Anda di halaman 1dari 4

Peran Pustakawan Dalam Pengembangan Repository Perguruan

Tinggi
Pada kesempatan seminar Repository Perguruan Tinggi di Universitas Trunojoyo 25 november
2013 yang lalu, Ibu Luki (Ketua FPPTI Pusat) menguraikan dengan detail mengenai Identitas
Pustakawan dan Perpustakaan yang saat ini mengalami re-definisi. Namun perlu diingat
bahwasanya fungsi pustakawan tidak berubah namun justru makin bermakna dengan fungsi
edukasinya yang semakin dituntut proaktif membantu dosen dan mahasiswa dalam menyusun
karya tulis mereka sesuai dengan kajian ilmu perpustakaan. Baik menggunakan jurnal penelitian
yang dilanggan perpustakaan, menelusur di portal garuda atau jejaring ilmiah dalam negeri,
termasuk juga memberikan nasihat akademik dengan informasi yang akurat dari katalog
terpasang di perpustakaan (OPAC). Dalam beberapa kondisi yang ekstrim pustakawan bahkan
tidak dilarang untuk sering dalam memberikan training pada pemustakanya di perguruan tinggi
seperti pengenalan kartu super, metode pencarian buku yang efektif, cara pemakaian kamus,
ensikopedi, penelusuran internet hingga pembinaan skripsi dengan melibatkan pihak ketiga
seperti dosen bahkan bisa juga peneliti yang ahli dalam menyusun karya penelitian. Bisa kita
bayangkan bagaimana jadinya apabila pustakawan tidak memiliki keberanian untuk progresif?
Menelusur sumber-sumber informasi yang dilayankan hingga ke koleksi berbahasa
inggris/mandarin misalnya? Yang lebih parah lagi adalah tidak memahami ilmu yang dimiliki
program studi dikampusnya. Pantas saja mahasiswa lari ke google atau peramban dunia maya
karena disanalah ada solusi, meskipun solusinya bersifat semu dan kadang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kesahihannya.

Diharapkan dengan adanya repository perguruan tinggi yang disusun oleh masing-masing
perguruan tinggi diindonesia, mahasiswa dan dosen dapat mengembangkan ilmu pengetahuan
dari dalam negeri dan lebih tepat sasaran untuk saling memajukan penelitian satu hingga
penelitian lainnya yang bersifat pengembangan atau bahkan baru samasekali. Disinggung juga
dalam seminar hari kedua tersebut kekhawatiran pustakawan dan dosen akan plagiarisme. Ibu
Luki dengan yakin dan mantap memaparkan bahwa itu semua bisa diatasi dengan adanya
kebijakan yang tertulis dan jelas sebagai payung hukumnya. Dalam perguruan tinggi tentu
banyak karya ilmiah yang bisa dibuat berjenjang hak aksesnya. Mulai yang dikelola dengan
pihak publisher asing secara berbayar (misalnya 25%), bisa juga dibuat sistim jurnal ilmiah
berbayar dalam negeri bersatu dengan PTS atau PTN dibidang atau subyek ilmu unggulan
tertentu (25%) dan sisanya misalnya 50% sengaja dibiarkan terbuka aksesnya untuk umum (perlu
kebijakan misalnya full text atau diproteksi sebagian halamannya). Dengan uraian yang jelas
tersebut akhirnya pustakawan di FPPTI Jatim bisa sedikit lega dan memiliki pedoman yang
cukup secara non teknis untuk melangkah kedepan membangun dan mengembangkan
Institutional Repository (IR) kampusnya masing-masing.

Secara Non Teknis Penanganan IR sangat berkaitan dengan hal-hal berikut :

1.Hakikatnya fungsi perpustakaan tidak berubah

Namun faktanya mahasiswa dan dosen lebih mahir dalam literasi informasi mandiri bahkan
dalam beberapa hal pustakawan belum semahir mereka. Masalahnya mereka menelusur dr
google dengan paradigma dunia luar (amerika,jepang,dsb) bukan dari repository indonesia yg
justru lebih sesuai dg keadaan indonesia saat ini dan saat ilmunya diterapkan setelah mahasiswa
tersebut lulus. Konkritnya bagi bangsa ini penelitiannya tidak match dan dampak penelitianya
bernuansa google minded. Sebetulnya kalau kita fokus pada orientasi literasi informasi berbasis
portal garuda saja misalnya maka penelitian kita akan base on reality. Proses seleksi alam akan
melahirkan produk dan jasa yang makin bervariasi bagi pengembagan berbagai sektor
pembangunan di indonesia.

2.Kemampuan komunikasi pustakawan

Kemampuan komunikasi pustakawan diperlukan untuk menghimbau para penulis atau peneliti
agar berkenan dibantu proses uploadnya. Perlu juga kita menghimbau peneliti agar supaya
penelitiannya diupload dan difokuskan utk pengembangan iptek didalam negeri. Kita
pustakawan akan membantu publikasinya agar sebanyak mungkin generasi muda atau orang lain
di indonesia membaca penelitian-penelitian mereka demi kemasalahatan bangsa sendiri.

3. Sosialisasi adalah harga mati

Sosialisasi pustakawan utk sistem operasi baru yang bakal kita pakai dikampus perlu dilakukan.
Bila perlu memanggil narasumber luar ke kampus kita. Hal ini terkesan ekstrem namun
diperlukan jangan sampai masalah stagnasi pengelolaan IR beimplikasi pada masalah lainnya
seperti,akreditasi, webometrik, pengawasan kopertis, dan sebagainya.

4. Jangan berlarut-larut. Tetapkan SK !

Rektor prinsipnya menyerahkan kepada kepala perpustakaan, kepala LPPM dan pimpinan
fakultas untuk menyiapkan SOP, SK, memo dsb untuk kelancaran pengembangan IR dikampus
kita. Bila tidak ada action , maka pustakawan harus berjiwa besar merangkul berbagai pihak di
kampus masing-masing untuk menyusun kebijakan dengan persetujuan dari Rektor tentunya.

Tanpa legitimasi SK dikawatirkan nantinya akan berebut pengelolaan repository. Lembaga lain
dikawatirkan menahan/mengganjal/bahkan bisa jadi mengunci IR yang dikelola pustaawan bila
kelak ada pengakuan dari Negara atau Luar Negeri misalnya. Peran rektor disini memberi
proteksi bahwa SK dan alat legitimasi akan melindungi pustakawan mengembangkan IR secara
berkesinambungan

5. Euforia Webometrics

Pimpinan perguruan tinggi dan kepala perpustakaan jangan hanya bangga di webometrics karena
webometrics hanya hadiah efek samping keterpakaian penelitian kita utk bangsa indonesia
sendiri. Reputasi di path, facebook, blog dan popularitas video penelitian di youtube juga hanya
bonus. Implikasi nyata adalah banyaknya karya ilmiah yang menjadi produk di masyarakat.
Bukan di pencitraan yang kita inginkan. Karena secara matematis bisa jadi ada rekayasa software
dalam webometrics atau IR kampus dengan melibatkan tim IT dan rekayasa. Pustakawan
hendaknya menjalanan proses manajemen IR dengan baik dan benar untuk kepuasan
pemustakanya.
Hal yang ditunggu-tunggu selanjutnya adalah Strategi Non Teknis. Ibu Luki Wijayanti
membagikan beberapa hal yang harus siap dihadapi oleh pustakawan saat menerapkan IR,
bahkan beberapa kasus menunjukkan masalah yang perlu melibatkan staf IT diperpustakaan atau
bisa juga melibatkan staf dan pimpinan di ranah IT Universitas.

Selanjutnya adalah Strategi Non Teknis pembangunan IR adalah sbb :


1. Pembangunan Portal

FPPTI diusulkan perlu menyiapkan portal seperti google tapi buatan pustakawan indonessia.
Namun tiap PTS/PTN memiliki keunggulan-keunggulan penelitian khas. Hal ini akan mengasah
penelitian satu kampus dengan kampus yang lainnya. Contoh praktis ITB membuka jurusan
magister manajemen yang riilnya mungkin membuat kalangan akademisi di UI sedikit heran,
karena secara logis ini artinya ilmu eksakta masuk ranah ekonomi. Secara prinsip memang tim
pengurus FPPTI Jatim sedang mengupayakan pembangunan Katalog Induk setelah kepengurusan
ini dilantik, semoga lancar proses selanjutnya.

2. Madalah username yg dibagi bagi dengan berjenjang. Jangan semuanya disamakan.


3. Format metadata dublin core. Gunakan juga 1 bentuk metadata yang sama.
4. Melibatkan para pakar utk menentukan bagian mana yg harus dibuka untuk umum sebelum
diupload pustakawan.

Pustakawan bisa mengusulkan secara teknis ada Dewan Pakar di Perpustakaan dan prosesnya
memerlukan pengesahan dari Rektor. Hal ini disebabkan kajian dalam karya ilmiah memerlukan
skill keilmuan dari para pakar. Bahkan kedepan menurut Ibu Luki Wijayanti setelah rasio jumlah
pustakawan sudah pas 100% sesuai rasio BAN-PT jangan ragu untuk Kepala Perpustakaan
merekrut staf perpustakaan Kimia, staf perpustakaan Akuntansi, dsb. Hal ini akan menambah
kehandalan tim perpustakaan dan membuat betah pemustaka untuk belajar menggunakan layanan
yang ada diperpustakaan (baik online maupun offline).

Disesi tanya-jawab dan sharing ada beberapa penanya yang dengan proaktif diantaranya adalah
Bapak Sumarsono dari Universitas Merdeka Madiun dan Ibu Indri dari Universitas Gajayana
Malang. Bapak Feri dari Universitas Muhammadiyah Ponorogo. Tak luput juga penanya dari
kampus lainnya yang turut menambah suasana seminar makin interaktif.

Serangkaian pertanyaan peserta seminar tersebut misalnya saja sebagai berikut :

Bagaimana status pustakawan di PTS ?


Ketakutan akan plagiatisme ?
Status laboran sudah ber tunjangan dg jelas namun pustakawan belum ?

Bagamamna cara memperjuangkan tunjangan pustakawan ?


Bagaimana cara mengurus sertifikasi pustakawan ?
Menakai kalau ada yang ingin migrasi database IR ke sistem baru apa bisa dibantu FPPTI?
Bagaimana batasan SK pimpinan untuk IR?
Jawaban dari Ibu Luki Wijayanti sangat lugas dan sekaligus mampu menjawab pertanyaan yang
beragam dalam beberapa konklusi praktis berikut :

1. Jauhi pekerjaan menata buku dan sirkulasi..tunjukan jangan sekedar itu


2. Justru pegawai perpustakan seharusnya banyak s1 bidang non perpustakaan agar banyak
subject speaialist diperpustakaan. Di kampus UI fakultas MIPA, FKM dan Elektro
misalnya merekrut staf perpustakaan non ilmu perpustakaan
3. Kita, FPPTI perlu diskusikan 1 meja antara DP2M, Perpusnas dan FPPTI jabfung
4. Kita buka tapi pilah pilah mana yg pantang dibuka .. koordinasi dg ahli atau penulis ybs
untuk pembagian hak akses jurnal atau IR kampus kita.Buat ranking jurnal internasional,
jurnal nasional, jurnal fakultas, jurnal prodi, hingga buka secara umum  namun beda
kelas. Secara prinsip perpustakaan makin menjanjikan dan makin dicari orang karena
semua akses ilmu pengetahuan akan makin bebas dan mandiri. Tidak cukup pengajaran
dosen, mahasiswa membutuhkan pustakawan.

Sebagai penutup, selaku dewan pembina FPPTI Jawa Timur Prof Dyah Roeswita (Kepala
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Malang) memberikan beberapa input dan secara
serius beliau menyuarakan suara dosen dan mahasiswa diperpustakaan selama ini. Kira-kira
begini penuturan beliau “ DIKTI melanggan ejournal yg sering hilang dibulan oktober-desember
seolah menjadi hal biasa, kasihan sekali kampus kecil yang dosen dan mahasiswanya bisa
membaca dan  berharap bantuan ejournal DIKTI, justru harus vakum beberapa bulan tidak
membaca hanya karena kendala teknis”.

Prof Dyah cukup meminta dengan hormat DIKTI memperhatikan nasib kampus-kampus kecil
dan hendaknya membenahi sistim pembelian agar jangan ada lubang atau kerugian bagi bangsa
kita.

Demikian rangkaian detail acara seminar dan worshop Institutional Repository di Pulau Madura
yang bisa penulis sampaikan. Akhirnya liputan tim reportase madura selesai sudah, apabila ada
diskusi atau ingin berkomunikasi bisa juga lewat Facebook di Akun FPPTI atau bisa juga di akun
FB “Daniel Pandapotan Hutapea”

Bagi anda yang datang di seminar/workshop tentu mendapat informasi dan mengikuti prosesi
pelantikan Pengurus FPPTI JATIM 2013-2016 serta pelayanan kampus UTM yang luarbiasa.
Namun, bagi anda yang tidak bisa datang paling tidak terobati dan mendapat ilmu juga bukan?
Selamat membaca dan menerapkan hasil seminar dan workshop IR ini di kampus anda masing-
masing !

Salam Literasi !

Anda mungkin juga menyukai