4
Drs. H.M. Hafi Anshari, Dasar-Dasar Ilmu Jiwa Agama, (Surabaya: Usaha Nasional, 1991). Hal. 69-70.
3. Belajar bergaul dengan teman-teman sebaya sesuai dengan moral dan
etika yang berlaku dimasyarakat.
4. Belajar bermain peran sebagai seorang pria dan sebagai wanita (jia ia
perempuan).
5. Mengembangkan dasar-dasar keterampilan membaca, menulis, dan
berhitung.
6. Mengembangkan konsep yang dibutuhkan dalam kehidupan
7. Mengembangkan kata hati, moral dan skala nilai yang selaras dengan
keyakinan dan budaya yang berlaku di masyarakat.
8. Mengembangkan sikap objektif, lugas baik positif maupun negatif
terhadap kelompok.
9. Belajar mencapai kemerdekaan atau kebebasan pribadi sehingga
menjadi dirinya sendiri yang independen (mandiri) dan bertanggung
jawab.[CITATION Muh13 \p 50 \l 1057 ]
Faktor perkembangan agama dan keagamaan
Pada usia ini perkembangan agama dan keagamaan munurut penelitian Ernest
Harms berada pada fase kedua, yaitu The Realistic Stage (Tingkat Kepercayaan)5.
Dimana sebelumnya anak mengalami perkembangan agama dan keagamaan pada fase
The Fairy Tale Stage (Tingkat Dongeng. Tingkatan ini dimulai pada anak berusia 3-6
tahun. Pada tingkatan ini konsep ke-Tuhanan lebih banyak oleh fantasi dan emosi.
Setelah fase The Realistic Stage akan mengalami fase The Individual Stage
(Tingkat Individu). Tentunya fase ini terjadi pada usia 12 tahun ke atas. Fase ketiga
masuk pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang tinggi, sejalan
dengan perkembangan usia mereka6, yakni pada usia di atas usia SD.
Faktor internal diri anak yang paling mempengaruhi pada fase The Realistic
Stage (Tingkat Kepercayaan) adalah kemampuan berpikir anak atau logika. Dorongan
untuk berpikir logis tentang konsep Tuhan membawa ia pada pemikiran bahwa
keberadaan dirinya sebagai makhaluk yang diciptakan dan Tuhan Yang Mencipta.
5
Jalaluddin,Psikologi Agama. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005). Hal. 66-67
6
Raharjo, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002), hlm. 28-29.
berpengaruh juga pada sifat perkembangan agama dan keagamaan. Diantaranya
sebagai berikut7 :
1) Unreflective (kurang mendalam/ tanpa kritik). Kebenaran yang mereka
terima tidak begitu mendalam, cukup sekadarnya saja, dan mereka merasa
puas dengan keterangan ringan masuk akal. Menurut peneilitian, pikiran
kritis baru muncul pada anak berusia 12 tahun, sejalan dengan
perkembangan moral. Diusia ini pun anak yang kurang cerdas pun
menunjukkan pemikiran yang kreatif. Namun demikian, sebelum usia 12
tahun pada anak yang mempunyai ketajaman berpikir akan menimbang
pemikiran yang mereka terima dari orang lain.
2) Egosentris. Terutama pada usia 3-7 tahun. Dalam hal ini, berbicara bagi
anak-anak tidak mempunyai arti seperti orang dewasa. Bagi anak, bahasa
tidaklah menyangkut orang lain, tetapi lebih merupakan “monolog” dan
“monolog kolektif”, yaitu merupakan bahasa egosentris, bukan sebagai
sarana untuk mengomunikasikan gagasan dan informasi, lebih-lebih
merupakan pernyataan atau penegasan diri dihadapan orang lain.
3) Anthromorphis. Konsep anak mengenai ketuhanan pada umumnya berasal
dari pengalamannya. Dikala ia berhubungan dengan orang lain, pertanyaan
anak mengenai “bagaimana” dan “mengapa” biasanya mencermikan usaha
mereka untuk menghubungkan penjelasan religius yang abstrak dengan
dunia pengalaman mereka yang bersifat subjektif dan konkret.
4) Verbalis dan Ritualis. Kehidupan agama pada anak sebagian besar tumbuh
mula-mula secara verbal (ucapan). Mereka menghafal secara verbal
kalimat keagamaan, selain itu pula dari amaliah yang mereka laksanakan
berdasarkan pengalaman menurut tuntunan yang diajarkan kepada mereka.
5) Rasa heran dan kagum. Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat
keagamaan yang terakhir pada anak. Maka rasa kagum pada anak ini
belum bersifat kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum pada keindahan
lahiriyah saja. Rasa kagum mereka dapat disalurkan melalui cerita-cerita
yang menimbulkan rasa takjub.
7
Sururin,Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta : PT Grafindo Jaya, 2004), hlm.58 – 61.
1) Hidayah ilham (insting), petunjuk Allah yang dapat ditangkap oleh
manusia, tumbuhan, dan binatang.
2) Hidayah hawas (panca indra), petunjuk Allah yang dapat ditangkap oleh
indra manusia juga hewan.
3) Hidayah aqli (pikiran), petunjuk Allah yang dapat ditangkap oleh akal
pikiran manusia.
4) Hidayah dien (agama), petunjuk Allah yang dapat ditangkap oleh hati yang
bersih atau keimanan. Yaitu hatinya orang-orang beriman.
Manusia secara potensial memiliki modal dasar untuk menerima agama.
Penerimaan secara ilhami, yakni agama ditunjukan sebagai sesuatu yang dapat
diterima secara insting. Dalam bahasa hadis Nabi SAW disebut dengan fitrah.
Berikut ini kutipan artikel yang mebuktikan peran hidayah ilham:
Dr. Al Qadhi, melalui penelitiannya yang panjang dan serius di Klinik Besar Florida Amerika
Serikat, berhasil membuktikan hanya dengan mendengarkan bacaan ayat-ayat Alquran,
seorang Muslim, baik mereka yang berbahasa Arab maupun bukan, dapat merasakan
perubahan fisiologis yang sangat besar.
Penurunan depresi, kesedihan, memperoleh ketenangan jiwa, menangkal berbagai macam
penyakit merupakan pengaruh umum yang dirasakan orang-orang yang menjadi objek
penelitiannya. Penemuan sang dokter ahli jiwa ini tidak serampangan.
Penelitiannya ditunjang dengan bantuan peralatan elektronik terbaru untuk mendeteksi
tekanan darah, detak jantung, ketahanan otot, dan ketahanan kulit terhadap aliran listrik. Dari
hasil uji cobanya ia berkesimpulan, bacaan Alquran berpengaruh besar hingga 97% dalam
melahirkan ketenangan jiwa dan penyembuhan penyakit.
Penelitian Dr. Al Qadhi ini diperkuat pula oleh penelitian lainnya yang dilakukan oleh dokter
yang berbeda. Dalam laporan sebuah penelitian yang disampaikan dalam Konferensi
Kedokteran Islam Amerika Utara pada tahun 1984, disebutkan, Al-Quran terbukti mampu
mendatangkan ketenangan sampai 97% bagi mereka yang mendengarkannya.
Kesimpulan hasil uji coba tersebut diperkuat lagi oleh penelitian Muhammad Salim yang
dipublikasikan Universitas Boston. Objek penelitiannya terhadap 5 orang sukarelawan yang
terdiri dari 3 pria dan 2 wanita. Kelima orang tersebut sama sekali tidak mengerti bahasa Arab
dan mereka pun tidak diberi tahu bahwa yang akan diperdengarkannya adalah Al-Qur'an.
Penelitian yang dilakukan sebanyak 210 kali ini terbagi dua sesi, yakni membacakan Al-
Qur'an dengan tartil dan membacakan bahasa Arab yang bukan dari Al-Qur'an.
Kesimpulannya, responden mendapatkan ketenangan sampai 65% ketika mendengarkan
bacaan Al-Qur'an dan mendapatkan ketenangan hanya 35% ketika mendengarkan bahasa Arab
yang bukan dari Al-Qur'an. (https://iiq.ac.id/index.php?a=artikel&d=2&id=183.
Diakses 11 Oktober 2018. Jam 19:45).
Pada tingkat usia yang lebih besar, usia 6-12 tahun. Perkembangan hidayah
manusia telah bertambah dari asal hidayah ilhami. Pada usia ini hidayah hawas,
hidayah aqli, dan mulai masuk pada hidayah dien.
Implikasi terhadap perkembangan agama dan keberagamaan peserta didik usia
SD adalah :
1) Implikasi dimensi keagamaan
Menurut C.Y. Glock dan R Stark dalam bukunya American Piety: The
Nature of Religion Commitmen, menyebut ada lima dimensi agama
dalam diri manusia, yakni dimensi keyakinan (ideologis), dimensi
peribadatan dan praktek keagamaan (ritualistic), dimensi penghayatan
(eksperensial), dimensi pengamalan (konsekuensial) dan dimensi
pengetahuan agama (intelektual) 8.
Aspek keyakinan terhadap agama dan keberagamaan peserta didik usia
SD dibangun dengan logika berpikir, namun masih sederhana. Belum
sampai pada keyakinan yang bersifat idiologis. Begitupun aspek
pengetahuan agama, mereka cukup mengenal rukun iman, rukun Islam
dan apa itu ihsan. Yang diperbanyak dalam usia ini adalah aspek ritual
atau ubudiyah. Dari mulai usia 7 tahun agama telah mencanangkan
pendidikan syari’ah ubudiyah. Jadi pengamalan rukun Islam bertumpu
pada pengamalan shalat.
2) Implikasi faktor pengaruh
Agama dan keberagamaan peserta didik usia SD dipengaruhi oleh tiga
faktor besar, yaitu faktor intern, faktor ekstern, dan faktor hidayah.
1. Faktor internal dilandasi oleh teori bahwa manusia adalah homo
religious (makhluk beragama) karena manusia sudah memiliki potensi
untuk beragama. Potensi tersebut bersumber dari faktor intern manusia
yang termuat dalam aspek kejiwaan manusia seperti naluri, akal,
perasaan, maupun kehendak dan sebagainya 9.
2. Faktor ekternal. Manusia juga keagamaannya dipengaruhi oleh
faktor lingkungan (ekternal)10. Manusia terdorong untuk beragama
karena pengaruh faktor luar dirinya, seperti rasa takut, rasa
ketergantungan ataupun rasa bersalah (sense of guilt).
Dr. Zakiah Daradjat mengatakan bahwa : ”seseorang yang pada masa
kecilnya tidak pernah mendapatkan didikan agama, maka pada masa
dewasanya nanti, ia tidak akan merasakan pentingnya agama dalam
hidupnya”. Lain halnya dengan orang yang diwaktu kecilnya
mempunyai pengalaman agama, misalnya ibu-bapaknya adalah orang
yang tahu beragama, lingkungan social dan kawan-kawannya juga
hidup menjalankan agama, terbiasa menjalankan ibadah, ditambah pula
8
Djamaluddin Ancok, Fuat Nashori Suroro, Psikologi Islam, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1995), hal. 77
9
Hadis Bukhari dan Muslim tentang fitrah dan QS Al-Araf: 172.
10
ibid
dengan pendidikan agama, secara sengaja di rumah, sekolah dan
masyarakat. Maka orang-orang itu akan dengan sendirinya mempunyai
kecenderungan kepada hidup dalam aturan-aturan agama, terbiasa
menjalankan ibadah, takut melangkahi larangan-larangan agama dan
dapat merasakan betapa nikmatnya hidup beragama.
Peranan orang tua dalam menumbuhkan jiwa agama bagi anaknya,
memberikan prospek kehidupan anak pada masa yang akan datang.
Orang tua yang mengerti tentang urgensi pertumbuhan dan
perkembangan agama dalam kehidupan anak yang memberikan suatu
kecenderungan kepada aturan-aturan agama yang harus dilaksanakan
dalam praktek hidupnya sehari-hari. Hal seperti inilah dapat
dimanfaatkan untuk melatih anak dalam membiasakan menjalankan
ibadah agama dan penuh rasa disiplin dan tanggung jawab.
3. Faktor hidayah. Faktor hidayah yaitu petunjuk Allah SWT. Firman
Allah : “Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah diberikan hidayah
(ditunjuki) oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang
benar, agama Ibrahim yang lurus, dan Ibrahim itu bukanlah termasuk
orang-orang musyrik". (QS Al-An’am: 161). Sehingga dalam
menumbuhkan agama dan keberagamaan peserta didik, tidak
dicukupkan dengan memberikan pengetahuan, pembiasaan, dan
keteladanan saja tetapi juga dengan selalu berdo’a kepada Allah untuk
diberikan hidayah.
12
Akhmad Sodiq, Prophetic Character Building. Jakarta : Kencana, 2018. Hlm 216.
orang shalih dan orang shalih
13
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1996, hlm. 58
Pengaruh orang tua memberikan kesan kepada anak bahwa dalam kehidupan
sehari-hari, si anak harus senantiasa terikat dengan kehidupan orang tua, sebab pada
hakekatnya mereka masih membutuhkan bantuan orang tua. Maka dengan demikian
terdapat kecenderungan anak untuk menggantungkan diri pada orang tua.
Proses perkembangan naluri beragama akan dapat berjalan dengan pertumbuhan
fisik anak. Dampak jiwa agama dalam sikap dan tingkah lakunya dalam kehidupan
sehari-hari, cenderung untuk mengadaptasikan dirinya dengan lingkungan sekitarnya.
Bagaimana anak usia SD mengenal Tuhannya?
Anak-anak mulai mengenal Tuhan, melalui bahasa. Dari kata-kata orang yang
ada di lingkungannya, yang pada permulaan di terima secara acuh tak acuh saja. Akan
tetapi setelah ia melihat orang dewasa menunjukkan rasa kagum dan takut pada
Tuhan, maka mulailah ia merasa sedikit gelisah dan ragu tentang suatu yang gaib
yang tidak dapat dilihatnya itu, mungkin ia akan ikut membaca dan mengulang kata-
kata yang diucapakan oleh orang tuanya. Lambat laun tanpa disadarinya, akan
masuklah pemikiran tentang Tuhan dalam pembinaan kepribadiannya dan menjadi
obyek pengalaman yang agamis. Tidak adanya perhatian terhadap Tuhan pada
permulaan adalah karena ia belum mempunyai pengalaman yang akan membawanya
kesana, baik pengalaman yang menyenangkan, ataupun yang menyusahkan. Akan
tetapi setelah ia melihat reaksi orang-orang di sekelilingnya, yang disertai oleh emosi
atau perasaan tertentu, maka timbullah pengalaman tertentu, yang makin lama makin
meluas dan mulailah perhatiannya terhadap kata Tuhan itu tumbuh. Biasanya
pengalaman itu pada mulanya tidak menyenangkan, karena merupakan ancaman bagi
integritas kepribadiannya, karena itulah perhatian anak-anak tentang Tuhan pada
permulaan merupakan sumber kegelisahan atau ketidaksenangannya.
Karena Allah itu tidak kasatmata, namun nama-Nya sering disebut-sebut di
rumahnya, kecenderungan bagi si anak, hal itu akan membentuk gambaran mental
yang di susun berdasarkan pemehaman yang ia miliki. Gambaran mental tersebut
dapat berbeda antara satu orang dengan orang yang lain. Gambaran-gambaran mental
yang demikian sangat dipengaruhi oleh penjelasan-penjelasan dari kedua orang
tuanya mengenai hal-hal yang disukai Allah dan hal-hal yang dibenci-Nya.
Adanya perhatian terhadap Tuhan menunjukkan mulai timbulnya naluri agama
pada anak-anak. Wolter Housten Clark telah mengemukakan pendapatnya bahwa :
“jika anak dibiarkan hidup tanpa agama dan hidup dalam lingkungan tak beragama,
maka ia akan menjadi dewasa tanpa mengenal agama.
Sesungguhnya tidak mengenal adanya agama, banyak terletak pada situasi dan
lingkungan rumah tangga. Apabila orang tua di rumah tangga lalai dan memandang
enteng terhadap pembinaan jiwa agama pada anak-anaknya, maka disinilah letak
faktor kekosongan jiwa agama, yang menyebabkan anak hidu jauh dari
kehidupanagama. Namun sebaliknya apabila orang tua benar-benar menaruh
perhatian yang sungguh-sungguh terhadap pembinaan jiwa agam anaknya, maka akan
Nampak pengaruh positifnya yang dapat menyebabkan anak timbul semangat dan
gairahnya dalam menjalankan / melaksanakan ibadah agama secara konsekuen.
Itulah sebabnya, maka orang tua harus dapat menjadikan dirinya sebagai suri
tauladan bagi anak-anaknya, baik dari segi ucapan, perbuatan maupun dalam segi
tindakannya.
Di dalam ajaran agama islam terdapat ajakan untuk menyuruh menjaga diri
sendiri da keluarga, sebagaimana firman Allah swt, dalam Qs. At-Tahrim : 6; “Hai
sekalian orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari (siksaan)
api neraka…”
Memelihara diri dan keluarga adalah membutuhkan sikap keteladanan dan
perhatian yang kontinyu, tidak cepat putus asa, lemah semangat dan sebagainya. Apa
yang telah dipercayai anak adalah, tergantung pada apa yang di terima dari kedua
orang tuanya di rumah, dan atau guru di sekolah serta apa yang telah dilihat dan
disarankan di lingkungan masyarakatnya.
Anak-anak usia SD menerima agama secara sederhana dan global. Penerimaan
tersebut adalah mereka mengikuti kehendak orang tuanya. Kepercayaan agama bagi
anak akan lebih mudah tertanam jiwa anak, apabila melalui ceritera-ceritera atau
dongeng-dongeng orang sakit, atau cerita agama, cerita nenek moyang dahulu, serta
kisah-kisah tokoh agama dan sebagainya.
Kepercayaan agama bagi anak akan bertambah lagi, melalui latihan-latihan dan
didikan yang diterima dalam lingkungannya. Biasanya kepercayaan itu berdasarkan
konsepsi-konsepsi yang nyata dan konkrit sehingga anak tersebut mudah
mengasosiasikannya dengan kehidupan sehari-hari. Anak-anak tersebut menerima
agama berdasarkan gambaran yang pernah dilihatnya atau pernah di dengarnya dan
lain sebagainya. Potensi keagamaan yang ada pada diri setiap anak akan berkembang
sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan psychisnya semakin besar
anak tersebut, maka akan semakin jelas faham akan ajaran agama dilakukannya itu.
Dengsan demikian pertumbuhan dan perkebangan jiwa agama bagi anak akan
semakin sempurna pula.
Sesungguhnya pertumbuhan dan perkembangan agama pada jiwa agama bagi
anak sedikit demi sedikit menjadi lebih actual, yang menyebabkan pengertian anak
terhadap manfaat agama akan mendapatkan lapangan baru dalam dirinya.
Bertambahnya pengertian mereka akan mudah mudah pula menimbulkan perhatian
yang serius dan terfokus sehingga agama bagi anak tersebut memberikan motivasi dan
gairah dalam praktek hidup sehari-hari. Kita tidak heran apabila ada anak yang
mempertahankan diri pribadinya, baik karena hasil didikan maupun karena pengaruh
bakat dan situasi lingkungannya.
Apabila agama telah mendapatkan tempat yang terhormat di hati anak, maka
sudah barang tentu segala ucapan, perbuatan dan tingkah lakunya akan menjurus
kepada sifat-sifat yang terpuji dan menunjukan sikap keberagaman yang positif.
Dengan demikian akan terlihatlah bahwa perkembangan agama dan keberagamaan
anak usia SD akan semakin tinggi. Sesuai dengan bertambahnya usia dan kedewaan
berpikirnya akan semakin tinggi pula agama dan keberagamaannya.
Dapat disebutkan jika Allah semakin dekat kepada jiwa anak, manakala anak
tersebut juga semakin dekat kepada Allah.
BAB III
SIMPULAN
Pengertian bahwa perkembangan agama dan keberagamaan peserta didik usia
SD adalah proses diri yang menerima agama sebagai keyakinan yang dianutnya.
Proses ini ditunjukan dengan sikap keberagamaan yang positif dalam dimensi
keimanan (keyakinan), ubudiyah (ritual), akhlak (pengamalan), penghayatan (hati),
dan ilmu (pengetahuan/intelektual).
Perkembangan psikologis dan tugas perkembangan, kematangan belajar, fase
keberagamaan, dan perkembangan hidayah merupakan faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan agama dan keagamaan peserta didik usia SD. Sehingga
anak usia ini akan menempati perkembangan agama dan keberagamaanya pada
tempatnya yang sesuai. Dalam aspek pengetahuan agama, anak usia SD sudah dapat
memahami secara logis konsep-konsep dasar agama, baik masalah ketuhanan ataupun
peribadatan. Walaupun pengetahuannya sesuai dengan tingkat nalarnya yang masih
sederhana, belum kritis. Aspek ubudiyah, anak usia SD sudah dapat diberikan
tanggung jawab kehambaan kepada Tuhannya, seperti menjalankan shalat, puasa, dan
lainnya. Namun belum sampai pada tingkat penghayatan dan pemaknaan.
Aspek akhlak atau sikap perilaku (adab) menjadi aspek yang paling penting
untuk dijadikan corenya perkembangan agama dan keagamaan peserta didik usia SD.
Hal ini karena pertama sesuai dengan misi Islam yang utama, yaitu menyempurnakan
moral manusia (akhlak). Juga karena pada usia SD membangun perkembangan agama
dan keberagamaan melalui akhlak merupakan yang paling sesuai dengan
perkembangannya; baik perkembangan psikologisnya, tugas belajarnya,
intelektualnya, emosinya, juga perkembangan hidayahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mujib & Jusuf Mudzakkir. 2006. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : KENCANA, 2006.
Abdul Mujib. 1999. Fitrah & Kepribadian Islam (sebuah pendekatan psikologis). Jakarta :
Darul Falah, 1999.
Abuddin Nata. 2010. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Kencana Prenada Media, 2010, p. 23.
—. 2005. Pendidikan dalam Persepektif al-Qur’an. Jakarta : UIN Jakarta Press, 2005, p. 15.
Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, Pustaka Setia, Bandung, 2008, hlm. 47
Hafi Anshari, Dasar-Dasar Ilmu Jiwa Agama, (Surabaya: Usaha Nasional, 1991), hlm. 69-70.
Inayat Khan. 2002. Metode Mendidik Anak Secara Sufi. Bandung : Penerbit Marja', 2002.
M. Arifin. 1996. Ilmu Pendidikan Islam; Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner. Jakarta : Bumi Aksara, 1996.
M. Ismail Yusanto & M. Sigit Purnawan Jati. 2002. Membangun Kepribadian Islam. Jakarta :
Khairul Bayan, 2002, p. 23.
Rumayalis. 2010. Metodelogi Pendidikan Agama Islam. Jakarta : Kalam Mulia, 2010.
Tafsir, Ahmad. 2007. Islam, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya, 2007, pp. 50-51.
Yahya, Jaya. 1994. Spiritualisasi Islam. Jakarta : CV RUHAMA, 1994, pp. 1-3.
Zakiyah Daradjat. 1996. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta : Bulan Bintang, 1996.