Anda di halaman 1dari 6

P5 Manja-Model Pengukuran Kinerja

Performance Measurement Questionaire (PMQ)


Dixon, Nanni, & Vollmann (1990) mengembangkan Kuesioner Pengukuran Kinerja
untuk menilai dan menentukan kinerja dalam organisasi. Dengan menggunakan
kuesioner ini, organisasi memungkinkan untuk mencari tujuan organisasi yang telah
dicapai termasuk perbaikan berkelanjutan bila perlu dilakukan. Ghalayini & Noble
(1996) menyebutkan bahwa PMQ dievaluasi dengan empat cara: 1) keselarasan,
yaitu memberikan informasi sejauh mana ukuran kinerja selaras dengan tujuan
organisasi, 2) Kesesuaian, adalah dilakukan untuk memberikan seberapa baik
pengukuran kinerja dilakukan sesuai dengan tindakan dan strategi organisasi, 3)
Konsensus adalah klasifikasi data menurut tingkat manajemen dan fungsional, 4)
Kebingungan, dilakukan untuk memeriksa penyimpangan perbaikan dan tindakan

SMART System
Sistem Strategic Measurement Analysis and Reporting Technique (SMART)
dikembangkan oleh Cross & Lynch (1988) karena ketidakpuasan menggunakan data
keuangan sebagai indikator tunggal. Cross & Lynch (1988) mengatakan bahwa
sistem SMART terdiri dari piramida empat tingkat indikator untuk menghasilkan
tujuan organisasi. Piramida tingkat indikator tersebut dapat dilihat pada gambar
berikut:

Pada gambar disebutkan ada beberapa level di tingkatan yang berbeda, mulai dari
paling atas yaitu Business Unit, Business Operations unit, dan Department & work
unit. Level-level tersebut memiliki perspektif masing masing, seperti pada Business
Unit Level yang memiliki perspektif financial dan market. Perspektif financial yaitu
segala laporan dan system keuangan di perusahaan tersebut, dan perspekstif
markets adalah mencakup seberapa luas ruang lingkup pasar yang berkaitan
dengan perusahaan. Pada level Business Operations Unit, ada 3 perspektif yaitu
perspektif kepuasan pelanggan, fleksibelitas, dan produktivitas. Perspektif
produktivitas mengacu pada kecepatan, dan jumlah produk yang dihasilkan,
perspektif fleksibelitas menjelaskan tentang kemampuan skill karyawan untuk
bekerja di banyak bagian, dan perspektif kepuasan pelanggan, hal ini akan
berpengaruh pada jumlah produk yang terbeli. Di level Department & Work Unit, ada
4 perspektif, yaitu perspektif kualitas, perspektif penyampaian, perspektif waktu
proses, dan perspektif biaya. Perspektif kualitas menjelaskan tentang kualitas
produk yang dihasilkan oleh suatu perusahaan, perspektif penyampaian
menjelaskan tentang berapa lama produk tersebut selesai dibuat dan siap
dipasarkan, selanjutnya perspektif waktu proses, menjelaskan tentang waktu yang
dibutuhkan tiap bagian untuk menyelesaikan masing-masing job desk. Keempat
adalah perspektif biaya, yang menjelaskan tentang biaya yang dibutuhkan untuk
pembiayaan selama proses berlangsung [3].

Balanced Scorecard

Balanced Scorecard (BSC) adalah ukuran kinerja ganda yang paling terkenal dari
Kaplan & Norton (1992). BSC dirancang sedemikian rupa sehingga memberikan
informasi yang diperlukan untuk mengelola strategi bisnis organisasi secara efektif
(Kaplan & Norton, 1996a, b, 2001a). Kaplan dan Norton memperkenalkan konsep
BSC pada awal 1990-an, yang pertama kali memasukkan aspek non-keuangan ke
dalam sistem pengukuran kinerja. BSC tidak hanya memperhatikan aset tidak
berwujud seperti kualitas layanan, pembelajaran, layanan yang cepat dan andal,
efisiensi responsif, dan proses bisnis yang dapat disesuaikan yang tidak dapat
ditangkap dalam neraca, tetapi juga mempertimbangkan bahwa karyawan,
pelanggan, dan pemegang saham adalah bagian dari organisasi masing-masing
(Kaplan & Norton, 1996a).
Balance Scorecard adalah metode pengukuran kinerja baru yang memiliki 4
perspektif, yaitu financial perspective, customer perspective, internal-
businessprocess perspective dan Learning and growth Perspective. Metode
Balanced Scorecard dikembangkan oleh Robert S. Kaplan dan David P. Norton
pada tahun 1996 [2]. Metode ini menggunakan kata Balanced, karena pada
scorecard ini keempat perspektif yang menjadi acuan utama memiliki bobot yang
sama. Perspektif pertama adalah perspektif finansial. Perspektif finansial menitik
beratkan pada keuntungan perusahaan yang mengacu pada visi perusahaan, hal
tersebut dapat berupa ketertarikan pemegang saham, pendapatan perusahaan yang
meningkat, dan returnon-capital-employed. Hal ini penting dilakukan, karena pada
saat ini keadaan finansial perusahaan, menjadi penentu keberadaan perusahaan
tersebut pada jangka waktu berikutnya. Perspektif kedua adalah perspektif
konsumen. Perspektif konsumen berisikan tentang customer dan market. Customer
adalah tentang siapa sajakah pembeli dari produk yang dihasilkan oleh perusahaan,
sedangkan market adalah ruang lingkup pasar yang akan membeli produk yang
dihasilkan oleh perusahaan. Keluaran yang diharapkan dari perspektif konsumen
adalah, kenyamanan dan kepuasan hati konsumen, karena konsumen yang merasa
puas dan nyaman, berpotensi untuk menjadi pelanggan atau menjadi loyal terhadap
perusahaan. Perspektif ketiga adalah perspektif proses bisnis internal. Perspektif ini
menitikberatkan pada system produksi yang baik, proses pengiriman atau
penyampaian yang baik, dan pelayanan kepada konsumen yang baik. Perspektif ini
bertujuan untuk mempertahankan konsumen dan pasar, dan akan lebih baik jika
terdapat perluasan pasar dan konsumen, dan mempertahankan pemegang saham.
Keempat adalah perspketif belajar dan berkembang. Perspektif ini menitikberatkan
pada sumber daya manusia dan system beserta prosedur perusahaan. SDM yang
diharapkan adalah SDM yang mampu berkembang dalam hal beradaptasi dengan
perkembangan pasar dan kemampuan skill yang konsisten dan cenderung
meningkat. Sistem yang baik dan diharapkan adalah mulai dari struktur organisasi
yang kuat dan berjalan baik, peningkatan teknologi dan system yang ada dan
mengevaluasi dan memperbaiki prosedur perusahaan secara rutin. Keempat
perspektif ini saling mempengaruhi [7].

Cambridge Model

Model ini berasal dari Cambridge Univercity. Model ini menitik beratkan pada
penggunaan produck group sebagai dasar mengidentifikasi Key Performance
Indicator (KPI). Dari pengelompokan produk tersebut dilakukan penentuan tujuan
bisnis untuk product group-nya

Integrated Performance Measurement System

Metode IPMS (Integrated Performance Measurement System) dibuat oleh Bititci dan
Carrie pada tahun 1998 [2]. Metode penguukuran ini bertujuan untuk
mengintegrasikan seluruh bagian perusahaan. Pada metode IPMS bagian
perusahaan dibagi menjadi empat level, yaitu Corporate Business, Business Unit,
Business Process, dan Activity Unit. Keempat level tersebutlah yang akan diukur
dan akan diintegrasikan kinerjanya. Pengukuran IPMS memiliki empat aspek dalam
pengukurannya, yaitu Stakeholder Requirement, External Monitor, Objective, dan
Performance Measures. Aspek Stakeholder Requirement mengidentifikasi
kebutuhan
yang diinginkan dari semua stakeholder (mulai dari corporate hingga konsumen)
terhadap perusahaan, baik dari segi finansial maupun non finansial. Aspek Kedua
External Monitor menganalisa para pesaing perusahaan sebaikmungkin sehingga
didapatkan posisi perusahaan saat ini dengan akurat. Aspek ketiga Objective
mengidentifikasi tujuan atau output yang diinginkan perusahaan setelah
menggunakan pengukuran kinerja metode ini, identifikasinya didasari oleh visi dan
misi perusahaan namun juga mempertimbangkan keinginan para stakeholder, posisi
perusahaan, kompetisi pesaing, praktek bisnis global agar terbentuk suatu target
yang realistis.
Aspek keempat Performance Measures adalah mengidentifikasi kecocokan antara
KPI (Key Performance Indicator) dengan kebutuhan perusahaan. Proses identifikasi
menghubungkan antara formula KPI dengan aspek objective, target dan batasan
performance, frekuensi pengukuran, frekuensi review, siapa yang mengerjakan dan
apa yang dikerjakan.

Pengukuran supplier

Pengukuran kinerja supplier maupun evaluasi supplier merupakan faktor


penting dan berpengaruh dalam konsep supply chain karena merupakan salah satu
strategi perusahaan untuk bersaing dengan perusahaan lain dalam hal kepuasan
service level perusahaan tersebut dalam memenuhi permintaan konsumen dan
memenuhi kebutuhan perusahaaan secara konsisten. Untuk menjaga jalur
produksi dari kekurangan bahan baku, biasanya terdapat lebih dari satu supplier
(supplier) untuk setiap itemnya. Selanjutnya, untuk memastikan bahwa bahan
baku yang masuk telah memenuhi standar kualitas yang telah ditentukan, evaluasi
supplier atau penilaian supplier harus dilakukan secara berkala. Supplier harus
dipilih berdasarkan seberapa baik mereka dalam memenuhi berbagai macam
permintaan perusahaan yang tidak tergantung hanya pada harga. Karena produksi
dimulai dengan pembelian, dan program pembelian tidak akan berhasil kecuali
hubungan pembeli dan supplier yang kooperatif dan terpelihara. Pemilihan
supplier merpakan salah satunya kegiatan yang paling penting dalam pembelian.
Proses pemilihan supplier dengan cara evaluasi terhadap supplier yang ada dan
membandingkannya dengan menggunakan ukuran dan kriteria yang sesuai
(Bhutta & Huq, 2002). Evaluasi supplier yang efektif juga dapat membantu
perusahaan mencapai produksi just in time (JIT)

Rantai pasok atau Supply chain artinya rangkaian korelasi antar perusahaan atau
aktivitas yang melaksanakan penyaluran pasokan barang atau jasa dari daerah asal
hingga ke kawasan pembeli atau pelanggan. Supply chain menyangkut hubungan
tentang barang, uang serta informasi. Barang umumnya mengalir hulu ke hilir, uang
mengalir dari hilir ke hulu, sedangkan informasi mengalir baik asal hulu ke hilir
maupun hilir ke hulu. Terdapat lima komponen utama atau pelaku utama dalam
sebuah proses supply chain, yaitu supplier (pemasok), manufacturer (pabrik
penghasil barang), distributor (pedagang besar), retailer (pengecer), customer
(pelanggan). Secara vertikal, terdapat 5 komponen utama supply chain, yaitu buyer
(pembeli), transpoter (pengangkut), warehouse (penyimpan), seller (penjual) serta
sebagainya

Beberapa metode yang dapat digunakan dalam pengukran kinerja supplier. Diantara
metode evauasi supplier tersebut adalah metode Taguchi Loss Function, Analytical
Hierarchy Process (AHP) dan metode Standardized Unitless Rating. Metode
Standardized Unitless Rating dipilih sebagai alat untuk menentukan urutan prioritas
supplier dan memberikan rekomendasi kepada pihak perusahaan untuk memilih
supplier-supplier tertentu (Li et al. 1997).
Taguchi Loss Function merupakan metode untuk menghitung fungsi kerugian yang
ditanggung oleh masyarakat akibat kualitas yang dihasilkan. Bagi produsen yaitu
dengan timbulnya biaya kualitas sedangkan bagi konsumen adalah adanya
ketidakpuasan atau kecewa atas produk yang dibeli atau dikonsumsi karena kualitas
yang jelek (Ross, 1996
Metode AHP dikembangkan oleh Thomas L. Saaty, seorang ahli matematika.
Metode ini adalah sebuah kerangka untuk mengambil keputusan dengan efektif atas
persoalan yang kompleks dengan menyederhanakan dan mempercepat proses
pengambilan keputusan dengan memecahkan persoalan tersebut kedalam bagian-
bagiannya, menata bagian atau variable ini dalam suatu susunan hirarki, memberi
nilai numerik pada pertimbangan subjektif tentang pentingnya tiap variabel dan
mensintesis berbagai pertimbangan ini untuk menetapkan variabel yang mana yang
memiliki prioritas paling tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi hasil pada situasi
tersebut
Metode Standardized Unitless Rating (SUR) ini memperhitungkan human
psychological blindness dalam pengukuran performansi supplier. Berdasarkan pada
metode Standardized Unitless Rating (SUR), maka kriteria pengukuran performansi
supplier adalah Kualitas/Quality (Q), Harga/Cost (C), Pengiriman/Delivery (D),
Fleksibilitas/Flexibility (F), Respon/Response (R)

Pengukuran Individu

Mengukur pada hakikatnya adalah membandingkan sesuatu dengan atau atas dasar
ukuran tertentu (Sudijono, 2011). Pengukuran adalah kegiatan yang dilakukan
dengan membandingkan hasil belajar dengan suatu ukuran tertentu. Pengukuran
menurut Arikunto dan Jabar (2004) sebagai kegiatan membandingkan suatu hal
dengan satuan ukuran tertentu sehingga sifatnya menjadi kuantitatif. Allen dan Yen
(1979), menyatakan bahwa pengukuran adalah penetapan angka bagi individu
dengan cara sistematis yang mencerminkan sifat atau karakteristik dari individu
tersebut. Berbeda dengan pendapat Cangelosi (1995), pengukuran adalah proses
pengumpulan data melalui pengamatan empiris untuk mengumpulkan informasi
yang relevan dengan tujuan yang telah ditentukan. Pengukuran dapat diartikan
sebagai kegiatan atau usaha yang dilakukan untuk memberikan angka-angka pada
suatu kejadian, gejala, peristiwa atau benda, sehingga hasil pengukuran akan selalu
berupa angka. Berdasarkan pendapat para ahli, Ratnawulan (2006) menyimpulkan
bahwa pengukuran adalah kegiatan yang dilakukan dalam proses pembelajaran,
diperlukan untuk menentukan fakta kuantitatif yang disesuaikan dengan kriteria-
kriteria tertentu sesuai dengan objek yang akan diukur.

Anda mungkin juga menyukai