Anda di halaman 1dari 10

TUGAS MANDIRI 2 (INDIVIDU)

TEORI TOKSIKOLOGI

Erlin Dayu Indra Pratiwi (P27834119073)

PROGRAM STUDI D4 ALIH JENJANG ANALIS KESEHATAN


POLTEKKES KEMENKES SURABAYA
2020
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURABAYA
JURUSAN ANALIS KESEHATAN
Jl. Karangmenjangan No.18A Surabaya, Telp. 031-5020718

TUGAS MANDIRI 2 (INDIVIDU) TEORI TOKSIKOLOGI


SEMESTER GENAP PRODI DIPLOMA 4 TA. 2019 - 2020

MATA KULIAH : TOKSIKOLOGI


SEMESTER/KELAS : VIII (DELAPAN) / ALIH JENJANG
HARI/TANGGAL : SENIN, 23 MARET 2020
DOSEN : CHRIST KARTIKA R., ST, M.Si

1. Jelaskan tentang analisis secara kualitatif dan kuantitatif dalam toksikologi klinik !
Jawaban :
Tujuan utama dari analisis kualitatif (test penapisan dan identifikasi) adalah untuk
mengetahui atau memastikan toksikan sebagai penyebab instoksika-sinya. Makna dari analisis
kualitatif adalah untuk memastikan diagnosa awal (screnning) terhadap dugaan instoksikasi.
Analisis pendahuluan ini dapat berupa tes rekasi warna, terha-dap toksikan yang terdapat
dalam materi biologi (darah, urin, cucian lambung), sisa tablet atau makanan. Belakangan ini
telah berkembang dengan pesat metode uji penapisan yang lebih sederhana dalam
pengerjaannya dan memberikan hasil yang lebih spesifik dibandingkan rekasi warna, yaitu
metode immunokimia ”immunoassay”. Sedangkan dari hasil analisis kuantitatif
dimungkinkan untuk menarik dugaan tingkat toksisitas dari pasien. Hasil analisa kualitatif dan
kuantitatif nanti akan dihubungkan dengan gejala klinik yang terjadi. Dalam hal ini diperlukan
interpretasi konsentrasi toksikan, baik di darah maupun di urin, yang lebih seksama. Untuk
mengetahui tepatnya tingkat toksisitas pasien, biasanya diperlukan analisis toksikan yang
berulang baik dari darah maupun urin. Dari perubahan konsentrasi di darah akan diperoleh
gambaran apakah toksisitas pada fase eksposisi atau sudah dalam fase eleminiasi.

2. Jelaskan gejala klinis dan analisis racun secara pararel yang harus diperhatikan dalam
menegakkan diagnosa dari suatu kasus keracunan !
Jawaban :
Hasil analisis toksikologi dapat memastikan diagnosa klinis, dimana diagnosa ini dapat
dijadikan dasar dalam melakukan terapi yang cepat dan tepat, serta lebih terarah, sehingga
ancaman kegagalan pengobatan (kematian) dapat dihindarkan. Menurut Clarmann (1987),
terdapat dua jalan paralel yang dapat dilakukan dalam menegakkan diagnosa dari suatu kasus
keracunan, yaitu :
a. Melalui gejala-gejala klinis, dimana gejala ini dapat dibedakan menjadi:
 Simtom, biasanya simtom dapat diamati oleh manusia dengan menggunakan
panca indranya. Simtom ini pada umumnya dijadikan dasar dalam memberikan
pertolongan pertama pada keracunan.
 Gambaran klinis, untuk mendapatkan gambaran klinis diperlukan alat-alat
tertentu, seperti Rongen, laboratorium, dan sebagainya,
 Proses, yaitu informasi proses keracunan dan gejala klinis yang ditimbulkan.
Peroses dapat diamati sediri oleh dokter atau diperoleh dari informasi pasien
atau pendampingnya.
b. Dari proses diagnosa seperti diatas akan diperoleh diagnosa yang spesifik dan
terarah, sehingga hasil diagnosa ini merupakan diagnose akhir pada kasus keracunan.
Dari pengalaman, Clarmann menemukan, bahwa sekitar 20% dari kasus instoksikasi,
diagnosa akhir ditegakkan melalui hasil analisis toksikologi. Dengan lain kata,
hampir satu dari setiap lima kasus keracunan adalah salah diagnosa jika diagnosa
hanya didasarkan pada gejala klinis saja. Analisis toksikologi klinik dapat berupa
analisis kualitatif maupun kuantitatif. Dari hasil analisis kualitatif dapat dipastikan
bahwa kasus keracunan adalah memang benar diakibatkan oleh instoksikasi.
Sedangkan dari hasil analisis kuantitatif dapat diperoleh informasi tingkat toksisitas
pasien.

3. Bagaimana mengevaluasi dan mengkaji hasil analisis toksikologi klinik ?


Jawaban :
Agar hasil analisis toksikologi dapat dijadikan acuan dalam membuat diagnosa akhir dari
instoksikasi dan mempunyai makna dalam penegakan terapi instoksikasi yang terarah, maka
hasil analisis haruslah valid dan sahih. Untuk itu haruslah dikenali sumber-sumber yang
mungkin memberikan kesalahan analisis.
Ada tiga tingkat yang dapat menjadi sumber kesala-han dalam analisis toksikologi,
yaitu :
 tingkat teknis, dalam tataran teknis kesalahan analisis dapat muncul akibat masalah
teknis, seperti prosedur analisis, metode analisis, akurasi dan presisi dari intrumentasi
analisis.
 tingkat biologis, kesalahan yang mungkin ditimbulkan dari tataran biologis adalah
akibat besarnya variasi materi biologis dari sampel toksikologi, sehingga kita juga
harus memperhatikan batas deteksi dari senyawa yang ingin di deteksi.
Faktor toksokinetik dan waktu pengambilan akan banyak menentukan hasil
analisis toksikologi, misal jika penerokan dilakukan tepat pada saat pasien terpapar,
kemungkinan besar akan dapat menemukan toksikan dalam jumlah besar, baik di
dalam saluran pencernaan (jika terekspose melalui oral), maupun di darah. Namun
jika penerokan dilakukan pada fase terminal, dan jika toksikan mempunyai waktu
paruh yang singkat, maka kemungkinan kecil menemukan toksikan di darah. Untuk
memahami kesalahan kesalah yang berpengaruh dari tataran biologis, maka sangat
dituntut pemahaman terhadap sifat formakokinetik dan metabolisme toksikan.
 tingat nosologi (pengelompokan penyakit), Ada sejumlah jenis penyakit tertentu
dapat mempengaruhi sifat farmakodinamik toksikan. Seperti, senyawa opiat sebagian
besar dieliminasi melalui clearance hepatis dengan demikian insufisien hati akan
menghambat laju metabolisme opiat di dalam tubuh, sehingga morfin akan berada
dalam waktu yang lebih lama di dalam tubuh. Demikian juga pada pasien gagal ginjal
terjadi akumulasi dari morfin glukuronida, sehingga akan terjadi perpanjangan waktu
paruh dari morfinglikuronida.

4. Jelaskan secara lengkap mekanisme kerja toksik/ racun secara klinis melalui tahapan fase
eksposisi, fase farmakokinetika, dan fase farmakodinamika untuk :
a. Narkotika golongan Opioida
b. Senyawa Karbo monoksida (CO)
c. Senyawa Logam Berat
Jawaban :
a. Opioid
Fase Eksposisi dari senyawa opiod diawali dengan masuknya senyawa ini
kedalam tubuh melalui suntikan, oral, ataupun inhalasi. Tanaman opium, Papaver
somniferum, adalah sumber opium. Tanaman ini mengandung lebih dari 20 alkaloid,
termasuk morfin dan kodein. Mengubah struktur morfin menghasilkan banyak opioid
semisintetik, termasuk heroin, hydrocodone, hydromorphone, dan thebaine
(prekursor oxycodone dan naloxone).Morfin, kodein, opium dan derivat semi sintetik
dari morfin, termasuk golongan obat yang disebut opiat. Di dalam tubuh senyawa ini
akan menimbulkan efek didalam tubuh saat bereaksi dengan reseptor opiod didalam.
Fase Farmakokinetik, Secara umum, sebagian besar metabolisme opioid
terjadi di hati. Tingkat basal metabolisme ditentukan oleh genetik, jenis kelamin,
usia, serta lingkungan termasuk pola makan, keadaan penyakit, dan penggunaan
bersamaan obat . Kebanyakan opioid dimetabolisme oleh glucuronidation atau oleh
P450 ( CYP ) sistem
Sebagian besar opioid oral diserap sepenuhnya dari saluran pencernaan dan

mencapai kadar puncak dalam 1 sampai 1 ½ jam. Metabolisme lintas pertama (first-

pass) signifikan, menghasilkan bioavailabilitas rendah. Sebagai contoh,

bioavailabilitas morfin oral hanya 22-24%. Sebaliknya, kodein dan metadon

memiliki rasio potensi oral/parenteral yang lebih tinggi dan memiliki bioavailabilitas

60-79%. Ikatan protein morfin 0% sedangkan metabolitnya 20 –40%. Morfin dan

meperidin sering diberikan secara intramuskular, namun penyerapan meperidin tidak

menentu oleh rute ini. Menghirup asapheroin atau merokok yang dicelupkan ke

dalam heroin menunjukkan farmakokinetik serupa dengan heroin intravena. Heroin

yang dihirup dan intravena mencapai kadar puncak dalam waktu 1 sampai 5 menit

dan dengan cepat menurun ke tingkat deteksi dalam 30 menit.Heroin masuk ke

dalam tubuh, dengan berbagai cara termasuk hirupan, isapan, suntikan subkutan, atau

intravena.

Metabolisme secara hepatic dengan baik dalam bentuk morfin-o-glukoronida

dan hanya sebagian kecil (2-12%) diekskresi tanpa mengalami perubahan bentuk.
Metabolit yang terbesar (60-80%) diekskresi melalui urine dan hanya jumlah kecil 5-

14% diekskresi di dalam feses. Konsentrasi morfin dalam urin dalam dosis terapetik

sebesar 10 μg/ml.Seperti juga morfin, kodein mengalami metabolism dalam

tubuh(Gambar 5.3). Jumlah besar diekskresikan dalam bentuk kodein glukoronida.

Dalam jumlah kecil (10-15%) didemetilasi membentuk morfin dan norkodein,

diekskresi dalam urine terutama dalam bentuk glukoronida. Jika masuk melalui

suntikan heroin dengan cepat mengalami reaksi deasetilasi menjadi MAM (Mono

Asetil Morfin), kemudian terhidrolisa menjadi morfin secara perlahan-

lahan.Sebagian besar metabolit heroin (38,2%) yaitu morfin 3-glucuronida (M3G)

ditemukan dalam urine dalam waktu 20-40 jam setelah pemberian secara intravena.

Metabolit lainnya yaitu MAM (1,3%), Morfin bebas (4,2%), Heroin yang tidak

berubah (0,1%), dan Norformin.

Fase Farmakodinamik, Opioid memiliki reseptor-reseptor yang termasuk ke

dalam kelas G-protein reseptor, yaitu reserptor Mu, kappa dan delta, yang bekerja

pada sistem tersebut. Efek analgesik, euforia dan sedatif pada opioid dimediasi

secara primer oleh Mu-receptor.

Opioid menginduksi pelepasan dopamin secara tidak langsung dengan

menurunkan inhibisi gamma-aminobutyric acid (GABA) melalui Mu-reseptor di

daerah ventral tegmental. Adanya mekanisme sel off dan sel on akibat dari kerja Mu-

raseptor mengakibatkan penghambatan terhadap mediator rasa nyeri.

Opioid juga menginduksi dopamin secara langsung, melalui interaksi dengan

reseptor opioid pada nucleus accumbens. Adanya induksi dopamin ini akan

mempengaruhi kerja dari prefrontal cortex, hypothalamus, dan amygdala.

Efek dari paparan opioid yang kronis pada level reseptor opioid masih belum

diketahui secara pasti pada manusia. Toleransi berkembang melalui beberapa

mekanisme, termasuk desensitisasi akut pada reseptor opioid dimana berkembang

dalam hitungan menit setelah penggunaan opioid dan hilang dalam hitungan jam

setelah pemakaian, dan desentitisasi jangka panjang pada reseptor opioid yang timbul

selama beberapa hari setelah penghentian opioid. Perubahan juga terjadi pada jumlah

reseptor opioid, terdapat pula kompensasi regulasi daricyclic adenosine

monophosphate(cAMP) yang memproduksi enzim. Ketika opioid dihentikan,

cascade cAMP menjadi overaktif, mengakibatkan “badai noradrenergik” yang


terlihat secara klinis sebagai. Sindrom putus obat opioid.Sindrom putus obat ini

ditandai dengan mata berair, hidung berair, menguap, berkeringat, rasa kurang

berisitrahat, irritabilitas, tremor, mual, muntah, diare, peningkatan tekanan darah,

menggigil, keram dan nyeri otot

b. Karbon monoksida
Fase Eksposisi, Karbon monoksida (CO) adalah suatu gas tidak berwarna,
tidak berbau dan tidak mengiritasi yang dihasilkan oleh pembakaran tidak
sempurna material yang mengandung zat arang atau bahan organik, baik dalam
alur pengolahan hasil jadi industri, ataupun proses di alam lingkungan seperti asap
dari gunung meletus,. Hasil pembakaran tidak sempurna lainnya seperti dari
kendaraan bermotor, alat pemanas, peralatan yang menggunakan bahan api
berasaskan karbon dan nyala api (seperti tungku kayu), asap dari kereta api,
pembakaran gas, asap tembakau.
Gas CO merupakan xenobiotik yang berada di udara sehingga pajanan gas
CO dapat terjadi melalui inhalasi saluran pernafasan. Ketika manusia bernafas gas
yang ada diudara seperti oksigen , nitrogen, karbon monoksida, dan gas lainnya
akan ikut terhirup masuk ke paru paru mengalir ke alveoli dan masuk ke aliran
darah. Gas Karbon monoksida terdiri dari satu atom karbon yang secara kovalen
berikatan dengan satu atom oksigen. Dalam ikatan ini, terdapat dua ikatan kovalen
dan satu ikatan kovalen koordinasi antara atom karbon dan oksigen.
Karakteristik biologik dari karbon monoksida (CO) adalah kemampuannya
untuk berikatan dengan haemoglobin, pigmen sel darah merah yang mengangkut
oksigen keseluruh tubuh. Sifat ini menghasilkan karboksi haemoglobin (HbCO)
200 - 250 kali lebih stabil dibandingkan oksihaemoglobin (HbO2). Penguraian
HbCO yang relatif lambat menyebabkan terhambatnya kerja molekul sel pigmen
tersebut dalamfungsinya membawa oksigen keseluruh tubuh. Kondisi seperti ini
bisa berakibat serius, bahkan fatal, karena dapat menyebabkan keracunan.
Fase Farmakokinetik CO diserap atau diadsorpsi melalui paru dan sebagian
besar diikat oleh hemoglobin secara reversible, membentuk karboksi-hemoglobin
(COHb). Selebihnya mengikat diri dengan mioglobin dan beberapa protein heme
ekstravaskular lain, seperti cytochrome c oxidase dan cytochrome P-450. Afinitas
CO terhadap protein heme bervariasi 30 sampai 500 kali afinitas oksigen, tergantung
pada protein heme tersebut. Untuk hemoglobin, afinitas CO 200-250 kali afinitas
oksigen. Absorbsi atau ekskresi CO ditentukan oleh kadar CO dalam udara
lingkungan (ambient air), kadar COHb sebelum pemaparan (kadar COHb inisial),
lamanya pemaparan, dan ventilasi paru. Bila orang yang telah mengabsorbsi CO
dipindahkan ke udara bersih dan berada dalam keadaan istirahat, maka kadar COHb
semula akan berkurang 50% dalam waktu 4,5 jam. Dalam waktu 6-8 jam darahnya
tidak mengandung COHb lagi. Inhalasi oksigen mempercepat ekskresi CO sehingga
dalam waktu 30 menit kadar COHb telah berkurang setengahnya dari kadar semula.
Umummya kadar COHb akan berkurang 50% bila penderita CO akut dipindahkan ke
udara bersih dan selanjutnya sisa COHb akan berkurang 8-10% setiap jamnya. Hal
ini penting untuk dapat mengerti mengapa kadar COHb dalam darah korban rendah
atau negatif pada saat diperiksa, sedangkan korban menunjukkan gejala dan atau
kelainan histopatologis yang lazim ditemukan pada keracunan CO akut.
Fase Farmakodinamik, Karbon monoksida bereaksi dengan Fe dari porfirin
dan karena itu CO bersaing dengan O2 dalam mengikat protein heme yaitu
hemoglobin, mioglobin, sitokrom oksidase dan sitokrom peroksidase. Yang
terpenting adalah reaksi CO dengan Hb dan sitokrom oksidase. dengan diikatnya Hb
menjadi COHb mengakibatkan Hb menjadi inaktif sehingga darah berkurang
kemampuan untuk mengangkut oksigen. Selain itu adanya COHb dalam darah akan
menghambat disosiasi Oxi-Hb. Dengan demikian jaringan akan mengalami hipoksia.
Reaksi CO dengan sitokrom oksidase yang merupakan link yang penting dalam
sistem enzim pernafasan sel dan mengakibatkan hipoksia jaringan. Untuk
menentukan kadar CO dalam darah digunakan rumus Henderson dan Haggard.
Rumusnya adalah sebagai berikut:
Lama paparan (dalam jam) x Konsentrasi CO di udara (dalam ppm)
Konsentrasi CO dalam udara lingkungan dan lamanya inhalasi/paparan
menentukan kecepatan timbulnya gejala-gejala atau kematian.

c. Senyawa Logam Berat


FASE EKSPOSISI Arsen merupakan logam berat dengan valensi 3 atau 5,
dan berwarna metal (steel-grey). Senyawa arsen didalam alam berada dalam 3
bentuk: Arsen trichlorida (AsCl3) berupa cairan berminyak, Arsen trioksida (As2O3,
arsen putih) berupa kristal putih dan berupa gas arsine (AsH3). Lewisite, yang sering
disebut sebagai gas perang, merupakan salah satu turunan gas arsine. Pada umumnya
arsen tidak berbau, tetapi beberapa senyawanya dapat mengeluarkan bau bawang
putih. Racun arsen pada umumnya mudah larut dalam air, khususnya dalam air panas
. Arsen merupakan unsur dari komponen obat sejak dahulu kala. Senyawa arsen
trioksida misalnya pernah digunakan sebagai tonikum, yaitu dengan dosis 3 x 1-2
mg. Dalam jangka panjang, penggunaan tonikum ini ternyata telah menyebabkan
timbulnya gejala intoksikasi arsen kronis. Arsen juga pernah digunakan sebagai obat
untuk berbagai infeksi parasit, seperti protozoa, cacing, amoeba, spirocheta dan
tripanosoma, tetapi kemudian tidak lagi digunakan karena ditemukannya obat lain
yang lebih aman. Arsen dalam dosis kecil sampai saat ini juga masih digunakan
sebagai obat pada resep homeopathi . Bermacam-macam bentuk senyawa kimia dari
arsen ini yaitu sebagai berikut ; 1. Arsen triokasida (As2O3), ialah bentuk garam
inorganic dan bentuk trivial dari asam arsenat (H4AsO4) berwarna putih dan padat
seperti gula. 2. Arsen pentaoksida (As2O5) 3. Arsenat (misalnya : PbHAsO4), ialah
bentuk garam dari asam arsenat, merupakan senyawa arsen yang banyak dijumpai di
alam dan bersifat kurang toksik. 4. Arsen organic, arsen berikatan kovalen dengan
rantai karbon alifatik atau struktur cincin,dimana arsen terikat dalam bentuk trivalent
ataupun pentavalen.Bentuk senyawa arsen ini kurang toksin dibandingkan denagn
bentuk senyawa arsen inorganic trivalent. Bentuk senyawa arsen yang paling beracun
ialah gas arsin (AsH3),yang terbentuk bila asam bereaksi dengan arsenat yang
mengandung logam lain. Selain dapat ditemukan di udara, air maupun makanan,
arsen juga dapat ditemukan di industri seperti industri pestisida, proses pengecoran
logam maupun pusat tenaga geotermal.
Elemen yang mengandung arsen dalam jumlah sedikit atau komponen arsen
organik (biasanya ditemukan pada produk laut seperti ikan laut) biasanya tidak
beracun(tidak toksik). Arsen dapat dalam bentuk in organik bervalensi tiga dan
bervalensi lima. Bentuk in organik arsen bervalensi tiga adalah arsenik trioksid,
sodium arsenik, dan arsenik triklorida., sedangkan bentuk in organik arsen
bervalensi lima adalah arsenik pentosida, asam arsenik, dan arsenat (Pb arsenat, Ca
arsenat). Arsen bervalensi tiga (trioksid) merupakan bahan kimia yang cukup
potensial untuk menimbulkan terjadinya keracunan akut.

FASE TOKSIKOKONETIKA ARSEN Mekanisme masuknya Arsen dalam


tubuh manusia umumnya melalui oral, dari makanan/minuman. Arsen yang tertelan
secara cepat akan diserap lambung dan usus halus kemudian masuk ke peredaran
darah (Wijanto, 2005). Arsen dapat masuk kedalam tubuh melalui mulut. Inhalasi
(pada debu Arsen dan Arsen) dan melalui kulit. Setelah diabsorpsi melalui mukosa
usus, Arsen kemudian ditimbun dalam hati, ginjal, kulit dan tulang. Pada keracunan
kronik, Arsen juga ditimbun dalam jaringan- jaringan lain, misalnya larutan dan
rambut yang banyak mengandung larutan disulfida. Arsen adalah racun yang bekerja
dalam sel secara umum. Hal tersebut terjadi apabila arsen terikat dengan gugus
sulfhidril (-SH), terutama yang berada dalam enzim. Salah satu system enzim
tersebut ialah kompleks piruvat dehidrogenase yang berfungsi untuk oksidasi
dekarboksilasi piruvat menjadi Co-A dan CO2 sebelum masuk dalam siklus TOA
(tricarbocyclic acid). Dimana enzim tersebut terdiri dari beberapa enzim dan
kofaktor.Reaksi tersebut melibatkan transasetilasi yang mengikat koenzim A(CoA-
SH) untuk membentuk asetil CoA dan dihidrolipoil-enzim, yang mengandung dua
gugus sulfhidril.Kelompok sulfhidril sangat berperan mengikat arsen trivial yang
membentuk kelat.kelat dari dihidrofil-arsenat dapat menghambat reoksidasi dari
kelompok akibatnya bila arsen terikat dengan system enzim, akan terjadi akumulasi
asam piruvat dalam darah. Senyawa arsenik dibagi menjadi dua macam, yaitu arsenik
organik dan arsenik anorganik. Arsenik anorganik bisa dengan mudah ditemukan di
dalam air tanah dan sangat beracun. Sedangkan arsenik organik bisa ditemukan
dalam makanan laut dan kandungannya tidak berbahaya bagi kesehatan.
Dibandingkan dengan arsenik organik, kandungan racun pada arsenik
anorganik memang lebih berbahaya. Jika seseorang terpapar racun jenis ini akan
berisiko terkena kanker kulit dalam jangka panjang. Gejala awal kondisi ini ditandai
dengan munculnya bercak hitam di area kulit, timbulnya penebalan kulit di telapak
kaki, telapak tangan, dan dada. Jika kondisi ini terjadi, berarti telah terjadi perubahan
dalam pembuluh darah kulit. Kondisi yang sama juga akan terjadi pada kulit di
bagian kepala, yang akan membuat rambut rontok bahkan tidak bisa tumbuh
kembali.

FARMAKODINAMIKA ARSEN Arsen menghambat sistim enzim Sulfidril


dalam sel sehingga metabolisme sel dihambat. Pada keracunan Arsen, terjadi
hemolisis sel darah merah, serta efek depresi pada SSP. Target khususnya adalah
endotelium vaskuler, yang mengarah kepada peningkatan permeabilitas, edema
jaringan dan perdarahan,khususnya dalam saluran usus. Secara lokal zat ini
mengiritasi selaput lendir dan menyebabkan depresi sistem saraf. As menyebabkan
zat beracun dengan melepaskan phosphorylasi mitochondrial oxidatif. Zat ini
mengganggu glikolisis. Nilai ambang batas dalam air minum adalah 0,2 ppm. Pada
orang dewasa, kadar normal dalam urin 100 mg/l. Rambut 0,5 mg/kg, dan kuku 0,5
mg/kg. Kadar dalam rambut pada keracunan 0,75 mg/kg dan pada kuku 1 mg / kg
atau lebih. Kadar dalam darah normal anak-anak 30 mg/l, urin 100 mg / 24 jam.
Dosis fatal As2O3 adalah 200-300 mg sedangkan untuk Arsen adalah 1 : 20.000
dalam udara. Jika racun masuk dalam jumlah banyak, penderita akan mengalami
shok kardiovaskuler dan dapat menimbulkan kematian dalam waktu 12 – 36 jam.
Bagian kulit yang sering terpapar arsen adalah tangan dan lengan bawah. Arsen
tersebut dapat merusak kulit. Kerusakan dapat berupa bercak-bercak atau bintik
berwarna kemerahan luka bakar dan peradangan kulit, karena dapat menembus
permukaan kulit dan merusak jaringan di bawah kulit atau dapat pula diserap ke
dalam aliran darah kemudian sampai ke organ-organ tertentu.

5. Jelaskan secara lengkap tentang penerapan Therapy Drug Monitoring (TDM) untuk pasien
diagnosa positif :
Jawaban :
a. Narkotika golongan Opioda
Terapi obat untuk orang yang kecanduan narkotika golongan opioda adalah
dengan pemeberian metadon. Metadon diberikan secara oral Dosis awal yang
dianjurkan adalah 20-30 mg untuk tiga hari pertama. Metadona harus diberikan
dalam bentuk cair dan diencerkan sampai menjadi 100cc dengan larutan sirup. harus
diobservasi 45 menit setelah pemberian dosis awal untuk memantau tanda-tanda
toksisitas atau gejala putus obat. Jika terdapat intoksikasi atau gejala putus obat berat
maka dosis akan dimodifikasi sesuai dengan keadaan. Estimasi yang terlalu tinggi
tentang toleransi pasien terhadap opiat dapat membawa pasien kepada risiko toksik
akibat dosis tunggal, serta kemungkinan pasien dalam keadaan toksik akibat
akumulasi Metadona karena waktu paruhnya yang panjang. Estimasi toleransi pasien
terhadap Metadona yang terlalu rendah menyebabkan risiko pasien untuk
menggunakan opiat yang ilegal bertambah besar akibat kadar Metadona dalam darah
kurang, dan akan memperpanjang gejala putus zat maupun periode stabilisasi.
Penambahan dosis dilakukan apabila jumlah dan/atau frekuensi penggunaan
opiat tidak berkurang yang dilihat dari pemantauan menggunakan sampel urin, Tes
urin terhadap penggunaan obat (Urine Drug Screen) UDS merupakan pemeriksaan
objektif untuk mendeteksi adanya metabolit opiat dalam urin. Dalam hal terapi
Metadona, UDS dapat berguna pada keadaan berikut:
 Periksa urin pasien di awal terapi untuk tujuan diagnostik yaitu untuk
memastikan apakah pasien pernah atau tidak menggunakan opiat atau zat
adiktif lain sebelumnya. Tahap ini merupakan suatu tindakan wajib.
 Hasil tes urin yang positif terhadap heroin menjadi pertimbangan untuk
meningkatkan dosis Metadona. Apabila pasien masih menggunakan heroin
maka dosis Metadona perlu ditingkatkan.

Metadona dapat dihentikan secara bertahap perlahan (tappering off).


Penghentian Metadona dapat dilakukan pada keadaan berikut:
 Pasien sudah dalam keadaan stabil
 Minimal 6 bulan pasien dalam keadaan bebas heroin
 Pasien dalam kondisi yang stabil untuk bekerja dan memiliki dukungan hidup
yang memadai

Penurunan dosis maksimal sebanyak 10%. Penurunan dosis yang


direkomendasikan adalah setiap 2 minggu. Pemantauan perkembangan psikologis
pasien harus diperhatikan. Jika keadaan emosi pasien tidak stabil, dosis dapat
dinaikkan kembali.
b. Psikotropika Amfetamin
Penerapan terapi dilakukan dengan menilai resiko pada pasien. Setelah
dilakukakan penilaian resiko dilakukan penatalaksanaan sesuai gejala yang dialami
pasien.penatalaksanaan yang diberikan sifatnya simtomatik guna menangani gejala
yang dialami seperti agitasi, hipertensi, kejang, dan hipertermia.
Hidrasi merupakan salah satu elemen penting. Didrasi diberikan dengan cairan
salin normal dengan memperhatikan output urine 2-3 ml/kgBB/jam. Pasien dengan
hipertensi biasanya menunjukkan perbaikan dengan pemberian benzodiazepin.
Sebaliknya pasien dengan hipotensi dapat diberikan cairan atau vasopressor seperti
Norepinephrine jika pasien tidak merespon dengan cairan.

c. Obat Aspirin, Parasetamol


Penerapan terapi dapat dilakukan dengan rangsangan muntah. Tindakan ini
hanya efektif bila parasetamol baru ditelan. Kemudian dengan memberikan arang
aktif dengan dosis 100 gram dalam 200 ml air. Bila kadar serum parasetamol di atas
garis tiksik maka N-asetilsistein dapat mulai diberikan dengan dosis 140 mg/kg BB
secara oral, lalu dosis berikutnya 40 mg/kg BB diberikan setiap 4 jam.

Anda mungkin juga menyukai