Anda di halaman 1dari 39

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu daerah yang rawan terhadap bencana,

salah satunya adalah bencana gempa bumi. Hal ini disebabkan karena posisi

Indonesia terletak dipertemuan tiga lempeng tektonik utama di dunia, yakni

lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, dan lempeng Pasifik yang

mangakibatkan wilayah ini rentan dengan gempa bumi tektonik. Hal itu juga

terjadi karena Indonesia berada pada jalur “ring of fire” dimana Indonesia

memiliki jumlah gunung berapi aktif paling banyak di dunia. “Ring of fire” atau

yang lebih dikenal dengan sebutan Cincin Api Pasifik merupakan daerah yang

sering mengalami gempa bumi akibat letusan gunung berapi (Anies, 2017).

Letak geografis kepulauan Indonesia berada pada pertemuan lempeng

pasifik, lempeng Indo-Australia, dan lempeng Eurasia serta dikelilingi oleh 129

gunung berapi yang merupakan 13% dari jumlah seluruh gunung berapi didunia.

Hal ini menyebabkan Indonesia menjadi negara yang rentan terkena bencana

alam, khususnya gempa bumi (Kemenkes RI, 2017).

Gempa bumi adalah getaran atau guncangan yang terjadi dan dirasakan

dipermukaan bumi yang berasal dari dalam struktur bumi. Pergeseran tersebut

terjadi sebagai akibat adanya peristiwa pelepasan energy gelombang seismic

secara tiba-tiba yang diakibatkan atas adanya deformasi lempeng tektonik yang

terjadi pada kerak bumi. Bencana gempa bumi merupakan peristiwa yang terjadi

1
2

dapat mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat

sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan, dan kerugian. Kerugian yang

dirasakan masyarakat tidak hanya berupa fisik seperti kerugian materi, rumah,

harta benda, aset-aset, dan pekerjaan, melainkan juga berupa non-fisik seperti

kehilangan anggota keluarga, serta kerugian psikologis. Permasalahan pada aspek

psikologis membutuhkan waktu yang relatif lama untuk pemulihannya, bisa

berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun pasca bencana. Kerugian atau dampak

psikologis yang sering ditemui pada korban bencana disebut juga dengan Post

Traumatic Stress Disorder (PTSD) (Erwina, 2010).

Dalam sebuah penelitian, 6 bulan setelah terpapar gempa Wenchuan di

Cina, prevalensi PTSD adalah 15,57% pada orang yang selamat dengan usia tua,

jenis kelamin perempuan, tinggal sendiri, dan luka serius sebagai factor utama.

Demikian pula setelah terpapar hurricane, orang yang berpendidikan rendah

mengalami tingkat keparahan trauma, jumlah kejadian traumatis, dan stress yang

lebih besar. Setelah gempa Chile, para peneliti menemukan bahwa gejala stress

posttraumatic secara dramatis namun tidak rata meningkat diantara penduduk

daerah yang sangat terguncang. Jenis kelamin perempuan menunjukkan tingkat

kesulitan yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki, dan perempuan memiliki risiko

PTSD yang lebih tinggi (Erwina, 2010).

PTSD sebenarnya muncul sebagai manifestasi dari pengalaman

mengerikan dari trauma yang pernah dialami. Penderitanya adalah mereka yang

merupakan korban hidup yang secara fisik selamat (penyintas), tetapi secara

mental masih berada dalam tekanan psikologis dan terus menerus berada dalam
3

keadaan tersebut. PTSD merupakan kelainan psikologis yang umum diteliti

setelah terjadinya bencana. PTSD dicirikan dengan adanya gangguan ingatan

secara permanen terkait kejadian traumatic, perilaku menghindar dari rangsangan

terkait trauma, dan mengalami gangguan meningkat terus menerus. Secara umum,

dampak bencana akan direspon dengan cara yang berbeda oleh tiap korban.

Beberapa orang mungkin mengalami dan mengekspresikan reaksi yang sangat

kuat, sedangkan lainnya hanya reaksi yang sangat ringan. Ada yang mengalami

reaksi segera setelah kejadian, sementara ada pula yang mengalami reaksi setelah

beberapa hari, minggu, atau beberapa bulan setelah kejadian. Reaksi tiap orang

juga bisa berubah-ubah setiap saat (Bahrudin, 2010).

Pada hari Minggu, 29 Juli 2018, bencana gempa bumi mengguncang pulau

Lombok, NTB. Gempa berkekuatan 6,4 skala ritcher tersebut berpusat di Barat

Laut Lombok Timur pada kedalaman 10 km. Saat itu dikabarkan 12 orang

meninggal dunia dan ribuan rumah rusak. Salah satu wilayah yang mengalami

kerusakan akibat gempa di Lombok Timur adalah Kecamatan Sembalun. Puluhan

rumah rusak dan rata dengan tanah terutama bangunan yang bertembok batako.

Para warga pun diungsikan ke tempat yang aman. Korban luka rata-rata

mengalami luka di kepala dan kaki akibat terbentur reruntuhan bangunan

(BMKG, 2018).

Selanjutnya pada tanggal 05 Agustus 2018, gempa kembali muncul

dengan kekuatan 7,0 skala ritcher. Gempa ini menimbulkan kerusakan berat di

Kabupaten Lombok Utara dan Lombok Timur. Berdasarkan informasi dari BNPB

saat itu korban meninggal mencapai 105 jiwa. Kemudian gempa mucul lagi pada
4

Hari Minggu, tanggal 19 Agustus 2018. Gempa ini menjadi rangkaian besar

setelah gempa pada 29 Juli dan 05 Agustus sebelumnya (Kompas.tv, 2018)

Peristiwa rangkaian gempa tersebut selain menyebabkan kerusakan

infrastruktur seperti fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan, dan fasilitas ibadah

juga menyebabkan perasaan trauma pada para penyintas di wilayah Kecamatan

Sembalun. Secara umum bisaanya setelah terjadi bencana, maka akan dilakukan

penelitian tentang PTSD di daerah yang mengalami bencana. Dalam DSM-IV-TR

dinyatakan bahwa gejala PTSD yang ditemukan menggambarkan suatu stress

yang terjadi berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Gejala-gejala tersebut dapat

hilang timbul sepanjang sejarah hidup penyintas, sehingga mengganggu fungsi

kerja dan keefektifan hidup. Meskipun tidak diobati dan ditangani dengan benar,

ada sekitar 30% penderita PTSD yang bisa sembuh sendiri. Namun ada sekitar

40% yang akan terus menerus bahkan mengalami gejala dalam tingkat sedang dan

10% nya terus menerus mengalami berbagai gejala dalam tingkat berat (Sadock &

Sadock, 2010).

Berdasarkan kejadian gempa yang menimpa Lombok pada tahun 2018,

serta belum adanya penelitian terkait PTSD khususnya di wilayah Sembalun,

maka penulis tertarik untuk meneliti tentang bagaimana gambaran kejadian PTSD

yang dirasakan oleh para penyintas di wilayah kerja PKM Sembalun.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah “Bagaimana Gambaran Kejadian PTSD pada Penyintas Pasca Gempa Di

Wilayah Kerja PKM Sembalun?”


5

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui gambaran Kejadian PTSD pada Penyintas Pasca Gempa Di

Wilayah Kerja PKM Sembalun.

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) berdasarkan

karakteristik demografi pada Penyintas Pasca Gempa Di Wilayah Kerja

PKM Sembalun.

b. Mengetahui tanda gejala yang timbul pada Penyintas Pasca Gempa Di

Wilayah Kerja PKM Sembalun.

c. Mengidentifikasi korelasi faktor risiko terjadinya PTSD pada Penyintas

Pasca Gempa Di Wilayah Kerja PKM Sembalun.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut:

1. Bagi Penelitian

Sebagai penambah pengetahuan dan wawasan tentang kejadian PTSD pada

penyintas pasca gempa

2. Bagi Institusi

Hasil penelitian ini diharapkan mampu menambah referensi dalam ilmu

keperawatan

3. Bagi Responden
6

Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran kepada responden tentang

kejadian PTSD pada penyintas pasca gempa


7

E. Keaslian Penulisan

No Judul Penelitian Peneliti Persamaan Perbedaan


1 Gambaran PTSD pada Agus Khoirul Metode penelitian Perbedaannya terdapat pada

Penyintas Erupsi Gunung Anam, Wiwin menggunakan rancangan kuisioner PTSD dimana peneliti

Kelud Berdasarkan Martiningsih, Ilus deskriptif analitif. Teknik sebelumnya menggunakan

Impact of Event Scale- sampling menggunakan teknik kuisioner IES–R, sedangkan

Revised (IES-R) Di simple random sampling. penulis akan menggunakan

Dukuh Kali Bladak Pengumpulan data dengan kuisioner PTSD Screening

Kecamatan Nglegok kuesioner IES–R. Hasil (PCL) yang bersumber dari

Kabupaten Blitar penelitian menunjukkan bahwa National Center for PTSD

responden yang mengalami (2013).

PTSD sebanyak 66,6% mulai

dari beberapa gejala hingga

banyak gejala dengan sebagian

besar masyarakat pernah


8

mengalami peristiwa erupsi

Gunung Kelud. Pada penelitian

ini memiliki kesamaan dengan

yang akan penulis lakukan,

yaitu pada variabel, metode

penelitian, dan teknik sampling


2 Gambaran Post Endiyono, Novi menggunakan penelitian Perbedaannya terdapat pada

Traumatic Stress Isnaini Hidayah deskriptif dengan pendekatan teknik sampling dimana penulis

Disorder Korban survey. Teknik sampel yang menggunakan teknik simple

Bencana Tanah Longsor digunakan dalam penelitian ini random sampling.

Di Dusun Jemblung adalah teknik total sampling,

Kabupaten Banjarnegara. sampel dalam penelitian ini

berjumlah 38 responden. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa

responden yang mengalami


9

gejala PTSD sebanyak 30

responden (78,9%), sedangkan

responden yang tidak

mengalami gejala PTSD

sebanyak 8 responden (21,1%).

Kesamaan dengan penelitian

yang akan penulis lakukan

adalah pada variabel dan

metode penelitian.
3 Gambaran Post Gulo (2015) menggunakan desain deskriptif perbedaanya terdapat pada

Traumatic Stress analitik, dengan jumlah sampel variabel dimana penelitian ini

Disorder (PTSD) pada sebanyak 396 orang, dengan memfokuskan menggambarkan

Remaja Teluk Dalam metode sampling yaitu PTSD pada remaja serta

Pasca 8 Tahun Bencana purposive sampling. perbedaan juga terdapat pada

Gempa Bumi Pulau Nias Instrument penelitian yang teknik sampling.


10

digunakan berupa kuesioner

data demografi dan kuesioner

PTSD screening (PCL). Hasil

penelitian tersebut

menunjukkan 67,4% remaja

tidak mengalami PTSD dan

32,6% remaja dengan PTSD.

Pada pengelompokkan tanda

dan gejala PTSD, gejala

Hyperarousal 50,39%, gejala

re-experiencing 30,23% dan

gejala Avoidance 19,38%.

Kesamaan penelitian ini

dengan penelitian yang akan

dilakukan penulis adalah pada


11

metode penelitian yaitu metode

analitif deskriptif dan pada

kuisionernya yaitu

menggunakan kuisioner PTSD

screening (PCL) dari NCPTSD

2013
12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)

1. Pengertian

Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) merupakan sindrom

kecemasan, labilitas otonomik, dan mengalami kilas balik dari pengalaman

yang amat pedih setelah stress fisik maupun emosi yang melampaui batas

ketahanan orang bisaa. Selain itu, PTSD dapat pula di definisikan sebagai

keadaan yang melemahkan fisik dan mental secara ekstrem yang timbul stelah

seseorang melihat, mendengar, atau mengalami suatu kejadian trauma yag

hebat dan atau kejadian yang mengancam kehidupannya (Sadock & Sadock,

2010).

Dalam Diagnostic and statistical manual of mental disorder, (DSM-

IV-TR), PTSD didefinisikan sebagai suatu kejadian atau beberapa kejadian

trauma yang dialami atau disaksiakan secara langsung oleh seseorang berupa

kematian atau ancaman kematian, cidera serius, ancaman terhadap integritas

fisik atas diri seseorang. Kejadian tersebut harus menciptakan ketakutan yang

ekstrem, horror, rasa tidak berdaya (Sadock & Sadock, 2010).

PTSD merupakan suatu sindrom yang dialami oleh seseorang yang

mengalami kejadian traumatik. Kondisi demikian akan menimbulkan

dampak psikologis berupa gangguan perilaku mulai dari cemas yang

berlebihan, mudah tersinggung, tidak bisa tidur, tegang, dan berbagai reaksi

9
13

lainnya. Gangguan stres pasca trauma (PTSD) kemungkinan berlangsung

berbulan-bulan, bertahun-tahun atau sampai beberapa dekade dan mungkin

baru muncul setelah beberapa bulan atau tahun setelah adanya pemaparan

terhadap peristiwa traumatik (Zlotnick dalam Durand & Barlow, 2006).

Menurut Michael Scott dan Stephen Palmer dalam bukunya Trauma and Post-

Traumatic Stress Disorder (2000) Post traumatic Stress Disorder (PTSD)

adalah efek psikologis dari jangka Panjang dan kejadian traumatis ekstrem

yang dialami seseorang.

Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Post Traumatic

Stress Disorder (PTSD) merupakan gangguan psikologi yang diakibatkan satu

atau lebih kejadian traumatik yang dialami atau disaksikan oleh seseorang

baik ancaman kematian, cidera fisik yang mengakibatkan ketakutan ekstrem,

horror, rasa tidak berdaya hingga berdampak mengganggu kualitas hidup

individu dan apabila tidak ditangani dengan benar dapat berlangsung kronis

dan berkembang menjadi gangguan stress pasca trauma yang kompleks dan

gangguan kepribadian.

2. Penyebab Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)

Menurut Yosep 2016, penyebab PTSD adalah sebagai berikut:

a. Trauma yang disebabkan oleh bencana

Yaitu, trauma yang dusebabkan oleh bencana alam seperti gempa bumi,

banjir, topan, kecelakaan, kebakaran dan bencana lainnya.

b. Trauma interpersonal attack


14

Korban pelecehan seksual, penyerangan dan penganiayaan fisik, peristiwa

criminal dan penculikan

c. Trauma akibat perang atau konflik bersenjata

Tentara yang mengalami kondisi perang, warga sipil yang menjadi korban

perang, korban terorisme atau pengeboman, tawanan perang dan

penyanderaan.

d. Trauma oleh penyakit berat

Penyakit kanker pada seseorang, penyakit jantung, gagal ginjal, AIDS, dan

penyakit yang mengancam jiwa lainnya.

3. Faktor-faktor penyebab PTSD

Stresor dapat berasal dari bencana alam, bencana yang diakibatkan

oleh ulah manusia, ataupun akibat kecelakaan. Stresor akibat bencana alam

antara lain: menjadi korban yang selamat dari tsunami, gempa bumi, tanah

longsor, badai. Kejadian trauma akibat ulah manusia antara lain: menjadi

korban banjir, penculikan, perkosaan, kekerasan fisik, melihat pembunuhan,

perang, dan kejahatan kriminal lainnya. Kejadian trauma juga dapat terjadi

akibat kecelakaan, baik yang menyebabkan cidera fisik maupun yang tidak.

Akan tetapi tidak semua orang akan mengalami PTSD setelah suatu peristiwa

traumatic, karena walaupun stresor diperlukan, namun stresor sendiri tidaklah

cukup untuk menyebabkan suatu gangguan. Maka dari itu, menurut Sadock

(2010), terdapat beberapa faktor lain yang harus dipertimbangkan,

diantaranya:

a. Faktor biologis
15

Teori biologis pada PTSD telah dikembangkan dari penelitian praklinik

model stress pada binatang yang didapatkan dari pengukuran variabel

biologis populasi klinis dengan PTSD. Banyak sistem neurotransmitter

telah dilibatkan dalam kumpulan data tersebut. Model praklinik pada

binatang tentang ketidakberdayaan, pembangkitan, dan sensitisasi yang

dipelajari telah menimbulkan teori tentang norepinefrin, dopamine, opiate

endogen, dan reseptor benzodiazepine dan sumbu hipotalamus-hipofisis-

adrenal. Pada populasi klinis, data telah mendukung hipotesis bahwa

noradrenergic dan opiate endogen, dan juga sumbu hipotalamus-hipofisis-

adrenal, adalah hiperaktif pada beberapa pasien dengan gangguan stress

pasca traumatic.

b. Faktor psikologi

Classical dan operant conditioning dapat diimplikasikan pada

perkembangan terjadinya PTSD. Stresor yang ekstrem secara tipikal

menimbulkan emosi yang negatif (sedih, marah, takut) sebagai bagian dari

gejala hyperarousal akibat aktivasi dari sistem saraf simpatis (fight or

flight respone). Classical conditioning terjadi pada saat seseorang yang

mengalami peristiwa trauma kembali ke tempat terjadinya trauma maka

akan timbul reaksi psikologi yang tidak disadari dan merupakan respon

reflek yang spesifik. Misalnya, pada anak yang mengalami kecelakaan

mobil yang serius akan timbul respon berupa ketakutan, berkeringat,

takikardi setiap kali melewati tempat kejadian tersebut. Operant

conditioning terjadi sebagai hasil dari pengalaman kejadian trauma yang


16

dialami sehingga didapatkan tingkah laku yang tidak disukai dan tidak

akan diulangi. Misalnya, pada anak yang mengalami kecelakaan mobil Ia

akan berusaha untuk menghindari berada didalam mobil. Modelling

meupakan mekanisme psikologikal lainnya yang turut berperan dalam

pekembangan gejala PTSD. Respon emosional orang tua terhadap

pengalaman traumatik anak merupakan prediksi terhadap keparahan gelaja

PTSD.

c. Faktor sosial

Dukungan sosial yang tidak adekuat dari keluarga dan lingkungan

meningkatakan risiko perkembangan PTSD setelah mengalami kejadian

traumatik. Penyebab gangguan bervariasi, tetapi stresor harus sedemikian

berat sehingga cenderung menimbulkan trauma psikologis pada

kebanyakan orang normal, walaupun tidak berarti bahwa semua orang

harus mengalami gangguan akibat trauma ini. Macam-macam stresor

tarumatik:

1) Menyaksikan peristiwa yang berakibat luka fisik atau kematian yang

menakutkan seperti korban tergulung ombak, tertimpa tanah longsor,

terlindas kendaraan, penganiayaan, terkena granat atau bom, kepala

terpancung, tertembak, pembunuhan masal atau tindakan brutal di luar

batas kemanusiaan.

2) Pengalaman berada dalam situasi terancam kematian atau keselamatan

jiwanya, misalnya huru-hara kerusuhan, bencana, tsunami, air bah atau

gunung meletus, peperangan, berbagai tindak kekerasan, usaha


17

pembunuhan, penganiayaan fisik dan mental-emosional,

penyanderaan, penculikan tindak kekerasan ataupun kecelakaan.

3) Mengalami tindak kekerasan dalam keluarga.

4) Mengalami secara aktual dan atau terancam mengalami perkosaan,

pelecehan, seksual yang mengancam integritas fisik dan harga diri.

5) Dipaksa atau terpaksa melakukan tindak kekerasan.

6) Kematian mendadak/ berpisah dari anggota keluarga/ orang yang

dikasihi.

7) Berhasil selamat dari tindak kekerasan, bencana alam/ kecelakaan

hebat.

8) Terpaksa pindah atau terusir dari kampung halaman.

9) Mendadak berada dalam keadaan terasing, tercabut dari lingkungan

fisik, budaya, kerabat, teman sebaya yang dikenal.

10) Terputusnya hubungan dengan dunia luar, dilarang melakukan

berbagai adat istiadat atau kebisaaan.

11) Kehilangan harta benda, sumber penghidupan, privasi (hak pribadi).

12) Berada dalam kondisi serba kekurangan pangan, tempat tinggal,

kesehatan.

4. Faktor Risiko Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)

Menurut National Center of PTSD (NCPTSD) 2013, terdapat beberapa faktor

yang berperan dalam meningkatkan risiko seseorang mengalami PTSD, antara

lain:

a. Berat dan dekatnya trauma yang dialami


18

Semakin berat trauma yang dialami dan semkakin dekat posisi seseorang

dengan suatu kejadian, maka semakin meningkatkan mengalami PTSD.

b. Durasi trauma dan banyaknya trauma yang dialami

Semakin lama/ kronik seseorang mngalami kejadian trauma semakin

berisiko berkembang menjadi PTSD. Trauma yang multiple lebih berisiko

menjadi PTSD.

c. Pelaku kejadian trauma

Semakin dekat hubungan antara pelaku dan korban semakin berisiko

menjadi PTSD. Selain itu, kejadian trauma yang sangat interpersonal

seperti kasus pemerkosaan juga salah satu faktor yang dapat menyebabkan

PTSD.

d. Jenis kelamin

Jenis kelamin perempuan menunjukkan tingkat kesulitan yang lebih tinggi

dibandingkan dengan laki-laki, dan perempuan dengan paparan bencana

tinggi, memiliki risiko PTSD yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-

laki (Aslam, 2014).

e. Status pekerjaan

Status pekerjaan dapat mempengaruhi timbulnya stress dan lebih lanjut

akan mencetuskan terjadinya perasaan tidak nyaman, sehingga lebih

berisiko untuk menderita PTSD.

f. Usia

PTSD dapat terjadi pada semua golongan usia tetapi anak-anak dan usia

tua (>60 tahun) merupakan kelompok usia yang lebih rentan mengalami
19

PTSD. Anak- anak memiliki kebutuhan dan kerentanan khusus jika

dibandingkan dengan orang dewasa, karena masih adanya rasa

ketergantungan dengan orang lain, kemampuan fisik dan intelektual yang

sedang berkembang, serta kurangnya pengalaman hidup dalam

memecahkan bernagai persoalan sehingga dapat memepengaruhi

perkembangan kepribadian seseorang.

g. Tingkat Pendidikan

Minimnya tingkat Pendidikan seseorang akan mempengaruhi tingginya

angka kejadian PTSD.

h. Riwayat gangguan psikiatri

Seseorang yang memiliki gangguan psikiatri lainnya seperti: depresi, fobia

sosial, gangguan kecemasan. Seseorang yang hidup ditempat pengungsian

(misalnya sedang berada di lokasi peperangan/ konflik di daerahnya) dan

kurangnya dukungan sosial baik dari keluarga maupun lingkungan juga

dapat memepengaruhi terjadinya PTSD.

5. Simptom-simptom Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)

a. Intrusive Re-Experiencing

Intrusive Re-Experiencing adalah selalu kembalinya peristiwa traumatic

dalam ingatan penderita. Gejalanya adalah sebagai berikut:

1) Perasaan, pikiran dan persepsi mengenai peristiwa muncul berulang

ulang;

2) Mimpi-mimpi buruk tentang peristiwa:


20

3) Pikiran-pikiran mengenai traumatic selalu muncul dalam bentuk ilusi,

halusinasi dan mengalami Flashback mengenai peristiwa:

4) Gangguan psikologis yang amat kuat ketika menyaksikan sesuatu yang

mengingatkan tentang peristiwa traumatic

5) Terjadi reaktifitas fisik, seperti menggigil, jantung berdebar kencang,

atau panik ketika bertemu yang mengingatkan peristiwa.

Penderitaan emosional yang mendalam muncul oleh stimuli yang

ditimbulkan oleh kejadian tersebut. Simptom ini tidak boleh diremehkan

karena dapat menyebabkan symptom lainnya (Ardani, 2011).

b. Avoidance

Yaitu selalu menghindari sesuatu yang berhubungan dengan trauma yang

berhubungan dengan trauma dan perasaan terpecah. Gejala-gejalanya

sebagai berikut:

1) Berusaha menghindari situasi, pikiran-pikiran atau aktivitas yang

berhubungan dengan peristiwa traumatic;

2) Kurangnya perhatian atau partisipasi dalam kegiatan sehari-hai;

3) Merasa terasing dari orang lain;

4) Membatasi perasaan-perasaan termasuk perasaan kasih sayang;

5) Perasaan menyerah dan takut pada masa depan, termasuk tidak

mempunyai harapan terhadap karir, pernikahan, anak-anak atau hidup

normal (Ardani, 2011).

c. Negative aterations in mood and cognition


21

Yaitu suatu penyimpangan secara persisten diantara lain menyalahkan diri

sendiri atau orang lain, berkurangnya minat melakukan aktivitas, dan

ketidakmampuan untuk mengingat aspek-aspek yang menjadi kunci dari

kejadian tersebut (APA, 2013)

d. Arousal

Yaitu kesadaran secara berlebihan, gejalanya antara lain sebagai berikut:

1) Mengalami gangguan tidur, atau bertahan untuk selalu tidur;

2) Mudah marah dan meledak-ledak;

3) Sulit untuk berkonsentrasi;

4) Kesadaran berlebih (hyper-arousal);

5) Penggugup dan mudah terkejut (Ardani, 2011)

6. Kriteria-kriteria diagnosis Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)

Menurut DSM-V

Diagnosis yang menyatakan seseorang mengalami Post Traumatic

Stress Disorder (PTSD) diberikan oleh Dokter Spesialis Jiwa ataupun mental

health professional (National Center for PTSD, 2013). Diagnose baru dapat

ditegakkan apabila gangguan ini timbul dalam kurun waktu 6 bulan setelah

kejadian traumatik berat (masa laten berkisar antara beberapa minggu sampai

beberapa bulan, jarang sampai melampaui 6 bulan). Namun kemungkinan

diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat

kejadian dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan dengan manifestasi

klinisnya adalah khas dan tidak didapat dari alternatif kategori gangguan
22

lainnya. Kriteria ini digunakan untuk dewasa, remaja dan anak-anak di atas 6

tahun:

a) Paparan terhadap ancaman atau kejadian kematian, cedera serius, atau

kekerasan seksual, dari satu (atau lebih) kriteria dibawah ini:

1) Langsung mengalami kejadian traumatis.

2) Menjadi saksi mata, peristiwa tersebut terjadi pada orang lain.

3) Menghadapi paparan berulang atau ekstrim kejadian traumatis yang

tidak diinginkan. Tidak termasuk paparan lewat media elektronik,

televise, film atau gambar yang berhubungan dnegan pekerjaan.

4) Adanya satu atau lebih gejala intrusi yang berhubungan dengan

kejadian traumatis (Re-experiencing), dimulai setelah kejadian

traumatis terjadi:

5) Kejadian traumatis yang berulang, tidak disadari, dan menjadi ingatan

yang terganggu.

6) Mimpi distress yang berulang berhubungan denan kejadian traumatis.

7) Reaksi disosiatif dengan berperilaku atau berperasaan seolah kejadian

traumatis terjadi kembali. (reaksi dapat terjadi berlanjut, dengan

ekspresi paling ekstrim dari kehilangan total kesadaran akan kondisi

disekelilingnya).

8) Distress psikologis yang terjadi secara intens atau berkepanjangan jika

berhadapan dengan hal atau symbol yang berkaitan dengan aspek

peristiwa traumatic baik sebagian atau seluruhnya secara internal atau

eksternal.
23

9) Reaksi fisiologis yang berhadapan dengan hal atau symbol yang

berkaitan dengan aspek peristiwa traumatik baik sebagian atau

seluruhnya secara internal atau eksternal.

b) Perilaku penghindaran yang menetap terhadap stimulus yang berkaitan

dengan peristiwa traumatik (avoidance), yang dialami dan disertai dengan

satu atau kedua gejala dibawah ini:

1) Usaha menghindari ingatan, pikiran, atau perasaan yang berhubungan

dengan kejadian traumatis.

2) Usaha untuk menghindari atau secara langsung menghindari pengingat

eksternal (orang, tempat, pembicaraan, aktivitas, objek, situasi) yang

menghidupkan ingatan, pikiran, atau perasaan yang berhubungan

dengan kejadian traumatis.

c) Perubahan negatif pada kognitif dan mood yang berhubungan dengan

kejadian traumatis (Negative alterations in mood and cognition), diawali

atau bertambah parah setelah kejadian traumatis terjadi, yang ditunjukkan

dengan dua atu lebih gejala dibawah ini:

1) Ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting kejadian traumatis

(bisa berhubungan dengan amnesia disosiatif dan tidak dipengaruhi

faktor lain seperti cedera kepala, alkohol, atau obat-obatan).

2) Kepercayaan yang persisten atau berlebihan atau ekspektasi tentang

seseorang, orang lain, atau dunia (contoh: “Saya buruk”,” Tidak ada

orang mempercayai saya”,” Dunia sangat berbahaya”, “seluruh sisitem

sarah saya tidak bekerja permanen”).


24

3) Gangguan kesadaran menetap tentang penyebab atau hasil dari

kejadian traumatis yang menyebabka individu menyalahkan diri

sendiri atau orang lain.

4) Emosi negatif yang menetap (contoh: ketakutan, horror, kemarahan,

perasaan bersalah, rasa malu).

5) Penurunan jelas akan ketertarikan atau partisipasi dalam aktivitas.

6) Merasa asing atau terpisah dari sekitarnya.

7) Ketidakmampuan untuk mengekspresikan emosi positif (contoh: tidak

dapat merasakan kebahagiaan, kepuasan atau rasa sayang).

d) Perubahan yang jelas pada kewaspadaan dan reaksi yang berhubungan

dengan kejadian traumatis (Hyperarousal), diawali atau bertambah parah

setelah kejadian traumatis terjadi, yang ditandai dengan dua atau lebih

gejala dibawah ini:

1) Perilaku gelisah dan mudah mengalami ledakan kemarahan (dengan

sedikit atau tanpa provokasi) yang ditandai dengan perkataan maupun

perbuatan pada orang lain atau objek tertentu.

2) Perilaku sembrono atau merusak diri sendiri.

3) Hypervigilance (peningkaan kewaspadaan).

4) Respon terkejut yang berlebihan.

5) Kesulitan berkonsentrasi.

6) Gangguan tidur.

7) Durasi dari gangguan (kriteria 1, 2, 3, 4, dan 5) terjadi lebih dari satu

bulan.
25

8) Gangguan menyebabkan penderitaan atau kerusakan dalm fungsi

sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.

9) Gangguan tidak disebabkan efek fisiologis dari zat (obat-obatan,

alkohol) atau kondisi medik umum lainnya.

e) Spesifikasi

Dengan gejala disosiatif: gejala individu memenuhi kriteria PTSD dan

sebagai respon terhadap stressor, individu juga mengalami gejala menetap

atau berulang seperti dibawah ini:

1) Depersonalisasi: pengalaman menetap atau berulang yang bersifat

subjektif bahwa dirinya terasa tidak nyata, asing, atau tidak familiar.

2) Derealisasi: pengalaman menetap atau berulang yang bersifat subjektif

terhadap lingkungan yang tidak nyata.

7. Jenis-Jenis Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)

Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) terbagi atas tiga jenis, yaitu:

(1) PTSD akut, yaitu dimana tanda dan gejalanya terjadi pada rentang waktu

1-3 bulan. Namun, bisaanya berakhir dalam kurun waktu satu bulan. Jika

dalam waktu lebih dari satu bulan, individu tersebut harus segera

menghubungi pelayanan kesehatan terdekat; (2) PTSD kronik, yaitu dimana

tanda dan gejalanya berlangsung lebih dari tiga bulan dan jika tidak ada

treatment yang dilakukan maka dapat bertambah berat sehingga akan

mengganggu kehidupan sehari-hari orang tersebut; (3) PTSD with delayed

onset, walaupun sebenarnya tanda dan gejala PTSD muncul pada saat setelah

trauma, ada kalanya tanda dan gejalanya baru muncul minimal enam bulan
26

bahkan bertahun-tahun setelah peristiwa traumatic itu terjadi. Hal ini timbul

pada saat memperingati hari kejadian traumatis tersebut atau bisa juga karena

individu mengalami kejadian traumatis lain yang akan mengingatkan terhadap

peristiwa traumatasi masa lalunya (Sadock & Sadock, 2010).

B. Penyintas Gempa

1. Penyintas

Istilah “penyintas” muncul pertama kali pada tahun 2005.

Kemunculannya bukan dari kalangan ahli sastra atau pun linguistic. Kata ini

muncul dari para pegiat alias aktivis LSM dalam konteks bencana. Para pegiat

ini memerlukan kata yang lebih pendek untuk menerjemahkan kata

“survivor”. Mereka paling tidak harus menggunakan tiga patah kata, yakni

“korban yang selamat” (Juneman, 2010).

Menurut KBBI 2007, penyintas berasal dari kata “sintas” yang

mempunyai makna “terus bertahan hidup” atau “mampu mempertahankan

keberadaannya” lalu untuk menunjukkan pelaku sintas, maka diberikan

awalan “pe-”, sehingga menjadi penyintas.

2. Bencana Gempa

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam

dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan,

baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia

sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan


27

lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (Undang-undang

No.24 tahun 2007 tentang penanggulan bencana).

Jenis-jenis bencana menurut Undang-undang No 24 tahun 2007, antara

lain: (1) bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau

serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa

bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan dan tanah

longsor; (2) Bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh

peristiwa atau rangkaian peristiwa non-alam, berupa gagal teknologi, gagal

modernisasi, epidemi dan wabah penyakit; (3) bencana sosial adalah bencana

yang diakibatkan oleh peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi

konflik sosial antar-kelompok atau antar-komunitas masyarakat dan teror,

(BNPB) konflik sosial antar-kelompok atau antar-komunitas masyarakat dan

teror (BNPB, 2012)

C. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

Simptom:
POST
TRAUMATIC 1. Re-experiencing
STRESS 2. Avoidance
DISORDER 3. Negative alterations
in mood and
cognitions
4. Hyperousal

Skema 2.1 Kerangka konsep penelitian PTSD pada penyintas gempa

Keterangan:

: diteliti
28

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain deskriptip analitif. Metode deskriptip analitif

adalah suatu metode yang berfungsi untuk mendeskripsikan atau memberikan

gambaran terhadap objek yang diteliti melalui data atau sampel yang telah

terkumpul sebagaimana adanya (Sugiyono, 2014). Dalam hal ini penelitian yang

mendeskripsikan bagaimana gambaran Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)

pada Penyintas Pasca Gempa di Wilayah Kerja PKM Sembalun.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja PKM Sembalun

2. Waktu penelitian

Penelitian dimulai pada bulan Agustus s/d September 2020, meliputi

persiapan, pelaksanaan dan penyusunan laporan.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah seluruh data yang menjadi perhatian dalam suatu ruang

lingkup dan waktu yang ditentukan (Margono, 2011). Populasi dalam

penelitian ini adalah para korban selamat yang berada di wilayah kerja PKM

Sembalun yang masih mengalami perasaan trauma terhadap bencana gempa.

28
29

Berdasarkan data dari PKM Sembalun dan survey yang dilakukan peneliti

maka didapatkan 323 orang sebagai populasi penelitian.

2. Sampel

Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik simple

ramdom sampling, yaitu teknik pengambilan sampel yang langsung dilakukan

pada unit sampel. Teknik pengambilan sampel ini memungkinkan setiap unit

sampling sebagai unsur populasi memperoleh peluang yang sama untuk

menjadi sampel (Margono, 2011).

Margono (2011), menyatakan bahwa penetapan besar kecilnya sampel

tidaklah ada suatu ketetapan yang mutlak, artinya tidak ada suatu ketentuan

berapa persen suatu sampel harus diambil. Oleh karena itu, penulis

mengambil sampel 15% dari jumlah populasi sehingga jumlah sampelnya

adalah 15% x 323= 48. Jadi jumlah sampel yang dibutuhkan adalah 48

responden.

Responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini harus memenuhi kriteria

inklusi dan eksklusi, kriteria tersebut antara lain:

a. Kriteria inklusi antara lain:

1) Bersedia menjadi responden

2) Mengalami sendiri peristiwa gempa

3) Responden yang berusia minimal 12 tahun

b. Kriteria eksklusi antara lain:

1) Tidak berada ditempat saat dilakukan penelitian

2) Responden yang berusia kurang dari 12 tahun


30

D. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

1. Variabel penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah kejadian Post Traumatic Stress Disorder

(PTSD) pada penyintas pasca gempa

2. Definisi Operasional

Adapun definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Tabel 3.1 Definisi Operasional

Variabel Definisi variabel Instrument Hasil ukur Skala

Post kejadian trauma yang kuisioner Post Menunjukkan Ordinal


traumati dialami atau disaksikan Traumatic simtom Re-
c stress secara langsung oleh Stress experiencing,
disorder seseorang yang Disorder minimal 1
(PTSD) menunjukkan symptom (PTSD) simptom.
khas, yaitu: screening
1) Re-experiencing, (PCL) yang Menunjukkan
mengalami kembali bersumber dari simtom
peristiwa traumatic National avoidance,
2) Avoidance, Center for minimal 1
menghindar dari hal- PTSD simtom.
hal yang dapat (NCPTSD)
Menunjukkan
mengingat peristiwa dengan jumlah
simtom negative
traumatic pertanyaan
alterations in
3) Negative Alterations sebanyak 20
mood cognition,
in mood and item. Pilihan
minimal 2
cognition, perubahan jawaban:
simtom.
negative pada
kognitif 1= tidak
Menunjukkan
4) Hyperousal, pernah
simtom
perubahan yang jelas hyperarousal,
2= jarang
pada kewaspadaan minimal 2
3= kadang- simtom.
kadang (Sumber: DSM-
v, 2013;
4= sering NCPTSD, 2013)
5= selalu
31

E. Instrumen Penelitian

Kuisioner yang mengukur tanda dan gejala gangguan stres pascatrauma

yang digunakan dalam penelitian ini merupakan instrumen Post Traumatic Stress

Disorder (PTSD) Screening (PCL) yang bersumber dari National Center for

PTSD (NCPTSD, 2013), dimana kuisioner diterjemahkan terlebih dahulu ke

dalam Bahasa Indonesia.

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 2

bagian yaitu: kuisioner data demografi dan kuisioner tanda dan gejala gangguan

stress pascatrauma atau Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Kuisioner

demografi terdiri dari usia, jenis kelamin, agama, pendidikan, status keluarga

berupa ada tidaknya orang tua, jumlah saudara, pekerjaan orang tua, dan suku.

Kuisioner terdiri dari 17 pertanyaan yang terdiri dari 4 kelompok. Pertanyaan

nomor 1-5 merupakan kelompok simtom re-experiencing, pertanyaan nomor

6,7,10,11,12 merupakan kelompok simtom avoidance, pertanyaan nomor 8 dan 9

merupakan kelompok simtom negative alterations in mood and cognition, dan

pertanyaan nomor 13-17 merupakan kelompok hyperarousal. Dalam penentuan

skoring diberi pilihan jawaban Selalu (SL) = 5, Sering (SR) = 4, Kadang-kadang

(KD) = 3, Jarang (JR) = 2, Tidak Pernah (TP) = 1. Jawaban responden untuk

kategori 3-5 dianggap memiliki salah satu simtom PTSD, sedangkan jawaban

untuk kategori 1-2 dianggap tidak memiliki salah satu simtom PTSD, dengan

mengikuti ketentuan kriteria diagnostik PTSD dari DSM-V-TR:

- Minimal memiliki 1 simtom re-experiencing (pernyataan 1-5)

- Minimal memiliki 1 simtom avoidance (pernyataan 6,7,10,11,12)


32

- Minimal memiliki 2 simtom negative alterations in mood and

cognition (pernyataan 8 dan 9)

- Minimal memiliki 2 simtom hyperarousal (pernyataan 13-17)

Tabel 3.2 kisi-kisi kuisioner

Variabel Sub variabel dan indicator Pernyataan jumlah

Post Mengalami kembali (re- Unfavorabel 5


Traumatic experiencing)
Stress
Disorder Penghindaran (avoidance) Favorable 5
(PTSD) Negative alterations in mood Unfavorable
and cognition 2

Peningkatan kesadaran
(hyperarousal) Favorable
5

Total 17

Sumber: National Center for PTSD (NCPTSD) 2013

F. Uji Validitas dan Reliabilitas

1. Uji validitas

Uji validitas dilakukan untuk mengetahui apakah kuisioner yang kita

susun, mampu mengukur apa yang hendak kita ukur menurut situasi dan

kondisi tertentu (Notoatmodjo, 2012). Kuisioner yang digunakan dalam

penelitian ini merupakan instrument Post Traumatic Stress Disorder yang

bersumber dari NCPTSD tahun 2013 dimana sebelumnya telah dilakukan uji

validitas dengan nilai CVI 0,96.


33

Kemudian untuk menyesuaikan dengan kejadian yang akan diteliti,

beberapa pertanyaan dari kuisioner disusun kembali dengan bahasa yang lebih

efektif oleh seorang tenaga ahli dari Fakultas Keperawatan Jiwa Universitas

Sumatera Utara yaitu Roxsana Devi T, S.Kep, Ns, Mnurs. pada tahun 2017.

Setelah dilakukan uji validitas maka didapatkan nilai CVI 1. Hal ini berarti

instrument penelitian yang digunakan dalam penelitian ini telah valid, ini

dibuktikan berdasarkan teori, bahwa nilai validitas CVI adalah 0,86 -1 (Polit

& Beck, 2012).

2. Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas bertujuan untuk mengetahui seberapa besar derajat atau

kemampuan alat ukur. Alat ukur dinyatakan reliabel apabila dilakukan uji

reliabilitas dan diperoleh nilai cronbach’s alpha>0,60 (Polit & Beck, 2012).

Uji reliabilitas pada kuisioner ini telah dilakukan oleh Sarah Arnika

pada 20 orang korban bencana erupsi Gunung Sinabung pada Maret 2017, lalu

didapatkan nilai cronbach’s alpha 0,875. Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa kuisioner PTSD yang digunakan dalam penelitian ini adalah reliabel.

G. Prosedur Penelitian

1. Tahap Pelaksanaan

a. Peneliti mengajukan surat permohonan izin kepada Badan Pengelolaan

Daerah (BAPEDA) Kabupaten Lombok Timur untuk melaksanakan

penelitian.

b. Peneliti melakukan pendekatan kepada Kepala Puskesmas Sembalun

Kabupaten Lombok Timur


34

c. Peneliti melakukan pendekatan kepada klien untuk mendapatkan

persetujuan dari klien sebagai responden penelitian.

d. Peneliti menerangkan tujuan penelitian kepada responden.

e. Peneliti memberikan lembar persetujuan responden untuk ditandatangani.

f. Peneliti memberikan kuisioner kepada responden untuk mempelajari

terlebih dahulu, bila ada pertanyaan yang sulit dimengerti.

g. Peneliti mempersilahkan responden untuk mengisi kusioner.

h. Peneliti melakukan pengolahan dan analisis data.

i. Peneliti menarik kesimpulan atau generalisasi.

j. Peneliti menyusun dan mempublikasikan laporan penelitian.

2. Tahap pengolahan data

a. Editing

Editing dilakukan untuk meneliti kembali kuisioner yang sudah diisi.

Editing meliputi kelengkapan pengisian dan kesalahan pengisian.

b. Coding Data

Setelah data diteliti, langkah berikutnya yang dilakukan adalah memberi

kode pada hasil kuisioner. Penentuan skor kuisioner pada setiap aspek,

sebagai berikut:

1) Minimal memiliki 1 simtom (re- experiencing)

 Iya, diberi kode 1

 Tidak, diberi kode 2

2) Minimal memiliki 1 simstom Penghindaran (avoidance)

 Iya, diberi kode 1


35

 Tidak, diberi kode 2

3) Minimal memiliki 2 simtom Negative Aterations In Mood Cognition

 Iya, diberi kode 1

 Tidak, diberi kode 2

4) Minimal memiliki 2 simtom Peningkatan Kesadaran (hyperarousal)

 Iya, diberi kode 1

 Tidak, diberi kode 2

c. Scoring

Dilakukan setelah coding hasil observasi responden sebagai berikut:

1) untuk pernyataan Favorable

 Selalu (S) : skor 1

 Sering (SR) : skor 2

 Kadang-kadang (KK) : skor 3

 Jarang (J) : skor 4

 Tidak Pernah (TP) : skor 5

2) Untuk pernyataan Unfavorable

 Selalu (S) : skor 5

 Sering (SR) : skor 4

 Kadang-kadang (KK) : skor 3

 Jarang (J) : skor 2

 Tidak Pernah (TP) : skor 1

d. Entry Data
36

Setelah dilakukan pengkodean, kemudian dilakukan pemasukan data ke

dalam software computer dengan SPSS.

e. Tabulating Data

Tabulasi data merupakan kelanjutan dari entry data dan disajikan dalam

bentuk grafik dan tabel.

H. Analisis Data

Analisis data menggunakan analisis univariate, yaitu analisis yang

menggambarkan karakteristik setiap variabel (Sugiyono, 2014). Sub variabel

karakteristik responden (Re-experince, avoidance, simtom negative alterations in

mood and cognition dan hyperarousal). Variabel dalam penelitian ini adalah

kejadian Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pada penyintas pasca gempa di

wilayah kerja PKM Sembalun

Hasil analisisnya selanjutnya disajikan dengan menggunakan tabel

distribusi frekuensi relatif dan presentase data demografi serta data gambaran

tingkat Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pada penyintas gempa.

I. Etika Penelitian

Penelitian keperawatan merupakan masalah yang sangat penting dalam

penelitian, mengingat penelitian keperawatan berhubungan langsung dengan

manusia. Menurut Masturoh 2018, beberapa hal yang berkaitan dengan etika

penelitian yaitu sebagai berikut:

1. Lembar persetujuan (Informed Consent)

Lembar persetujuan merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dan

responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Lembar


37

persetujuan tersebut diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan

memberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden. Tujuan lembar

persetujuan adalah agar subyek mengerti maksud dan tujuan penelitian, serta

mengetahui dampaknya.

2. Tanpa nama (Anomimity)

Masalah etika keperawatan merupaakn masalah yang memberikan jaminan

dalam penggunaan subyek penelitian dengan cara tidak memberikan atau

mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan

kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitianyang disajikan.

3. Kerahasiaan (Confidentialy)

Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan

keberhasilan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah

lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya

oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil

riset.

4. Pengunduran diri

Jika responden yang mengundurkan diri sebagai responden, maka hal itu

adalah suatu kelaziman dan tidak ada yang boleh melarang termasuk peneliti

sendiri.
38

DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. 2013. Diagnostic and Statistical Manual of Mental

Disorder Edition “DSM-5”. Washington DC: American Psychiatric

Publishing. Washington DC.

Anies. 2017. Negara Sejuta Bencana. Identifikasi, Analisis, dan Solusi Mengatasi

Bencana dengan Manajemen Kebencanaan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Ardani, Tristriadi. 2011. Psikologi Abnormal. Bandung: CV. Lubuk Agung.

BMKG. 2018. Ulasan Guncangan Tanah Akibat Gempa Lombok Timur 29 Juli 2018.

Diambil tanggal 20 Juli 2020 dari https:/www.bmkg.go.id

BNPB. 2012. Definisi dan Jenis Bencana. Diambil tanggal 18 Juli 2020 dari

https:/www.bnpb.go.id/page/read/5/definisi-dan-jenis-bencana

Erwina, I. 2010. Pengaruh Cognitive Behaviour Therapy terhadap Post-Traumatic

Stress Disorder pada Penduduk Pasca Gempa di Kelurahan Air Tawar Barat

Kecamatan Padang Utara Provinsi Sumatera Barat. Published Tesis. Program

Magister Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Jakarta.

Gulo, Frida Nov Kristina. 2015. Gambaran Post Traumatic Stress Disorder (Ptsd)

pada Remaja Teluk Dalam Pasca 8 Tahun Bencana Gempa Bumi di Pulau

Nias diakses pada http://bit.ly/2FLYICL tanggal 17 April 2018 pukul 23:27

WIB

Juneman, Abraham. 2010. Psikologi Pelayanan Penyintas Bencana. Merpsy

Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2020. Penyintas. Dalam:

http:/pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/
39

Keliat, B.A., Akemat., Helena, N., Nurhaeni, H. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa

Komunitas CMHN Basic Course. Jakarta: EGC

Kementrian Kesehatan RI. 2017. Profil Kesehatan Indonesia 2017. Jakarta:

Kemenkes RI. Diambil dari

http:/www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-

indonesia/Profil-Kesehatan-Indonesia-tahun-2017

Kompas.tv. 2018. Ini Kesaksian Korban Gempa Lombok. Diambil dari

http:/www.kompas.tv/article/29939

Margono, S. 2011. Metodologi penelitian pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta

NCPTSD. 2013. Using The PTSD Checklist (PCL). Diambil tanggal 12 Juli 2020

dari http:/www.ptsd.va.gov

Notoatmodjo, S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta

Polit, D.F. and Beck, C.T. (2012) Nursing Research: Generating and Assessing

Evidence for Nursing Practice. 9th Edition, Lippincott, Williams & Wilkins,

Philadelphia. Press.

Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia Alcott. 2010. Anxiety Disorder in :

Kaplan Sadock’s Synopsis of Psychiatry : Behavioral Sciences / Clinical

Psychiatry, 10th Edition.New York: Lippincott Williams & Wilkin. Hal 580IV

Text Revision). Washington, DC: American Psychiantric Association Press

Yosep, I. (2011). Keperawatan Jiwa (Edisi Revisi). Bandung: Refika Medika.

Anda mungkin juga menyukai