Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH UJI ABSORBSI OBAT SECARA IN VITRO, IN

VIVO, DAN IN SITU


(Matakuliah Biofarmasetika)

Disusun Oleh:
1. syahnaz s agatha rm (2018141031)
2. Rr Karina Pambudi (2019142021)
3. Elyas Bukhori (2017141005)
4. Dyah ayu sekarmas (2019143007)
5 syaifur Rahman 2019142023
6. Riska dwi astuti 2017141016
7. Arinta Mayang (2019142002)
8. Rantika Purbowati (2017141029)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


FAKULTAS SAINS, TEKNOLOGI, DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS SAHID SURAKARTA
2019
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pada umumnya, manusia sering mengonsumsi makanan ataupun obat-obatan secara

oral. Obat yang sering diberikan secara oral akan diteruskan ke dalam sirkulasi sistemik yang

disebut sebagai proses absorbsi.

Absorbsi obat merupakan suatu proses pergerakan obat dari tempat pemberian ke

dalam sirkulasi umum di dalam tubuh. Absorbsi obat dari saluran pencernaan ke dalam darah

umumnya terjadi setelah obat tersebut larut dalam cairan di sekeliling membrane tempat

terjadinya absorbsi. Absorbsi obat akan lebih baik jika semakin baik kelarutannya dalam

lipida sampai absorbsi optimal tercapai. Faktor utama yang mempengaruhi absorbsi obat

yaitu karakteristik sifat fisika kimia molekul, property dan komponen cairan gastrointestinal

serta sifat membrane absorbsi (Banker, 2002).

Luas permukaan dinding usus, kecepatan pengosongan lambung, pergerakan saluran

cerna dan aliran darah ke tempat absorbsi, semuanya mempengaruhi laju dan jumlah absorbsi

obat walaupun ada variasi. Agar suatu obat dapat mencapai tempat kerja di jaringan/organ,

obat tersebut harus melewati berbagai membran yang memiliki struktur lipoprotein (Shargel,

2005)

in vitro dimaksudkan untuk memperoleh informasi tentang mekanisme absorpsi suatu

bahan obat, tempat terjadinya absorpsi yang optimal, permeabilitas membrane saluran

pencernaan terhadap berbagai obat, serta pengaruh berbagai faktor terhadap absorpsi suatu

obat. in vivo mengacu pada eksperimen menggunakan keseluruhan organisme hidup. In vivo
berusaha menghindari penggunaan organisme secara parsial atau organisme mati. in situ

melalui usus halus didasarkan atas penentuan kecepatan hilangnya obat dari lumen usus

halus. Metode ini digunakan untuk mempelajari berbagai faktor yang berpengaruh terhadap

permeabilitas dinding usus. pengembangan lebih lanjut dapat digunakan untuk merancang

obat dalam upaya mengoptimalkan kecepatan absorpsinya untuk obat-obat yang sangat sulit

atau praktis tidak dapat terabsorpsi

Absorbsi obat berkaitan dengan mekanisme input obat ke dalam tubuh dan kedalam

jaringan atau organ di dalam tubuh. Disposisi dapat dibedakan menjadi distribusi dan

eliminasi. Setelah obat memasuki sirkulasi sistemik pbat didistribusikan ke jaringan tubuh.

Penetrasi obat ke dalam jaringan bergantung pada laju aliran darah ke jaringan, karakteristik

pasrisi antara darah dan jaringan tercapai (Sinko, 2012).

Pada obat yang diberikan secara peroral absorbs obat dapat terjadi pada saluran cerna.

Jadi saluran cerna memegang peranan penting terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi

perubahan laju dan keberadaan absorbs obat.

Faktor-faktor tersebut diantaranya : Sawar membrane saluran cerna, pH saluran cerna,

kestabilan obat dalam saluran cerna, Interaksi obat dan kompleksasi

Bila diasumsikan bahwa dalam saluran cerna tidak ada yang menghalangi absorbsi

setelah obat berada dalam keadaan terlarut, maka obat (molekul) harus kontak dengan saluran

cerna kalau obat itu telah terdifusi dari cairan salran cerna ke permukaan membran

Disolusi dan absorbsi obat dalam saluran cerna tidak sederhana karena pH cairan bulk

bisa berbeda secara bermakna dari pH lapisan stationer di sekeliling partikel-partikel obat.

Pengisi, pengikat dan zat penambah lainnya dalam bentuk sediaan bisa juga dipengaruhi oleh

pH. pH partisi absorbsi obat dari saluran cerna bisa dipengaruhi oleh pH cairan dan pKa obat

tersebut tapi prinsip ini juga harus dilihat dengan beberapa hal yang harus diperhatikan

seperti setelah diterangkan sebelumnya.


Faktor-faktor lain seperti:

 Tempat absorbsi spesifik dan luas permukaan dari berbagai daerah saluran cerna

mungkin sama pentingnya atau lebih penting dari pertimbangan asam basa.

 Usus halus mempunyai luas permukaan untuk absorbsi yang jauh lebih besar diabsorbsi

di sana tanpa melihat pertimbangan pH atau pKa .

Sebagian besar obat merupakan asam atau basa organic lemah. Ansorbsi obat

dipengaruhi oleh derajat ionasasinya pada waktu zat tersebut berhadapan dengan membrane-

membran sel lebih permeable terhadap bentuk obat yang tidak terionkan daripada bentuk

terionkan. Derajat ionisasi tergantung pada pH larutan dan pKa

Semakain besar nilai Ka, maka kesetimbangan bergesr kenan, semakin sempurna

suatu asam terionisasi, semakin banyak ion H +, maka semakin asam. Bala nilai Pka kecil

maka obat bersifat asam. pH fisiologis lambung = 1-3, pH usus halus = 5,7 - 8, pH plasma

darah = 7,4
BAB II

PEMBAHASAN

Ketersediaan obat dalam sirkulasi sistemik ditentukan oleh proses disintegrasi produk

obat, pelarut obat dalam media aqueous, dan absorbsi melewati membran sel menuju sirkulasi

sistemik (Aiache dan Herman, 1993; Shargel & Yu, 1999). Absorpsi suatu obat dapat

didefinisikan sebagai proses perpindahan obat dari tempat pemberiannya, melewati sawar

biologis ke dalam aliran darah maupun ke dalam sistem limfatik (Lacy et al., 2006).

Mekanisme absorbsi obat dapat meliputi difusi pasif, transport konfektif, transport aktif,

transport fasilitatif, transport pasangan ion dan pinositosis (Ritschel, W.A, 1976). Absorpsi

obat dapat terjadi dan dapat ditentukan dengan beberapa cara yaitu metode in vitro, metode in

situ, dan metode in vivo.

Studi absorbsi dapat dilakukan baik dengan uji in vivo, in vitro, maupun in situ

tergantung pada kondisi mana yang memungkinkan untuk dilakukan dan paling

menggambarkan proses absorbsi sebenarnya ketika obat dikonsumsi. Uji in vivo biasa

dilakukan melalui uji farmakokinetika dan uji intubasi in vivo. Dalam uji farmakokinetika

dilakukan penentuan kadar obat dalam plasma/serum/whole blood setelah pemberian yang

sama seperti rute pemberian pada pasien sebenarnya. Pengukuran tersebut akan menghasilkan

profil kadar obat yang dapat digunakan untuk memprediksi kinetika/orde proses absorbs,

kecepatan absorbs, klirens, kecepatan eliminasi, serta volume distribusi. Salah satu yang

perlu diperhatikan adalah terkait jumlah dan waktu sampling. Subjek uji untuk uji

farmakokinetika ini dapat berupa hewan uji (mencit, tikus, kelinci, marmot, dll) tergantung
pada kemiripan fungsi fisiologis dengan manusia. Uji farmakokinetka umumnya dilakukan

pada kondisi puasa dengan tujuan untuk meminimalisasi adanya pengaruh makanan terhadap

proses absorbs dan proses farmakokinetika. Data dari uji farmakokinetika dapat dianalisis

dengan Metode Residual, Metode Wagner-Nelson, Metode Loo-Riegelmen, Modelling and

Curve Fitting, serta metode data urin.

Metode uji in vitro merupakan metode uji absorbsi obat yang dilakukan di luar tubuh

makhluk hidup, dapat menggunakan organ terisolasi maupun lainnya. Uji in vitro terdiri dari

beberapa jenis yaitu uji permeasi (uji difusi, metode usus terbalik, maupun caco-2 cell

monolayer), uji disolusi, maupun uji disintegrasi. Nursamsiar, et all. (2016) dalam

penelitiannya menggunkan metode Human Intestinal Absorption (HIA) dan sel Caco-2 ,

dimana penelitian yang dilakukan untuk memprediksi absorbsi suatu senyawa obat. Sel Caco-

2 merupakan model in vitro untuk mengetahui transport obat melalui epitel intestinal yang

berasal dari adenocarcinoma kolon manusia yang memiliki jalur transportasi ganda. HIA

merupakan penjumlahan dari bioavailabilitas dan absorbsi yang dievaluasi dari rasio eksresi

melalui urin, empedu, dan feses (Nursamsiar, et all., 2016).

Metode uji in situ merupakan suatu metode uji yang dilakukan dengan organ target

tertentu yang masih berada dalaam sistem organisme hidup. Bedanya dengan uji in vivo yaitu

pada uji in situ organ target tersebut diusahakan tidak dipengaruhi oleh organ lain sehingga

profil obat yang diamati hanya berdasarkan pada proses yang terjadi pada organ tersebut

tanpa dipengaruhi oleh proses yang terjadi pada organ lain. Sedangkan bedanya dengan uji in

vitro adalah organ pada uji in situ masih menyatu dengan sistem organisme hidup, masih

mendapat supply darah dan oksigen.


BAB III

PENUTUP

M. AFFANDI
DAFTAR PUSTAKA

http://oppybaba.blogspot.com/2014/04/uji-absorsi-in-vitro-senyawa-asam_5463.html

Martin. 1993. Farmasi Fisik Dasar-Dasar Kimia Fisik dalam Ilmu Farmasetik.
Diterjemahkan oleh Yoshita. UII Press. Yogyakarta.
Sinko. 2011. Farmasi Fisika dan Ilmu Farmasetika Martin. Diterjemahkan oleh
Djajadisastra. EGC. Jakarta.
Syukri. 2002. Biofarmasetika. UII Press. Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai