Anda di halaman 1dari 43

PERKEMBANGAN PRAKTIK REWARD DENGAN SISTEM KOMPENSASI DALAM

MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA UNTUK MENINGKATKAN KINERJA


KARYAWAN

Disusun oleh:

SANTI DUWI PUTRI NUGROHO


adenia.santi@gmail.com Malang Jawa Timur
LUSIANA PRATIWI
lusianayusuf9@gmail.com Banjarmasin Kalimantan Selatan
WIDIANANDA PRABOWO
ian.enviro@gmail.com Malang Jawa Timur

SIMPOSIUM PERKEMBANGAN PEMIKIRAN

ILMU EKONOMI DAN BISNIS

FEB UB

2019
ABSTRAK

Nugroho, Santi D. P., Prabowo, Widiananda, dan Pratiwi, Lusiana. 2019. Perkembangan Praktik
Reward Dengan Sistem Kompensasi Dalam Manajemen Sumber Daya Manusia Untuk
Meningkatkan Kinerja Karyawan. Papers, Jurusan Magister Manajemen, Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya.
Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui perkembangan sistem reward melalui pemberian
kompensasi sebagai salah satu peran dalam pengembangan manajemen sumber daya manusia dan
faktor apa saja yang mempengaruhi efektivitas pemberian kompensasi dalam peningkatan kinerja
karyawan. Pengembangan manajemen sumber daya manusia menjadi semakin penting dengan
meningkatnya kesadaran organisasi bahwa sumber daya manusia adalah salah satu faktor penentu
bagi organisasi untuk mencapai visi, misi, dan tujuan perusahaan. Metode penelitian yang
digunakan berupa metode kualitatif dengan tinjauan literatur yang berasa dari berbagai buku, e-
book, jurnal, dan penelitian penelitian terdahulu yang telah diunggah di jurnal index.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa sistem kompensasi terus berkembang. Pada awal
2000an banyak penelitian yang menunjukkan bahwa kompensasi finansial masih menjadi pilihan
utama, namun makin ke sini, kompensasi non finansial justru semakin marak. Selain kompensasi,
faktor internal, seperti budaya dan iklim organisisai, seperti terciptanya komunikasi yang baik
dengan manajemen tingkat atas juga berpengaruh dalam meningkatkan kinerja karyawan. Oleh
karena itu, penerapan sistem kompensasi harus direncanakan dan dipraktikkan dengan strategi
yang tepat.
Kata Kunci: kompensasi, reward, manajemen SDM, kinerja karyawan, organisasi

I. PENDAHULUAN

Memasuki era industry 4.0 terjadi iklim kompetisi yang tinggi di segala bidang yang
menuntut perusahaan untuk berkerja dengan lebih efektif dan efesien. Tingkat kompetisi yang
tinggi menuntut pula suatu organisasi mengoptimalkan sumber daya manusia yang dimilikinya.
Hal ini disebabkan oleh pengaruh yang kuat dari sumber daya manusia terhadap efektivitas dan
efisiensi organisasi karyawan sebagai sumber daya manusia merupakan kunci keberhasilan
organisasi. Pengelolaan sumber daya manusia yang baik akan mendorong organisasi ke arah
pencapaian tujuan. Hal ini didasari atas pernyataan yang disampaikan oleh Kementerian
Perindustrian dalam siaran pers yang diunggah ke dalam website Kemenperin. Airlangga
Hartarta (2018) menyatakan, “Di dalam roadmap Making Indonesia 4.0, salah satu program
prioritasnya adalah peningkatan kualitas SDM. Sebab, talent menjadikunci atau
faktor pentinguntuk kesuksesan implementasi industry 4.0.” (Humas Kemenperin,
https://kemenperin.go.id/artikel/19676/Revolusi-Industri-4.0-Buka-Peluang, 13 November
2019)

Menurut David Guest (1999), ada empat kebijakan utama dalam MSDM, yaitu Employee
Influence, Human resource flow, Rewards systems, dan Work systems. Kebijakan lainnya
berkaitan dengan sistem penghargaan yang merupakan bagian utama organisasi dalam memberi
motivasi kepada para karyawannya guna memaksimalkan kerja dan proses pemekerjaan. Sistem
penghargaan (rewards systems) misalnya dapat berupa paket kompensasi yang terdiri dari
penggajian, pemberian bonus dan insentif serta berbagai bentuk kompensasi lainnya.

Pada dasarnya, manusia membutuhkan motivasi agar dapat terus berkembang seiring
dengan berjalannya waktu. Memotivasi karyawan di tempat kerja merupakan salah satu tugas
penting jajaran top manajemen agar karyawan dapat terus memberikan kontribusi terbaiknya
bagi perusahaan. Dengan bertumbuhnya motivasi di dalam diri karyawan, maka hal ini secara
tidak langsung akan meningkatkan kinerja karyawan dan akan berdampak pada kinerja
keseluruhan dari perusahaan dikarenakan sumber daya manusia merupakan faktor penting yang
mempengaruhi lingkungan perusahaan.

Menurut Dessler (2012) kompensasi karyawan merujuk kepada semua bentuk bayaran atau
hadiah bagi karyawan dan berasal dari pekerjaan mereka. Kompensasi karyawan memiliki dua
komponen utama, yaitu pembayaran langsung seperti dalam bentuk upah, gaji, insentif, komisi,
bonus dan pembayaran tidak langsung dalam bentuk tunjangan keuangan seperti asuransi dan
liburan yang dibayar oleh pengusaha. Kompensasi non-finansial merupakan kompensasi yang
selain kompensasi moneter, ada cara lain bagi pemberi kerja untuk memberikan nilai kepada
karyawan mereka. Misalnya, pengembangan karir dan peluang pelatihan dapat dimasukkan
dalam kategori ini. Fasilitas tambahan seperti peluang pengakuan dan keseimbangan kerja /
hidup juga bisa jatuh di bawah kompensasi non-finansial.

Kompensasi, menurut Dessler, biasanya tergantung pada keterampilan yang dibutuhkan,


pekerjaan, dan tingkat pendidikan, bahaya keselamatan, tingkat tanggung jawab, dan faktor
lainnya yang dinilai melalui analisis pekerjaan. Tujuan dasarnya adalah untuk menarik,
memotivasi, dan mempertahankan karyawan yang baik. Rencana kompensasi harus terlebih
dahulu memajukan tujuan strategis perusahaan, manajemen harus menghasilkan strategi
penghargaan yang selaras. Ini berarti menciptakan paket kompensasi termasuk upah, insentif,
dan manfaat yang menghasilkan perilaku karyawan yang diperlukan perusahaan untuk
mendukung dan mencapai strategi kompetitifnya.

Sedangkan menurut Armstrong (2006), manajemen kompensasi adalah salah satu pilar
utama manajemen sumber daya manusia (SDM). Ini berkaitan dengan perumusan dan
implementasi strategi dan kebijakan yang bertujuan untuk memberikan kompensasi kepada
orang secara adil dan konsisten sesuai dengan nilai mereka kepada organisasi. Manajemen
kompensasi adalah bagian integral dari pendekatan manajemen sumber daya manusia untuk
mengelola orang dan karena itu mendukung pencapaian tujuan bisnis dan strategis dalam arti
bahwa itu menangani masalah jangka panjang yang berkaitan dengan bagaimana orang harus
dinilai untuk apa yang ingin mereka capai. Manajemen kompensasi adalah semua tentang
mengembangkan hubungan kerja yang positif dan kontrak psikologis yang mengadopsi
pendekatan kompensasi total yang mengakui bahwa ada sejumlah cara di mana orang dapat
diberi kompensasi.

Dessler mengacu pada kompensasi tidak langsung sebagai pembayaran tidak langsung,
baik finansial dan non-finansial yang diterima karyawan untuk melanjutkan pekerjaan mereka
dengan perusahaan yang merupakan bagian penting dari kompensasi setiap karyawan. Istilah
lain seperti tunjangan tambahan, layanan karyawan, kompensasi tambahan dan pembayaran
tambahan digunakan. Sedangkan, Armstrong mengatakan kompensasi tidak langsung atau
tunjangan karyawan adalah elemen remunerasi yang diberikan di samping berbagai bentuk
pembayaran tunai. Itu juga termasuk barang-barang yang tidak sepenuhnya dibayar seperti
liburan tahunan.

Menurut Touana & Puspitasari (2017) jenis-jenis kompensasi dapat dibedakan menjadi dua
kelompok:

a. Kompensasi dalam bentuk finansial. Kompensasi dalam bentuk finansial dibagi menjadi dua
bagian, yaitu:
1. Kompensasi finansial yang dibayarkan secara langsung seperti gaji, upah, komisi, dan
bonus.
2. Kompensasi finansial yang dibayarkan secara tidak langsung, seperti asuransi kesehatan,
tunjangan pensiun, tunjangan hari raya, tunjangan perumahan, tunjangan pendidikan dan
lain sebagainya.
b. Kompensasi dalam bentuk non-finansial. Kompensasi dalam bentuk non-finansial dibagi
menjadi dua bagian, yaitu:
1. Berhubungan dengan pekerjaan, seperti kebijakan perusahaan yang sehat, pekerjaan yang
sesuai (menarik, menantang), peluang untuk dipromosikan naik jabatan.
2. Berhubungan dengan lingkungan kerja, seperti ditempatkan dilingkungan kerja
yangkondusif dan fasilitas kerja yang baik.
Victor Vroom (dalam McGrath dan Bates dalam bukunya yang berjudul The Little Book
Of Big Management Theories, 2017:66) mengemukakan bahwa seorang individu akan
mempunyai pemikiran berdasarkan kepada keyakinannya (expectation/ekspektasi) bahwa suatu
tindakan tertentu yang ia lakukan akan memberikan dampak positif berupa nilai yang akan ia
dapatkan (valence/nilai) setelah melakukan tindakan tersebut dengan baik
(instrumentality/perantara). Hal ini disampaikannya melalui teori motivasi dan harapan di dalam
rumus matematis sebagai berikut.

Motivasi = Nilai × Harapan × Perantara

Dilihat dari rumus tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan jika salah satu dari ketiga faktor
yang menjadi penentu terdapat angka nol, maka bisa dipastikan hasil dari perhitungan (motivasi)
juga akan menunjukkan angka nol. Untuk penjelasan lebih jelas dapat dilihat pada bagan di
bawah ini:

Motivasi

Nilai Harapan Perantara


Mengukur nilai individu Mengukur besarnya
Mengukur suatu
terkait yang akan pengharapan seorang
keyakinan atau harapan
diberikan sebuah reward. individu bahwa jajaran
yang dimiliki individu
Nilai disini dapat bersifat manajer atau perusahaan
terkait dengan kinerja
ekstrinsik/faktor dari luar akan mengirimkan
yang ia lakukan agar bisa
(contoh: uang, promosi imbalan sesuai dengan
mendapatkan hasil sesuai
jabatan atau liburan) atau yang dijanjikan apabila
dengan yang diharapkan.
intrinsik/faktor dari individu terkait telah
Hal ini murni didapatkan
dalam (dorongan untuk berhasil memenuhi
dari keyakinan suatu
mendapatkan sebuah kinerja yang diharapkan
individu terhadap dirinya
prestasi). perusahaan.
sendiri.
Selain teori yang dikemukakan oleh Victor Vroom tentang bagaimana menilai suatu
motivasi dari seorang karyawan, terdapat teori yang sebelumnya telah dikemukakan oleh
Frederick Herzberg. Frederick Irving Herzberg (1923-2000) merupakan seorang psikolog asal
Amerika Serikat. Beliau dianggap sebagai salah satu pemikir besar dalam bidang manajemen
dan teori motivasi. Frederick Herzberg mengemukakan Teori Dua Faktor (juga dikenal sebagai
teori motivasi Herzberg atau teori hygiene-motivator) dalam menentukan faktor yang
menyebabkan kepuasan dan ketidakpuasan dalam bekerja pada seorang individu. Frederick
Herzberg (dalam McGrath dan Bates, 2017:62) menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang
menjadi penentu di tempat kerja yang menyebabkan kepuasan kerja, sementara di sisi satunya
terdapat pula faktor lain yang menyebabkan ketidakpuasan dalam bekerja. Dengan kata lain
kepuasan dan ketidakpuasan kerja saling erat kaitannya antar satu dengan yang lainnya.

Teori Dua-Faktor menyiratkan bahwa manajer harus fokus untuk menjamin kecukupan
faktor hygiene (faktor kesehatan) guna menghindari ketidakpuasan karyawan. Juga, manajer
harus memastikan bahwa pekerjaan sebagai perangsang dan bermanfaat sehingga karyawan
termotivasi untuk bekerja dan melakukannya lebih keras dan lebih baik. Teori ini menekankan
pada kerja pengayaan sehingga memotivasi karyawan. Pekerjaan harus memanfaatkan
keterampilan karyawan dan kompetensi mereka secara maksimal. Berfokus pada faktor-faktor
motivasi dapat meningkatkan kerja berkualitas.

Faktor-faktor tertentu di tempat kerja tersebut oleh Frederick Herzberg diidentifikasi


sebagai hygiene factors (faktor kesehatan) dan motivation factors (faktor pemuas). Dua faktor
ini oleh Frederick Herzberg dialamatkan kepada faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik, dimana
faktor intrinsik adalah faktor yang mendorong karyawan termotivasi, yaitu daya dorong yang
timbul dari dalam diri masing-masing orang, dan faktor ekstrinsik yaitu daya dorong yang datang
dari luar diri seseorang, terutama dari organisasi tempatnya bekerja. Teori ini merupakan
pengembangan dari teori hirarki kebutuhan Maslow. Dan juga berhubungan erat dengan teori
tiga faktor sosial McClelland.

Hygiene factors (faktor kesehatan) adalah faktor-faktor dalam pekerjaan yang penting
untuk ditumbuhkan sebuah motivasi di tempat kerja. Menurut Herzberg, faktor kesehatan tidak
dapat mendorong minat para karyawan untuk melakukan kinerja dengan baik, akan tetapi jika
faktor-faktor ini dianggap tidak dapat memuaskan karyawan dalam berbagai hal seperti pada
misalnya gaji yang tidak memadai, kondisi kerja yang kurang menyenangkan, maka faktor-
faktor tersebut dapat menjadi sumber ketidakpuasan yang potensial (Cushway & Lodge,
1995:139). Faktor ini adalah faktor ekstrinsik untuk bekerja. Faktor higienis juga disebut sebagai
dissatisfiers’ atau faktor pemeliharaan yang diperlukan untuk menghindari
ketidakpuasan. Hygiene factors (faktor kesehatan) adalah gambaran kebutuhan fisiologis suatu
individu yang diharapkan untuk dipenuhi oleh perusahan tempat dia bekerja. Hygiene
factors (faktor kesehatan) dapat meliputi gaji, kehidupan pribadi, kualitas supervisi, kondisi
kerja, jaminan kerja, hubungan antar pribadi, kebijaksanaan dan administrasi perusahaan.

Ada berbagai macam versi terkait sejarah perkembangan sistem kompensasi yang diawali
dengan adanya praktik manajemen yang kemudian sumber daya manusia menjadi salah satu
komponen di dalamnya. Menurut Wren & Bedeian dalam bukunya The Evolution of
Management Thought edisi ke-6, manajemen termasuk di dalamnya manajemen sumber daya
manusia telah ada sejak Babilonia Hammurabi (sekitar tahun 2123–2071 SM), Raja Hammurabi
menerima haknya untuk memerintah dan kode hukum dari dewa matahari. Pada 2250 SM,
Hammurabi mengeluarkan kode 282 undang-undang, yang mengatur urusan bisnis, perilaku
pribadi, hubungan interpersonal, hukuman, dan sejumlah masalah sosial lainnya.

Pada tahun 1000 SM, birokrasi di Cina telah berkembang ke dalam hirarki pejabat.
Birokrasi ini berkembang jauh sebelum sistem konfusius mulai muncul. Filsafat konfusianisme
ini bertetentangan dengan para legalist saat itu. Ketika kaum legalis, yang kemudian disebut
kaum formalis berusaha menggunakan sistem ganjaran dan hukuman melalui peraturan hukum
yang berlaku untuk menjaga atau meningkatkan kinerja sumber daya manusia, kaum konfusius
yang kemudian disebut sebagai kaum humanis, justru menganjurkan pembudidayaan dan
peningkatan moral pekerja atau sumber daya manusia untuk menjaga dan meningkatkan
kerjasama yang telah terjalin.

Sejak kedua era itu, birokrasi, manajemen, terutama di bidang sumber daya manusia terus
berkembang. Era berikutnya ditandai dengan semangat kapitalisme yang diciptakan oleh etika
Protestan, di mana mereka menyamakan nilai spiritual dan kesuksesan duniawi. Tanpa ruang
untuk mengumbar atau mengeksploitasi diri sendiri dan dengan prinsip kontrol diri serta
pengarahan diri sendiri, era individualisme baru telah lahir. Semangat kapitalistik yang
diciptakan sebagai pedoman khusus oleh para Protestan ini banyak diperkenalkan ke dunia luar
oleh Max Weber melalui karya karya literaturnya. Menurutnya, orang memiliki kewajiban untuk
bekerja, kewajiban untuk menggunakan kekayaan mereka dengan bijak, dan kewajiban untuk
hidup menyangkal diri.

Pada zaman pencerahan (age of enlightment) ini, muncul salah satu tokoh terkemuka
bernama John Locke yang tulisannya juga mempengaruhi Adam Smith (ahli filsuf dan ekonomi)
serta menjadi dasar bagi tulisan-tulisan Rousseau yang juga merupakan seorang tokoh filosofi
besar di abad pencerahan. Locke mengajukan suatu tatanan sipil yang baru, yaitu: (1) hukum
yang didasarkan pada alasan, bukan perintah yang sewenang-wenang; (2) pemerintah
memperoleh kekuasaannya dari yang diperintah; (3) kebebasan untuk mengejar tujuan individu
sebagai hak alami; dan (4) kepemilikan pribadi dan penggunaannya dalam mengejar
kebahagiaan sebagai hak alami dan dilindungi secara hukum. Keempat gagasan ini terjalin dalam
praktik untuk membentuk fondasi politik yang kokoh bagi pertumbuhan industri. Ini
memberikan sanksi bagi ekonomi laissez-faire dan mengejar imbalan individu, menjamin hak-
hak properti, memberikan perlindungan pada kontrak, dan menyediakan sistem keadilan bagi
orang-orang.

Tahun 1723-1790, Adam Smith, seorang ekonom politik Skotlandia menggambarkan


sejarah perkembangan industri dan perdagangan di Eropa serta dasar-dasar perkembangan
perdagangan bebas dan kapitalisme. Ia berpendapat bahwa dengan memberikan setiap orang
kebebasan untuk memproduksi dan menukar barang sesuka hati (perdagangan bebas), serta
membuka pasar hingga kompetisi domestik dan asing, kepentingan pribadi manusia akan
meningkatkan kesejahteraan yang lebih besar daripada dengan peraturan pemerintah yang ketat.
Smith mengusulkan bahwa hanya pasar dan kompetisi yang menjadi pengatur kegiatan ekonomi.
Smith secara teguh mempertahankan teorinya bahwa harga alamiah harus dibiarkan berlaku
sesuai dengan mekanisme pasar. Praktik-praktik ekonomi di zamannya juga membuatnya yakin
bahwa apa yang akan dibakukan oleh pemerintah bukanlah harga alamiah atau harga yang fair,
tetapi harga yang pada akhirnya hanya akan menguntungkan segelintir orang yang kaya dan
berkuasa dan bukannya menguntungkan semua pihak. Karena itu, jalan terbaik untuk bisa
mewujudkan harga yang fair adalah dengan membiarkan harga alamiah berkembang sesuai
dengan mekanisme pasar.

Selain teori harga, Smith menjelaskan teori nilai berdasarkan nilai dari suatu pekerjaan,
dan terutama sekali tenaga kerja, menurutnya tenaga kerja adalah merupakan sebab dan
sekaligus alat pengukur nilai. Adam Smith mengakui hanya tiga faktor produksi: tanah, tenaga
kerja dan modal. Namun kemudian pengusaha dijadikan faktor produksi keempat dan menerima
reward terpisah karena telah melakukan pengelolaan, selain sebagai pengembalian modal
pribadi yang diinvestasikan. Hal ini dianggap menjadi sesuatu yang gagal diperhatikan oleh
Smith padahal beberapa pengusaha memiliki usaha, tetapi kenyataannya yang lebih sering terjadi
adalah mereka hanya memiliki saham, meminjam dari orang lain atau membentuk kemitraan.
Pengusaha kemudian menjadi manajer untuk orang lain dan mengambil risiko tambahan dalam
menggabungkan faktor-faktor tanah, tenaga kerja, dan modal. Ketika organisasi tumbuh,
pengusaha itu sendiri tidak dapat mengarahkan dan mengendalikan semua kegiatan, dan menjadi
perlu untuk mendelegasikan beberapa kegiatan ke tingkat sub-manajer. Sub-manajer ini adalah
manajer pertama yang tidak memiliki usaha atau bukan bagian dari usaha itu sendiri, digaji dan
bertanggung jawab untuk membuat keputusan dalam kerangka kebijakan yang lebih luas yang
ditetapkan oleh pengusaha.

Smith cukup banyak memberikan perhatian pada produktivitas tenaga kerja, ia mengambil
kesimpulan bahwa produktivitas tenaga kerja dapat ditingkatkan melalui apa yang disebutnya
dengan pembagian kerja (division of labour). Keunggulan ekonomis akan diperoleh organisasi
dari pembagian kerja (division of labour), yaitu perincian pekerjaan ke dalam tugas-tugas yang
spesifik dan berulang. Pembagian kerja akan mendorong spesialisasi, di mana orang akan
memilih mengerjakan yang terbaik sesuai dengan bakat dan kemampuannya masing-masing.
Menurut Adam Smith, pembagian kerja akan meningkatkan produktivitas dengan cara:
meningkatnya keterampilan dan kecekatan tiap-tiap pekerja, menghemat waktu yang terbuang
dalam pergantian tugas, serta menciptakan mesin dan penemuan lain yang dapat menghemat
tenaga kerja.

Menurut Smith, laju pertumbuhan penduduk dalam jangka panjang tergantung pada dana
yang tersedia untuk nafkah manusia, maka dapat dikatakan bahwa tingkat upah yang berlaku di
pasar merupakan faktor penentu penting dari ukuran populasi. Pasokan tenaga kerja biasanya
diharapkan seimbang dengan permintaan tenaga kerja. Adam Smith berpendapat bahwa insentif
moneter dapat membantu mengeluarkan atau mengoptimalkan potensi yang terbaik dari orang-
orang dan bahwa mereka akan bekerja lebih keras untuk mendapatkan insentif yang lebih
banyak.

Ada banyak versi terkait sejarah berkembangnya manajemen sumber daya manusia.
Namun sebagian besar literatur menyatakan bahwa, peristiwa penting kedua setelah munculnya
Adam Smith dengan teori ekonomi klasiknya, yang mempengaruhi perkembangan ilmu
manajemen adalah Revolusi Industri di Inggris. Revolusi Industri menandai dimulainya
penggunaan mesin, menggantikan tenaga manusia, yang berakibat pada pindahnya kegiatan
produksi dari rumah-rumah menuju tempat khusus yang disebut pabrik. Perpindahan ini
mengakibatkan manager-manager ketika itu membutuhkan teori yang dapat membantu mereka
meramalkan permintaan, memastikan cukupnya persediaan bahan baku, memberikan tugas
kepada bawahan, mengarahkan kegiatan sehari-hari, dan lain-lain,sehingga ilmu manajamen
mulai dikembangkan oleh para ahli. Era ini disebut juga sebagai Era Manajemen Personalia
(awal abad ke-19), era di mana muncul. seperangkat aktifitas sederhana untuk merekrut,
menempatkan, dan menggaji karyawan untuk memenuhi permintaan perusahaan akan sumber
daya manusia/tenaga kerja.

Pada tahun 1800, Robert Owen yang dijuluki sebagai Bapak Manajemen Personalia,
melakukan penelitian di pabrik pemintalan kapas di New Lanark, Skolandia, tempat dimana ia
bekerja sebagai manajernya. Dalam penelitiannya, ia menilai bahwa manusia memiliki banyak
persamaan dengan mesin, jika manusia dirawat secara baik dalam artian diberikan kompensasi,
tunjangan serta insentif yang lain secara berkesinambungan, maka produktivitas karyawan
tersebut dapat meningkat dan memberikan keuntungan kepada perusahaan. Selain itu, Owen
merasa bahwa karakter berkembang hanya jika lingkungan, baik secara material dan moralnya
benar. Untuk tujuan ini, ia menjadi lebih aktif secara politis sekitar tahun 1813 dan mengusulkan
pabrik untuk melarang mempekerjakan anak di bawah sepuluh tahun dan membatasi pekerjaan
hingga sepuluh jam per hari tanpa kerja malam untuk anak-anak. Setelah banyak intrik politik,
undang-undang tersebut menjadi undang-undang pada tahun 1819, tetapi alih-alih berlaku untuk
semua pabrik, undang-undang ini hanya berlaku untuk pabrik kapas dan menetapkan batas usia
sembilan dan bukan sepuluh.
Charles Babbage (1792 – 1871) juga menjadi salah satu tokoh yang menaruh perhatian
dalam hal pembagian kerja, yang mempunyai beberapa keunggulan, yaitu; waktu yang
diperlukan untuk belajar dari pengalaman-pengalaman yang baru, banyaknya waktu yang
terbuang bila seseorang berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain, dan orang tersebut harus
menyesuaikan kembali pada pekerjaan barunya sehingga kan menghambat kemajuan dan
ketrampilan kerja, untuk itu diperlukan spesialisasi daam pekerjaannya, kecakapan dan keahlian
seseorang bertambah karena seorang pekerja bekerja terus menerus dalam bidangnya, adanya
perhatian pada pekerjaannya sehingga dapat meresapi alat-alatnya karena perhatiannya terfokus
pada bidang pekerjaannya. Kontribusi lain dari Babbage, antara lain menciptakan kalkulator
mekanis yang pertama, mengembangkan kerjasama saling menguntungkan antara pekerja dan
pemilik perusahaan, membuat skema perencanaan pembagian keuntungan.

Frederick W. Taylor (1856-1915) yang dikenal sebagai “Bapak manajemen Ilmiah” dalam
sebuah diskusi dengan Nels P. Alifas, mewakili Departemen Perdagangan Logam Federasi
Buruh Amerika, Taylor mempresentasikan kasus untuk studi waktu, meningkatkan metode kerja,
dan memberi penghargaan kepada pekerja berdasarkan hasil. Menurut Taylor, pembagian
keuntungan atau profit gagal karena ambisi pribadi yang tidak dicegah dengan membiarkan
semua orang berbagi keuntungan terlepas dari kontribusi mereka dan karena masih asingnya
system pemberian reward atau hadiah. Dalam mengenali kekurangan ini, Taylor menunjukkan
penghargaan terhadap apa yang sekarang dikenal sebagai prinsip kedekatan temporal, yaitu
pentingnya waktu antara stimulus dan respons dalam perilaku pengkondisian, dan
mencerminkan pandangan Taylor bahwa pembagian keuntungan atau profit pada akhir tahun
dengan memberikan sedikit insentif dapat meningkatkan kinerja harian.

Sistem upah per satuan, jauh sebelum masa Taylor, berupaya mendorong produktivitas
individu dengan membayar pekerja berdasarkan hasil mereka, tetapi sistem seperti itu pada
umumnya gagal; standar sering kali ditetapkan dengan buruk, pengusaha memotong tingkat upah
karena peningkatan output menjadi norma, dan pekerja menyembunyikan metode pintas mereka
untuk membuat manajemen tidak tahu seberapa cepat pekerjaan dapat dilakukan. Tidak
mengherankan, para pekerja mengembangkan konsensus tentang berapa banyak yang masing-
masing harus hasilkan, tidak hanya untuk melindungi diri mereka sendiri tetapi juga untuk
menghindari sanksi terhadap yang kurang mampu. Manajemen tampaknya tidak menyadari
inefisiensi yang dihasilkan. Selain itu, Gaji didasarkan pada kehadiran dan posisi, bukan usaha.
Bekerja lebih keras tidak membuahkan hasil dan, karenanya, para pekerja sebenarnya didorong
untuk menjadi malas.

Henry Gantt yang pernah bekerja bersama Taylor menggagas ide bahwa seharusnya
seorang mandor mampu memberi pendidikan kepada karyawannya untuk bersifat rajin
(industrious) & kooperatif. Grant sangat mendukung gagasan bahwa dalam semua urusan
manajemen, elemen manusia harus merupakan hal yang sangat penting. Ia juga mendesain
sebuah grafik untuk membantu manajemen yang disebut sebagai Gantt chart yang digunakan
untuk merancang & mengontrol pekerjaan. Selanjutnya, Gantt mengadaptasi gagasan seorang
kolega, EP Earle, untuk memberikan bonus kepada pengawas lini pertama bagi setiap pekerjanya
yang mencapai standar yang ditetapkan untuk pekerjaan mereka, ditambah bonus tambahan
berdasarkan bonus yang diperoleh dari para pekerja diawasi. Gantt memandang bonus tambahan
ini sebagai cara untuk mendorong penyelia untuk mengajar dan membantu pekerja
meningkatkan kinerja mereka. Gantt yakin bahwa kekuatan tidak bisa menjadi dasar untuk
kepemimpinan. Peningkatan produktivitas hanya bisa dicapai melalui pengetahuan. Seperti
Taylor, Gantt menghadapi lebih banyak perlawanan dari supervisor lini pertama yang peduli
untuk melindungi otoritas mereka daripada dari para pekerja yang mereka awasi. Untuk Gantt,
semua komponen dalam suatu perusahaan harus bekerja sama untuk mencapai kinerja yang
efisien. Lebih lanjut, ia merasa bahwa imbalan di tempat kerja harus didistribusikan secara adil
sesuai dengan kontribusi masing-masing peserta.

Frank menaruh perhatian pada upaya untuk memaksimalkan efisiensi. Dengan


memakasimalkan efisiensi maka produktivitas akan meningkat. Frank mengambil eksperimen
pada 18 gerakan tukang batu dalam menyusun batu bata, menurutnya setelah diamati, 18 gerakan
tersebut dapat diefisienkan menjadi tinggal 5 gerakan, dan efeknya justru meningkatkan
produktivitas sebesar 200%. Frank melembagakan "daftar putih" yang dirancang untuk
memberikan hadiah bagi pria yang berkinerja baik. Dalam upaya untuk mengembangkan
keterampilan para pria yang bekerja untuknya, Frank mengembangkan plan ‘rencana tiga posisi’
dari promosi.

Pada tahun 1853-1931, berawal dari pengamatannya, Harrington Emerson menyatakan


bahwa pemborosan dan ketidakefisienan adalah masalah-masalah besar dan merupakan penyakit
dalam sistem industri. Emerson kemudian mengemukakan 12 Prinsip Efisiensi, yaitu tujuan-
tujuan harus dirumuskan dengan jelas, kegiatan yang dilakukan harus masuk akal, adanya staf
yang cakap, disiplin, balas jasa yang adil, laporan-laporan yang terpercaya, segera, akurat, dan
konsisten, pemberian perintah, adanya standar dan jadwal atau agenda yang jelas, kondisi yang
distandardisasi, operasi yang distandardisasi, instruksi-instruksi praktis tertulis yang terstandar,
dan balas jasa efisiensi.

Kemudian pada akhir abad ke-20, dunia memasuki era manajemen sumber daya manusia
tradisional. Berakhirnya perang korea dan perang dunia ke-2, menandai perubahan yang
signifikan dalam sejarah perkembangan sejarah pengelolaan sumber daya manusia. Pada
generasi ini, ide-ide dan konsep hak asasi manusia dan juga aktualisasi diri menjadi bagian yang
tidak dapat dipisahkan dalam pengelolaan sumber daya manusia, hal ini berdampak kepada
semakin dilibatkannya pekerja dalam proses pengambilan keputusan. Selain itu, hal tersebut juga
mendorong untuk menggabungkan ide-ide pekerja menjadi bagian strategi dari jalannya
operasional perusahaan.

Abad ke-21 merupakan era stratejik manajemen sumber daya manusia. Adanya perubahan
zaman, ditambah semakin berkembangnya fenomena globalisasi dimana batas-batas negara
semakin berkurang, berimplikasi secara langsung terhadap perubahan lingkungan bisnis. Pada
era ini, sumber daya manusia yang dibutuhkan adalah yang memiliki kemampuan yang
terspesialisasi, dapat bekerja dalam tim dan melek teknologi. Selain itu, dewasa kini manajemen
sumber daya manusia menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam merumuskan strategi
organisasi untuk mencapai tujuan, baik itu jangka pendek maupun jangka panjang.

Tujuan pertama penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana perkembangan dan
praktik pemberian reward dengan sistem kompensasi dan yang kedua adalah untuk mencari tahu
apakah sistem kompensasi ini dapat berdiri sendiri atau perlu didukung dengan faktor lain dalam
organisasi dalam praktiknya di era sekarang ini.

II. METODOLOGI

Penulisan makalah ini menggunakan metode kualitatitif dengan tinjauan pustaka. Menurur
definisi dari Lexy J. Moleong (2000), metode penelitian kualitatif adalah suatu riset yang
bermaksud untuk memahami fenomena yang dialami oleh subjek penelitian. Misalnya perilaku,
persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistic, dan dengan cara deskripsi dalam
bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode alamiah. Metode penelitian kualititatif merupakan suatu cara
yang digunakan untuk menjawab masalah penelitian yang berkaitan dengan data berupa narasi
yang bersumber dari aktivitas wawancara, pengamatan, dan dokumen atau data.

Data berupa narasi yang bersumber dari berbagai dokumen atau data inilah yang kemudian
disebut dengan pemanfaatan tinjauan pustaka. Dokumen atau data ini didapat dari hasil
penelitian penelitian lainya serta literatur literatur lainnya yang kemudian diinformasikan
kepada para pembaca dan mengisi celah celah dalam penelitian sebelumnya (Marshall &
Rosmann, 2011). Cooper (2010) membahas empat tipe kajian pustaka yang (a) menggabungkan
apa yang telah dikatakan dan dilakukan orang lain, (b) mengkritisi penelitian dari para ahli
sebelumnya, (c) membangun jembatan antara topik-topik terkait, dan (d) mengidentifikasi isu-
isu sentral dalam suatu bidang. Dengan perkecualian mengkritisi penelitian-penelitian dari para
peneliti sebelumnya, sebagaian besar disertasi dan tesis berperan menggabungkan literatur,
mengatur menjadi serangkaian topik yang saling berkaitan, dan merangkum literatur dengan
menunjukan isu-isu sentral.

Penelitian kualitatif harus berdasarkan pada teori dan data-data yang valid. Maka dalam
penelitian ini, tim penulis akan mengkaji berbagai literatur yang kredibel berupa buku-buku,
jurnal online atau penelitian-penelitian terdahulu yang telah diunggah di database jurnal online
berindeks internasional. Penelitian penelitian terdahulu yang dipilih tim penulis dibagi ke dalam
kedua kategori waktu, yaitu penelitian di antara tahun 2000 – 2010 dan penelitian antara tahun
2010 – 2019. Pemaparan sumber data tersebut akan dikembangkan oleh tim peneliti untuk
menemukan perkembangan praktik kompensasi dalam manajemen sumber daya manusia.

III. DISKUSI & HASIL

3.1 Perkembangan Praktik Reward dengan Sistem Kompensasi

Penelitian mengenai kompensasi telah menjadi daya tarik selama dua dekade ini.
Sebagian besar kompensasi yang diteliti adalah kompensasi yang berkaitan dengan
kompensasi finansial. Salah satu penelitian terkait kompensasi finansial di awal 2000-an
tepatnya di tahun 2002 dilakukan di negara berkembang, yaitu China dan Hongkong.
Penelitian yang dilakukan oleh Randy K. Chiu dan Vivienne Wai-Mei Luk ini diberi judul
Retaining and Motivating Employees: Compensation Preferences in Hong Kong and
China. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi komponen-
komponen dalam kompensasi yang saat itu ditawarkan kepada para karyawan dan
mengidentifikasi persepsi karyawan tentang komponen kompensasi yang paling penting
dalam mempertahankan dan memotivasi karyawan.

Penilitian ini dilatarbelakangi oleh pertumbuhan ekonomi dunia yang makin


terintegrasi. Hal ini telah mengakibatkan intensitas persaingan di pasar global. Untuk bisa
bertahan di tengah persaiangan yang luar biasa ini, organisasi harus bisa mengelola
manajemennya dengan baik. Berbagai bentuk kompensasi digunakan untuk menarik,
mempertahankan dan memotivasi para karyawannya untuk mencapai tujuan perusahaan.
Penelitian ini berfokus pada konpensasi finansial yang berwujud uang. Penelitian lebih
jauh dilakukan untuk menemukan jawaban atas beberapa hipotesis yang dibuat, yaitu
“Karyawan Hongkong akan melihat pembayaran tunai (seperti gaji pokok, bonus akhir
tahun, dan upah jasa) merupakan komponen yang penting dalam kompensasi mereka”,
“Karyawan Hongkong akan mempertimbangkan penyediaan rumah penting dalam
mempertahankan karyawan namun tidak dalam memotivasi karyawan”, “Para pekerja di
China akan menganggap pembayaran secara tunai seperti gaji pokok, bonus akhir tahun,
dan upah jasa/bonus sebagai komponen terpenting dalam kompensasi mereka”, dan “Para
pekerja di China akan menganggap penyediaan rumah penting dan menjadi hal yang sangat
diinginkan untuk mempertahankan karyawan namun tidak untuk memotivasi mereka”

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua populasi. Pertama,
populasi yang ada di Hongkong yang terdiri dari karyawan dan mahasiswa di Hongkong,
sedangkan sample yang diambil berasal dari para anggota Chartered Institute of Bankers,
Hongkong Management Association, Hongkong Industrial Relations Association,
Mahasiswa MBA (Master of Business Administration) dari berbagai universitas yang ada
di Hongkong. Kedua, populasi di China yang terdiri dari Perusahaan Hongkong maupun
asing yang bergerak di bidang manufaktur atau retail dan beroperasi di RRC, sedangkan
sample diambil dari karyawan organisasi dan direktori bisnis, seperti Hongkong Industrial
Relations Association, Hong Kong Manufacturers Associations, Hong Kong Chinese
Chamber of Commerce.

Kompensasi finansial yang terdiri dari 37 komponen yang kemudian


dikelompokkan ke dalam enam kategori utama, yaitu gaji pokok dan variabel, dana
pensiun, asuransi, tunjangan cuti, uang saku, dan manfaat sosial menjadi variabel
independen dalam penelitian ini. Responden diharuskan menilai 5 poin terpenting
berdasarkan 37 komponen tersebut dalam mempertahankan dan memotivasi karyawan.

Dari penelitian yang dilakukan di Hongkong ditemukan hasil yang menunjukkan


bahwa komponen dalam kompensasi yang paling sering ditawarkan adalah gaji pokok
(93,7%), kemudian diikuti dengan tunjangan cuti (97,1%), tunjangan cuti sakit (78,7%),
bonus akhir tahun (73,6%), cuti hamil (63,6%), tunjangan pendidikan (60,4%), tunjangan
cuti nikah (58,8%), perlindungan kesehatan atau asuransi (56,8%), tunjangan lembur
(55,4%), dana cadangan iuran (50,6%). Sedangkan komponen yang kurang popular antara
lain skema tabungan atau investasi (9,9%), fasilitas penitipan anak (5,5%), tunjangan
pension janda/duda (1,4%). Kemudian lima komponen yang dianggap paling penting untuk
mempertahankan karyawan adalah gaji pokok, upah jasa, bonus akhir tahun, cuti tahunan,
dan pinjaman hipotek. Sedangkan komponen kompensasi yang dianggap paling
memotivasi karyawan adalah gaji pokok, upah jasa/bonus, dan bonus akhir tahun.
Sedangkan, penelitian yang dilakukan di Cina menunjukkan bahwa item komponen
kompensasion paling populer ditawarkan perusahaan kepada para karyawan lokal yang
berasal dari Cina adalah gaji pokok, bonus akhir tahun, tunjangan cuti, subsidi makanan,
upah lembur, penyediaan rumah. Sedangkan yang paling jarang diberikan atau ditawarkan
adalah tunjangan pensiun janda atau duda, dana cadangan non-kontribusi, tunjangan
penatu, pakaian, perlatan mandi, fasilitas penitipan anak, dan sekolah untuk anak-anak dari
para karyawan. Kemudian terkait 5 komponen kompensasi yang dianggap paling penting
oleh para pekerja di China menunjukkan bahwa ada tiga dari lima komponen utama
kompensasi dapat digunakan, baik untuk mempertahankan dan memotivasi dan ketiganya
adalah gaji pokok, bonus jasa, dan bonus akhir tahun merupakan tiga komponen utama
yang dapat mempertahankan sekaligus memotivasi karyawan. Sedangkan faktor
komponen kompensasi ke empat dan ke lima dalam mempertahankan karyawan adalah
penyediaan rumah dan tunjangan tunai merupakan komponen yang terpenting bagi para
supervisor, dan bagi para karyawan manajemen tingkat bawah, komponen yang penting
untuk mempertahankan mereka adalah penyediaa rumah dan bonus individu. Dalam
memotivasi karyawan, komponen terpenting ke empat dan ke lima bagi para supervisors
adalah bonus individu dan penyediaan perumahan, sedangkan bagi karyawan tingkat
bawah, upah lembur dan bonus individu menjadi komponen kompensasi utama lainnya.

Kesimpulan dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa para pekerja di Hongkong
dan China memiliki mentalitas tunjangan tunai (cash mentality). Komponen kompensasi
dengan dasar tunjangan tunai atau uang menjadi komponen terpenting dalam
mempertahankan dan memotivasi karyawan baik itu di Hongkong maupun Cina. Di
Hongkong untuk memotivasi para pekerja, pembagian keuntungan dan cuti tahunan
sangatlah penting, sedangkan bagi para pekerja di Cina, komponen kompensasi yang
dianggap paling penting oleh para pekerjanya adalah bonus individu, penyediaan rumah,
dan upah lembur. Perbedaan ini menunjukkan adanya kondisi ekonomi dan budaya yang
berbeda anatara China dan Hongkong. Orang orang yang berada di Hongkong memiliki
uang lebih banyak daripada orang orang yang berada di China. Para pekerja Hongkong
menganggap bahwa cuti tahunan lebih penting daripada para pekerja di China. Hal ini
menunjukan pernyataan yang diungkapkan oleh Tang & Baumeister (1984), Tang & West
(1997) bahwa semakin banyak uang yang dimiliki oleh seseorang, maka fokus perhatian
mereka pun berubah menjadi hal hal yang lebih berkaitan dengan kesenangan, bermain,
konsumsi, kepuasan akan kebutuhan atau keinginan yang lebih tinggi dalam lingkungan.

Sedangkan di era masa kini atau 2000an akhir (2010 -2019), di negara berkembang
lainnya, yaitu Vietnam, ada sebuah penelitian terkait kompensasi yang dilakukan oleh
Tung Thanh Do. Tung Thanh Do (2016) yang merupakan mahasiswa lulusan program studi
internasional administrasi bisnis, Universitas Nasional Vietnam melakukan sebuah
penelitian di negaranya, Vietnam. Penelitian tersebut bertujuan untuk mempelajari dampak
dari empat dimensi spiritualitas tempat kerja (keterikatan pada pekerjaan, koneksi atau
hubungan spiritual, pengalaman tersembunyi, dan rasa kebersamaan) yang dikaitkan
dengan iklim tempat kerja dan kompensasi atas kinerja yang dirasakan karyawan. Metode
penelitiannya sendiri berupa kualitatif dengan mennggunakan sistem wawancara yang
melibatkan 207 karyawan dari rumah sakit internasional sebagai sampelnya. Penelitian
pendahuluan, penilaian penjualan, korelasi dan regresi juga dilakukan dalam penulisan
makalah ini. Hasil temuannya menunjukkan bahwa ada hubungan yang kuat, positif dan
signifikan antara spiritualitas tempat kerja (keterikatan terhadap pekerjaan, rasa
kebersamaan) dengan iklim tempat kerja, kompensasi dan kinerja pekerjaan yang
dirasakan. Batasan dari makalah ini adalah respondennya yang hanya berkaitan dengan
orang-orang di bidang layanan kesehatan. Oleh karena itu, Tung Thanh Do sangat
merekomendasikan agar penelitian lebih lanjut bisa dikelola ke dalam profesi dan bidang
lainnya dengan pandangan yang lebih luas dan dengan desain desain penelitian
longitudinal.

Keberhasilan suatu perusahaan dikatakan bergantung pada banyak faktor yang


bervariasi, baik dari internal dan juga eksternal. Salah satu literatur yang digunakan sebagai
landasan oleh Tung Thanh Do adalah pendapat yang dikemukakan oleh Ulrich. Ulrich
(1998) mendukung bahwa orang menjadi sumber daya saing yang menjadi keuntungan
bagi sebagian besar perusahaan, dan bahwa keunggulan kompetitif organisasi tidak lagi
muncul dari produk dan layanan mereka tetapi dari orang-orang mereka. Selain itu, upaya
membangun tenaga kerja yang termotivasi untuk meningkatkan produktivitas sangat
penting bagi manajer di banyak perusahaan belakangan ini. Di Vietnam sendiri karena
banyaknya masalah di tempat kerja masih terjadi, terlepas dari banyak penelitian dan
perbaikan pada faktor-faktor yang disebutkan di atas, memotivasi pekerja tampaknya
merupakan kompleksitas yang ekstrem dan tantangan yang tidak pernah berakhir. Ini
berarti bahwa, alih-alih mencari motivator ekonomi yang terkenal, perusahaan disarankan
untuk mencari strategi alternatif untuk mempertahankan staf terbaik mereka serta
memperoleh keunggulan kompetitif (Ashmos dan Duchon, 2000).

Spiritualitas tempat kerja telah menjadi perhatian utama di tahun 1990-an (Case
and Gosling, 2007) dan telah memberi jalan bagi lebih dari 300 buku dan beberapa jurnal
akademik dari berbagai peneliti dan juga praktisi manajemen (Garcia-Zamor, 2003).
Tempat spiritual yang positif atau suasana hati karyawan dapat memicu peningkatan
kinerja mereka (Shaw, 1999; Ayranci, 2011) yang kemudian dapat meningkatkan daya
saing dan profitabilitas perusahaan (Milliman et al., 2003). Di Vietnam, hal ini tampaknya
menjadi topik yang luar biasa dalam manajemen dan sebagian besar masih belum diteliti
sejauh ini. Selain itu, menurut Lichtman (2007), sejumlah besar perhatian manajemen
dalam 30 tahun terakhir telah difokuskan pada iklim tempat kerja dan pengaruhnya
terhadap kinerja karyawan. Rupanya, iklim tempat kerja berasal dari persepsi karyawan,
bersamaan dengan pemahaman mereka, menghasilkan karakter, perilaku mereka dan
efektivitas di tempat kerja (Ramazaninezhad et al., 2009). Selain dua penentu kinerja
karyawan non-finansial di atas, kompensasi tampaknya menjadi pendekatan sistematis
untuk memasok nilai moneter atau finansial bagi para pekerja dengan imbalan kinerja
kerja. Persepsi karyawan dalam ketentuan kompensasi dianggap sebagai dasar dari kinerja
pekerjaan (Ghazanfar et al., 2011).

Terkait kinerja dari pekerjaan itu sendiri, sebagaimana dinyatakan oleh Otley
(1999), kinerja dapat diklasifikasikan ke dalam perusahaan dan karyawan. Dalam
penelitian ini, kinerja perusahaan berada di luar ruang lingkup penelitian dan hanya kinerja
pekerjaan karyawan dipertimbangkan. Menurut Hunter (1986), prestasi kerja mengacu
pada kemampuan untuk memiliki hasil yang baik dan produktivitas yang tinggi dari
karyawan itu sendiri. Demikian pula, Bjarnadottir dan Campbell (2001) menganggap
kinerja pekerjaan sebagai variabel tingkat individu atau sesuatu yang dilakukan oleh satu
orang. Tidak hanya dapat dirasakan, kinerja pekerjaan menjadi penentu penting yang
berkontribusi untuk meningkatkan hasil organisasi dan perilaku serta sifat karyawan,
Kinerja perusahaan juga digunakan sebagai strategi manajemen sumber daya manusia
melalui hasil dari penilaian dengan proses yang sistematis.

Markow dan Klenke (2005) menyatakan bahwa meskipun ada lebih dari 70 definisi
spiritualitas, tidak ada definisi tertentu yang diterima secara luas. Pelopor studi empiris
Ashmos dan Duchon (2000) mengusulkan spiritualitas di tempat kerja sebagai kesadaran
bahwa karyawan mengalami kehidupan batin yang perlu dipelihara dan diasuh sehingga
menciptakan pekerjaan yang terjadi dalam keadaan komunitas tersebut berarti. Tiga elemen
yang termasuk di dalamnya adalah kehidupan batin, pekerjaan yang bermakna, dan rasa
koneksi dan komunitas. Penelitian ini mengukur konsep tersebut pada pengalaman
individu, unit kerja dan tingkat organisasi. Giacalone dan Jurkiewicz (2003)
mendefinisikan kembali spiritualitas tempat kerja sebagai kerangka kerja yang berasal dari
nilai-nilai perusahaan yang ditampilkan dalam budaya yang mendorong pengalaman
transenden individu melalui prosedur kerja, membantu menciptakan perasaan orang-orang
terkait dengan orang lain secara menyenangkan. Tiga komponen inti terdiri dari pekerjaan
yang bermakna, rasa kebersamaan, dan keselarasan organisasi dengan nilai-nilai dan misi,
yang diakses di tingkat individu. Kemudian, Sheep (2004) datang dengan konvergensi
konseptual Spiritualitas Tempat Kerja, Person - Organization Fit (WSP-OF), terdiri dari
empat tema utama, yaitu makna dalam pekerjaan, transendensi diri, integrasi dengan
tempat kerja; dan pengembangan diri batin seseorang di tempat kerja. Spiritualitas tempat
kerja dalam pekerjaan Domba diukur bukan hanya pada seberapa sikap / harapan individu
terhadap semangat di tempat kerja tetapi juga seberapa baik perusahaan memfasilitasi
harapan ini. Kinjerski dan Skrypnek (2004) merekonstruksi spiritualitas tempat kerja
menjadi "semangat di tempat kerja", menganggapnya sebagai "keadaan berbeda yang
ditandai dengan dimensi fisik, afektif, kognitif, interpersonal, spiritual, dan tersembunya.”
Pada tahun 2006, mereka mendefinisikannya menjadi empat elemen, yaitu pekerjaan yang
menarik, koneksi spiritual, rasa komunitas dan pengalaman tersembunyi atau implisit.
Penelitian ini mengadopsi konsep "semangat di tempat kerja" yang dikembangkan oleh
Kinjerski dan Skrypnek (2006) untuk mendefinisikan spiritualitas tempat kerja.

Pekerjaan yang menarik menurut Wrzesniewski (2003) berhubungan dengan tugas


kognitif dan pekerjaan yang bermakna yang membangun rasa sukacita, dengan demikian
menghubungkan karyawan dengan lebih baik. Singkatnya, pekerjaan yang menarik
ditandai dengan rasa kesejahteraan, gagasan tentang keterlibatan individu untuk berkatya
dan bermakna yang membuat mereka memiliki tujuan lebih tinggi, pencerahan nilai-nilai
keyakinan kerja seseorang, keselarasan, dan perasaan menjadi otentik (Kinjerski dan
Skrypnek, 2006a). Bahkan, Mitroff dan Denton (1999) juga berpendapat bahwa
perusahaan yang pekerjaannya memiliki kebermaknaan yang lebih kuat dapat
memberdayakan karyawan mereka untuk memamerkan lebih banyak kreativitas dan
fleksibilitas. Akibatnya, dalam temuan Reave (2005), semakin banyak pekerjaan yang
dianggap berharga, tampaknya lebih bermakna dan akibatnya meningkatkan kinerja
pekerjaan karyawan, dan komitmen mereka. Spiritualitas dapat membuat karyawan
merasakan pekerjaan yang lebih dalam dan bermakna dan memicu peningkatan
produktivitas dan kinerja mereka.

Spiritualitas memiliki kemiripan yang mencolok dengan “pengertian berbagi,


kewajiban bersama dan komitmen yang menghubungkan orang satu sama lain ”(Duchon
dan Ploughman, 2005) dan “Dicirikan oleh perasaan terhubung dengan orang lain dan
tujuan bersama” (Kinjerski dan Skrypnek, 2006a). Ada berbagai peneliti memajukan
gagasan hubungan antara rasa komunitas dan kinerja pekerjaan. Milliman et al. (1999)
menyampaikan bahwa kinerja dan komitmen kerja yang lebih besar berasal dari rasa
komunitas dan tujuan organisasi yang kuat. Vanover (2014) melakukan penelitian tentang
efek rasa komunitas pada kinerja pekerjaan dengan temuan yang menyiratkan bahwa
semakin tinggi skor komunitas yang didapatkan seorang karyawan, semakin tinggi skor
kinerja kerja yang ditampilkan.

Studi tentang kompensasi menjadi minat di antara para peneliti dalam dua dekade
terakhir. Kompensasi adalah “semua bentuk pengembalian finansial serta layanan dan
manfaat nyata karyawan menerima sebagai bagian dari hubungan kerja ”(Milkovich dan
Newman, 2002). Selain itu, menurut Christofferson dan King (2006), kompensasi dapat
didefinisikan sebagai “Bayaran yang diberikan oleh pemberi kerja kepada karyawan untuk
layanan yang diberikan (yaitu waktu, tenaga, dan ketrampilan)". Banyak peneliti dan
praktisi telah menemukan arti dari kompensasi dalam meningkatkan kinerja karyawan.
Demikian pula, Huselid (1995) mencatat bahwa satu peningkatan standar deviasi dalam
kinerja karyawan setara dengan kira-kira 40 persen dari kompensasi karyawan. Tidak
diragukan lagi, sistem kompensasi yang efektif dapat memperkuat staf untuk bekerja lebih
keras dengan tujuan meningkatkan produktivitas dan kinerja pekerjaan (Lai, 2011). Setelah
karyawan puas dengan kompensasi yang ditawarkan, motivasi mereka meningkat pada
tingkat yang lebih tinggi, diikuti oleh perbaikan kinerja pekerjaan mereka. Secara umum,
ada hubungan yang signifikan antara kompensasi dan kinerja (Herzberg, 1968).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tung Thanh Do pada rumah sakit tersebut
menunjukkan bahwa organisasi telah membangun tempat kerja di mana sejumlah besar
karyawan dapat menemukan, merasakan bahwa pekerjaan mereka bermakna dan bertujuan
serta merasa bergairah, bersyukur dan cocok dengan pekerjaan yang mereka tanggung.
Dengan demikian, disarankan bagi pengusaha untuk mempertahankan dan meningkatkan
kebermaknaan pekerjaan di tempat kerja.

Penelitian menunjukkan bahwa rasa komunitas sangat mempengaruhi kinerja


pekerjaan yang dirasakan. Ini didukung oleh penelitian Miller (1992), Milliman et al.
(1999) dan Vanover (2014), yang menyampaikan bahwa rasa komunitas di tempat kerja
meningkatkan pekerjaan kinerja dan produktivitas. Pada kenyataannya, sehubungan
dengan karakteristik rumah sakit, yang sangat menghargai kerja sama antar personel,
terutama dalam operasi dan perawatan lain, karyawan di sini bisa mengalami rasa
komunitas yang positif.

Hasil dari penelitian ini juga mengungkapkan bahwa iklim di tempat kerja
memainkan peran penting dalam kinerja pekerjaan yang dirasakan. Ini sejalan dengan
beberapa penelitian terdahulu, seperti Hansen dan Wernerfelt (1989) dan Ostroff dan
Bowen (2000) yang menunjukkan bahwa iklim yang diperoleh di organisasi berkorelasi
dan meningkatkan kinerja pekerjaan. Mempertahankan dan mempromosikan iklim kerja
yang positif adalah yang paling penting.

Sedangkan untuk hasil penelitian terkait kompensasi menunjukkan bahwa


kompensasi adalah faktor penting yang secara signifikan mempengaruhi persepsi kinerja
oleh karyawan. Hasil ini didukung oleh penelitian Herzberg (1968), yang menunjukkan
bahwa kompensasi mengarahkan dan menumbuhkan perilaku karyawan untuk mencapai
tujuan dan kepuasan kerja, sehingga meningkatkan kinerja kerja mereka. Selain itu, sistem
pemberian kompensasi harus dipertimbangkan dengan strategi yang relevan.

Berikut disampaikan table perbandingan atau perkembangan kompensasi di era


awal 2000an (2000-2010) dan saat ini (2010 – 2019) yang disimpulkan dari kedua
penelitian yang telah dibahas di atas:

ITEM STUDI
ERA 2000 – 2010 ERA 2010 – 2019

TAHUN 2002 TAHUN 2016


Tujuan Mengidentifikasi komponen- Mempelajari dampak dari
komponen dalam kompensasi empat dimensi spiritualitas
yang saat itu ditawarkan tempat kerja (keterikatan
kepada para karyawan dan pada pekerjaan, koneksi atau
mengidentifikasi persepsi hubungan spiritual,
karyawan tentang komponen pengalaman tersembunyi,
kompensasi yang paling dan rasa kebersamaan) yang
penting dalam dikaitkan dengan iklim
mempertahankan dan tempat kerja dan kompensasi
memotivasi karyawan. atas kinerja yang dirasakan
karyawan
Hipotesis H1: Para pekeja Hongkong H1: Pekerjaan yang menarik
akan melihat pembayaran meningkatkan kinerja
tunai (seperti gaji pokok, pekerjaan
bonus akhir tahun, dan upah H2: Semakin tinggi mystical
jasa) merupakan komponen experience semakin tinggi
yang penting dalam pula kinerja yang dihasilkan.
kompensasi mereka. H3: Semakin baik sense of
H2: Para pekerja Hongkong community nya, semakin
akan mempertimbangkan tinggi kinerja yang dihasilkan
penyediaan rumah penting H4: Semakin baik iklim
dalam mempertahankan tempat kerja, semakin baik
karyawan namun tidak dalam kinerja yang dihasilkan
memotivasi karyawan. H5: Semakin baik
H3: Para pekerja di China kompensasi yang diberikan,
akan menganggap semakin baik pula kinerja
pembayaran secara tunai yang dihasilkan.
seperti gaji pokok, bonus
akhir tahun, dan upah
jasa/bonus sebagai
komponen terpenting dalam
kompensasi mereka.
H4: Para pekerja di China
akan menganggap
penyediaan rumah penting
dan menjadi hal yang sangat
diinginkan untuk
mempertahankan karyawan
namun tidak untuk
memotivasi mereka.

Populasi dan Sampel Populasi di Hongkong: Populasi:


Karyawan dan mahasiswa Rumah sakit internasional di
Vietnam
Sample:
Para anggota Chartered Sample:
Institute of Bankers, 270 karyawan rumah sakit
Hongkong Management internasional
Association, Hongkong
Industrial Relations
Association, Mahasiswa
MBA (Master of Business
Administration) dari berbagai
universitas yang ada di
Hongkong.

Populasi di China:
Perusahaan Hongkong
maupun asing yang bergerak
di bidang manufaktur atau
retail dan beroperasi di RRC.
Sample:
karyawan organisasi dan
direktori bisnis, seperti
Hongkong Industrial
Relations Association, Hong
Kong Manufacturers
Associations, Hong Kong
Chinese Chamber of
Commerce.
Variable Variabel: Kompensasi Variabel: engaging work,
finansial yang terdiri dari 35 mystical experience, sense of
komponen yang kemudian community, workplace
dikelompokkan ke dalam climate, dan kompensasi.
enam kategori utama, yaitu
gaji pokok dan variabel, dana
pensiun, asuransi, tunjangan
cuti, uang saku, dan manfaat
sosial.

Pengukuran Variabel Kuisioner survey yang dibagi 1. The Spirit at Work Scale
ke dalam 3 bagian: (SAWS)
1. Informasi demografi dari (18 items, a = 0.93) oleh
perusahaan yang Kinjerski & Skrypnek
berpartisipasi (2006a)
2. Total keseluruhan ada 37 2. Organizational Climate
komponen kompensasi yang Scale (CLIOR) (a = 0.94)
ditawarkan kepada karyawan dengan 15 item yang
masing-masing dalam tiga dikembangkan oleh Elsa,
tingkatan yang berbeda; dkk.
manajer, supervisor, dan 3. Praktik manajemen
karyawan tingkat bawah. kompensasi dengan 6 item
3. Lima item teratas (a=0.82) yang dikembangkan
mengenai persepsi efektivitas oleh Tessema & Soeters
mereka dalam (2006)
mempertahankan dan 4. Peningkatan kinerja diukur
memotivasi supervisor dan dengan 10 item evaluasi
karyawan tingkat bawah. kinerja yang dikembangkan
oleh by Wright et al. (1995)
(a = 0.90).
Alat Analisis Analisis statistic berdasarkan Analisis skala, korelasi, dan
varian dan standard deviasi regresi.
Hasil Pekerja di Hongkong dan Aspek spiritualitas tempat
China memiliki mentalitas kerja (work engagement,
tunjangan tunai (cash sense of community, mystical
mentality). Komponen experience, & spiritual
kompensasi dengan dasar connection) yang dikaitkan
tunjangan tunai atau uang dengan iklim tempat kerja
menjadi komponen dan kompensasi atas kinerja
terpenting dalam merupakan faktor-faktor
mempertahankan dan internal yang sangan
memotivasi karyawan baik berdampak signifikan pada
itu di Hongkong maupun kinerja para karyawan dan
Cina. Di Hongkong untuk harus lebih diperhatikan serta
memotivasi para pekerja, ditingkat dengan penerapan
pembagian keuntungan dan strategi yang relevan.
cuti tahunan sangatlah
penting, sedangkan bagi para
pekerja di Cina, komponen
kompensasi yang dianggap
paling penting oleh para
pekerjanya adalah bonus
individu, penyediaan rumah,
dan upah lembur. Perbedaan
ini menunjukkan adanya
kondisi ekonomi dan budaya
yang berbeda anatara China
dan Hongkong. Para pekerja
Hongkong menganggap
bahwa cuti tahunan lebih
penting daripada para pekerja
di China. Hal ini dikarenakan
orang orang yang berada di
Hongkong memiliki uang
lebih banyak daripada orang
orang yang berada di China
sehingga mereka lebih
memiliki waktu luang untuk
hal hal yang sifatnya
bersenang senang atau
konsumtif.
Perkembangan Sejak awal tahun 2000-an hingga kini, penerapan reward
dengan sistem kompensasi secara finansial dalam manajemen
sumber daya manusia telah marak, bahkan di negara negara
berkembang. Keseluruhan penelitian menunjukkan bahwa
kompensasi dapat meningkatkan kinerja yang dicapai oleh
para karyawannya. Namun, penelitian pada awal 2000-an
lebih menekankan hanya pada faktor secara finansial atau
tunjangan berbentuk materi, sedangkan di era akhir 2000-an
ini, penelitian menunjukkan bahwa kompensasi bukanlah
faktor internal satu satunya yang berpengaruh pada kinerja
karyawan. Faktor-faktor internal lain yang juga berpengaruh
pada kinerja karyawan adala spiritualitas dan iklim di tempat
kerja.

Seperti yang disampaikan pada uraian literatur di awal diskusi, bentuk dari
kompensasi terbagi menjadi dua, yaitu finansial dan non-finansial. Penerapan kompensasi
non-finansial sendiri bisa berupa penerapan sistem K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja).
Dalam hal itu menurut Ferika Özer Sarıa (2009) dalam penelitiannya yang berjudul Effects
of employee trainings on the occupational safety and health in accommodation sector
menjelaskan bahwa menyelenggarakan pelatihan pegawai dan menjaga keselamatan dan
kesehatan kerja adalah fungsi utama departemen manajemen sumber daya manusia serta
pengaruh pelatihan karyawan pada keselamatan dan kesehatan kerja. Kegiatan-kegiatan
pelatihan yang direncanakan menyebabkan karyawan memiliki sikap yang sesuai dan
berfungsi juga untuk menjaga keselamatan dan kesehatan mereka. Pelatihan yang
dilakukan secara reguler menunjukkan fungsi dan hasil yang signifikan, baik untuk
meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kinerja karyawan serta melindungi
kesehatan fisik dan spiritual mereka.
Untuk memberikan keselamatan dan kesehatan kerja, pertama-tama perlu untuk
memperoleh mengetahui hal seperti kecelakaan kerja, penyakit kerja dan stres kerja.
Pelatihan karyawan merupakan salah satu cara paling efektif dalam memberikan
keselamatan & kesehatan mereka didalam kehidupan bisnis maka dari itu pelatihan harus
diberikan. Pelatihan-pelatihan ini harus dimulai pada hari mereka direkrut karena
memperoleh informasi yang diperlukan tentang bagaimana melakukan pekerjaan akan
mengurangi risiko kecelakaan. Pelatihan teknis tentang keselamatan & kesehatan yang
harus diberikan perusahaan jelas berubah sesuai dengan sektor tempat mereka beroperasi.
Beberapa jenis pelatihan yang bertujuan melindungi keselamatan & kesehatan para
karyawan dan yang dapat diterapkan di banyak perusahaan antara lain, Orientasi Pekerjaan,
Kebersihan Umum dan Pribadi, Pertolongan pertama, Latihan Kebakaran, Penggunaan
Bahan Pelindung Pribadi, Penanganan Manual, dan Mengatasi Stres. Dalam penelitian ini
sumber data terdiri dari tiga perusahaan penyedia akomodasi yang terkait dengan dua
fungsi penting yang diambil sebagai dasar dalam penelitian dan satu perusahaan konsultan
pendidikan dan pelatihan yang berspesialisasi dalam keselamatan & kesehatan kerja. Data
dalam penelitian ini dikumpulkan menggunakan teknik percakapan yang semi-terstruktur
dan yang tidak memandu.
Konsep yang diajarkan dalam penelitian ini yaitu para pekerja harus melindungi
keselamatan & kesehatan mereka sendiri dan penekanan perlunya pendidikan dasar terkait
keselamatan. Tujuan diselenggarakan pelatihan karyawan adalah untuk membuat
karyawan mempelajari fakta-fakta perusahaan dan mengajari mereka aturan umum,
memberikan kepuasan tamu, memberikan pengetahuan teknis yang diperlukan untuk
melaksanakan pekerjaan, untuk menghilangkan kemungkinan cacat di tempat kerja. Dalam
konteks keselamatan, keselamatan & kesehatan kerja, pelatihan dilakukan tentang
penggunaan bahan pelindung pribadi, seperti kacamata, masker debu, headphone, dan
sarung tangan.
Hasil dalam penelitian ini menyebutkan bahwa penting untuk mewujudkan
program pelatihan. Dalam hal ini kita harus yakin bahwa itu diajarkan kepada karyawan
untuk menciptakan perubahan dalam sikap. Dijelaskan juga bahwa karyawan harus dilatih
mengenai keselamatan & kesehatan kerja. Tetapi juga untuk memastikan bahwa mereka
lebih sensitif dalam melindungi kesehatan mereka sendiri. Program pelatihan sistematis
yang disiapkan untuk karyawan di tempat kerja mereka sendiri akan menjadi langkah yang
tepat untuk tujuan ini dan langkah-langkah ini akan mengarahkan kita untuk membentuk
karyawan yang lebih sehat dan masyarakat yang lebih sehat.
Sedangkan disisi lain menurut Howar Quartey (2017) dalam penelitiannya yang
berjudul Examining employees’ safety behaviours: an industry-level investigation from
Ghana menjelaskan bahwa perilaku keselamatan karyawan merupakan salah satu faktor
penting terkait kepatuhan dan partipasi dari sikap pekerja terhadap keselamatan mereka
ditempat kerja. Pandangan keselamatan digambarkan sebagai seperangkat harapan atau
keinginan yang koheren yang dipunyai oleh masing-masing karyawan terkait keamanan.
Perilaku keselamatan ditempat kerja merupakan kunci kepatuhan dan keikutsertaan dari
sikap karyawan terhadap keselamatan.
Penelitiannya sendiri menggunakan metodologi survey. Metode ini digunakan
sebagai pendekatan yang tepat. Secara total, 197 kuesioner yang valid diambil dari
karyawan yang bekerja di industri pabrik minuman. Kuesioner diproses untuk analisis
kuantitatif untuk menguji hipotesis. Analisis regresi dilakukan untuk menilai persepsi
karyawan tentang perilaku keselamatan mereka sendiri dan untuk menyelidiki dampak OC
terhadap ESB. Frekuensi deskriptif dan persentase digunakan untuk mengidentifikasi
penentu ESB.
Perilaku keselamatan karyawan terdiri dari beberapa jenis yaitu, kepatuhan dan
partisipasi keselamatan karyawannya. Namun jika budaya mendukung bagaimana perilaku
karyawannya dan perilaku keselamatannya yang tersusun oleh keselamatan kepatuhan dan
partisipasi, maka dapat disarankan bahwa budaya dan perilaku keselamatan saling
berkaitan satu sama lain. Penelitian sebelumnya mengatakan bahwa perilaku keselamatan
dapat dipengaruhi oleh kepuasan pekerjaan, kepemimpinan keselamatan dan kondisi kerja
yang aman. Karyawan rentan dengan masalah keselamatan yang dimana nantinya dapat
menentukan cara mereka berperilaku dan merasakan keselamatan di tempat mereka
bekerja. Selain keterbatasan biaya atau keuangan, diyakini juga bahwa penyebab mayoritas
masalah keselamatan kerja karyawan dan bahaya industri manufaktur dapat dikaitkan
dengan tidak adanya budaya yang dipertimbangkan secara cermat.
Menurut temuan ini, para karyawan percaya bahwa organisasi yang aman itu
penting karena sangat memengaruhi keselamatan perilaku mereka. Selain itu, temuan-
temuan ini lebih lanjut menyoroti peran kepemimpinan dalam membentuk kebijakan dan
praktik organisasi yang relevan dalam mengelola ESB. Seperti yang dikemukakan oleh
Schneider (1987), meskipun struktur dan proses organisasi muncul dari kebutuhan sehari-
hari, namun, bentuk dan isi dari struktur dan proses tersebut dibentuk oleh pendiri. Dapat
disimpulkan bahwa pemberian kompensasi yang bisa menjamin dan menjaga keselamatan
dan kesehatan kerja bagi para karyawan adalah hal yang penting untuk memotivasi dan
meningkatkan kinerja pekerjaan mereka.
Berikut dilampirkan tabel perkembangan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja)
berdasarkan jurnal-jurnal yang terindeks internasional dari tahun 2009 dan 2017.
ITEM STUDI
ERA 2000 – 2010 ERA 2010 – 2019

TAHUN 2009 TAHUN 2017


Tujuan Pengaruh Pelatihan Untuk menguji perilaku
Karyawan pada Keselamatan keselamatan karyawan (ESB)
dan Kesehatan Kerja telah dalam minuman industri
dipelajari oleh analisis minuman manufaktur.
terapan untuk melihat
pendekatan dan praktik
sektor akomodasi.
Hipotesis H1: Diduga pelatihan H1: Diduga persepsi
karyawan memiliki efek yang karyawan tentang perilaku
sangat positif pada keselamatan kerja memiliki
keselamatan dan kesehatan pengaruh yang positif.
kerja. H2: Diduga OC memiliki
H2: Diduga program dampak positif yang kuat
pelatihan potensial seperti pada ESB.
risiko kecelakaan dan H3: Diduga kondisi kerja
penyakit akibat kerja tidak yang aman, kepuasan kerja
dapat dihindari. dan kepemimpinan
organisasi sebagai penentu
utama organisasi perilaku
keselamatan di antara para
karyawan
Populasi dan Sampel Populasi : perusahaan Populasi : Perusahaan dalam
akomodasi, perusahaan industri manufaktur
konsultan pendidikan dan minuman (karyawan)
pelatihan yang berspesialisasi Sampel : Empat perusahaan
dalam keselamatan & dalam industri manufaktur
kesehatan kerja di Izmir, minuman, (400 karyawan)
Turkey
Sampel : 3 perusahaan
akomodasi, 1 perusahaan
konsultan pendidikan dan
pelatihan yang berspesialisasi
dalam keselamatan &
kesehatan kerja di Izmir,
Turkey
Variable dan Indikator Variabel : Variabel : Safety Behaviours
Pelatihan Karyawan
Keselamatan
Kesehatan Kerja
Pengukuran Variabel Teknik percakapan yang Skala Likert tujuh poin yang
semi-terstruktur berkisar dari 1= sangat
tidak setuju dengan 7 =
sangat setuju.
Alat Analisis Metode aplikasi Paket Statistik untuk Ilmu
Sosial (Versi 17)
Hasil Bahwa pelatihan karyawan Hasilnya menunjukkan
memiliki efek yang sangat bahwa persepsi karyawan
positif pada keselamatan dan tentang perilaku keselamatan
kesehatan kerja. Selain itu, mereka adalah positif. OC
telah dipahami bahwa dilaporkan memiliki dampak
beberapa program pelatihan positif yang kuat pada ESB.
potensial seperti risiko Kondisi kerja yang aman,
kecelakaan dan penyakit kepuasan kerja dan
akibat kerja tidak dapat kepemimpinan organisasi
dihindari. diidentifikasi sebagai
penentu utama organisasi
perilaku keselamatan di
antara para karyawan.
Perkembangan Pada tahun 2009 dilakukan penelitian yang menguji bahwa
Pelatihan Karyawan pada Keselamatan dan Kesehatan Kerja
itu penting bagi suatu organisasi atau perusahaan, banyak
kesadaran terkait pentingnya melakukan pelatihan karyawan
untuk mengurangi kejadian kecelakaan dalam kerja. Dan
disadari juga bahwa meskipun sudah melakukan pelatihan
karyawan tetapi kecelakaaan kerja dan penyakit memang tidak
dapat dihindarkan hanya saja dapat dikurangi. Dan pada tahun
2017 ditemukan bahwa sekarang karyawan sudah mulai sadar
dengan keselamatan karyawan. Maka dari itu adanya perilaku
keselamatan karyawan dapat membuat organisasi dan
karyawannya lebih sadar terkait keselamatan karyawan.
perilaku keselamatan karyawan dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti, kondisi kerja yang aman, kepuasan kerja dan
kepemimpinan organisasi yang diidentifikasi sebagai penentu
utama organisasi perilaku keselamatan di antara para
karyawan.

Dari keempat penelitian terdahulu yang diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa pemberian rewards dengan sistem kompensasi mengalami perkembangan. Jika di
awal tahun 2000-an reward dengan sistem kompensasi secara finansial dalam manajemen
sumber daya manusia lebih marak dilakukan, di era pertangahan dan akhir 2000-an ini,
pemberian kompensasi non finansial justru makin familiar dalam manajemen
pengembangan sumber daya manusia, seperti pelatihan untuk meningkatkan keselamatan
dan kesehatan kerja para karyawan.

Dalam penelitian di atas juga ditemukan bahwa kompensasi bukanlah faktor


internal satu satunya yang berpengaruh pada kinerja karyawan. Ada faktor-faktor internal
lain yang juga berpengaruh pada kinerja karyawan seperti spiritualitas dan iklim di tempat
kerja. Faktor internal yang berpengeruh dalam efektivitas sistem kompensasi dan
peningkatan kinerja karyawan akan dibahas lebih detail pada 3.2.

3.2 Faktor yang Mempengaruhi Praktik Kompensasi

Didalam beberapa perusahaan, kompensasi dan benefit atau sering disingkat


dengan combem (compensation & benefit) merupakan salah satu aspek penting di dalam
divisi HRD di suatu perusahaan. Didalam kaitannya dalam memberikan kesejahteraan bagi
karyawan, faktor pemberian benefit/tunjangan yang efektif juga sama pentingnya dengan
pemberian kompensasi seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya.
Benefit adalah tunjangan yang diberikan di samping upah (kompensasi) yang biasanya
berupa non tunai atau berupa fasilitas seperti asuransi (jaminan sosial), kendaraan dinas,
liburan, program pensiun, dan lain sebagainya.

Didalam penelitiannya yang berjudul Particularities of knowledge worker’s


motivation strategies in Romanian organizations, Todericiu, Serban, dan Dumitrascu
(2013) mengemukakan bahwa pengelolaan sumber daya manusia secara efektif dan tepat
akan sangat penting bagi suatu perusahaan atau organisasi yang menginginkan kemajuan
dalam bisnisnya. Penelitian yang dilakukan oleh mereka bertujuan untuk mencari faktor
mayoritas yang mampu meningkatkan motivasi pekerja yang mempunyai keterampilan di
sebuah perusahaan di Romania.

Beberapa faktor yang menjadi penentu peningkatan motivasi karyawan yang


dibahas di dalam penelitian ini adalah faktor kebebasan dalam perencanaan dalam bekerja
(liberty of planning the work), faktor jenis pekerjaan (type of works), faktor kondisi
lingkungan pekerjaan (working condition), faktor rekan/kolega (colleagues), faktor
komunikasi yang baik dengan atasan (good communication with top management), faktor
gaji (salary), faktor pengakuan atas prestasi yang dihasilkan (recognition of achievements
by management), faktor benefit yang didapatkan (benefits package), faktor kenaikan
jabatan yang dilakukan perusahaan (promotion opportunities), faktor pelatihan yang
dilakukan oleh perusahaan (training opportunities), faktor kebijakan perusahaan
(organization’s policy), dan faktor kurangnya pengontrolan oleh atasan (low control).

Di dalam penelitiannya, peneliti menyebutkan bahwa faktor tunjangan/benefit


merupakan masalah yang sangat sensitif, hal ini dikarenakan apabila dilakukan
penghapusan atau pengurangan sebuah benefit yang diterima oleh karyawan, maka hal ini
bisa merusak hubungan diantara karyawan dan perusahaan dimana karyawan tersebut
bekerja karena menghapus atau mengurangi benefit sama dengan mengurangi nilai dari
upaya yang telah dilakukan oleh karyawan tersebut. Jadi, sebuah benefit yang tidak dapat
dipertahankan dalam jangka waktu yang panjang akan lebih baik tidak ditawarkan sama
sekali kepada karyawan karena hal ini hanya akan menurunkan moral dari karyawan.
Kepuasan karyawan dalam menerima benefit yang ditawarkan perusahaan akan
mencerminkan perbedaan diantara tingkat dan jumlah benefit yang dimiliki oleh karyawan
dan tingkat serta jumlah benefit yang seharusnya diterima oleh karyawan.

Penelitian yang dilakukan ini menggunakan metode survey dan persebaran


kuesioner. Sampel diambil dari 26 tenaga terampil di area Sibiu di Romania. Populasi
sampel merupakan pekerja terampil di masing-masing bidangnya di perusahaan mereka.
Ke 26 karyawan tersebut dipilih dari beberapa macam perusahaan yang bergerak di bidang
telekomunikasi, pendidikan, keuangan, budaya, layanan dan teknologi. Sekitar 57% dari
total sampel yang berjumlah 26 orang tersebut bekerja pada sebuah perusahaan yang
memiliki sumber daya manusia lebih dari 100 orang. Data dari hasil survey dikumpulkan
dengan menggunakan kuesioner dan secara umum, pertanyaan dikembangkan di dalam
kuesioner tersebut untuk memberikan informasi mengenai: jenis motivasi yang digunakan
oleh organisasi tempat mereka bekerja, tingkat kepuasan yang mereka dapat dan keinginan
mereka dengan adanya benefit yang ditawarkan oleh perusahaan, intensitas pelatihan yang
dilakukan oleh perusahaan dan pembangunan tim yang disediakan oleh perusahaan.
Metode statistik yang sesuai akan digunakan untuk analisis data, yang didukung dengan
program SPSS.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor stimulus yang memiliki pengaruh
terbesar terhadap adanya motivasi para tenaga kerja terampil yang menjadi sampel
penelitian ini. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa faktor kebebasan dalam
merencanakan pekerjaan memiliki rata-rata tertinggi yaitu sebesar 4.27, diikuti oleh faktor
jenis pekerjaan dengan rata-rata sebesar 4.23, kemudian faktor kondisi lingkungan kerja
dengan rata-rata sebesar 4.19 dan faktor rekanan/kolega sebesar 4.12. Stimulus lain yang
memiliki pengaruh pada karyawan terampil yang menjadi sampel adalah faktor komunikasi
yang baik dengan jajaran top manajemen dan faktor gaji yang dihasilkan, yaitu dengan
rata-rata yang sama sebesar 3.96. Variabel hasil yang berupa gaji berbanding lurus dengan
teori yang mengemukakan bahwa faktor finansial memiliki peran penting dalam motivasi
karyawan, namun dalam kasus pekerja yang memiliki keterampilan, faktor finansial
bukanlah yang paling penting dalam meningkatkan motivasi. Faktor stimulus dengan
dampak rata-rata pada adalah faktor pengakuan atas prestasi yang dihasilkan (3.85) faktor
benefit yang didapatkan (3.62), faktor peluang kenaikan jabatan (3.54), faktor adanya
peluang pelatihan (3.73) dan faktor kebijakan organisasi (3.15). Kelima variabel yang
disebutkan diatas mencapai rata-rata di atas 3 yang berarti bahwa faktor-faktor tersebut
bukan faktor netral ketika membahas motivasi karyawan dan perusahaan seharusnya
menginvestasikan lebih banyak sumber daya dalam menggunakan faktor-faktor tersebut
sebagai pendongkrak motivasi para karyawan. Rata-rata terendah (2.96) adalah untuk
rendahnya tingkat pengawasan yang dilakukan oleh atasan, hasil ini cukup mengejutkan
mengingat bahwa secara umum, karyawan tidak suka apabila selalu dipantau dan dikontrol.

Didalam penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa ada banyak faktor yang
memotivasi seorang karyawan didalam pekerjaannya. Dalam kasus karyawan yang
memiliki keterampilan, kebebasan dalam merencanakan pekerjanannya mempunyai makna
lebih penting dibandingkan dengan pendapatan maupun benefit atau fasilitas yang
didapatkan oleh karyawan tersebut. Namun secara garis besar, untuk era saat ini imbalan
berupa faktor finansial masih memiliki peran penting dalam memotivasi karyawan, namun
para manajer tetap harus mencari alternatif lainya yang terbaik untuk dapat memotivasi dan
menginspirasi karyawan sebagai solusi jika perusahaan sedang mengalami krisis keuangan.
Dalam penelitian di atas, mayoritas pekerja menginginkan kebebasan dalam mengerjakan
sesuatu dan lingkungan kerja yang nyaman juga merupakan salah satu faktor yang
diinginkan pekerja. Oleh karena itu, strategi perusahaan dalam menyediakan lingkungan
kerja yang sesuai dengan masing-masing skill dari pekerja secara tidak langsung dapat
memotivasi mereka untuk menggunakan pengetahuan mereka dalam rangka mencapai
tujuan organisasi.

Dewasa ini, banyak kasus disebabkan karena kurangnya interaksi di antara manajer
dan bawahan mereka, sehingga hal ini akan menciptakan situasi yang tidak
menguntungkan bagi perusahaan yang akan mempengaruhi keterlibatan karyawan, dan
oleh karena itu seorang manajer harus mampu membangun komunikasi pada tingkat
informal untuk menciptakan ikatan antara karyawan dan perusahaan, sehingga nantinya
akan tercipta hubungan kerja yang bersifat pribadi dan profesional, yang dibangun di atas
kepercayaan masing-masing individunya. Seorang manajer perlu mengetahui bakat yang
dimiliki oleh masing-masing karyawannya, sehingga nantinya manajer mampu
menetapkan tujuan yang jelas dan metrik kinerja untuk setiap karyawan, dan memberikan
insentif dan penghargaan yang sesuai dengan motivasi masing-masing individu.

Manajemen kompensasi (termasuk di dalamnya faktor-faktor pendukung seperti


pemberian tunjangan, asuransi, dll) mengalami perkembangan dari tahun ke tahun seiring
dengan bertambahnya tuntutan dari karyawan. Sebuah perusahaan harus mampu
menyesuaikan kemampuan finansial dan sumber daya yang dimiliki dengan keinginan para
karyawan terhadap adanya manajemen kompensasi yang disediakan perusahaan agar
tercapai visi dan misi perusahaan secara menyeluruh.

Dalam penelitiannya yang berjudul The strategic importance of motivational


rewards for lower-level employees in the manufacturing and retailing industries, Arnolds
dan Venter (2007) mengemukakan bahwa salah satu tantangan terbesar yang dihadapi para
manajer dalam menjalankan strategi bisnis perusahaan untuk mencapai keunggulan
kompetitif yang diinginkan adalah penggunaan teknik motivasi yang tepat dalam
membangun komitmen karyawannya. Namun pada penerapannya masih terdapat ketidak
jelasan diantara faktor imbalan seperti apakah yang mampu memotivasi para karyawan,
sehingga terjadi kebimbangan diantara para jajaran manajer dalam menentukan imbalan
bagi karyawannya.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Arnolds dan Venter (2007), terdapat
beberapa faktor benefit dan imbalan yang digunakan dalam memotivasi karyawannya,
khususnya bagi buruh (blue-collar workers) dan karyawan (white-collar workers).
Beberapa faktor yang digunakan di dalam penelitian ini adalah faktor imbalan berupa
finansial (financial reward, seperti contohnya bonus atau insentif berdasarkan kinerja
karyawan, tunjangan anak, tunjangan pendidikan, dll), pengakuan diri dari dalam dan luar
organisasi (social reward, seperti contohnya piagam penghargaan, employee of the month,
dll ), imbalan berupa desain karir (job design reward, seperti contohnya mendapatkan
wewenang dan kuasa tambahan, penjaminan keamanan dalam bekerja, rotasi pekerjaan,
pelibatan karyawan di dalam pengambilan keputusan penting, perencanaan dan
pengembangan karir, dll), imbalan yang dapat dikonsumsi (consumable reward, seperti
contohnya coffee break, makan siang gratis atau tersubsidi, company picnics, makan
malam keluarga yang disponsori oleh perusahaan, pesta yang diadakan perusahaan, dll),
imbalan berupa barang berharga (manipulatable reward, seperti contohnya perhiasan,
pakaian, rekomendasi untuk kenaikan jabatan, mobil dinas, penggunaan fasilitas
perusahaan seperti gym dan kolam renang, dll) dan imbalan melalui visual dan
pendengaran karyawan (visual and auditory reward, seperti contohnya memasang musik
pada tempat bekerja, poster motivasi di tempat kerja, dan penerbitan majalah perusahaan).

Dari beberapa faktor yang disebutkan tersebut maka dapat ditarik sebuah hipotesa
yang akan digunakan di dalam penelitian ini, dimana:

 H1: imbalan berupa pembayaran secara langsung (direct financial rewards yang
berupa pembayaran langsung, insentif, dan tunjangan) adalah faktor penting dalam
memotivasi kinerja karyawan kelas bawah namun tidak lebih penting daripada
reward yang berupa pengakuan / social reward.

 H2: imbalan berupa pembayaran secara tidak langsung (indirect financial rewards
atau yang biasa disebut dengan fringe benefits) adalah faktor penting dalam
memotivasi kinerja karyawan kelas bawah namun tidak lebih penting daripada
imbalan yang berupa pengakuan/social reward dan imbalan yang berupa
pembayaran secara langsung (direct financial rewards).
 H3: imbalan berupa pengakuan (social reward) adalah faktor paling penting dalam
memotivasi kinerja karyawan kelas bawah.

 H4: imbalan berupa wewenang dan otoritas (job design reward) adalah faktor
penting dalam memotivasi kinerja karyawan kelas bawah namun tidak lebih
penting daripada imbalan yang berupa pengakuan/social reward dan imbalan yang
berupa pembayaran (financial rewards).

 H5: imbalan yang dapat dikonsumsi (consumable reward) adalah faktor yang
memiliki pengaruh paling kecil didalam memotivasi kinerja karyawan kelas bawah.

Dalam penelitian ini, sampel yang digunakan adalah 367 karyawan tingkat bawah
(white and blue collar workers) yang diambil dari 22 perusahaan bisnis di distrik
metropolitan Nelson Mandela di Afrika Selatan. Dari total jumlah tersebut, 213 adalah
pekerja kerah biru (blue-collar worker) dan 154 adalah karyawan (white-collar worker).
Sampel pekerja buruh termasuk di dalamnya operator mesin, pengendali proses operasi,
petugas servis mesin, teknisi, supir dan pembersih, sedangkan sampel dari karyawan
termasuk di dalamnya operator pusat layanan, asisten penjualan, resepsionis dan personel
keamanan. Sampel buruh terdiri dari 52% pria, sedangkan sampel karyawan terdiri dari
68,2% wanita. Untuk mengukur variabel yang mendefinisikan imbalan sebagai faktor
pembentuk motivasi yang telah dijelaskan pada pembahasan di atas, digunakan metode
penyebaran kuesioner yang terstruktur. Termasuk di dalamnya daftar 46 jenis imbalan yang
pada umumnya digunakan oleh berbagai macam perusahaan. Kuesioner diawali dengan
pertanyaan sejauh mana responden menganggap imbalan sebagai faktor yang memotivasi
peningkatan kinerja. Tanggapan responden diukur dengan skala Likert 5 poin mulai dari 1
(sama sekali tidak penting) hingga 5 (sangat penting). Analisa data menggunakan software
statistik BMDP4M dan dibantu dengan MS-Excel.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa wisata yang diakomodasi oleh perusahaan


menduduki peringkat pertama dalam hal imbalan yang memiliki faktor terbesar dalam
memotivasi kinerja karyawan (faktor imbalan berupa wisata termasuk di dalam non-
financial reward), peringkat selanjutnya adalah imbalan berupa pembayaran upah secara
penuh ketika sedang tidak bekerja atau sakit (paid leave/sick leave). Hal ini dapat
disimpulkan bahwa ketika karyawan tidak bekerja (dalam rangka berlibur atau sedang
sakit) maka hal ini dapat meningkatkan motivasi dan produktivitas karyawan. Hal ini
dikarenakan para karyawan dan buruh tersebut dapat menghabiskan waktu lebih lama
bersama keluarga mereka masing-masing dan dapat menyelesaikan urusan mereka yang
selama ini terkendala akibat adanya jam kerja. Hasil yang menempati peringkat berikutnya
adalah adanya faktor kenaikan gaji dan pemberian insentif. Hal ini menunjukkan bahwa
faktor finansial bukan merupakan faktor paling penting yang mampu meningkatkan
motivasi dari para karyawan kelas bawah. Mayoritas karyawan maupun buruh lebih
menginginkan imbalan berupa pembayaran non-tunai (fringe benefit) seperti akomodasi
wisata, tunjangan anak, tunjangan pinjaman rumah, maupun tunjangan pendidikan.

Dengan adanya penelitian-penelitian tersebut, diharapkan para pemangku


kepentingan dapat mengetahui jenis imbalan seperti apa yang mampu menumbuhkan
motivasi kinerja bagi para karyawannya. Dari dua penelitian yang dianalisa diatas, terdapat
korelasi bahwa faktor finansial bukanlah faktor terpenting dalam menumbuhkan motivasi
bagi kinerja para karyawan, baik untuk karyawan terampil seperti yang dibahas oleh
Todericiu, Serban, dan Dumitrascu (2013) maupun buruh dan karyawan kelas bawah
seperti yang dibahas oleh Arnolds dan Venter (2007). Dalam kasus karyawan yang
mempunyai keterampilan, hal yang paling diinginkan oleh mereka adalah kebebasan dalam
merencanakan pekerjaannya (kebebasan dalam merencakan pekerjaan termasuk di dalam
job design reward), hal ini dapat dipahami mengingat susahnya suatu individu untuk dapat
berkembang apabila ruang gerak mereka dibatasi oleh perusahaan. Sedangkan bagi buruh
dan karyawan kelas bawah, hal yang paling memotivasi mereka adalah adanya imbalan
berupa imbalan non-finansial seperti akomodasi wisata, tunjangan anak, tunjangan
pinjaman rumah, maupun tunjangan pendidikan. Hal ini dikarenakan mayoritas dari
karyawan tingkat bawah tersebut mempunyai penghasilan rendah, sehingga mereka akan
merasa terbantu dengan adanya benefit dan tunjangan seperti yang disebutkan diatas untuk
meringankan beban mereka.

Berikut ini terlampir tabel perkembangan faktor-faktor yang mampu memotivasi


karyawan berdasarkan jurnal-jurnal yang terindeks internasional dari tahun 2007 dan 2013:
ITEM STUDI

TAHUN 2007 TAHUN 2013

Tujuan Untuk mengetahui jenis imbalan Untuk mengetahui faktor stimulus


yang paling berpengaruh dalam yang memiliki pengaruh terbesar
mempengaruhi motivasi karyawan terhadap adanya motivasi para tenaga
kelas bawah di industri manufaktur kerja terampil di industri di Romania.
dan ritel pakaian.
Hipotesis •H1: imbalan berupa pembayaran  H1: faktor berupa kebebasan dalam
secara langsung (direct financial bekerja merupakan faktor paling
rewards yang berupa pembayaran penting dalam menumbuhkan
langsung, insentif, dan tunjangan) motivasi terhadap para karyawan
adalah faktor penting dalam yang mempunyai keterampilan.
memotivasi kinerja karyawan kelas  H2: faktor berupa besarnya gaji
bawah namun tidak lebih penting merupakan faktor penting dalam
daripada reward yang berupa menumbuhkan motivasi, namun
pengakuan / social reward. faktor gaji bukan merupakan faktor
terpenting bagi karyawan yang
•H2: imbalan berupa pembayaran
memiliki keterampilan.
secara tidak langsung (indirect
financial rewards atau yang biasa  H3: faktor berupa jenis pekerjaan
disebut dengan fringe benefits) merupakan faktor paling penting
adalah faktor penting dalam dalam menumbuhkan motivasi
memotivasi kinerja karyawan kelas terhadap para karyawan yang
bawah namun tidak lebih penting mempunyai keterampilan.
daripada imbalan yang berupa  H4: faktor berupa kondisi pekerjaan
pengakuan/social reward dan merupakan faktor paling penting
imbalan yang berupa pembayaran dalam menumbuhkan motivasi
secara langsung (direct financial terhadap para karyawan yang
rewards). mempunyai keterampilan.
 H5: faktor berupa rekanan atau
•H3: imbalan berupa pengakuan kolega merupakan faktor paling
(social reward) adalah faktor paling penting dalam menumbuhkan
penting dalam memotivasi kinerja motivasi terhadap para karyawan
karyawan kelas bawah. yang mempunyai keterampilan.
•H4: imbalan berupa wewenang dan  H6: faktor berupa komunikasi yang
otoritas (job design reward) adalah baik dengan atasan merupakan faktor
faktor penting dalam memotivasi paling penting dalam menumbuhkan
kinerja karyawan kelas bawah motivasi terhadap para karyawan
namun tidak lebih penting daripada yang mempunyai keterampilan.
imbalan yang berupa  H7: faktor berupa pengakuan
pengakuan/social reward dan merupakan faktor paling penting
imbalan yang berupa pembayaran dalam menumbuhkan motivasi
(financial rewards). terhadap para karyawan yang
mempunyai keterampilan.
•H5: imbalan yang dapat dikonsumsi  H8: faktor berupa tunjangan/benefit
(consumable reward) adalah faktor merupakan faktor paling penting
yang memiliki pengaruh paling kecil dalam menumbuhkan motivasi
didalam memotivasi kinerja terhadap para karyawan yang
karyawan kelas bawah. mempunyai keterampilan.
 H9: faktor berupa adanya peluang
promosi merupakan faktor paling
penting dalam menumbuhkan
motivasi terhadap para karyawan
yang mempunyai keterampilan.
 H10: faktor berupa adanya
kesempatan untuk mengikuti
pelatihan merupakan faktor paling
penting dalam menumbuhkan
motivasi terhadap para karyawan
yang mempunyai keterampilan.
 H11: faktor berupa kebijakan
perusahaan merupakan faktor paling
penting dalam menumbuhkan
motivasi terhadap para karyawan
yang mempunyai keterampilan.
 H12: faktor berupa kurangnya
pengawasan merupakan faktor paling
penting dalam menumbuhkan
motivasi terhadap para karyawan
yang mempunyai keterampilan.
Populasi dan Sampel Populasi: 22 perusahaan bisnis di Populasi: perusahaan yang bergerak di
distrik metropolitan Nelson Mandela bidang telekomunikasi, pendidikan,
di Afrika Selatan. keuangan, budaya, layanan dan
teknologi di area Sibiu, Rumania.
Sampel: 367 karyawan tingkat
bawah (white and blue collar Sampel: sampel diambil dari 26 tenaga
workers) yang terdiri dari 213 pekerja terampil di area Sibiu di Romania.
kerah biru (blue-collar worker) dan Sekitar 57% dari total sampel yang
154 karyawan (white-collar worker). berjumlah 26 orang tersebut bekerja
Sampel buruh terdiri dari 52% pria, pada sebuah perusahaan yang memiliki
sedangkan sampel karyawan terdiri sumber daya manusia lebih dari 100
dari 68,2% wanita. orang.

Variable dan Indikator Variabel: jenis imbalan yang Variabel: faktor yang menjadi penentu
mempengaruhi motivasi kinerja dari peningkatan motivasi karyawan yang
para karyawan kelas bawah. mempunyai keterampilan.
Pengukuran Variabel Skala Likert 5 poin mulai dari 1 (sama Skala Likert 5 poin mulai dari 1 (sama
sekali tidak penting) hingga 5 (sangat sekali tidak penting) hingga 5 (sangat
penting). penting).
Alat Analisis Analisa data menggunakan software Analisa menggunakan software SPSS.
statistik BMDP4M dan dibantu
dengan MS-Excel.
Hasil Hasil penelitian menunjukkan bahwa Hasil dari penelitian menunjukkan
wisata yang diakomodasi oleh bahwa faktor kebebasan dalam
perusahaan menduduki peringkat merencanakan pekerjaan memiliki
pertama dalam hal imbalan yang rata-rata tertinggi, diikuti oleh faktor
memiliki faktor terbesar dalam jenis pekerjaan kemudian faktor
memotivasi kinerja karyawan (faktor kondisi lingkungan kerja dan faktor
imbalan berupa wisata termasuk di rekanan/kolega sebesar. Stimulus lain
dalam non-financial reward), yang memiliki pengaruh pada
peringkat selanjutnya adalah imbalan karyawan terampil yang menjadi
berupa pembayaran upah secara sampel adalah faktor komunikasi yang
penuh ketika sedang tidak bekerja baik dengan jajaran top manajemen dan
atau sakit (paid leave/sick leave. Hasil faktor gaji yang dihasilkan, yaitu
yang menempati peringkat berikutnya dengan rata-rata yang sama. Variabel
adalah adanya faktor kenaikan gaji hasil yang berupa gaji berbanding lurus
dan pemberian insentif. Hal ini dengan teori yang mengemukakan
menunjukkan bahwa faktor finansial bahwa faktor finansial memiliki peran
bukan merupakan faktor paling penting dalam motivasi karyawan,
penting yang mampu meningkatkan namun dalam kasus pekerja yang
motivasi dari para karyawan kelas memiliki keterampilan, faktor finansial
bawah. Mayoritas karyawan maupun bukanlah yang paling penting dalam
buruh lebih menginginkan imbalan meningkatkan motivasi.
berupa pembayaran non-tunai (fringe
benefit) seperti akomodasi wisata,
tunjangan anak, tunjangan pinjaman
rumah, maupun tunjangan
pendidikan.
Perkembangan Pada tahun 2007 dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui jenis
imbalan yang mempunyai faktor pengaruh paling besar dalam memotivasi
kinerja karyawan kelas bawah (blue and white collar worker) di Afrika Selatan.
Dan pada tahun 2013 dilakukan penelitian tentang faktor-faktor yang menjadi
stimulus bagi kinerja karyawan yang mempunyai keterampilan di Romania.
Dengan adanya penelitian-penelitian tersebut, diharapkan para pemangku
kepentingan dapat mengetahui jenis imbalan seperti apa yang mampu
menumbuhkan motivasi kinerja bagi para karyawannya. Dari dua penelitian
yang dianalisa diatas, terdapat korelasi bahwa faktor finansial bukanlah faktor
terpenting dalam menumbuhkan motivasi bagi kinerja para karyawan, baik
untuk karyawan terampil seperti yang dibahas pada penelitian di tahun 2013
maupun buruh dan karyawan kelas bawah seperti yang dibahas oleh penelitian
pada tahun 2007. Dalam kasus karyawan yang mempunyai keterampilan, hal
yang paling diinginkan oleh mereka adalah kebebasan dalam merencanakan
pekerjaannya (kebebasan dalam merencakan pekerjaan termasuk di dalam job
design reward), hal ini dapat dipahami mengingat susahnya suatu individu
untuk dapat berkembang apabila ruang gerak mereka dibatasi oleh perusahaan.
Sedangkan bagi buruh dan karyawan kelas bawah, hal yang paling memotivasi
mereka adalah adanya imbalan berupa imbalan non-finansial seperti akomodasi
wisata, tunjangan anak, tunjangan pinjaman rumah, maupun tunjangan
pendidikan. Hal ini dikarenakan mayoritas dari karyawan tingkat bawah
tersebut mempunyai penghasilan rendah, sehingga mereka akan merasa
terbantu dengan adanya benefit dan tunjangan seperti yang disebutkan diatas
untuk meringankan beban mereka.

Hasil dari tinjauan penelitian di atas menunjukkan bahwa semakin ke sini,


pemberian kompensasi dalam bentuk finansial bukan sebagai faktor utama lagi dalam
peningkatan kinerja karyawan. Bagi karyawan tingkat manajemen atas atau bagi mereka
yang memiliki keterampilan tinggi, kompensasi non finansial serta faktor lingkungan dan
budaya organisasi lebih berpengaruh dalam memotivasi mereka untuk memberikan kinerja
yang terbaik, seperti akomodasi wisata, tunjangan pendidikan anak, kebebasan dalam
merencanakan pekerjaan, lingkungan kerja dan rekan/kolega (community engagement),
dan adanya komunikasi yang baik dengan jajaran manajemen di level atas. Temuan ini
mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Tung Thanh Do (2016) (yang telah
dibahas pada bab 3.1), bahwa selain kompensasi, spiritualitas dan iklim di tempat kerja
juga sangat berpengaruh dalam peningkatan kinerja para karyawan. Namun juga tidak
dapat dipungkiri bahwa dari hasil penelitian penelitiann tersebut, kompensasi yang masih
sangat berpengaruh pada motivasi dan kinerja karyawan adalah kompensasi berbentuk
finansial.

IV. KESIMPULAN & SARAN

Dari berbagai literatur dan penelitian yang telah dipaparkan di atas menunjukkan bahwa
sistem reward dengan pemberian kompensasi, baik finansial maupun non-finansial
memberikan dampak yang signifikan dan positif terhadap peningkatan kinerja karyawan.
Namun, dengan adanya perubahan ekonomi dan budaya secara global, pemberian kompensasi
mengalami banyak perkembangan. Jika dulu komponen kompensasi yang diutamakan adalah
kompensasi finansial berupa tunjangan uang, semakin ke sini bentuk kompensasi yang
diberikan semakin berkembang ke arah non finansial. Kompensasi non finansial ini bisa
berbentuk pelatihan dan peningkatan hal hal yang bisa mendukung kesehatan dan keselamatan
kerja, akomodasi wisata, tunjangan pendidikan anak, dll.
Praktik pemberian kompensasi harus diikuti dengan peningkatan faktor internal, seperti
penciptaan spiritualitas dan iklim lingkungan kerja yang baik. Hal ini bisa diwujudkan dengan
beberapa hal, seperti kebebasan dalam merencanakan pekerjaan, lingkungan kerja dan
rekan/kolega (community engagement), dan adanya komunikasi yang baik dengan jajaran
manajemen di level atas.
Namun dari penelitian penelitian terdahulu juga ditemukan bahwa bagi pekerja tingkat
bahwah, cash mentality masih cukup tinggi. Kompensasi secara finansial masih sangat penting
bagi mereka. Oleh karena itu, sistem pemberian kompensasi harus diterapkan dengan strategi
yang tepat dan relevan.
Saran dari tim penulis adalah perlunya diadakan penelitian berkelanjutan tentang
perkembangan manajemen sumber daya manusia untuk mengembangkan pengelolaan
manajemen sumber daya manusia di Indonesia. Hal ini sangat diperlukan karena Indonesia
akan mencapai bonus demografi pada tahun 2020. Indonesia harus mampu memanfaatkan
peluang ini untuk mencapai keunggulan kompetitif di era perdagangan bebas dan industry 4.0
ini.

V. DAFTAR PUSTAKA

Arnolds, C.A. and Venter, D.J.L. (2007). The Strategic Importance of Motivational Rewards
for Lower-Level Employees in the Manufacturing and Retailing Industries. South African
Journal of Industrial Psychology, 33(3), 15-23.

Armstrong, Michael. 2006. Strategic Human Resource Management: A Guide to Action.


Kogan Page: United Kingdom.

Bates Bob and McGrath James. (2017). The Little Book of Big Management Theories and How
To Use Them. Pearson Education Limited: United Kingdom.

Cooper, H. M. (2010). Research synthesis and meta-analysis: A step-by-step approach (4th


ed.). Thousand Oaks, CA: Sage.
Cushway, B. and Lodge, D. (1995). Organizational Behaviour And Design. Crest Pub House,
p. 139.

Dessler, Gary. (2012). Human Resource Management (13th ed.). Prentice Hall: United States.

Do Thanh Tung. (2016). How spirituality, climate and compensation affect job performance.
Emerald Publishing Limited, VOL. 14 NO. 2 2018, pp. 396-409.

Humas Kemenperin. 2018. Revolusi Industri 4.0 Buka Peluang Dongkrak ‘Skill’ SDM.
(https://kemenperin.go.id/artikel/19676/Revolusi-Industri-4.0-Buka-Peluang). (13
November 2019).

Mahatma. (2018). Compensation and Reward Management. Department of Master of


Business Administration.

Marshall, C. and Rossman B. Gretchen. (2011). Designing Qualitative Research (5th ed.).
Thousand Oaks, CA: Sage.

McGrath, J. and Bates, B. (2017) The Little Book of Big Management Theories, 2nd ed.,
Harlow: Pearson UK., p. 62 & 66.

Moleong J. Lexy. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya: Bandung.

Özer Sarı, Ferika. (2009) Effects of employee trainings on the occupational safety and health
in accommodation sector, Procedia Social and behavioural sciences, p. 1865–1870.

Priyono P. (2016). Buku Manajemen Sumber Daya Manusia (2). Zifatama Publisher: Sidoarjo.

Quartey (2017). Examining employees’ safety behaviours: an industry-level investigation from


Ghana. Emerald Publishing., p. 1-6.

Todericiu, R., Serban, A., Dumitrascu, O., (2013) Particularities of Knowledge Worker’s
Motivation Strategies in Romanian Organizations, Procedia Economics and Finance 6, p.
405 – 413.

Wren A. Daniel and Bedeian G. Arthur. 2009. The Evolution of Management Thought. John
Wiley & Sons, Inc.: United States of America.

Anda mungkin juga menyukai