Disusun oleh:
FEB UB
2019
ABSTRAK
Nugroho, Santi Duwi P., Prabowo, Widiananda, dan Pratiwi, Lusiana. 2019. Perkembangan
Praktik Reward Dengan Sistem Kompensasi Dalam Manajemen Sumber Daya Manusia
Untuk Meningkatkan Kinerja Karyawan. Papers, Jurusan Magister Manajemen, Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya.
Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui perkembangan sistem reward melalui pemberian
kompensasi sebagai salah satu peran dalam pengembangan manajemen sumber daya manusia
dan faktor apa saja yang mempengaruhi efektivitas pemberian kompensasi dalam peningkatan
kinerja karyawan. Pengembangan manajemen sumber daya manusia menjadi semakin penting
dengan meningkatnya kesadaran organisasi bahwa sumber daya manusia adalah salah satu faktor
penentu bagi organisasi untuk mencapai visi, misi, dan tujuan perusahaan. Metode penelitian
yang digunakan berupa metode kualitatif dengan tinjauan literatur yang berasa dari berbagai
buku, e-book, jurnal, dan penelitian penelitian terdahulu yang telah diunggah di jurnal index.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa sistem kompensasi terus berkembang. Pada awal
2000an banyak penelitian yang menunjukkan bahwa kompensasi finansial masih menjadi pilihan
utama, namun makin ke sini, kompensasi non finansial justru semakin marak. Selain
kompensasi, faktor internal, seperti budaya dan iklim organisisai, seperti terciptanya komunikasi
yang baik dengan manajemen tingkat atas juga berpengaruh dalam meningkatkan kinerja
karyawan. Oleh karena itu, penerapan sistem kompensasi harus direncanakan dan dipraktikkan
dengan strategi yang tepat.
Kata Kunci: kompensasi, reward, manajemen SDM, kinerja karyawan, organisasi
I. PENDAHULUAN
Memasuki era industry 4.0 terjadi iklim kompetisi yang tinggi di segala bidang yang
menuntut perusahaan untuk berkerja dengan lebih efektif dan efesien. Tingkat kompetisi yang
tinggi menuntut pula suatu organisasi mengoptimalkan sumber daya manusia yang dimilikinya.
Hal ini disebabkan oleh pengaruh yang kuat dari sumber daya manusia terhadap efektivitas dan
efisiensi organisasi karyawan sebagai sumber daya manusia merupakan kunci keberhasilan
organisasi. Pengelolaan sumber daya manusia yang baik akan mendorong organisasi ke arah
pencapaian tujuan. Hal ini didasari atas pernyataan yang disampaikan oleh Kementerian
Perindustrian dalam siaran pers yang diunggah ke dalam website Kemenperin. Airlangga
Hartarta (2018) menyatakan, “Di dalam roadmap Making Indonesia 4.0, salah satu program
prioritasnya adalah peningkatan kualitas SDM. Sebab, talent menjadikunci atau
faktor pentinguntuk kesuksesan implementasi industry 4.0.” (Humas Kemenperin,
https://kemenperin.go.id/artikel/19676/Revolusi-Industri-4.0-Buka-Peluang, 13 November
2019)
Menurut David Guest (1999), ada empat kebijakan utama dalam MSDM, yaitu Employee
Influence, Human resource flow, Rewards systems, dan Work systems. Kebijakan lainnya
berkaitan dengan sistem penghargaan yang merupakan bagian utama organisasi dalam
memberi motivasi kepada para karyawannya guna memaksimalkan kerja dan proses
pemekerjaan. Sistem penghargaan (rewards systems) misalnya dapat berupa paket kompensasi
yang terdiri dari penggajian, pemberian bonus dan insentif serta berbagai bentuk kompensasi
lainnya.
Pada dasarnya, manusia membutuhkan motivasi agar dapat terus berkembang seiring
dengan berjalannya waktu. Memotivasi karyawan di tempat kerja merupakan salah satu tugas
penting jajaran top manajemen agar karyawan dapat terus memberikan kontribusi terbaiknya
bagi perusahaan. Dengan bertumbuhnya motivasi di dalam diri karyawan, maka hal ini secara
tidak langsung akan meningkatkan kinerja karyawan dan akan berdampak pada kinerja
keseluruhan dari perusahaan dikarenakan sumber daya manusia merupakan faktor penting yang
mempengaruhi lingkungan perusahaan.
Menurut Dessler (2012) kompensasi karyawan merujuk kepada semua bentuk bayaran
atau hadiah bagi karyawan dan berasal dari pekerjaan mereka. Kompensasi karyawan memiliki
dua komponen utama, yaitu pembayaran langsung seperti dalam bentuk upah, gaji,
insentif, komisi, bonus dan pembayaran tidak langsung dalam bentuk tunjangan keuangan
seperti asuransi dan liburan yang dibayar oleh pengusaha. Kompensasi non-finansial
merupakan kompensasi yang selain kompensasi moneter, ada cara lain bagi pemberi kerja
untuk memberikan nilai kepada karyawan mereka. Misalnya, pengembangan karir dan peluang
pelatihan dapat dimasukkan dalam kategori ini. Fasilitas tambahan seperti peluang pengakuan
dan keseimbangan kerja / hidup juga bisa jatuh di bawah kompensasi non-finansial.
Sedangkan menurut Armstrong (2006), manajemen kompensasi adalah salah satu pilar
utama manajemen sumber daya manusia (SDM). Ini berkaitan dengan perumusan dan
implementasi strategi dan kebijakan yang bertujuan untuk memberikan kompensasi kepada
orang secara adil dan konsisten sesuai dengan nilai mereka kepada organisasi. Manajemen
kompensasi adalah bagian integral dari pendekatan manajemen sumber daya manusia untuk
mengelola orang dan karena itu mendukung pencapaian tujuan bisnis dan strategis dalam arti
bahwa itu menangani masalah jangka panjang yang berkaitan dengan bagaimana orang harus
dinilai untuk apa yang ingin mereka capai. Manajemen kompensasi adalah semua tentang
mengembangkan hubungan kerja yang positif dan kontrak psikologis yang mengadopsi
pendekatan kompensasi total yang mengakui bahwa ada sejumlah cara di mana orang dapat
diberi kompensasi.
Dessler mengacu pada kompensasi tidak langsung sebagai pembayaran tidak langsung,
baik finansial dan non-finansial yang diterima karyawan untuk melanjutkan pekerjaan mereka
dengan perusahaan yang merupakan bagian penting dari kompensasi setiap karyawan. Istilah
lain seperti tunjangan tambahan, layanan karyawan, kompensasi tambahan dan pembayaran
tambahan digunakan. Sedangkan, Armstrong mengatakan kompensasi tidak langsung atau
tunjangan karyawan adalah elemen remunerasi yang diberikan di samping berbagai bentuk
pembayaran tunai. Itu juga termasuk barang-barang yang tidak sepenuhnya dibayar seperti
liburan tahunan.
Menurut Touana & Puspitasari (2017) jenis-jenis kompensasi dapat dibedakan menjadi
dua kelompok:
a. Kompensasi dalam bentuk finansial. Kompensasi dalam bentuk finansial dibagi menjadi dua
bagian, yaitu:
1. Kompensasi finansial yang dibayarkan secara langsung seperti gaji, upah, komisi, dan
bonus.
2. Kompensasi finansial yang dibayarkan secara tidak langsung, seperti asuransi kesehatan,
tunjangan pensiun, tunjangan hari raya, tunjangan perumahan, tunjangan pendidikan dan
lain sebagainya.
b. Kompensasi dalam bentuk non-finansial. Kompensasi dalam bentuk non-finansial dibagi
menjadi dua bagian, yaitu:
1. Berhubungan dengan pekerjaan, seperti kebijakan perusahaan yang sehat, pekerjaan yang
sesuai (menarik, menantang), peluang untuk dipromosikan naik jabatan.
2. Berhubungan dengan lingkungan kerja, seperti ditempatkan dilingkungan kerja
yangkondusif dan fasilitas kerja yang baik.
Victor Vroom (dalam McGrath dan Bates dalam bukunya yang berjudul The Little Book
Of Big Management Theories, 2017:66) mengemukakan bahwa seorang individu akan
mempunyai pemikiran berdasarkan kepada keyakinannya (expectation/ekspektasi) bahwa suatu
tindakan tertentu yang ia lakukan akan memberikan dampak positif berupa nilai yang akan ia
dapatkan (valence/nilai) setelah melakukan tindakan tersebut dengan baik
(instrumentality/perantara). Hal ini disampaikannya melalui teori motivasi dan harapan di
dalam rumus matematis sebagai berikut.
Dilihat dari rumus tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan jika salah satu dari ketiga
faktor yang menjadi penentu terdapat angka nol, maka bisa dipastikan hasil dari perhitungan
(motivasi) juga akan menunjukkan angka nol. Untuk penjelasan lebih jelas dapat dilihat pada
bagan di bawah ini:
Motivasi
Teori Dua-Faktor menyiratkan bahwa manajer harus fokus untuk menjamin kecukupan
faktor hygiene (faktor kesehatan) guna menghindari ketidakpuasan karyawan. Juga, manajer
harus memastikan bahwa pekerjaan sebagai perangsang dan bermanfaat sehingga karyawan
termotivasi untuk bekerja dan melakukannya lebih keras dan lebih baik. Teori ini menekankan
pada kerja pengayaan sehingga memotivasi karyawan. Pekerjaan harus memanfaatkan
keterampilan karyawan dan kompetensi mereka secara maksimal. Berfokus pada faktor-faktor
motivasi dapat meningkatkan kerja berkualitas.
Ada berbagai macam versi terkait sejarah perkembangan sistem kompensasi yang diawali
dengan adanya praktik manajemen yang kemudian sumber daya manusia menjadi salah satu
komponen di dalamnya. Menurut Wren & Bedeian dalam bukunya The Evolution of
Management Thought edisi ke-6, manajemen termasuk di dalamnya manajemen sumber daya
manusia telah ada sejak Babilonia Hammurabi (sekitar tahun 2123–2071 SM), Raja
Hammurabi menerima haknya untuk memerintah dan kode hukum dari dewa matahari. Pada
2250 SM, Hammurabi mengeluarkan kode 282 undang-undang, yang mengatur urusan bisnis,
perilaku pribadi, hubungan interpersonal, hukuman, dan sejumlah masalah sosial lainnya.
Pada tahun 1000 SM, birokrasi di Cina telah berkembang ke dalam hirarki pejabat.
Birokrasi ini berkembang jauh sebelum sistem konfusius mulai muncul. Filsafat konfusianisme
ini bertetentangan dengan para legalist saat itu. Ketika kaum legalis, yang kemudian disebut
kaum formalis berusaha menggunakan sistem ganjaran dan hukuman melalui peraturan hukum
yang berlaku untuk menjaga atau meningkatkan kinerja sumber daya manusia, kaum konfusius
yang kemudian disebut sebagai kaum humanis, justru menganjurkan pembudidayaan dan
peningkatan moral pekerja atau sumber daya manusia untuk menjaga dan meningkatkan
kerjasama yang telah terjalin.
Sejak kedua era itu, birokrasi, manajemen, terutama di bidang sumber daya manusia terus
berkembang. Era berikutnya ditandai dengan semangat kapitalisme yang diciptakan oleh etika
Protestan, di mana mereka menyamakan nilai spiritual dan kesuksesan duniawi. Tanpa ruang
untuk mengumbar atau mengeksploitasi diri sendiri dan dengan prinsip kontrol diri serta
pengarahan diri sendiri, era individualisme baru telah lahir. Semangat kapitalistik yang
diciptakan sebagai pedoman khusus oleh para Protestan ini banyak diperkenalkan ke dunia luar
oleh Max Weber melalui karya karya literaturnya. Menurutnya, orang memiliki kewajiban
untuk bekerja, kewajiban untuk menggunakan kekayaan mereka dengan bijak, dan kewajiban
untuk hidup menyangkal diri.
Pada zaman pencerahan (age of enlightment) ini, muncul salah satu tokoh terkemuka
bernama John Locke yang tulisannya juga mempengaruhi Adam Smith (ahli filsuf dan
ekonomi) serta menjadi dasar bagi tulisan-tulisan Rousseau yang juga merupakan seorang
tokoh filosofi besar di abad pencerahan. Locke mengajukan suatu tatanan sipil yang baru,
yaitu: (1) hukum yang didasarkan pada alasan, bukan perintah yang sewenang-wenang; (2)
pemerintah memperoleh kekuasaannya dari yang diperintah; (3) kebebasan untuk mengejar
tujuan individu sebagai hak alami; dan (4) kepemilikan pribadi dan penggunaannya dalam
mengejar kebahagiaan sebagai hak alami dan dilindungi secara hukum. Keempat gagasan ini
terjalin dalam praktik untuk membentuk fondasi politik yang kokoh bagi pertumbuhan industri.
Ini memberikan sanksi bagi ekonomi laissez-faire dan mengejar imbalan individu, menjamin
hak-hak properti, memberikan perlindungan pada kontrak, dan menyediakan sistem keadilan
bagi orang-orang.
Selain teori harga, Smith menjelaskan teori nilai berdasarkan nilai dari suatu pekerjaan,
dan terutama sekali tenaga kerja, menurutnya tenaga kerja adalah merupakan sebab dan
sekaligus alat pengukur nilai. Adam Smith mengakui hanya tiga faktor produksi: tanah, tenaga
kerja dan modal. Namun kemudian pengusaha dijadikan faktor produksi keempat dan
menerima reward terpisah karena telah melakukan pengelolaan, selain sebagai pengembalian
modal pribadi yang diinvestasikan. Hal ini dianggap menjadi sesuatu yang gagal diperhatikan
oleh Smith padahal beberapa pengusaha memiliki usaha, tetapi kenyataannya yang lebih sering
terjadi adalah mereka hanya memiliki saham, meminjam dari orang lain atau membentuk
kemitraan. Pengusaha kemudian menjadi manajer untuk orang lain dan mengambil risiko
tambahan dalam menggabungkan faktor-faktor tanah, tenaga kerja, dan modal. Ketika
organisasi tumbuh, pengusaha itu sendiri tidak dapat mengarahkan dan mengendalikan semua
kegiatan, dan menjadi perlu untuk mendelegasikan beberapa kegiatan ke tingkat sub-manajer.
Sub-manajer ini adalah manajer pertama yang tidak memiliki usaha atau bukan bagian dari
usaha itu sendiri, digaji dan bertanggung jawab untuk membuat keputusan dalam kerangka
kebijakan yang lebih luas yang ditetapkan oleh pengusaha.
Ada banyak versi terkait sejarah berkembangnya manajemen sumber daya manusia.
Namun sebagian besar literatur menyatakan bahwa, peristiwa penting kedua setelah munculnya
Adam Smith dengan teori ekonomi klasiknya, yang mempengaruhi perkembangan ilmu
manajemen adalah Revolusi Industri di Inggris. Revolusi Industri menandai dimulainya
penggunaan mesin, menggantikan tenaga manusia, yang berakibat pada pindahnya kegiatan
produksi dari rumah-rumah menuju tempat khusus yang disebut pabrik. Perpindahan ini
mengakibatkan manager-manager ketika itu membutuhkan teori yang dapat membantu mereka
meramalkan permintaan, memastikan cukupnya persediaan bahan baku, memberikan tugas
kepada bawahan, mengarahkan kegiatan sehari-hari, dan lain-lain,sehingga ilmu manajamen
mulai dikembangkan oleh para ahli. Era ini disebut juga sebagai Era Manajemen Personalia
(awal abad ke-19), era di mana muncul. seperangkat aktifitas sederhana untuk merekrut,
menempatkan, dan menggaji karyawan untuk memenuhi permintaan perusahaan akan sumber
daya manusia/tenaga kerja.
Pada tahun 1800, Robert Owen yang dijuluki sebagai Bapak Manajemen Personalia,
melakukan penelitian di pabrik pemintalan kapas di New Lanark, Skolandia, tempat dimana ia
bekerja sebagai manajernya. Dalam penelitiannya, ia menilai bahwa manusia memiliki banyak
persamaan dengan mesin, jika manusia dirawat secara baik dalam artian diberikan kompensasi,
tunjangan serta insentif yang lain secara berkesinambungan, maka produktivitas karyawan
tersebut dapat meningkat dan memberikan keuntungan kepada perusahaan. Selain itu, Owen
merasa bahwa karakter berkembang hanya jika lingkungan, baik secara material dan moralnya
benar. Untuk tujuan ini, ia menjadi lebih aktif secara politis sekitar tahun 1813 dan
mengusulkan pabrik untuk melarang mempekerjakan anak di bawah sepuluh tahun dan
membatasi pekerjaan hingga sepuluh jam per hari tanpa kerja malam untuk anak-anak. Setelah
banyak intrik politik, undang-undang tersebut menjadi undang-undang pada tahun 1819, tetapi
alih-alih berlaku untuk semua pabrik, undang-undang ini hanya berlaku untuk pabrik kapas dan
menetapkan batas usia sembilan dan bukan sepuluh.
Charles Babbage (1792 – 1871) juga menjadi salah satu tokoh yang menaruh perhatian
dalam hal pembagian kerja, yang mempunyai beberapa keunggulan, yaitu; waktu yang
diperlukan untuk belajar dari pengalaman-pengalaman yang baru, banyaknya waktu yang
terbuang bila seseorang berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain, dan orang tersebut
harus menyesuaikan kembali pada pekerjaan barunya sehingga kan menghambat kemajuan dan
ketrampilan kerja, untuk itu diperlukan spesialisasi daam pekerjaannya, kecakapan dan
keahlian seseorang bertambah karena seorang pekerja bekerja terus menerus dalam bidangnya,
adanya perhatian pada pekerjaannya sehingga dapat meresapi alat-alatnya karena perhatiannya
terfokus pada bidang pekerjaannya. Kontribusi lain dari Babbage, antara lain menciptakan
kalkulator mekanis yang pertama, mengembangkan kerjasama saling menguntungkan antara
pekerja dan pemilik perusahaan, membuat skema perencanaan pembagian keuntungan.
Sistem upah per satuan, jauh sebelum masa Taylor, berupaya mendorong produktivitas
individu dengan membayar pekerja berdasarkan hasil mereka, tetapi sistem seperti itu pada
umumnya gagal; standar sering kali ditetapkan dengan buruk, pengusaha memotong tingkat
upah karena peningkatan output menjadi norma, dan pekerja menyembunyikan metode pintas
mereka untuk membuat manajemen tidak tahu seberapa cepat pekerjaan dapat dilakukan. Tidak
mengherankan, para pekerja mengembangkan konsensus tentang berapa banyak yang masing-
masing harus hasilkan, tidak hanya untuk melindungi diri mereka sendiri tetapi juga untuk
menghindari sanksi terhadap yang kurang mampu. Manajemen tampaknya tidak menyadari
inefisiensi yang dihasilkan. Selain itu, Gaji didasarkan pada kehadiran dan posisi, bukan usaha.
Bekerja lebih keras tidak membuahkan hasil dan, karenanya, para pekerja sebenarnya didorong
untuk menjadi malas.
Henry Gantt yang pernah bekerja bersama Taylor menggagas ide bahwa seharusnya
seorang mandor mampu memberi pendidikan kepada karyawannya untuk bersifat rajin
(industrious) & kooperatif. Grant sangat mendukung gagasan bahwa dalam semua urusan
manajemen, elemen manusia harus merupakan hal yang sangat penting. Ia juga mendesain
sebuah grafik untuk membantu manajemen yang disebut sebagai Gantt chart yang digunakan
untuk merancang & mengontrol pekerjaan. Selanjutnya, Gantt mengadaptasi gagasan seorang
kolega, EP Earle, untuk memberikan bonus kepada pengawas lini pertama bagi setiap
pekerjanya yang mencapai standar yang ditetapkan untuk pekerjaan mereka, ditambah bonus
tambahan berdasarkan bonus yang diperoleh dari para pekerja diawasi. Gantt memandang
bonus tambahan ini sebagai cara untuk mendorong penyelia untuk mengajar dan membantu
pekerja meningkatkan kinerja mereka. Gantt yakin bahwa kekuatan tidak bisa menjadi dasar
untuk kepemimpinan. Peningkatan produktivitas hanya bisa dicapai melalui pengetahuan.
Seperti Taylor, Gantt menghadapi lebih banyak perlawanan dari supervisor lini pertama yang
peduli untuk melindungi otoritas mereka daripada dari para pekerja yang mereka awasi. Untuk
Gantt, semua komponen dalam suatu perusahaan harus bekerja sama untuk mencapai kinerja
yang efisien. Lebih lanjut, ia merasa bahwa imbalan di tempat kerja harus didistribusikan
secara adil sesuai dengan kontribusi masing-masing peserta.
Kemudian pada akhir abad ke-20, dunia memasuki era manajemen sumber daya manusia
tradisional. Berakhirnya perang korea dan perang dunia ke-2, menandai perubahan yang
signifikan dalam sejarah perkembangan sejarah pengelolaan sumber daya manusia. Pada
generasi ini, ide-ide dan konsep hak asasi manusia dan juga aktualisasi diri menjadi bagian
yang tidak dapat dipisahkan dalam pengelolaan sumber daya manusia, hal ini berdampak
kepada semakin dilibatkannya pekerja dalam proses pengambilan keputusan. Selain itu, hal
tersebut juga mendorong untuk menggabungkan ide-ide pekerja menjadi bagian strategi dari
jalannya operasional perusahaan.
Abad ke-21 merupakan era stratejik manajemen sumber daya manusia. Adanya
perubahan zaman, ditambah semakin berkembangnya fenomena globalisasi dimana batas-batas
negara semakin berkurang, berimplikasi secara langsung terhadap perubahan lingkungan
bisnis. Pada era ini, sumber daya manusia yang dibutuhkan adalah yang memiliki kemampuan
yang terspesialisasi, dapat bekerja dalam tim dan melek teknologi. Selain itu, dewasa kini
manajemen sumber daya manusia menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam
merumuskan strategi organisasi untuk mencapai tujuan, baik itu jangka pendek maupun jangka
panjang.
Tujuan pertama penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana perkembangan dan
praktik pemberian reward dengan sistem kompensasi dan yang kedua adalah untuk mencari
tahu apakah sistem kompensasi ini dapat berdiri sendiri atau perlu didukung dengan faktor lain
dalam organisasi dalam praktiknya di era sekarang ini.
II. METODOLOGI
Data berupa narasi yang bersumber dari berbagai dokumen atau data inilah yang
kemudian disebut dengan pemanfaatan tinjauan pustaka. Dokumen atau data ini didapat dari
hasil penelitian penelitian lainya serta literatur literatur lainnya yang kemudian diinformasikan
kepada para pembaca dan mengisi celah celah dalam penelitian sebelumnya (Marshall &
Rosmann, 2011). Cooper (2010) membahas empat tipe kajian pustaka yang (a)
menggabungkan apa yang telah dikatakan dan dilakukan orang lain, (b) mengkritisi penelitian
dari para ahli sebelumnya, (c) membangun jembatan antara topik-topik terkait, dan (d)
mengidentifikasi isu-isu sentral dalam suatu bidang. Dengan perkecualian mengkritisi
penelitian-penelitian dari para peneliti sebelumnya, sebagaian besar disertasi dan tesis
berperan menggabungkan literatur, mengatur menjadi serangkaian topik yang saling
berkaitan, dan merangkum literatur dengan menunjukan isu-isu sentral.
Penelitian kualitatif harus berdasarkan pada teori dan data-data yang valid. Maka dalam
penelitian ini, tim penulis akan mengkaji berbagai literatur yang kredibel berupa buku-buku,
jurnal online atau penelitian-penelitian terdahulu yang telah diunggah di database jurnal
online berindeks internasional. Penelitian penelitian terdahulu yang dipilih tim penulis dibagi
ke dalam kedua kategori waktu, yaitu penelitian di antara tahun 2000 – 2010 dan penelitian
antara tahun 2010 – 2019. Pemaparan sumber data tersebut akan dikembangkan oleh tim
peneliti untuk menemukan perkembangan praktik kompensasi dalam manajemen sumber daya
manusia.
III. DISKUSI & HASIL
Penelitian mengenai kompensasi telah menjadi daya tarik selama dua dekade ini.
Sebagian besar kompensasi yang diteliti adalah kompensasi yang berkaitan dengan
kompensasi finansial. Salah satu penelitian terkait kompensasi finansial di awal 2000-an
tepatnya di tahun 2002 dilakukan di negara berkembang, yaitu China dan Hongkong.
Penelitian yang dilakukan oleh Randy K. Chiu dan Vivienne Wai-Mei Luk ini diberi
judul Retaining and Motivating Employees: Compensation Preferences in Hong Kong
and China. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi komponen-
komponen dalam kompensasi yang saat itu ditawarkan kepada para karyawan dan
mengidentifikasi persepsi karyawan tentang komponen kompensasi yang paling penting
dalam mempertahankan dan memotivasi karyawan.
Spiritualitas tempat kerja telah menjadi perhatian utama di tahun 1990-an (Case
and Gosling, 2007) dan telah memberi jalan bagi lebih dari 300 buku dan beberapa jurnal
akademik dari berbagai peneliti dan juga praktisi manajemen (Garcia-Zamor, 2003).
Tempat spiritual yang positif atau suasana hati karyawan dapat memicu peningkatan
kinerja mereka (Shaw, 1999; Ayranci, 2011) yang kemudian dapat meningkatkan daya
saing dan profitabilitas perusahaan (Milliman et al., 2003). Di Vietnam, hal ini
tampaknya menjadi topik yang luar biasa dalam manajemen dan sebagian besar masih
belum diteliti sejauh ini. Selain itu, menurut Lichtman (2007), sejumlah besar perhatian
manajemen dalam 30 tahun terakhir telah difokuskan pada iklim tempat kerja dan
pengaruhnya terhadap kinerja karyawan. Rupanya, iklim tempat kerja berasal dari
persepsi karyawan, bersamaan dengan pemahaman mereka, menghasilkan karakter,
perilaku mereka dan efektivitas di tempat kerja (Ramazaninezhad et al., 2009). Selain
dua penentu kinerja karyawan non-finansial di atas, kompensasi tampaknya menjadi
pendekatan sistematis untuk memasok nilai moneter atau finansial bagi para pekerja
dengan imbalan kinerja kerja. Persepsi karyawan dalam ketentuan kompensasi dianggap
sebagai dasar dari kinerja pekerjaan (Ghazanfar et al., 2011).
Terkait kinerja dari pekerjaan itu sendiri, sebagaimana dinyatakan oleh Otley
(1999), kinerja dapat diklasifikasikan ke dalam perusahaan dan karyawan. Dalam
penelitian ini, kinerja perusahaan berada di luar ruang lingkup penelitian dan hanya
kinerja pekerjaan karyawan dipertimbangkan. Menurut Hunter (1986), prestasi kerja
mengacu pada kemampuan untuk memiliki hasil yang baik dan produktivitas yang tinggi
dari karyawan itu sendiri. Demikian pula, Bjarnadottir dan Campbell (2001) menganggap
kinerja pekerjaan sebagai variabel tingkat individu atau sesuatu yang dilakukan oleh satu
orang. Tidak hanya dapat dirasakan, kinerja pekerjaan menjadi penentu penting yang
berkontribusi untuk meningkatkan hasil organisasi dan perilaku serta sifat karyawan,
Kinerja perusahaan juga digunakan sebagai strategi manajemen sumber daya manusia
melalui hasil dari penilaian dengan proses yang sistematis.
Markow dan Klenke (2005) menyatakan bahwa meskipun ada lebih dari 70
definisi spiritualitas, tidak ada definisi tertentu yang diterima secara luas. Pelopor studi
empiris Ashmos dan Duchon (2000) mengusulkan spiritualitas di tempat kerja sebagai
kesadaran bahwa karyawan mengalami kehidupan batin yang perlu dipelihara dan diasuh
sehingga menciptakan pekerjaan yang terjadi dalam keadaan komunitas tersebut berarti.
Tiga elemen yang termasuk di dalamnya adalah kehidupan batin, pekerjaan yang
bermakna, dan rasa koneksi dan komunitas. Penelitian ini mengukur konsep tersebut pada
pengalaman individu, unit kerja dan tingkat organisasi. Giacalone dan Jurkiewicz (2003)
mendefinisikan kembali spiritualitas tempat kerja sebagai kerangka kerja yang berasal
dari nilai-nilai perusahaan yang ditampilkan dalam budaya yang mendorong pengalaman
transenden individu melalui prosedur kerja, membantu menciptakan perasaan orang-
orang terkait dengan orang lain secara menyenangkan. Tiga komponen inti terdiri dari
pekerjaan yang bermakna, rasa kebersamaan, dan keselarasan organisasi dengan nilai-
nilai dan misi, yang diakses di tingkat individu. Kemudian, Sheep (2004) datang dengan
konvergensi konseptual Spiritualitas Tempat Kerja, Person - Organization Fit (WSP-OF),
terdiri dari empat tema utama, yaitu makna dalam pekerjaan, transendensi diri, integrasi
dengan tempat kerja; dan pengembangan diri batin seseorang di tempat kerja.
Spiritualitas tempat kerja dalam pekerjaan Domba diukur bukan hanya pada seberapa
sikap / harapan individu terhadap semangat di tempat kerja tetapi juga seberapa baik
perusahaan memfasilitasi harapan ini. Kinjerski dan Skrypnek (2004) merekonstruksi
spiritualitas tempat kerja menjadi "semangat di tempat kerja", menganggapnya sebagai
"keadaan berbeda yang ditandai dengan dimensi fisik, afektif, kognitif, interpersonal,
spiritual, dan tersembunya.” Pada tahun 2006, mereka mendefinisikannya menjadi empat
elemen, yaitu pekerjaan yang menarik, koneksi spiritual, rasa komunitas dan pengalaman
tersembunyi atau implisit. Penelitian ini mengadopsi konsep "semangat di tempat kerja"
yang dikembangkan oleh Kinjerski dan Skrypnek (2006) untuk mendefinisikan
spiritualitas tempat kerja.
Studi tentang kompensasi menjadi minat di antara para peneliti dalam dua dekade
terakhir. Kompensasi adalah “semua bentuk pengembalian finansial serta layanan dan
manfaat nyata karyawan menerima sebagai bagian dari hubungan kerja ”(Milkovich dan
Newman, 2002). Selain itu, menurut Christofferson dan King (2006), kompensasi dapat
didefinisikan sebagai “Bayaran yang diberikan oleh pemberi kerja kepada karyawan
untuk layanan yang diberikan (yaitu waktu, tenaga, dan ketrampilan)". Banyak peneliti
dan praktisi telah menemukan arti dari kompensasi dalam meningkatkan kinerja
karyawan. Demikian pula, Huselid (1995) mencatat bahwa satu peningkatan standar
deviasi dalam kinerja karyawan setara dengan kira-kira 40 persen dari kompensasi
karyawan. Tidak diragukan lagi, sistem kompensasi yang efektif dapat memperkuat staf
untuk bekerja lebih keras dengan tujuan meningkatkan produktivitas dan kinerja
pekerjaan (Lai, 2011). Setelah karyawan puas dengan kompensasi yang ditawarkan,
motivasi mereka meningkat pada tingkat yang lebih tinggi, diikuti oleh perbaikan kinerja
pekerjaan mereka. Secara umum, ada hubungan yang signifikan antara kompensasi dan
kinerja (Herzberg, 1968).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tung Thanh Do pada rumah sakit tersebut
menunjukkan bahwa organisasi telah membangun tempat kerja di mana sejumlah besar
karyawan dapat menemukan, merasakan bahwa pekerjaan mereka bermakna dan
bertujuan serta merasa bergairah, bersyukur dan cocok dengan pekerjaan yang mereka
tanggung. Dengan demikian, disarankan bagi pengusaha untuk mempertahankan dan
meningkatkan kebermaknaan pekerjaan di tempat kerja.
Hasil dari penelitian ini juga mengungkapkan bahwa iklim di tempat kerja
memainkan peran penting dalam kinerja pekerjaan yang dirasakan. Ini sejalan dengan
beberapa penelitian terdahulu, seperti Hansen dan Wernerfelt (1989) dan Ostroff dan
Bowen (2000) yang menunjukkan bahwa iklim yang diperoleh di organisasi berkorelasi
dan meningkatkan kinerja pekerjaan. Mempertahankan dan mempromosikan iklim kerja
yang positif adalah yang paling penting.
ITEM STUDI
ERA 2000 – 2010 ERA 2010 – 2019
Populasi di China:
Perusahaan Hongkong
maupun asing yang bergerak
di bidang manufaktur atau
retail dan beroperasi di RRC.
Sample:
karyawan organisasi dan
direktori bisnis, seperti
Hongkong Industrial
Relations Association, Hong
Kong Manufacturers
Associations, Hong Kong
Chinese Chamber of
Commerce.
Variable Variabel: Kompensasi Variabel: engaging work,
finansial yang terdiri dari 35 mystical experience, sense of
komponen yang kemudian community, workplace
dikelompokkan ke dalam climate, dan kompensasi.
enam kategori utama, yaitu
gaji pokok dan variabel, dana
pensiun, asuransi, tunjangan
cuti, uang saku, dan manfaat
sosial.
Pengukuran Variabel Kuisioner survey yang dibagi 1. The Spirit at Work Scale
ke dalam 3 bagian: (SAWS)
1. Informasi demografi dari (18 items, a = 0.93) oleh
perusahaan yang Kinjerski & Skrypnek
berpartisipasi (2006a)
2. Total keseluruhan ada 37 2. Organizational Climate
komponen kompensasi yang Scale (CLIOR) (a = 0.94)
ditawarkan kepada karyawan dengan 15 item yang
masing-masing dalam tiga dikembangkan oleh Elsa,
tingkatan yang berbeda; dkk.
manajer, supervisor, dan 3. Praktik manajemen
karyawan tingkat bawah. kompensasi dengan 6 item
3. Lima item teratas (a=0.82) yang dikembangkan
mengenai persepsi efektivitas oleh Tessema & Soeters
mereka dalam (2006)
mempertahankan dan 4. Peningkatan kinerja diukur
memotivasi supervisor dan dengan 10 item evaluasi
karyawan tingkat bawah. kinerja yang dikembangkan
oleh by Wright et al. (1995)
(a = 0.90).
Alat Analisis Analisis statistic berdasarkan Analisis skala, korelasi, dan
varian dan standard deviasi regresi.
Hasil Pekerja di Hongkong dan Aspek spiritualitas tempat
China memiliki mentalitas kerja (work engagement,
tunjangan tunai (cash sense of community, mystical
mentality). Komponen experience, & spiritual
kompensasi dengan dasar connection) yang dikaitkan
tunjangan tunai atau uang dengan iklim tempat kerja
menjadi komponen dan kompensasi atas kinerja
terpenting dalam merupakan faktor-faktor
mempertahankan dan internal yang sangan
memotivasi karyawan baik berdampak signifikan pada
itu di Hongkong maupun kinerja para karyawan dan
Cina. Di Hongkong untuk harus lebih diperhatikan serta
memotivasi para pekerja, ditingkat dengan penerapan
pembagian keuntungan dan strategi yang relevan.
cuti tahunan sangatlah
penting, sedangkan bagi para
pekerja di Cina, komponen
kompensasi yang dianggap
paling penting oleh para
pekerjanya adalah bonus
individu, penyediaan rumah,
dan upah lembur. Perbedaan
ini menunjukkan adanya
kondisi ekonomi dan budaya
yang berbeda anatara China
dan Hongkong. Para pekerja
Hongkong menganggap
bahwa cuti tahunan lebih
penting daripada para pekerja
di China. Hal ini dikarenakan
orang orang yang berada di
Hongkong memiliki uang
lebih banyak daripada orang
orang yang berada di China
sehingga mereka lebih
memiliki waktu luang untuk
hal hal yang sifatnya
bersenang senang atau
konsumtif.
Perkembangan Sejak awal tahun 2000-an hingga kini, penerapan reward
dengan sistem kompensasi secara finansial dalam manajemen
sumber daya manusia telah marak, bahkan di negara negara
berkembang. Keseluruhan penelitian menunjukkan bahwa
kompensasi dapat meningkatkan kinerja yang dicapai oleh
para karyawannya. Namun, penelitian pada awal 2000-an
lebih menekankan hanya pada faktor secara finansial atau
tunjangan berbentuk materi, sedangkan di era akhir 2000-an
ini, penelitian menunjukkan bahwa kompensasi bukanlah
faktor internal satu satunya yang berpengaruh pada kinerja
karyawan. Faktor-faktor internal lain yang juga berpengaruh
pada kinerja karyawan adala spiritualitas dan iklim di tempat
kerja.
Seperti yang disampaikan pada uraian literatur di awal diskusi, bentuk dari
kompensasi terbagi menjadi dua, yaitu finansial dan non-finansial. Penerapan kompensasi
non-finansial sendiri bisa berupa penerapan sistem K3 (Keselamatan dan Kesehatan
Kerja). Dalam hal itu menurut Ferika Özer Sarıa (2009) dalam penelitiannya yang
berjudul Effects of employee trainings on the occupational safety and health in
accommodation sector menjelaskan bahwa menyelenggarakan pelatihan pegawai dan
menjaga keselamatan dan kesehatan kerja adalah fungsi utama departemen manajemen
sumber daya manusia serta pengaruh pelatihan karyawan pada keselamatan dan
kesehatan kerja. Kegiatan-kegiatan pelatihan yang direncanakan menyebabkan karyawan
memiliki sikap yang sesuai dan berfungsi juga untuk menjaga keselamatan dan kesehatan
mereka. Pelatihan yang dilakukan secara reguler menunjukkan fungsi dan hasil yang
signifikan, baik untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kinerja karyawan
serta melindungi kesehatan fisik dan spiritual mereka.
Untuk memberikan keselamatan dan kesehatan kerja, pertama-tama perlu untuk
memperoleh mengetahui hal seperti kecelakaan kerja, penyakit kerja dan stres kerja.
Pelatihan karyawan merupakan salah satu cara paling efektif dalam memberikan
keselamatan & kesehatan mereka didalam kehidupan bisnis maka dari itu pelatihan harus
diberikan. Pelatihan-pelatihan ini harus dimulai pada hari mereka direkrut karena
memperoleh informasi yang diperlukan tentang bagaimana melakukan pekerjaan akan
mengurangi risiko kecelakaan. Pelatihan teknis tentang keselamatan & kesehatan yang
harus diberikan perusahaan jelas berubah sesuai dengan sektor tempat mereka beroperasi.
Beberapa jenis pelatihan yang bertujuan melindungi keselamatan & kesehatan
para karyawan dan yang dapat diterapkan di banyak perusahaan antara lain, Orientasi
Pekerjaan, Kebersihan Umum dan Pribadi, Pertolongan pertama, Latihan Kebakaran,
Penggunaan Bahan Pelindung Pribadi, Penanganan Manual, dan Mengatasi Stres. Dalam
penelitian ini sumber data terdiri dari tiga perusahaan penyedia akomodasi yang terkait
dengan dua fungsi penting yang diambil sebagai dasar dalam penelitian dan satu
perusahaan konsultan pendidikan dan pelatihan yang berspesialisasi dalam keselamatan
& kesehatan kerja. Data dalam penelitian ini dikumpulkan menggunakan teknik
percakapan yang semi-terstruktur dan yang tidak memandu.
Konsep yang diajarkan dalam penelitian ini yaitu para pekerja harus melindungi
keselamatan & kesehatan mereka sendiri dan penekanan perlunya pendidikan dasar
terkait keselamatan. Tujuan diselenggarakan pelatihan karyawan adalah untuk membuat
karyawan mempelajari fakta-fakta perusahaan dan mengajari mereka aturan umum,
memberikan kepuasan tamu, memberikan pengetahuan teknis yang diperlukan untuk
melaksanakan pekerjaan, untuk menghilangkan kemungkinan cacat di tempat kerja.
Dalam konteks keselamatan, keselamatan & kesehatan kerja, pelatihan dilakukan tentang
penggunaan bahan pelindung pribadi, seperti kacamata, masker debu, headphone, dan
sarung tangan.
Hasil dalam penelitian ini menyebutkan bahwa penting untuk mewujudkan
program pelatihan. Dalam hal ini kita harus yakin bahwa itu diajarkan kepada karyawan
untuk menciptakan perubahan dalam sikap. Dijelaskan juga bahwa karyawan harus
dilatih mengenai keselamatan & kesehatan kerja. Tetapi juga untuk memastikan bahwa
mereka lebih sensitif dalam melindungi kesehatan mereka sendiri. Program pelatihan
sistematis yang disiapkan untuk karyawan di tempat kerja mereka sendiri akan menjadi
langkah yang tepat untuk tujuan ini dan langkah-langkah ini akan mengarahkan kita
untuk membentuk karyawan yang lebih sehat dan masyarakat yang lebih sehat.
Sedangkan disisi lain menurut Howar Quartey (2017) dalam penelitiannya yang
berjudul Examining employees’ safety behaviours: an industry-level investigation from
Ghana menjelaskan bahwa perilaku keselamatan karyawan merupakan salah satu faktor
penting terkait kepatuhan dan partipasi dari sikap pekerja terhadap keselamatan mereka
ditempat kerja. Pandangan keselamatan digambarkan sebagai seperangkat harapan atau
keinginan yang koheren yang dipunyai oleh masing-masing karyawan terkait keamanan.
Perilaku keselamatan ditempat kerja merupakan kunci kepatuhan dan keikutsertaan dari
sikap karyawan terhadap keselamatan.
Penelitiannya sendiri menggunakan metodologi survey. Metode ini digunakan
sebagai pendekatan yang tepat. Secara total, 197 kuesioner yang valid diambil dari
karyawan yang bekerja di industri pabrik minuman. Kuesioner diproses untuk analisis
kuantitatif untuk menguji hipotesis. Analisis regresi dilakukan untuk menilai persepsi
karyawan tentang perilaku keselamatan mereka sendiri dan untuk menyelidiki dampak
OC terhadap ESB. Frekuensi deskriptif dan persentase digunakan untuk mengidentifikasi
penentu ESB.
Perilaku keselamatan karyawan terdiri dari beberapa jenis yaitu, kepatuhan dan
partisipasi keselamatan karyawannya. Namun jika budaya mendukung bagaimana
perilaku karyawannya dan perilaku keselamatannya yang tersusun oleh keselamatan
kepatuhan dan partisipasi, maka dapat disarankan bahwa budaya dan perilaku
keselamatan saling berkaitan satu sama lain. Penelitian sebelumnya mengatakan bahwa
perilaku keselamatan dapat dipengaruhi oleh kepuasan pekerjaan, kepemimpinan
keselamatan dan kondisi kerja yang aman. Karyawan rentan dengan masalah keselamatan
yang dimana nantinya dapat menentukan cara mereka berperilaku dan merasakan
keselamatan di tempat mereka bekerja. Selain keterbatasan biaya atau keuangan, diyakini
juga bahwa penyebab mayoritas masalah keselamatan kerja karyawan dan bahaya
industri manufaktur dapat dikaitkan dengan tidak adanya budaya yang dipertimbangkan
secara cermat.
Menurut temuan ini, para karyawan percaya bahwa organisasi yang aman itu
penting karena sangat memengaruhi keselamatan perilaku mereka. Selain itu, temuan-
temuan ini lebih lanjut menyoroti peran kepemimpinan dalam membentuk kebijakan dan
praktik organisasi yang relevan dalam mengelola ESB. Seperti yang dikemukakan oleh
Schneider (1987), meskipun struktur dan proses organisasi muncul dari kebutuhan sehari-
hari, namun, bentuk dan isi dari struktur dan proses tersebut dibentuk oleh pendiri. Dapat
disimpulkan bahwa pemberian kompensasi yang bisa menjamin dan menjaga
keselamatan dan kesehatan kerja bagi para karyawan adalah hal yang penting untuk
memotivasi dan meningkatkan kinerja pekerjaan mereka.
Berikut dilampirkan tabel perkembangan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja)
berdasarkan jurnal-jurnal yang terindeks internasional dari tahun 2009 dan 2017.
ITEM STUDI
ERA 2000 – 2010 ERA 2010 – 2019
Pengukuran Variabel Teknik percakapan yang Skala Likert tujuh poin yang
semi-terstruktur berkisar dari 1= sangat
tidak setuju dengan 7 =
sangat setuju.
Alat Analisis Metode aplikasi Paket Statistik untuk Ilmu
Sosial (Versi 17)
Hasil Bahwa pelatihan karyawan Hasilnya menunjukkan
memiliki efek yang sangat bahwa persepsi karyawan
positif pada keselamatan dan tentang perilaku keselamatan
kesehatan kerja. Selain itu, mereka adalah positif. OC
telah dipahami bahwa dilaporkan memiliki dampak
beberapa program pelatihan positif yang kuat pada ESB.
potensial seperti risiko Kondisi kerja yang aman,
kecelakaan dan penyakit kepuasan kerja dan
akibat kerja tidak dapat kepemimpinan organisasi
dihindari. diidentifikasi sebagai penentu
utama organisasi perilaku
keselamatan di antara para
karyawan.
Perkembangan Pada tahun 2009 dilakukan penelitian yang menguji bahwa
Pelatihan Karyawan pada Keselamatan dan Kesehatan Kerja
itu penting bagi suatu organisasi atau perusahaan, banyak
kesadaran terkait pentingnya melakukan pelatihan karyawan
untuk mengurangi kejadian kecelakaan dalam kerja. Dan
disadari juga bahwa meskipun sudah melakukan pelatihan
karyawan tetapi kecelakaaan kerja dan penyakit memang
tidak dapat dihindarkan hanya saja dapat dikurangi. Dan pada
tahun 2017 ditemukan bahwa sekarang karyawan sudah
mulai sadar dengan keselamatan karyawan. Maka dari itu
adanya perilaku keselamatan karyawan dapat membuat
organisasi dan karyawannya lebih sadar terkait keselamatan
karyawan. perilaku keselamatan karyawan dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti, kondisi kerja yang aman, kepuasan
kerja dan kepemimpinan organisasi yang diidentifikasi
sebagai penentu utama organisasi perilaku keselamatan di
antara para karyawan.
Dari keempat penelitian terdahulu yang diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa pemberian rewards dengan sistem kompensasi mengalami perkembangan. Jika di
awal tahun 2000-an reward dengan sistem kompensasi secara finansial dalam manajemen
sumber daya manusia lebih marak dilakukan, di era pertangahan dan akhir 2000-an ini,
pemberian kompensasi non finansial justru makin familiar dalam manajemen
pengembangan sumber daya manusia, seperti pelatihan untuk meningkatkan keselamatan
dan kesehatan kerja para karyawan.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Arnolds dan Venter (2007), terdapat
beberapa faktor benefit dan imbalan yang digunakan dalam memotivasi karyawannya,
khususnya bagi buruh (blue-collar workers) dan karyawan (white-collar workers).
Beberapa faktor yang digunakan di dalam penelitian ini adalah faktor imbalan berupa
finansial (financial reward, seperti contohnya bonus atau insentif berdasarkan kinerja
karyawan, tunjangan anak, tunjangan pendidikan, dll), pengakuan diri dari dalam dan luar
organisasi (social reward, seperti contohnya piagam penghargaan, employee of the
month, dll ), imbalan berupa desain karir (job design reward, seperti contohnya
mendapatkan wewenang dan kuasa tambahan, penjaminan keamanan dalam bekerja,
rotasi pekerjaan, pelibatan karyawan di dalam pengambilan keputusan penting,
perencanaan dan pengembangan karir, dll), imbalan yang dapat dikonsumsi (consumable
reward, seperti contohnya coffee break, makan siang gratis atau tersubsidi, company
picnics, makan malam keluarga yang disponsori oleh perusahaan, pesta yang diadakan
perusahaan, dll), imbalan berupa barang berharga (manipulatable reward, seperti
contohnya perhiasan, pakaian, rekomendasi untuk kenaikan jabatan, mobil dinas,
penggunaan fasilitas perusahaan seperti gym dan kolam renang, dll) dan imbalan melalui
visual dan pendengaran karyawan (visual and auditory reward, seperti contohnya
memasang musik pada tempat bekerja, poster motivasi di tempat kerja, dan penerbitan
majalah perusahaan).
Dari beberapa faktor yang disebutkan tersebut maka dapat ditarik sebuah hipotesa
yang akan digunakan di dalam penelitian ini, dimana:
H1: imbalan berupa pembayaran secara langsung (direct financial rewards yang
berupa pembayaran langsung, insentif, dan tunjangan) adalah faktor penting
dalam memotivasi kinerja karyawan kelas bawah namun tidak lebih penting
daripada reward yang berupa pengakuan / social reward.
H3: imbalan berupa pengakuan (social reward) adalah faktor paling penting
dalam memotivasi kinerja karyawan kelas bawah.
H4: imbalan berupa wewenang dan otoritas (job design reward) adalah faktor
penting dalam memotivasi kinerja karyawan kelas bawah namun tidak lebih
penting daripada imbalan yang berupa pengakuan/social reward dan imbalan
yang berupa pembayaran (financial rewards).
H5: imbalan yang dapat dikonsumsi (consumable reward) adalah faktor yang
memiliki pengaruh paling kecil didalam memotivasi kinerja karyawan kelas
bawah.
Dalam penelitian ini, sampel yang digunakan adalah 367 karyawan tingkat bawah
(white and blue collar workers) yang diambil dari 22 perusahaan bisnis di distrik
metropolitan Nelson Mandela di Afrika Selatan. Dari total jumlah tersebut, 213 adalah
pekerja kerah biru (blue-collar worker) dan 154 adalah karyawan (white-collar worker).
Sampel pekerja buruh termasuk di dalamnya operator mesin, pengendali proses operasi,
petugas servis mesin, teknisi, supir dan pembersih, sedangkan sampel dari karyawan
termasuk di dalamnya operator pusat layanan, asisten penjualan, resepsionis dan personel
keamanan. Sampel buruh terdiri dari 52% pria, sedangkan sampel karyawan terdiri dari
68,2% wanita. Untuk mengukur variabel yang mendefinisikan imbalan sebagai faktor
pembentuk motivasi yang telah dijelaskan pada pembahasan di atas, digunakan metode
penyebaran kuesioner yang terstruktur. Termasuk di dalamnya daftar 46 jenis imbalan
yang pada umumnya digunakan oleh berbagai macam perusahaan. Kuesioner diawali
dengan pertanyaan sejauh mana responden menganggap imbalan sebagai faktor yang
memotivasi peningkatan kinerja. Tanggapan responden diukur dengan skala Likert 5 poin
mulai dari 1 (sama sekali tidak penting) hingga 5 (sangat penting). Analisa data
menggunakan software statistik BMDP4M dan dibantu dengan MS-Excel.
ITEM STUDI
TAHUN 2007 TAHUN 2013
Tujuan Untuk mengetahui jenis imbalan Untuk mengetahui faktor stimulus
yang paling berpengaruh dalam yang memiliki pengaruh terbesar
mempengaruhi motivasi karyawan terhadap adanya motivasi para tenaga
kelas bawah di industri manufaktur kerja terampil di industri di Romania.
dan ritel pakaian.
Hipotesis •H1: imbalan berupa pembayaran H1: faktor berupa kebebasan dalam
secara langsung (direct financial bekerja merupakan faktor paling
rewards yang berupa pembayaran penting dalam menumbuhkan
langsung, insentif, dan tunjangan) motivasi terhadap para karyawan
adalah faktor penting dalam yang mempunyai keterampilan.
memotivasi kinerja karyawan kelas H2: faktor berupa besarnya gaji
bawah namun tidak lebih penting merupakan faktor penting dalam
daripada reward yang berupa menumbuhkan motivasi, namun
pengakuan / social reward. faktor gaji bukan merupakan faktor
terpenting bagi karyawan yang
•H2: imbalan berupa pembayaran
memiliki keterampilan.
secara tidak langsung (indirect
financial rewards atau yang biasa H3: faktor berupa jenis pekerjaan
disebut dengan fringe benefits) merupakan faktor paling penting
adalah faktor penting dalam dalam menumbuhkan motivasi
memotivasi kinerja karyawan kelas terhadap para karyawan yang
bawah namun tidak lebih penting mempunyai keterampilan.
daripada imbalan yang berupa H4: faktor berupa kondisi pekerjaan
pengakuan/social reward dan merupakan faktor paling penting
imbalan yang berupa pembayaran dalam menumbuhkan motivasi
terhadap para karyawan yang
secara langsung (direct financial mempunyai keterampilan.
rewards). H5: faktor berupa rekanan atau
kolega merupakan faktor paling
•H3: imbalan berupa pengakuan
penting dalam menumbuhkan
(social reward) adalah faktor paling
motivasi terhadap para karyawan
penting dalam memotivasi kinerja
yang mempunyai keterampilan.
karyawan kelas bawah.
H6: faktor berupa komunikasi yang
•H4: imbalan berupa wewenang dan baik dengan atasan merupakan
otoritas (job design reward) adalah faktor paling penting dalam
faktor penting dalam memotivasi menumbuhkan motivasi terhadap
kinerja karyawan kelas bawah para karyawan yang mempunyai
namun tidak lebih penting daripada keterampilan.
imbalan yang berupa H7: faktor berupa pengakuan
pengakuan/social reward dan merupakan faktor paling penting
imbalan yang berupa pembayaran dalam menumbuhkan motivasi
(financial rewards). terhadap para karyawan yang
mempunyai keterampilan.
•H5: imbalan yang dapat dikonsumsi
H8: faktor berupa tunjangan/benefit
(consumable reward) adalah faktor
merupakan faktor paling penting
yang memiliki pengaruh paling kecil
dalam menumbuhkan motivasi
didalam memotivasi kinerja
terhadap para karyawan yang
karyawan kelas bawah.
mempunyai keterampilan.
H9: faktor berupa adanya peluang
promosi merupakan faktor paling
penting dalam menumbuhkan
motivasi terhadap para karyawan
yang mempunyai keterampilan.
H10: faktor berupa adanya
kesempatan untuk mengikuti
pelatihan merupakan faktor paling
penting dalam menumbuhkan
motivasi terhadap para karyawan
yang mempunyai keterampilan.
H11: faktor berupa kebijakan
perusahaan merupakan faktor paling
penting dalam menumbuhkan
motivasi terhadap para karyawan
yang mempunyai keterampilan.
H12: faktor berupa kurangnya
pengawasan merupakan faktor
paling penting dalam menumbuhkan
motivasi terhadap para karyawan
yang mempunyai keterampilan.
Populasi dan Sampel Populasi: 22 perusahaan bisnis di Populasi: perusahaan yang bergerak
distrik metropolitan Nelson Mandela di bidang telekomunikasi, pendidikan,
keuangan, budaya, layanan dan
di Afrika Selatan. teknologi di area Sibiu, Rumania.
Sampel: 367 karyawan tingkat Sampel: sampel diambil dari 26
bawah (white and blue collar tenaga terampil di area Sibiu di
workers) yang terdiri dari 213 Romania. Sekitar 57% dari total
pekerja kerah biru (blue-collar sampel yang berjumlah 26 orang
worker) dan 154 karyawan (white- tersebut bekerja pada sebuah
collar worker). Sampel buruh terdiri perusahaan yang memiliki sumber
dari 52% pria, sedangkan sampel daya manusia lebih dari 100 orang.
karyawan terdiri dari 68,2% wanita.
Variable dan Indikator Variabel: jenis imbalan yang Variabel: faktor yang menjadi
mempengaruhi motivasi kinerja dari penentu peningkatan motivasi
para karyawan kelas bawah. karyawan yang mempunyai
keterampilan.
Pengukuran Variabel Skala Likert 5 poin mulai dari 1 Skala Likert 5 poin mulai dari 1 (sama
(sama sekali tidak penting) hingga 5 sekali tidak penting) hingga 5 (sangat
(sangat penting). penting).
Alat Analisis Analisa data menggunakan software Analisa menggunakan software SPSS.
statistik BMDP4M dan dibantu
dengan MS-Excel.
Hasil Hasil penelitian menunjukkan bahwa Hasil dari penelitian menunjukkan
wisata yang diakomodasi oleh bahwa faktor kebebasan dalam
perusahaan menduduki peringkat merencanakan pekerjaan memiliki
pertama dalam hal imbalan yang rata-rata tertinggi, diikuti oleh faktor
memiliki faktor terbesar dalam jenis pekerjaan kemudian faktor
memotivasi kinerja karyawan (faktor kondisi lingkungan kerja dan faktor
imbalan berupa wisata termasuk di rekanan/kolega sebesar. Stimulus lain
dalam non-financial reward), yang memiliki pengaruh pada
peringkat selanjutnya adalah imbalan karyawan terampil yang menjadi
berupa pembayaran upah secara sampel adalah faktor komunikasi yang
penuh ketika sedang tidak bekerja baik dengan jajaran top manajemen
atau sakit (paid leave/sick leave. dan faktor gaji yang dihasilkan, yaitu
Hasil yang menempati peringkat dengan rata-rata yang sama. Variabel
berikutnya adalah adanya faktor hasil yang berupa gaji berbanding
kenaikan gaji dan pemberian insentif. lurus dengan teori yang
Hal ini menunjukkan bahwa faktor mengemukakan bahwa faktor finansial
finansial bukan merupakan faktor memiliki peran penting dalam
paling penting yang mampu motivasi karyawan, namun dalam
meningkatkan motivasi dari para kasus pekerja yang memiliki
karyawan kelas bawah. Mayoritas keterampilan, faktor finansial
karyawan maupun buruh lebih bukanlah yang paling penting dalam
menginginkan imbalan berupa meningkatkan motivasi.
pembayaran non-tunai (fringe
benefit) seperti akomodasi wisata,
tunjangan anak, tunjangan pinjaman
rumah, maupun tunjangan
pendidikan.
Perkembangan Pada tahun 2007 dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui jenis
imbalan yang mempunyai faktor pengaruh paling besar dalam memotivasi
kinerja karyawan kelas bawah (blue and white collar worker) di Afrika
Selatan. Dan pada tahun 2013 dilakukan penelitian tentang faktor-faktor yang
menjadi stimulus bagi kinerja karyawan yang mempunyai keterampilan di
Romania. Dengan adanya penelitian-penelitian tersebut, diharapkan para
pemangku kepentingan dapat mengetahui jenis imbalan seperti apa yang
mampu menumbuhkan motivasi kinerja bagi para karyawannya. Dari dua
penelitian yang dianalisa diatas, terdapat korelasi bahwa faktor finansial
bukanlah faktor terpenting dalam menumbuhkan motivasi bagi kinerja para
karyawan, baik untuk karyawan terampil seperti yang dibahas pada penelitian
di tahun 2013 maupun buruh dan karyawan kelas bawah seperti yang dibahas
oleh penelitian pada tahun 2007. Dalam kasus karyawan yang mempunyai
keterampilan, hal yang paling diinginkan oleh mereka adalah kebebasan dalam
merencanakan pekerjaannya (kebebasan dalam merencakan pekerjaan
termasuk di dalam job design reward), hal ini dapat dipahami mengingat
susahnya suatu individu untuk dapat berkembang apabila ruang gerak mereka
dibatasi oleh perusahaan. Sedangkan bagi buruh dan karyawan kelas bawah,
hal yang paling memotivasi mereka adalah adanya imbalan berupa imbalan
non-finansial seperti akomodasi wisata, tunjangan anak, tunjangan pinjaman
rumah, maupun tunjangan pendidikan. Hal ini dikarenakan mayoritas dari
karyawan tingkat bawah tersebut mempunyai penghasilan rendah, sehingga
mereka akan merasa terbantu dengan adanya benefit dan tunjangan seperti
yang disebutkan diatas untuk meringankan beban mereka.
Dari berbagai literatur dan penelitian yang telah dipaparkan di atas menunjukkan bahwa
sistem reward dengan pemberian kompensasi, baik finansial maupun non-finansial
memberikan dampak yang signifikan dan positif terhadap peningkatan kinerja karyawan.
Namun, dengan adanya perubahan ekonomi dan budaya secara global, pemberian
kompensasi mengalami banyak perkembangan. Jika dulu komponen kompensasi yang
diutamakan adalah kompensasi finansial berupa tunjangan uang, semakin ke sini bentuk
kompensasi yang diberikan semakin berkembang ke arah non finansial. Kompensasi non
finansial ini bisa berbentuk pelatihan dan peningkatan hal hal yang bisa mendukung
kesehatan dan keselamatan kerja, akomodasi wisata, tunjangan pendidikan anak, dll.
Praktik pemberian kompensasi harus diikuti dengan peningkatan faktor internal, seperti
penciptaan spiritualitas dan iklim lingkungan kerja yang baik. Hal ini bisa diwujudkan
dengan beberapa hal, seperti kebebasan dalam merencanakan pekerjaan, lingkungan kerja
dan rekan/kolega (community engagement), dan adanya komunikasi yang baik dengan jajaran
manajemen di level atas.
Namun dari penelitian penelitian terdahulu juga ditemukan bahwa bagi pekerja tingkat
bahwah, cash mentality masih cukup tinggi. Kompensasi secara finansial masih sangat
penting bagi mereka. Oleh karena itu, sistem pemberian kompensasi harus diterapkan dengan
strategi yang tepat dan relevan.
Saran dari tim penulis adalah perlunya diadakan penelitian berkelanjutan tentang
perkembangan manajemen sumber daya manusia untuk mengembangkan pengelolaan
manajemen sumber daya manusia di Indonesia. Hal ini sangat diperlukan karena Indonesia
akan mencapai bonus demografi pada tahun 2020. Indonesia harus mampu memanfaatkan
peluang ini untuk mencapai keunggulan kompetitif di era perdagangan bebas dan industry
4.0 ini.
V. DAFTAR PUSTAKA
Arnolds, C.A. and Venter, D.J.L. (2007). The Strategic Importance of Motivational Rewards
for Lower-Level Employees in the Manufacturing and Retailing Industries. South African
Journal of Industrial Psychology, 33(3), 15-23.
Bates Bob and McGrath James. (2017). The Little Book of Big Management Theories and
How To Use Them. Pearson Education Limited: United Kingdom.
Cushway, B. and Lodge, D. (1995). Organizational Behaviour And Design. Crest Pub House,
p. 139.
Dessler, Gary. (2012). Human Resource Management (13th ed.). Prentice Hall: United States.
Do Thanh Tung. (2016). How spirituality, climate and compensation affect job performance.
Emerald Publishing Limited, VOL. 14 NO. 2 2018, pp. 396-409.
Humas Kemenperin. 2018. Revolusi Industri 4.0 Buka Peluang Dongkrak ‘Skill’ SDM.
(https://kemenperin.go.id/artikel/19676/Revolusi-Industri-4.0-Buka-Peluang). (13
November 2019).
Marshall, C. and Rossman B. Gretchen. (2011). Designing Qualitative Research (5th ed.).
Thousand Oaks, CA: Sage.
McGrath, J. and Bates, B. (2017) The Little Book of Big Management Theories, 2nd ed.,
Harlow: Pearson UK., p. 62 & 66.
Priyono P. (2016). Buku Manajemen Sumber Daya Manusia (2). Zifatama Publisher:
Sidoarjo.
Todericiu, R., Serban, A., Dumitrascu, O., (2013) Particularities of Knowledge Worker’s
Motivation Strategies in Romanian Organizations, Procedia Economics and Finance 6, p.
405 – 413.
Wren A. Daniel and Bedeian G. Arthur. 2009. The Evolution of Management Thought. John
Wiley & Sons, Inc.: United States of America.