TEORI TOKSIKOLOGI
1. Jelaskan tentang analisis secara kualitatif dan kuantitatif dalam toksikologi klinik !
Jawaban :
Tujuan utama dari analisis kualitatif (test penapisan dan identifikasi) adalah untuk
mengetahui atau memastikan toksikan sebagai penyebab instoksika-sinya. Makna dari analisis
kualitatif adalah untuk memastikan diagnosa awal (screnning) terhadap dugaan instoksikasi.
Analisis pendahuluan ini dapat berupa tes rekasi warna, terha-dap toksikan yang terdapat
dalam materi biologi (darah, urin, cucian lambung), sisa tablet atau makanan. Belakangan ini
telah berkembang dengan pesat metode uji penapisan yang lebih sederhana dalam
pengerjaannya dan memberikan hasil yang lebih spesifik dibandingkan rekasi warna, yaitu
metode immunokimia ”immunoassay”. Sedangkan dari hasil analisis kuantitatif
dimungkinkan untuk menarik dugaan tingkat toksisitas dari pasien. Hasil analisa kualitatif dan
kuantitatif nanti akan dihubungkan dengan gejala klinik yang terjadi. Dalam hal ini diperlukan
interpretasi konsentrasi toksikan, baik di darah maupun di urin, yang lebih seksama. Untuk
mengetahui tepatnya tingkat toksisitas pasien, biasanya diperlukan analisis toksikan yang
berulang baik dari darah maupun urin. Dari perubahan konsentrasi di darah akan diperoleh
gambaran apakah toksisitas pada fase eksposisi atau sudah dalam fase eleminiasi.
2. Jelaskan gejala klinis dan analisis racun secara pararel yang harus diperhatikan dalam
menegakkan diagnosa dari suatu kasus keracunan !
Jawaban :
Hasil analisis toksikologi dapat memastikan diagnosa klinis, dimana diagnosa ini dapat
dijadikan dasar dalam melakukan terapi yang cepat dan tepat, serta lebih terarah, sehingga
ancaman kegagalan pengobatan (kematian) dapat dihindarkan. Menurut Clarmann (1987),
terdapat dua jalan paralel yang dapat dilakukan dalam menegakkan diagnosa dari suatu kasus
keracunan, yaitu :
a. Melalui gejala-gejala klinis, dimana gejala ini dapat dibedakan menjadi:
Simtom, biasanya simtom dapat diamati oleh manusia dengan menggunakan
panca indranya. Simtom ini pada umumnya dijadikan dasar dalam memberikan
pertolongan pertama pada keracunan.
Gambaran klinis, untuk mendapatkan gambaran klinis diperlukan alat-alat
tertentu, seperti Rongen, laboratorium, dan sebagainya,
Proses, yaitu informasi proses keracunan dan gejala klinis yang ditimbulkan.
Peroses dapat diamati sediri oleh dokter atau diperoleh dari informasi pasien
atau pendampingnya.
b. Dari proses diagnosa seperti diatas akan diperoleh diagnosa yang spesifik dan
terarah, sehingga hasil diagnosa ini merupakan diagnose akhir pada kasus keracunan.
Dari pengalaman, Clarmann menemukan, bahwa sekitar 20% dari kasus instoksikasi,
diagnosa akhir ditegakkan melalui hasil analisis toksikologi. Dengan lain kata,
hampir satu dari setiap lima kasus keracunan adalah salah diagnosa jika diagnosa
hanya didasarkan pada gejala klinis saja. Analisis toksikologi klinik dapat berupa
analisis kualitatif maupun kuantitatif. Dari hasil analisis kualitatif dapat dipastikan
bahwa kasus keracunan adalah memang benar diakibatkan oleh instoksikasi.
Sedangkan dari hasil analisis kuantitatif dapat diperoleh informasi tingkat toksisitas
pasien.
4. Jelaskan secara lengkap mekanisme kerja toksik/ racun secara klinis melalui tahapan fase
eksposisi, fase farmakokinetika, dan fase farmakodinamika untuk :
a. Narkotika golongan Opioida
b. Senyawa Karbo monoksida (CO)
c. Senyawa Logam Berat
Jawaban :
a. Opioid
Fase Eksposisi dari senyawa opiod diawali dengan masuknya senyawa ini
kedalam tubuh melalui suntikan, oral, ataupun inhalasi. Tanaman opium, Papaver
somniferum, adalah sumber opium. Tanaman ini mengandung lebih dari 20 alkaloid,
termasuk morfin dan kodein. Mengubah struktur morfin menghasilkan banyak opioid
semisintetik, termasuk heroin, hydrocodone, hydromorphone, dan thebaine
(prekursor oxycodone dan naloxone).Morfin, kodein, opium dan derivat semi sintetik
dari morfin, termasuk golongan obat yang disebut opiat. Di dalam tubuh senyawa ini
akan menimbulkan efek didalam tubuh saat bereaksi dengan reseptor opiod didalam.
Fase Farmakokinetik, Secara umum, sebagian besar metabolisme opioid
terjadi di hati. Tingkat basal metabolisme ditentukan oleh genetik, jenis kelamin,
usia, serta lingkungan termasuk pola makan, keadaan penyakit, dan penggunaan
bersamaan obat . Kebanyakan opioid dimetabolisme oleh glucuronidation atau oleh
P450 ( CYP ) sistem
Sebagian besar opioid oral diserap sepenuhnya dari saluran pencernaan dan
mencapai kadar puncak dalam 1 sampai 1 ½ jam. Metabolisme lintas pertama (first-
memiliki rasio potensi oral/parenteral yang lebih tinggi dan memiliki bioavailabilitas
menentu oleh rute ini. Menghirup asapheroin atau merokok yang dicelupkan ke
yang dihirup dan intravena mencapai kadar puncak dalam waktu 1 sampai 5 menit
dalam tubuh, dengan berbagai cara termasuk hirupan, isapan, suntikan subkutan, atau
intravena.
dan hanya sebagian kecil (2-12%) diekskresi tanpa mengalami perubahan bentuk.
Metabolit yang terbesar (60-80%) diekskresi melalui urine dan hanya jumlah kecil 5-
14% diekskresi di dalam feses. Konsentrasi morfin dalam urin dalam dosis terapetik
diekskresi dalam urine terutama dalam bentuk glukoronida. Jika masuk melalui
suntikan heroin dengan cepat mengalami reaksi deasetilasi menjadi MAM (Mono
ditemukan dalam urine dalam waktu 20-40 jam setelah pemberian secara intravena.
Metabolit lainnya yaitu MAM (1,3%), Morfin bebas (4,2%), Heroin yang tidak
dalam kelas G-protein reseptor, yaitu reserptor Mu, kappa dan delta, yang bekerja
pada sistem tersebut. Efek analgesik, euforia dan sedatif pada opioid dimediasi
daerah ventral tegmental. Adanya mekanisme sel off dan sel on akibat dari kerja Mu-
reseptor opioid pada nucleus accumbens. Adanya induksi dopamin ini akan
Efek dari paparan opioid yang kronis pada level reseptor opioid masih belum
dalam hitungan menit setelah penggunaan opioid dan hilang dalam hitungan jam
setelah pemakaian, dan desentitisasi jangka panjang pada reseptor opioid yang timbul
selama beberapa hari setelah penghentian opioid. Perubahan juga terjadi pada jumlah
ditandai dengan mata berair, hidung berair, menguap, berkeringat, rasa kurang
b. Karbon monoksida
Fase Eksposisi, Karbon monoksida (CO) adalah suatu gas tidak berwarna,
tidak berbau dan tidak mengiritasi yang dihasilkan oleh pembakaran tidak
sempurna material yang mengandung zat arang atau bahan organik, baik dalam
alur pengolahan hasil jadi industri, ataupun proses di alam lingkungan seperti asap
dari gunung meletus,. Hasil pembakaran tidak sempurna lainnya seperti dari
kendaraan bermotor, alat pemanas, peralatan yang menggunakan bahan api
berasaskan karbon dan nyala api (seperti tungku kayu), asap dari kereta api,
pembakaran gas, asap tembakau.
Gas CO merupakan xenobiotik yang berada di udara sehingga pajanan gas
CO dapat terjadi melalui inhalasi saluran pernafasan. Ketika manusia bernafas gas
yang ada diudara seperti oksigen , nitrogen, karbon monoksida, dan gas lainnya
akan ikut terhirup masuk ke paru paru mengalir ke alveoli dan masuk ke aliran
darah. Gas Karbon monoksida terdiri dari satu atom karbon yang secara kovalen
berikatan dengan satu atom oksigen. Dalam ikatan ini, terdapat dua ikatan kovalen
dan satu ikatan kovalen koordinasi antara atom karbon dan oksigen.
Karakteristik biologik dari karbon monoksida (CO) adalah kemampuannya
untuk berikatan dengan haemoglobin, pigmen sel darah merah yang mengangkut
oksigen keseluruh tubuh. Sifat ini menghasilkan karboksi haemoglobin (HbCO)
200 - 250 kali lebih stabil dibandingkan oksihaemoglobin (HbO2). Penguraian
HbCO yang relatif lambat menyebabkan terhambatnya kerja molekul sel pigmen
tersebut dalamfungsinya membawa oksigen keseluruh tubuh. Kondisi seperti ini
bisa berakibat serius, bahkan fatal, karena dapat menyebabkan keracunan.
Fase Farmakokinetik CO diserap atau diadsorpsi melalui paru dan sebagian
besar diikat oleh hemoglobin secara reversible, membentuk karboksi-hemoglobin
(COHb). Selebihnya mengikat diri dengan mioglobin dan beberapa protein heme
ekstravaskular lain, seperti cytochrome c oxidase dan cytochrome P-450. Afinitas
CO terhadap protein heme bervariasi 30 sampai 500 kali afinitas oksigen, tergantung
pada protein heme tersebut. Untuk hemoglobin, afinitas CO 200-250 kali afinitas
oksigen. Absorbsi atau ekskresi CO ditentukan oleh kadar CO dalam udara
lingkungan (ambient air), kadar COHb sebelum pemaparan (kadar COHb inisial),
lamanya pemaparan, dan ventilasi paru. Bila orang yang telah mengabsorbsi CO
dipindahkan ke udara bersih dan berada dalam keadaan istirahat, maka kadar COHb
semula akan berkurang 50% dalam waktu 4,5 jam. Dalam waktu 6-8 jam darahnya
tidak mengandung COHb lagi. Inhalasi oksigen mempercepat ekskresi CO sehingga
dalam waktu 30 menit kadar COHb telah berkurang setengahnya dari kadar semula.
Umummya kadar COHb akan berkurang 50% bila penderita CO akut dipindahkan ke
udara bersih dan selanjutnya sisa COHb akan berkurang 8-10% setiap jamnya. Hal
ini penting untuk dapat mengerti mengapa kadar COHb dalam darah korban rendah
atau negatif pada saat diperiksa, sedangkan korban menunjukkan gejala dan atau
kelainan histopatologis yang lazim ditemukan pada keracunan CO akut.
Fase Farmakodinamik, Karbon monoksida bereaksi dengan Fe dari porfirin
dan karena itu CO bersaing dengan O2 dalam mengikat protein heme yaitu
hemoglobin, mioglobin, sitokrom oksidase dan sitokrom peroksidase. Yang
terpenting adalah reaksi CO dengan Hb dan sitokrom oksidase. dengan diikatnya Hb
menjadi COHb mengakibatkan Hb menjadi inaktif sehingga darah berkurang
kemampuan untuk mengangkut oksigen. Selain itu adanya COHb dalam darah akan
menghambat disosiasi Oxi-Hb. Dengan demikian jaringan akan mengalami hipoksia.
Reaksi CO dengan sitokrom oksidase yang merupakan link yang penting dalam
sistem enzim pernafasan sel dan mengakibatkan hipoksia jaringan. Untuk
menentukan kadar CO dalam darah digunakan rumus Henderson dan Haggard.
Rumusnya adalah sebagai berikut:
Lama paparan (dalam jam) x Konsentrasi CO di udara (dalam ppm)
Konsentrasi CO dalam udara lingkungan dan lamanya inhalasi/paparan
menentukan kecepatan timbulnya gejala-gejala atau kematian.
5. Jelaskan secara lengkap tentang penerapan Therapy Drug Monitoring (TDM) untuk pasien
diagnosa positif :
Jawaban :
a. Narkotika golongan Opioda
Terapi obat untuk orang yang kecanduan narkotika golongan opioda adalah
dengan pemeberian metadon. Metadon diberikan secara oral Dosis awal yang
dianjurkan adalah 20-30 mg untuk tiga hari pertama. Metadona harus diberikan
dalam bentuk cair dan diencerkan sampai menjadi 100cc dengan larutan sirup. harus
diobservasi 45 menit setelah pemberian dosis awal untuk memantau tanda-tanda
toksisitas atau gejala putus obat. Jika terdapat intoksikasi atau gejala putus obat berat
maka dosis akan dimodifikasi sesuai dengan keadaan. Estimasi yang terlalu tinggi
tentang toleransi pasien terhadap opiat dapat membawa pasien kepada risiko toksik
akibat dosis tunggal, serta kemungkinan pasien dalam keadaan toksik akibat
akumulasi Metadona karena waktu paruhnya yang panjang. Estimasi toleransi pasien
terhadap Metadona yang terlalu rendah menyebabkan risiko pasien untuk
menggunakan opiat yang ilegal bertambah besar akibat kadar Metadona dalam darah
kurang, dan akan memperpanjang gejala putus zat maupun periode stabilisasi.
Penambahan dosis dilakukan apabila jumlah dan/atau frekuensi penggunaan
opiat tidak berkurang yang dilihat dari pemantauan menggunakan sampel urin, Tes
urin terhadap penggunaan obat (Urine Drug Screen) UDS merupakan pemeriksaan
objektif untuk mendeteksi adanya metabolit opiat dalam urin. Dalam hal terapi
Metadona, UDS dapat berguna pada keadaan berikut:
Periksa urin pasien di awal terapi untuk tujuan diagnostik yaitu untuk
memastikan apakah pasien pernah atau tidak menggunakan opiat atau zat
adiktif lain sebelumnya. Tahap ini merupakan suatu tindakan wajib.
Hasil tes urin yang positif terhadap heroin menjadi pertimbangan untuk
meningkatkan dosis Metadona. Apabila pasien masih menggunakan heroin
maka dosis Metadona perlu ditingkatkan.