR (Jeejeebhoy. et al, 2015).

Pada pasien rawat inap status nutrisi tidak hanya diubah oleh

ketidakseimbangan asupan yang dimodifikasi secara potensial oleh penyerapan

makanan yang tidak normal tetapi juga dipengaruhi oleh penyakit, trauma,

sepsis, dan demam. Oleh karena itu pada pasien rumah sakit, gabungan dari

faktor-faktor ini dipertimbangkan bersama-sama dalam memprediksi prognosis

dibandingkan hanya variabel tunggal (Jeejeebhoy. et al, 2015).

Status Gizi sering dinilai dengan Nutrition Indicator individu (NI). Menilai

komponen status gizi seperti Indeks Massa Tubuh (IMT), Lingkar Lengan

Tengah atau Mid Arm Circumference (MAC) atau Lingkar Betis atau Calf

Circumference (CC), analisis biokimia seperti plasma albumin (PA), dan

kekuatan pegangan tangan atau Hand Grip Strength (HGS) (Jeejeebhoy. et al,

2015).

2.8 Malnutrisi
Malnutrisi didefinisikan sebagai keadaan akibat kurangnya asupan atau

penyerapan nutrisi yang menyebabkan perubahan komposisi tubuh (penurunan

massa lemak bebas) dan massa sel tubuh yang menyebabkan berkurangnya

fungsi fisik dan mental serta gangguan prognosis klinis dari suatu penyakit.

Malnutrisi dapat terjadi karena kelaparan, penyakit, atau faktor penuaan lanjut

(misalnya usia di atas 80 tahun) saja atau kombinasi dengan beberapa keadaan

lain (Cederholm. et al, 2017).

Malnutrisi juga mengakibatkan perubahan komposisi tubuh yaitu termasuk

hilangnya massa tanpa lemak dan massa sel tubuh. Konsep malnutrisi telah

berubah, baru-baru ini didefinisikan sebagai keadaan akibat kurangnya

penyerapan atau asupan gizi yang mengakibatkan perubahan komposisi tubuh

(kehilangan massa tanpa lemak) dan massa sel tubuh serta berkurangnya fungsi

fisik atau mental. Dengan demikian menjadi semakin penting untuk mendiagnosis

Sarkopenia yaitu sebuah sindrom yang ditandai dengan hilangnya massa otot

yang terkait dengan hilangnya fungsionalitas yang merupakan prediktor signifikan

dari hasil klinis yang tidak menguntungkan (Real. et al, 2018).

Kehilangan massa otot dapat terjadi selama rawat inap. Beberapa penyebab

dapat dimodifikasi yang mengakibatkan hal tersebut adalah lama hari yang

dihabiskan pasien di tempat tidur dan asupan protein rendah selama rawat inap.

Mobilisasi dini dan penggunaan suplemen nutrisi dapat membantu menghindari

kehilangan otot dan mencegah kejadian HR dalam 30 hari (Real. et al, 2018).

Kriteria diagnosis malnutrisi untuk risiko gizi harus sesuai dengan alat

skrining risiko gizi apa pun yang valid. Salah satu dari dua set kriteria diagnostik

alternatif akan mengkonfirmasi diagnosis yaitu mengurangi Indeks Massa Tubuh

(IMT) <18,5 kg / m sesuai dengan definisi kekurangan berat badan yang

diberikan oleh WHO atau gabungan penurunan berat badan dan penurunan IMT
(cut-off yang bergantung pada usia) atau berkurangnya indeks massa bebas

lemak atau Fat Free Mass Index (FFMI) yang bergantung pada jenis kelamis

(Cederholm. et al, 2017).

2.8.1 Patofisiologi Malnutrisi

2.8.1.1 Malnutrisi Terkait Penyakit atau Disease Related Malnutrition (DRM)

Disertai Inflamasi

DRM adalah jenis malnutrisi spesifik yang didasari oleh suatu penyakit

tertentu. Inflamasi merupakan aliran yang penting untuk etiologi malnutrisi.

Dengan demikian satu jenis DRM dipicu oleh respons inflamasi spesifik penyakit,

sedangkan yang lain terkait dengan mekanisme etiologi non-inflamai. DRM

dengan inflamasi adalah kondisi katabolik yang ditandai dengan respons

inflamasi, seperti anoreksia dan kerusakan jaringan yang ditimbulkan oleh

penyakit yang mendasarinya. Faktor-faktor pemicu inflamasi adalah penyakit

tertentu sedangkan jalur peradangan yang mengarah ke anoreksia, pengurangan

asupan makanan, penurunan berat badan dan katabolisme otot cukup konsisten

pada seluruh penyakit yang mendasarinya (Cederholm. et al, 2017).

Derajat respon metabolik yang diinduksi oleh penyakit menentukan laju

katabolik dan pada titik ketika malnutrisi yang relevan secara klinis terjadi. Peran

inflamasi pada malnutrisi ditekankan dalam definisi non-diagnostik yaitu

malnutrisi adalah keadaan subakut atau kronis di mana kombinasi keseimbangan

energi negatif dan berbagai tingkat aktivitas peradangan telah menyebabkan

perubahan komposisi tubuh, berkurangnya fungsi, dan berhubungan dengan


prognosis klinis yang merugikan. Penuaan lanjut dapat berkontribusi pada

kondisi inflamasi. Selain itu kondisi tubuh tidak aktif dan tirah baring yang lama

mempercepat katabolisme otot pada DRM dengan inflamasi (Cederholm. et al,

2017).

2.8.1.2 DRM Kronis dengan Inflamasi

Sinonimnya adalah Cachexia. Terdapat dua konsep DRM kronis dengan

inflamasi dan Cachexia dapat dipertukarkan, meskipun Cachexia sering keliru

dianggap sebagai malnutrisi tahap akhir. Cachexia secara sederhana

digambarkan sebagai sindrom metabolik kompleks yang terkait dengan penyakit

yang mendasarinya dan ditandai dengan hilangnya massa otot dengan atau

tanpa kehilangan massa lemak. Cachexia yang menonjol adalah penurunan

berat badan pada orang dewasa. Fenotip ini dicirikan dengan penurunan berat

badan, penurunan IMT, dan penurunan massa otot serta fungsinya dalam

kombinasi dengan penyakit yang mendasari yang menampilkan indeks biokimia

dari peningkatan aktivitas inflamasi yang sedang berlangsung. Cachexia sering

terjadi pada pasien dengan kelainan organ stadium akhir yang diperparah oleh

adanya respon inflamasi katabolik seeprti kanker, Penyakit Paru Obstruktif Kronik

(PPOK), Peradangan Penyakit Usus, Gagal Jantung Kongestif, Penyakit Ginjal

Kronis dan penyakit organ tahap akhir lainnya. Peradangan sistemik yang

menggerakkan katabolisme gangguan semacam itu biasanya berkarakter lebih

ringan, misalnya konsentrasi serum protein Creactive (CRP) jarang melebihi 40

mg / L, meskipun inflamasi dapat terjadi selama eksaserbasi penyakit. CRP > 5

mg / L disarankan sebagai batas bawah untuk mendefinisikan inflamasi yang

relevan dalam skenario ini, meskipun nilai cut-off CRP lainnya untuk berbagai

metode yang diberikan serta penanda peradangan biokimia lainnya dapat

dipertimbangkan (Cederholm. et al, 2017).


Cachexia seperti yang dijelaskan seperti kanker dapat berkembang

secara progresif melalui berbagai tahap yaitu pre-Cachexia, Cachexia, dan

Cachexia refraktori. Kanker Cachexia merupakan bentuk kronis tertentu. DRM

dengan inflamasi menurut Fearon et al ditentukan oleh penurunan berat badan>

5% saja atau penurunan berat badan> 2% jika IMT berkurang 2 (<20 kg / m) atau

FFM berkurang yaitu indeks massa otot rangka apendikular <7,2 kg / m2 pada

pria atau <5,5 kg / m pada wanita (Cederholm. et al, 2017).

Konsep yang sama dikenal sebagai cachexia jantung telah dikembangkan

oleh Anker et al pada pasien gagal jantung kronis yang didasarkan pada

penurunan berat badan yang tidak disengaja dan non-edema> 7,5% dari berat

badan normal pre morbid. Cachexia jantung dikaitkan dengan neuroendokrin

abnormal dan fungsi imunologis serta gangguan prognosis yang tidak tergantung

pada usia dan tingkat keparahan penyakit (Cederholm. et al, 2017).

Pasien dengan pre-cachexia beresiko mengalami malnutrisi karena

adanya respon inflamasi yang ditimbulkan oleh penyakit kronis yang

mendasarinya. Kriteria diagnostik untuk DRM kronis dengan inflamasi/Cachexia

disarankan sama dengan kriteria diagnostik untuk malnutrisi yang

dikombinasikan dengan kehadiran simultan dari penyakit yang mendasarinya

serta indeks biokimia dari inflamasi yang sedang berlangsung atau berulang.

Indikator biokimia peradangan meliputi peningkatan konsentrasi CRP serum

dan / atau penurunan konsentrasi serum albumin (Cederholm. et al, 2017).

2.8.1.3 Malnutrisi Terkait Penyakit Akut atau Cedera

Pasien di Unit Perawatan Intensif (ICU) dengan penyakit akut atau trauma

(misalnya infeksi besar, luka bakar, cedera kepala tertutup) atau pasien yang

menjalani prosedur bedah besar memiliki tantangan nutrisi tertentu dengan risiko

tinggi terjadinya malnutrisi akibat stres metabolisme. Tindakan gabungan dari


aktivitas sitokin proinflamasi tinggi, peningkatan pelepasan kortikosteroid dan

katekolamin, resistensi terhadap insulin dan hormon pertumbuhan lainnya, tirah

baring lama serta tidak ada atau berkurangnya asupan makanan membuka jalan

bagi terjadinya penurunan cepat energi tubuh dan simpanan nutrisi. Pasien

semacam ini perlu direncanakan penanganan gizi segera terlepas dari berat

badan atau pengukuran antropometrik. Tidak ada kriteria objektif yang disepakati

untuk kekurangan gizi pada pasien ICU, namun gambaran klinis katabolik yang

jelas selalu perlu dikelola dari sudut pandang gizi (Cederholm. et al, 2017).

2.8.1.4 DRM tanpa Inflamasi

Sinonimnya adalah DRM non-Cachectic (Cederholm. et al, 2017). DRM

tanpa inflamasi atau DRM non-cachectic adalah bentuk malnutrisi yang dipicu

oleh suatu penyakit di mana inflamasi tidak termasuk dalam mekanisme etiologi.

Mekanisme alternatif ini dapat mencakup disfagia akibat obstruksi pencernaan

bagian atas, gangguan neurologis seperti stroke, penyakit Parkinson,

Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS) atau disfungsi demensia atau kognitif.

Gangguan kejiwaan seperti Anoreksia Nervosa dan depresi atau malabsorpsi

karena gangguan usus seperti Short Bowel Syndrome (misalnya setelah reseksi

usus karena infark mesenterium) merupakan mekanisme patogenesis lain

perkembangan DRM yang tidak dipengaruh proses inflamasi. Penuaan lanjut

berkontribusi terhadap kejadian DRM tanpa inflamasi yang disebabkan oleh

Anoreksia yang dikenal dengan istilah "Anoreksia Penuaan" yang juga

disebabkan oleh mekanisme terkait non-inflamasi. Inflamasi bisa jadi terlibat

dalam patogenesis beberapa penyakit pada fase awal terjadinya malnutrisi,

namun tidak memiliki dampak yang relevan secara klinis pada fase selanjutnya

dari proses malnutrisi. Untuk beberapa penyakit misalnya Penyakit Crohn, pasien
dapat berosilasi antara malnutrisi dengan dan tanpa proses inflamasi

(Cederholm. et al, 2017).

Kriteria diagnostik untuk DRM tanpa inflamasi atau DRM non-Cachectic

sama halnya dengan kriteria diagnostik malnutrisi yang digabungkan dengan

etiologi penyakit yang mendasarinya tetapi tanpa indeks biokimia inflamasi saat

ini atau berulang (Cederholm. et al, 2017).

2.8.2 Sarkopenia

Sarkopenia merupakan keadaan dimana pasien kehilangan massa dan

kekuatan otot yang progresif dan menyeluruh. Pada tahun 2010 European

Working Group on Sarcopenia in Older People (EWGSOP) merilis pedoman

diagnosis Sarkopenia dan mendefinisikannya sebagai keadaan massa otot yang

rendah dan fungsi otot yang rendah (kekuatan atau kinerja). Sarkopenia diakui

sebagai sindrom multi-sisi yang disebabkan oleh berbagai faktor. Fungsionalitas

otot dan fisiologi dapat memengaruhi kinerja otot karena perubahan yang

berkaitan dengan usia dalam komposisi tubuh (Ukegbu. et al, 2018).

Sarkopenia adalah sindrom multi faktor yang melibatkan perubahan

hormon, fisik, dan imunologis serta perubahan sistem saraf pusat dan perifer.

Seiring bertambahnya usia, atrofi serat otot menyebabkan penurunan massa dan

kekuatan otot. Ditemukan kekuatan genggaman tangan rendah pada mereka

usia lanjut di mana fungsi faktor neutrofik siliaris yaitu protein yang merangsang

pembentukan unit motorik berkurang. Deteksi detrisi adalah hasil dari penurunan

sintesis protein dan penurunan aktivasi sel satelit yang disebabkan oleh

penurunan faktor pertumbuhan seperti Insulin-1 (IGF-1 dan faktor pertumbuhan

mechano). Peran kunci lain yang memicu Sarkopenia adalah adanya mutasi

DNA mitokondria yang dihasilkan dari mitokondria spesies oksigen reaktif yang
mengakibatkan kematian dan kerusakan sel. Perubahan hormon dan imunologis

yang disebabkan oleh peningkatan aktivitas katabolik (peningkatan kadar

Interleukin (IL) -1, IL-6, miostatin dan Tumor Necrosis Factor-Alpha) dan

resistensi atau tidak adanya faktor anabolik (penurunan kadar IGF-1, hormon

pertumbuhan dan testosteron) juga berkontribusi terhadap kejadian Sarkopenia

(Ukegbu. et al, 2018).

2.8.2.1 Diagnosis Sarkopenia

Diagnosis Sarkopenia memerlukan pengukuran kekuatan otot serta

komposisi tubuh. Penurunan massa otot rangka dapat diukur dengan modalitas

Dual-Energy Xray Absorptiometry (DXA), Computed Tomography (CT), Magnetic

Resonance Imaging, dan analisis Bio-Impedance. Namun sebagian besar

modalitas diagnostik tersebut sulit diakses, mahal, dan beberapa prosedur

membuat subjek terkena radiasi. Berbagai cut off point untuk indeks massa otot

apendikular skeletal atau Appendicular Skeletal Muscle Mass Index (ASM)

(ASMI) bersama dengan ukuran kekuatan otot dan kinerja fisik telah diusulkan

untuk mengidentifikasi terjadinya Sarkopenia. Baumgartner et al. dalam studi

New Mexico Aging Process menyimpulkan pengukuran dari empat ekstremitas

tubuh dengan menggunakan pemindaian DXA. Jumlah pengukuran keempat

ekstremitas yang disebut ASM ini digunakan untuk mendefinisikan cut-off point

untuk menegakkan diagnosis Sarkopenia (Ukegbu. et al, 2018).

2.8.2.2 Pencegahan Sarkopenia

Latihan aerobik dapat mencegah penurunan fungsional pada ekstremitas

bawah dan latihan resistensi dapat meningkatkan laju sintesis protein otot

campuran pada lansia. Fiatarone et al melakukan uji coba terkontrol plasebo

acak di mana subyek diberikan latihan olahraga progresif, suplemen multi-nutrisi


dan diberikan kedua intervensi dan hasilnya ditemukan peningkatan sebesar 3%

hingga 11% pada area penampang otot. Haskell et al menyarankan lansia

diberikan pelatihan resistensi selama dua hari atau lebih setiap minggu dengan

menggunakan kelompok otot utama untuk mempertahankan kekuatan dan daya

tahan otot (Ukegbu. et al, 2018).

Rekomendasi untuk menjaga otot tetap sehat pada kelompok lansia yaitu

diberikan asupan protein optimal satu hingga 1,2 g / kg / hari menghasilkan

peningkatan fungsi otot dan massa otot. Demikian pula Paddon-Jones dan

Rasmussen menemukan bahwa makanan protein berkualitas tinggi 25-30 g /

makan dapat meningkatkan sintesis protein dan mempertahankan massa otot

skeletal. Suplementasi asam amino esensial juga dapat mencegah hilangnya

massa otot. Paddon-Jones dan Rasmussen juga menunjukkan sintesis protein

otot yang lebih tinggi dengan suplementasi asam amino esensial (Ukegbu. et al,

2018).

Suplementasi vitamin D meningkatkan kekuatan otot dan mengurangi

risiko jatuh. Berbagai produk farmasi seperti testosteron, steroid anabolik atau

modulator reseptor androgen selektif, hormon pertumbuhan, IGF-1, Grelin,

Miostatin, activating II receptor inhibitors, Espindolol, angiotensin converting

enzyme inhibitor (Perindopril) dan aktivator troponin skeletal cepat (Terasemtiv)

sedang diteliti untuk pengobatan Sarkopenia (Ukegbu. et al, 2018).

2.9 Calf circumference (CC) atau Lingkar Betis

Metode diagnostik pilihan untuk menilai penurunan massa otot adalah

dengan alat diagnostik seperti Dual-Energy X-Ray Absorptiometry (DXA) dan

Computed Tomography, namun modalitas tersebut mahal dan tidak mudah

diakses sehingga membatasi penerapannya di rumah sakit. Demikian juga

metode diagnostik dengan menggunakan penilaian gaya berjalan memiliki


keterbatasan dalam penerapannya pada rawat inap karena kendala yang terkait

dengan kondisi neurologis atau kardiopulmoner. Dengan demikian metode

diagnostik praktis dan efektif untuk menilai penurunan massa otot di perawatan di

rumah sakit masih dicari. Indeks antropometrik seperti Calf circumference (CC)

atau Lingkar Betis mudah dilakukan, murah, dan telah terbukti berkorelasi baik

dengan penilaian massa otot dalam studi epidemiologi (Real. et al, 2018).

CC secara positif berhubungan dengan variabel antropometrik yang menilai

massa otot dan jaringan lemak (Mclellan. et al, 2010). CC adalah ukuran

antropometrik sederhana dan dapat diterapkan secara universal dan telah

digunakan sebagai penanda penurunan massa otot dalam studi populasi. CC

berkorelasi baik dengan massa otot rangka apendikular dan indeks otot rangka

atau Skeletal Muscle Index (SMI) yang diukur dengan Dual-Energy X-Ray

Absorptiometry (DXA) (Real. et al, 2018).

Pengukuran Calf Circumference (CC) menggambarkan penurunan massa

otot yang rendah dan telah divalidasi dengan standar referensi saat ini

(dibandingkan dengan pemeriksaan Dual-energy X-ray absorptiometry [DEXA], r

= 0,63) dan telah terbukti bermanfaat memprediksi prognosis klinis yang

merugikan seperti angka mortalitas dan ketergantungan. Nilai CC yang tinggi

pada populasi dengan frekuensi obesitas yang meningkat dapat menjadi

penanda obesitas Sarkopenik. Hasil pengukuran CC rendah atau tinggi

merupakan penanda terjadinya malnutrisi dan berpotensi berhubungan dengan

kejadian Sarkopenia (Zepeda. et al, 2016).

2.10 Calf Circumference: Penanda Massa Otot sebagai Prediktor Kejadian

Hospital Readmission

Penilaian status gizi pada pasien rawat inap akut harus dilakukan secara

efektif dan mampu memprediksi prognosis klinis yang merugikan seperti


perpanjangan durasi rawat inap di rumah sakit dan sebagai prediktor hospital

readmission. Hal tersebut untuk mencegah lamanya durasi yang dihabiskan

pasien di rumah sakit yang kemudian akan menambah beban biaya kesehatan

dan mempengaruhi kualitas hidup pasien (Jeejeebhoy. et al , 2015).

Karakteristik antropometrik individu adalah prediktor yang sederhana dan

kuat untuk kesehatan pasien di masa depan, terjadinya gangguan fungsional,

dan kematian. Namun kekuatan prediksi indikator antropometrik cenderung

bervariasi karena sejumlah faktor yang berbeda, seperti perubahan biologis yang

berkaitan dengan usia, penyakit, gaya hidup (merokok, diet, aktivitas fisik) dan

faktor sosial ekonomi. Untuk alasan ini terdapat kesepakatan yang kurang

mengenai nilai klinis antropometri pada lansia, baik dalam hal penerapan metode

dan interpretasi hasil. Misalnya perubahan tinggi terkait usia dapat

dipertimbangkan ketika parameter metabolik dan gizi berhubungan dengan

indeks massa tubuh (Landi. et al, 2014).

Sejumlah batasan intrinsik sering digunakan sebagai indeks antropometrik

pada semua kelompok umur, termasuk dampak lemak tubuh dan perubahan

cairan terhadap berat badan, lipatan kulit, lingkar otot, dan kesulitan subjek yang

lemah untuk melakukan pengukuran tinggi badan. Dalam hal ini penting untuk

menyoroti bahwa calf circumference dianggap memberikan ukuran massa otot

yang paling sensitif pada subjek yang lebih tua dan lebih unggul dibandingkan

dengan ukuran lingkar lengan. Sebelumnya beberapa penulis telah menunjukkan

bahwa CC mampu menunjukkan perubahan massa bebas lemak yang terjadi

seiring bertambahnya usia dan penurunan aktivitas (Landi. et al, 2014).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hasil pengukuran CC yang rendah

berhubungan dengan prognosis klinis yang buruk. Landi et al menunjukkan

korelasi positif hasil pengukuran CC dengan kinerja fisik dan kekuatan otot pada
populasi lansia. Dalam studi observasional lain mengaitkan hasil pengkuran CC

yang rendah dikaitkan dengan peningkatan angka mortalitas. Dalam sebuah

penelitian kohort prospektif pasien usia lanjut di Taiwan, pengukuran CC

diidentifikasi lebih baik dibandingkan pengukuran IMT untuk memprediksi risiko

mortalitas. Dalam penelitian serupa pada orang dewasa di Kanada, hasil

pengukuran CC yang lebih besar berbanding terbalik dengan angka mortalitas

yang lebih rendah. Namun peneltian tersebut merupakan penelitian pertama

yang membangun hubungan yang signifikan antara hasil pengukuran CC kecil

sebagai indikator massa otot rendah dan risiko HR dalam 30 hari setelah keluar

dari perawatan di rumah sakit (Real. et al, 2018).

Gustavo Gonzales Real et al melakukan penelitian yang bertujuan untuk

mengidentifikasi faktor risiko HR pada pasien klinis dengan menekankan pada

aspek nutrisi terutama berdasarkan pengukuran CC sebagai penanda massa

otot. Sebuah studi kohort prospektif dilakukan terhadap pasien yang dirawat di

bangsal penyakit dalam. Bentuk singkat dari Penilaian Patient-Generated

Subjective Global dilakukan dalam 24 jam pertama rawat inap. Kemudian analisis

impedansi bioelektrik frekuensi tunggal digunakan untuk memperkirakan sudut

fase pengukuran CC sebagai penanda massa otot dan penilaian kekuatan

genggaman sebagai penanda kekuatan. Charlson Comorbidity Index (CCI)

digunakan untuk menilai tingkat keparahan komorbiditas. Penilaian ulang

dilakukan setiap tujuh hari selama rawat inap. Risiko HR dievaluasi dalam 30 hari

setelah pasien keluar dari rumah sakit setelah perawatan, penilaian dilakukan

melalui kontak telepon. Sebanyak 161 pasien dinilai.

Hasilnya didapatkan 54,6% pasien adalah laki-laki dengan usia rata-rata

17,8 tahun. Nilai rata – rata CCI adalah 2,76 (kisaran interkuartil: 1-4) dan risiko

malnutrisi dan hasil pengukuran CC rendah masing-masing didapatkan sebesar


77,6% dan 46% pasien. Kejadian HR sebesar 16,8% setelah 30 hari. Setelah

mengontrol jenis kelamin dan usia, nilai CCI> 2 (Odds Rasio [OR]: 3.29; 95%

interval kepercayaan [CI]: 1.21-8.97), adanya kanker (OR: 4.52; 95% CI: 1.11-

18.42) , risiko gizi (OR: 9,53; 95% CI: 1,16-77,9), dan pengukuran CC rendah

(OR: 3,89; 95% CI: 1,34-11,31) secara signifikan berhubungan dengan risiko HR

setelah 30 hari perawatan di rumah sakit. Kesimpulannya, kehilangan massa otot

yang diidentifikasi dari pengukuran CC dapat menjadi prediktor yang baik

terhadap risiko HR setelah 30 hari perawatan di rumah sakit, bahkan setelah

faktor-faktor risiko lainnya dikendalikan (Real. et al, 2018).

Hasil pengukuran CC dikatakan rendah jika didapatkan hasil pengukuran

sama dengan atau lebih rendah 34 cm untuk pria dan 33 cm untuk wanita (cut off

point) pada pasien yang diukur sebelum pasien pulang dari rumah sakit. Hasil

pengukuran CC yang rendah digunakan sebagai indikator adanya penurunan

massa otot yang kemudian berhubungan dengan peningkatan risiko HR setelah

30 hari perawatan di rumah sakit bahkan setelah mengendalikan risiko gizi (yang

dinilai oleh Patient Generated- Subjective Global Assesment atau PG-SGA). Nilai

Cut off ini didefinisikan sebagai 1 Standar Deviasi (SD) di bawah nilai rata-rata

SMI apendikular yang diukur dengan DXA dalam sampel yang representatif dari

populasi dewasa muda (30 tahun). Hasil pengukuran CC rendah berkorelasi

dengan hilangnya massa otot yang penting dalam diagnosis pre sarkopenia. Nilai

di bawah 31 cm terbukti terkait dengan hilangnya kapasitas fungsional dalam

penelitian pada wanita Prancis (Real. et al, 2018).

2.11 Cara mengukur Calf Circumference

Dalam penelitian sebelumnya pengukuran antropometrik memberikan nilai

reabilitas yang sangat baik ketika dilakukan oleh tenaga ahli (Landi. et al, 2014).
Pengukuran antropometrik dilakukan menggunakan pita plastik non-elastis tetapi

fleksibel (Landi. et al, 2014).

Calf Circumference diukur di daerah betis paling menonjol (Zepeda. et al,

2016). CC diukur pada kaki kiri atau kaki kanan untuk orang kidal dalam posisi

duduk dengan lutut dan pergelangan kaki pada sudut kanan dan kaki bertumpu

di lantai dan dalam keadaan rileks. CC diukur pada titik keliling terbesar. Jaringan

subkutan tidak dikompresi (Landi. et al, 2014), dilakukan tiga kali pengukuran

dan diambil hasil yang tertinggi, hasil pengukuran dalam sentimeter (Zepeda. et

al, 2016).

Gambar 2.3. Cara Pengukuran Lingkar Betis atau Calf Circumference (CC)
(Zepeda. et al, 2016).
2.12 Rencana Terapi Nutrisi

Rencana perawatan nutrisi adalah skema untuk terapi nutrisi berdasarkan

hasil penilaian. Rencana ini harus dikembangkan oleh tim multi atau

interdisipliner bersama dengan pasien dan pendamping pasien untuk mencapai

tujuan perawatan yang berpusat pada pasien. Rencana perawatan nutrisi yang

komprehensif dilakukan dengan menjelaskan terapi nutrisi dan memberikan


saran untuk memantau keefektifan rencana dan dilakukan penilaian ulang

(Cederholm. et al, 2017).

2.12.1 Terapi Nutrisi

Terapi nutrisi adalah istilah umum untuk menggambarkan bentuk nutrisi,

pemberian nutrisi dan sistem edukasi yang diperlukan untuk layanan nutrisi atau

untuk mengobati kondisi yang berhubungan dengan nutrisi, baik itu dalam bentuk

nutrisi preventif dan nutrisi klinis (Cederholm. et al, 2017).

Terapi nutrisi menjelaskan bagaimana nutrisi disediakan untuk mengobati

segala kondisi yang berhubungan dengan nutrisi. Nutrisi atau nutrien dapat

diberikan secara oral (diet teratur, diet terapeutik, misalnya suplemen nutrisi oral)

yang diberikan melalui pemberian makan enteral atau sebagai nutrisi parenteral

untuk mencegah atau mengobati malnutrisi secara individual (Cederholm. et al,

2017).

2.12.2 Pemantauan

Pemantauan terapi nutrisi adalah tindakan untuk memeriksa dan

menyesuaikan bahwa pemberian nutrisi sedang berlangsung dan asupan atau

provisi gizi sudah mencukupi, untuk memastikan toleransi, dan bahwa tujuan

serta hasil yang diharapkan tercapai. Prosedur pemantauan membutuhkan

rencana individu di mana tujuan gizi didefinisikan. Harus ditekankan bahwa

pengukuran biokimia, fungsional dan kualitas hidup saat ini mungkin tidak cukup

sensitif untuk menangkap perubahan yang relevan dari status gizi (Cederholm. et

al, 2017).

2.12.3 Asupan Nutrisi

Dalam pengaturan rumah sakit, rekaman asupan nutrisi dapat dilakukan

dengan membuat laporan makanan harian (food record) dan laporan makanan
24 jam (food recall) telah terbukti berguna secara klinis atau menggunakan buku

harian yang direkam sendiri oleh pasien. Jumlah konsumsi makanan dapat

diperkirakan dengan catatan makanan selama dua sampai empat hari. Catatan

berat makanan yaitu untuk menimbang setiap item makanan sebelum dan

sesudah konsumsi makanan sulit untuk diterapkan dalam praktik klinis, namun

sering digunakan dalam penelitian. Teknologi digital modern dapat menyediakan

cara baru untuk membangun asupan nutrisi (Cederholm. et al, 2017).

2.12.4 Bentuk Terapi Nutrisi

Terapi nutrisi dapat diberikan dalam banyak cara (Cederholm. et al, 2017).

2.12.4.1 Diet Rumah Sakit Biasa

Diet rumah sakit yang teratur harus mencakup kebutuhan nutrisi dan

energi pasien sesuai dengan rekomendasi berdasarkan bukti ilmiah. Komposisi

diet memperhitungkan kebiasaan makanan lokal dan pola makanan selama tidak

ada persyaratan terapi khusus dalam hal ini diperlukan diet terapeutik atau

makanan fungsional (Cederholm. et al, 2017).

2.12.4.2 Produk Makanan

Produk makanan adalah setiap makanan yang sesuai untuk konsumsi

manusia yang menyediakan makronutrien yang mengandung energi, misalnya

karbohidrat, protein, lemak) dan / atau mikronutrien (misalnya vitamin, mineral)

dan / atau zat lain yang dapat berkontribusi untuk memenuhi nutrisi kebutuhan

pasien di rumah sakit (Cederholm. et al, 2017).

2.12.4.3 Diet Terapeutik

Diet terapeutik ditentukan sesuai dengan kebutuhan spesifik pasien

(Cederholm. et al, 2017).

2.12.4.4 Modifikasi Makanan


Beberapa kondisi atau penyakit misalnya Diabetes Mellitus,

Hiperlipidemia, Ensefalopati Hepatik, Penyakit Ginjal memerlukan modifikasi

makanan yang dapat mencakup penyesuaian asupan karbohidrat, lemak, protein

dan mikronutrien, atau menghindari alergen spesifik (Cederholm. et al, 2017).

2.12.4.5 Makanan yang Difortifikasi

Makanan yang difortifikasi adalah produk makanan yang ditambahkan

vitamin, mineral, energi, atau nutrisi lainnya, atau kombinasi keduanya guna

meningkatkan energi atau kepadatan nutrisi (Cederholm. et al, 2017).

2.12.4.6 Suplemen Makanan

Suplemen makanan adalah produk makanan yang melengkapi diet

normal dan yang merupakan sumber nutrisi terkonsentrasi, misalnya vitamin atau

mineral atau zat lain dengan efek nutrisi atau fisiologis saja atau dalam

kombinasi yang dipasarkan dalam berbagai bentuk dosis kapsul, tablet dan

bentuk serupa, saset bubuk, ampul cairan, drop dispensing bottles, dan bentuk-

bentuk serupa lainnya dari bentuk sediaan oral, cairan dan bubuk yang

dirancang untuk diambil dalam jumlah satuan kecil yang terukur (Cederholm. et

al, 2017).
Keparahan Penyakit
Akut
0-7 hari setelah
HR Dini rawat inap Faktor Perawatan di
Indikator Kualitas Pelayanan
Rumah Sakit
Kesehatan
BAB 3
Hospital
Peningkatan Beban Biaya
Readmission
Perawatan KERANGKA TEORI DAN KONSEP Keparahan Penyakit
(HR)
8-30 hari Kronis
Peningkatan Prognosis Buruk
setelah rawat
3.1 Kerangka Teori HR Lanjut inap

Faktor Faktor Sosial


Peningkatan Mortalitas
Ekonomi
Risiko

Klinis Sosial Ekonomi


Demografis

Polifarmasi Kondisi Pendidikan


Penggunaan
(> 5 obat) Lain >6
Obat Risiko Status Gizi
Tinggi komorbid Ukuran Jaringan Sosial

Penyakit Paru-
Antibiotik Riwayat Rawat Inap
Paru, Diabetes,
Gagal Jantung,
Glukokortikoid Stroke, Kanker,
Sirosis, Penurunan
Berat Badan, dan Indikator Penilaian Status Gizi
Antikoagulan Depresi

Opioid Faktor Penyebab Malnutrisi Indeks Massa Tubuh

Anti Epilepsi Mid Arm


Lama hari pasien Penurunan Massa Circumference
di tempat tidur Otot dan Lemak (MAC)
Anti Psikotik
Tubuh
Analisis Albumin
Anti Kondisi : Trauma,
Hipoglikemik
Sepsis, Demam Hand Grip Strength
Risiko Infeksi Keterlambatan
(HGS)
Penyembuhan
Ketidakseimbangan
Asupan Calf Circumference
(CC)

Prognosis Klinis
Asupan Protein Lebih Buruk
Rendah Menilai Penurunan
Massa Otot dan Jaringan
Lemak

Memperpanjang Risiko HR Peningkatan


Durasi Rawat Inap Risiko Mortalitas
Tinggi
Hasil Pengukuran
CC Rendah

Cut off : pria < 34


cm, wanita < 33 cm

Prediktor Hospital
Peningkatan Risiko
Readmission setelah 30 Hari
Mortalitas
Perawatan di Rumah Sakit
3.2 Kerangka Konsep
BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan suatu penelitian analitik observasional, cross

sectional untuk melihat hubungan calf circumference (CC) terhadap risiko

hospital readmission di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo, Kota Makassar.

4.2 Tempat Dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di semua unit yang bekerja sama dengan

Gizi Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo, Makassar. Untuk pengambilan sampel


dilakukan selama 9 bulan, dimulai dari bulan September 2019 sampai dengan

bulan Mei 2020.

4.3 Populasi Dan Sampel Penelitian

Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien rawat inap di Rumah Sakit

Wahidin Sudirohusodo, kota Makassar yang bekerja sama dengan gizi. Sampel

diambil berdasarkan metode consecutive sampling selama periode penelitian.

4.4 Kriteria Inklusi, Ekslusi, Dan Drop Out

4.4.1 Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi adalah sampel atau polupasi yang memenuhi syarat untuk

dimasukkan dalam penelitian. Adapaun yang menjadi syarat kriteria inklusi

adalah sebagai berikut :

4.4.1.1 Setuju ikut serta dalam penelitian


4.4.1.2 Persetujuan dari dokter primer yang merawat

4.4.1.3 Umur : mulai usia 18 tahun

4.4.1.4 Dirawat di perawatan rawat inap RS Wahidin Sudirohusodo

4.4.1.5 Telah dirawat di rumah sakit selama> 24 jam

4.4.1 Kriteria Eksklusi

Kriteria ekslusi adalah sampel atau populasi yang tidak memenuhi syarat

untuk masuk dalam penelitian. Adapun syarat kriteria eklusi adalah sebagai

berikut:

4.4.1.1 Pasien atau anggota keluarga tidak dapat memberikan informasi

yang diperlukan untuk melengkapi kuesioner

4.4.1.2 Pasien yang tetap dalam isolasi kontak, sehingga mencegah

pengujian gizi.
4.4.2 Kriteria Drop Out

Kriteria drop out adalah sampel atau populasi yang dikeluarkan

sementara penelitian berjalan. Adapun syarat kriteria drop out adalah sebagai

berikut :

4.4.2.1 Pasien yang dipindahkan ke rumah sakit lain

4.4.2.2 Pasien meninggal selama dirawat di rumah sakit

4.5 Cara Pengambilan Sampel

Cara pengambilan sampel menggunakan metode consecutive sampling

untuk mendapatkan sampel sesuai dengan kriteria hingga jumlah sampel

terpenuhi.
4.6 Perkiraan Besaran Sampel Penelitian

Jumlah minimum dihitung berdasarkan rumus penelitian cross sectional

sebagai berikut:

Keterangan :

o n = jumlah sampel minimum

o Z1-α/2 = Nilai distribusi normal baku pada α 0,05=(1,96)

o P = Proporsi calf circumference rendah

o D = Kesalahan absolute yang dapat ditolerir (0,05)

o N = Besar populasi (293)

Penetapan nilai proporsi pada penelitian ini didasarkan pada hasil

penelitian yang dilakukan oleh Real (2018) yang melaporkan bahwa dari 161

total pasien yang dirawat inap di rumah sakit, jumlah pasien yang mengalami

malnutrisi mencapai 54% sehingga nilai p = 0,54. dari total populasi. Sedangkan

nilai kesalahan (relatif) yang dapat ditolerir dalam penelitian ini ditetapkan

sebesar 5% (0.05). Sehingga, perhitungan sampel minimal:

n=

n=
n = 113 orang

Berdasarkan hasil perhitungan sampel diatas, maka diketahui

bahwa jumlah sampel minimum yang harus dipenuhi adalah 113 orang.

Namun, untuk menghindari terjadinya bias dan lost to follow up, maka

dilakukan penambahan jumlah sampel sebesar 10% dari hasil

perhitungan. Oleh sebab itu, maka ditetapkan jumlah sampel sebesar 125

orang.

4.7 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

4.7.1 Status pasien yang memuat data umum dan data khusus subjek

penelitian (usia, jenis kelamin, status perkawinan, diagnosis saat masuk,

diagnosa sekunder, profil komorbiditas dan penggunaan obat)

4.7.2 Formulir persetujuan setelah penjelasan (informed consent)

4.7.3 Kuesioner profil sosioekonomi dan Patient-Generated Subjective Global

Assessment (PG-SGA)
4.7.4 Alat pengambilan sampel yaitu pengukuran calf circumference (CC)

dengan pita inelastik BodyMetrix, alat ukur bioelectrical impedance

analysis (BIA) frekuensi tunggal dengan portabel Quantum BIA 101 Q dan

elektroda sekali pakai dan handgrip strength (HGS) dengan

dynamometer.

4.8 Metode Pengumpulan Data

4.8.1 Prosedur Penelitian

Dalam 24 jam pertama setelah masuk ke dalam perawatan inap RS

Wahidin Sudirohusodo, peneliti memberikan kuesioner standar yang berisi

pertanyaan tentang demografi, sosioekonomi, komorbiditas, dan penggunaan

obat-obatan, dan melakukan penilaian Patient-Generated Subjective Global

Assessment (PG-SGA). Selain itu, penilaian status gizi dilengkapi dengan

bioelectrical impedance analysis (BIA) frekuensi tunggal, serta pengukuran calf

circumference (CC) dan handgrip strength (HGS). Karena status klinis dan gizi

seorang pasien dapat berubah selama rawat inap, penilaian ulang dilakukan

setiap 7 hari sampai keluar untuk menentukan apakah status gizi memburuk

selama rawat inap dan untuk menentukan hubungan antara status gizi pada saat

keluar dan kebutuhan akan HR. Nomor telepon dan alamat pasien juga

dikumpulkan untuk kontak setelah keluar. Para pasien dinilai setiap hari untuk

terjadinya efek samping selama rawat inap dan untuk mengidentifikasi

perubahan dalam status klinis mereka


4.8.2 Pemberian dan Penjelasan Informed Consent

Pemberian penjelasan kepada keluarga subjek penelitian tentang tujuan

dan manfaat penelitian, cara pengukuran antropometri, dan pengambilan darah.

Kemudian diminta untuk mengisi dan menandatangani surat persetujuan sebagai

tanda persetujuan untuk dilakukannya penelitian ini.

4.8.3 Pencatatan Data Sampel

Pengumpulan data dilakukan 2 tahap :

4.8.3.1 Tahap pertama adalah pengumpulan data saat melakukan skrining untuk

menemukan sampel yang sesuai dengan kriteria inklusi dan tidak memiliki

kriteria eksklusi.

4.8.3.2 Tahap kedua adalah pengumpulan data dari semua variabel yang akan

diteliti pada awal dan akhir penelitian. Pengumpulan dilakukan oleh

peneliti.
4.8.4 Jenis Data

4.8.4.1 Data Primer

4.8.4.2 Data identitas pasien.

4.8.4.3 Data status gizi

4.8.4.4 Data status hospital readmission

4.8.4.5 Data Sekunder: Diperoleh dengan melihat dan mencatat kondisi pasien

serta hal-hal yang berhubungan dengan penelitian.

4.8.5 Pengisian Status Pasien

Pengisian status pasien dilakukan dengan menggunakan pengambilan

data dari rekam medis pasien berupa data demografi dan klinis yang

dikumpulkan termasuk usia, jenis kelamin, status perkawinan, diagnosis saat

masuk, diagnosa sekunder, profil komorbiditas dan penggunaan obat.

Profil sosial ekonomi peserta dievaluasi menggunakan 2015 Asosiasi

Brasil untuk Studi Populasi (Associac¸ao¸ Brasileira de Estudos Populacionais

[ABEP]) kuesioner. Dalam ABEP, status ekonomi didasarkan pada kepemilikan

barang-barang konsumsi tertentu dan tingkat pendidikan kepala rumah tangga.

Menurut evaluasi ini, individu dapat diklasifikasikan menjadi 5 kelas, dari A

(status terkaya) hingga E (status termiskin) (ABEP, 2015).


4.8.6 Penilaian Status Gizi

PG-SGA digunakan sebagai alat penilaian status gizi primer. Alat ini

merupakan adaptasi dari Subjective Global Assessment (SGA). PG-SGA pada

awalnya dikembangkan untuk pasien onkologi dan merupakan kuesioner yang

dilaporkan sendiri. Selain itu, PG-SGA dapat diterapkan kembali dalam interval

singkat untuk menilai perubahan kecil dalam status gizi selama perjalanan

penyakit. PG-SGA menghasilkan skor numerik yang mewakili risiko gizi seperti

skor yang lebih tinggi mewakili risiko malnutrisi yang lebih besar. Dengan

demikian, PG-SGA sesuai untuk secara dinamis mengevaluasi status gizi para

peserta selama rawat inap dalam penelitian ini. Skor 9 dianggap sebagai indikasi

malnutrisi dan kebutuhan kritis untuk perbaikan manajemen gejala dan intervensi

nutrisi segera (Real. et al, 2018).

Nilai untuk berat badan, tinggi badan, dan penurunan berat badan

dilaporkan sendiri oleh pasien dalam banyak kasus. Dengan menggunakan data

ini, indeks massa tubuh (IMT) dihitung untuk setiap pasien, dan nilai di bawah

18,5 kg / m2 atau 25 kg / m2 (masing-masing kurang berat badan dan kelebihan

berat badan / obesitas) dianggap sebagai nilai risiko. BIA frekuensi tunggal

dilakukan dengan menggunakan BIA Tanita BC 730. BIA dapat terhambat oleh

ketidakseimbangan cairan pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Dalam

kasus ini, nilai resistansi dan reaktansi yang disediakan oleh metode ini dapat

digunakan untuk menghitung sudut fase, yang telah diakui untuk mencerminkan

status gizi.
Fungsi otot diperkirakan oleh HGS dan diukur menggunakan JAMAR

(Asimow Enginnering Co., Los Angeles, CA), dinamometer yang dapat

disesuaikan, dengan pasien dalam posisi duduk dan dengan lengan didukung

dan dilenturkan pada sudut 90° relatif terhadap lengan atas. Tiga pengukuran

dilakukan, dan nilai tertinggi digunakan. Parameter yang didefinisikan dalam studi

berbasis populasi sebelumnya yang dilakukan di kota yang sama digunakan.

Untuk wanita dan pria yang lebih muda dari 60 tahun, nilai di bawah nilai ambang

batas masing-masing 20,8 kg dan 36,7 kg, dianggap menunjukkan kekuatan

rendah. Nilai-nilai ini mewakili 2 standar deviasi (SD) di bawah rata-rata dalam

sampel representatif 30 tahun. Untuk wanita dan pria di atas 60 tahun, nilai

ambang batas yang digunakan untuk menentukan kekuatan rendah masing-

masing adalah 20 kg dan 30 kg, sebagaimana distandarisasi oleh konsensus

EWGSOP (Cruz-Jentoft. et al, 2010).

Massa otot dinilai dengan mengukur CC menggunakan pita inelastik

BodyMetrix (IntelaMetrix, Brentwood, CA) pada titik diameter terbesar. Nilai yang

sama dengan atau di bawah niali ambang batas 34 cm untuk pria dan 33 cm

untuk wanita didefinisikan sebagai CC rendah, sesuai dengan nilai yang

sebelumnya divalidasi untuk populasi kota Pelotas (Barbosa. et al, 2016). Nilai

ambang batas ini didefinisikan sebagai 1 SD di bawah nilai rata-rata indeks otot

rangka appendicular, diukur dengan DXA, dalam sampel yang representatif dari

populasi dewasa muda (30 tahun)


4.8.7 Status Hospital Readmission (HR)

HR dievaluasi 30 hari setelah dipulangkan melalui kontak telepon dan

didefinisikan sebagai pengembalian yang tidak direncanakan ke rumah sakit

mana pun yang mengakibatkan rawat inap melebihi 24 jam. Kunjungan yang

tidak direncanakan ke layanan perawatan darurat dalam waktu 30 hari juga

dianggap sebagai hasil sekunder.

4.9 Identifikasi Dan Klasifikasi Variabel

Beberapa variabel yang telah diidentifikasi dan diklasifikasi adalah sebagai

berikut : usia, jenis kelamin, status perkawinan, diagnosis saat masuk, diagnosa

sekunder, profil komorbiditas dan penggunaan obat

4.9.1 Identifikasi Variabel, terdiri dari :

4.9.1.1 Usia

4.9.1.2 Jenis kelamin

4.9.1.3 Status perkawinan


4.9.1.4 Diagnosis saat masuk

4.9.1.5 Diagnosis sekunder

4.9.1.6 Profil komorbiditas

4.9.1.7 Penggunaan obat

4.9.1.8 Calf circumference (CC)

4.9.1.9 Bioelectrical impedance analysis (BIA) frekuensi tunggal

4.9.1.10 Handgrip strength (HGS)

4.9.1.11 Hospital Readmission

4.9.2 Klasifikasi Variabel, terdiri dari :

4.9.2.1 Variabel bebas Calf circumference (CC)

4.9.2.2 Variabel kendali : Usia, jenis kelamin, status perkawinan, diagnosis saat

masuk, diagnosis sekunder, profil komorbiditas, riwayat penggunaan obat,

Bioelectrical impedance analysis (BIA) frekuensi tunggal, Handgrip strength

(HGS)

4.9.2.3 Variabel tergantung : Hospital Readmission


4.10 Definisi Operasional

Beberapa definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

4.10.1 Usia

Usia pasien sesuai tanggal lahir yang tercantum di status pasien yang

dikonfirmasikan dengan keluarga pasien dan kartu identitas pasien. Usia pasien

yang akan menjadi subyek penelitian ≥ 18 tahun

4.10.2 Jenis Kelamin

Jenis kelamin pasien sesuai yang tercantum di status pasien yang

dikonfirmasikan dengan kartu identitas pasien

4.10.3 Status Perkawinan

Status perkawinan pasien sesuai yang tercantum di status pasien yang

dikonfirmasikan dengan kartu identitas pasien

4.10.4 Diagnosis Saat Masuk

Diagnosis saat masuk yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

diagnosis yang dituliskan dalam status pasien oleh dokter penanggung jawab

yang menerima pasien pertama kali saat masuk rumah sakit

4.10.5 Diagnosis Sekunder


Diagnosis sekunder yang dimaksud dalam penelitian ini adalah diagnosis

yang dituliskan dalam status pasien oleh dokter penanggung jawab yang

menerima pasien selain diagnosis utama

4.10.6 Profil Komorbiditas

Penyakit penyerta pada pasien yang dirawat di ruang rawat inap

4.10.7 Penggunaan Obat

Penggunaan obat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah riwayat

obat-obatan yang digunakan oleh pasien untuk mengobati penyakit yang

dideritanya. Polifarmasi didefinisikan sebagai penggunaan 5 obat atau lebih.

4.10.8 Calf circumference (CC)

Massa otot yang dinilai dengan mengukur CC menggunakan pita inelastik

BodyMetrix (IntelaMetrix, Brentwood, CA) pada titik diameter terbesar. Nilai yang

sama dengan atau di bawah niali ambang batas 34 cm untuk pria dan 33 cm

untuk wanita didefinisikan sebagai CC rendah

4.10.9 Bioelectrical impedance analysis (BIA) frekuensi tunggal

Status gizi yang diukur dengan menggunakan BIA Tanita BC 730

4.10.10 Handgrip strength (HGS)

Penilaian yang dilakukan untuk melihat atau menentukan sejauh mana

fungsi otot. Diukur menggunakan JAMAR (Asimow Enginnering Co., Los

Angeles, CA), dinamometer yang dapat disesuaikan, dengan pasien dalam posisi

duduk dan dengan lengan didukung dan dilenturkan pada sudut 90° relatif

terhadap lengan atas. Tiga pengukuran dilakukan, dan nilai tertinggi digunakan.

Untuk wanita dan pria yang lebih muda dari 60 tahun, nilai di bawah nilai ambang

batas masing-masing 20,8 kg dan 36,7 kg, dianggap menunjukkan kekuatan


rendah. Untuk wanita dan pria di atas 60 tahun, nilai ambang batas yang

digunakan untuk menentukan kekuatan rendah masing-masing adalah 20 kg dan

30

4.10.11 Hospital Readmission

Pengembalian yang tidak direncanakan ke rumah sakit mana pun yang

mengakibatkan rawat inap melebihi 24 jam. Kunjungan yang tidak direncanakan

ke layanan perawatan darurat dalam waktu 30 hari juga dianggap sebagai hasil

sekunder.

4.11 Pengolahan Dan Analisa Data

Data yang diperoleh akan diolah dan dianalisis secara statistik

menggunakan program Microsoft Excel dan Statistical Package for the Social

Sciences (SPSS) versi 24.0. Pengujian hipotesis dilakukan dengan metode chi-

square, dimana kedua variabel akan dikelompokkan secara kategorik, yaitu pada

variable bebas calf circumference (CC) akan dikelompokkan menjadi “CC

rendah” dan “CC normal”, kemudian pada variable terikat status hospital

readmission (HR) akan dikategorikan sebagai “ya” dan “tidak” Hasil uji statistik

dianggap bermakna jika nilai probabilitas (p) <0.05.


4.12 Alur Penelitian Dan Metode Kerja

4.12.1 Alur Penelitian

Alur penelitian seperti terlihat pada Gambar 5 berikut.


Pasien masuk ruang rawat inap RS Wahidin
Sudirohusodo yang bekerjasama dengan Gizi
Tidak memenuhi
kriteria inklusi subjek
Memenuhi kriteria inklusi subjek

Pengisian kuesioner profil sosioekonomi


dan Patient-Generated Subjective Global

Penilaian status gizi dengan


mengukur calf circumference (CC)

Menilai status hospital readmission

Interpretasi hasil pemeriksaan


Pelaporan dan publikasi hasil penelitian

Gambar 5. Alur Penelitian

4.12.2 Metode Kerja


Subjek metode penelitian yang diambil adalah pasien yang dirawat di

ruang rawat inap RS Wahidin Sudirohusodo, cara perlakuan terhadap sampel

penelitian sebagai berikut :

4.12.2.1 Pasien masuk ruang rawat inap RS Wahidin Sudirohusodo yang

memenuhi kriteria inklusi penelitian.

4.12.2.2 Menjelaskan secara singkat latar belakang, tujuan, dan manfaat

penelitian kepada subyek atau keluarga subyek.

4.12.2.3 Subyek atau keluarga subyek kemudian menandatangani formulir

persetujuan tindakan medik (informed consent) yang telah disediakan.

4.12.2.4 Melakukan pengambilan data melalui kuesioner profil sosioekonomi

dan Patient-Generated Subjective Global Assessment (PG-SGA)

4.12.2.5 Melakukan pengukuran calf circumference (CC) dengan pita inelastik

BodyMetrix, bioelectrical impedance analysis (BIA) frekuensi tunggal

dengan portabel Quantum BIA 101 Q dan elektroda sekali pakai dan

handgrip strength (HGS) dengan dinamometer.

4.12.2.6 Pengumpulan data

4.12.2.7 Pengolahan dan analisa data

4.13 Izin Penelitian

Sebelum penelitian dilaksanakan, peneliti meminta keterangan kelayakan

etik (ethical clearance) dari komisi etik penelitian biomedis pada manusia

kedokteran Universitas Hasanuddin. Semua keluarga pasien yang memenuhi

kriteria inklusi diberi penjelasan secara lisan dan menandatangani lembar


persetujuan untuk ikut dalam penelitian secara sukarela. Bila karena suatu

alasan tertentu, keluarga pasien berhak untuk mengundurkan diri dari penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Allard JP, Keller H, Teterina A, et al. Lower handgrip strength at discharged from
acute care hospitals is associated with 30-day readmission: a prospective
cohort study. Clin Nutr. 2016;35:1535-1542.
Associac¸ao Brasileira de Empresas de Pesquisa (ABEP). Crit ˜ erio de ´
Classificac¸ao Econ ˜ omica Brasil 2015 (CCEB 2015); January 9, 2017. ˆ
Available at: http://www.abep.org/criterio-brasil.
Barbosa-Silva TG, Bielemann RM, Gonzalez MC, Menezes AM. Prevalence of
sarcopenia among community-dwelling elderly of a medium-sized South
American city: results of the COMO VAI? study. J Cachexia Sarcopenia
Muscle. 2016;7:136-143.
Cederholm, T. et al., 2017. ESPEN Guidelines on Definitions and Terminology of
Clinical Nutrition. Clinical Nutrition Journal Elsevier, 36 : 49 – 64. DOI:
10.1016/j.clnu.2016.09.004. PMID: 27642056.
Cruz-Jentoft AJ, Baeyens JP, Bauer JM, et al. Sarcopenia: European consensus
on definition and diagnosis: report of the European Working Group on
Sarcopenia in Older People. Age Ageing. 2010;39:412–423.
Dharmarajan, Kumar. et al., 2013. Hospital Readmission Performance and
Patterns of Readmission: Retrospective Cohort Study of Medicare
Admissions. BMJ, 347. DOI: 10.1136/bmj.f6571.
Epstein AM, Jha AK, Orav EJ. The relationship between hospital admission rates
and rehospitalizations. N Engl J Med. 2011;365:2287-2295.
Graham KL, Wilker EH, Howell MD, Davis RB, Marcantonio ER.Differences
between early and late readmissions among patients: a cohort study. Ann
Intern Med. 2015;162:741-749. 6. Kellett J, Kyle G, Itsiopoulos C, Naunton
M, Luff N. Malnutrition: the importance of identification, documentation, and
coding in the acute care setting. J Nutr Metab. 2016;2016:9026098.
Jeejeebhoy, Khursheed N. et al., 2015. Nutritional Assessment: Comparison of
Clinical Assessment and Objective Variables for The Prediction of Length
of Hospital Stay and Readmission. American Society for Nutrition Journal,
Vol. 101, No. 5 :956-65. DOI: 10.3945/ajcn.114.098665. PMID: 25739926.
J.C., Thompson, 2010. Netter’s Concise Orthopaedic Anatomy 2nd Edition.
Philadelphia : Elsevier : 297-313.
Kawakami R, Murakami H, Kiyoshi S, et al. Calf circumference as a surrogate
marker of muscle mass for diagnosing sarcopenia in Japanese men and
women. Geriatr Gerontol Int. 2015;15:969-976.
Kellett J, Kyle G, Itsiopoulos C, Naunton M, Luff N. Malnutrition: The Importance
of Identification, Documentation, and Coding in the Acute Care Setting. J
Nutr Metab. 2016;2016:9026098. doi:10.1155/2016/9026098
Kripalan, Sunil I, Cecelia N Theobald, Beth Anctil. dan Eduard E Vasilevskis,
2014. Reducing Hospital Readmission: Current Strategies and Future
Directions. Annu Rev Med, 65 : 471–485. DOI: 10.1146/annurev-med-
022613-090415. PMID: 24160939.
Kusaka S, Takahashi T, Hiyama Y, Kusumoto Y, Tsuchiya J, Umeda M. Large
calf circumference indicates non-sarcopenia despite body mass. J Phys
Ther Sci. 2017;29:1925-1928.

Landi, Francesco. et al., 2014. Calf Circumference, Frailty and Physical


Performance Among Older Adults Living in The Community. Clinical
Nutrition Journal Elsevier, Vol. 33, No. 3: 539-44. DOI:
10.1016/j.clnu.2013.07.013. PMID: 23948128.
Mclellan, K.C. Portero, C. Staudt, F.R.F. Silva, J.L. Delbue Bernardi, P. Baston
Frenhani. dan V.A. Leandro Mehri, 2010. The Use of Calf Circumference
Measurement as An Anthropometric Tool to Monitor Nutritional Status in
Elderly Inpatients. The Journal of Nutrition, Health & Aging, Vol. 14, No. 4.
PMID: 20305992.
Real, Gustavo Gonzales, Eduarda Jaine Fachinello Dall’Aqua, Inara Regina
Fr¨uhauf, Jos´e Henrique Koth Sedrez. dan Maria Cristina Gonzalez, 2018.
Calf Circumference: A Marker of Muscle Mass as a Predictor of Hospital
Readmission. American Society for Parenteral and Enteral Nutrition. DOI:
10.1002/jpen.1170.
Staples, John A, Deva Thiruchelvam. dan Donald, A. Redelmeier, 2014. Site of
Hospital Readmission and Mortality: A Population-Based Retrospective
Cohort Study. CMAJ, Vol. 2, No. 2. DOI: 10.9778/cmajo.20130053. PMID:
25077133.
Ukegbu, P.O. et al., 2018. The Association Between Calf Circumference and
Appendicular Skeletal Muscle Mass Index of Black Urban Women in
Tlokwe City. Journal of Endocrinology, Metabolism and Diabetes of South
Africa, Vol. 23, No. 3: 86–90. DOI: 10.1080/16089677.2018.1518825.
article can be seen at https://doi.org/10.1080/16089677.2018.1518825.
Zepeda, M.U. Pérez. dan L.M. Gutiérrez-Robledo, 2016. Calf Circumference
Predicts Mobility Disability: A Secondary Analysis of The Mexican Health
and Ageing Study. Eur Geriatr Med, Vol. 7, No. 3 : 262–266.
DOI:10.1016/j.eurger.2016.01.004. PMID: 27656259
Zuckerman, Rachael B, Steven H. Sheingold, E. John Orav, Joel Ruhter. dan
Arnold M. Epstein, 2016. Readmissions, Observation, and the Hospital
Readmissions Reduction Program. The New England Journal of Medicine.
DOI: 10.1056/NEJMsa1513024.

Anda mungkin juga menyukai