Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPUTUSASAAN

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mata kuliah Keperawatan Jiwa

DISUSUN OLEH:
RITA DWI ASTUTI
14901-16280

PROGRAM PROFESI NERS ANGKATAN XVII


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN IMMANUEL
BANDUNG
2017
KEPUTUSASAAN

A. Definisi Keputusasaan
Keputusasaan (hopelessness) merupakan fenomena yang banyak terjadi di
masyarakat. Keputusasaan dapat diartikan sebagai keadaan dimana individu
merasa pesimis akan masa depannya, merupakan pikiran yang menyebabkan
hubungan antara depresi dan perilaku bunuh diri (Connor, Connery, & Cheyne,
2000; Dunn, 2005)

Keputusasaan adalah keadaan psikologis dimana seseorang tiba-tiba merasa apatis


terhadap tujuan hidup mereka. Berkeinginan untuk mati adalah harapan yang
terlihat jelas. Ketika tujuan penting dijangkau dalam waktu yang lama, menjadi
alasan lemahnya harapan. Terhambatnya tujuan ini menyebabkan pikiran menjadi
marah terhadap harapan. Keputusasaan juga muncul pada depresi di beberapa
individu. (Anderson, Norman B. 2004)

B. Penyebab
1. Faktor Predisposisi
a. Biologi
Dalam fungsi otak kognitif, dopamin sangat penting untuk menghantarkan
pesan, mengatur motivasi dan tingkat kecemasan serta suasana hati.
Epinefrin menetapkan pembelajaran dan memori. Serotonin mengatur
tingkat kewaspadaan dan memilah informasi. Epinefrin, serotonin, dan
dopamine merupakan hal utama dalam neurotransmitter yang bekerja pada
lobus frontal otak, dimana ini berhubungan dengan proses mental (Austin,
Wendy & Boyd, Mary Ann. 2010; Knaus, William J. 2006)

Dopamine dan norepineprin melakukan pekerjaan yang setara di dalam


otak kita. Ketiga bahan kimia ini ada ketika kita merasa tegang,
bersemangat dan siap untuk bertarung. Hormon ini bersifat memberi
tantangan yang paling dasar untuk kelangsungan hidup. Orang yang
memiliki hormone ini pada level yang rata-rata sampai tinggi akan merasa
kuat, penting, merasa kekuatan pribadi diberkati dan pikiran mereka
bergerak lebih cepat dan siap merespon pada perkembangan atau situasi
baru. Bahan kimia ini juga membantu kita untuk tetap fokus dalam
mencapai tujuan. Namun, ketika bahan kimia ini berada pada jumlah yang
berlebih, terutama jika bercampur dengan jumlah serotonin yang rendah
akan menghasilkan kondisi dimana seseorang akan lebih sering marah,
mudah tersinggung, gelisah, merasa semua tidak benar, tidak bisa bahagia
dan bahkan beralih menjadi keputusasaan dan kesengsaraan. (Emmons,
Henry. 2006)

Lobus frontal pada otak salah satu fungsinya adalah mengontrol berbagai
ekspresi emosi, moral dan tingkah laku etika. Gangguan pada bagian ini
akan menimbulkan gangguan mental atau gangguan psikis lainnya
(Sulistiawati, Tjie Anita P, Jeremia Maruhawa, Yenny Sianturi,
Sumijatun. 2012)

Ketika seseorang depresi, mereka akan mengalami ketidakacuhan dalam


mengambil tindakan. Kesulitan dalam kosentrasi, kelelahan dan
kemunduran lainnya. Beberapa kemunduran tingkah laku ini dapat
menjadi sumber terbentuknya depresi. (Knaus, William J. 2006)

b. Psikologi
Banyak faktor psikologis yang menyebabkan keputusasaan, salah satunya
berupa pemikiran negatif. Bentuk dari pemikiran negatif di antaranya
berupa pemikiran yang suram akan masa depan, kehilangan harapan dan
mengalami perlambatan dalam problem solving. Sehingga berdampak
adanya perasaan keterasingan serta kesulitan yang belum terpecahkan
(Forintos, 2010).

c. Sosialkultural
Saddock (2014) menjelaskan bahwa sejumlah klinisi yakin bahwa
peristiwa hidup memegang peran utama dalam depresi. Data yang paling
banyak meyakinkan tentang peristiwa hidup yang menyebabkan timbulnya
depresi adalah kehilangan orang yang dicintai, faktor resiko lainnya adalah
PHK

d. Faktor Psikodinamik Keputusasaan


Prinsip sentral dari teori psikodinamika adalah perilaku seseorang yang
disadari ataupun yang tidak disadari atas alasan atau motivasi mengapa
mereka merasakan atau berbuat. Sumber motivasi yang paling dasar
berasal dari id dan dilandaskan pada hawa nafsu. Id menurut Freud
bekerja pada prinsip kenikmatan, dimana seseorang memilih kenikmatan
dan menghindari yang menyakitkan. (Bastable, 2002)

Menurut Freud, perkembangan adalah suatu proses ke depan. Jika terjadi


gangguan pada seseorang yang menyebabkan mereka berperilaku seperti
pada tahap sebelumnya makan akan terjadi regresi. Sedangkan bila
gangguan itu menyebabkan perkembangan terhambat sehingga untuk satu
periode tertentu pola perilaku tidak berubah maka terjadi fiksasi
(Sutlistiawati, et al. 2012)

2. Faktor Presipitasi
a. Nature , faktor presipitasi baik biologis, psikologis maupun sosialkultural
sama dengan faktor predisposisi namun yang membedakan adalah faktor
presipitasi dilihat sejak enam bulan terakhir.

b. Origin
Internal : Klien gagal dalam mempersepsikan sesuatu yang diyakininya
secara benar.
Eksternal : Kurangnya dukungan keluarga, masyarakat, dan kurang
dukungan kelompok/teman sebaya.

c. Timing: stres terjadi dalam waktu dekat, stress terjadi secara berulang-
ulang/ terus menerus atau muncul dalam waktu yang tidak tepat dan waktu
munculnya saling berdekatan.

d. Number: Sumber stres lebih dari satu dan stres dirasakan sebagai masalah
yang sangat berat atau dengan kualitas yang tinggi
C. Penilaian terhadap Stresor
1. Kognitif
Menurut teori kognitif, depresi terjadi akibat distorsi kognitif spesifik, artinya
seseorang menerima data internal dan eksternal dengan cara yang diubah oleh
pengalaman sebelumnya. Atas dasar ini maka seseorang memilih banyak
berpikir mengenai pandangan diri yang negatif, pandangan terhadap
lingkungan dimana orang yang depresi memilih untuk memusuhi dan
menuntu serta pandangan mengenai masa depan, seseorang dengan depresi
cenderung hanya memikirkan tentang harapan mengenai penderitaan dan
kegagalan (Saddock, 2014)

Towsend (2014) menyimpulkan penilaian kognitif yang muncul seperti, asyik


dengan masalah yang dihadapi, menyalahkan diri sendiri, ambivalensi, dan
menyalahkan orang lain

2. Afektif
Penilaian afektif ditemukan adanya: penyangkalan terhadap perasaan, marah,
cemas, rasa bersalah berkepanjangan, tidak perdaya, putus asa, kesedihan,
murung dan patah semangat.

3. Fisiologis
Klien dengan keputusasaan akan memperlihatkan adanya anoreksia atau
makan berlebihan, gangguan tidur dan kualitas tidur, sakit kepala, sakit
punggung, nyeri dada, tidak bertenaga dan kelelahan.

4. Perilaku
Perilaku yang terlihat pada klien dengan keputusasaan adalah banyak
menangis, regresi, gelisah, agitasi, menarik diri dan bahkan hingga percobaan
bunuh diri.

5. Sosial
Klien dengan keputusasaan cenderung menghindari lingkungan.
(Towsend, 2014)
D. Sumber Koping
1. Personal Ability
Klien dengan keputusasaan cenderung kurang komunikatif, tidak kreatif
dalam memecahkan masalah, memiliki keterbatasan dalam hal kecerdasan
serta memiliki hubungan interpersonal yang kurang baik.

2. Sosial Support
Pada klien dengan keputusasaan, sering ditemukan kurangnya keterlibatan
keluarga dan masyarakat dalam membantu klien memecahkan masalah. Klien
juga kurang terlibat dalam organisasi atau kelompok sebaya dilingkungannya.

3. Material Aset
Klien dengan keputusasaan kebanyakan tidak memiliki pekerjaan, sehingga
tidak memiliki penghasilan. Kurangnya keterlibatan klien dengan lingkungan,
menyebabkan klien juga sulit memperoleh layanan kesehatan.

4. Positif Belief
Klien dengan keputusasaan tidak memiliki keyakinan akan masa depan dan
tidak memiliki motivasi dalam hidup

E. Mekanisme Koping
Menurut Marsigila et al (2011) disimpulkan klien dengan keputusasaan
menunjukkan koping maladaptive yang ditunjukkan melalui pikiran negatifnya
terhadap masa depan yang kemudian ditandai dengan emosi negative, harapan
pesimis, dan hilangnya kesenangan dalam hidup

F. Diagnosa Medis
Meskipun putus asa tidak digunakan sebagai kategori diagnostik dalam
kedokteran, putus asa telah memiliki perhatian meningkat sebagai variabel dalam
penelitian medis. Peningkatan kadar keputusasaan yang memprediksi penyakit
jantung koroner dalam studi oleh Andari dan rekan (1993). Peningkatan kadar
keputusasaan yang lebih baru-baru ini memperkirakan kanker, infark miokard
Keputusasaan digunakan sebagai prekursor atau gejala depresi pada psikologi,
terapi kognitif diidentifikasi sebagai intervensi potensial (Rush, Beck, Kovacs,
Weissenburger, & Hollon, 1982). Pada keperawatan, keputusasaan masuk sebagai
daftar diagnosis keperawatan; Demikian pula, putus asa telah menjadi variabel
penting dalam penelitian medis, namun tidak terdaftar sebagai kategori diagnostik
untuk pengobatan. Laporan-laporan ini menunjukkan perlunya klarifikasi
konseptual lebih lanjut dan validasi diagnosis NANDA putus asa. (Dunn, 2005)

G. Diagnosa Keperawatan
Keputusasaan

H. Intervensi
1. Tujuan Khusus : Klien mampu:
a. Membina hubungan saling percaya
b. Mengenal masalah keputusasaannya
c. Berpartisipasi dalam aktivitas
d. Menggunakan keluarga sebagai system pendukung
2. Tindakan Keperawatan
a. Bina hubungan saling percaya
1) Ucapkan salam
2) Perkenalkan diri : sebutkan nama dan panggilan yang disukai
3) Jelaskan tujuan pertemuan
4) Dengarkan klien dengan penuh perhatian
5) Bantu klien penuhi kebutuhan dasarnya.
b. Klien mengenal masalah keputusasaannya
1) Beri kesempatan bagi klien mengungkapkan perasaan
sedih/kesendirian/keputusasaannya.
2) Tetapkan adanya perbedaan antara cara pandang klien terhadap
kondisinya dengan cara pandang perawat terhadap kondisi klien.
3) Bantu klien mengidentifikasi tingkah laku yang mendukung putus asa :
pembicaraan abnormal/negative, menghindari interaksi dengan
kurangnya partisipasi dalam aktivitas.
4) Diskusikan dengan klien cara yang biasa dilakukan untuk mengatasi
masalah, tanyakan manfaat dari cara yang digunakan.
5) Dukung klien untuk menggunakan koping efektif yang selama ini
digunakan oleh klien.
6) Beri alternative penyelesaian masalah atau solusi.
7) Bantu klien mengidentifikasi keuntungan dan kerugian dari tiap
alternative.
8) Identifikasi kemungkinan klien untuk bunuh diri (putus asa adalah
factor risiko terbesar dalam ide untuk bunuh diri) : tanyakan tentang
rencana, metode dan cara bunuh diri.

c. Klien berpartisipasi dalam aktivitas


1) Identifikasi aspek positif dari dunia klien (“keluarga anda menelepon
RS setiap hari untuk menanyakan keadaanmu ?”
2) Dorong klien untuk berpikir yang menyenangkan dan melawan rasa
putus asa.
3) Dukung klien untuk mengungkapkan pengalaman yang mendukung
pikiran dan perasaan yang positif.
4) Berikan penghargaan yang sungguh-sungguh terhadap usaha klien
dalam mencapai tujuan, memulai perawatan diri, dan berpartisipasi
dalam aktivitas.
d. Klien menggunakan keluarga sebagai system pendukung
1) Bina hubungan saling percaya dengan keluarga :
2) Identifikasi masalah yang dialami keluarga terkait kondisi putus asa
klien
3) Diskusikan upaya yang telah dilakukan keluarga untuk membantu klien
mengatasi masalah dan bagaimana hasilnya.
4) Tanyakan harapan keluarga untuk membantu klien mengatasi
masalahnya.
5) Diskusikan dengan keluarga tentang keputusasaan :
a) Arti, penyebab, tanda-tanda, akibat lanjut bila tidak diatasi.
b) Psikofarmaka yang diperoleh klien: manfaat, dosis, efek samping,
akibat bila tidak patuh minum obat.
c) Cara keluarga merawat klien
d) Akses bantuan bila keluarga tidak dapat mengatasi kondisi klien
(Puskesmas, RS).
Daftar Pustaka

Alavi, Ali. Et al. (2013). Effectiveness of Cognitive-Behavioral Therapy in


Decreasing Suicidal Ideation and Hopelessness of The Adolescents with
Previous Suicidal Attempts. Journal list on National Center for Biotchnology
Information: U.S National Library of Medicine Vol. 23 (4) P. 467-472

Anderson, Norman B. (2004). Encyclopedia of Health and Behavior. California: Sage


Publication, inc

Bastable, Susan B. (2002). Perawat Sebagai Pendidik. Jakarta: EGC

Bolland, J.M. (2003). Hopelessness and risk behaviour among adolescents living in
high-poverty inner city neighbourhoods. Journal of Adolescent, (26), 145-
158.

Dunn, Susan L. (2005). Hopelessness as A Response to Physical Illness. Journal of


Nursing Sholarship. P: 148-154

Emmons, Henry. (2006). The Chemistry of Joy: A Three Step Program for
Overcoming Depression Through Western Science and Eastern Wisdom.
New York: Fireside

Forintos, D.P & Sallai, J. (2010). Adaptation of the beck hopelessness scale in
hungary. Psychological Topics, 19(2), 307-321.

Gearing, Edward Robin. (2008). Evidence-Based Family Psychoeducational


Intervention for Children and Adolescent with Psychotic Disorders. Journal
of The Canadian Academy of Child and Adolescent Psychiatry. National
Center for Biotechnology Information, USA: National Library of Medicine
Haas, Leonard J. (2004). Handbook Psikologi Perawatan Primer. New York: Oxford
University Press. Inc

Handley, Tonelle. Et al. (2013). Incidental Treatment Effects of CBT on Suicidal


Ideation and Hopelessness. Journal of Affective Disorders Vol. 151 (1) P.
275-283

Knaus, William J & Ellis, Albert. (2006). The Cognitive Behavioral Workbook For
Depression: A Step-by-Step Program. USA: New Harbinger Publication

Marsigila, F.F. Kulis, S. Perez, H.G & Parsai, M. (2012). Hopelessness, Family
Stress, and Depression among Mexican Heritage. 36 (1), P. 7-18

nd
Saddock, Benjamin J & Saddock, Virginia A. (2014). Buku Ajar Psikiatri Klinis. 2
Ed. Jakarta: EGC

Stuart, G.W & Laraia, M.T. (2005). Principles and Practice of Psychiatric Nursng.
th
7 ed. St.Laouis: Mosby

th
Stuart, G.W. (2013). Principles and Practice of Psychiatric Nursng. 10 ed.
St.Laouis: Mosby

Sulistiawati, et al. (2012). Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta:


EGC

th
Townsend, Mary C. (2014). Psychiatric Mental Health Nursing. 6 ed. Philadelphia:
Davis Company

Ulrichova, Monika. (2012). Logo Therapy and Existential Analysis in Councelling


Psychology as Prevention and Treatment of Burnout Syndrome. International
Conference on Education and Educational Psychology (ICEEPSY 2012).
Procedia: Social and Behavioral Science: Elsevier

Videbeck. S L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Cetakan I. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai